Share this post on:

Bab 5 – Teater Kejahatan

Penerjemah: NieR

1

Ketika percakapan Subaru dan Julius hitungannya setengah penting setengah konyol tengan berjalan, Subaru pergi dari Water Raiment bersama Emilia dan Beatrice di belakang.

“Hei, Subaru. Kau kelihatannya benaran akur sama Julius di taman. Kalian membicarakan apa?”

“Aku takkan bilang benaran akur atau apalah, tapi menurutmu kami membicarakan apa?”

“Lain kali harus main di mana atau mirip-mirip itukah?”

“Memangnya kami apaan, teman sekolah?!”

Sayangnya, hubungan mereka tidak seramah bayangan Emilia, dan meskipun Subaru serta Julius satu sekolah, energi alami dalam sekolah akan menghalangi pertemanan mereka.

Di satu sisi, sekolah itu seeksklusif dan sediskriminatif masyarakat sebagaimana sistem kebangsawanan manapun.

“Berpikir seperti itu, menjembatani kelas sosial adalah hal sangat susah untuk dilakukan dalam kedua kasus tersebut.”

“Tidak perlu dirahasiakan. Kau boleh mengumbarnya padaku.”

“Hei, kami betulan cuma mengintai musuh sedikit. Sisanya cuma obrolan tentang dunia di sekitar kita.”

“Bukannya itu yang dilakukan pertemanan?”

Ketika Emilia memiringkan kepala penasaran, Subaru memiringkan kepalanya pula. “Siapa tahu?” ucapnya.

Dilihat secara objektif, memang kelihatan seperti halnya persahabatan, namun mana mungkin Subaru dan Julius punya hal itu. Mereka itu lebih buruk daripada teman, tapi Subaru tidak tahu mesti menyebutnya apa.

“Yah, kami bukan teman. Itu yang kupercaya.”

“Ngotot banget ….”

“Betulan, kurasa.”

Emilia terlihat putus asa sedangkan Beatrice sekadar mendesah setuju. Entah kenapa, dua orang itu sinkron sekali sampai-sampai Subaru merasa seolah dirinya entah bagaimana terasing.

Pokoknya, menyampingkan dia temannya Julius atau bukan, Subaru tak berniat memberi tahu Emilia mengenai detail diskusi mereka—yakni, masalah keluarga Astrea. Subaru tidak mau tanpa pikir dua kali membocorkan keadaan pribadi keluarga lain, namun alasan terbesarnya adalah beban yang pasti didatangkan setelah mengetahui informasi semacam itu.

Masalah keluarga Astrea bukanlah masalah yang bisa didekati orang lain setengah niat.

Julius sangat menyadari ini saat mengungkap rinciannya ke Subaru. Julius menilai dirinya sebagai seseorang yang cukup punya pertimbangan hingga tak memberatkan tuannya dengan pengetahuan itu.

Fakta Julius berpikir sebesar itu meninggalkan perasaan aneh dalam dirinya.

“Jadi, Subaru. Aku senang kau mengajakku jalan-jalan, tapi kau ada rencana?”

Kemudian selagi Subaru berkelahi dengan perasaan gelisah yang sukar dikenalnya, Emilia tersenyum dan bertanya.

Sesaat, Subaru mengangkat alis kaget, tetapi segera mengangkat bahu lalu mencoba menjelaskannya.

“Hei, kedengarannya seakan aku merencanakan hal buruk. Aku tidak punya maksud apa pun. Aku hanya ingin berbahagia-bahagia di kota air yang indah-gila ini.”

“Hmm, jadi begitu niatmu? Subaru, jujur, kau ini bersikeras dan keras kepala. Bahkan aku takkan termakan pembicaraan manismu di situasi seperti ini.”

Seketika Emilia cemberut, Subaru menaruh tangan di dahi dengan ekspresi pasrah. Sewaktu melirik Beatrice, hendak meminta bantuan, yang berada di tengah Subaru dan Emilia sekaligus lagi memegang tangan keduanya, dia pura-pura tidak tahu—nampaknya roh itu tidak beritikad memihaknya.

Di sisi lain, sorot mata Emilia tidak bergeming. Subaru menciut cepat.

“Aku paham; menyerah deh. Aku mau mengejutkanmu, Emilia-tan.”

“Kejutan …. Maksudmu, kau mau mengagetkanku dengan hal nyentrik?

“Tidak ada lagi orang yang bilang nyentri …. Hei, maaf, maaf!”

Begitu Emilia cemberut murka terhadap reaksi biasa Subaru, kali ini, dia menyerah sungguh-sungguh. Takut akan tindakan selanjutnya, Subaru mendesak perasaan kecewanya dan menyatakan seluruhnya.

“Benar-benar bukan sesuatu yang kusebut skema. Saat ini, kita ke taman di tengah kota, taman tempat Liliana tampil kemarin.”

“Waw, masa? Kalau begitu mungkinkah Liliana juga akan bernyanyi di sana hari ini?”

“Matamu manis banget waktu berkilauan begitu. Yah, aku pun tertarik sama lagunya Liliana, tapi aku juga pengin mengintai dan memberi Otto tembakan dukungan.”

Subaru tak tahu seberapa besar masalah yang dia timbulkan kepada Otto, pergi bernegosiasi sendiri sama Kiritaka yang kemurkaannya tersulut oleh rencana gagal Subaru kemarin.

Sama sekali bukan karena kurang percaya sama keterampilan negosiasi Otto.

“Tentu saja, sebesar kepercayaanku pada dirinya yang tidak pernah hoki kecuali di detik-detik terakhir.”

“Itu bukannya kau perlu melakukan hal seburuk mengandalkan Liliana lagi …. Yah, persoalan ini menentukan kondisi Puck, jadi aku paham kenapa kau ingin mengambil risiko, kurasa.”

Bahkan Beatrice terpecah antara kegagalan di hari kemarin dan keberpihakannya sama Liliana, tidak keberatan oleh sesuatu yang seakan-akan membantu Puck. Akan tetapi, opini itu menghadirkan wajah tegas Emilia.

“Tapi terdengar kau memanfaatkan Liliana, dan itu ….”

“Aku tahu. Aku kira Emilia-tan akan merasa seperti itu pula. Aku tidak suka-suka amat mengatakan ini, tapi ….”

“Ya?”

“Kupikir mesti mengatakannya saja … Emilia, sekarang dan ke depannya selama pemilihan raja, kita tidak boleh tak hitung-hitungan atau mengabaikan pro-kontra pilihan dan orang-orang. Tentu saja aku juga mau mengikuti keinginan hati.”

“….”

Selagi Emilia merenungkan berbagai pesan tersiratnya, Subaru mencoba menghilangkan kekhawatirannya.

Tidak salah lagi kejujuran, ketulusan, dan dirinya yang senantiasa percaya pada kebaikan orang lain adalah beberapa kebajikan terkuatnya. Tetapi Subaru merasa kebajikan yang didasarkan pada ketidaktahuan juga sama saja kelemahan.

Jikalau kebajikan itu sungguhan bagian diri pribadinya, maka menghapus ketidaktahuan takkan merugikannya—Subaru pengin Emilia belajar dan menjadi lebih kuat tanpa melupakan dirinya sendiri.

Itulah keinginan Subaru tatkala bersumpah untuk menemaninya selamanya.

“Yah, sekalipun mengabaikan seluruh manfaat dan tetek-bengeknya, iya kau berjanji untuk mengobrol dengan Liliana. Kau sangat dekat dengannya, Emilia-tan, jadi bukan berarti kau berbuat hal salah.”

Selagi Emilia terus pikirkan, Subaru melirihkan nadanya sedikit dan mencoba bercanda beberapa kali. Emilia menurunkan mata yang berbingkai bulu mata panjang, kemudian menghembuskan napas sedikit.

“Mm, aku paham. Akan kucoba mengingat yang kau katakan juga. Terima kasih sudah selalu di sini, Subaru.”

Emilia mengangguk dengan ekspresi serius di wajah. “Kau mengerti,” jawab Subaru.

Dia telah menyampaikan semua yang diniatkannya. Tekad yang dia lihat dalam dirinya dan responnya sudah cukup. Di waktu bersamaan, dia merasakan sedikit penyesalan karena terlibat sama sesuatu yang jelas bukan urusannya.”

“Ahhh, mungkin aku mengatakan hal sangat aneh. Tahu tidak? Lupakan bertemu sama Liliana dan kita berkencan saja. Pikirku berlayar sama naga air rasanya teramat romantis.”

“Aku tidak yakin maksud berlayar, tapi nanti kau mabuk laut misalkan naik perahu naga, ‘kan, Subaru? Aku tidak benar-benar ingin berjalan di sekitar kota sambil menggendongmu.”

“Lagian, tamannya sudah tepat di depan kita. Bukankah sia-sia kembali sekarang, ya?”

Biarpun Subaru hampir menyerah, Emilia dan Beatrice memilih bertahan hingga akhir. Taman umum memang sudah terlihat; kali ini, Subaru untungnya tiba di tujuan tanpa tersesat.

Air mancur menyemburkan air, berubah jadi semburan berkilauan diterangi sinar mentari selagi pemandangan sesaat terbentang di hadapan mereka.

Hari ini, banyak orang berkumpul dekat air mancur ketimbang patung peringatan.

“Rasanya semacam pertunjukan ini mempertahankan popularitasnya hari demi hari, tapi ….”

Energi membara penonton memenuhi suasana taman, tapi berbeda jauh dibanding hari kemarin. Alasan utamanya adalah barangkali tepuk tangan yang selaras dengan musik dan nyanyiannya.

“Waw, tampak benaran hidup.”

“Begitulah. Tidak seperti hari sebelumnya, semua ini kedengaran agak gaduh, kurasa.”

Sementara Emilia senang, Beatrice memiringkan kepala ragu, mengungkap sejumlah keraguan Subaru.

Pemilihan lagu penampilannya sendiri kerap kali kontras jauh dengan perilaku biasanya. Metia siaran pagi itu bukan pengecualian. Disertai suara dan lagu, dia bujuk penonton ke dunia lain, menunjukkan penampilan memikat yang memesona semua panca indra.

Akan tetapi, lagu yang sedang mereka dengarkan nampaknya berbeda sedikit dari yang normal.

Ada perasaan resah dari beberapa entitas asing yang menambahkan ketidakmurnian ke campuran segala hal tersebut.

“….”

Ibarat berusaha menentukan elemen disonannya, Subaru tanpa sadar bergabung bersama salah satu penonton di paling belakang.

Pria-wanita, tua-muda, terdapat pusaran gairah yang menyelimuti semua orang yang tersihir oleh lagu sang Biduanita. Mendesak masuk ke barisan, Subaru menuntun Emilia dan Beatrice dengan menggenggam tangan selagi menembus lebih dalam.

Lalu kala muncul di barisan depan, wajahnya mengerut di tengah tepuk tangan meriah.

Warna nada indah petikan terakhir lyulyre mensinyalkan lagunya telah berakhir dan waktunya mengucapkan selamat tinggal kepada musik memabukkan.

Kemudian Biduanita yang barusan menampilkan penampilan memukau, balik badan dan menunjukkan wajah puas yang tersenyum.

“Tariannya indah nian! Melihat gerakan kaki itu nyaris membuat bola mataku terbang!”

“Dan penampilanmu cukup menghibur. Kerja bagus. Sudah lama seorang pemain seni tidak kelewat menghiburku.”

 Seorang wanita berpakaian merah tersenyum menawan selagi berjabat tangan erat dengan Liliana sang Biduanita.

Menyaksikannya, Subaru menghembus napas panjang-panjang saat satu kalimat muncul dalam benaknya.

—bahaya: jangan dicampur.

2

“Aku sangat tersentuh.”

“Tariannya luar biasa benar.”

“Mau lihat lagi!”

Berkomentar ibaratnya tengah difilmkan iklan TV, penonton melambai ke kombo duo Penari-Biduanita kemudian bubar. Mereka setersentuh kerumunan di hari sebelumnya. Mendengar pujian mereka membuat Liliana mendengus puas dengan tingkah bukan Biduanita sama sekali. Tak terduganya, bibir Priscilla melengkung, menunjukkan dirinya dalam suasana hati teramat-amat baik sembari mengipasi dirinya di sebelah Liliana.

“Padahal kupikir Priscilla bukan tipe yang memedulikan kata orang lain ….”

“Duh, aduh, aduh?! Tuan Subaru sama Nona Emilia-kah, Nona Kecil juga?!”

Tepat tatkala mengucapkan selamat tinggal kepada penonton terakhir, Liliana menyadari tiga orang tersisa di taman dan memantul-mantulkan kuncirnya. Cara melakukannya total di luar lingkup pikiran Subaru.

Ketika Liliana berlari, praktisnya terbang di udara, kata-katanya membuat Beatrice menyempitkan alis.

“Aku yakin tadi dengar Nona Kecil. Persisnya apa yang dia maksud tentang ini, ya? Subaru, jelaskan.”

“Sana tanya dia; yang bilang dia. Nih, makanlah gula prem dan jaga tingkah.”

“Pikirmu bisa … jilat, jilat … mengalihkan perhatianku sama ini, ya? Jilat, jilat ….”

Selagi Beatrice menggulung permen dalam mulutnya, Subaru pergi. Dia berbalik ke Liliana berambut dikuncir yang pecicilan di depannya lalu menjambak dengan kedua tangan. “Gah!” teriak Liliana. Tapi itu menghentikan gerakannya.

“Kemarin situasinya jadi sinting, artinya janji kita tidak bisa ditepati, jadi baguslah hari ini kau di sini juga. Sebetulnya, jangan-jangan …. Apa Kiritaka mengeluarkanmu selama dirinya bekerja setiap hari?”

“Mengapa kau simpulkan seperti itu?!! Sama sekali bukan begitu. Tentu saja, Tuan Kiritaka mencurahkan hati dan pikirannya pada pekerjaannya setiap kali ada tugas yang harus dituntaskan, namun dia selalu bilang kalau dia mau aku bahagia melakukan apa pun di luar!!”

“Jadi benar kau sering dikeluarkan.”

Kiritaka punya masalah uniknya sendiri, tetapi caranya menata keadaan. Masuk akal—bila Liliana berada di tempat kerjanya, takkan mungkin siapa pun bisa melakukan percakapan layak.

Dan seandainya mesti menghabiskan harinya entah di mana, maka menghelat penampilan adalah penghabisan waktu yang bagus, tapi—

“—dari tadi, kau menatap tajam diriku, bukan? Ini hal paling kurang ajar.”

Liliana membusungkan payudara tak nyatanya, yang terlampau mirip membelai janggut tak eksis. Di sampingnya, Priscilla menyilangkan tangan bangga memamerkan dada besarnya, mendengus ke Subaru sembari mencemooh jelas.

“Biarpun wajar semisal terpana melihat tarianku, tak boleh tatapan tak senonoh semacam itu ditujukan kepadaku. Kendati pesonaku membuat orang lain kebingungan, orang seperti dirimu hanya diperkenankan menghargainya dari jauh.”

“Asal kau tahu, aku tak melihatmu menari dan tidak juga punya kesukaan seperti itu. Aku lebih suka gadis murni nan cantik layaknya Emilia-tan. Gadis-gadis yang terlalu bertingkah tinggi sepertimu sebenarnya membuatku kurang bergairah.”

“Dasar pria menyedihkan karena memilih blasteran iblis itu alih-alih aku. Biar demikian, aku tak seberpikiran sempit itu sampai melarang selera buruk. Jikalau kau tak tahu definisi kecantikan sejati, lantas tak bisa dipaksakan kepadamu. Namun kelak, aku ‘kan bongkar dunia pikiran sempit itu dengan kedua tanganku sendiri.”

Pendirian mereka bertentangan, tetapi filosofi Priscilla merampas seluruh tekad Subaru untuk membalas. Priscilla anggap dirinya yang pusat alam semesta adalah fakta; pikiran akal sehat Subaru sepenuhnya tiada arti.

“Tapi itu artinya Priscilla lagi menari, ‘kan? Aku benaran tidak menduganya.”

“Kau mesti mengutuk nasib sebab membiarkanmu melewatkannya. Aku tidak menari, kecuali ketika suasana hati menginginkan. Dan jarang suasana hatiku demikian. Lagu artis ini semata-mata memikat bukan kepalang.”

“Sungguhan? Jadi kau pun penggemar Liliana …?”

Subaru mengakui bahwasanya nyanyian Liliana membahana, tapi tidak sampai yang dilihat orang lain. Setahu Subaru, semua gadis yang mendengar nyanyian Liliana telah menjadi sekutunya. Dia memegang rekor sempurna.

Jujur, sekiranya dia bahkan mampu merayu Priscilla, statusnya tidak bisa disangkal.

“Tapi sampai mendatangkan Nona Priscilla dan Nona Emilia, para kandidat pemilihan raja yang jadi isu berkilau hari ini, Liliana bersyukur hingga menitikkan air mata!!”

Walau suasana pertemuan dua rival kandidat membuat tak nyaman, kemampuan piawai Liliana untuk mengatur pasenya sendiri tidak gentar.

Tentu saja, bahkan penyair itu paham hubungan Emilia-Priscilla rapuhnya bukan main. Kekonyolan besar pernyataannya tidak salah lagi disengaja.

“Muahahaha, jadi laguku seluar biasa itu? Oh waaw, aku jadi merona!”

“Setelah dipikir-pikir, mungkin dia cuma tampil sesuai jati dirinya.”

Reaksi malu-malu Liliana memulihkan keraguan Subaru. Pemuda itu menyimpulkan sambil mengangkat bahu bahwa dirinya cuma terlalu memikirkan. Sesudah itu, Subaru tiba-tiba tersadar Priscilla sendirian, tidak dikawal seseorang pun.

“Kau sendirian? Tidak bareng AI atau bajingan kotor itu atau kepala pelayan imutmu?”

“Schult tersesat setiap kali berjalan ke luar pintu. Kesungguhan dan kelucuannya bisa menghibur, tapi hanya itu saja. Ada AI di sisiku berarti menahan komentar kecil menyebalkannya, jadi aku tinggalkan. Adapun bajingan kotor itu, aku tidak tahu.”

“Jadi kau pun memanggilnya begitu, ya …?”

Subaru kaget terhadap balasan tak terduganya. Terkejut melihat betapa buruknya memperlakukan Heinkel sekalipun sudah menerimanya sebagai pengikut.

Benar, dia jelas pantas diperlakukan seperti itu, tapi kalau begitu mengapa membawa Heinkel ke filosofi yang sama?

“Tidak salah lagi alasannya untuk menghiburmu.”

“Alasan adalah hal sepele. Dari awal, dia mendatangiku membawa tawaran, dan aku terima, tidak lebih. Aku ‘kan memanfaatkannya sebagai hiburan selagi bisa, tetapi jika dia tak punya nilai, aku akan langsung membuangnya. Inilah tingkat kepedulianku.”

“Nah, aku penasaran …. Misalkan kau tidak peduli, kau takkan menghajarnya seperti itu, ‘kan?”

Dalam hal ini, apabila AI tak campur tangan, Priscilla mungkin akan memotongnya ketika itu juga lalu pergi. Subaru menebak Reinhard bisa jadi akan ikut campur dan menghentikannya.

“Kalau dipikir-pikir, kau pernah mematahkan rahangku sama tendangan sebelumnya, ya ….”

Di suatu waktu selama perulangan ibu kota satu tahun sebelumnya, Subaru ditendang Priscilla sekali sewaktu memancing kemarahannya. Ingatannya perihal dalam kondisi hampir mati oleh satu tendangannya kembali membanjiri.

Memikirkannya, dia bisa menampung kekuatan tempur besar yang dia tunjukkan di aula.

“Bukannya berbahaya tak menghiraukan AI dan sisa krumu seperti itu?”

“Terus apa, tolong jelaskan, akankah mendadak menjadi ancaman semata-mata karena ketiga pengikutku tidak ada? Perihal keuntungan terhadap keberadaan mereka satu-satunya adalah bisa menatap langsung apa-apa yang di belakangku.”

“Jadi tarianmu sama Liliana di sini cuma kebetulan saja?”

Pertanyaan Emilia membuat Priscilla melipat tangan seraya mendengus.

“Tak seperi jalan-jalan membosankan ibu kota, pemandangan kota ini adalah obat penawarnya kebosananku. Aku sedang menikmati aliran air tatkala lagu artis ini mencapai telingaku.”

“Maksudku, waw, iya, aku tidak tahu harus mengharapkan apa waktu dia tiba-tiba datang dan mulai menari. Biasanya, aku memukul kuat-kuat orang-orang yang terlalu bersemangat sama laguku, dan sebagian besarnya, mereka segera kembali …!”

“Kau benar-benar tidak bersikap bagaikan biduanita sama sekali ….”

Mengusir penyusup dengan lagumu namanya keterlaluan ngegas.

Lagian, satu-satunya kata yang dapat Subaru tuturkan ke Priscilla yang tahu-tahu menari itu, mengejutkan. Mempertimbangkan seantusias apa penontonnya, pastinya penampilan yang cukup bagus.

“Mengumpulkan banyak sekali hati orang-orang lalu mengesampingkanku itu sangat egois. Akan tetapi, itulah daya tarik musikmu. Bagaimana? Maukah melayani sebagai gadis penyanyi pribadiku?”

“Oh, terima kasih, terima kasih banyak!! Aku sangat terhormat dan teramat-amat terhormat kau memujiku! Tapi! Tapi! Dengan hormat aku menolak!”

Undangan Priscilla menunjukkan dirinya menyukai nyanyian Liliana melebihi asumsinya. Biduanita itu tanggapi dengan wajah tersenyum serta penolakan tanpa keraguan.

Seketika, tamannya dilingkupi aura yang menusuk kulit Subaru. Tubuhnya menegang sendiri.

Liliana membuat keputusan menakutkan dan terlampau penting dalam sekejap. Dia tak paham sama sekali karakter Priscilla atau ancaman jauh lebih kejam dan instan yang mampu dilakukan Priscilla. Penyanyi itu sepenuhnya tidak tahu.

“Oh, kau menolakku? Kenapa menolak undanganku?”

Sebagaimana jarum jam, nada suara Priscilla turun satu oktaf begitu menjawab, mata merahnya mendingin.

Bahkan Subaru yang bukan sasaran kemarahannya, merasa bak sebilah pedang ditekan ke tenggorokannya.

Dalam situasi tersebut, situasi sepatah kata mampu merenggut nyawanya, Liliana mengelus alat musiknya.

“Aku Liliana sang penyair. Walaupun aku mampir di kota ini sebentar, tak lama lagi aku ditakdirkan berkelana, pergi ke manapun angin menuntun. Pekerjaan serta jalan hidup yang tidak terikat daratan atau seseorang.”

“Jadi kau menolak undanganku.”

“Ibuku sama, nenek, dan nenek buyut. Itu jalan hidup keluarga kami. Kami tak meninggalkan apa-apa, terkecuali lagu kami di hati orang-orang. Seperti halnya seseorang yang tidak sanggup melawan angin, tidak ada yang bisa menahan kami di satu tempat. Undanganmu membuatku bahagia, tapi aku mesti menolak. Bahkan aku tidak tahu ke mana laguku bergema. Aku menyerahkannya ke angin.”

Mengangkat alat musiknya tinggi-tinggi, Liliana bangganya mengucapkan kalimat tersebut, tiada sedikit pun kebimbangan di wajahnya.

Sikap biasanya—caranya menghinakan semuanya dan konstan memancing kesal orang-orang—tidak terlihat sama sekali. Cuma ada kebanggaan sederhana makhluk yang dikenal sebagai penyair—mereka yang mewariskan dongeng melalui lagu.

“….”

Sehabis mendengar jawaban Liliana, Priscilla melipat tangannya dan menutup satu mata. Lalu mata satunya menatap lurus Liliana, sorotnya lebih merah dari nyala api berkobar-kobar.

Bila ini bahkan gagal menggoyahkan Liliana, Priscilla mendadak menghembuskan napas.

“—baiklah. Tekadmu patut dipuji. Maafkan aku; akulah yang tidak sopan.”

“Tidak sama sekaliiii. Aku benar-benar minta maaf tidak dapat menerimanya.”

Kata-katanya membuat Liliana membusungkan dada dengan bangga seolah hal lumrah untuk dilakukan.

Subaru hanya bisa tercengang. Tak pernah disangka Priscilla akan betul-betul menerima orang lain menentang keinginannya.

“Apa, orang desa kotor? Apa alasan wajah tak menyenangkan yang kau tampakkan kepadaku?”

“Hei, wajahku ini kaget saja. Aku takut karena kukira kau bakalan membelah dua Liliana gara-gara menolak undanganmu ….”

“Kekhawatiran konyol.”

Priscilla meludahkan jawabannya sembari mendengus, tapi betulkah itu?

Hingga mendengar jawaban si penyair, dia percaya penuh haus darahnya Priscilla sudah di ujung tanduk. Bukannya Liliana diampuni hanya karena ujungnya tidak memiring ke arah yang salah?

“Tapi aku juga terkejut sedikit sama Priscilla. Kukira dia semacam orang yang akan melakukan apa pun demi mewujudkan keinginannya.”

Sewaktu itulah Emilia spektakulernya menginjak ranjau darat yang Subaru susah-payah hindari dengan berjingkrak-jingkrak.

Kesan blak-blakan Emilia menjadikan Priscilla mendesah tidak senang.

“Blasteran iblis rendahan, berkenan tidak berhenti mengoceh? Kau tahu apa tentangku padahal tatapan matamu tertutupi begitu? Inilah batas ketidaksopanan dan penghinaan yang bisa dimaafkan

“Gadis ini jagonya membual. Kalau dia masih sempat-sempatnya mengkritik dan menceramahi orang lain karena penampilan luar mereka, Bukankah sebaiknya dia habiskan untuk merenungkan perkataan dan perbuatannya sendiri, ya?”

“Beatrice ….”

Tatkala kata-kata tanpa ampun Priscilla membawakan paras rumit ke wajah Emilia, Beatrice meremas tangannya. Kala balas menatap Priscilla menggantikan Emilia, wanita itu kelihatannya baru menyadari si gadis.

“Kata-kata yang berani bagi seorang gadis kecil. Akan kuberi tahu toleransiku tak tergantung pada usia. Jangan menipu diri dengan berpikir aku akan gelap mata terhadap kurang ajarmu karena kau masih muda.”

“Saranmu tak penting. Apa kau tidak sadar, ya? Gadis kecil, Betty barangkali imut, namun jangan kira hanya imut saja yang bisa dilihat.”

Seketika, percikan permusuhan saling beterbangan di antara Beatrice dan Priscilla.

Dua-duanya memakai gaun, tetapi kecocokan mereka paling buruk. Tentu saja Subaru dipihak Beatrice, namun fakta dia mengajak ribut kandidat pemilihan raja menjadikan keadaan ini problematis.

“Beatrice, tidak apa-apa. Aku baik-baik saja.”

“Mengapa mencoba menghentikanku, ya? Tentu kita tidak boleh membiarkan penghinaannya berlalu tanpa dibalas.”

Takut masalah kian membesar, Emilia berusaha mengendalikan Beatrice, namun roh itu tidak ingin mengalah. Setelah mendengar komentarnya, suatu kesadaran muncul di diri Emilia. Subaru pun sama.

Beatrice tidak murka karena tingkah atau hinaan Priscilla telah mengganggunya secara pribadi. Dia marah sebab Priscilla meremehkan Emilia.

Emilia kelewat tersentuh oleh ini. Tentunya, Subaru juga. “Beatrice, tidak apa. Aku serius. Aku benaran berterima kasih.”

Emilia menggerakkan tangan yang sedang tidak dipegang Beatrice untuk membelai kepalanya. Tindakannya membuat Beatrice sejenak menatap Subaru dan Emilia seorang, matanya berkaca-kaca.

Tapi cuma bertahan satu momen belaka. Segera setelah itu, Beatrice memelototi Priscilla dengan panas baru.

“Aku ikuti keinginan Emilia, kurasa. Kau harusnya bersyukur.”

“Jelas, katakan itu pada dirimu sendiri. Hitung penampilan menggemaskanmu sebagai salah satu berkahmu.”

Dengan napas terengah-engah, Beatrice menahan amarahnya; Priscilla merespon baik dengan menekan aura mengerikannya.

Subaru nyaris merasa kalimat terakhirnya adalah murni pujian kepada penampilan Beatrice. Kau imut, jadi kubiarkan kali ini, yang mana oke-oke saja buatnya. Pemikiran Priscilla tetaplah misteri.

“Kau sungguh wanita yang tidak bisa kumengerti sedikit pun ….”

“Tapi tentu saja. Aku berbuat sesukaku lebih dari semua orang. Betapa sombong memuakkan mencoba memahamiku.”

“Jadi sekarang salahku …? Dari awal, ini semua terjadi karena kau menginginkan Liliana menjadi milikmu sendiri.”

Akhirnya, masih tak jelas apa yang membuat Priscilla melepaskan Liliana dari genggamannya.

Nampaknya sedikit demi sedikit mengumpulkan keraguan di wajah Subaru, Priscilla menyembunyikan bibirnya di balik kipas.

“Segala sesuatu di dunia ini adalah milikku. Karena itulah, aku tak perlu sendirian memiliki semua yang indah-indah, membanggakan, dan bernilai untuk dapat menghargainya. Kadang kala lebih bagus membiarkannya. Itu saja.”

“….”

Bila seluruh dunia ini mejnadi tamanku, di mana kicau burung kecil bernyanyi tak berarti. Tidak hanya biadab tetapi juga sangat tak menyenangkan menaruh mereka semua di dalam sangkar burung demi melindungi dari semua bahaya luar.”

Inilah pertama kalinya Subaru mendengar Priscilla memecah estetikanya menjadi bentuk yang mudah dipahami.

Skala pemikiran yang nian jauh tak tercapai menjadikan Subaru terdiam seribu bahasa.

Subaru tidak gagal memahami maksud atau logikanya. Priscilla semata-mata memandang hal-hal di tingkat yang fundamentalnya berbeda.

Subaru pikir perbedaan ini, atau mungkin skalanya, itu menakutkan. Namun di saat yang sama, perasaan teror itu didampingi kekaguman yang asalnya dari menatap makhluk terlampau kuat.

Dia tidak yakin, tapi barangkali itulah sebabnya AI menemani Priscilla.

“Nah, nah, nah! Karena semuanya sudah tenang, bagaimana bila kupersembahkan sebuah lagu untuk kalian demi menghormati pertemanan kita?! Tapi tidaaaak! Bukan satu lagu, tapi mungkin dua atau bahkan tiga!”

Dengan tarikan cepat senar lyulyre-nya, Liliana membuat proposal mendadak.

“Kali ini, Nona Priscilla seharusnya menikmatinya tanpa perlu menari!! Dan, Nona Emilia, kelihatannya kau datang lebih awal tepat waktu lagunya berakhir!! Yang ini, kita akan bergembira merayakan reuni kita, dan kau akan lihat sendiri di kota ini bagaimana suara nyanyian unik Liliana sampai meloloskannya dari bandit!”

“Waduh.”

“Waw, benaran?”

“Hasilnya tak elegans ama sekali, namun kau puas dengan ini?”

Menyisihkan pernyataan Liliana, tetap fakta bahwa lagunya sekarang ini adalah kunci akan resolusi damainya.

Saat ini, Emilia sama Priscilla berdiri bersampingan dengan perasaan jaga jarak aneh antara mereka selagi bersiap mendengarkan pertunjukan Liliana. Di situasi itulah Liliana memberi isyarat ke Subaru dengan tangannya. Lalu sewaktu Subaru mendekat, dia berbisik lirih.

“Mungkinkah Nona Emilia sama Nona Priscilla tidak terlalu berhubungan baik?”

“Kau bercanda? Semestinya agak jelas dari posisi mereka. Kebetulan, nyaris tidak ada namanya orang yang rukun sama Priscilla, dan dia memperlakukan Emilia-tan semacam itu.”

“Aduh-aduh, ini masalah lumayan serius.”

Liliana menatap langit, ekor rambutnya bergoyang-goyang, menyerupai anjing yang waspada mengibaskan ekornya. Boleh jadi bagian itu terhubung ke sarafnya atau semacamnya. Subaru tiba-tiba merasa mau meraihnya, ditarik, dan diputar-putar.

“Tapi, tapi! Ini, aku ‘kan berusaha sekuat mungkin merayu mereka berdua dengan kekuatan musikku! Ah, tadi, kau memikirkan hal mesum cuma gara-gara kubilang merayu, bukan? Jangan begitu—itu tak senonoh!”

“Dahlah, bisa tidak membuatku merasa kagum dan terhina di satu kalimat?”

Biarpun mendesau, Subaru kagum betapa Liliana dapat mengemukakan pertimbangan seperti itu di tengah kegilaan.

Tujuannya menghilangkan suasana buruk dengan sebuah lagu adalah hal yang bisa Subaru hargai. Faktanya, dia sedikit gusar karena suara Liliana dapat menyulap sesuatu semacam itu menjadi hal tak mustahil.

“Usai bernyanyi, kita akan mengobrol baik-baik, jadi bisa siapkan makanan ringan, Master Natsuki? Bukankah yang manis-manis akan membahagiakan dan mendekatkan semua orang?”

“Tidak juga.”

“Usai bernyanyi, kita akan mengobrol baik-baik, jadi bisa siapkan makanan ringan, Master Natsuki? Bukankah yang manis-manis akan membahagiakan dan mendekatkan semua orang?”

“Apa nih? Kau ini NPC1 yang cuma mengulang kata-katamu sampai seseorang memilih iya?”

Tatkala Liliana dengan keras kepalanya menanyakan hal sama tanpa mengubah ketegangan, nada, atau bahkan pilihan katanya sedikit saja, Subaru menyerah dan berkata iya. Wajah Liliana mencerah, tetapi mengejutkannya, usulnya tidak buruk.

Apabila suasananya membaik, bisa jadi mereka bisa berbincang dengan benar sama Liliana dan Priscilla.

“Jadi selagi Liliana bernyanyi, aku beli minuman. Emilia-tan, tunggu di sini, jaga sikap, dan jangan bertarung selama kepergianku.”

“Yah, aku tak mau adu mulut sama Priscilla juga. Jangan khawatir—akan baik-baik saja.”

Jaga-jaga saja Subaru mengingatkannya untuk berhati-hati, terus Emilia merespon dengan senyum ceria. Tentu saja sekalipun Emilia tak mencari pertarungan, tidak dapat disangkal kemungkinan Priscilla barangkali mengajaknya.

“Beako, jagain Emilia-tan seandainya terjadi sesuatu.”

“Aku paham, kurasa. Lain waktu anak itu mengatakan hal melampaui batas, akan aku ubah dia jadi abu.”

“Jangan juga mencari ribut dengannya, oke?”

Sehabis memercayakan Emilia ke Beatrice yang bisa saja penyebab terbesar kerisauan, Subaru sementara waktu bersiap-siap meninggalkan taman. Namun sebelum itu—

“Priscilla, ada makanan yang tak bisa kau makan?”

“Tidak terduga sekali pria biasa-biasa saja sepertimu bisa perhatian. Baiklah. Andai kau menyiapkanku sesuatu, kau sepatutnya menyiapkan hal pantas. Menyiapkanku hal membosankan, akan kutebas tangan yang menawarkan dan kutaruh di atas kepala.”

“Bukan berarti aku jadi pesuruh gara-gara kalah main batu-gunting-kertas, lantas kau tak berhak bersikap sampai separah itu!”

Subaru memutuskan kala itu juga bahwa kiranya ada orang yang menjual makanan lezat untuk orang lancang, maka itulah yang dia berikan kepada Priscilla.

Di sisi lain, Priscilla merajut alis halusnya menanggapi Subaru.

“Batu-gunting … kertas?”

Dia memiringkan kepala seraya bergumam kebingungan.

Seumpama dia melupakan Subaru, barangkali dia pun melupakan batu-gunting-kertas. Dalam banyak hal, dia adalah wanita sangat sukar untuk didekati.

“Subaru, hati-hati.”

“Misalkan terjadi sesuatu, kau akan panggil Betty, ya?”

Setelah Emilia dan Beatrice menghantarkannya, dia melambai dan buru-buru keluar taman. Pas mencoba mengedipkan mata ke Liliana, dia gagal karena gadis itu sudah terlanjur menutup kedua mata.

“Oh ….”

Tak lama setelah itu, tepat seketika dia sampai pintu masuk taman, dia mendengar melodi lyulyre bergema di belakang.

Dengan suara tersebut di punggungnya, Subaru mempercepat langkah selagi menuju distrik perbelanjaan.

3

—dan sekitar sepuluh menit sesudah Subaru meninggalkan taman …. “Duh, aku ini pecundang sekali. Sungguhan.”

Begitu keluar toko, Subaru melirik produk dalam tas, dan bahunya merosot.

Sehabis berangkat atas nama membeli manisan, Subaru menemukan beberapa toko sesuai dan menyelesaikan belanjanya dalam waktu singkat.

Di tengah jalan, minatnya sementara ditarik jeli gina, makanan khas aneh Pristella, tetapi belum mengumpulkan keberanian untuk membelinya buat Priscilla.

Kedengarannya lebih bagus bilang takut memperburuk hubungan antar fraksi, tapi sebenarnya dia cuma ketakutan.

“Tapi dilihat-lihat mirip jeli belut … aku tak cukup berani mencicipinya, tapi aku suka.”

Memarahi diri sendiri sebab selera pribadi kompleksnya yang bias, Subaru berlari hingga mencapai jalan yang kembali mengantarnya ke taman.

Untungnya, dalam waktu kurang-lebih sepuluh menit kepergiannya, Beatrice belum memperingatkan kalau terjadi hal salah di taman. Mereka barangkali di tengah pertunjukkan tanpa masalah.

Walaupun dia memahaminya, Subaru secara insting mau kembali secepat-cepatnya. Tapi—

“Ups, salahku.”

—saat terlalu cepat berbelok di tikungan tajam, dia hampir mau menabrak seseorang waktu memasuki alun-alun. Selepas hampir menghindari orang-orang lewat, Subaru langsung mengatakan maaf sedangkan pihak lain berteriak, “Aah?” dengan suara yang buruk di telinga.

“Hei, kawan. Begitukah caramu meminta maaf? Sebaiknya kau lebih tulus …. Wah!”

Pria dengan sikap kasar itu hendak mengajak bertarung namun mendadak menyadari Subaru lalu membeku. Di waktu bersamaan, Subaru syok ketika menyadari dia mengenal si pria.

“Hah, Larry-kah? Kelakuanmu masih kayak preman jalanan meskipun sekarang bekerja sama Felt?”

“Oh, bacot! Dan namaku bukan Larry! Kau ngapain di sini?!”

Yang menerbangkan ludahnya seraya komplain adalah Lachins, yang bermain peran penjahat kemarin. Felt bilang, dia diberi tugas dan sedang beraksi independen dalam kota.

“Curly sama Moe tidak menemani? Jarang-jarang melihatmu sendirian.”

“Kau mana tahu apa yang jarang untukku? Kita belum cukup kenal satu sama lain sampai satu perasaan. Hush, enyahlah.”

“Hei, jangan terlalu dingin. Bukannya kita ini teman baik yang telah melewati keadaan hidup-mati bersama?”

“Aku tak ingat itu sama sekali!”

Lachins menatap jijik saat Subaru kelewat akrab.

Bahkan Subaru tak yakin-yakin amat mengapa dia suka sekali sama orang ini. Barangkali karena Sensor Semua Orang Subaru menangkap Larry, Curly, serta Moe sebagai sesama rakyat jelata. Di dunia ini, Subaru telah menemui banyak sekali orang hebat sehingga melihat orang biasa seperti mereka sesekali terasa melegakan.

Meskipun dia pernah dibunuh sekali, kecintaannya kepada mereka betul-betul tumbuh sejak itu.

“Pokoknya! Jangan dekat-dekat denganku! Aku lagi kerja sekarang!”

“Kau bekerja setelah menganggur lama banget … aku sangat senang!!”

“Pergilah!!”

Ketika Subaru menangis, Lachins mendecakkan lidah lalu menepisnya, lenyap ke kerumunan. Subaru merenungkan fakta reaksi dinginnya entah kenapa sungguh melegakan.

Akhir-akhir ini, dia menerima sambutan yang sesuai gelarnya ke manapun dia pergi. Dia cemas akan besar kepala jika tidak sewaktu-waktu dihantam kenyataan seperti ini.

Tentu saja Subaru terlambat menyadari dirinya benaran mengganggu Lachins, lantas dia putuskan akan meminta maaf di kesempatan berikutnya.

“Mm?”

Kemudian, usai Lachins menghilang ke kerumunan, Subaru berbalik dan mulai berjalan, tiba-tiba dia berhenti.

—tidak, tak hanya Subaru yang berhenti. Dalam penglihatannya, banyak orang di alun-alun pun berhenti.

“Apa-apaan—? Semuanya jadi salah, satu per satu muncul hal buruk! Kalian ini lihat apa?!”

Mengucapkan kata-kata tersebut, Lachins merengsek keluar dari kerumunan pejalan kaki membeku. Sebagaimana komplainnya, semua orang berhenti tuk menatap bangunan tinggi di atas.

—bangunan ini adalah puncak menara yang berdiri di belakang alun-alun, teramat-amat menonjol bahkan di kota sebesar itu.

Jam kristal sihir terpasang di bagian atas bangunan; menara waktu yang berfungsi layaknya menara jam.

Menara-menara ini lazim ditemukan di kota kecil dan kota besar, beberapanya tersebar di Pristella. Sederhananya salah satu di antara banyak menara waktu.

 “—kepada semua orang yang perbincangan dan jadwal sibuknya kusela, aku meminta maaf.”

Di bagian atas menara waktu, sosok tunggal muncul dari jendela terbuka dan tengah berdiri di ujungnya tanpa pengaman.

Tatkala seluruh mata tertuju ke orang asing yang berdiri di depan mereka sambil bersikap aneh, suara yang memanggil orang banyak itu gemetaran, tampaknya diliputi emosi sebab menjadi pusat perhatian.

“Tolong pinjamkan aku sedikit waktu kalian. Terima kasih.”

Nada suara yang diawali permintaan maaf serta kalimat terima kasih adalah khasnya seseorang yang lebih memedulikan penampilan ketimbang terima kasih tulus. Semua orang yang mendengarkan telah diserang perasaan tak nyaman, ibarat suarat itu sendiri tanpa ampun mencakar hati mereka.

Perasaan gelisah ini tak salah lagi diperkuat penampilan luar pembicara aneh itu.

Kepala orang ini yang ditutupi bungkus perban robek-robek yang menyisakan satu mata berkilau misterius selagi mengamati dunia di bawah.

Sedangkan pakaiannya, berjubah hitam disertai rantai panjang berujung kait berwarna emas melilit kedua tangan kurusnya. Rantainya diseret di sepanjang lantai selagi si pembicara maju selangkah-selangkah, buru-buru menuju puncak menara.

Melirik para penonton, tak kuasa melepaskan pandangannya dari pemandangan aneh tersebut, dia tersenyum—sekurangnya, suatu kerutan muram di mulut yang disembunyikan perban, Subaru berpikir itu senyuman.

“Terima kasih, dan maaf. Aku Uskup Agung Tujuh Dosa Besar, mewakili Kemarahan—”

Menyerukan pembukaan menakutkan itu, si eksentrik menyuguhkan pengantar.

“—namaku Sirius Romanée-Conti.”

4

Berbeda dengan Uskup Agung lain, suara Sirius itu ramah, karib, bahkan ceria.

Pengumuman aneh yang disampaikan seseorang terliputi perban ini membuat semua orang menatap menara dan tak mampu berkata-kata.

Mungkin sebagiannya gara-gara penampilan ganjilnya, tetapi alasan nyaris pasti lebih besarnya adalah kurang mampunya kerumunan tuk memproses yang baru saja masuk ke telinga.

Tentu saja, alasan ini sekunder belaka. Ada alasan lebih mendasar lainnya.

—bagaimana bisa orang-orang mampu mengalihkan pandangan dari sesuatu yang mengancam hidup mereka?

“Eh, apa—?”

“Dia bilang apa barusan?”

“Kau bercanda, ‘kan? Kultus Penyihir, di sini ….”

Kesadaran serta kekacauan yang ditunda gejolak awal mulai menyebar bertahap-tahap melalui massa.

Namun tidak seorang pun di sana melakukan tindakan pencegahan terbaik. Semua orang yang mendengarkan isi pesannya meragukan telinga mereka, dan satu-satunya hal yang beriak di kerumunan itu adalah kebingungan.

“Hei, barusan bajingan itu bilang apa?! Kalian dengar?!”

Lachins yang melihat Subaru lalu berlari mendekat pun senasib.

Dia memerhatikan kejadiannya selagi menembus kerumunan menuju Subaru yang sama-sama tak bisa memalingkan mata dari si eksentrik walaupun berdiri terpisah dari penonton lain.

Entah apa, Subaru tahu mengalihkan perhatiannya bisa jadi kesalahan tak terperbaiki. Tidak perlu meragukan identitas individu.

—maksud jahat itu sama persis sebagaimana Petelgeuse miliki.

“Ditambah, Romanée-Conti …?”

Nama belakang si eksentrik diperban sebut—Romanée-Conti, seperti halnya Petelgeuse.

Tentu saja karena Petelgeuse itu roh jahat, mustahil punya kerabat sedarah yang namanya sama, tapi—

“Jangan bilang semua Uskup Agung Tujuh Dosa Besar punya marga sama ….”

Eksistensi keluarga Romanée-Conti yang terkenal di Kultus Penyihir yang menghasilkan Uskup Agung dari satu generasi ke generasi berikutnya adalah konsep terlampau miring yang bahkan memikirkannya saja cukup membuat Subaru mengerutkan hidung.

Tanpa pikiran tak krusial yang berjalan dalam kepalanya ini, Subaru pasti sudah naik pitam.

Seorang Uskup Agung Tujuh Dosa Besar di sini. Bukan Kerakusan yang dikejar-kejarnya, melainkan Uskup Agung lain di sini.

“—harus ditangkap terus suruh ungkapkan.” ‘Kan dia kobarkan jalan menuju Kerakusan apa pun caranya.

Dengan keputusan itu, Subaru menenangkan hati membaranya. Secara bersamaan, dia fokus pada tautan dengan Beatrice dalam dadanya. Memanggil dirinya, Subaru dapat menyampaikan telah terjadi hal buruk. Inilah ikatan kuat yang mengikat kontraktor dengan roh terkontraknya.

 Di bagian terdalam tubuhnya, dia genggam kemudian ditarik ke arahnya sekali gerak—

“—cukup sudah!”

“—?!”

Namun usahanya menghubungi Beatrice dihentikan, tiba-tiba digagalkan suara rusak nan kering.

Inilah suara tepuk tangan si eksentrik diperban. Napas Subaru tercekat oleh suaranya yang kelewat keras sampai-sampai bak menjangkau setiap sudut kota dan mengguncang alun-alun itu sendiri.

Selanjutnya melihat ke bawah menuju banyak orang membeku kaget, satu mata terekspos eksentrik itu berkeliaran.

“Butuh waktu 22 detik sampai semua orang terdiam. Namun terima kasih sudah melakukannya. Maaf. Aku juga sangat senang. Dan ….”

Menyelipkan sarkasme di ucapan terima kasihnya, orang eksentrik—Sirius—merapatkan kedua tangannya selagi tubuhnya bergoyang-goyang. Sirius nampaknya benar-benar menikmati tampilan itu, tetapi rantai terlihat tajam tersebut yang tergantung di kedua tangannya terus merusak kesan. Suara sumbang kait yang menggesek platform menara plus rantai bergesekan dinding benar-benar menggerogoti telinga.

“Kau dan kau di sana, kalian berdua di sana pula, Maaf. Janganlah marah. Aku sampaikan tutur maaf tulusku karena menyita waktu berhargamu. Maaf, dan terima kasih.”

“Itu …!”

Sirius menggeliat sembari berusaha sebaik mungkin menunjukkan ketulusan.

Alasan satu-satunya Subaru tidak langsung berteriak, Ini bercanda?! lalu melancarkan serangan adalah karena dia termasuk orang-orang yang tadi ditunjuk Sirius, mendesak mereka untuk jangan marah-marah.

Subaru mendapati ketiga orang lain yang ditunjuk Sirius—pria manusia hewan dengan pedang di pinggul, seorang wanita berpenutup mata, juga Lachins—semuanya memucat. Boleh jadi hanya mereka petarung di sini.

Ini tak salah lagi peringatan: Tanda permusuhan apa pun, Sirius akan membungkam mereka terlebih dulu.

Merasakan keringat bercucuran di alisnya, Subaru mengutuk jalan buntu yang dia alami.

Membiarkan Kultus Penyihir bertindak duluan adalah langkah keliru buruk. Termasuk Subaru, sejumlah tiga puluhan orang di alun-alun, terperangkap bidang pandang Sirius—bukan angka sedikit.

Satu gerakan salah, bakalan ada pembantaian instan.

Semua orang yang ditunjuk jari Sirius memahami ini, memblokir gerakan mereka. Dari ekspresi di wajah pahitnya, Lachins-lah satu-satunya orang yang ragu-ragu membuat keputusan.

Lachins bisa jadi punya kartu as—spesifiknya memanggil Reinhard.

Andaikata dia sanggup melakukannya tepat waktu, tiada orang yang mampu mengalahkan Reinhard. Pasti dia akan menuntaskan masalahnya dengan sekali serang—akan tetapi, pengorbanan yang diperlukan sampai dirinya tiba tidak bisa dikembalikan.

Misalkan Lachins tak menghiraukan korban jiwa, dia bisa menangani Sirius dengan memanggil Reinhard … karenanya batinnya kacau.

“Iya, terima kasih. Nampaknya semua orang sudah tenang sedikit. Aku mengerti kalian semua resah. Mendengar kalimat Kultus Penyihir tak pernah tidak meninggalkan kesan buruk. Maka dari itu bahkan aku pun tak memintamu mengabaikan ini. Aku hanya ingin kalian semua meminjamkan waktu sebab ada sesuatu yang mau aku pastikan.”

“Apa …?”

“Maaf; dimohon jangan berisik. Aku tidak terlalu pintar, jadi sekiranya semua orang bicara bersamaan, aku tidak tahu harus berbuat apa. Nanti jadi sedih. Itu tidak bagus, ‘kan? Tapi seumpama ada yang salah, tolong beri tahu. Aku akan berusaha sebaik mungkin menjawabnya demi semua orang.”

Sirius yang bersikukuh menjaga hubungan baik pura-puranya dan cara bicara yang agak logis itu semakin-makin meresahkan situasinya.

Sebagian besar orang pun mendapati selera mode Sirius yang memerban seluruh bagian tubuh kecuali mata kiri dan bibir, bisa diduga tak mengenakkan. Dan kalau kewaspadaan tentang ini membuat semua orang tertegun—

“Bisa kupercaya kata-katamu dan ajukan pertanyaan?”

Tatkala rasanya tidak ada yang ingin berinisiatif dan menonjolkan diri, Natsuki Subaru mengangkat tangan begitu saja.

Biarpun merasakan gelombang kejut menyebar di sekelilingnya, dia tak memindahkan pandangan dari Sirius yang masih berdiri di atas kepala. Menatap Subaru, Sirius membuka mata ungunya lebar-lebar.

“Iya! Kau yang di sana, tolong bertanya. Terima kasih. Padahal sebelumnya kau marah sekali, namun kini kau berkenan bicara denganku. Sungguh kesempatan membahagiakan. Tanyakan aku apa pun.”

“Aku tidak yakin kau menginginkan apa, tapi ada beberapa gadis lagi menungguku, empat orang lagi. Aku penginnya mengkelarkan ini secepat mungkin terus balik ke mereka.”

“Aduh! Itu mengerikan; aku mohon maaf. Tentu saja, kita mengganggu gadis-gadis ini dan memberikan mereka kesedihan atau bahkan penderitaan. Itu sangat parah sampai tak termaafkan.”

“Anu, maaf?”

Seraya bicara, riangnya suara Sirius telah hilang, tatapannya mulai jahat, dan tersentak kaget sewaktu suara bingung Subaru memanggil.

“Oh tidak, oh tidak, aku hendak emosional. Maaf. Aku benar-benar berusaha berhati-hati, tapi aku ini gampang kegirangan. Terima kasih atas perhatianmu.”

“… nah, tidak apa. Aku bersyukur kita punya percakapan menyenangkan dan tenang.”

“Maaf kau mesti begitu perhatian. Terima kasih. Tapi tidak apa-apa. Aku terkenal sebagai salah satu anggota cekatannya Kultus Penyihir. Aku cukup menyesal para anggota lain adalah anak-anak menyusahkan.”

Sesuatu mengejutkan muncul dalam diri Subaru selagi mengagetkannya terus berbincang koheren dengan Sriius.

Sikap lembut tak dikira-kira, desakannya yang menjaga biar percakapan tetap berjalan, dan dampak pertemuan awal telah menyisihkan fakta ini, tetapi Sirius, orang misterius yang berdiri di atas menara, adalah seorang wanita.

Dilihat kain putih panjang melilit kepalanya dan bagaimana penampilannya mencolok dibanding jubah hitam standar kultus, seluruh tubuhnya barangkali ditutupi perban. Sekalipun demikian, Subaru mendapati suatu tonjolan di dada tubuhnya yang tinggi dan ramping.

Dikombinasikan cara bicaranya meyakinkan Subaru bahwa Sirius itu perempuan.

“….”

Membuang persoalan jenis kelamin, perkataan serta tindakan Sirius tidak memperlihatkan ancaman langsung sekarang ini.

Awalnya, Subaru sangatlah waspada, tetapi sesudah bicara dengan Sirius sebentar, dia sadar dirinya terlihat lebih mendekati manusia daripada Priscilla. Ketegangan awal ekspresi semua orang telah hilang, menyisakan orang-orang yang lebih tertarik pada niat sesungguhnya Sirius alih-alih risau dan takut.

Terlepas kebencian yang sepatutnya dia simpan terhadap Uskup Agung Tujuh Dosa Besar, Subaru tidak terkecuali.

“Terima kasih; aku betulan minta maaf. Sungguh, aku tak berniat mengejutkan semua orang. Namun hatiku senang kita bisa melewati ini dan kini kalian bersedia meminjamkan telinga.

“Kami bukannya menerima atau memaafkanmu, tapi banternya kami akan mendengarmu dulu.”

“Kurasa boleh-boleh saja. Baiklah, langsung masuk poin alasan kedatanganku di depan kalian seperti ini.”

Selagi menggoyangkan tubuh dan menggosok rantai di kedua tangan, suara bernada tinggi merobek udara di sekitar mereka.

Setelah dia lihat baik-baik, penampilannya lebih ke lucu ketimbang seram. Misal Subaru menganggapnya semacam badut atau penghibur, dia tak bisa tidak bertanya-tanya dirinya benar-benar berbeda jauh dari orang seperti Liliana atau tidak.

Ekspresi Subaru melunak, lalu dinding kewaspadaan yang dirinya bangun dalam hatinya pelan-pelan runtuh.

Sepertinya tidak wajib lagi memanggil Beatrice. Dia akan mendengar Sirius kemudian memintanya pergi dengan tenang.

—damai dan baik-baik, tak membuat masalah apa pun. Bukankah itu bagus?

“Jadi kau ingin menanyakan apa?”

“Iya, iya, cepat tanya saja!”

“Itu benar, itu benar. Jika kau tidak cepat-cepat, aku nanti terlambat bekerja.”

Seketika Subaru mendorongnya melanjutkan pembicaraan, orang-orang di sekitarnya berteriak, hampir mengejeknya.

Orang terakhir menunjuk kristal waktu di atas kepala Sirius, tindakan yang cukup memancing tawa terbahak-bahak. Gelombang tawa membuat Subaru tanpa sadar mengendurkan bibir.

Suasana bersahabat membuat Sirius tersenyum merona sembari menekan pipi seakan tidak tahu hendak melakukan apa.

“Maaf, maaf sekali. Aku sangat minta maaf. Aku tahu kalian semua lagi buru-buru. Tak lama lagi akan selesai, jadi tolong bersabarlah sebentar lagi.”

“Kubilang, cepatlah—!”

“Iya! Baiklah, akan kulakukan. Err, kau tahu, ada sesuatu yang mau kupastikan. Ingin kuutarakan … perihal cinta. Ohhh, aku malu banget.”

Dihalangi perban, Subaru tak bisa melihat warna wajahnya, tetapi telapak tangan Sirius menutupi wajahnya agar malu-malunya tak terlihat. Gerak-gerik itu spontan membuat Subaru tertawa-tawa. Dia nyengir total begitu suasana menghangatkan di sekitarnya berangsur-angsur menginfeksi orang lain, membuat Sirius makin gemetar malu.

“Aku—aku menduga semua orang akan tertawa, tapi sekalipun begitu, aku tidak dapat menatap wajahmu. Tapi terima kasih sudah mendengarkan. Terima kasih, juga, aku punya permintaan.”

“Permintaan?”

“Maaf nian. Bisakah kau bersabar menemaniku selagi mencoba memastikan cinta?”

Gelisah, Sirius menggosok rantainya secara bersamaan selagi memintanya.

Pemandangan menyedihkan tersebut mendatangkan kata-kata, itu saja? dari para pendengar. Faktanya, Subaru pun tak merasa keberatan. Hatinya dihangatkan pemandangan itu, dia mengangguk sopan.

Setelahnya, Sirius mencerah, matanya berbinar-binar sambil bertepuk tangan.

“Masa?! Terima kasih, terima kasih, dan juga aku minta maaf. Dunia ini benar-benar baik. Baik dan dipenuhi cinta. Aku bersyukur bisa menikmati perasaan seperti ini. Kita bisa mengizinkan dan memperkenankan satu sama lain. Karena itulah aku tidak cuma bilang terima kasih tapi maaf pula.

“Kami paham! Sirius, kau saat ini mau melakukan apa?”

“Ahhh, maaf!”

Sirius terlihat terlampau tersentuh ketika seorang pendekar pedang wanita berpenutup satu mata mencemoohnya. Suaranya santai, seolah sedang bicara sama seorang teman yang sudah dikenalnya selama sedekade atau teman sekelas di sekolah perempuan, yang kelihatannya membantu Sirius rileks.

Bak akhirnya teringat sesuatu, Sirius berjalan ke jendela menara waktu tempat kemunculannya, tangan diulurkan ke dalam bangunannya.

Setelah itu—

“Aku sangat menyesal membiarkan kalian menunggu. Ayo—di sebelah sini.”

“…!!”

Memanggil dengan suara lembut, Sirius menarik sesuatu dari balik jendela.

Yang meronta-ronta di lengan Sirius adalah sesosok anak kecil tengah mengerang—anak laki-laki yang usianya masih dini, seluruh tubuhnya terikat kuat.

Anak itu, yang sekitar sepuluh tahun, dikekang rantai dari mata kaki sampai bahu; rantai yang menggigit mulutnya meneteskan darah. Dia mati-matian menggerakkan yang sanggup dia gerakkan di atas leher, air mata mengalir dalam wujud semacam permohonan terendam.

“Aku betul-betul minta maaf ini kelewat membelenggu. Tapi kau ini laki-laki, jadi tidak boleh menangis. Aku maunya merahasiakan ini di antara kita, tapi kau sedang basah kuyup. Semua orang jadi tahu aibmu sekarang.”

“Nn—! Nnn!!”

“Iya—! Itu memalukan—!!”

“Kau ini laki-laki! Jangan menangis, jangan menangis!!”

“Cuma ada tiga masa seorang pria menangis di hidup mereka, hahaha!”

Suara-suara hangat memanggil anak laki-laki yang menangis begitu penonton bergabung dengan Sirius ketika mencoba menghiburnya.

Mengatasi desakan takut dan menangis dari kengerian kecil adalah sesuatu yang semua orang mesti lalui. Tidak ada niat jahat dikaitkan, tetapi ada sejumlah komentar agak kurang halus.

“Iya, iya, semuanya, tolong jangan katakan itu. Tentu saja, dia sedikit takut saat ini, tetapi anak ini teramat-amat pemberani. Bukankah begitu, Lusbel muda?”

Seluruh tubuhnya yang diikat rantai, anak itu pastinya sedikit berat, namun Sirius mudahnya membawanya dengan satu tangan. Membelai lembut rambut kastanye anak laki-laki itu, Sirius hadapkan dirinya ke kerumunan seraya memuji keberaniannya.

Lusbel—anak laki-laki yang menggeliat sekuat tenaga berusaha melepaskan diri dari tangan Sirius. Kontrasnya terlihat lucu dan menggelikan, memohon-mohon pada seseorang untuk menertawakan betapa lucunya dia nampak.

“Ya! Baiklah, boleh minta perhatian semua orang? Ini Lusbel Callard muda. Dia orang lokalnya Pristella. masih sembilan tahun. Aduh, calon masa depan yang bagus.”

“Nn! Nnn!!!”

“Ayahnya Muslan Callard. Dia seorang pengamat saluran air kota. Ibunya, Ina Callard, tepat sekarang ini sedang hamil dan proses perkembangan janin. Akankah Lusbel diberkati adik laki-laki atau perempuan …? Pikiran yang cukup membahagiakan terlepas mana di antara keduanya yang lahir. Lusbel muda punya seorang teman masa kecil, gadis pirang imut berambut keriting bernama Tina yang akrab sekali dengan dirinya. Karena dua anak ini sangat perhatian dengan satu sama lain, aku menghabiskan banyak waktu merenungkan siapa yang harusnya kubawa ke sini. Awalnya, kupikir ingin membawa Tina, tapi Lusbel amat bersikeras memintaku, alhasil bagian terdalam diriiku tersentuh …. Maka dari itu, aku menuruti antusiasme Lusbel muda dan membuatnya bekerja sama denganku. Dia ini anak yang sangat pemberani. Kalian mengerti itu sekarang, bukan?”

Sesaat, kisah keberanian Lusbel disambung keheningan murni.

Tetapi sesaat kemudian, tepuk tangan meriah bergemuruh di alun-alun. Para penonton memuji keberanian Lusbel, menyesal telah menertawakan air matanya, sebab dia adalah pahlawan sejati.

—tidak, bukan itu. Bukan waktunya merasa sedih pada kecerobohan mereka. Melainkan waktunya memuji keberanian.

“Lusbel, jangan menangis! Kau yang terbaik!”

Itulah sebabnya Subaru mengangkat suara, merayakan kepahlawanan bocah yang menangis tersebut.

“Itu benar, jangan menangis! Kami tahu kau punya keberanian, jadi bertahanlah sampai akhir, bocah!”

Selain Subaru, Lachins meneteskan air di sudut matanya selagi bersorak sungguh-sungguh pada si bocah.

“Benar, lanjutkan, Lusbel! Kaulah kebanggaan Pristella!”

“Lusbel! Kau luar biasa! Aku yakin kau akan jadi pria baik!”

Menyatu, para penonton memenuhi alun-alun dengan sorak-sorai, tepuk tangan, serta pujian untuk pahlawan mereka, Lusbel.

Pemandangan indah kebajikan manusia ini dimungkinkan keberanian juga dedikasi seorang anak laki-laki. Tidak peduli seberapa tak pantasnya dia terlihat, keberanian sejatilah yang melahirkan cahaya sungguhan.

“Ahhh, ahhh … terima kasih, teirma kasih! Ahhh, ini sangat indah! Kalian semua mengerti. Aku yakin kalian akan percaya pada keberanian Lusbel! Lagi pula, tindakannya adalah tindakan cinta! Kukira dengan mengenalnya, kalian akan mencintainya juga! Semakin memahami, makin dalam kalian mengenalnya—pemikiran kalian menjadi satu, dan itulah cinta!”

“Terima kasih, Sirius! Terima kasih!”

Sirius mengangkat Lusbel tinggi-tinggi dengan kedua tangannya, perban di wajahnya dibasahai air mata. Melihat ini, Subaru tak mampu menahan air mata panas yang bahkan tidak disadarinya sampai beberapa waktu lalu.

Dia merasa bahunya ditotol. Selain dirinya, Lachins menunjuk Subaru dan menertawakan air mata mengalir bebasnya. Selagi melakukannya, air matanya pun menetes ke pipi, dan tidak lama setelah itu, semua orang di alun-alun dikuasai emosi serupa.

Momen itu, hati semua orang benar-benar menyatu. Mereka dihubungkan ikatan tak terbantahkan.

“Perpecahan lahir karena tidak kenal satu sama lain. Konflik bangkit sebab tidak memahami satu sama lain. Dan tatkala kita menyerah karena saling berlainan, ikatan tidak bisa ditempa. Semuanya, hati kalian bagaimana sekarang?”

“Tidak begitu sama sekali! Tak seorang pun dari kami menyerah! Hati kami jadi satu!”

“Terima kasih! Terima kasih! Kalau begitu kuanggap semua orang bahagia sekarang?”

“Benar banget! Pertama kalinya aku merasa seperti ini! Terima kasih, Sirius! Lusbel!”

Disertai suara kagum dan tepuk tangan yang diarahkan padanya, Lusbel terisak-isak di titik tertinggi menara waktu. Akhirnya, tanpa mengindahkan luka di sudut mulutnya, bocah itu berdarah seraya putus asa meninggikan suaranya.

“Gu, gii! Aurr!! S-seee … se—la … mhhh …!”

“Lusbel muda, mereka memuji keberanianmu; memuji cinta! Lihatlah ke bawah. Teramat banyak orang mengagumimu. Ahh, terima kasih! Aku sangat minta maaf, Lusbel muda. Barangkali bukan ini niatmu. Namun kini aku tahu. Dunia memang tempat yang baik!”

Memeluk Lusbel yang dia pegang tinggi-tinggi, Sirius menoleh ke langit sambil melanjutkan dengan suara keras.

“Ya, sungguh-sungguh ada cinta di dunia ini. Hati semua orang menjadi satu. Perasaan bahagia mereka sama. Tidak ada yang butuh tragedi. Dunia yang mewajibkan tangisan semua orang itu mengganggu. Emosi terbesar akan datang kala hati semua orang bersatu! Tidak ada yang butuh tragedi! Tidak ada yang perlu Kemarahan!”

“Itu benar! Tidak ada yang butuh tragedi!”

“Ahhh, Kemarahan keji yang menggetarkan hatiku! Kemurkaan, dengan kata lain, amarah! Jika ini benar-benar salah satu Tujuh Dosa Besar yang menimpa hati manusia, andaikan ini takdir yang takkan pernah bisa disingkirkan, maka harus mengisi hati kita dengan suka cita besar hingga penuh! Sebagaimana memenuhi hati semua orang tepat saat ini!”

Membiarkan ludahnya terbang, Sirius membagikan yang dia pelajari mengenai cinta dari tempat tinggi ibaratnya penghakiman surga itu sendiri.

 Lalu dari lengan terangkatnya, dia lempar ke langit keberanian yang mendapat kecemburuan semua orang.

“Boleh pinta tepuk tangan kalian?!”

Sirius melempar Lusbel ke langit di panggung terbesar yang bisa dibayangkan.

Melihat anak laki-laki itu terbang ke matahari, semuanya bertepuk tangan. Subaru menyatukan tangannya berkali-kali sebisa mungkin.

Terdengar tepuk tangan riuh, memberkati Lusbel tatkala dirinya melayang di langit.

Tubuh mungil itu berputar-putar di udara, akhirnya mencapai puncak lemparan, selanjutnya terus terjun lurus ke tanah. Dia terbalik, jatuh kepala duluan menuju bebatuan persegi yang diaspal.

Penonton-penonton mengosongkan titik dampaknya—bertepuk tangan tanpa henti, menunggu kembali kejatuhan jayanya.

“Nnnn!!”

Mengangkat kepala, Lusbel memelototi tanah mendekat itu dan berteriak.

Kendatipun tenaga Lusbel mestinya sudah habis, dia meronta-ronta liar, habis-habisan berjuang sampai paling akhir. Mereka merasa melihat sekilas seorang manusia yang benar layak dipuji, para penonton meneteskan air mata.

Berikutnya—

“—ahhh, dunia yang baik sekali!!”

—persis sebelum dampak, Sirius berteriak.

Mendengar suara tersebut, tepuk tangan penonton menjadi satu, kian besar dan besar seiring gelegar gemanya.

—setelah itu kedengaran suara sesuatu keras dan rapuh pecah, bagai telur yang jatuh ke lantai. Penglihatan semua orang serba warna mereha.

Jatuh kepala terlebih dahulu ke permukaan keras, seluruh tubuhnya remuk, yang dulunya Lusbel telah berubah menjadi tumpukan daging merah. Gumpalan darah tebal tersebar di alun-alun ke segala arah seketika sang pahlawan dengan spektakuler terpisah-pisah.

Lalu sesudah menyaksikan ini—

“—bhhh.”

Layaknya tepuk tangan yang tidak ingin berakhir, suara telur pecah tak terhitung jumlahnya bergema di seluruh alun-alun.

Tanah tenggelam genangan darah merah. Demikian akhirnya.

5

“Usai bernyanyi, kita akan mengobrol baik-baik, jadi bisa siapkan makanan ringan, Master Natsuki? Bukankah yang manis-manis akan membahagiakan dan mendekatkan semua orang?”

Tepat sehabis mengira dirinya berkedip, dia melihat seorang gadis berkulit zaitun menembaknya dengan kedipan canggung.

“….”

Selagi melihat gadis itu menjulurkan lidahnya dengan lagak bercanda, Natsuki Subaru lupa bernapas.

Ketika mengalihkan pandangan goyahnya, dia lihat seorang gadis berambut perak tersenyum lembut nan menawan di sampingnya, ditambah lagi berdiri seorang gadis berkepala merah, lengan disilangkan dengan ekspresi arogan di wajah.

Selanjutnya menyadari kehadiran gadis kecil bergaun tengah memegang tangannya—

“Err, ada yang salahkah? Mengabaikan? Kau mengabaikanku? T-tolong hentikan; itu menyedihkan bukan main …. Aah, henti—hentikan …. J-jangan mendesau setelah mendengarkan laguku …. Wajahmu jangan sedih begitu; maafkan akuuu …!”

Seketika Subaru terdiam, gadis di depannya—Liliana—gemetaran canggung seolah-olah mengalami semacam trauma.

Subaru menatapnya, lalu bibir kakunya gemetaran.

“… aku mual.”

“Apa—?! K-kok bisa?! Teganya kau melihat wajah seorang gadis dan mengatakan hal sebengis itu?! Liliana tidak pernah dipermalukan seperti ini sebelumnya!! Aduh, atas nama ibu Master Natsuki, aku sepenuhnya malu padamu!! Sepenhnuhnyaaahh!! Mhhaaaalluu!!”

Ketika Liliana memalsukan air mata sedihnya, mulutnya berdarah dari cara mengesankannya menggigit lidah. Pemandangan konyol dan lucu asli, tapi Subaru tidak dapat tertawa meskipun ingin.

Kepalanya berat. Penglihatannya berkedip-kedip. Tidak mampu berdiri, dia berlutut waktu itu juga.

“Subaru?! Ada apa?”

“Sebentar—apa yang terjadi, ya?! Subaru, Subaru?”

Beatrice yang memegangi tangannya, serta Emilia di sebelahnya menatap wajah Subaru yang menyentuh lantai.

Kemudian dengan wajah pucatnya bukan kepalang sampai-sampai dua orang itu tersentak, Subaru—

“—aku mual.”

Bahkan lebih parah dari perulangan tahun kemarin, dia bingung harus bagaimana memproses kematiannya. Lututnya terus gemetaran sementara mualnya naik.

“Aku mual.”

Syoknya hampir mustahil ditahan. Dia dilawan suatu perusak yang membuat bagian dalam perutnya bergejolak. Pikiran dan raganya diterpa gelombang mengamuk kehilangan. Natsuki Subaru diselimuti rasa jijik yang bahkan melampaui kengerian akan kematian.

Dalam ingatannya waktu sebelum kematiannya, masa lalu terasa bak sekejap mata baginya. Subaru ingat bagaimana kerusakan jiwanya telah menghapus pikirannya dan menjadikannya tak bisa mengenal keabnormalan itu. Lalu mengingat tingkah misterius utusan kekejian tersebut.

—Uskup Agung Dosa Besar Kemarahan, Sirius Romanée-Conti.

Tidak ragu lagi, makhluk itu salah satu Uskup Agung Tujuh Dosa Besar, satu kaum dengan Kemalasan, Keserakahan, dan Kerakusan. Mereka pengantar keburukan dan kehancuran, perwujudan mimpi buruk yang seharusnya tidak ada.

Perasaan kehilangan diri, berhenti menjadi diri sendiri sampai akhirnya kembali, adalah perasaan pertama bagi dirinya.

“Aku mual.”

Pengalaman mengerikan tersebut membuatnya bergidik. Merasa merinding, Subaru gemetar tak terkendali.

Laksana teman lama merayakan reuni mereka, kematian telah mencakar Natsuki Subaru bercacah-cacah.

Terlebih, Subaru belum menyadarinya.

Dia tidak lebih dari sepuluh menit sebelum kejadian kematiannya, dari waktu dirinya barusan kembali.

Batas waktu menghampiri lagi, dari titik kebangkitannya, mengatupkan gigi kemudian bertarung.

Pusaran kematian membungkus Natsuki Subaru sekali lagi.

Dimulailah. Faktanya, telah dimulai.

—perulangan tuk melewati hari terburuk dalam hidupnya telah ditetapkan di Kota Bendungan Pristella ini.

Catatan Kaki:

  1. Karakter non-pemain (bahasa Inggris: non-player character, disingkat NPC) adalah karakter dalam permainan atau permainan video yang tidak dikendalikan oleh pemain. Istilah ini berasal dari permainan peran meja tradisional (tabletop) yang merujuk pada karakter yang dikendalikan oleh gamemaster atau “wasit” daripada pemain lain. Dalam permainan video, istilah ini berarti karakter yang dikendalikan oleh komputer (dan bukan pemain) yang memiliki serangkaian perilaku yang telah ditentukan dan bisa memengaruhi gameplay, tetapi belum tentu kecerdasan buatan yang sebenarnya.

Share this post on:
Subscribe
Notify of
guest
1 Comment
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments