Share this post on:

Bab 3 – Reuni Tak Direncanakan

dan Tak Terduga ‘Kan Datang

Penerjemah: NieR

1

“Maaf berakhir seperti ini setelah sekian lama tak bertemu. Bahkan biasanya, tuan muda kami agak emosional, namun ketika Nona Liliana dilibatkan, beliau bisa kehilangan kendali, sebagaimana yang Anda sekalian lihat.”

Di pintu masuk Perusahaan Muse, pengawal Kiritaka mengatakan itu sambil menunduk ke Subaru.

Pria berjanggut yang memanggil dirinya Dynas kelihatan rasional dan bertindak sesuai keadaan, kontras dengan wajah galaknya. Melihatnya meminta maaf membawakan pesan bahwa dirinya tulus merasa menyesal atas tindakan kejam bosnya.

“Ini kedua kalinya kau menunduk ke kami seperti ini, ya? Waktu itu, kalian hampir seemosional Kiritaka.”

“… Nona Liliana dahulu juga sedikit menyulitkan Anda, bukan?”

Dari kata-kata itu, Dynas terlihat seolah tersenyum sendiri, yang makin memperdalam senyum kesusahan Subaru.

Persis seperti Liliana dan Kiritaka, ini bukan pertama kalinya menemui Dynas juga. Dynas pun tinggal di Manor Roswaal selama kunjungan Liliana. Tujuannya—tidak, tujuan mereka adalah Liliana seorang, jadi pada suatu waktu, Dynas dan Subaru hubungannya hampir saling bermusuhan.

“Dan Kiritaka-lah yang saat itu jadi penengahnya …. Apa dia betulan orang yang sama?”

“Tak heran Anda menanyakan itu. Biasanya, tuan muda sangat cakap, jika mengesampingkan penyakit beliau.”

Dynas memegang dahinya sewaktu mendesah. Penyakit adalah cara aneh menggambarkannya.

Sungguh, Subaru telah meremehkan obsesi Kiritaka terhadap Liliana, yang memberinya gelar seburuk Penggila Biduanita. Tak pernah Subaru sangka Kiritaka akan kehilangan ketenangannya selama pertemuan bisnis dan jadi amat murka hingga meledakkan seluruh ruangan di gedung kantornya.

Tentu saja, kegagalan kesepakatan bisnis gara-gara kecerobohan Subaru dan Liliana yang lebih buruk membaca suasana ruangan melebihi perkiraannya. Diterka lebih lanjut, Subaru sadar dia sama-sama separah Liliana. Mengapa pula dia berpikir dua orang seperti itu bisa membantu dalam negosiasi rumit di mana membaca reaksi seseorang adalah hal paling pentingnya?

“Aku sendiri bahkan tidak mengerti …. Omong-omong, dari posisimu sebagai pengawal, Kiritaka kelihatannya bagaimana?”

“Suasana hati beliau kemungkinan akan pulih besok … inginnya saya berpikir begitu, paling tidak. Maaf, tapi beliau saat ini sedang berhalangan.”

“Yah, aku sudah menduganya. Nah, perihal Biduanita yang dimaksud ….”

Saling mendesau dengan Dynas, pemuda itu berbalik. Gadis yang menghantarkan kepergian mereka bersama Dynas, tengah bicara dengan Emilia dan yang lain.

“Benar-benar, Tuan Kiritaka bisa menyebalkan banget. Tidak habis pikir padahal Nona Emilia dan Master Subaru baru berkunjung setelah sekian lama, kami tidak sempat bicara—menyebalkan amat!”

Termakan amarah dan murkanya, wajah Liliana memperjelas kalau tidak sadar dirinyalah alasan besar pertemuannya berakhir lebih awal. Emilia dan Beatrice dengan lembut menenangkan Liliana.

“Normalnya, harusnya sebaliknya, ‘kan?”

“Janganlah berharap hal normal apa pun dari Nona Liliana. Ahhh, boleh minta waktu sebentar, nona muda?”

Mengganggu percakapan yang Subaru tidak tahu mesti menyebutnya menarik atau tidak tahu malu, Dynas menepuk bahu Liliana dan memanggilnya.

“Maaf, namun saya sungguh-sungguh harus meminta Nona Liliana untuk memulihkan suasana hati tuan muda. Jadwal beliau padat hari ini, jadi tolong simpan yang ingin Anda sampaikan untuk keesokan lagi.”

“… aku mengerti.”

Perlu sedikit waktu hingga dia paham, tapi bahkan Liliana pun menuruti permohonan dari dalam hati Dynas.

Hasil usaha gabungan Penyihir Anak Kecil Fraksi Emilia dan sang Biduanita, negosiasinya spektakuler tidak membuahkan hasil, menghancurkan seluruh harapan Subaru yang ingin kembali dengan gembira.

“Sial, kemudahan di antara kesulitan apa yang kupikirkan? Yang kudapat cuma lebih banyak kesempitan …!”

“Itu saja yang kau katakan?!”

Kelamaan melambai tangan sampai-sampai hampir pegal, Liliana sama Dynas mengucapkan selamat tinggal selagi rombongan mereka berjalan pulang, Otto melempar ludah seraya menyela.

Menyesuaikan topinya sesudah ledakan amarah itu, Otto lanjut melampiaskan semua kemarahan yang terpendamnya.

“Kenapa, di depan seorang pria yang mereka panggil Penggila Biduanita kau bersikap akrab sekali dengan persis si Biduanitanya? Gara-gara kau, pembicaraan mandek pas hampir banget tiba di kesepakatan!”

“Err, pikirku harus mencoba memperbagus semuanya karena semua orang sepertinya merasa buntu ….”

“Tidak ada jalan buntu sama sekali! Kami menyusun kesepakatannya dengan cara yang baik!”

“Ehhh, serius maksudmu ribut besarku tidak ada faedahnya?!”

Tentu saja bahkan Subaru pun kudu bertaubat karena mengubah kecemasannya sendiri jadi kemalangan. Otto pasti menganggap pihak lain cukup responsif selama negosiasi. Kekagetannya begitu melihat seluruh pekerjaannya hancur cukup besar.

Tergantung upaya Liliana, barangkali Kiritaka berkenan membicarakannya besok.

“Walaupun mau, bijaksananya anggaplah dia akan menjadikan persyaratannya lebih berat.”

“Uhhhhhh.”

Suara itulah satu-satunya tanggapan memungkinkan Subaru; Otto membaca isi pikiran Subaru dan menghujamnya tepat di titik paling menyakitkan.

Kemudian Emilia menepuk tangan, berkata, “Iya, sudah cukup. Otto, tidak usah semarah itu. Bukannya Subaru punya niat buruk, atau dia takkan sesedih ini sama kejadiannya.”

“Emilia-tan …. Iya, benar itu. Kau betulan mengerti, ‘kan? Silakan katakan lebih banyak.”

“Subaru, kau patutnya merenungkan perbuatanmu. Itu tidak adil. Aku mau bicara lebih banyak juga sama Liliana.

“Hah?! Jadi kau dipihak Liliana alih-alih aku?!”

Saat Emilia merajuk, Subaru tersentak kaget, seolah-olah ditebas dari belakang.

Menyaksikan percakapan yang nyaris seperti bercanda antara majikan dan pelayannya, Otto membuang napas terhadap pemandangan familier itu.

“Sisihkan Tuan Natsuki yang absolut harus merenungkan tindakannya …. Negosiasi telah terhambat. Sementara waktu, kita harus balik ke Water Raiment dan meninjau rencana, tapi ….”

“Ada apa?”

“Sebetulnya aku punya urusan yang harus kutangani, jadi aku harus pergi sebentar.”

Tatkala Otto mengangkat jari dan menuturkan kata-kata itu, Subaru serta Emilia sama-sama bilang, “Urusan?” sembari memiringkan kepala.

“Iya. Setelah sampai sejauh ini, menguntungkan membuat koneksi yang lazimnya aku tidak bisa. Jadi hari ini, aku akan berkeliling menyapa orang-orang.”

“Seorang profesional yang terlampau tenang, ya ….”

Barangkali Otto hanya pandai mengganti topik dengan tiba-tiba. Atau bisa jadi dia menyimpan sejumlah otak cadangan di suatu tempat. Intinya, Subaru harus mengagumi metodenya yang memusingkan.

“Ya, soal itu, Otto. Kau tidak butuh aku temani waktu berkeliling menyapa orang-orang seperti itu?”

“Pertanyaan bagus, Nona Emilia. Akan tetapi, jikalau Anda datang tanpa memberi kabar dulu, semua orang akan kalang-kabut, karena mereka tak mampu memberikan Anda sambutan layak. Menahan diri untuk bertindak gegabah juga bentuk pertimbangan. Sebagaimana Nona Anastasia menginformasikan Perusahaan Muse tentang kedatangan kita.”

“Begitu …. Mm, dimengerti. Aku ingat itu, Guru.”

Balasan Emilia mengundang senyum lelah ke wajah Otto. Kemudian dia bilang, “Pulanglah langsung,” seolah-olah bicara ke anak-anak, sebelum meninggalkan rombongan, menghilang ke arah Distrik Kedua.

“Emilia-tan, apa-apaan Guru tadi itu?”

“Hmm? Oh, Otto mengajarkanku banyak hal akhir-akhir ini, termasuk saat kita sedang naik kereta dalam perjalanan ke kota. Karena itulah aku memanggilnya Guru. Anehkah?”

“Tidak, tidak aneh; aku cemburu belaka. Kau boleh memanggilku Guru juga, oke?”

“Tapi Subaru itu kesatriaku, bukan guruku ….”

“Gaaah, imut banget …!”

Tatapan galau yang manis Emila dan kata-kata penolakannya melemahkan Subaru.

“Kapten sama Nona Emilia dua-duanya suka si cewek Biduanita itu, ya.”

Garfiel bergabung dalam pembicaraan dengan dua tangan terjalin diistrirahatkan di belakang kepala. Dia, satu-satunya orang di antara mereka yang tak familier dengan lagu Liliana, mengerutkan hidung.

“Gua, gua juga mau denger lagunya, kalau benaran sebagus itu. Gua dah baca banyak banget buku, tapi gatau lagu itu kek mana misal cuma baca doang, jadi tau deh gua ngelewatin apa.”

“Oh ya, Garfiel tidak di mansion waktu mereka datang.”

“Jadi ini pertama kalinya kau mendengar lagu Liliana, ya …? Boleh jadi akan mengguncang duniamu.”

“Masa? Hal besar nih.”

Cara Subaru dan Emilia membicarakan musiknya membuat raut wajah Garfiel kaget dan penuh ekspektasi.

Lagu Liliana betulan punya kekuatan semacam itu. Subaru sebelumnya dapat beberapa kesempatan tuk mendengarkan penyair selain Liliana, tetapi tak seorang pun sanggup menyetarainya.

Tidak salah lagi Liliana cukup berbakat untuk dipanggil biduanita.

“Kurasa buat bakat, para dewa mengambil banyak hal dari Liliana sebagai gantinya?”

“Mereka melakukan hal agak kejam.”

“Gua ga ngerti-ngerti amat maksud lu.”

Wajah Beatrice menampakkan betapa setujunya dia dengan gumam Subaru. Garfiel sebagai satu-satunya orang yang dibiarkan kebingungan yang cuma bisa menebak-nebak lewat informasi sampingan, mendecakkan lidah, nampak cemberut ketika menatap permukaan air.

Kebetulan keempat orang itu tengah menempuh perjalanan jauh ke Water Raiment dengan berjalan kaki. Sayangnya, semisal mereka naik perahu naga lagi, ada kemungkinan besar mereka mesti meninggalkan Subaru sebab mabuk laut lagi.

“Kotanya cantik nian sampai berpikir baguslah punya kesempatan untuk berjalan-jalan. Sesuai perkataan Otto, kita tidak punya apa-apa untuk dilakukan hari ini.”

“Aku betulan menyebabkan kalian banyak masalah ….”

“Ah, aku tidak bermaksud menyalahkan Subaru. Aku hanya marah sedikit.”

“Jadi benar kau marah! Maksudku, tentu saja kau marah!”

Terlepas dari itu, faktanya Subaru mau meluangkan waktu sebelum balik ke penginapan di mana Anastasia tidak salah lagi akan mengorek seluruh kejadian. Subaru tidak punya alasan untuk menolak jalan-jalan.

“Satu-satunya yang diresahkan selain itu adalah bisakah aku menemani Emilia-tan kembali ke penginapan dengan selamat.”

“Jangan resah. Betty akan menjagamu, kurasa.”

“Cuma mau bilang lantang-lantang, bukan hanya aku yang berbuat salah hari ini; kau juga terlibat.”

Beatrice dengan acuh tak acuh mengabaikan tanggung jawab gagalnya negosiasi, tetapi partisipasi pasifnya sama saja mengikutkannya ke dalam komplotan. Lucu melihat wajahnya tak mengakui.

 “Tidak usah khawatir, Kapten. Hidung gua ingat bau jalan pulang sampe penginapan. Meskipun ga bisa nyium bau bangunannya, gua tahu bau bocah gaduh itu, jadi kita ga bakal tersesat.”

“Heeh. Hooo.  Hmmmm.”

“Hei, apa-apaan tuh reaksi?”

Garfiel mengernyit curiga pada reaksi sugestif Subaru. Dia paling penasaran dengan Garfiel yang melibatkan Mimi.

Tindakan Mimi impulsif sekali sampai sukar dipahami, tetapi Subaru tahu dia hanya punya niat baik ke Garfiel. Umur mereka cocok pula, jadi Subaru mengharapkan beberapa perkembangan menarik yang ‘kan datang seiring waktu berlalu.

Kebetulan, Garfiel terus diperlakukan dingin oleh gebetannya sendiri, Ram. Subaru berpandangan cinta semata wayang yang dimiliki Ram kepada Garfiel adalah rasa cinta akan keluarga.

“Pokoknya, Garfiel, dari lubuk hati kuharap kau, adikku, untuk bahagia.”

“Hah? Ngapa mendadak begini, Kapten? Yah, bukan berarti gua ga suka ….”

Ketika Subaru menepuk bahunya dengan tatapan hangat, Garfiel memiringkan kepala bingung lalu memberi jawaban blak-blakan. Subaru sungguh-sungguh berharap adik polosnya menemukan kebahagiaan di kota air ini.

“Harus kubilang, ini benaran kota yang indah. Melihat ke manapun rasanya menenangkan nan damai.”

Di jalan pulang, Emilia tampaknya dalam suasana hati kelewat baik selagi menikmati keindahan pemandangan kota metropolis berair. Saluran air yang membelah pusat kota mungkin saja merepotkan, tetapi tentu tidak gagal membuat orang terkesan.

“Menurut penjelasan Beako, pendirian kota ini bukan karena alasan damai ….”

“Tapi apa pun alasannya waktu itu, kenyataannya adalah yang kita rasakan sekarang ini, ‘kan?”

Kala Emilia berhenti di atas jembatan dan menatap Saluran Air Besar, Subaru terpesona senyumannya.

Dari ekspresi menawannya hingga kata-kata yang dituturkannya, dia bahagia. Entah alasannya apa, momen itu benar-benar asli.

karena yang penting bukanlah dari mana kau memulai; melainkan di mana kau berakhir.

“Aku dengar, Bu.”

“Kau bilang sesuatukah?”

“Hanya mendengar kata-kata ajaib dari wanita paling kuhormati di dunia ini.”

Walaupun waktu telah berlalu semenjak Subaru mendengarnya, kata-kata itu masih memberikannya keberanian hingga kini.

Melupakan sesuatu bukan berarti kehilangan segalanya, dan dia bertekad mempertahankan semua hal yang mampu diingatnya. Untuk satu hari lagi, Natsuki Subaru terus hidup, ditarik maju oleh perasaan yang diwariskan kepadanya.

“Kurasa kita betulan harus kembali. Bangunan misterius penginapan itu betul-betul nyangkut di pikiranku.” Kata Emilia.

“Konstruksi Jhepangz, ya? Sejujurnya, aku pun tertarik sama itu. Alasannya berbeda dari Emilia-tan, sih.”

“Begitukah? Hehehe. Kita harus cepat-cepat kalau begitu.”

Melepaskan pegangan di jembatan, Emilia tersenyum dan mundur selangkah. Barangkali karena dia terlalu pusing sebab jalan-jalan jadinya menabrak orang lewat.

“Ah! Maaf.”

Emilia buru-buru berbalik dan menunduk ke orang lewat yang barusan ditabraknya, seorang pria yang seluruh tubuhnya kelihatan putih.

Rambutnya terlihat diputihkan dan memakai jas putih. Tingginya sekitaran Subaru, ditambah fisik mereka juga sangat mirip. Singkatnya, dia seorang pria yang perawakannya sama jika ditutupi.

Pria berbaju putih itu menggeleng kepalanya atas permintaan maaf Emilia.

“Tidak perlu risau. Aku juga kali ini ceroboh—aku sepintas terpikat olehmu.”

“… err.”

“Rambut perak indahmu, iya. Dulu pernah mencoba menjadikan pengantin seorang wanita yang rambutnya seindah rambutmu. Mengingatnya dengan rasa sayang, aku dapati diriku tak kuasa menghindarimu.”

Kontras dengan permintaan maaf Emilia, jawaban pria itu entah bagaimana kedengaran tidak wajar. Perkataannya sepertinya terdengar persuasif, tetapi perasaan angkuhnya lebih kuat.

“Oke, hentikan. Cukup sudah.”

Saat itulah Subaru memposisikan dirinya di depan Emilia, termotivasi oleh hati jujur seorang kesatria sekaligus hati seorang pria yang tengah jatuh cinta.

“Yah, kelihatannya kedua belah pihak sama-sama ceroboh. Nanti akan kuceramahi gadis kami karena sembrono, jadi tolong izinkan meninggalkannya demikian hari ini.”

“Tunggu sebentar, Subaru. Itu cara bicaramu pada seseorang itu tidak ….”

“Ikuti saja, oke?”

Kala Emilia menembakkan sorot mata protes, Subaru balas mengedipkan mata padanya.

Terlibat pertengkaran aneh di sini berisiko merepotkan orang lain yang menyadari identitas Emilia. Dia merasa lebih mirip manajer artis ketimbang kesatria saat ini, tapi itu tidaklah penting.

“Saling bertemu dan meminta maaf. Itu sopan santun umum di kota air, ‘kan?”

“Terima kasih atas kesopananmu. Sementara ini, aku punya sedikit alasan untuk mengejar masalah ini. Bila mana kita bertemu lagi, semata-mata keinginan takdir yang akan sekali lagi menyatukan kita.”

“Iya, aku setuju. Yah, harapannya takdir membuatkan jalan yang mempertemukan kita lagi di masa depan.”

Ketika orang asing itu bicara puitis, Subaru menjawab layaknya anak SMP halu saat pergi.

Menarik tangan Emilia, Subaru bernapas lega dan menatap ke arahnya. Tatkala itu, Subaru melihat Emilia melirik sedikit ke belakang, orang asing itu jelas masih ada di pikirannya.

“Aku tentu sedikit tidak sopan tadi, tapi menilai posisimu, kuharap kau mengerti.”

“Eh? Ah, tidak, tidak. Memang benar kelakuan Subaru buruk sedikit, tapi dari awal itu karena aku yang ceroboh. Tapi masalahnya bukan itu. Aku ….”

Kata-katanya dipotong. Ada keraguan samar di mata Emilia.

“—rasanya aku pernah bertemu orang itu di suatu tempat sebelumnya.”

“Kenalanmu? Kurasa semestinya aku sudah tahu sebagian besarnya.”

“Iya … aku sendiri tidak yakin. Aku penasaran dia siapa?”

Pastinya teramat mengganggunya, karena Emilia melirik ke belakang sekali lagi. Akan tetapi pria itu sudah menyeberangi jembatan, Emilia cuma melihat punggungnya yang cepat semakin menyusut.

Walaupun menarik-narik sesuatu dalam benaknya, pencarian jawabannya terlihat sia-sia.

“Hei, Kapten. Lu keliatan terguncang. Ngapa, gelisah ada pria ganteng yang bakal nikung?”

Garfiel yang sudah menyeberang jembatan dan menunggu mereka, menyapa Subaru sambil melambai dan bertanya. Subaru mengerti alasan Garfiel dan Beatrice ingin membiarkan mereka berduaan, namun biar begitu, dia mendesahkan tingkah riang Garfiel.

“Bego, ini bukan waktunya buat main-main. Apa jadinya kalau ada orang aneh berkeliaran dan kau tidak di sana? Emilia-tan akan terpojok misalkan orang itu tidak bisa kutangani.”

“Mempertaruhkan tubuh lu demi ngelindungi dia—itulah cara kapten menunjukkan dirinya seorang pria, gua bener ga?”

“Menjadikan tubuhku tameng? Pikirku aku tidak terlahir untuk itu. Sebagai manusia atau tameng.”

Garfiel nyengir menanggapi penilaian diri Subaru yang nyaris sederhana.

Garfiel kelihatannya menganggap tindakan itu suatu kerendahan hati, tetapi menurut Subaru, itu fakta jelas. Yang ada, Garfiel terlalu menghormati Subaru.

“Hei, santuy. Gua, misalkan gua pikir tuh orang bermasalah, nanti gua terbangin. Soal kekuatan, dia itu amatiran. Caranya jalan dan gerak …. Ga layak dibicarain.”

“… yah, kurasa tidak apa-apalah.”

Salah satu keahlian aneh Garfiel adalah kemampuannya membedakan kekuatan tempur lawan dari fisik dan gerakan mereka. Subaru pribadi bisa membuktikannya; Garfiel telah mengendus pengalaman kendo1 SMP-nya.

Sekiranya Garfiel jamin tidak ada masalah, Subaru barangkali tak mencemaskan apa pun.

“Kalau begitu, ayo pergi, Emilia-tan … ataukah dia masih ada dalam pikiranmu?”

“—tidak, aku tidak apa-apa. Maaf bertingkah aneh. Ayo pulang.”

“Kedengaran bagus. Tidak usah risau—pas pulang, kau boleh memeluk Mimi atau apa punlah biar mengalihkan pikiranmu. Hei, aku akan puas misalkan meluk Beako, jadi jangan cemberut seperti itu.”

“Memangnya Betty tidak menahan mulut buat mengomentarinya, ya?!”

Kata-kata Subaru membuat wajah Beatrice memerah. Setelah melihatnya, Emilia tersenyum berseri-seri.

Kemudian lembutnya menyentuh bibir.

“Aku duga begitu. Seandainya memeluk mimi, rasanya benaran lega. Aku lakukan itu saja.”

Alhasil sesudah menghilangkan kerisauannya, dia mulai berjalan sekali lagi. Beatrice dan Garfiel mengekor. Lalu Subaru mulai bergabung.

“…”

Mendadak, Subaru berhenti dan berbalik, menatap arah jembatan.

Pria berpakaian putih itu lagi berdiri di jalan kota seberang persimpangan. Dia berbalik dan menatap langsung Subaru.

Merasa tatapannya teramat-amat menyeramkan, Subaru buru-buru pergi mengejar Emilia dan yang lainnya.

Rasanya tatapan mata pria itu mengepungnya, tetap terpaku ke bayangan dirinya hingga berbelok di tikungan.

2

Seusainya, perjalanan kembali melalui kota air berlanjut tanpa insiden.

Dari waktu ke waktu, Emilia melihat permukaan air dan tampaknya tenggelam dalam renung dalam, tapi kapan pun seseorang membahasnya, dia langsung menutupi percakapan tersebut dengan senyuman.

Emilia payah sekali menyembunyikan sesuatu, jadi gampang mengetahui pria yang tadi tengah mengganggunya. Namun Subaru tentu saja memerhatikan pria itu. Karena—

“Beako.”

“Aku tahu. Apa Emilia sama Garfiel tidak sadar karena dua kepala mereka lagi melamun, ya? Dua-duanya perlu banyak diawasi.”

Sewaktu Subaru memanggil namanya, Beatrice mengangkat bahu dengan ekspresi sebal.

Kegelisahan di benak Subaru yang barusan ditegaskan Beatrice adalah bagaimana pria itu bereaksi ke Emilia. Satu tahun setelah pengumuman dirinya mencalonkan diri untuk pemilihan raja, Emilia tidak lagi menggunakan jubah pemblokir KTP waktu keluar, seperti yang dia lakukan sebelum-sebelumnya.

Aku rasa sangat aneh berjalan-jalan menyembunyikan identitas padahal mencoba membuat semua orang menerimanya plus harus kerja rodi untuk menjadi raja.

Itulah yang Emilia nyatakan, dan tentunya argumennya masuk akal. Maka dari itu, Emilia putuskan berhenti mengandalkan kekuatan mantel tersebut, memperlihatkan wajah manisnya, berarti tidak lagi menutupi dirinya seorang blasteran elf. Sekalipun begitu, prasangka terhadap elf berambut perak terlampau kuat dan mendalam, banyak orang yang melihatnya bereaksi besar, entah reaksinya baik atau buruk.

“Orang yang tadi tidak punya prasangka. Dia bicara ibarat kenal Emilia, tapi tak memperkenalkan nama …. Apa aku terlalu memikirkan?”

“Sekiranya Subaru tidak menghiraukan, Emilia akan terlalu rentan, jadi itu sangat tepat, kurasa. Betty juga akan mengawasi Emilia sebisa mungkin.”

Saat Beatrice mengumumkan Subaru bisa mengandalkannya, dia memberi sip terima kasih singkat.

Metropolis berair ini akbar, dan dia tidak menduga peluang mereka berpapasan pria itu lagi akan amat tinggi. Tapi masih lebih dari mungkin orang asing itu akan memulai kontak sendiri. Tidak ada ruginya berhati-hati.

“Lagian, gara-gara aku tidak cukup berpikir akibatnya negosiasi hari ini gagal, jadi …!”

“Bukankah itu pun disebabkan bencana alam bernama Liliana, ya? Bertaubatlah, tapi jangan berlebihan.”

“Woi, Kapten, ayo cepet balik ke penginapan. Kalau ngikutin kecepatan langkah Beatrice, matahari akan terbenam sebelum sampe.”

“Tidak bisakah menahan diri untuk tak mengucapkan hal kurang ajar semacam itu, ya? Kau lebih muda dariku.”

Subaru dan Beatrice tertinggal bagian depan rombongan selagi mereka saling berbisik, memaksa Garfiel memanggil mereka.

Ketika ucapan tidak sopannya mengesalkan Beatrice, Garfiel membalas, “Maap, salah gua,” sembari tersenyum tapi tiba-tiba berhenti. “—apa-apaan? Ada orang di arah penginapan yang baunya marah besar.”

Memalingkan kepalanya ke sudut jalan di depan, Garfiel terdengar mengendus udara seraya bergumam. Sesaat setelah itu, benar saja mereka mendengar suara-suara perdebatan jauh di ujung jalan.

Kedengarannya bak dua pria tengah adu mulut sengit.

“Sepertinya debatnya cukup panas. Kotanya tidak pernah tidak heboh.”

“Di kuping lebih meyakinkan dari kapten yang ngebuat orang penting ngeledakin ruangannya sendiri make kristal sihir. Kayak pepatah Kau mampu merebus panci dengan teriakan burung Azula, bukan?”

“Burung pegar2 tidak berteriak, aku ingin tahu cocok atau tidak sama pepatahnya …. Emilia-tan?”

Subaru merasa bersalah ketika kejadian di Perusahaan Muse diungkit, tapi Emilia di sebelahnya berlari kecil. Dia tidak menengok ke belakang selagi bicara:

“Suara-suara tadi—kupikir salah satunya kedengaran seperti suara Joshua!”

“Seriusan? Kalau kita punya hubungan sama salah satu pihaknya, lebih baik bergegas.”

Kendatipun demikian, kepribadian Emilia mengartikan dirinya takkan berdiam diri. Mengejarnya di tikungan jalan di depan, Subaru dan yang lain pun buru-buru kembali ke depan Water Raiment.

Begitu sampai dan bangunan bergaya Jhepangz nampak dari kejauhan, di depan bangunan itu adalah—

“Jangan sampai aku ulangi lagi! Berhenti bicara kurang ajar padaku dan bawa tuanmu ke sini sekarang juga!”

“Menghadapi orang tidak sopan sepertimu, aku menolak memanggil Kakak, apalagi tuan saya. Tolong dengan patuh pergilah dari tempat ini selagi masih aku seorang yang berurusan denganmu!”

“Kau cuma tidak mengerti, ya, bocah? Kuhajar kau!”

Cekcok mengkhawatirkan berkecamuk antara Joshua yang melarang masuk ke penginapan dengan merentangkan lebar-lebar tangannya, dan seorang pria yang tampak kumal berteriak-teriak marah kepada si pemuda. Pria itu fisiknya kurus dan baik kata-kata maupun sikapnya terasa keras; nyatanya hanya masalah waktu saja sampai sekring pendeknya habis.

“Sudah cukup!”

Kemudian sebelum Subaru mampu memastikan kekuatan lawan, Emilia menyelip ke tengah-tengah. Interupsinya mengagetkan si pria dan Joshua pun menatap kaget.

“N-Nona Emilia?!”

“Seandainya urusanmu di sini sudah selesai, maka pergilah. Lebih pentingnya, apa yang terjadi? Jangan ganggu orang dengan membuat keributan di depan penginapan seperti ini. Tenanglah dan bicarakan baik-baik.”

Dengan kata-kata yang kedengarannya seakan sedang memarahi sepasang anak yang lagi bertengkar, dia hapus suasana tegang yang siap meledak begitu terkena percikan api sekecil mungkin. Merasakan perkelahian berhasil dihindari, Subaru menghembuskan napas lega.

“Jadi beri tahu aku apa yang terjadi. Siap, sedia, mulai.”

“Er, ah. Rupanya saya mencemaskan Emilia dan semua orang ….”

Ditatap mata tulus Emilia, Joshua melirik Subaru dan yang lain selagi ragu-ragu sejenak.

Barangkali galau bahwa memercayakan mediasi ke fraksi saingan berarti berhutang budi kepada mereka. Tentu saja tawar-menawar seperti itu takkan pernah menghalangi Emilia walaupun Joshua mencoba seratus tahun pun.

“Tidak ada rumit-rumitnya. Kami diundang ke sini, tapi bocahnya asal bicara kalau kami tidak boleh masuk. Kenapa pula aku tidak komplain?”

Mungkin tidak memedulikan kebuntuan itu, pria lusuh tersebut kasarnya menjelaskan perselisihan dari sudut pandanngya. Mata sipitnya terfokus ke Joshua selagi menatap tajam.

Tampang Joshua bilang tatapan itu menghidupkan kembali tekad bertarungnya.

“Sudah kubilang berulang-ulang. Andai kau berniat pura-pura menjadi bangsawan, kebohonganmu setidaknya buat lebih meyakinkan. Sedikit berdandan takkan bisa menyembunyikan ketidaktahuan tipikalmu!”

“Kau benaran tidak menahan diri, ya?! Aku bukannya mau terlibat dalam masalah ini! Aku capek disuruh-suruh begini! Duh, malah tidak ada gunanya bicara denganmu!”

Dihadapkan kegigihan Joshua, pria itu mendekap kepalanya sendiri dan menggerutu keras-keras. Situasinya terdengar teramat-amat tidak bisa diperbaiki, Emilia putus asa setelah berusaha campur tangan.

“Hei, Subaru, kita harus apa …? Subaru, ada apa?”

“Err, mungkin hanya imajinasiku saja … tapi rasa-rasanya pernah melihat wajah orang ini sebelumnya.”

Pria yang lagi beradu argumen dengan Joshua menampakkan ekspresi masam tatkala Subaru yang merespon pertanyaan Emilia, menunjuknya.

Lalu si pria sadar, “Aaahhh?” saat balas menatap Subaru dengan muka keji. “Kau lagi ngapain? Apa nih, mau cari ribut jugaaaaa?!”

“Ohhh, suaranya betul-betul cempreng waktu …. Aah!”

Selagi melotot ke Subaru, wajahnya tahu-tahu syok; melihat ekspresi tersebut, sesuatu akhirnya menyadarkan Subaru.

Dia sungguhan kenal pria ini. Dia jauh lebih bersih dan berpakaian lebih baik ketimbang terakhir kali melihatnya, tapi ….

“Larry! Larry, bukan?! Waduh, kau sedang apa di tempat seperti ini …? Apa kabarmu?”

“Jangan bicara denganku seolah teman baik! Dan siapa juga Larry? Aku ini Lachins—itu namaku, sial!”

“Jadi La-apalah itu.”

“Bacot!”

Kala Subaru melingkarkan lengannya ke bahu spontan bersikap bersahabat, Larry—lebih tepatnya, Lachins—mengusirnya. Dari percakapan aneh tersebut, Emilia bertanya, “Dia kenalan lamamu?”

“Iya. Seorang kenalan lama dari ibu kota kerajaan dulu waktu Emilia-tan dan aku bertemu pertama kalinya. Pas tersesat di jalan, dia dan teman-temannya mengepungku, nyaris menelanjangiku.”

“Hah, masa …? Err, telanjang?”

“Dan kali berikutnya aku di ibu kota—iya, aku sama Priscilla sewaktu berselisih sama mereka, usainya, mereka datang membawa lebih banyak teman mencoba membalas. Kenanganku sama orang ini banyaknya bukan main ….”

“Sedengar Betty, dia tidak lebih dari sampah.”

 Emilia dan Beatrice bereaksi berbeda terhadap komentar nostalgia Subaru. Mendengar ssemua ini, tatapan Joshua jadi serius, lalu Lachins merasakan situasi berbalik melawannya, mengangkat kedua tangan laksana menyerah selagi wajahnya pucat pasi.

“B-bentar, bentar, bentar. Iya, mungkin semua itu terjadi, tapi dua-duanya tidak berakhir buruk, jadi itu sejarah kuno, ‘kan? Biarkan saja itu menjadi masa lalu dan bicarakan ini, oke?”

“Err, sebenarnya aku tidak keberatan, tapi mana bisa kau bertindak sebegitu tidak bersalah sekarang ini atau akan kau ubah jadi masalah pertahanan nasional ….”

Larchins mencoba membenarkan situasinya, tetapi mau dibayangkan bagaimanapun, yang posisinya kurang menguntungkan di sini adalah dia. Nampaknya hal pintar untuk dilakukan adalah mengikatnya dan menyuruhnya memuntahkan apa pun yang dia rencanakan.

“Maka dari itu—Garfiel. Tahan dia dan …. Uh?”

“…”

Subaru ingin mengandalkan kekuatan kasar Garfiel, tapi tak ada respon. Bertanya-tanya apa masalahnya, dia dapati tatapan Garfiel tidak tertuju ke Larchins melainkan jalan di depan penginapan.

Subaru melihat Garfiel membuka mata gioknya selagi pupil matanya mengecil mengekspresikan kewaspadaan. Seluruh rambut di tubuhnya merinding selagi dirinya berdiri siap, cakar, taring, dan seluruh ototnya nampak tegang.

Sekali pandang orang sudah tahu ada sesuatu yang memicu insting bertarung Garfiel, tensi menjalar ke Subaru dan yang lainnya pula, sebab jelas terjadi sesuatu.

Alhasil Subaru dan teman-teman beralih ke sumber alarm Garfiel—

“—Lachins. Aku bertanya-tanya ada gerangan apa sampai kau tidak kembali. Terjadi masalahkah?”

Sepintas, Subaru yakin yang berdiri di sana pastilah api merah menyala-nyala.

Apinya berkedip-kedip merah—Tidak, itu tangan melambai-lambai. Ini api manusia. Bukan, sungguhan manusia biasa.

Rambutnya yang merah nian sampai bisa disalahartikan api bergelora dan mata yang begitu biru sampai kelihatannya berisikan langit itu sendiri, pria jangkung yang mengenakan pakaian serba putih memiliki wajah terlampau tampan, satu tatapan akan membekas dalam jiwamu selama-lamanya.

Tidak salah lagi sensasi itulah yang menembus ke seluruh tubuh Subaru. Inilah yang terjadi ketika orang biasa melihat seorang pahlawan.

Tepatnya itulah pertemuan kebetulan ini.

Kau hanya bisa salah menganggapnya sebagai nyala api membara. Nama pria itu adalah—

“—!!”

Persis sebelum Subaru memanggil namanya keras-keras, kehadiran Garfiel menghilang dari sisinya.

Disertai raungan dari dalam tenggorokannya, lengan Garfiel menjadi lebih kekar plus memunculkan cakar tajam. Selanjutnya dia ayunkan hendak melancarkan serangan frontal dengan kekuatan luar bisa pada pria yang barusan muncul.

Tidak ada waktu untuk menghentikan Garfiel. Serangan awalan yang sekejap mata merapat ke jarak dekat. Diserang langsung pukulan ganas itu bisa mudah mengiris pelat besi. Ketika cakarnya menghampiri sisi wajah tampan pria itu—

“—mohon maaf. Rupanya aku mengejutkanmu.”

Suaranya menggemakan senyum kesulitan, dia blokir serangan terkuat Garfiel.

“…”

Penampilan manusia super membungkam Subaru, dan Garfiel kaku syok.

Tangan terangkat pria itu telah menghentikan lengan perkasa Garfiel. Cakar binatang yang diayunkan dengan sekuat tenaga, telah ditahan tangan pria itu seakan-akan sedang bergulat. Satu-satunya reaksi yang ditampakkan adalah senyum masam di wajah tenangnya.

Pria ini memainkan aturan berbeda dan bergerak di luar gagasan akal sehat apa pun. Tidak salah lagi dia adalah—

“—Reinhard.”

Subaru terlihat kehabisan napas. Bisikannya membawa senyum lembut lain dari si pemuda. Seketika, perasaan kaget dan tensi yang Subaru rasakan hingga saat itu telah dipaksa mencair, dirubah menjadi rasa lega manis.

Hanya dengan senyuman, Reinhard dapat menanamkan pikiran tenang pada orang-orang. Itulah bukti betapa kuatnya dia.

Kemudian pemuda itu mengangguk sekali ke Subaru—

“Hai, lama tidak bertemu, Subaru. Aku sudah dengar desas-desusnya. Senang melihatmu sehat-sehat saja.”

Ya, Reinhard van Astrea sang Pedang Suci rupanya senang bertemu kembali dengan Subaru, ramah seperti biasa.

3

“Omong-omong, Subaru, aku tahu satu tahun penuh tidak bertemu, dan banyak hal yang ingin aku bicarakan, tapi ….”

“A-ahhh, iya, ada apa?”

“Pertama-tama, bisakah kau menghentikannya? Dia temanmu, benar?”

Seraya bicara, Reinhard sedang melihat Garfiel yang lengannya masih dikunci Reinhard. Tentu saja, Reinhard tak punya niat buruk, ataupun alasan untuk melanjutkannya. Dengan kata lain, alasan Reinhard belum melepaskan tangannya karena Garfiel masih siap bertarung.

“Tenanglah, Garfiel. Ini Reinhard, dia … temanku. Hilangkan kecemasanmu.”

 Mencengkeram bahu Garfiel, Subaru ragu sepintas sebelum memutuskan mau menganggap Reinhard apa.

Langsung saja, ingatan terakhir Subaru tentang Reinhard dari tahun lalu muncul di benaknya. Ingatan pahit; Subaru mengusirnya sewaktu dia datang meminta maaf sebab tak menghentikan Julius untuk menghajar Subaru di alun-alun latihan.

Subaru masa kini teramat-amat paham bahwa dirinya di masa lalu hanya manyerang semua orang yang bisa diserangnya.

“Seperti penjelasan Subaru barusan. Aku temannya, Reinhard van Astrea. Aku akan berterima kasih jika kau memperkenalkan namamu.”

Tak menghiraukan konflik internal Subaru, Reinhard mudahnya memanggil Subaru sebagai teman. Terlebih lagi, dia melepaskan lengan Garfiel dan menatap langsung matanya.

Ditatap begitu, Garfiel menarik lengannya dan mendesah panjang.

“—Garfiel. Garfiel Tinzel.”

“Begitu, jadi kaulah perisai Nona Emilia. Senang bertemu denganmu. Aku ingin menemuimu paling tidak sekali.”

Selagi bicara, Reinhard mengulurkan tangan untuk berjabat tangan. Tidak ada sarkasme apa pun dalam perkataannya. Cuma ada pujian dan kegembiraan sederhana.

Setelah semua kejadian ini, keterkejutan Garfiel pastinya besar.

“—ah?”

Garfiel mengeluarkan suara bingung. Sementara Reinhard menunggu jabat tangan, Garfiel bergerak selangkah—mundur.

Fakta itu, fakta dirinya tanpa sadar mundur, membuat matanya membelalak ketika menyadari apa yang terjadi. Pertama kalinya dia mengalami hal seperti ini.

“….”

Melihatnya, mata Reinhard berkedip sedikit dengan sentuhan kesedihan. Namun tidak pakai lama dia tarik kembali tangan yang diulurkan.

“Maaf sudah menyinggungmu. Aku akan lebih berhati-hati lagi di masa depan nanti.”

“Reinhard, maaf. Kau terluka?”

Saat itulah Emilia buru-buru menghampiri dengan lari kecil untuk meminta maaf tindakan ganas mendadak Garfiel. Cara terlampau tenang Reinhard menanganinya membuat Subaru lupa sebentar kalau tingkahnya tentu bermasalah.

Hal ini biasanya bisa-bisa memicu perang terbuka antar dua fraksi yang saling bersaing.

“Nona Emilia, maaf saya belum menghubungi Anda. Syukurnya, berkat bidikan Garfiel yang kelewat tepat, saya mampu menghentikannya tanpa masalah. Saya lega kami berdua baik-baik saja.”

“Iya, aku pun senang. Cukup melegakan.”

 Tapi Reinhard bertingkah seakan-akan tidak terjadi apa pun—barangkali menurutnya sungguhan bukan apa-apa. Reinhard sudah meyakinkan Emilia bahwasanya kesalahan Garfiel juga tidak jadi soal.

Emilia menepuk dada, merasa plong oleh jawabannya. Kemudian dia bilang, “Oh ya,” menepuk tangan sewaktu mata ungunya berkilauan. “Aku dengar semua berita tentang Felt. Dia benaran menuntaskan banyak hal, ya?”

“Dibanding perbuatan spektakuler Nona Emilia, kabarnya masihlah agak kecil, sampai-sampai sering memarahi saya sebab tidak bisa mendukung bawahan saya dengan benar. Terkhusus, beliau mengetahui perbuatan Subaru.”

“Tehehe. Betul itu, Subaru menakjubkan. Aku bangga sekali sama kesatriaku.”

Di saat Reinhard amat tulus memujinya, Emilia dengan bangga membusungkan dada. Subaru separuh bangga separuh malu pada Emilia yang membicarakannya seperti itu.

Intinya, percakapan ramah mengemukakan sebagian besar kondisinya sudah menenang, lantas Subaru memilih berdehem di momen itu.

“Kita menyimpang jauh, jadi biar mengembalikan topik …. Kau kenal si Lachins ini?”

Kedatangan Reinhard begitu berarti sampai-sampai Subaru mesti spesifik menunjuk Lachins yang telah dilupakan sepenuhnya. “Iya,” menjawab Reinhard, mengangguk sebagia jawaban tas pertanyaannya. “Saat ini, dia bekerja sebagai pelayan Nona Felt. Ada banyak bagian dari dirinya yang masih kekurangan, tapi dia punya kelebihan tersendiri, dan Nona Felt menyukainya.”

“Felt mempekerjakan orang itu?!”

“Mungkin saja membuatmu merasa rumit. Aku pun di tempat kejadian perkara waktu mereka mengganggumu di gang itu, Subaru. Tapi banyak hal terjadi setelahnya …. Mereka bertiga sekarang ini tengah memperbaiki cara hidup. Aku ingin kau memberi mereka kesempatan.

“Err, yah, bohong misal bilang itu tidak menggangguku sama sekali …. Sebentar, Felt mempekerjakan seluruh trio?!”

Subaru melihat langit tatkala sadar betapa banyaknya trik yang dimainkan nasib kepadanya soal tiga orang yang pernah dia cap Larry, Curly, dan Moe.

Di hari pertama dirinya dipanggil ke dunia lain, dia mengulang pertemuan yang ditakdirkan dengan tiga preman sekomplotan. Dia tak terlalu memikirkan mereka semenjak hari-hari itu, tapi siapa sangka mereka akan bertemu kembali dengan cara ini?

“Hei, hei, hei, lihat ‘kan! Aku benar dari awal, sial!!”

Saat itulah Lachins yang menutup mulut sejak keadaan berbalik melawannya, kini telah mendapatkan kembali kekuatannya. Jarinya menunjuk Subaru, Emilia, terakhir Joshua.

“Kalian semua, meragukan seseorang yang datang berkunjung seperti itu! Minta maaflah! Sekarang, taruh tanganmu ke bawah dan berlutut!!”

“Lachins, sudah kukatakan berkali-kali, sebagai pelayan kau ini kurang kesadaran. Kini aku mengerti apa yang menyebabkan situasi ini. Sayangnya, susah mendukungmu.”

“Di sini kau berpihak ke siapa?!”

“Aku sekutu keadilan. Dalam hal ini, aku yakin pilihanmu satu-satunya adalah meminta maaf kepada adik temanku.”

Reinhard santainya menanggapi teriakan Lachins. Kemudian tersenyum singkat ke Joshua. Joshua lalu mengembalikan isyaratnya dan mengangguk tegang.

“Lama tak berjumpa, Sir Reinhard. Saya meminta maaf atas ketidaksopanan besar yang disebabkan ketidakmampuan saya ….”

“Kamilah yang salah, Joshua. Maaf utusan kami membuat kesalahpahaman besar. Nona Felt senang sekali atas undangan Nona Anastasia.”

“Mendengar Anda mengatakannya telah mengobati luka saya ….”

Ekspresi ngotot di wajah Joshua memperjelas kalau responnya tidak serius. Reinhard tersenyum masam terhadap sikapnya sementara Subaru, “Tungguh sebentar,” dan mengangkat tangan. “Berdasarkan ucapanmu, benarkah berasumsi Felt juga di sini bersamamu?”

“Iya, itu benar. Nona Anastasia mengundang Nona Felt. Ayo ikut bertukar informasi menguntungkan, kata beliau. Mempertimbangkan Nona Anastasia, aku asumsikan beliau sedang mencoba melakukan sesuatu, tapi ….”

Berhenti, Reinhard menatap Subaru dan Emilia bergantian.

“Tidak disangka Nona Emilia dan delegasi beliau di sini juga. Berbanding terbalik dengan ekspektasi saya, bisa saja tidak hanya kita yang diundang.”

“Maksudmu bakalan datang lebih banyak kejutan?”

“Aku bilang itu sangat mungkin. Bagaimana, Joshua?”

Ketika alur pembicaraan beralih ke Joshua, yang bersekutu dengan perancang seluruh pertemuan ini, pemuda itu mengembalikan kacamata berlensanya yang melorot ke posisi tepatnya. “Hmm, saya juga ingin tahu,” katanya, pura-pura bodoh. Ini tanda jelas dirinya sudah tenang kembali. Reinhard mengangguk dan berikutnya melihat Lachins.

“Nona Felt sedang melihat-lihat kota bersama Gaston dan yang lain. Tolong beri tahu mereka aku akan bicara lebih dulu dengan para hadirin di sini seperti yang diinstruksikan.”

“Iya, iya. Apa, kau tidak mau balik juga?”

“Jika aku bersama Nona Felt, beliau akan mengeluh karena tidak bisa bertindak bebas. Hanya saja …. Pak Rom sedang tidak bersama beliau saat ini. Seumpama Nona Felt hendak melakukan hal berbahaya, hentikan sebisa mungkin. Andai terjadi sesuatu, luncurkan sinyalnya. Aku akan datang dalam lima detik.”

“Fakta kau serius itu menakutkan banget.”

Menjulurkan lidah sambil cemberut, Lachins lari ibaratnya melarikan diri dari TKP. Di tengha jalan, dia tak lupa menatap marah Joshua, orang yang dia debat. Orang itu sungguhan perwujudan kata picik.

“Baiklah, ayo masuk. Kita mesti kasih tahu Anastasia bahwa Reinhard dan teman-teman telah datang! dan lainnya, ‘kan?”

“Yah, kurasa itu pekerjaannya Joshua, tapi kita semua di sini, jadi ayo masuk bareng-bareng.”

Sewaktu Subaru menyetujui proposal Emilia, Joshua ikut, lalu semua orang memasuki penginapan. Satu hal yang mengganjal pikiran Subaru adalah Garfiel, membuntuti kelompok dengan ekspresi muram sama.

Jelas gara-gara kejadian sebelumnya. Ketika Subaru memikirkan hendaknya bilang apa kepadanya—

“Memangnya bukan kesempatan bagus untuk memberi tahu Garfiel bahwa ada orang yang lebih baik darinya, ya?”

“Beatrice ….”

Menyadari tatapan Subaru, Beatrice lembutnya menggenggam lengan bajunya dan berbisik:

“Sejak meningalkan hutan, Garfiel belum menghadapi perlawanan serius kecuali memindahkan benda berat. Sesekali boleh jadi jalan terbaiknya, kurasa. Anggaplah sebagai kesempatan belajar dan biarkan dia demikian.”

“Memang betul satu-satunya masa hidupnya sungguh-sungguh dipertaruhkan adalah pas melawan laba-laba tanah. Kurasa itu penyakit yang kebanyakan anak muda dapati di usia tertentu …. Okelah. Untuk sekarang aku amati diam-diam.”

“Haruskah, ya?”

Sementara ini, Subaru dan Beatrice mencapai konsensus mengenai penderitaan Garfiel. “Juga,” tutur Beatrice sebelum melanjutkan. “Tentang Pedang Suci itu …. Betty lebih suka tidak terlalu dekat-dekat dengannya.”

“—? Ada apa ini? Jangan bilang karena dia terlalu menarik kayak Julius?”

“Akuratnya terlalu berbahaya, kurasa. Bagaimanapun, tolong lakukan sebisamu.”

Beatrice tidak menjelaskan detailnya sembari sediam-diam dan secepat mungkin jaga jarak dari Reinhard sejauh-jauhnya. Tetapi dia segera berhenti. Alasannya adalah Emilia bicara, “Anu?” terus menepuk bahu Joshua saat dia menuntun mereka ke koridor. “Joshua, kurasa ruang tamunya di arah berbeda ….”

“Maaf. Akan tetapi, Nona Anastasia saat ini tengah bertamu, jadi saya tidak bisa langsung mengantar Anda ke ruang tamu.”

“Begitu. Tamu ….”

Mendengar jawaban Joshua, Emilia menyentuh bibir dan merenung. Menggantikan Emilia, Subaru menggumamkan, “Tamu, ya …. Artinya tamu selain utusan Emilia-tan dan Felt, Reinhard-kah?”

“… Anda akan segera mengerti. Tidak perlu menatap saya dengan mata binatang buas itu.”

“Hei, binatang buas tuh keterlaluan. Sorot mataku tidak selapar dan seliar itu.”

“Anda tak lama lagi akan cukup paham tanpa berteriak layaknya monster iblis.”

“Itu malah lebih parah. Monster iblis mana yang kau bicarakan? Anjing, paus, kelinci. Pilih salah satu.”

Subaru membacakan kamus para monster iblis paling dibenci yang paling tertanam dalam ingatannya. Akhir-akhir ini, dia bertanya-tanya di sebelah mana dia mesti menaruh laba-laba dalam jajaran peringkatnya. Dan lagi, rasanya bak ada semacam singa terbakar di peringkatnya tapi tak tahu di sebelah mana, namun kesan yang ditinggalkannya entah bagaimana lebih kecil dari monster-monster iblis lain.

“Paus, katamu?”

Selagi Subaru lebih dalam menggali ingatannya, Reinhard bergumam lirih di sebelahnya. Waktu Subaru menjawab, Reinhard pelan-pelan menggeleng kepala. “Tentang paus, betulkah anggapanku bahwa paus yang kau maksud itu Paus Putih, Subaru?”

“… iya, itu benar. Paus paling laknat sepanjang masa. Ajaib aku bisa melalui pertarungan itu hidup-hidup.”

Sungguh, Subaru pikir keajaiban sejati dirinya tidak berakhir dengan lebih banyak kematian melawan Paus Putih.

Dia bertekad mati berkali-kali. Dia merasakan kematian berulang-ulang. Begitulah ancaman sang monster iblis serta, kerusakan yang ditimbulkannya sukar dilupakan. Bahkan saat ini, pengorbanannya terus menyiksa dada Subaru.

“Berkenankah memberitahuku detail Paus Putih nanti? Monster itu ada hubungannya denganku. Biarpun aku yakin pembicaraannya akan panjang begitu kita mulai.”

“Tentu. Kau pun tidak usah memberi tahu aku keadaan apa pun yang sulit dibicarakan.”

Entah apa, Subaru bisa menebak penyebab ekspresi suram Reinhard.

Bagi Subaru, pertempuran melawan Paus Putih adalah resolusi sekaligus pembalasan atas obsesi satu orang pria terhadap monster yang telah eksis selama lebih dari satu dekade. Dan dia bisa menduga hubungan antara kakek Wilhelm dan Reinhard. Terlepas dari itu Subaru tidak tahu persisnya masa lalu mereka.

Tentu saja hal itu tak wajib dia tanyakan cuma karena penasaran. Dia tahu itu.

“Makasih.”

Itulah sebabnya, Reinhard hanya dapat membalas demikian. Tidak lebih. Segitu saja cukup.

“Kita sudah sampai. Harap tunggu di ruang minum teh ini hingga pertemuan Nona Anastasia selesai.”

Joshua mengumumkan mereka sudah sampai tujuan tepat setelah percakapan Subaru-Reinhard kelar. Melihat sekat pintu geser di ruang teh, Subaru merasakan semangat Jepangnya berdenyut-denyut.

Perhitungan penggunaan suasana Jejepangannya bagus amat, pikirnya, tetapi pikiran biasa semacam itu cuma berlangsung beberapa detik.

“Maaf, tamu terhormat. Bolehkah meninggalkan beberapa tamu lain di sini sampai pihak Anda sekalian lengkap?”

Ternyata orang lain sudah berada di ruang teh, dan Joshua bicara padanya lewat pintu geser. Selagi melakukannya, ada tanda-tanda jelas gerakan seseorang di dalam.

“—silakan. Lagi pula aku tidak ada kerjaan di sini.”

  Sesaat suara jawaban didengarnya, Subaru menyipitkan alis; kemudian kejutan terjadi.

Suaranya akrab, suara yang sukar dilupakan. Lebih pentingnya lagi, baru beberapa saat sebelumnya dia memikirkan pria itu.

Subaru kelihatannya satu-satunya orang di tempat itu yang kaget—tidak, Reinhard-lah pengecualian di antara semua orang. Wajah lembutnya mengeras sedikit, dan kebingungan masuk ke mata birunya.

Tidak menyadari keengganannya, Joshua menggeser pintu gesernya ke samping. Pintu berpanel kertas terbuka, mengungkap interior kecil yang disebut ruang teh.

Selanjutnya seseorang yang berlutut dengan cara tradisional di atas bantal persegi memalingkan pandangan tenangnya ke mereka—

“—Kakek.”

“Reinhard?”

Suara pembuka kakek-cucu itu saling bercampur.

Inilah reuni tak terduga antara sang Pedang Suci dan Iblis Pedang keluarga Astrea terkenal.

4

Orang-orang yang berkumpul di aula tamu Water Raiment dibedakan dengan bermacam-macam cara.

“Harus kukatakan, aku kaget Reinhard dan Tuan Wilhelm itu keluarga. Oh iya, keduanya terlihat sangat mahir menggunakan pedang.”

“Memandang sesuatu dengan cara sangat tak sadar itu rasanya EMT banget sampai melukai hati.”

Berkumpul di sekitar meja panjang tengah ruangan, masing-masing fraksi duduk di atas lantai bantal persegi bergaya Jepang tradisional. Emilia dan Subaru berbisik lirih satu sama lain di sudut tempat mereka duduk bersebelahan. Dia barangkali gugup, tapi isi kata-katanya tidak tegang sama sekali.

“Betty memerhatikan benar-benar, tapi siapa pun yang membuat langkah tiba-tiba tidak ada gunanya, kau semestinya fokus tidak ditatap dingin semua orang yang hadir, kurasa.”

“Menyakitkan mendengarmu bilang begitu karena dulu aku sering mengalami persis hal itu.”

Duduk di sisi lain Subaru, Beatrice memberi peringatan.

Kebetulan, Emilia sedang duduk dengan kaki disampingkan, Subaru duduk bersila, lalu Beatrice duduk berlutut. sebab Subaru menantang Beatrice untuk mencobanya, kaki roh itu alhasil sudah mulai gemetaran.

“Bagaimanapun, Garfiel ada di sini kalau-kalau terjadi sesuatu, dan dengan hadirnya orang-orang ini, kekhawatirannya tak perlu.”

Kakinya yang sudah tidak tahan lagi, dia geser ke samping, Subaru melirik Garfiel yang duduk dengan posisi defensif di sudut ruangan.

Pertemuannya dengan Reinhard masih ada di pikirannya dalam berbagai hal, tapi tampaknya dia disibukkan Mimi yang menempel padanya. Subaru harap Mimi bisa sedikit membantu mengalihkan perhatiannya.

Saat ini, tokoh utama beberapa fraksi sedang duduk di aula tamu besar, dan rekan-rekan lainnya bersiaga di tepi ruangan. Karenanya adik-kakak Mimi pun hadir.

Melihat kakaknya melekat ke Garfiel, Hetaro menatap tajam si bocah, sedangkan wajah Tivey memperjelas dia tak ingin berurusan sama pertengkaran ini.

Kebetulan Joshua berada di pesisir kursi penonton, wajahnya yang sudah pucat malah makin pucat lagi dari biasanya.

Dari semua orang yang berkumpul di aula, orang yang memulainya adalah Reinhard, dia mulai dengan membungkuk.

“Kami sungguh-sungguh berterima kasih atas undangan yang Anda berikan kepada kami. Kedatangan Nona Felt ke penginapan sedikit tertunda, namun dikarenakan beliau akan segera tiba, sebagai perwakilan izinkan saya menyampaikan salam resmi kami.”

“Tidak usah sekaku itu. Mengingat undangan ini adalah pemberitahuan singkat dariku, itu sudah sangat berarti …. Walaupun ada lebih banyak kedatangan yang datang bersamaan dari harapanku.”

Sang tuan rumah, Anastasia, tersenyum lembut ketika Reinhard memberi sapaan selayaknya seorang utusan. Reinhard mengangguk menanggapi perkataan Anastasia; kemudian menghadap Julius yang lagi duduk berwajah tersenyum di sisi Anastasia.

“Lama tak berjumpa, Julius. Semenjak kunjungan kami sebelumnya ke Perusahaan Hoshin, kuyakin?”

“Iya, kurasa itu kali terakhirnya. Maaf memaksamu seperti ini. Akan tetapi, ini kesempatan bagus untuk melihat bagaimana kabar semua orang. Kesempatan seperti itu sulit didapat.”

Kedua teman itu saling bertukar sapa sedikit. Reinhard juga duduk di meja.

Entah bagaimana, urutan tempat duduknya telah diatur rapi oleh fraksi, Anastasia, Emilia, perwakilan Fraksi Felt yang masih absen, dan akhirnya—

“—waktu telah lama berlalu sedari terakhir kali aku bertemu kalian, bukan?”

Bicara sambil tersenyum minim adalah seorang wanita berwajah cantik dan rambut hijau indah yang cantik.

Kebaikan mendiami mata berwarna kuning yang bentuknya badam juga, sosok memikatnya mengenakan pakaian biru laut. Nyaris tak perlu disebutkan, tapi orang berpakaian rok panjang ini adalah gambaran persis keanggunan wanita terhormat.

Orang-orang yang mengenal diri lamanya takkan percaya bahwa itu sungguhan dia.

“Sudah lama juga, Nona Crusch. Aku yakin terakhir kali kita bertemu adalah saat upacara kehormatan?”

“Iya. Itu benar. Maaf menyulitkanmu saat itu. Barulah setelahnya aku mendengar usaha semua orang. Aku tidak terkejut sedikit pun.”

Crusch membalas sapa Emilia, responnya terdengar agak lembut.

Tindak-tanduk Crusch yang sebelumnya gagah dan tegas telah hilang bersama ingatannya.

“Sungguh, mengejutkan sekali. Aku mendengarnya di upacara kehormatan, tapi sesudah Paus Putih dan Kultus Penyihir, berikutnya Kelinci Besar? Subawu, kau gila, ya?”

Duduk di sebelah Crusch dan jarinya menusuk Subaru adalah gadis bertelinga kucing yang cantik, atau lebih tepatnya seorang pemuda bernama Felix.

Penyembuh terhebat kerajaan, dia pun bekerja paruh waktu sebagai dokternya Subaru. Kalimat mengusik itu ada bilahnya yang membuat Subaru duduk lebih tegak.

Penyebab kemarahan Felix kepada Subaru sudah jelas.

“Maaf mengabaikan peringatanmu, menggunakan sihir, dan menghancurkan gerbangku ….”

“Aku sudah menjejalkannya ke dirimu, meong, dan ujung-ujungnya masih tidak dijaga baik-baik. Sama sekali tidak berguna merawatmu. Bahkan sekarang, wajar jika pecah dan duar semisal Beatrice tidak di sini. Kau benar-benar, betul-betul harus memperlakukannya dengan lebih hati-hati.”

“Aku pahamlah. Tapi tidak ada pria di dunia ini yang bisa lebih membahagiakan Beatrice dari aku.”

Nada bicara Felix kurang ajar, tetapi peringatannya sangat serius. Oleh sebabnya Subaru sama-sama menjawab serius. Fakta Beatrice memukul bahunya selagi merona adalah ganjaran murah.

“Mesti kubahas, aku heran Fraksi Crusch pun dipanggil juga. Bila seluruh kagetku tidak habis setelah bertemu Reinhard di luar tadi, kau akan melihat raut wajahku yang buruknya bukan main.”

“Awww. Kesempatannya terbuang sia-sia. Tapi hebatnya amat banyak tamu yang diundang berkumpul di sini hari ini. Bahkan aku pun heran sama jumlah yang sebanyak ini.”

“Tentu saja, karena tidak ada tanggal spesifiknya. Jarang berkesempatan bertemu semua orang di satu tempat seperti ini, jadi kita harus anggap kecelakaan waktu ini sebagai berkah.”

Anggota terakhir Fraksi Crusch, Wilhelm, mengatakan kebetulan ini adalah kesempatan baik.

Crusch duduk berlutut formal, sementara Felix duduk dengan lutut terbuka ala-ala feminim. Wilhelm pun duduk formal di sisi lain Felix, tapi terlepas dari pakaian kepala pelayannya, sikap sopan tampak teramat cocok untuk suasana khas Jepang.

Dengan beberapa keanehan, pengaturan tempat duduk antar fraksi menempatkan Wilhelm dan Reinhard saling bersampingan, yang mana pemandangan buruk buat hati Subaru dan semua orang yang mengetahui hubungan mereka.

“Mereka berdua tidak menatap satu sama lain, ya …?” mental Subaru mengangguk pada bisikan lirih Emilia.

Memasangkan Wilhelm dan Reinhard artinya kakek-cucu secara berdampingan, namun keduanya tidak bicara sepatah kata pun ke satu sama lain dari saat reuni tidak terduga di ruang teh hingga saat mereka semua dipanggil.

Hening menyesakkan menghampar ruang teh, besarnya sampai bahkan Fraksi Emilia yang dipenuhi orang-orang blak-blakan, tidak mencoba memberi dukungan apa-apa. Sewaktu Joshua kembali, dia kelihatan bagaikan malaikat untuk mereka.

Bagaimanapun, Subaru menyimpulkan adanya keadaan riweh yang melibatkan dua orang anggota keluarga Astrea.

Jika tidak, perasaan yang menghantui Wilhelm selama perburuan Paus Putih tak dapat dijelaskan.

—mengapa Wilhelm meminjam kekuatan keluarga Crusch alih-alih keluarganya sendiri? Dalam hal ini, kenapa Reinhard tidak bergabung dalam pertempuran untuk membalaskan dendam neneknya sendiri?

“….”

Jauh di lubuk hati, Subaru teramat-amat ingin bertanya.

Namun menyelidikinya hanya akan menaburkan garam ke luka kakek-cucu itu dan malah makin melukai mereka. Dua-duanya dari fraksi bersaingan, satunya teman berharga dan satunya orang yang sangat dia hormati dan kelewat berhutang budi.

Kepercayaan adalah sebuah kastel yang dibangun di atas tumpukan pasir. Subaru tidak seperti Roswaal. Dia berdiri teguh.

Makanya Subaru mengemban harapan bahwa seseorang akan mengalirkan percakapannya secara alami ke arah itu.

“Kebetulan, adakah alasan Nona Anastasia memanggil semua orang ke sini?”

“Oh, kau merasa curiga sekali. Tujuanku sebetulnya adalah sekadar ingin bicara sedikit denganmu. Karena itulah aku tidak mengundang orang tak masuk akal ke sini.”

“Tidak masuk akal …?”

Emilia mengerutkan kening ketika menanggapi. Tapi bukan karena dia tidak mengerti maksud Anastasia barusan. Dari awal, hanya ada satu fraksi yang absen.

“Jadi kuterka kau tidak mengundang Nona Priscilla dan Sir AI?”

“Mereka melakukan semuanya dengan cara sendiri, jadi aku tidak bisa mencari-cari alasan untuk meminta kehadiran mereka ke sini. Setidaknya sama Felt, kami dapat kesempatan mengenal satu sama lain selama insiden Koin Perak Hitam itu, ‘kan?”

“Kami mengakibatkan banyak masalah pada kejadian itu. Akan tetapi, Anda teramat benar.”

Seketika Anastasia remehnya mengakui dia meninggalkan satu fraksi, Reinhard nampaknya setuju dan mundur tanpa melawan sedikit pun.

Waktu itulah Emilia mengangkat tangan, mencari kesempatan lain untuk bicara.

“Tadi, kau memakai kata alasan …. Apakah artinya kau meyakinkan semua orang untuk datang menggunakan banyak alasan seperti yang kau lakukan pada kami?”

“Seumpama kau akhirnya tetap datang, sekurang-kurangnya aku menyiapkan hadiah layak. Perbuatanku adalah apa yang kukatakan kepadamu sebelumnya, Emilia, tidak lebih.”

“Yang paling kami inginkan …. Tapi Crusch dan mereka, itu ….”

Pas Anastasia menjawab dengan senyum manis, Subaru melirik Crusch beserta penyertanya.

Yang Emilia inginkan adalah kristal sihir sebagai katalis untuk memanggil kembali Puck. Dan mengingat masalah yang dihadapi Crusch juga fraksinya, mereka paling menginginkan informasi mengenai—

“Kami datang ke Pristella sebab Nona Anastasia mengklaim punya informasi perihal peristiwa Uskup Agung Kerakusan.”

“—!”

Ada ekspresi tekad di wajah Crusch. Ucapannya membuat Subaru tanpa sadar bangkit berdiri.

Dia tidak boleh mengabaikan berita semacam ini. Subaru seolah refleks melotot ke Anastasia, kemudian wanita itu tersenyum tegang dan mengelus syal di lehernya.

“Bukannya aku berniat jahat padamu, Natsuki. Cuma prioritas ada urutannya. Aku bisa menjual ini ke Nona Crusch dan persekutuannya lebih tinggi dari Natsuki …. Salahkah aku?”

“… itu pemikiran seorang pedagang, baiklah. Itu tidak cocok denganku, tapi aku bisa … mengerti.”

“Mendengarnya darimu, itu lumayan mengesankan.”

“Oh, bawel. Jangan pancing-pancing padahal aku lagi menahan diri.”

Barang dagangan mahal dijual kepada penawar tertinggi. Itulah cara berpikir alami seorang pedagang.

Subaru hampir tak kuasa menahan ledakan emosinya di hadapan ceramah Anastasia. Sudah begitu, andaikan Julius mendaratkan satu serangan lagi, Subaru sungguhan dalam bahaya meledak.

“Tapi kau tahu …. Itu ….”

Subaru melihat Anastasia, mencoba menemukan pegangan. Barangkali seharusnya dia memohon kepada Crusch demi kemungkinan terkecil pun soal kebangkitan Rem, sang Putri Tidur, dari tidurnya.

Meski demikian, dihadapkan ekspresi rapuh wajah Subaru, Anastasia mendesah dalam-dalam.

“Wajahmu tidak usah sedih begitu. Jangan cemas—takkan aku sembunyikan rahasia ini darimu seorang.”

“… b-benaran?”

“Benaran. Tetapi kau harus tahu bahwa inilah permintaan Nona Crusch dan para bawahannya. Mereka semua tipe orang baik-baik yang berpikiran menyembunyikan informasi semacam ini itu tidak baik.”

Begitu Anastasia mengangkat bahu, kata-katanya membuat Subaru terperangah selagi berbalik menghadap Crusch. Ketika itu, Crusch balas menatap, berusaha sekuat tenaga menjaga ekspresinya tetap tegas.

“Wajarnya. Tentu saja aku ingin menyelesaikan urusan ingatanku dengan Kerakusan secara pribadi. Namun aku paham keinginan terbesar Master Subaru adalah membantu gadis itu.”

“Crusch ….”

“Lagi pula, aku yakin semakin bersatu kita dalam masalah ini, semakin bagus pula. Lawan kita adalah Uskup Agung Tujuh Dosa Besar licik yang senantiasa menghindari seluruh upaya perburuan kita. Aku takkan memendam dendam terlepas siapa pedang yang mencapainya duluan.”

Canda Crusch di bagian akhir membuat Subaru menunduk selagi rasa lega membanjiri dirinya.

Tidak salah lagi itulah itikad penuhnya untuk mengakhiri orang yang bertanggung jawab akan masa lalunya. Pertimbangannya pada Subaru yang memiliki tujuan sama, membuat Crusch membelok ke keputusan ini.

Biarpun ingatannya hilang, jiwa wanita cantik nan adil bernama Crusch Karsten tidaklah sirna. Dia tetap mengikuti jalan hidupnya.

“Serius, terima kasih. Aku akan berusaha sebaik mungkin tuk memenuhi harapan itu. Entah di mana, entah bagaimana caranya.”

“Walau begitu, kemungkinan kamilah yang pertama. Aku juga tidak bermaksud menyerahkannya kepada siapa-siapa.”

Sesaat Subaru menyuarakan kebulatan hatinya, Crusch membusungkan dada, tidak gentar.

Kelakuannya membuat Subaru dan Crusch saling bertukar senyum tidak sesuai keadaan. Kesatrianya, Felix, sama sekali tidak suka melihat ini.

“Grrr, Anda sepertinya sangat bersenang-senang, Nona Crusch. Anda mesti berhenti menyukai Subaru. Seharusnya dia puas sama bunga di masing-masing tangannya, meong. Dia tidak butuh lagi.”

“Felix, bukankah kata-katamu kurang ajar? Master Subaru tidak tak sesetia itu hingga mengincar sembarang orang.”

“Iya, hentikanlah, Felix. Memang benar Crusch itu manis dan cantik, tapi garis yang keluar dari hatiku itu …. Yah, terbagi dua di tengah jalan, tetapi masih lurus dan tipi—Aww, aww, aww?!”

“Mana ada orang menyebutnya garis lurus, dan ketidakpekaanmu itu malah makin memperparah.”

Tatkala Subaru mencoba ikut campur sama perselisihan tuan-pelayan Fraksi Crusch, Beatrice menjewer kuat-kuat telinganya. Tapi begitu Subaru keberatan dengan wajah berlinang air mata, Beatrice pura-pura tidak bersalah.

Di sisi lain pembicaraan itu, Crusch menurunkan wajah, pipinya entah kenapa memerah.

“Aduh. Emilia-tan, memangnya aku bilang hal aneh melebihi aneh biasa tipikalku?”

“Mm, iyakah? Kurasa kau selalu bilang hal mirip ke aku, sih ….”

“Yah, iya. Terus apa-apaan reaksi itu…? Mungkin seandainya aku pegang tangan Emilia-tan, jawabannya akan datang. Boleh kupegang tanganmu?”

“Kerja keraslah dan pikir sendiri kali ini.”

Seketika tangan yang tidak bisa dia pegang menampar dahinya, Subaru mengerutkan kening tajam. Usai menyaksikan perbincangan pasangan tersebut, Felix diam-diam mendekatkan bibirnya ke telinga Crusch.

“Tuh, lihatkan mereka. Subawu itu tidak pandang bulu. Dia bakalan mencobanya dengan siapa pun misal Anda memberinya kesempatan. Itu penyakit, meong. Anda sepatutnya tidak memerhatikan dia.”

“Dimengerti. Aku akan lebih berhati-hati. Fiuh, aku jadi kaget.”

Sesudah mengambil hati saran Felix, Crusch menarik napas dalam-dalam dan meletakkan tangannya ke dada besarnya.

Gerakannya menggemaskan dari segala aspek sekaligus meyakinkan Subaru bahwa tindakan-tindakan feminim tak terduga Crusch sangat menarik.

“Jadi kembali ke topik … orang-orangku lagi memilah-milah informasi yang diinginkan Crusch dan Natsuki. Seharusnya sudah cukup beres untuk diserahkan besok atau lusa, jadi bisakah bertahan sedikit sampai saat itu?”

“Betulan? Aku cuma tidak kuat menahan diri untuk mempercepatnya. Bolehkah memberikan kami apa pun lebih dulu, walau sedikit saja?”

Terburu-buru membuatmu terjerat hutang Rizzi selamanya. Tidak ada bagusnya dekat-dekat sama kerugian total, bukan? Jadi tenanglah.”

“Gggh ….”

Dicaci pepatah yang barangkali artinya sesuatu yang dilakukan terburu-buru hasilnya takkan baik, Subaru mengerang dan duduk kembali. Emilia bersama Beatrice sama-sama menaruh tangan ke masing-masing bahunya.

Kesimpulannya, rasanya setiap orang punya alasan tersendiri untuk datang ke Pristella.

“—heh, wah, bukannya kumpulan ini bagus? Lachins bilang, cuma Nona Separuh Elf dan Anastasia, tapi kurasa tidak cuma itu.”

Pintu ke ruang tamu dibuka paksa, kemudian pandangan semua orang tertuju ke gadis yang lancangnya melangkahi ambang pintu.

Gadis itu rambutnya pirang menyilaukan, berkilau, dan cerah, serta mata bulat yang besar. Sesuatu yang terlihat mirip taring kecil menonjol dari balik bibir wajahnya yang tersenyum percaya diri memancarkan karisma bandel. Dia masihlah gadis mungil dengan fisik halus, tetapi feminitasnya kelihatan sedikit meningkat.

 Akan tetapi sesuai pribadi khasnya, gaya pakaian yang tampak berasal langsung dari daerah kumuh, dan Felt yang selalu energik merengsek masuk ke ruangan dengan sifat sejatinya yang sama sekali tidak berubah.

Sewaktu mengamati wajah orang-orang yang berkumpul, dia kelihatan santai sekali sambil menutup satu mata.

“Walaupun sudah setahun, mengagetkan betapa sedikit perubahan kalian. Yah, kurasa juga berlaku padaku.”

“—Nona Felt, bolehkah?”

Felt mendesau, seakan-akan ekspektasinya telah pupus, lalu segera tersenyum. Perubahan ekspresinya membingungkan, namun setelahnya Reinhard pelan-pelan berdiri di sebelahnya.

Reinhard merajut alis halusnya selagi menatap Felt, tuannya sendiri.

“Satu set pakaian pantas untuk aktivitas umum di luar telah disediakan untuk Anda. Kemanakah set itu?”

“Ha! Siapa juga yang mau menuruti selera berpakaianmu? Jalan-jalan sambil melihat-lihat itu cara paling bagus untuk menemukan baju ganti. Pahamilah kepribadianku, Reinhard sayang.”

“Sungguh, Anda sungguh ….”

Tidak bisa dipercaya, demikian yang disiarkan Reinhard dari gerakan dirinya menutupi wajah. Felt berjingkrak di ambang pintu ruangan, terlihat teramat-amat senang sesudah berhasil menipu seorang pria yang adalah pahlawan nasional dan pejuang terkuatnya.

  Selanjutnya menoleh lagi ke orang-orang yang berkumpul dalam ruang tamu, ekspresi pedenya perlahan-lahan menghilang.

“Aku benar-benar berterima kasih sudah mengundangku ke sini hari ini. Mari berdiskusi produktif sebagai sesama kandidat pemilihan raja—oke, formalitas berakhir! Hadapi aku, ok?”

Usai sekilas menyuguhkan perilaku halus sekali sampai rasa-rasanya menyihir, Felt cepat balik ke mode bocah nakal. Cara watak tanpa kekangannya menginjak seluruh sopan santun, kurang-lebih membuat batin Subaru baik. Energi gadis itu makin membesar saja selama satu tahun silam ini.

“Kataku, kotanya aneh, dan bangunan ini aneh. Semua hal baru di mana-mana membuatku lelah.”

Seraya bicara, Felt kebetulan duduk bersila di atas bantal persegi yang digunakan Reinhard. Kesatria itu menarik bantal terpisah untuk dirinya sendiri, menempatkan Felt di tengah pasangan kakek-cucu canggung.

Tentu saja Felt tidak tahu, tetapi dirinya yang melakukan hal semacam itu murni karena insting.

“Baru …. Jika begitu yang kau pikirkan, maka aku senang. Sebetulnya, ada alasan lain juga aku memilih penginapan ini …. Mau dengar?”

“Jangan asal membuat tegang. Itu kebiasaan burukmu.”

Felt mengangkat sudut bibirnya sembari jarinya menusuk skema transparan Anastasia.

Percakapan dua orang itu yang terlampau kasual adalah tanda telah tertutupnya jarak di antara mereka. Sepertinya sejumlah pertemuan yang tidak diketahui Subaru sudah sangat meningkatkan hubungan.

Mengakui permintaan Felt, Anastasia menyentuh mulutnya sembari tersenyum.

“Aku tidak bisa mengalahkanmu, Felt. Sesungguhnya, penginapan ini punya … sumber air panas yang luas dan besar.”

“Sumber air panas itu maksudmu pemandian besar?!”

Mata Felt berkilauan begitu dia praktisnya melompat berdiri.

“Mandi kedengarannya mantap! Di daerah kumuh dulu, kesempatan berendam di air panas sulit didapat, dan aku suka. Hei, kalian sudah menyudahi semua pembicaraan pentingnya, ‘kan?”

“Pertemuan sudah berakhir … tapi, Nona Felt? Jangan bilang Anda sengaja terlambat datang ke penginapan dengan harapan menghindari percakapan serius ….”

“Ha, tidak dengar. Hei kakak-kakak, ayo mandilah, mandi!”

Mengabaikan komentar mencela Reinhard, Felt memanggil Emilia dan yang lain. Emilia terkejut Felt memanggilnya, tetapi tidak lama kemudian dia balas dengan senyuman.

“Mm, aku tidak keberatan mandi. Aku benaran mau lihat seperti apa pemandian besar ini.”

“Kurasa kau benar. Kami letih dari perjalanan panjang, jadi mungkin itulah yang terbaik.”

Emilia mukanya bersemangat, bahkan Crusch setuju seraya tersenyum elegan. Tentu saja baik Felt sang pencetus proposal maupun Anastasia sang pembesar sumber air panas, tak protes.

“Bentar, seriusan, pemandian air panas? Sama para gadis dan di situasi ini?”

“Hei, Mister, jangan ganggu senang-senang kami. Baiklah, ditentukan sudah, ayo pergi!”

Felt melipat tangannya ke Subaru yang dibiarkan kebingungan setelah Felt mulai mendikte langkahnya. Lalu tampang bangor tulen terpampang di wajahnya.

“Hari ini, kita mandi! Terus makan! Aku takkan membicarakan hal lain!”

Alangkah jantannya pernyataan itu.

5

Ujung-ujungnya, Felt-lah yang pukul palu, dan telah diputuskan bahwa semua orang akan berpisah, berkumpul kembali di ruang tamu besar sekali lagi kala makan malam.

Biar begitu, bukannya Subaru menolak proposal Felt juga. Yang ada, rencana aneh yang mengubah keadaan sangatlah bagus sampai-sampai dia kagum Felt sukses melakukannya.

Subaru baru saja menemukan kemungkinan pengumpulan informasi Uskup Agung Tujuh Dosa Besar di tempat yang tak pernah dia duga-duga sebelumnya. Subaru mau benaran membicarakan ini dan elemen-elemen mencemaskan lainnya yang menyangkut keseluruhan fraksi.

Masalah paling jelasnya adalah Garfiel yang hilang semangatnya.

Beatrice menyuruh Subaru menunggu dan melihat Garfiel mengatasinya dengan kekuatan sendiri, tapi—

“—kapten, maap, tapi boleh ga gua keluar sebentar? Gua rasa gada apa-apa, tapi lebih baiknya gua diem aja.”

Setelah pertemuan awal di ruang tamu telah berakhir, para pria berpisah dengan para gadis yang hendak ke pemandian besar, berikutnya ditinggalkan sendiri. Saat itulah Garfiel mendatangi Subaru dengan permintaan tersebut.

“Garfiel, jangan khawatir, kau ini kuat banget.”

“Tapi gua bukan yang terkuat. Itu belum cukup.”

Itulah hal terakhir yang Garfiel tuturkan begitu berbalik dan berjalan keluar penginapan.

Mempertimbangkan perannya sebagai pendamping, Subaru semestinya menghentikannya. Tetapi tidak dia hentikan. Dia yakin bahwa Garfiel dari semua orang bisa membuat semacam pemulihan dalam satu malam.

—oleh karenanya, Subaru bisa menggantikannya untuk satu malam itu, bukan?”

“Dia memanggilku Kapten dan memperlakukanku selayaknya kakak laki-laki. Setidaknya aku bisa melakukan ini untuknya, ‘kan?”

Faktanya, kakak laki-laki terhormat Garfiel satunya akan di sini bila dia tidak kelayapan di kota tepat di momen ini—atau asal jalan terus mabuk-mabukan. Berarti jatuh ke tanggung jawab Subaru untuk melakukan apa yang bisa dilakukannya buat adik laki-laki mereka.

“Terkutuklah, Otto, tidak di sini di saat aku benaran membutuhkanmu …. Serius, definisi Otto banget.”

Berdoa supaya adiknya tidak tumbuh seperti itu, Subaru menuju aula tamu besar ketika waktunya makan malam.

Pas datang, dia melihat gadis-gadis yang baru kembali dari pemandian, sekaligus para pria yang berkumpul di waktu yang ditentukan—

“B-Beako, pakaianmu …!”

“Oho, gimana, ya? Betty hari ini punya rasa berbeda dari biasanya.”

Beatrice memasang wajah angkuh saat menyapa Subaru. Pipinya merah sedikit karena baru mandi, mendorong keimutannya ke tingkat lebih tinggi, tetapi bukan itu yang mengejutkannya.

Beatrice senantiasa terlihat memakai gaun mewah, tapi dia terkesima melihatnya mengenakan yukata.

“Ohhh, luar biasa, luar biasa, mereka bahkan punya yukata di sini! Dan kelihatan sangat bagus padamu! Beako, kau sangat cantik! Beako, kau sangat menarik! Kau memakainya sendiri?”

“Wajar saja, kurasa. Bagi Betty, perbuatan semacam itu mudah.”

“Heh, pasti dong! Yah, tentu itu yang dibilang Beako, tapi benarkah?”

“Hehehe, jangan meragukannya. Itu benar. Beatrice cuma tersandung dua kali.”

“F-fitnah, ya?! Subaru, di antara Betty sama Emilia, kau percaya sama siapa?!”

“Begitu menanyakan pertanyaan itu, kau sudah kalah.”

Itu penilaian normal, Beatrice yang bohongnya bisa ditebak sementara Emilia seratus persen terlalu jujur.

Emilia tersenyum lembut sementara wajah Beatrice makin memerah. Emilia pun menggunakan yukata, dengan rambut perak yang masih basahnya diikat rapi di belakang kepala.

Memberikan Subaru pemandangan sempurna tengkuknya yang sangat luar biasa. Baunya juga wangi.

“Subaru, hidungmu terdengar terengah-engah. Kau demam?”

“Sedikit demam cinta, mungkin. Emilia-tan, boleh aku kepang rambutmu?”

“Boleh-boleh saja, tapi kupikir kita akan duduk buat makan. Mau lakukan setelahnya?”

Tatkala Subaru menyentuh ujung rambut gadis setengah elf yang dibundel, Emilia menunjuk meja sembari mendorong balasan tawarannya. Subaru mundur meski enggan, seketika itulah dia tiba-tiba menyadari semua pasang mata dalam ruangan tertuju kepada mereka.

“Apa, terjadi sesuatukah?”

“Sepandanganku, susah memahami sejauh apa jarak antara Mister dan Nona. Rasanya menggairahkan amat, tapi kali terakhir aku lihat, hubungan kalian buruk banget.”

“Tolong jangan mengeruk kejadian di kastel. Itu memang menyakiti hatiku.”

Subaru membungkuk dalam-dalam pada Felt yang lagi duduk bersila di yukata selagi Subaru memohon.

“Ha! Apa-apaan ini? Kurasa Mister sungguhan membetulkan hidupnya, ye?”

Reaksinya membuat Felt tertawa-tawa dan mendongak dari buku yang dibacanya, yang mana hal itu biasanya takkan Subaru bayangkan sama sekali. Dia menutup buku yang punya bunga ditekan sebagai penandanya, dan berkata, “Kalau dipikir-pikir ….” Felt memiringkan kepala sebelum melanjutkan. “Kudengar di pemandian kalau kesatria jelekku merundung bocah pirangmu? Maaf soal itu. Akan aku benarkan.”

Selagi bicara, Felt menggunakan buku di tangannya untuk memukul bahu Reinhard. Dia tidak menahan diri, membuat kesatria berambut merah itu memberengut.

“Nona Felt, cara bicara seperti itu akan mengundang spekulasi. Dia dan saya semata-mata saling salah paham, dan cara saya menanganinya sedikit kasar. Itu saja …. Faktanya, dia sangatlah kuat kendatipun usianya masih muda.”

“Kurangnya kesadaran diri yang kesannya meremehkan itu tak meyakinkan.  Maksudku, kau dasarnya tak kenal ampun sama semua orang yang menjanjikan. Kau selalu membuat Gaston dan yang lain setengah menangis setelah selesai melatih mereka.”

Penilaian Reinhard tentang kelayakan Garfiel membuat Felt menjulurkan lidahnya dengan ekspresi putus asa di wajah.

Tetapi setidaknya, Subaru paham kata-kata Reinhard adalah keyakinan sesungguhnya. Dia mengatakan itu sebab benar-benar menghormati Garfiel serta mengakui kekuatannya.

Barangkali itulah bagian paling berbahaya dari karakternya. “Sehubungan dengan itu, Nona Felt, mengenai pakaiannya ….”

“Apa, bukan pakaian yang boleh dikenakan kandidat pemilihan raja? Lihat sekelilingmu—gadis-gadis lain sama pakaiannya, sial. Mustahil aku doang yang mengeluhkan itu.”

“Tidak, tidak sama sekali. Saya hanya bermaksud bahwa pakaian itu cocok nian pada Anda.”

“Diam.”

Namun menakjubkan melihat sejelas apa makian tajam yang Felt arahkan ke Reinhard.

Dialah orang paling dipercaya dan dihormati orang satu kerajaan. Hampir semuanya jujur memujinya sebagai kesatrianya kesatria. Kata manis darinya sudah cukup membuat banyak wanita pingsan, tetapi Felt menepisnya seolah-olah sampah.

Subaru jadi terlampau resah bahwa semuanya tidak berjalan baik sebagaimana kata rumor.

“Perkara itu, pihak kami lebih mendekati idealis … sekalipun orang-orang Crusch menempati urutan pertama.”

“Kami sekarang apaan?”

Waktu Subaru menggerakkan tangan ke dagunya untuk berpikir, Crusch menatap bertanya dirinya.

Tentu saja Crusch tidak dikecualikan dan memakai yukata pula—bergaya bebeda dari pakaian yang normalnya dia pakai sekarang, kain yukata tipis yang menutupi sosoknya dengan elegan, meninggikan keanggunan feminimnya.

Crusch tahu pakaian itu mulanya dipakai untuk pakaian tidur pesta malam, tetapi dalam hal pakaian Jepang yukata itu levelnya teratas soal pesona.

“Iya. Kau dan Felix dekat banget, tapi kalian tidak punya hubungan semacam itu, ‘kan? Situasiku berbeda sedikit gara-gara awalnya punya motif tersembunyi, tapi kalian ini kek, hubungan sempurna.”

“Kiranya diibaratkan seperti itu, rasanya mau tersipu malu, hehe. Iya ‘kan, Felix?”

“Feli lebih-kurang punya motif tersembunyi terkait Nona Crusch.”

Tahu-tahu, deklarasi Felix membuat suasana aula tamu membeku.

Raut wajah Crusch tetap stagnan senyum menawan, sedangkan Felix menatapnya sambil nyengir-nyengir. Di saat yang sama, Felix juga memakai yukata. Di suatu waktu dia mengganti pakaian, dan itu cocok untuknya seperti cocoknya gadis-gadis lain. Bagaimanapun—

“Maaf mengungkap rahasia yang tidak perlu didengar siapa pun. Ayo makan?”

“Tolong jangan lempar bom terus kabur seperti itu!”

Ratap Crusch dengan mata berkaca-kaca selagi Subaru mencoba menarik diri untuk makan malam.

Bisa jadi setahu Crusch itu kedatangannya tiba-tiba, namun Subaru sendiri tak sengaja mencari rahasia yang meledak-ledak seperti itu. Harus berbuat apa? pikir Subaru sembari melayang-layangkan tatapannya.

“Felix, aku melarangmu mengejutkan Nona Crusch seperti ini.”

Satu komentar yang langsung mengubah seluruh suasana berasal dari Wilhelm yang menutup mulutnya dari tadi.

Duduk formal dengan pakaian yukata, kata-kata sang Iblis Pedang mengakibatkan Felix menyentuh bibirnya sendiri.

“Oh tidak, bahkan Pak Tua Wil meragukan perasaan Feli?”

“Hormat, kasih sayang, romansa. Berhenti kacaunya merayu dengan cara menggoda para penguasa dan pengikutnya yang hadir. Aku terpaksa menyebutkan bahwa memangsa perasaan naif orang lain itu tidak manis sama sekali.”

“Huu. Kau ketat amat, duh.”

Ceramah Wilhelm yang penuh gravitasi membuat Felix cemberut dan menyerah. Setelahnya, Felix menyenangkan dirinya dengan bersandar ke bahu Crusch.

“Tidak usah khawatir begitu. Tentu saja cuma bercanda. Feli yang punya segala macam meongtif tersembunyi buat Nona Crusch itu sangat salah.”

“I-iya, kurasa salah. Fiuh, kau mengagetkanku. Karena saat ini tidak bisa menggunakan berkah, rasanya mungkin salah paham besar tentang perasaanmu, Felix.”

“—sama sekali tidak.”

Crusch menghela napas lega, tetapi sorot mata Felix saat itu menyentak Subaru.

Sejenak, emosi intens memenuhi mata si kucing. Mungkin saja penderitaan pribadinya.

Sekalipun dia bertingkah sembarangan, penderitaan yang dipanggul Felix selama satu tahun terakhir ini boleh jadi sebanding dengan Subaru. Pemuda itu menyakitkannya paham penyesalan dan kesedihan di paling dalam diri Felix.

“Err, persiapan untuk makan malam sepertinya sudah selesai, jadi berkenankah membawanya masuk?”

Sehabis menunggu-nunggu suasana tenang alami pada percakapan, Joshua meminta karyawan penginapan untuk mengatur meja. Selagi mereka mulai menempatkan satu per satu hidangan di meja panjang, muncul reaksi heran di sekitarnya.

Variasi makanannya adalah sesuatu yang belum pernah dilihat Emilia dan yang lain, tetapi reaksi Subaru berbeda alasan—dia dikejutkan pemandangan tak terduga yang baginya familier.

Sebab dunia ini tak punya laut, memasak ikan artinya ikan hasil pancingan sungai. Tentu berarti hanya ada sedikit ikan yang betul-betul besar, menjadikan hidangan sashimi3 dan sebagainya lumayan sulit ditemui. Karenanya, melihat begitu banyak hidangan ikan di tempat seperti ini lebih mengherankan.

“Kita bisa langsung memakannya?”

“Suka tidak? Tak pernah melihatnya, benar? Semua hidangan di sini asalnya dari Sungai Tigrasea Besar terdekat dan dipersiapkan para koki berpengalaman. Cukup bagus hingga memenuhi syarat sebagai makanan khasnya Water Raiment.”

Nampaknya tradisi kulinter yang tak terkait dengan hal lumrahnya Kerajaan Lugunica masih diwariskan. Pokoknya, satu demi satu hidangan yang muncul didasarkan pada masakan Jepang yang semakin membuat bingung Emilia serta teman-teman.

Orang pertama yang menerobos keragu-raguan mereka bukanlah Anastasia, sang nyonya rumah perjamuan, melainkan—

“Begini! Seperti ini! Ini caranya ‘kan!”

Sayang sekali peralatan makannya adalah garpu, tetapi Subaru menusuk sashimi ikan yang tidak dia kenal, mengoleskan bumbu mirip kecap, kemudian memasukkannya ke dalam mulut sekaligus.

Lalu Emilia dan Beatrice bilang, “Ah!” terkejut di sampingnya, Subaru menjilat dagingnya.

“Maknyuuuuuss! Ahhh, sudah lama banget tidak makan sashimi! Paling joslah! Memang terbaik dah kau ini, Anastasia!”

“E-enakkah?”

“Mahakarya! Ikannya segar, jadi rasanya luar biasa! Sayang sekali tidak ada cuka susyi4 di sini, aku bisa mencoba meniru tekniknya koki susyi teman ayah untuk membuat nigirizushi5!”

“Maaf, aku tidak mengerti maksudmu …. Tapi begitu, ya. Jadi enak.”

Inti aliran respon Subaru rupanya tersampaikan. Emilia memilih percaya bagian terpentingnya saja dan melakukan yang dia lakukan, menaruh kecap di sashimi sebelum mencicipinya sendiri.

Setelahnya, Emilia membuka mata bundarnya lebar-lebar. “Mm—!” lanjutnya, mengepalkan tangan senang dan melambai-lambai.

Melihat reaksi jujur sama dari tuan dan pelayannya, para hadirin lain satu per satu mencoba makanannya.

“Grrr, Natsuki, kau merusak kesenanganku lagi ….”

Perhatian yang tadinya tertuju padanya telah dicuri, dirinya jadi sedikit tak puas. Namun reaksi indah Subaru dan Emilia akhirnya membuat ekspresi Anastasia santai.

“Aduh, kalian anak-anak tak bisa dibilangin …. Hei! Sisakan beberapa buatku!”

Pesta makan malam jadi tuan rumahnya berbagai macam kegelisahan, dan sejumlah wajah tertentu tak hadir, sekalipun begitu, semua yang bergabung dapat menikmati jeda singkat.

—selama satu malam itu, bulan dan dunia kelihatan bersedia memberi momen ketenangan di saat seluruh kekhawatiran normal dapat ditunda dengan aman.

6

Tatkala bersepakat melupakan fakta mereka adalah saingan politik, malam pun berlalu.

Makan malam di aula tamu telah usai, dan Subaru selesai mandi lalu hendak kembali ke kamar. Staf nampaknya menggelar futon selama absennya para tamu, jadi semuanya siap untuk tidur malam nyenyak.

“Subaru! Tampaknya seorang penyusup menyelinap masuk selagi Betty dan yang lain tidak ada!”

“Yea, kayaknya futon yang kau berantakin sudah dirapikan. Perusak banget.”

Memarahi Beatrice atas was-was tidak pentingnya soal dua futon yang dibariskan sejajar, Subaru pelan-pelan menyelipkan gadis yang terlihat mengantuk itu ke tempat tidur.

Di satu waktu, semenjak membentuk perjanjian formal, sudah jadi hal biasa Subaru dan Beatrice sekamar. Anastasia telah menyusun kamar terpisah untuk mereka, tetapi Beatrice tetap merangkak memasuki futon Subaru di tengah malam, jadi anak muda itu menolak sopan tawaran tersebut.

Tentu saja bukan karena Beatrice itu anak kecil tulen sampai-sampai tidak mampu tidur sendirian, namun karena banyak mana yang diambil dari Od seseorang itu diproduksi waktu tidur, semata-mata demi kepentingan kondisi fisiknya Subaru.

Maka dari itu, bukan karena Betty mau sama Subaru. Bisa jangan berpikir yang tidak-tidak tentang ini, ya?

Itu kata Beatrice tak lama setelah membuat perjanjian.

Dalam hal ini, tidak masalah apa niat sejatinya. Subaru sudah terlampau terbiasa mendengar suara tidur orang lain di dekatnya selama setahun silam. Dan itu membantunya tetap hangat di hari-hari dingin pula.

“Itu kumpulan racun hijaukah, ya …? Kau takkan mudah lolos misal memakannya ….”

Dia pastinya cukup lelah, karena Beatrice terseret ke alam mimpi sesaat masuk futon, merintih ketakutan karena trauma wasabi6 waktu makan malam.

Menikmati wajah tidur pasangannya yang menggemaskan, Subaru meregangkan punggungnya benar-benar di tengah ruangan.

“Baiklah, bagaimana kalau jalan-jalan sebentar sampai mengantuk?”

Mengencangkan ikat pinggang yukata-nya, Subaru keluar kamar dengan semangat tinggi. Dia belum menentukan tujuan, tapi niatnya tidak jalan-jalan sampai ke luar penginapan, pikirnya dia mau cari udara segar di taman.

Dia membayangkan pemandangan yang sangat mirip dengan taman Jepang, akan terlihat indah di bawah sinar bulan. Menatap bulan bundar dari jendela koridor, Subaru menyipit ke cahaya peraknya.

Malamnya tenang. Dalam hal pertahanan, penginapan pemandian air panas punya bagian yang kelewat terbuka, namun mengingat orang-orang yang tinggal di sana sekarang ini, dia cuma bisa kasihan kepada siapa pun yang cukup bodoh mencoba menerobos masuk.

Aku tidak berpikir akan terjadi apa-apa, tapi misal sungguhan terjadi sesuatu di distrik ini, aku akan buru-buru datang. Tolong tenanglah.

Demikianlah kata-kata meyakinkan Reinhard ketika mereka berpisah di aula.

Fakta dirinya menggunakan kata distrik daripada penginapan sangatlah menenteramkan, sangat seram. Memperhitungkan kepribadian Reinhard, mungkin saja dia merendah dengan tidak memilih menggunakan kata kota.

 “Reinhard, ya ….”

Memikirkan temannya yang kelewat mungkin masih berjaga-jaga kendati malam-malam begini, Subaru menurunkan pandangan—susah melupakan betapa ikhlasnya Reinhard setuju dirinya adalah teman Subaru.

Selama reuni tak terduga di hari sebelumnya, Subaru telah memperbaiki pertemanan hancurnya dengan Reinhard. Tapi bukan berarti hal-hal buruk yang diucapkan Subaru ataupun sikap menjijikkan yang ditampilkannya di hari krusial itu diperkenankan.

Teman haruslah setara. Itu yang diyakini Subaru. Apa pun yang Reinhard pikirkan mengenai masalahnya, Subaru berhutang budi kepadanya. Bagaimana bisa memanggil dirinya teman Reinhard tanpa membayar hutang itu?

Tidakkah ada sesuatu, apa pun itu, yang Subaru sanggup lakukan demi temannya, Reinhard?

“….”

Selagi merenungkan pemikiran itu, dia dibawa kakinya ke taman, di situlah napas Subaru tercekat sewaktu melihat pemandangan yang menyambutnya.

Di bawah langit hitam serta bulan perak, awan-awan menyelimuti bulan demi meminjamkan tamannya daya tarik yang lebih menggiurkan, Subaru melihat satu orang berdiri di sana, menikmati angin sepoi-sepoi menyegarkan.

Pