Share this post on:

Bab 4 – Ketenangan yang Ramai

Penerjemah: NieR

1

Keesokan paginya, Subaru yang bangun dengan semangat tinggi, berdiri di taman sambil disinari matahari.

Menikmati sensasi bebatuan bulat di bawah telapak kakinya, Subaru mengisi paru-paru dengan udara pagi menyegarkan seraya, “Nnn—!” sembari meregangkan punggung. Pemandangan itu menarik senyuman Emilia yang berdiri di sebelahnya.

“Ada apa, Subaru? Suasana hatimu benaran baik pagi ini. Hal baik terjadikah?”

“Rambut dikepang bergelombang Emilia-tan imut banget pagi ini, jadi sangat layak menghabiskan sedikit waktu mengepangnya sebelum tidur semalam.”

“Begitu, ya? Leganya. Tadi malam kau terlihat kayak memikirkan sesuatu.”

Tersenyum selagi mengatakan itu, Emilia lembutnya membelai rambut perak bergoyangnya.

Sebagaimana rencana mereka di malam terakhir ketika kepang Emilia dilepas, Subaru menambah fitur gelombang mini ke rambutnya. Gaya rambut normalnya tentu saja manis, tapi seorang gadis cantik dari waktu ke waktu punya hak istimewa mengubah aksen pesonanya.

Tetap saja faktanya dia menyebabkan banyak sekali masalah kemarin. Dan jelas dia masih merenungkan kesalahannya di Perusahaan Muse, tapi hal ini berbeda dari hal itu.

“Aku cuma harus menerimanya dengan konsekuensi yang pantas …. Beako, kau kenapa pagi ini cemberut seperti itu?”

“Aku tidak cemberut atau semacamnya. Bisa tidak asal bicara, ya?”

Memalingkan wajah, Beatrice duduk di teras sambil menatap Subaru dan Emilia.

Bukan apa-apa, yang ngotot dia tampakkan, tapi gadis itu tidak bicara sepatah kata pun sejak bangun pagi ini, dan lebih parahnya lagi, dia terus-menerus melihat sekeliling dengan gelisah. Meskipun dia bilang jangan khawatir, Subaru tidak bisa tidak khawatir.

“Tidak manis kalau kau keras kepala seperti itu. Misalkan ada yang mencemaskanmu, mari cemaskan bersama. Aku sudah bisa diandalkan, tahu.”

“Aku mau menolak beberapa perkataan Emilia. Tapi ….”

Menatap curiga Emilia selagi gadis itu menekan dadanya, Beatrice berhenti melawan di hadapan tatapan keduanya. Dia menyentuh salah satu gulungan rambut, lalu jarinya memutar-mutar seraya bicara.

“Sebenarnya, salah satu anggota staf penginapan bilang sesuatu kepadaku, kurasa. Karyawan ini bilang Betty yang saat sedang sendiri bahwa di penginapan ini muncul sesuatu bukan manusia saat malam hari yang ditandai bisikan pelan.”

“Ohhh, sesuatu bukan manusia?”

“Awalnya, Betty tertawakan, kurasa. Tapi untuk sekadar jaga-jaga, Betty berwaspada. Kemudian benar saja, apa tidak terjadi sesuatu tadi malam, ya?”

Jedug, jedug ….”

Tertarik kisah Beatrice, Emilia menekan tangannya ke dada selagi matanya bergerak ke sana-kemari. Dari reaksi Emilia betul-betul tertarik sedangkan suara Beatrice kian heboh.

“Di tengah malam, Betty terbangun karena kehadiran aneh. Dan benarkah Betty pelan-pelan menyelinap keluar kamar biar tidak membangunkan Subaru yang wajah tidurnya bodoh, ya?”

“Jangan menatap wajah tidur orang. Itu songong.”

“A—aku tidak menatap! Memangnya tatapanku tidak setipis dan seanggun salju, ya?!”

Beatrice barusan terjatuh panik, tapi tetap manis, jadi Subaru memutuskan membiarkannya tanpa berkomentar.

“Bagaimanapun, Betty mengejar kehadiran tersebut. Lalu tepat di balik pintu masuk, aku menemukan sumber aura itu ….”

“Kau menemukannya? Terus apa?”

“Apa aku menghadapi langsung wajah pucat dalam kegelapan itu, ya?! Wajah ini juga menyadari Betty, dan kami saling bertatapan …. Pertarungannya berlanjut, selangkah maju dan selangkah mundur!”

“Kontes tatap-menatap! Lalu, lalu?”

“Oho, tapi Betty itu Roh Agung, jadi musuhnya akhirnya lari ketakutan, kurasa.”

“Leganya—sungguh melegakan. Aku resah Beatrice mungkin saja mati di sana ….”

Terlalu larut dalam cerita hantu Beatrice, keresahan Emilia agak dilebih-lebihkan. Dari pertama, andaikan Beatrice mati, siapa pula makhluk menggemaskan di hadapan mereka?

Demikian, Subaru mengagumi fakta ceritanya sudah dipikirkan baik-baik.

“Jadi apa yang sebetulnya terjadi, Otto?”

“Er, waktu aku hampir muntah tepat di luar pintu masuk, aku mendapati Beatrice memelototiku …. Tapi dia menghilang saat aku berjongkok dan merasa menderita.”

Tatkala itulah Otto masuk taman dengan langkah goyah.

Sesudah mendengar kebenaran semalam dari bibirnya, Beatrice menggumam, “Tidak mungkin itu ….” Dengan syok besar.

Orang bilang rasa takit membuat serigala—atau dalam hal ini, Otto mebuk—terlihat lebih besar.

Selagi Beatrice berjuang menyesuaikan ingatannya dengan kenyataan, Emilia mencoba menghiburnya dnegan membelai kepalanya. Bisa jadi staf penginapan yang memberitahunya penampakan itu cepat tahu kalau Beatrice punya sifat setengah matang dan polos; terkhusus karakternya yang terlampau manis ketika digoda. Mengingat wajah manis merona yang dia lihat sekarang, Subaru hanya bisa menyebutnya pekerjaan yang berjalan baik.

“Kebetulan, kau tidak balik pas makan malam kemarin, jadi kau merencanakan apa?”

Tidak melepaskan Beatrice menawan dari sudut matanya, Subaru memiringkan kepala penuh tanda tanya begitu melihat wajah pucat Otto. Pucatnya Otto kelihatan kehabisan darah di subuh hari ketika dirinya terhuyung-huyung ke tepi teras dan duduk.

“Sudah kuberitahu sebelum berpisah, bukan? Karena kita kebetulan datang jauh-jauh ke Pristella, aku mau bertemu orang-orang yang biasanya sangat sulit diajak bicara—ughhh.”

“Kedengarannya kau hidup dalam bahaya. Kau nampak semabuk pertama kali kita bertemu, bung.”

“… soal itu, aku tidak mabuk pas pertama kali kita bertemu, ‘kan?”

“Sekiranya itu yang kau ingat, maka mungkin saja benar. Paling tidaknya, bagimu begitu.”

Otto tampaknya tidak mengingat kejadian seperti itu, dan saat ini, ingatannya benar. Pertemuan pertama mereka menurut Subaru dan menurut Otto berbeda besar dalam hal tempat dan kejadian-kejadian selanjutnya. Namun Subaru tak berniat mencoba menjelaskan berulang-ulang peristiwa selama berbagai rangkaian perulangan yang telah menghilang selamanya.

Memutuskan melanjutkan percakapan, Subaru berkedip pada wajah curiga Otto.

“Ngomong-ngomong, pastikan kau tidak memberi pengaruh buruk ke Beako, atau akan berefek pada perkembangannya. Yah, aku paham kau berusaha yang terbaik demi kelompok.”

“Ini, semuanya kulakukan sendiri lagh—aktivitasku kemarin ada alasan lainhnyah.”

“—?”

“Lebih pentingnya ….” Dengan getir memutar wajah pucatnya, Otto mengamati taman. “Aku tidak melihat Garfiel di mana-mana. Tak biasanya dia tidak menunjukkan batang hidungnya, benar? Selalu dia yang pertama bangun, melolong dari puncak gunung atau entah di mana.”

“Karena dia tidak menemukan tempat tinggi buat melolong. Err, kesampingkan candaannya, sekarang ini kondisinya sensitif. Sementara waktu, bersikap lembutlah bila bertemu dengannya, ok?”

“Sejujur-jujurnya, kuharap akulah yang diperlakukan lembut saat ini …. Aduh, kepalaku sakit ….”

Subaru sekilas tersenyum kesulitan pada pada status pening Otto yang sempoyongan dan ambruk ke teras.

“Jadi karena Otto sudah di sini, rencana kita hari ini apa?”

Memeluk Beatrice cemberut dari belakang, Emilia memiringkan kepala dan mengajukan pertanyaan penting. Kalimanya membuat Subaru angkat bicara, “Oh iya ….” Sambil menyentuh dagu. “Ada masalah negosiasi ulang sama Kiritaka pastinya. Apa lagi rencananya, menculik Liliana terus menukarnya sama kristal sihir?”

“Dari mana asalnya tuh rencana ekstrem?! Kau seriusan merenungkan semua perbuatanmu kemarin?!”

“Maaf, sedikit kebencianku kepada Liliana berdampak kepada tawaranku.”

Subaru meminta maaf saat wajah bahagia Liliana kembali terbesit, tetapi Otto terlalu sibuk kesakitan akibat teriakannya sendiri di kepala pusingnya sebab terlalu memerhatikan. Usai mengerang beberapa saat, Otto lanjut bicara dengan air mata.

“Pertama-tama, kita dijadwalkan mengunjungi Perusahaan Muse di siang hari ini. Syukur-syukur seumpama White Dragon’s Scale menengani, akan tetapi ….”

Nama yang Otto sebutkan mengacu ke pengawal Kiritaka, Dynas. White Dragon’s Scale adalah nama perusahaan tentara bayaran yang mewadahinya, yang saat ini dipekerjakan menjadi pengawal pribadi Kiritaka.

Sekalipun dalam pikiran Subaru, Dynas terlihat kurang mirip pengawal dan lebih mendekati sekretaris pribadi yang tujuan utamanya adalah mengurus masalah Liliana.

“Sementara ini, aku harus meminta Tuan Natsuki di sini. Aku tidak terima bantahan.”

Mengapa … penginnya bilang begitu, tapi aku rahasiakan saja. Bahkan aku tahu pembicaraannya akan berjalan lebih lancar tanpa diriku di sana … tapi apa manfaatnya aku pergi ke Pristella?”

“Untuk main sama Beatrice? Bagus membuat ingatan sebanyak mungkin dengannya.”

“Apakah Betty entah bagaimana diperlakukan remeh oleh beberapa orang, ya? Aku mengajukan protes!”

Protes marah Beatrice sebagian besarnya diabaikan, dan dengan demikian, rencana sore itu sementara ditetapkan. Mereka tak terlalu terlibat dalam rencana; intinya semua orang terkecuali Otto punya waktu luang.

“Yah, bagaimana semisal membawa Emilia-tan dan Beako ke taman umum?”

“Eh? Bukankah harusnya aku pergi bersama Otto?”

“Hari ini, saya hanya akan menyusun janji untuk membuka kembali negosiasi. Menyertakan Nona Emilia untuk jenis kunjungan semacam ini akan menunjukkan kurangnya etiket. Anda yang kembali lebih dahulu kemarin adalah karena alasan sama.”

Sesudah menjelaskan alasannya kepada Emilia, Otto menambahkan, “Namun demikian ….” Dan menatap curiga Subaru sebelum menambahkan. “Aku tak tahu apa akal busuk Tuan Natsuki dengan alasan semacam itu.”

“Menyebutnya akal busuk kedengaran kayak meniatkan hal buruk.”

Cuma itu yang bisa diucapkan Subaru. Otto mengesankan seperti biasa—bahkan melencengnya entah bagaimana masih tepat sasaran.

Bukannya Subaru benar-benar berakal busuk, tapi dia memang punya rencana. Rencananya bergantung bukan main pada keberuntungan.

“Sehabis turun dari kapal kemarin, aku menemukan taman sangat indah ini di sepanjang jalan. Aku seolah merasa, ingin berjalan-jalan di sana sama Emilia-tan, Beako di tengah sembari memegang tangan kami.

“Waw, kedengarannya seru. Tapi mestikah kita gampangkan seperti itu? Menurutmu bagaimana, Guru?”

“Saya tak bisa tidak setuju ketika murid saya sangat menantikannya. Yah, asumsikan Garfiel kembali sebelum Anda pergi, setidaknya bawalah dia …. Hanya saja jangan buat masalah apa pun.”

“Kenapa kau melihatku saat mengatakannya? Katakan ke Beako. Dia yang mestinya kau beri tahu.”

“Seberapa akurat itu, ya? Betty yang tertua di sini, jadi cukup jelas siapa yang harus memimpin.”

Salah mengira yang dirisaukan Otto, Beatrice tolak pinggang percaya diri. Caranya melewatkan penuh intinya sangat menggemaskan, jadi Subaru mengelus seluruh kepala Beatrice.

Selagi Subaru dan rekan-rekan menikmati suasana bersahabat nan damai ini—

“Woi, semua orang sudah berkumpul, ya? Pagi yang lumayan enak, bukan?” Felt mengangkat tangan memberi salam begitu melangkah ke koridor.

“Pagi. Dari kemarin penasaran, kau membaca apa?”

“Ahhh, aku bertaruh sama Reinhard. Dia akan memberikanku pertanyaan tentang isi buku ini, lalu aku jawab. Seandainya tidak kumenangkan, aku boleh jadi takkan bisa bertemu Ilya di istrirahat selanjutnya ….”

Dengan kata lain, Reinhard menggunakan semangat kompetitif Felt untuk mendidiknya, semuanya atas nama taruhan.

Menyusahkan banget, ucapnya meringis. Merasa melompat pelan ke taman. Kemudian kandidat pemilihan raja menunjuk Otto yang baru berhasil duduk.

“Mister baru itu tidak di sini kemarin, benar? Dia orangmu?”

“Iya, dia orang kami. Dia penasihat dalam negeri kami. Yah, dia sangat mirip sama Larry bagimu.”

“Aku tidak mengerti amat maksudmu, tapi aku cukup yakin kau tidak bermaksud baik!”

Walaupun tersirat suatu ketidaksopanan dalam pernyataannya,itu lebih dari cukup memperkenalkan Otto. Di akhir percakapan tersebut, Felt memiringkan kepala dan menanyakan Subaru, “Larry siapa?”

“Maksudku si Lachins yang bersamamu. Mereka kenalan kecilku. Karena itulah aku penuh kasih memanggil si trio, Larry, Curly, sama Moe.”

“Heh, kedengaran bagus bagiku. Jadi Lachins, Gaston, dan Camberley itu Larry, Curly, dan Moe bagimu? Kedengaran menarik—mengejutkannya cocok pada mereka!”

“Aku pun terkejut dengan keajaiban kejadian yang terjadi setahun lalu padaku. Kuharap keajaibannya berbeda, sih.”

Dia bersulang sendiri setelah memanggil mereka dengan benar waktu itu. Kebetulan saja, sebab Felt rupanya menyukai istilah tersebut, dia bersulang kepada Ketiga Anak Buah yang akan senantiasa dikenal sebagai Larry, Curly, dan Moe selamanya.

“Omong-omong ….” Kata Felt setelah itu seraya melirik Subaru dan Emilia. “Tarian aneh macam apa yang kau lakukan dari tadi? Lagi memainkan semacam permainan?”

“Hei, hei, jangan menyebutnya tarian aneh. Ini senam radio, latihan yang sungguh-sungguh terhormat.”

Felt terlihat bingung begitu Subaru menjelaskan aktivitas yang dia dan Emilia lakukan bersama-sama. Fraksi Emilia berkumpul di taman pagi itu tepatnya supaya bisa senam radio.

Terlepas tengah dalam perjalanan atau apa pun rencana perjalanan mereka, tak pernah sekali pun melewatkan senam pagi.

“Kesehatan yang baik adalah rahasia umur panjang, lantas olahraga rutin ini disukai semua orang mulai dari anak kecil hingga orang tua. Ketika Emilia jadi raja, dia akan membuat hukum nasional untuk melakukan ini setiap pagi.”

“Itu benar. Rasanya benaran enak melakukan ini setiap pagi sama semua orang.”

“Iyakah …? Menurutku, siapa pun yang berencana membuatnya menjadi kebijakan publik itu takkan jadi raja ….”

Selagi dia menonton mereka latihan, Felt bergumam dengan kerutan di wajahnya.

Rasanya sedih dia tidak melihat daya tarik senam radio, tetapi meskipun orang-orang tak menyukainya di awal-awal, sebagian besar terbiasa seiring berjalannya waktu. Faktanya, ledakan senam radio yang belum pernah terjadi sebelumnya telah menyebarkan rutinitas latihan dari wilayah Mathers ke berbagai wilayah lain.

“Kalau dipikir-pikir, aku mendengar banyak festival aneh yang meluas dari tanah Nona. Termasuk beberapa tarian aneh, main-main sama labu berlubang, dan sesuatu tentang wanita yang membuat manisan dan memberikannya pada pria?”

“Saat ini, diperlakukan semacam kebiasaan aneh orang-orang kampung, tapi aku mau menetapkannya jadi proyek untuk menyebarkan kebiasaan ini secara nasional. Dalam hal ini, akan menyenangkan apabila ada orang seperti Anastasia bekerja sama untuk merencanakan acara dan lainnya.”

Sudah dianggap rahasia umum bahwa iterasi modern dari Hari Valentine merupakan konspirasi yang menetas di dunia korporat cokelat. Dengan kata lain, bisa panen banyak uang, jadi Subaru merasa Anastasia akan menerkam kesempatan itu.

Seketika Felt melihat Subaru tenggelam dalam pikirannya dengan ekspresi serius di wajah, dia melihat Emilia dan bicara lirih.

“Hei, apa Mister selalu seperti ini?”

“Iya, Subaru seringnya seperti ini. Sewaktu dia kelihatan seperti sedang bercanda, dia sebetulnya berpikir keras mengenai semua hal. Dan lagi, terkadang dia juga terlihat seperti ini ketika sedang bercanda.”

“Tidak tahu kenapa kau terdengar seakan membanggakannya atas hal itu.”

Felt memiringkan kepala bingung kala Emilia tampaknya merasa bangga atas perilaku Subaru.

Kerap kali, saat Emilia berinteraksi dengan orang-orang yang nampak lebih muda darinya, kadang-kadang sulit mengatakan siapa sesungguhnya yang lebih tua, yang mana itu masalah usia mental Emilia. Inilah salah satu situasinya.

“Misal dipikir-pikir, kau sendirian, Felt. Reinhard mana?”

“Aku bukan anak bocah, ada dia di sekitarku artinya harus mendengarkan cingcongnya. Lagian, bukan berarti aku suka mengakui ini, tapi andaikata aku memanggilnya, dia akan datang ke sini dalam waktu sedetik.”

Menilai dari betapa tegangnya wajah Felt ketika mengatakan itu, dia barangkali bersungguh-sungguh alih-alih canda. Hal semacam itu sangat menegaskan betapa luar biasanya Reinhard.

“Tapi dari yang kulihat kemarin, sepertinya kau sudah bisa bergaul sama Reinhard …. Kayaknya bergaul bukan kata yang tepat … kalian berhasil menyelesaikan masalah kendati awalnya buruk.”

“Oh, masa? Kukira Felt dan Reinhard sudah baik hubungannya dari awal ….”

“Hei, itu batu permata asli di mata Nona? Kau sebaiknya poles benar-benar biar dapat melihat jelas, karena aku ini gadis menakutkan tatkala waktu kritis mendesakku menetapkan keputusan.”

Metafora puitis aneh Felt membuat Subaru menghargai seberapa besar edukasi dan pertumbuhan yang didapatnya semenjak kali terakhir mereka bertemu.

“Yah, aku tidak mampu menyangkal yang Mister katakan soal itu, sih. Bukannya aku bisa selamanya tidak bertanggung jawab atau begitulah. Kini aku putuskan untuk melakukan ini bersamanya, dia tanggung jawabku, jadi ….”

“—Nona Felt, Anda memanggil?”

“Tidak!!”

Instan, Reinhard tiba-tiba muncul.

Sesaat Reinhard mendadak muncul di belakangnya, Felt meraung marah padanya. Suara tingginya membuat Reinhard mengangkat alis. Lalu menyapanya.

“Nona Felt, ini masih pagi. Ini bukan mansion saya, jadi tolong jangan menyebabkan masalah kepada orang-orang di sekitar kita dengan membuat keributan ….”

“Oh, diamlah—jangan ceramahi aku! Dan apa pula masalahmu?! Kau bilang akan datang begitu memanggilmu, terus kau datang padahal aku sama sekali tidak memanggil!”

“Selamat pagi, Nona Emilia. Dan kau juga, Subaru. Hari yang baik.”

“Jangan abaikan aku demi kuntunganmu sendiri, sial!!” ketika Reinhard tersenyum sedikit dan memberi salam pagi, Subaru membalas dengan mengangkat tangan, Felt mencengkeram kerahnya dan mengguncang-guncangkan kepalanya.

Tentu saja menilai kekuatan Reinhard, dia bisa dengan mudah mengenyahkannya, namun masih Felt pegang.

“Kau lihat? Felt sama Reinhard benaran akur.”

“Kurasa kau benar. Itu adegan klasiknya bergaul dengan baik.”

“Entah bagaimana, kata-kata itu menjijikkannya sampai-sampai aku mau mati! Aku tidak suka!”

Menyeringai dan setuju dengan Emilia tersenyum, Subaru lancarnya mengabaikan teriakan Felt. Sebaliknya, Subaru menatap Reinhard selagi Felt mencengkeramnya.

Reinhard menurunkan matanya dengan tatapan cemas disertai senyum kesusahan di wajah, tetapi pemandangan itu natural sekali hingga entah bagaimana Subaru anehnya merasa lega.

Di waktu yang sama, dia mendadak kepikiran sesuatu—dua orang itu juga menghabiskan setahun terakhir menantang pemilihan raja sebagai tuan-pelayan.

“Yah, walau tidak suka merusak momen indahnya, tapi bagaimana kalau kita sarapan?!”

“Aku tidak terima!”

Mendengar suara bernada keras Felt, Subaru melihat langit biru cerah dan meregangkan tubuhnya.

Awalnya malam hari kemarin, kemudian pagi hari seperti ini—harinya akan menyenangkan.

Subaru tak punya dasar rasional untuk pemikiran itu, meskipun begitu dia merasa percaya diri.

2

“—selamat pagi. Oh, kalian semua rupanya sudah cukup berteman baik.”

Anastasia menyambut Subaru dan yang lain seketika mereka masuk aula tamu, tersenyum nakal seraya bicara.

Sepandangannya, melihat Fraksi Emilia dan Felt bersama-sama pastinya mengejutkan. Namun Subaru sama terkejutnya dengan sapaannya. Alasannya adalah pakaian mengkilap yang dia kenakan.

Melihat Anastasia memakai pakaian berbeda dilengkapi syal biasa di leher, membuat Emilia dan yang lain wow tercengang.

“Bagus, bagus. Nampaknya aku berhasil mengagetkan kalian pagi ini. Aku senang sekali.”

“Pakaian itu bagus banget. Inikah yang kau bicarakan di pemandian kemarin?

“Iya, ini kimono1. Seperti yukata, tapi sedikit lebih lama memakainya.”

Anastasia bangganya berputar-putar di tempat, memamerkan pakaian berwarna biru indah. Tarian, pola kelopak yang jatuh di atasnya pun teramat-amat menawan. Subaru hanya bisa kagum dengan kemampuan Kararagi yang bisa memproduksinya.

“Jadi pakaian itu semacam tradisinya Kararagi?”

“Iya. Desain pakaian ini diwariskan secara turun-temurun oleh penjahit semenjak era Hoshin dan merupakan salah satu dari sedikit budaya di masa itu.”

“Era Hoshin, ‘kan?”

Sekali lagi, orang misterius ini, Hoshin dari Tanah Kosong, berdiri di hadapan Subaru.

Seperti halnya Subaru serta AI, dia mungkin orang dari dunia lain yang bertanah air sama, dipanggil empat abad sebelumnya—

“Sewaktu semua ini selesai, aku benaran harus menyelidiki si Hoshin ini sedikit ….”

Sekarang ini, Subaru tidak berniat mengeluhkan fenomena dipanggil ke dunia lain.

Dia sudah lama melewati tahap pemahaman2 dan penerimaan3.

Subaru tidak tahu proses pemanggilan atau tujuan si pemanggil, tetapi dia terima pemanggilan itu adalah perjalanan searah dan tidak ada jalan pulang yang bagus.

Pertanyaannya tentang hal semacam itu setak terhitung bintang-bintang di langit, namun yang paling ingin Subaru ketahui saat ini adalah hal macam apa yang ditinggalkan orang yang dulu dipanggil sebelum dirinya dan bagaimana akhir hidupnya. Itu saja.

“Nona Anastasia, Anda bahkan lebih cantik pagi ini, saya takut Anda bahkan takkan memperkenankan saya melihat Anda seperti ini, tetapi sepertinya ketakutan saya tiada artinya.”

“Ehehehehe, ini permata yang kusembunyikan! Produk beres ini baru tiba di Pristella tidak lama lalu, lho. Susah banget disembunyikan dari Julius, hehe.”

Setelah itu, bertemu Julius di aula, Anastasia memamerkan pakaiannya kepada kesatrianya sendiri, kemudian Julius menghujaninya sanjungan cari perhatian, memenuhi Anastasia dengan rasa puas. Lalu wanita itu memiringkan kepalanya.

“Oh? Mimi dan yang lain tidak bersamamu?”

“Ricardo belum kembali pagi ini dari urusan yang dia sebutkan. Adapun Mimi … nyatanya dia membawa jalan-jalan Garfiel, pelayan Nona Emilia.”

“Eh, Mimi sama Garfiel?”

Seketika mata Emilia membelalak mendengar nama salah satu pelayannya, Julius membalas, “Ya,” sambil mengangguk. “Garfiel dan Mimi belum kembali ke penginapan sejak semalam. Ketika Hetaro dan Tivey mendengarnya, mereka langsung lari tergesa-gesa ke kota.”

“Kau dengar ini dari Joshua di sisi lain aku baru mendengarnya sekarang—begitukah semestinya aku menerima hal ini?”

Anastasia tolak pinggang, memeriksa Joshua yang mengikuti Julius dan lagi sembunyi di belakangnya. Kata-kata itu membuat si pemuda berwajah lembut menunduk, kepalanya membungkuk disertai ekspresi sedih.

“S—saya minta maaf. Saya … habis-habisan mencoba menghentikan mereka, tetapi Hetaro tidak berkenan mendengarkan alasannya. Dan Tivey juga gelisah, jadi ….”

“Karena waktu Mimi di sana, Hetaro tidak memedulikan apa pun di sekitarnya. Kalau Tivey ikut, harusnya baik-baik saja … menggantikannya, ada yang ingin kutanyakan, Joshua.”

Tersenyum kepada Joshua ketakutan, Anastasia menepuk bahu pemuda itu begitu dia mengangkat kepala.

“Aku sungguh-sungguh bermaksud memercayakan ini ke Hetaro dan yang lain, tapi aku ingin kau mengambil surat di gerbang utama—suratnya, sangat-sangat penting.”

Seraya mengatakannya, Anastasia melirik Subaru. Di pikiran Natsuki Subaru, tatapan sugestif itu tumpang tindih dengan perbincangan di aula semalam, mendorongnya berkata sesuatu.

“Kumohon, Joshua. Kaulah satu-satunya harapanku.”

“Mengapa Anda sebegitu meminta saya?! Nona Anastasia telah memberi perintah!”

Menepis tangan Subaru yang memegang kedua bahunya, dia melangkah cepat ke pintu geser. Kemudian—

“Saya akan mematuhi perintah. Serahkan ke saya. Saya akan mengambilnya tanpa masalah menggantikan Tivey dan yang lain!”

—dengan percaya diri Joshua membuat deklarasi ini ke Anastasia dan berlari ke luar aula. Anastasia lembutnya menyentuh syal sewaktu kuncir kudanya menghilang dari pandangan.

“Padahal dia benar-benar bisa mengambilnya sehabis sarapan ….”

Dia tersenyum tegang ketika mengomentari kesetiaan dan rasa lapar anak muda ini akan kejayaan.

“—maaf karena kami sedikit terlambat. Rupanya kamilah yang terakhir.”

Crusch yang rambut hijau panjangnya hari ini diikat, adalah orang terakhir yang sampai di aula tamu. Dia tetap mengenakan busana anggunnya, ditambah hiasan rambut bunga dan pita putih yang jelas menghias rambut hijaunya.

Tidak salah lagi Felix muncul setelah Crusch, mengikutinya. Dengan derap langkah ringan, Wilhelm segera mengekor di belakang Felix, memakai pakaian pelayan biasa.

Penampakan pria tua jangkung itu menegangkan bahu Subaru. Dia mengingat banyaknya kata yang dia perbincangkan dengan Iblis Pedang di bawah sinar bulan malam kemarin.

“….”

Selagi Subaru mengingat-ingat, tepat ketika itulah Wilhelm mendapatinya, dan mereka saling bertatapan. Napas Subaru tercekat saat Wilhelm diam-diam menyapa dengan matanya.

Tafsiran Subaru akan pesannya adalah: janganlah khawatir.

“Jadi tampaknya kita semua berkumpul. Ada beberapa wajah yang hilang, tapi ….”

“Itu berlaku buat Garfiel kita juga. Seandainya dia bersama Mimi, maka tidak apa-apa, tapi anak berotak udang kami itu ….”

Lebih akuratnya, mestinya berotak harimau—tapi tentu saja, bahkan Subaru mencemaskan Garfiel yang tidak pulang pagi ini atau tak menghubungi.

Mungkin dia pergi ke suatu tempat untuk menyembuhkan rasa kekalahan yang sulit dienyahkan itu.

Dan bila Mimi betulan bersamanya, Subaru harap segala sesuatunya takkan di luar kendali dengan kondisi aneh.

“Yah, entah keresahan atau pekerjaan, dua-duanya bisa ditunda sampai selesai makan. Rohallo kalah karena perut kosong, orang bilang.”

Menepuk tangan, Anastasia mengucapkan pepatah umum seraya duduk. Menirunya, Subaru dan yang lain duduk dengan sikap sama, dipisah per fraksi selagi beristrirahat di atas bantal lantai persegi.

“Bisa bawa masuk?”

Melihat semua orang sudah duduk, Anastasia memanggil orang-orang yang menunggu di belakang sekat pintu geser. Seketika dia panggil, beberapa staf penginapan membawa piring, meletakkannya di atas meja panjang.

Meja panjang itu cepat dipenuhi objek-objek hitam besar—lalu lebih banyak lagi pelat besi diletakkan.

“Hari ini kita ‘kan menikmati sejumlah masakan rakyat tradisional Kararagi—waktunya pesta daisukiyaki4!”

Anastasia nyatakan dengan penuh semangat sambil buru-buru menggulung lengan baju.

Semua hadirin terkejut pada betapa cepatnya dia bekerja selagi para staf cekatan menaruh minyak di atas pelat besi lalu membawa troli makanan ke aula yang berisi banyak macam bumbu dalam suatu wadah bundar di atasnya.

Daisukiyaki—gaungnya kata itu, pelat besi besar, masakannya …. Melirik semua itu, Subaru sadar bentuk sejati tradisi kuliner di depannya—

“—m-maksudmu ini okonomiyaki5?!”

Diturunkan di Kararagi sebagai daisukiyaki, hidangan Jepang versi okonomiyaki muncul dengan mencolok.

3

“Subaru, lihat! Lihat seberapa bagus membaliknya! Aku bangga sekali! Makanlah!”

“Kurasa hasilnya cukup baik. Subaru, aku susah-susah menggoreng daisukiyaki ini, jadi pastikan dimakan, ya!”

Wajah Emilia terlihat tersenyum lebar, sedangkan Beatrice malu-malu sedikit karena keduanya menyajikan daisukiyaki yang kelihatan aneh yang mereka masak sendiri dan kini diletakkan di pelat besi di hadapan mereka.

“Kalian berdua patutnya belajar mencicipi masakan sendiri sebelum menyajikannya ke orang lain.”

Mematuhi sarannya yang agak masuk akal, dua orang itu mengikuti saran lalu menggeliat sengsara. Sambil lalu, Subaru bisa membualkan okonomiyaki-nya sampai ke level tertentu, tetapi bukan dia yang paling ahli di Fraksi Emilia.

“Nona Emilia, Beatrice, kalian berdua boleh makan yang saya goreng. Ahhh! Nona Emilia, kurang matang menggorengnya akan menyakiti perut Anda. Beatrice, kau menggunakan kebanyakan saus!”

Berkat usaha keras Otto, Fraksi Emilia sepaling-palingnya mampu mengamankan sarapan layak.

Melihat tontonan itu, Subaru mengalihkan pandangan ke masakan buatan fraksi lain.

“Nona Felt, saya sudah menyiapkan hidangan berikutnya.”

“Ohhh, bagus sekali, bagus sekali. Sepertinya kalau diteruskan, kau bisa menggoreng banyak. Kuakui, aku cukup mensyukuri keahlian memasak dan membuat manisanmu.”

Fraksi Felt yang duduk tepat di seberang Subaru, dia duduk dekat Reinhard yang memproduksi satu hidangan daisukiyaki kelas atas satu demi satu dengan keterampilan luar biasa, kemudian menyaksikan seluruh makanannya menghilang ke dalam perut Felt. Begitu lima hidangan daisukiyaki tahu-tahu hilang, di tubuh mungil sebelah mana Felt memasukkannya bagi Subaru adalah salah satu misteri kehidupan terbesar.

“Nah, nah, nah, nah, nah, nah—! Inilah daisukiyaki sejati nan asli yang aku buat!”

 Tapi tentu saja, Anastasia mengemukakan kinerja lumayan baik mengingat pengetahuan dalamnya tentang daisukiyaki. Dia gunakan dua penggorengan terpisah, sukses menciptakan dua potongan besar yang nampak menyerupai arang.

Itulah pelajaran hidup berharga. Antusiasme belaka belumlah cukup.

“Anda memang hebat, Nona Anastasia. Akan tetapi, saya lebih suka waktu menggorengnya sedikit lebih singkat. Walaupun menyakitkan menilai lama dan sukarnya usaha Anda ….”

“Tidak apa-apa, tidak apa-apa, serahkan saja padaku. Sebagai laki-laki, lidahmu benar-benar lembut, Julius.”

Tak seperti Subaru yang mendesak para juru masak untuk makan masakanan mereka sendiri dan bertaubat atas dosa kuliner mereka, Julius memakan sebongkah arang tanpa komplain dan barulah sesudah menghabiskan seluruhnya dia menyarankan pebaikan. Sungguh, tindak-tanduk kepada tuannya adalah definisi kekesatriaan itu sendiri. Subaru sepenuhnya tak berhasrat mencontohnya.

“Ahhh, Nona Crusch—! Feli mencoba yang enak. Ini, ini.”

“Wah, benar punyamu enak. Tapi aku takkan kalah. Haha, saksikanlah.”

Iya, Crusch dan Felix-lah yang tenggelam ikatan sesama jenis santai nan genit. Yang mana tidak menggambarkan hubungan mereka dengan benar, tapi ini sudah biasa untuk keduanya, alhasil Subaru pikir bijaksananya tidak mengganggu.

Pokoknya, sesuai ketangkasan mengesankan mereka, daisukiyaki di pelat besi itu luar biasa—Felix bahkan sempat-sempatnya menambahkan telinga kucing.

Fiuuuh. Oke, waktunya Anda makan daisukiyaki Felix yang dibuat dengan cinta. Nona Crusch, tolong buka mulutmu dan bilang ahhh.”

“Eh, eh? Um, err … a-ahhh ….”

Berkat aura lembut gadis kaya yang dikeluarkan Crusch, terbesit perasaan dirinya mesti berhenti menonton. Di sebelah adegan unyu-unyu itu, Wilhelm sedang mengerjakan daisukiyaki-nya sendiri, tapi—

“Mmm ….”

Membalikkan potongannya, sang Iblis Pedang mengerang ketika terbelah dan menempel di pelat besi. Barangkali kelamaan digoreng; Wilhelm nampaknya bersikap kikuk tak terduga.

“Rasanya melihat sesuatu yang sepatutnya tidak kulihat. Tapi jika begitu masalahnya …. Err.”

“Hei, Mister, yang kau goreng kelihatannya enak banget.”

Persis seketika Subaru berpikir hendak membantu Wilhelm, Felt memotongnya. Matanya berbinar-binar tatkala menatap daisukiyaki berwujud Puck yang Subaru goreng dengan kedua tangannya.

“Nah, aku yakin anak buahmu sudah sanggup memasak daisukiyaki setara koki istana dalam skala industri. Bukannya aku tahu koki istana benaran membuat daisukiyaki atau tidak ….”

“Yah, kau ada benarnya, tapi kadang kala, kau sekadar mau makan sesuatu berbeda, ‘kan? Biarpun dia memasak di atar pelat besi seperti ini, semua yang dibuat bajingan itu hasilnya elegan ….”

“Kalau begitu, Felt, mengapa tidak coba daisukiyaki yang kubu …?” tanya Emilia.

“Aku membicarakan makanan di sini. Kenapa tidak bermain saja sama udang kecil di sana, pembakar arang?”

Emilia yang akhirnya diperlakukan layaknya pembuat arang, menyelinap masuk ke Beatrice biar dia bersimpati pada batin murungnya. Subaru tersenyum prihatin kala melihat betapa sedihnya mereka.

“Hei, jangan goda Emilia-tan dan Beako seperti itu.”

“Jadi bukan cuma Nona tapi udang kecil juga …. Oh iya, iya!”

Cepat menghindari jawaban Subaru, Felt lanjut mencondongkan badan ke dekatnya.

“Hei, sepertinya harus kutanyakan. Aku dengar kabar burung hebat tentangmu, Mister. Jadi jujur: Berapa banyak bohongnya?”

“Ayolah—jangan anggap sebagian besarnya bohong dari awal. Ibarat kedengarannya kau mengharapkan itu.”

“Tapi mana mungkin aku percaya semua itu. Maksudku, kudengar Mister membelah dua Paus Putih sendirian, menghantam Kultus Penyihir sama tinjunya, mengubah Kelinci Besar jadi kelinci goreng … terus dimakan!”

“Infonya agak, cocok, tapi dicampur banyak candanya, sial!!”

Andaikan Subaru kuat melakukan semuanya sendirian, dia sudah diangkat pahlawan nasional atau bahkan raja sekarang. Dia bisa saja mengambil paksa takhtanya dan menjadikan Emilia ratunya biar mereka bisa saling cumbu selamanya.

“—hmph.”

Tetapi lelucon keras Subaru disambut tawa kecil dari samping—suaranya dua orang lagi. Tidak lain dan tidak bukan dari Julius serta Wilhelm.

“—? Mengapa Tuan Kesatria Terbaik dan Kakek tertawa? Aku bilang hal lucukah?” tanya Felt.

“Tidak hanya kau mengatakan hal lucu; seluruh situasinya lucu. Semua yang kau ucapkan tuh terlalu tinggi menilai kontribusiku. Kek, kalau sudah begini kasih saja aku Penghargaan Nobel Perdamaian6.”

Subaru tidak tahu-tahu amat yang dimaksud memenangkan Penghargaan Nobel Perdamaian, tapi bagaimanapun juga, itulah yang terlintas di benaknya ketika memikirkan pujian terhormat.

Subaru telah diakui di upacara penghargaan, namun karena dia tak teramat tahu berapa nilainya, dia hanya sedikit memahami besarnya penilaian akan penghargaannya.

Pas itulah Wilhelm melanjutkan percakapan Subaru dan Felt.

“Tidak sama sekali. Terkait perburuan Paus Putih, kontribusi Sir Subaru tak terhitung. Tanpa Sir Subaru, keinginan lamaku takkan terpenuhi. Demi pedangku sendiri aku bersumpah atas kebenaran itu.”

“Insiden Kultus Penyihir pun sama. Kemenangan dicapai sepenuhnya berkat kepemimpinannya. Bantuan yang diberikan orang lain dan diriku bukanlah kontribusi yang pantas dibanggakan.”

Pengukuran tanpa basa-basi Wilhelm dan terutama Julius membuat Subaru kehilangan kata-kata. Setelahnya, yang terlambat tiba adalah panas ganas. Kepala dan telinga Subaru terbakar malu.

“H-hentikan, teman-teman! Jangan perlakukan aku seolah aku ini sempurna seperti itu! Kalian tahu sendiri hal memalukan macam apa yang kuperbuat begitu terlalu sombong!”

“Hasil usahamu setelah itu lebih dari cukup untuk menebus aibmu sendiri. Tidak perlu memikirkan momen itu selamanya. Perbuatan akbar masa depanmu itu berbeda penuh dan seharusnya disambut bangga.”

“Yang telah kau capai adalah sesuatu yang belum pernah dilakukan orang lain. Hingga hari kematianku, aku ‘kan bangga telah berlari melintasi medan perang bersamamu.”

“—ah.”

Dibunuh pujian.

Sampai kini, Natsuki Subaru telah mati berulang-ulang. Tapi ini pertama kalinya dia melihat kematian dengan cara teramat menakutkan.

Subaru belajar apa artinya dibunuh pujian.

Dia merasa sangat malu sampai-sampai jujur merasa mau mati kapan pun. Subaru mencari bantuan Emilia, terus Beatrice. Akan tetapi, mereka berdua tersenyum manis sambil menjepit Subaru.

“Betul banget. Subaru berusaha benaran keras. Aku sungguh bangga, sekaligus bahagia, telah menjadikan Subaru kesatriaku.”

“Y-yah, bukankah itu jelas sekali buat rekan Betty, ya? Malah, rakyat jelata di penjuru negeri lambat menyadari betapa luar biasanya Subaru.”

Subaru tak pernah membayangkan dukungan mereka akan bulat bukan kepalang. Tingkat kesenangan menakutkan ini membuat kepala Subaru pusing.

Dan tidak satu orang pun di aula membantah penaksiran ini.

Memang, tatapan yang mengarah ke Subaru semuanya lembut dan baik, semua orang—

“Kelihatannya banyak yang terjadi, tapi sifat Mister tidak berubah sedikit pun. Leganya.”

“Oh, tutup mulutmu! Hei, semuanya, jangan terlalu memujiku! Kau akan membuatku menyukai kalian semua!!”

Sewaktu Felt menyimpulkannya dengan rapi seperti itu, suara Subaru meledak seketika hampir sampai batas.

Seketika, suasana ramah di aula besar hancur tatkala semua orang terbahak-bahak.

“….”

Di tengah tawa heboh itu, Subaru curi pandang ke Wilhelm.

Subaru tidak mengincarnya, tetapi suasana di aula sangat bagus. Bahkan tanpa perencanaan matang, sukar menciptakan momen lebih baik dari ini untuk menjembatani kesenjangan dan pengertian sesama.”

“Mm.”

Tiba-tiba menyadari tatapan Subaru, Wilhelm mengangkat alis. Subaru menunjuk daisukiyaki hancur di tangan Wilhelm lewat mata, dagunya digerakkan—ke arah Reinhard.

Menyadari pentingnya isyarat tersebut, Wilhelm menarik napas dalam hati.

Di sebelahnya, Reinhard sekali lagi membuat daisukiyaki untuk Felt. Perbedaan keterampilan antara kakek dan cucunya bagaikan awan-lumpur, itulah sebabnya Subaru pikir ini bisa menjadi titik balik.

Mata biru Wilhelm jadi tak stabil selagi bergulat emosi kompleks yang berperang dalam dirinya berkali-kali—kesuraman, keengganan, keraguan, kebimbangan.

Namun Wilhelm pasti akan mengatasi kesemua itu, melangkah maju dan—

“—Warga Pristella, selamat pagi. Pagi hari serasa sangat bagus, bukan?”

Momen itulah mereka mendengar suara seseorang datang dari luar penginapan—bukan, datangnya dari langit sendiri. Reaksi kaget Emilia dan yang lain memperjelas bahwa suara tiba-tiba itu bukanlah halusinasi pribadi.

“Ohhh? Apa-apaan ini? Ada orang songong di luar sana yang suaranya keras banget.”

“Oh, Felt, tentu saja tidak begitu. Ini terjadi setiap pagi di kota …. Inilah siaran pemerintah kota menggunakan metia.”

“Siaran metia ….”

Sesudah Anastasia menjawab gumam riang Felt, Subaru merenungkan lirih penjelasannya.

Metia adalah istilah umum untuk barang sihir yang digabungkan semacam teknologi sihir. Beberapa objek, semacam yang digunakan untuk siaran, berfungsi bagai teknologi di dunia asli Subaru.

Dia duga metia ini bekerja seperti halnya megafon atau alat pengeras suara.

 “Ada siaran setiap paginya? Buat apa?”

“Kudengar buat siap-siap keadaan darurat. Mempertimbangkan pembangunan kota, hanya ada sedikit jalur evakuasi tersedia, jadi orang-orang membiasakan diri dengan siarannya demi harapan menghindari kepanikan umum jika sungguhan terjadi keadaan darurat.”

“Hmm, aku mengerti, meong. Sangat logis.”

Penjelasan lengkap Julius membuat Crusch dan Felix terkesan. Subaru merasa sama. Inilah kali pertama dia mendengar seseorang menjadikan metia berguna penuh sekaligus bagian penting infrastruktur kota. Setahunya, hampir tiada preseden penggunaan metia untuk sesuatu yang nyata terjadi di lapangan.

“Perihal itu, Tuan Kiritaka adalah penyiar sekaligus penyedia metia-nya.”

“Eh?”

Tanpa sedikit pun niat buruk di wajah, Otto menimpali pikiran statis Subaru.

Subaru merenung sendiri beberapa detik. Pikiran dalamnya membolak-balik ingatan tentang Kiritaka bak lentera berputar.

“Mustahil.”

“Adakah yang lebih mustahil dari itu, ya?”

“Oh, Otto, kau kadang-kadang bisa sangat lucu.”

“Aku bisa paham Tuan Natsuki dan Beatrice, tapi bahkan Nona Emilia?!”

Konklusi Subaru dan Beatrice juga tawa Emilia membuat Otto terperangah. Selama itu, siarannya berlanjut, dan benar saja, suara yang entah bagaimana terdengar akrab menjangkau seluruh bagian kota.

Tentu saja, Subaru dengar dari orang berkali-kali betapa cakap dan dihormatinya Kiritaka, namun kesan yang dia dapatkan usai menemuinya terasa lebih besar dalam benaknya. Evaluasi dan kenyataan tidak cocok belaka. Bahkan siaran ini sepertinya—

Dan pagi ini pula, aku tawarkan hal remeh …. Tentu tidak! ‘Kan kulimpahkan kalian semua berkat luar biasa! Waktunya Nona Liliana sang Biduanita tampiiiiiiiiiiiiiiilll!”

“Ah, betulan dia.”

Ketegangan pecah di tengah jalan begitu ingatan Subaru dan siaran tahu-tahu selaras.

Faktanya, dia—tidak, mereka menginterupsi momen yang bisa jadi bersejarah. Itu bukan salah mereka, tetapi Subaru sudah membayangkan mencubit pipi Kiritaka.

Kedengaran suara metia penyiar dioper, lalu mereka mendengar suara orang melegakan tenggorokan.

Hai, semuanya, ini Lilianaaa. Diperlakukan laksana biduanita adalah beban seberat gunung, tapi dikarenakan aku sungguh-sungguh ingin menggembirakan kalian dengan nyanyian dan musikku, tolong dukung dengan sorakan gembira selama waktu bersama singkat kita—!

Suara Liliana bergema jelas sekali di seluruh kota, Subaru dapat mengimajinasikan persisnya pose yang Liliana tampilkan.

Tiba-tiba; raut wajah penuh harapan terlihat di sekeliling; khususnya Emilia, Beatrice, Anastasia, dan wajah-wajah penyertanya cerah semua, paham betul bagaimana indahnya suara nyanyian Liliana. Mungkin Subaru seorang yang ekspresinya muram dan suram di antara mereka semua.

Misteriusnya, dia mendengar suara Kiritaka di metia itu agak aneh, namun Liliana tampaknya tidak punya masalah. Barangkali perbedaan bicara dan kompabilitasnya dengan metia.

Atau boleh jadi suara Liliana benar-benar diberkati dewi lagu.

Kemudian sewaktu mereka dengar Liliana menyiapkan alat musik, ekspektasi di aula makin membengkak—

“Kini, akan kunyanyikan. Tolong dengar—inilah Lagu Cinta sang Iblis Pedang, babak kedua.”

“Apa—?”

Lagu itu dimulai begitu Subaru nyaris berkomentar keras mengenai pilihannya.

Siarannya memperdengarkan melodi indah ke seluruh kota, nampaknya langsung ke hati mereka. Ditelan oleh musik dan suara nyanyian, Subaru hanya mendengar Lagu Cinta sang Iblis Pedang.

Liliana adalah penyanyi bernasib sial total—tetapi terlepas dari seluruh kekurangan karakternya, suara nyanyiannya terlampau agung.

4

Suasana pelik mengalir di seluruh aula tamu tatkala gema Lagu Cinta sang Iblis Pedang membayang dalam kota.

Kata luar biasa saja tidak cukup menggambarkan lagu Liliana. Faktanya, bila mana tidak ada masalah lain, Subaru pasti akan langsung menghujani lagu Liliana dengan pujian dan langsung terjun ke percakapan membahasnya.

Cuma masalahnya satu—dia memilih Lagu Cinta sang Iblis Pedang.

Kisah Iblis Pedang, seorang pria yang terpikat pedang sekaligus mengejar Pedang Suci. Tidak lain kisah heroik Wilhelm di masa mudanya, kisah bagaimana dirinya dan istri tercintanya bertemu.

Dengan kata lain, memikirkan kembali pembicaraan Wilhelm di malam kemarin, lagu ini tidak bisa lebih buruk lagi waktu nyanyiannya … setidaknya bagi Wilhelm yang senantiasa menyimpan perasaan yang tak berkurang sedikit pun untuk istrinya.

Tentu saja tidak seorang pun di aula merasa asing terhadap hubungan Wilhelm dengan Lagu Cinta sang Iblis Pedang. Bahkan pipi Emilia mengeras; bahkan wajah Felt menyuram.

Karenanya, Subaru menatap prihatin Wilhelm yang pasti merasa teramat sakit hati—

“….”

Tatapan terus terang yang kembali ke mata birunya laksana danau tanpa riak yang mengganggu permukaannya, membuat Subaru tanpa sadar menarik napas.

Sesaat, Wilhelm mengangguk ke mata hitam Subaru. Kemudian perlahan-lahan berbalik ke kiri, di situlah cucu berambut merah yang masih mudanya duduk.”

“—Reinhard.”

Ibarat hendak menghilangkan keresahan serta semua orang di sekitarnya, Wilhelm pelan-pelan memanggil keras namanya. Mata Reinhard membelalak. Membalasnya, Wilhelm ditatap langsung Reinhard.

Suasana hening jatuh di antara keduanya—tidak, suasananya menyelimuti keseluruhan aula tamu.

Ekspresi genting menghampar semua orang begitu merasakan suatu percakapan penentu antara kakek dan cucunya sudah dekat. Dalam ruangan, satu-satunya suara adalah daisukiyaki yang sudah menggoreng di atas pelat besi panas.

Walaupun masih belum jelas keheningannya bertahan sejenak atau beberapa kali tarikan napas—

“Kau tahu ….”

“Iya, ada apa?”

“… aku tidak mahir menggorengnya. Seandainya ada metode spesial untuk melakukannya, bisa kau ajarkan aku?”

Itulah yang diucapkan Wilhelm dengan kalimat terbata-bata nan singkatnya.

Setinggi apa keberanian yang Wilhelm kerahkan tuk mengutarakan kata-kata itu? Subaru tahu seberapa. Rupanya, Crusch dan Felix juga menyadari ini, sekaget Subaru.

Dari samping, Subaru melihat emosi kompleks bergejolak.

Wajah Reinhard ketika mendengarkan kata-kata kakeknya yang putus-putus.

Reinhard menutup mata sedih, atau bisa jadi ada emosi yang tidak mampu dijelaskan, kemudian menghapusnya dengan tarikan napas dalam-dalam. Dari situlah, dia berangsur-angsur merileks dan berkata—

“—iya. Aku paham, Kakek.”

Saat ketegangan terkuras dari mata dan mulutnya, tidak salah lagi dia tengah tersenyum.

Bukan senyum pahlawan yang Reinhard gunakan untuk menenangkan orang setiap harinya. Inilah ekspresi yang hanya dimiliki seorang pemuda bernama Reinhard, sang Pedang Suci.

Wilhelm tersentak. Lalu perlahan menunduk.

Dia tidak bisa langsung menerimanya.

Akan tetapi, kendatipun awalnya tidak terasa nyata, sebuah koneksi telah dibuat.

Jurang panjang nan dalam yang terbuka di tengah-tengah dua orang tersebut, antara kakek dan cucu, barangkali masih butuh banyak waktu untuk mengisinya selama menggalinya. Namun kini mereka telah menjembatani celah itu sekali, yang harus dilakukan sekarang hanyalah mengisinya dengan penerimaan.

Menelusuri masa depan itu dalam benaknya, Subaru merasakan luapan emosi, mengepalkan tinjunya erat-erat.

Bagaimanapun—

“—oh, tidak, Ayah. Bukannya terlalu mudah melakukannya setelah sekian lama ini?”

Mendadak, seorang pria berambut merah membuka pintu geser dan mengintip aula.

Kebencian dalam kata-katanya mengagetkan Subaru yang lupa waktu karena keterkejutannya.

5

Momen-momen terbesar telah dihancurkan cara terburuk.

Perbuatan pria berambut merah itu bisa dianggap sejenis kejahatan—tidak, perbuatannya kekejaman.

Bau alkohol samar tercium dari pria memerah ini selagi membelai janggut di pipinya. Senyum menjijikkan terlihat dalam dirinya. Usianya tampak sekitar empat puluhan.

Alasan gerak-gerik dan penampilan tidak warasnya lebih mengundang jijik adalah karena tampang luarnya pada dasarnya tampan. Suatu tolak belakang jelas dan penodaan keindahan.

Perasaan benci mengakar dari rupa pria jangkung itu membuat Subaru muak.

“… siapa kau?”

“Aaahhh?”

Saat semua orang di aula menahan lidah mereka, Subaru-lah orang pertama yang berteriak. Tangan Subaru bergerak ke belakang pinggulnya, memegang sesuatu seraya suaranya mengancam, darah naik ke kepalanya karena marah.

Momen itu, semua orang semestinya mengharapkan rujuknya dua orang canggung tersebut. Subaru merasa murka pada pria yang ikut campur.

Temannya dan pria yang dia kagumi membuat kemajuan dalam memperbaiki hubungan mereka, hingga—

“Jawab aku. Kau ini siapa?”

“… matamu jahat, bocah. Tahu tidak siapa yang kau ajak bertarung, hah, kesatria baru?”

“Jangan buat aku tertawa. Kaulah yang mengajak bertarung. Aku Cuma menerima tawaranmu.”

Subaru lalu berdiri dan akhirnya mencapai batas.

Di sampingnya, Beatrice duduk tenang, menaruh tangannya dalam jangkauan Subaru. Rekan terpercayanya menyetujui nyala api kemarahan yang mengalir di hati Subaru.

Menatap Subaru, ekspresi wajah pria itu kesal selagi menggaruk kasar kepalanya.

“Dasar bocah berisik. Hei, Pedang Suci, Julius, atau bahkan Argyle—tebas bocah kurang ajar ini.”

Menunjuk Subaru dengan tangan yang tadi menggaruk kepala, pria itu menyuruh Reinhard dan kesatria lain dengan suara kasual. Subaru hanya dapat menafsirkan pernyataan arogannya sebagai penghinaan terhadap ketiganya.

Kali ini, Subaru serius bersiap mengayun lengan dan menampar wajah pria tersebut—

“Saya keberatan.”

—namun sebelum dia sempat bertindak, Julius menahan bahu Subaru, memaksanya berhenti.

Julius yang entah kapan sudah bangkit, berdiri tepat di sebelah kanan Subaru sambil memegang bahunya. Beralih melirik Subaru, dia menegaskan rahangnya. Kemudian melotot pada penyusup berambut merah itu.

“Sekarang ini, saya, Felix, dan Reinhard sedang dalam tugas khusus dan dibebaskan dari tanggung jawab normal kami. Oleh karena itu, bahkan wakil kapten tidak memiliki otoritas komando atas kami saat ini.”

“Benar, benar. Feli itu pelayannya Nona Crusch baik dalam nama dan fakta, meong. Jadi saya tidak bisa menuruti perintah Anda.”

Memanfaatkan kesempatan yang diberikan pernyataan Julius, Felix memeluk lengan Crusch sambil memberi jawaban tak relevan.

Crusch sepintas kaget mendapati kesatrianya melilitnya, tapi dia segera menatap pria itu dengan ekspresi bijaksana.

Ketika Subaru melihat sekeliling, orang lain dalam ruangan ekspresinya sama waktu dilihat-lihat lebih baik, tidak berusaha menyembunyikan rasa permusuhan mereka kepada si penyusup.

Tentu saja tidak. Inilah pria yang telah menghancurkan rujukan cucu dan kakek yang semua orang saksikan sembari menahan napas.

“Hei, hei, kalian menakutkan. Jelas itu bercanda, jadi jangan asal marah begitu. Meskipun aku wakil kapten hanya nama, setidak-tidaknya aku menjunjung tinggi aturan kesatria.”

“Hanya nama …?”

Subaru mengernyit pada pemilihan kata si pemabuk yang lagi tersenyum tipis. Mendengar gumam Subaru, dia melempar tatapan mengejek lagi.

“Benar, hanya nama. Akulah Heinkel si Diam, wakil kapten penjaga kerajaan Lugunica yang dekoratif dan dibenci.

“Jangan pasif-agresif soal julukan diam dan dibenci itu.”

“Gahaha! Sakit telingaku mendengarnya … jadi diamlah, aku tidak tahan … diam sajalah, bocah laknat.”

“—!”

Kesuraman dan kegelapan yang melingkupi mata itu membuat Subaru merinding.

Bukan ketakutan sama yang dia rasakan ketika menghadapi makhluk kuat, sebagaimana Paus Putih atau Penyihir. Tidak, ini berbeda, perasaan jijik lebih personal dan berbeda.

“Tenanglah, Subaru. Jangan sampai kau terjebak polanya wakil kapten.”

Selagi Subaru menarik napas, Julius memanggilnya. Kata-kata itu membuat si pria—Heinkel—tersenyum muram pada Julius.

“Ha! Itulah Kesatria Terbaik. Tingkah laku terlalu halus dan pemilihan kata yang cermat. Kalau keduanya benaran kekuatan nyata di antara para kesatria, kau sudah punya pengikut sendiri.”

“Saya merasa terhormat pujian Anda demikian sama, Wakil Kapten Heinkel …. Omong-omong, ada persoalan apa yang menuntun Anda ke sini dalam kesempatan ini? Jika ingatan saya benar, wakil kapten seharusnya ditugaskan menjaga Istana Kerajaan di ibu kota.”

“Sarkasmenya sopan sekali. Keamanan kastel takkan terpengaruh dengan ada-tiadanya absenku, terkhusus dengan Kapten Marcus hebat yang mengurusnya … dan bukannya ada keluarga kerajaan untuk dilindungi sekarang, ‘kan?”

“Heinkel!”

Wilhelm-lah yang bangkit dan berteriak marah terhadap pernyataan Heinkel, yang mempertimbangkan tempatnya, sangat tidak tahu adat. Sang Iblis Pedang ekspresinya tak bisa dipercaya selagi bibir gemetarannya membuka.

“Heinkel ….”

“Aku dengar kata Ayah. Aku belum seuzur itu sampai susah mendengar. Yah, lewatkan saja sebagai ocehan orang mabuk. Lebih pentingnya ….”

Sewaktu Wilhelm meninggikan suaranya, Heinkel mengangkat bahu dengan ekspresi polos di wajah. Kemudian mengamati interior ruangan dengan mata sebiru Wilhelm.

“Tidak mengundangku ke perayaan perburuan Paus Putih …. Ada apa? Ayah ini bisa sedingin dan setidakberperasaan bagaimana? Kerjaan besar yang butuh lebih dari sepuluh tahun untuk diselesaikan. Aku sama berhaknya seperti semua orang untuk bergabung perayaan dan berbagi kebahagiaan. Bukankah itu benar, Ayahku?”

“Heinkel, aku ….”

“Reinhard! Kau merasa sama, bukan?”

“….”

Mengadopsi wajah penuh kebencian, Heinkel membaca tepat isi hati Wilhelm.

Raut wajah kakek itu terlihat sakit seakan-akan diiris pisau, tetapi Heinkel tidak. Suaranya menyela protes Wilhelm, menunjukkan kebenciannya ke tujuan berikutnya: Reinhard.

Kata-kata itu membuat Reinhard yang mempertahankan diamnya hingga saat ini, akhirnya menatap Heinkel.

“Berkat Ayah, beban di pundakmu jadi lebih ringan, bukan? Inilah kakek gemilangmu, pria yang membalaskan istrinya, ibuku, dan nenekmu. Kau bahkan tidak sepatah pun mengatakan kerja bagus, ‘kan? Lagian ….” Kata Heinkel.

Menghentikan pidatonya, Heinkel mengoleskan dosis racun sehat ke kata-kata berbilahnya. Lalu bicara lagi.

“… kakekmulah yang membalaskan dendam pendahulu yang kau biarkan mati, benar tidak?”

—wajah pria ini, melebihi wajah semua orang yang pernah Subaru lihat, pantas disebut … menjijikkan.

Perkataan Heinkel, wajahnya, sikapnya, suaranya, tatapannya—semua hal yang terpancar dari segenap keberadaannya hanya dibasahi kebencian.

Inilah pria nista sebenar-benarnya, pria yang kehadirannya hanya untuk menyebarkan perasaan jijik.

“Hentikan ini, Heinkel! Kau …. Bahkan bagimu, ini …!”

“Berhentilah berusaha memperindahnya setelah sekian lama ini, Ayah. Ayah tak berhak mengkritikku. Bagaimanapun, orang pertama yang memarahi Reinhard karena membunuh pendahulunya … tidak lain adalah Ayah.”

“—!”

Kata-kata Heinkel bagaikan kutukan yang diseduh terampil dengan menyaring seluruh kebencian dalam dunia ini. Dan isi kata-kata itu adalah kecaman yang Subaru tidak tahan dengar.

Pria itu sepenuhnya berbohong. Itu salah. Tentunya dibuat-buat.

Seharusnya tidak mungkin. Namun baik Reinhard ataupun Wilhelm ….

“….”

Tak satu pun membuka mulut untuk menyangkalnya.

Kenapa? Mereka cuma harus bilang: tidak. Andaikan mereka sapu semuanya sebagai hal sampah dibuat-buat, Subaru akan percaya tanpa keraguan apa pun.

Teman seperjuangan dan mentor terhormatnya melawan dalih si pemabuk—tidak perlu merisaukan siapa yang harus dipercaya.

Itulah alasan Subaru mati-matian ingin dua orang itu membicarakan satu kata yang ‘kan menghilangkan semua ini.

“Terdiam gara-gara kebenarannya tidak membantumu, ya? Begitulah ceritanya selama lima belas tahun. Ayah belum berubah sedikit pun juga. Misalkan dia belum berubah, mana mungkin kita memperbaiki semuanya. Ayah pikir Theresia van Astrea akan mengizinkan hal sesederhana itu.

Kesunyian turun ke aula waktu kutukan Heinkel berlanjut.

Nama yang disebutnya adalah nama istri Wilhelm sekaligus neneknya Reinhard—

“—alharhum ibuku telah mengutuk kami, ketiga generasi Astrea. Kami tidak bisa dimaafkan.”

Pria itu menyebut Pedang Suci sebelumnya. Theresia … ibunya. Berarti dia ayah Reinhard dan putra Wilhelm.

“Heinkel van Astrea ….”

Menyebut namanya keras-keras, Subaru mampu merasakan bobotnya.

Dia paham siapa Heinkel sejatinya. Tidak salah lagi; pria di depannya menanggung nama keturunan keluarga Astrea—sekalipun karakternya tidak semacam para Astrea yang Subaru kenal.

“Jangan ditambah van, bocah. Aku tidak pernah dapat nama pedang. Namaku Heinkel Astrea.”

Mendengar gumam kesusahan Subaru, Heinkel mendecakkan lidah.

Seketika, rasa sakit tampak di wajah Heinkel. Boleh jadi inilah pertama kali Subaru membiarkannya semenjak kedatangannya. Kini rasa sakit mengalir di mata dirinya yang tidak memiliki apa pun selain kegembiraan gelap ketika meremehkan keluarganya sebelumnya.”

Berpikir ini sama sekali tidak menghibur, Subaru instan memotongnya, tapi—

“Terus kau datang ke sini untuk apa?”

“Emilia?”

Semua orang di aula yang telah menonton berbagai kata dan tindakan Heinkel, tersentak.

Orang pertama yang maju dan mengajukan pertanyaan itu adalah Emilia.

Gadis itu berdiri di depan Subaru, rambut peraknya tergerai di punggung seraya menyuarakan kemarahan yang ditutur lembut. Kulit Subaru bisa betul-betul merasakan kemarahan tulusnya.

Dia selalu marah pas orang lain disakiti tanpa alasan jelas.

“… wah, wah, jadi ini Nona Emilia. Saya sudah dengar rumornya. Anda nyatanya semacam putri separuh iblis mungil nan malang yang dibebankan pertempuran yang takkan mungkin dia menangkan.”

“Aku pengin mendiskusikan pendapatmu tentang diriku nanti, tapi aku takkan membicarakannya sekarang. Apa tujuanmu ke sini?”

Pernyataan provokatifnya bertujuan mengejek Emilia, namun Heinkel kelihatan terkejut tatkala usahanya jadi bumerang.

Subaru paham alasan fraksi-fraksi lain dalam ruangan syok oleh sikap berani Emilia. Menimbang perilaku Emilia kemarin sampai pagi ini, tentulah mereka terkejut oleh perubahan dramastis tersebut.

Oleh sebab itu dia pura-pura bodoh untuk menyembunyikan sifat aslinya … itulah yang beberapa orang yakini, tapi itu salah. Emilia orangnya memang seperti ini.

“Semua orang berkumpul di sini karena diundang Anastasia. Sudah kebetulan semuanya berkumpul di waktu bersamaan, dan aku tidak berpikir kau begitu saja berencana datang di saat seperti ini. Itu makin berlaku bagi anggota Kesatria Penjaga Kerajaan berpangkat tinggi. Apa maksudnya ini? Beri tahu aku.”

“Cih, dia sama sekali tidak sesuai rumor ….”

“Jawab dengan baik.”

Heinkel mendecakkan lidahnya dan menggaruk kepala murka—tanda jelas Emilia sedang menguasainya.

Emilia marah, tapi sepenuhnya tidak menunjukkan kekuatan. Presensi mengintimidasinya berkat sukma gigih yang dimilikinya, alih-alih energi sihir meluap-luap yang dia pancarkan.

“Waw, kau merengsek masuk terus dibungkam seorang gadis yang melotot padamu, ya? Hei, Pak, kau tidak keren amat.”

“Ada benarnya. Semisal dia ingin menghibur dirinya sendiri dengan percakapan lucu, dia seharusnya pergi menonton Biduanita. Kisah-kisah di sana bakalan jauh lebih lucu dan aneh.”

“Duh, begitukah? Maka individu tak sopan ini patutnya pergi saja dan bagaimanapun caranya habiskan waktu bersama Biduanita yang banyak diisukan.”

“—!”

Mendukung Emilia, Felt, Anastsia, dan Crusch, semuanya menambahkan.

Seperti halnya perbuatan Emilia, ketiga kandidat pemilihan raja lain menyerang penyusup tidak santun dengan intensitas kehadiran berwibawa mereka. Merasakan tekanan datang dari keempatnya, pipi Heinkel berkedut.

Hampir ibaratnya … dia tidak layak berdiri di atas panggung ini. Dibandingkan orang-orang yang mendapat hak berada di sana, jarak antara dirinya dan mereka memang membesar.

“Anda puaskah, wakil kapten? Kiranya Anda tak punya urusan lain, saya yakin akan saling menguntungkan jika Anda menarik diri dari tempat ini selekas mungkin.”

Julius menyarankan demikian kala melihat kontrasnya warna wajah Heinkel dan suhu meningkat para wanita.

Di satu sisi, dia menawarkan Heinkel sekoci. Pikiran terlintas di benak Subaru bahwa kalau bisa, batin Heinkel harus dihancurkan tepat di sini saat ini, tetapi Subaru inginnya tak memperlama percakapan ini.

Dia tidak mau Heinkel berada di ruangan sama dengan Reinhard dan Wilhelm lebih lama lagi.

“Ughhh ….”

“Wakil kapten, keputusan Anda. Bila memungkinkan, sebaiknya seluruh pihak menahan diri untuk mempersoalkan ini lebih lan ….”

“—itu tidak perlu, rakyat jelata.”

Suara memanggil itu sangat memesona, faktanya serba arogansi seseorang yang merendahkan orang lain selain dirinya.

Suara menakjubkan itu menundukkan hati serta memaksakan rasa superioritas mutlak kepada semua orang dalam jangkauan pendengaran, seratus persen mengganti persepsi mereka mengenai kelayakan dan nilai.

Semua orang di aula memalingkan mata ke pintu geser tertutup di belakang Heinkel.

Tidak lagi, tidak lagi satu orang pun memberi Heinkel perhatian. Mungin karena perhatian mereka tertuju sepenuhnya pada panas bagaikan matahari yang mendekat dari luar ambang pintu. Kemudian—

“Tampaknya orang-orang hina telah berkumpul. Mengagumkan. Kalian telah menyiapkan tempat cocok untuk keberadaan pribadiku. Atasnya, hanya atas ini, aku memujimu.”

Belahan dadanya diekspos provokatif. Dia mengenakan gaun semerah darah. Lengannya melingkari dadanya, menopang payudara besarnya dan bebas memamerkan kulit berkilaunya selagi tersenyum gerah.

Mata kirmizinya terlihat membakar segala. Tatapannya seolah mempermainkan semua hal. Kharisma menyihirnya adalah perwujudan pesona, siap memikat seluruh pria di dunia dan menjadikan mereka budaknya.

Di luar bagian tertentu, kecantikannya bisa jadi kekejaman. Eksistensinya belaka adalah penjelmaan deskripsi itu.

Dan namanya adalah Priscilla Bariel.

Dengan ini, kandidat kelima pemilihan raja sekaligus yang terakhir rupanya telah tiba ke pesta itu, tanpa diundang.

6

“Kuakui, akan tetapi, kalian tentu mengadakan acara ini di tempat terpencil. Teramat tidak mudah mencari transportasi cocok untuk menempuh jarak sejauh itu. Yah, pemandangan kota serta struktur aneh penginapan ini memang cocok dengan seleraku.”

Menyembunyikan bibirnya di balik kipas kirmizi, Priscilla mencibir selagi mengamati aula.

Orang-orang yang terheran-heran oleh kemunculan tiba-tibanya tidak dapat menanggapi pernyatannya. Melihat ini, Priscilla merajut alis indahnya tidak senang.

“Reaksi buruk macam apa ini, padahal aku repot-repot berjalan ke sini dengan kedua kakiku sendiri? Bukannya kebiasaan tepat untuk bersujud dan menyambut kedatanganku dengan air mata terharu?”

“… beraninya kau bertingkah seperti tuan putri besar? Adegan semacam itu cuma terjadi di kediktatoran.”

“Mmm?”

Subaru tanpa sadar menyela diktum egois Priscilla. Mendengar gumamnya, dia memiringkan kepala dan mata merahnya menatap lurus Subaru.

“… siapa kau? Ruangan ini untuk orang-orang bodoh tak sadar akan posisi mereka yang mencoba bersaing memperebutkan takhta melawanku. Mengapa orang desa kotor sepertimu bercampur bersama mereka?”

“Dia serius?”

Subaru menciut kesal terhadap hinaan terlatih yang mengancam nan sungguh-sungguh.

Priscilla tak memberi tanda-tanda lelucon ataupun petunjuk sarkasme maupun ejekan. Dengan kata lain, inilah pandangannya. Dia sama sekali tak menyadari keberadaan Subaru.

Cara mereka bertemu sepatutnya meninggalkan kesan, tapi dia sudah melupakannya sepenuhnya.

“Hei, Putri. Meski kau merasa begitu, bukannya itu mengerikan? Mungkin saja dia tidak menonjol di mata seorang putri sepertimu, tapi bagiku, saudaraku ini sangat menarik, oke?”

Lalu bak membelah selubung mengerikan dan stagnan yang gentayangan di atas aula, suara santai memanggil Priscilla.

Suara itu lumayan sayu dan disertai dentingan logam lirih. Suara berat datang dari koridor seketika seorang pria berlengan satu muncul kemudian berdiri di samping Priscilla.

Kepala pria itu ditutupi helm baja hitam, bagian lain dirinya memakai pakaian kasar yang bergaya modis bagi masyarakat pedesaan dan badit. Dialah AI, pelayan Priscilla serta pria yang posisinya sama dengan Subaru—dia pun dipanggil dari dunia lain.

AI yang tentu saja pergi bersama tuannya, mengangkat bahu letih pada Priscilla.

“Ayolah, kau ingat, ‘kan? Dia orang yang sangat mempermalukan dirinya di depan kerumunan besar saat Putri dan kandidat lain menyatakan keyakinan masing-masing di kastel. Dialah saudara ini. Kau memegang perutmu terus tertawa terbahak-bahak, bukan?”

“Aku tidak mengingatnya. Dari awal, mana mungkin aku akan melakukan hal setidak tahu malu memegang perut dan tertawa-tawa? Jangan samakan kebangsawananku dengan orang-orang kampung ini. Lain kali, aku akan copot kepalamu dari bahumu, AI.”

“Yah, itu dia, Saudara. Maaf, statusku tidak cukup untuk melakukannya. Kau harus kerja keras dan meningkatkan poin afinitasmu dari awal lagi.”

“Waktumu satu tahun, lantas bisalah meningkatkan kemampuan bicaramu sedikit lagi, sialan!”

AI meminta maaf ke Subaru sambil cepat menyerah mencoba mengingatkan tuannya mengenai pertemuan pertama mereka. Caranya mengatakan, “Maap, maap,” dengan main-main rasanya tidak berubah sedikit pun dalam satu tahun terakhir, membuat Subaru tak bisa berbuat apa-apa selain mendesah kepada tuan-pelayan konsisten itu.

“Bisa berubah sepertimu itu hak istimewa anak muda, Saudara. Pria tua sepertiku tidak bisa melakukannya, tidak, Pak.”

“Ya ampun, aku barusan mau merevisi peringkat di daftar jangan jadi orang dewasa seperti daftar ini—meski berlaku beberapa pengecualian.”

Berbeda dengan lidah asal ceplos AI, Subaru mengakhiri jawabannya dengan melihat Heinkel. Pria itu yang betul-betul ditinggalkan sebab perhatian semua orang berganti ke tempat lain, tersenyum seperti budak ke Priscilla.

“Anda terlambat, Nona Priscilla. Hati saya membeku, bertanya-tanya apakah Anda akan datang ….”

“Jangan menghinaku, rakyat jelata. Jika aku memerintahkanmu untuk menari, maka tugasmu sebagai rakyat jelata untuk menari sampai aku memerintahkan berhenti atau hingga mati. Bila kau menyalah pahami ini dan berusaha memperbaikiku, kematian karena keangkuhanmu takkan singkat atau tanpa rasa sakit.”

“Ghh ….”

 Wajah Heinkel sekilas mencerah karena harapan membalikkan keadaan, namun cambukan tajam mulut Priscilla membungkamnya. Tapi Subaru mengangkat alis saat percakapan dua orang itu membuatnya curiga.”

“Priscilla, dia orangmu?”

“… siapa yang mengizinkanmu memanggilku tanpa gelar, orang desa vulgar? Kendatipun aku semurah hati ibu penuh kasih, masih kelewat terbatas dalam hal perilaku semacam itu yang dilakukan seorang anak.”

“Putri.”

AI memanggil Priscilla selagi dirinya menatap tajam Subaru. Bau permohonan yang terkandung dalam suaranya menyebabkan Priscilla menutup sebelah mata dan mendesau.

“Aku tak tahu alasannya, tetapi pelayanku agak aneh menyukaimu. Aku akan menahan diri untuk tidak menghilangkan satu pun lapisan kulit dari kepalamu, jadi kau wajib berterima kasih pada AI—Tidak, kau harus menghormatiku. Aku ‘kan gelap mata terhadap ketidaksopananmu sekali ini.”

“… saya berterima kasih atas kemurahan hati luar biasa Anda. Sekarang jawab pertanyaanku.”

“Apakah rakyat jelata ini orangku atau bukan, ‘kan? Kalau begitu, asumsimu benar. Persisnya demikian. Aku memanggilnya dan mengirimnya ke tempat ini.”

“—!! Buat apa?!”

“Seumpama mesti menyebut alasannya, maka karena kupikir akan lucu.”

Subaru terperanjat. Mengikutkan tamu tak diundang yang lalu merusak kesempatan kakek untuk berdamai dengan cucunya—Priscilla telah menciptakan situasi ini untuk alasan yang terlampau kejam.

Saat Subaru menatap diam Priscilla, dia menjelaskan lebih lanjut.

“Iya. Usaha canggung dan menyedihkan seperti itu untuk meluruskan ikatan hancur keluarga …. Mustahil aku bisa tenang membiarkan pertunjukan tak sedap dipandang seperti itu berjalan. Sebab itulah, aku telah mengubah skripnya biar lebih cocok keinginanku. Tontonan cukup bagus, bukan?”

 “Priscillaaa!”

Tindakannya sangat jahat, dan dia yang santainya membicarakan itu membuat Subaru naik pitam.

Tontonan. Demikian yang disebut wanita ini. Menimbulkan luka mendalam di hati Reinhard serta Wilhelm, beberapa langkah lagi hingga kembali menjadi keluarga …. Dia menyebutnya tontonan.

“Hentikan, Saudara. Tidak ada gunanya melawan kami di sini. Kepribadian gila Putri bukan hal anyar. Anggap saja nasib buruk … situasi tidak beruntung.”

“Kalau kau mengerti itu, kendalikan dia, sialan. Situasi, matamu. Jangan bercanda.”

Ketika darah Subaru memanas, AI menghentikannya dengan dorongan tangan kanan. Cuma punya satu tangan, dia tidak sanggup menghunus pedangnya seperti itu—memperjelas dirinya tak berniat bertarung.

Subaru mengatupkan gigi kuat-kuat. Menyadari dialah satu-satunya orang di ruangan yang melupakan dirinya sebab kemarahan. Tentu saja, ini sahih pada para kandidat raja, namun tidak ada tanda-tanda Julius atau Felix terganggu oleh kejadian itu juga.

Tentu tidak. Ini adalah perkumpulan berbudi bintang-bintang naik daun yang bertujuan menjadi generasi berikutnya yang ‘kan memikul beban takhta—tidak seorang pun di antara mereka menginginkan sekutu yang dikuasai emosi dan melukai orang lain dalam kemurkaan.

“Tapi tidakkah itu artinya kau boleh menyakiti emosi orang lain semaumu dan oke-oke saja …?!”

“Subaru ….”

 Sewaktu Subaru mengungkapkan kemarahan hampir tak tertahankannya ke dalam kata-kata, Emilia memanggilnya sembari gemetaran, matanya sedih. Seketika menyadari perasaan lengan bajunya ditarik, Beatrice di sana juga, memegang tangan Subaru.

Menerima simpati pasangan itu, Subaru menghembuskan napas dalam-dalam dengan wajah pahit.

“Kelihatannya anjing kampung sudah berhenti mengocehnya. Hari ini, aku datang semata-mata untuk tampil. Kini sesudah melihat seluruh wajah penuh air mata kalian, aku tak punya alasan khusus untuk tetap tinggal.”

“Yah, bukannya itu bagus …? Kaulah satu-satunya orang yang tidak kuberi tahu kegiatanku di sini. Kau dengar dari mana?” tanya Anastasia.

Anastasia memotong kokok Priscilla yang telah menimbulkan keributan besar. Kewaspadaan muncul di mata biru-hijau pasi Anastasia begitu senyum masam menyebar di bibirnya.

“Padahal aku yakin tidak keceplosan dan memberi tahu anak mana pun dengan mulut ember ….”

“Hentikan kepura-puraannya, dasar rubah licik. Tatkala sesuatu memasuki telinga manusia, tak bisa dihindari juga akan menetes keluar selayaknya tetesan air mata. Begitu jumlahnya membanyak, sama halnya lubang terbuka. Bukan kau seorang yang mengawasi pergerakan orang lain.”

“Heh, nah itu mengejutkanku. Dari semua orang tidak kuharapkan Priscilla yang melakukan itu.”

Sarkasme bercampur kagum membuat Priscilla menyebarkan kipasnya selagi tertawa terbahak-bahak.

“Jikalau aku orang bodoh yang cuma melihat permukaan, aku takkan berbeda dengan kalian rakyat jelata. Karena orang-orang bersaing denganku demi hak waris, tentunya kau tak berusaha mengecewakanku dengan kinerja burukmu, benar?”

“… kau sungguhan orang yang susah didekati.”

Kekesalan nampak jelas dalam suara Anastasia sesaat dirinya mendesaukan ucapan Priscilla. Subaru setuju penuh dengan Anastasia soal itu. Dia salah menilai Priscilla sebagai seseorang yang tidak menganggap kandidat lain sebagai rival aktual dan berasumsi kukuh mengikuti jalannya sendiri.

Tetapi menimbang aksinya hari ini, Priscilla telah mendapatkan informasi akurat, menyiapkan penanggulangan, dan melaksanakan rencananya tanpa meremehkan detail—oleh sebabnya dia membawakan kelanjutan paling mengerikan ini.

“Orang tua ini, dia ayah Reinhard, ‘kan?”

Berikutnya sehabis mengabaikan jalannya perbincangan hingga titik itu, satu suara menyelipkan diri dengan mengabaikan sepenuhnya situasi sekarang ini.

Felt-lah yang meninggikan suaranya sambil menusukkan garpu ke daisukiyaki di piring. Sementara dia riang gembira mengisi pipi, mulutnya dilumuri saut pas melotot ke Priscilla.

“Kau bertingkah akrab banget di kastel sebelumnya, jadi antara itu dan percakapan tadi, aku paham. Bukan berarti aku tahu semua-muanya soal situasi keluarga pria ini … namun hubungan pak tua denganmu, nah itu berbeda.”

“… oh? Terus pendapat apa yang dimiliki gadis dari daerah kumuh tentangku?”

“Aku tidak sepenuhnya tak berhubungan sama ini. Keluarga Astrea akan diwariskan ke Reinhard, ‘kan? Itu namanya bantuan untukku, dan pak tua ini menggenggamnya.”

Waktu Felt menjelaskan, Reinhard menegangkan pipi selagi duduk di sebelahnya. Sekilas melihat reaksinya sudah cukup menyampaikan ke Subaru dan yang lain betapa besarnya masalah ini.

Felt adalah yatim piatu tanpa dukungan lain. Dia tidak punya dukungan substansial berbeda selain keluarga Reinhard. Satu tahun silam, aktivitasnya dipusatkan pada wilayah Astrea, memungkinkannya menerbangkan namanya sebagai kandidat raja sedikit demi sedikit. Namun apa jadinya andaikata pijakan pasti itu runtuh?

Bagaimana semisal kendali keluarga Astrea dan pengaruh sejati di dalamnya sebetulnya dipegang Heinkel?

“Heh, jadi kepala kecilmu akhirnya menyusul? Bagi orang tolol sepertimu pun itu lambat.”

Heinkel mencibir ketika Felt akhirnya memahami pemikiran Heinkel.

“Begitulah adanya. Warisan keluarga Astrea dalam genggamanku. Aku tak berniat menyerahkannya kepada Reinhard, dan takkan pernah! Tidak kepada Tuan Besar nan Agung Pedang Suci yang, oh sibuk banget buat negara! Takkan kubayangkan memercayakannya ke seseorang yang punya pakerjaan semerepotkan dan menyebalkan itu!”

“Penguasa atas nama saja sok bermulut besar. Keparat, kau tahu keadaan negeri yang kau tinggalkan? Kau dan orang-orang di sekelilingmu cuma melakukan seinginmu.”

Ketika Felt menggeram serendah mungkin, Heinkel mengejeknya, berkata, “Ooh, menyeramkan.” Kata-kata dan gerakan provokatifnya makin menambah jijik dan muak yang sudah memenuhi ruangan tersebut.

Setelah menanggung terlalu banyak cacian jahat, Reinhard akhirnya mengangkat kepala. Dia masih berusaha menjaga ekspresi netral ketika menghadap Felt alih-alih ayahnya.

“Nona Felt, saya ….”

“Reinhard.”

Reinhard hendak mengatakan sesuatu, tapi dia berhenti setelah itu. Penyebabnya ujung garpu Felt ditusukkan ke ujung hidungnya.

Mata Reinhard goyah sesaat tindakan tuannya menyegel bibirnya. Lalu tanpa melihat Reinhard, Felt—

“—jangan banyak omong, pasang saja wajah perangmu.”

Reinhard membuka mata lebar-lebar seketika Felt memberi perintah. Tetapi perubahan dalam diri cepat setelahnya yang mengejutkan semua orang.

“—ya.”

Reinhard mengangguk sungguh-sungguh begitu cahaya kembali ke mata birunya. Sekalipun ayahnya sendiri telah mencela dan merusak momen perbaikan hubungan dengan kakeknya, rasa sakit yang menempel padanya telah hilang, paling tidak selama momen singkat tersebut.

“… semuanya jadi salah. Hal buruk terus terjadi. Jangan main-main.”

Heinkel mendecakkan lidah kala segalanya mulai serba salah. Akan tetapi, usai menggeleng kepala, senyum jahanam langsung kembali ke mukanya.

“Terserah mau bilang apa; insting akan bahayamu itu tepat, oh Reinhard sang master besar. Keluarga Astrea itu milikku. Dan aku tidak mendukungmu.”

Untuk menjerat orang lain kemudian menyakiti mereka dengan ucapan bengis—tanpa tujuan lain, Heinkel mengayunkan kata-kata menyerupai bilahnya.

“Kuyakin, tak seorang pun perlu penjelasan siapa yang kudukung. Kalian bekerja keras sekali satu tahun ini. Hasilnya luar biasa. Kini aku akan merenggut semua yang kalian bangun dan memberikannya kepada Nona Priscilla sebagai hadiah ….”

“Rakyat jelata.”

“Aah? Ya, Nona Priscilla? Saya tengah dalam percakapan penting di sini.”

“Diam.”

Tindakan tirani yang mengikutinya membuat semua orang terkesiap.

Dengan satu peringatan tersebut, Priscilla menunjuk kipasnya ke tengkorak membelalak Heinkel. Kipas angin terlipat itu membelah udara, kekuatan besar membalik tubuhnya kemudian dibanting ke lantai. Impaknya membuat mata Heinkel berputar-putar, sekali serang membuatnya tak sadarkan diri.

Tetapi hukuman Priscilla tak berakhir di sana. Ujung sepatunya menendang Heinkel roboh, berikutnya menarik kembali tangannya sewaktu Heinkel mengudara. Kemudian dia mulai mengayun—

“Putri, amukanmu sudah cukup. Dia nanti mati.”

Mata merah Priscilla melotot ke AI tatkala menggenggam pergelangan tangannya dan memintanya berhenti. Namun langkah AI benar. Heinkel pasti mati bila dia tidak menyela.

Karena entah kapan, pedang kirmizi indah telah dipegang Priscilla.

Bilah berkilauan itu menampakkan pola bergelombang. Orang bisa tahu sekali pandangan bahwa senjata itu tidak biasa. Muncul di tangan Priscilla sekejap mata dan menghilang cepat.

Melihatnya, AI perlahan-lahan melepaskan tangan Priscilla.

“Duh, beri aku jeda sebentar. Kau bahkan menghunus Pedang Matahari. Ini tidak sehat untuk jantungku …. Bnnnfh!!”

“Kaulah yang paling kurang ajar, AI. Atas izin siapa kau boleh menyentuh dagingku yang seperti permata? Penanganan kurangnya perhatian wanita dan hasrat membara itu urusanmu, tetapi jangan sampai bermimpi menodaiku di tengah usahamu.”

Tangan kosongnya menonjok perut AI, Priscilla membuat bawahannya mengerang kesakitan. Dia mendengus, menatap Heinkel dengan mata dinginnya selagi berbaring menyedihkan di lantai.

Kekejaman tak berbelas kasih di mata merah itu memang menakutkan

“Biarpun kebiasaanku adalah tidak memberi belas kasih kepada mereka yang berbuat hal tak pantas dan menjijikkan …. Perkataan AI tentu ada manfaatnya.”

 “Seandainya kau berpikir begitu, aku lebih suka perlakuanmu kepadaku sedikit lebih lembut.”

“Jangan bilang begitu. Aku bukan iblis. Nanti, aku akan menghadiahkanmu izin untuk menjilat kakiku.”

“Bisa berhenti bicara seakan-akan itu membahagiakanku?! Kelak kau akan menyebabkan banyak kesalahpahaman.

Priscilla tak memedulikan AI yang memohon sambil berlutut. Malah, dia menepuk tangan.

“Schult, bawa rakyat jelata itu keluar dari sini. Sia-sia membuangnya lebih awal. Rawat lukanya.”

“Segera, Nona Priscilla!”

Muncul sewaktu memanggil bocah berambut merah muda yang rupanya sedang menunggu di koridor. Subaru pernah sekali melihat orang ini di mansion Priscilla dulu; dia seorang anak laki-laki dengan rambut terlihat halus dengan ikal lucu.

Kepala pelayan dalam masa pertumbuhan yang masih muda berlari kecil menghampiri Heinkel dengan langkah kecilnya. “Maaf atas ketidaksopanan saya, Lord Heinkel.”

 Dengan kata-kata sopan tersebut, dia memegang kedua kaki Heinkel dan menyeretnya ke koridor. Metode pemindahan itu membuat Heinkel menabrak polisi tidur sana-sini, namun Schult patuh melakukan pekerjaannya tanpa komplain sekali pun.

Melihat tampilan profesionalitas si anak muda, AI menyenggol celah mata helmnya seraya sekadar berkomentar.

“Bocah cantik Schult kita selalu bersemangat, bukan? Kau benar-benar perlu lebih memujinya, Putri.”

“Wajar saja aku mesti dilayani sepenuh hati. Itulah yang kusuka dari Schult. Aku akan memberinya hadiah dengan baik. Schult pun dibolehkan menjilat kakiku.”

“Gambaran itu sangaaaaat tidak senonoh. Beri dia hadiah berbeda, kumohon.”

“Hmm. Maka kehormatan tidur sembari meringkuk dan memelukku, mungkin?”

“… yah, itu tidak masalah, kurasa. Aku hampir pengin bertukar tempat dengan dirinya sekarang.”

Di penghujung perbincangan santai tuan dan pelayan, Priscilla sekali lagi mengembalikan pandangannya ke aula. Di antara orang-orang dalam ruangan, dia memalingkan mata ke Felt dan wajah muramnya.

Kalau dipikir-pikir, dua orang itu saling melotot seperti ini di kastel juga. Bisa jadi kecocokan mereka sedari awal sudah mengerikan.

“Jadi pak tua barusan itu serius? Dia akan mengusirku dan mengambil kembali posisinya sebagai seorang lord?”

“Jika demikian, kau mau berbuat apa? Menangis di bantalmu dan mundur dengan sopan?”

“Ha! Jangan buat aku tertawa. Persetan kata orang lain, itulah hal yang paling takkan kulakukan. Bila tidak ada warisan dan aku diusir dari wilayah Astrea, semuanya akan jadi sangaaat sederhana, bukan?”

Selagi bicara, wajah Felt beralih ke senyum ganas sembari mengasih isyarat ke Reinhard.

“Dia akan memaksa tua bangka itu menyerahkan warisan. Dia ini cukup santuy, tapi jauh lebih dapat diandalkan ketimbang si brengsek itu. Pak tua tidak lama lagi akan pensiun.”

“….”

Terlepas itu realistis atau tidak, pernyatannya terlampau memuaskan.

Pernyataan Felt membuat Priscilla menyipitkan mata. Selanjutnya Priscilla menutupi bibir dengan kipas sekali lagi.

“Tidak usah menganggap serius kata-kata rakyat jelata itu. Kendatipun hak atas wilayah diubah secara kertas, kepercayaan rakyat akan tetap dimilikimu. Masyarakatnya barangkali isinya orang-orang bodoh, tapi kebodohan mereka sendiri mengartikan lambat melupakan dendam. Sebab satu-satunya nilai rakyat jelata tanpa bakat adalah mengerahkan mereka sebagai pion, hal ini menjadikannya tidak berguna.”

“… terus kenapa kau bawa pak tua itu?”

“Sudah kubilang. Aku membawanya tidak lebih demi hiburanku sendiri. Dalam hal ini, dia telah membuktikan nilainya.”

Disertai keyakinan mutlak akan standarnya sendiri, Priscilla bicara tanpa ragu sambil mengamati ruangan.

Dia bekerja dengan caranya sendiri. Menyerah atau melayani atau menghadapinya dengan tekad besi; tiada pilihan lain.

“….”

Kemudiaan keempat kandidat oposisi tak segan-segan mengutarakan kehendaknya sendiri.

Menerima tatapan mereka, Priscilla mengangguk puas nian.

“Bagus sekali. Kemenanganku sudah pasti. Karenanya, aku berhasrat jalannya akan sebergejolak dan semenyenangkan mungkin, kalian yang menentangku—itulah peran pendukung yang harus kalian mainkan.”

Demikian pengumuman berani Priscilla kepada empat saingannya selama satu tahun dimulainya pemilihan raja.

Inilai peniliannya mengenai perubahan yang telah terjadi dari tahun kemarin. Inilah inti yang ditarik mata kirmizi Priscilla Bariel, yang memiliki keyakinan tak tergoyahkan bahwasanya seluruh dunia bergerak mengikuti kemauannya.

“Akan kubuat kau menyesali kebanggaan itu.”

Deklarasi perang tiba-tiba Felt mencerminkan sorot mata semua orang yang hadir.

7

—bahkan waktu keadaan sudah menenang, mustahil mengembalikan suasana aula ke saat sebelumnya.

Sesudah Felt menyampaikan pesannya, wanita bermata merah itu keluar aula tamu dengan paras puas di wajahnya diikuti kesatrianya. Dikatakan oleh Priscilla, itu sama saja kegembiraan sebab telah mencapai tujuannya.

Mengkalkulasikan sakit yang dia timbulkan pada Subaru dan yang lain, perbuatannya sangat egois.

Pada akhirnya, setiap fraksi yang telah berkumpul untuk makan bareng, bangkit berdiri kemudian bubar tanpa sekali pun usaha untuk melanjutkan obrolan menyenangkan mereka—juga tanpa perbaikan hubungan damai Reinhard dan Wilhelm.

“Kita sungguh beruntung Garfiel tidak di sana.”

Itulah kata-kata perpisahaan Otto ketika pergi ke Perusahaan Muse sendirian.

Dia tentu ada benarnya. Apabila Garfiel dan para pemarah lainnya ada, pembantaian mungkin takkan bisa dihindari. Karenanya, Heinkel lolos hidup-hidup.

Tentu saja andaikan dia kehilangan nyawanya di bentrokan selanjutnya, reputasi pembunuh dan tuannya akan jatuh ke tingkat terbawah.

“Jangan bilang dia membuat kekacauan di sana dengan tujuan itu … aku terlalu memikirkan ini, ‘kan?”

Bayangan mental menakutkan mata membara Priscilla yang melihat segala kemungkinan telah terlintas dalam benaknya. Subaru merasa jika dia sangkal, melewatkannya sebagai kebetulan belaka, sama saja menerima kesuksesannya adalah berkat keberuntungannya.

“Tenanglah, dasar badut …. Di akhir-akhir, cuma aku yang mengungkap kebenarannya.”

Melihat kembali peristiwa yang terjadi di aula, Subaru benar-benar berpikir kurangnya pengendalian diri itu menyedihkan.

Bahkan kelakuan Felt saja logis; Subaru-lah orang paling emosional di ruangan itu. Pastinya dia sumber kecemasan besar bagi Emilia dan juga Beatrice.

Derit lantai kayu tampaknya mencerminkan derit yang dia rasakan dalam hatinya sendiri. Mendapatinya sangat menjengkelkan, Subaru berjalan dengan langkah berat seakan-akan membantunya mengerti.

“Jangan lampiaskan frustasimu ke lantai. Nanti mengakibatkan masalah buat para pekerja penginapan.”

Subaru menatap intens lantainya ketika sebuah suara memanggil.

Melihat sekeliling, dia mendapati Julius mengawasinya dari taman. Di suatu waktu Subaru sudah sampai di pinggir taman tanpa sadar.

Pria itu terlihat indah sekali selagi menyentuh rambut ungunya yang sedikit kacau karena ditiup angin segar.

“Kau tidak bersama Nona Emilia dan Nona Beatrice?”

“Yah, kau bisa lihat sendiri. Mereka berdua bukan anak-anak, keduanya di usia yang butuh waktu pribadi. Bahkan aku punya cukup kepedulian untuk menghormatinya. Lagian, kami nanti mau kencan.”

“Ada beberapa istilah yang belum pernah kudengar sebelumnya, tapi aku yakin memahaminya. Rupanya kau bisa belajar perhatian.”

“Ghhh, kenapa kau …!”

Kendati Subaru cepat mengajak kelahi, Julius-lah yang pertama kali mendaratkan pukulan besar, menyebabkan Subaru hilang ketenangan. Tetapi kekesalannya langsung hilang saat melihat ekspresi Julius.

Bulu mata Julius gemetaran, entah bagaimana nampaknya dia menahan penyesalan.

“Maaf. Seumpama kau sungguhan kurang empati dan perhatian, seharusnya kau takkan merasa sangat sedih bicara dengan wakil kapten tadi—sejatinya, mestinya aku yang berterima kasih padamu.”

“Aku cuma termakan emosi macam orang bego sementara semua orang berpikir baik-baik dan tetap tenang.”

“Tidak demikian. Hanya karena penampilan kemarahanmulah orang-orang di sekitarmu bisa mempertahankan ketenangan, tidak lebih. Aku bukan pengecualian. Gegabahmu ada tujuan bernilainya.”

“Kau betul-betul tidak mencoba memujiku, ‘kan?” Subaru meringis mendengar perkataan yang diucapkan kepadanya.

“Aku paham. Aku harus lebih tenang dan terus mengingat mempertahankan ketenangan. Harusnya begitu perilaku kesatria, ‘kan? Aku sadar tidak pikir panjang. Lagi pula, aku sudah tandai di setiap rapor yang kudapat pas SD.”

“… tentu saja, kalau ingin mencari perilaku kekesatriaan, tindakanmu tidak dapat dipuji. Namun.”

Julius mendadak menghentikan kalimatnya. Seketika Subaru menyadari yang dilakukannya, matanya terbuka kaget.

“Uh, kau sedang apa?”

“Persis seperti kelihatannya.”

“Yah, menurutku, kayaknya kau lagi membungkuk kepadaku.”

Satu lutut Julius berlutut, khusyuk menundukkan kepalanya.

Ini bukan penghormatan kesatria, atau kebiasaan di antara para bangsawan. Dia semata-mata bertingkah sebagai orang biasa.

“Aku berterima kasih. Aku ingin menyampaikan terima kasihku atas kemarahan benarmu saat itu.”

“… aku takt ahu maksudmu.”

“Bila seseorang mengabdikan diri ke kekesatriaan, maka dia harus berusaha bersikap layaknya kesatria terlepas keadaan …. Dia tidak boleh bertindak berdasarkan emosi, sekalipun temannya diremehkan atau dipermalukan. Tapi kau tak terikat hal-hal seperti itu.”

Kepalanya masih tertunduk, Julius menambah lebih banyak tutur teirma kasih atas gegabahnya Subaru.

Respon tidak terduga tersebut membuat Subaru mengedipkan mata berkali-kali. Akan tetapi, akhirnya—

“Jadi dasarnya kau berterima kasih padaku karena sudah marah menggantikanku—duh, kau ini goblok atau bagaimana?”

Sesaat Subaru yang masih gusar kembali melampiaskan, kata-katanya membuat Julius mengangkat kepala. Menerima beban kemarahan Subaru, bibirnya tersenyum mencela pribadi.

“Goblok, katamu.”

“Goblok dan candaan jelek. Mengapa juga harus aku yang marah bukannya kau? Aku sebal pada diriku sendiri karena marah. Bukan berarti mau menghantam wajah berjanggut itu demi orang lain, tetapi demi diriku sendiri.”

Subaru benar-benar jengkel pada Julius, mengira dirinya salah.

Amarahnya tak semulia nan benar yang dibuat-buat Julius. Subaru praktis tidak tahu apa pun perihal masalah keluarga Astrea. Karenanya dia egoisnya marah sendiri atas asumsi egoisnya seorang, tidak lebih.

“Kalau kau tak suka, sepantasnya kau marah juga. Karena kalau cuma aku, dia takkan menghiraukan, tapi misalkan kau ikut, ayah Reinhard akan kabur sambil bawa malu.”

 “Pemimpin hanya nama atau bukan, beliau adalah wakil kapten Kesatria Penjaga Kerajaan. Akan sangat tercela bersikap setidak sopan itu kepada atasan langsung.”

“Tadi kau sedang tidak langsung dibawahinya, kau barusan memanggilnya begitu, bukan? Bung, tidak fleksibelmu ini semana lagi? Sepanjang waktu mendedikasikan diri pada kekesatriaan, hatimu memakai baju zirah juga?”

Menekan Julius hingga terdiam, Subaru melipat tangan dan mengangkat kepalanya ke langit sambil mendengus.

Argumennya kekanakan. Biarpun dia diucapkan terima kasih, Subaru marah ke Subaru hanya karena dia tidak peduli.

“Zirah di atas hati, katamu …? Hmph, kata-katamu lumayan dalam menyayat hati.”

“Bagiku, kedengarannya keren dikatakan, tapi jangan terlalu pikirkan. Cuma kalimat orang bego.”

“Tidak, aku ‘kan menganggapnya berharga. Senang berpikir aku diselamatkan dirimu, pikiran yang takkan pernah kubayangkan setahun sebelumnya.”

“Asal kau tahu, aku masih bermimpi buruk soal itu sesekali.”

“Hmm …. Kalau bisa, aku ingin menghindari situasi kita bereuni dalam mimpi sehari-harimu.”

“Aku pun lebih suka melakukan ini-itu sama Emilia-tan! Tidak ada tempat untukmu dalam mimpiku!”

Suasana syukur sebelumnya yang telah hilang, Julius kembali ke nada suara normalnya selagi mengacak-acak rambut.

Muak pada dirinya sendiri sebab lega dengan perubahan sikap, Subaru mengganti paksa topiknya.

“Tentang wajah berjenggot tadi …. Masa sih, wakil kapten itu ayahnya Reinhard?”

 “Kurasa tak mengherankan kau meragukannya, tapi itulah kebenarannya. Orang itu memang Heinkel Astrea, wakil kapten Kesatria Penjaga Kerajaan Lugunica.”

“Kok bisa? Apa manajemen sumber daya manusianya buta, ataukah bahkan tidak satu orang pun mempertanyakan dia bakalan bermasalah atau tidak?”

“Jawabannya ada yang kau dengar. Tentu saja, tidak sedikit para pembangkang yang meragukan kelayakan wakil kapten, baik dari pimpinan maupun penjaga kerajaannya sendiri. Faktanya, posisi wakil kapten ditetapkan sebagai penghias saja.

Tentu, tidak seorang pun benaran pernah melihat beliau menjalankan tugas.”

Ketika Julius menggeleng kepala lalu menjawab, Subaru membayangkan beberapa birokrat berpangkat mengundurkan diri untuk mengambil pekerjaan nyaman di industri swasta. Itu sepertinya deskripsi cocok buat situasi Heinkel—pekerjaan penting bergaji tinggi yang memerlukan sedikit pekerjaan aktual.

“Jangan bilang dia memanfaatkan pengaruhnya sebagai ayah Pedang Suci untuk mendapatkan posisi itu?”

“… itu pun sebagiannya. Namun alasan terbesar bukan terletak pada wakil kapten melainkan Reinhard … atau mungkin akuratnya keluarga Astrea.”

“Keluarga Astrea …. Apakah Wilhelm termasuk juga?”

“Yah, pria itu putra Tuan Wilhelm serta kepala keluarga Astrea saat ini. Beliau pun ayahnya Reinhard. Apa jadinya kerjaaan bila orang seperti beliau memberontak dikarenakan perlakuan tidak pantas?”

Selagi memberi penjelasan lain, Julius berusaha keras menahan balasannya sebisa mungkin tenang.

Mendengar jawabannya, Subaru merenung beberapa detik. Kemudian langsung tiba di jawaban.

Alasan pria itu, Heinkel Astrea, diperlakukan baik sekali oleh kerajaan adalah—

“—jika Heinkel memberontak, artinya keluarga Pedang Suci menjadi musuh kerajaan. Jadi dia diperlakukan seakan orang hebat untuk meneruskan hubungan baik …? Yang artinya, kerajaan tidak percaya Reinhard, atau Wilhelm dalam hal ini?!”

Kalau begitu, Subaru hanya dapat menganggap perlakuan semacam itu sebagai penghinaan besar baik kepada Reinhard dan Wilhelm. Mempertimbangkan kepribadian keduanya, mana bisa siapa pun menduga mereka akan mengkhianati kerajaan?

“Kemarahanmu beralasan. Tetapi para pemimpin kerajaan wajib meninjau segala kemungkinan.”

“Mustahil!! Tidak mungkin hal semacam itu …!”

“… Tuan Wilhelm adalah mantan kapten Kesatria Penjaga Kerajaan.”

Di saat Julius maju selangkah dan menuturnya, napas Subaru tertahan, tubuhnya terhenti.

“Lima belas tahun lalu, seseorang menculik anggota keluarga kerajaan dari Istana. Waktu itu, Tuan Wilhelm-lah yang bertanggung jawab atas penculikan anggota keluarga kerajaan sebagai kapten Kesatria Penjaga Kerajaan.”

“Terus? Bahkan aku pernah mendengar tentang penculikannya.”

Anggota keluarga kerajaan yang diculik—apakah Felt orangnya? Insiden itu diduga alasan di balik keikutsertaannya dalam pemilihan raja. Kenapa Julius menggali cerita surealis tersebut.

  “Aku juga tahu anak yang diculik tak pernah ditemukan. Lantas kenapa? Apa artinya Wilhelm punya semacam dendam ke kerajaan karena harus bertanggung jawab lalu keluar dari kekesatriaan?”

“Bukan begitu—tapi, Ekspedisi Besar, upaya menumpas Paus Putih yang menyertakan Pedang Suci sebelumnya, terjadi selama Tuan Wilhelm absen dari ibu kota untuk melakukan pencarian.”

Ucapan yang diutarakan Julius menjadikan pikiran Subaru sekali lagi kosong. Yang meluncur ke kekosongan itu adalah kata-kata yang dia ingat pernah dengar dari Wilhelm di suatu waktu.

Wilhelm bilang dia tak mampu berdiri bersama istrinya di detik-detik terakhir hidupnya.

“Disebabkan kejadian itu, Wilhelm tidak hadir di momen kematian istrinya, alhasil menaruh dendam sama orang yang bertanggung jawab?”

“Aku tidak tahu niat sebenarnya Tuan Wilhelm. Namun demikian, faktanya adalah pencarian itu dibatalkan, Ekspedisi Besar sendiri berakhir gagal, lalu Tuan Wilhelm mengundurkan diri dari Kesatria Penjaga Kerajaan. Beliau pasti takkan pulih bila Kapten Marcus tidak berusaha sebaik mungkin mengupayakannya.

“Aku tidak peduli sama kejadian sesudahnya! Aku membicarakan Wilhelm di sini. Menurutmu bagaimana? Pikirmu dia masih menyimpan dendam soal istrinya, dan …?”

Apakah Julius curiga Wilhelm barangkali akan memberontak melawan kerajaan?

Dia pikir orang ini, Wilhelm van Astrea, adalah manusia seperti itu?

Bagaimana bisa padahal ketika seseorang menatapnya lalu di pikirannya langsung ada seorang pria yang begitu blak-blakan mengenai cintanya sampai-sampai rela menawarkan segalanya demi itu? Tidak bisakah kau lihat dari matanya, punggungnya?

Dan kenapa orang-orang yang Subaru sukai dikenai prasangka tak pantas seperti itu?

“Kenapa semuanya tidak mengerti Wilhelm bukan orang seperti itu …?”

Menuntut alasannya dengan suara tercekat, Subaru melotot ke Julius. Menerima tatapan tajamnya secara langsung, mata Julius entah bagaimana kelihatan iri selagi menatap balik temannya.

Subaru tahu. Dia tahu betul kemarahannya salah tempat dan target.

Hingga akhir, Julius baru secara objektif membacakan kisahnya. Julius sendiri sama sekali tidak meragukan Wilhelm, tidak pula salah satu orang yang meragukannya.

Bagaimanapun, Julius berterima kasih kepada kakek itu sehabis pertempuran melawan Paus Putih setahun lalu.

Dia sanjung Wilhelm yang telah mengejar harapan teragungnya selama empat belas tahun.

“… maaf. Aku bodoh.”

“Tidak, kau tidak salah. Yang kau katakan benar. Akulah yang salah—jadi aku tidak berubah, tanpa kesempatan memperbaiki kesalahanku.”

Menurunkan pandangan masing-masing, saling memejamkan mata selagi bergulat pikiran tak tertahankan.

Benih-benih ketidakpercayaan perkara itikad sejati Wilhelm masih ada. Bukan macam hal yang bisa langsung dibetulkan kata-kata serta tindakan.

“… berlaku pada Reinhard juga?”

“Situasi di pihaknya berbeda—suatu waktu, Reinhard melakukan seluruh perintah Tuan Heinkel. Bukan periode waktu yang bisa dilalui dengan sekadar bilang, yah, mereka ayah dan anak.”

Memalingkan pandangan dari Subaru, Julius kelihatan menyesal saat bicara.

Tapi tanpa menyentuh rincian apa-apa, Julius menarik napas dalam-dalam dan melanjutkan penjelasan.

“Seketika Reinhard jadi mandiri, perilaku itu berakhir. Walau begitu, banyak hal terjadi sehingga keresahan tetap ada di kerajaan. Contohnya, bisakah hal semacam itu tidak terjadi sekali lagi?”

“… jadi biar Heinkel tidak memberikan perintah gila ke Reinhard, kerajaan berusaha sekuat tenaga membaik-baikkan suasana hati Heinkel?”

“Boleh jadi jauh lebih buruk, ini tidak lebih dari rumor, tapi akan tetap kusampaikan—bagimu, yang mengungkapkan kemarahannya dalam situasi tersebut sebagai teman Reinhard.”

Dengan pembukaan merisaukan itu, Julius buru-buru mengamati sekeliling mereka. Setelah memastikan tidak ada yang menguping, dia berbalik menghadap Subaru. Lalu—

“Wakil kapten dicurigai terlibat dalam insiden penculikan kerajaan lima belas tahun lalu.”

“—?!”

“Tidak ada bukti pasti. Tetapi faktanya aku dengar kecurigaan seputar beberapa keadaan.”

“Memangnya mungkin? Maksudku, dia yang terkait penculikan itu.”

“Antara benar-salahnya tidak terlalu penting. Seseorang yang dicurigai melakukan hal-hal semacam itu berpotensi memerintah prajurit terhebat kerajaan sesuka hati. Ini dianggap bermasalah.”

Menyandang gelar Pedang Suci adalah kehormatan spektakuler—meski demikian, pengumbaran situasi ini membuat Subaru merasa seolah-olah itu kutukan dibanding kehormatan.

“Maksudku, andai itu benar, maka salah Heinkel Wilhelm tidak menamani kematian istrinya.”

“… itu bukan setengahnya. Aku menelinga waktu itu, Lord Heinkel-lah yang merekomendasikan Lady Theresia yang telah menidurkan pedang beliau dan pensiun dari tugas aktif, berpartisipasi dalam Eskpedisi Besar.”

“Dia lempar ibunya sendiri ke garis depan melawan monster iblis itu?!”

“Kami punya sisa catatan sejak saat itu. Wakil kapten menolak mengikuti Ekspedisi Besar, menominasikan Lady Theresia untuk bergabung dalam pertempuran menggantikan beliau.”

Saat Subaru mengetahui lebih banyak kejadian ini, dia tertegun.

Heinkel telah mengirim ibunya sendiri untuk menggantikannya di medan pertempuran. Di sanalah, ibunya gugur dalam tugas7. Demi melindungi dirinya sendiri terhadap ayahnya yang tak sanggup mendampinginya di momen-momen kematiannya, dari memegang pedang untuk membalas dendam, Heinkel memanfaatkan bakat putranya sebagai perisai, menghabiskan hari-hari damainya dalam kemalasan bejat.

Tidak mungkin. Manusia yang betul-betul tega melakukannya tidak mungkin ada.

Bukan karena Subaru ingin menegaskan kemanusiaan Heinkel. Dia tak bisa menerima kemungkinan teoritis bahwasanya seorang manusia yang mampu hidup setidak tahu malu itu bahkan eksis.

“… maaf. Aku sepatutnya tidak memperbincangkan hal-hal semacam itu ketika batinmu tidak siap.”

Suara murung Julius meminta maaf kala menyadari betapa kaget dan tak bisa berkata-katanya Subaru.

Dia dari tadi hanya mendengarkan, dan hampir tidak kuat mengendalikan diri. Julius tak mungkin bisa mempertahankan ketenangannya sebab dialah yang mengemukakan seluruhnya. Bagi orang seperti Julius yang konstan berusaha bersikap rasional dan logis, perangai ini sangatlah aneh.

“… bukan berarti ini salahmu. Akulah yang menyuruhmu memberi tahu.”

“Ini bukan sikap yang pantas dipuji. Melihat keluarga orang lain dan bicara dengan campuran isu dan prasangka itu terlampau tidak sensitif; itulah tindakan yang seharusnya membuat seorang kesatria malu.”

“Tapi kau pastikan melihatnya sampai tamat, ‘kan? Karena kau teman Reinhard.”

Saat Julius menegur dirinya sendiri, Subaru menggeleng kepala.

“Aku tidak tahu sudah berapa lama kau berteman dengannya, tapi aku paham apa yang kau cemaskan tentangnya. Makanya normal merasa kesal. Kurasa itu tidak ada aneh-anehnya. Menurutku tidak benar juga mundur baik-baik hanya gara-gara itu urusan pribadi keluarga lain.”

Bagi siapa pun yang mengenal Julius, mencurigainya sebagai orang tak pengertian adalah tingkat kebodohan tertinggi.

Natsuki Subaru tahu persis orang macam apa Julius Juukulius itu. Apa faedahnya mencurigai persahabatan?

“Sudah kuberi tahu sebelumnya, ‘kan? Tidak usah terus terobsesi jadi kesatria berkelakuan baik. Oh ya, mungkin harusnya kau lepaskan baju zirah itu dan jadilah Juli sementara waktu. Barangkali lebih fleksibel seperti itu akan semakin membantu tindakanmu.”

Juli adalah nama palsu yang dipakai Julius saat bekerja sama memburu Kultus Penyihir. Mengingat posisinya, tidak ada yang percaya Julius akan bergabung sekelompok tentara bayaran, lantas dia mengajukan nama palsu sebagai usaha terakhir untuk menyembunyikan elegannya. Ujung-ujungnya, nama itu tidak berguna sekali sampai-sampai lupa Julius gunakan, tetapi saat itu, Julius membiarkan dirinya menjauh dari aturan ketat kesatria.

“Juli, katamu? Kau menyebut nama yang cukup nostalgik.”

“Semacam pergantian cerita yang kau rasakan sekali lalu sejenak kemudian sudah kau lupakan. Sekadar mengingatnya membuatku membanggakan diriku sendiri.”

“… tapi ketika kau bilang tidak terikat kesatria, kau menyarankan hal sangat sulit. Bukan berarti kau tidak tahu nama panggilanku.”

Kesatria terbaik seutuhnya itu yang membuatmu kaku banget, ‘kan? Pas mandi dan melepas semua baju zirah itu, pastikan lakukan peregangan ekstra sebelum pakai kembali.”

Di tempat, Subaru dengan bangga membungkuk dan tangan menyentuh tanah. Maksudnya memamerkan betapa lenturnya dia selama setahun ini.

“Jika kau berniat melampauiku dengan penampilan kecil itu, aku cuma bisa mendesah terhadap kurangnya kekuatan pengamatanmu.”

“Uwaaaah?!”

Setelah ucapan singkat, Julius membuka kakinya lebar-lebar, satunya di depan dan satunya di belakang selagi berpose ekstrem di depan Subaru yang bertingkah penuh kemenangan. Subaru ternganga melihat seberapa jauhnya kaki Julius diregangkan. Tanpa menggerakkan apa-apa, dia mudahnya mendaratkan pinggul.

Pria menjijikkan itu dengan gampangnya melebihi Subaru di semua baagian. “Y-yah, aku masih jago menyanyi dan main lyulyre!”

“Aku sungguh tidak tahu pentingnya memenangkan kontes seperti itu, tetapi aku agak akrab dengan pertunjukan musik.”

“Gah! Itu dia! Bahkan aku pun tahu saat orang sepertimu bertingkah rendah diri, artinya dia sangat ahli! Mustahil aku satu grup musik denganmu! Sekejap mata kau akan mencuri posisi vokalisku!”

“—begitu.”

Selagi Subaru terus mengutarakan keluhannya, Julius mengembalikan kaki terentangnya ke posisi semula dan berdiri. Seketika Julius mendesau, Subaru mengerutkan alis; dihadapkan tatapan tersebut, Julius menyapu ke belakang rambutnya, senyum kemenangan muncul selagi menatap langit.

“Jadi ketika Juli melihat langit, berdiri di tengah angin kencang, rasanya begini.”

“Apa—?”

“Kalau kupikir lagi, langit selalu terlihat berbeda tatkala itu. Rasanya seperti baru mengingatnya.”

“Aku tidak paham. Kau benar-benar keparat sombong.”

Sengaja mengabaikan suasana yang telah terbangun, Subaru duduk di lantai ditinggikan yang berbaris di tepi taman. Cuma tersenyum tidak enak sebagai balasan hinaan Subaru, memejamkan separuh matanya, kelihatan terpesona oleh sinar matahari.

Suasana baru telah menyapu sisa-sisa percakapan canggung mereka.

Tentu saja, itu tak menghapus ingatan Subaru tentang apa yang mereka diskusikan, dan kekakuan yang tersisa dalam hatinya takkan hilang. Meski begitu, dia bisa cukup membaca suasana sehingga tidak membiarkannya menekan keduanya.

—kalau ada orang yang menonton dari jauh, mereka pasti hanya mengira keduanya sebagai sepasang teman normal.

Catatan Kaki:

  1. Kimono (着物) adalah pakaian tradisional Jepang. Arti harfiah kimono adalah baju atau sesuatu yang dikenakan (ki berarti pakai, dan mono berarti barang).
  2. Salah satu dari lima tahap kesedihan, dan pemahaman yang dimaksud adalah pada tahap ini, individu akan melakukan penawaran terhadap kesedihan yang dialaminya. Individu berandai-andai kemungkinan yang seharusnya dilakukan sebelum hal buruk itu terjadi atau hal yang akan ia lakukan apabila hal buruk berhenti terjadi. Contoh: Budi berkata “andai saja Ibu dapat menjaga Ayah dengan baik, hal ini tidak akan terjadi,” atau “apabila Ayah dapat hidup kembali, aku akan memperlakukannya dengan baik,”.
  3. Juga salah satu dari lima tahap kesedihan, penerimaan yang dimaksud adalah Tahap terakhir adalah tahap penerimaan dimana individu menyadari bahwa yang hilang tidak dapat kembali lagi. Individu sadar bahwa ia harus melaluinya dan belajar atas musibah yang menimpanya dan ia tetap harus melanjutkan hidupnya dengan baik. Contoh: Budi menyadari Ayahnya telah meninggal dan Budi melanjutkan hidupnya dengan bekerja secara optimal.
  4. Versi isekai-nya okonomiyaki.
  5. Okonomiyaki (お好み焼き) adalah makanan Jepang dengan bahan tepung terigu yang diencerkan dengan air atau dashi, ditambah kol, telur ayam, makanan laut atau daging babi dan digoreng di atas penggorengan datar yang disebut teppan.
  6. Komite Nobel Norwegia setiap tahun memberikan Penghargaan Nobel Perdamaian (Norwegia dan bahasa Swedia: Nobels fredspris) “untuk orang-orang memberikan upaya terbesar atau terbaik bagi persaudaraan antar bangsa, bagi penghapusan atau pengurangan angkatan bersenjata, dan bagi pelaksanaan atau promosi kongres perdamaian.
  7. Gugur dalam tugas (bahasa Inggris: Killed in Action; KIA) adalah pengklasifikasian korban yang umumnya digunakan oleh militer untuk menyatakan kematian pasukan mereka sendiri di tangan pasukan musuh.

Share this post on:
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments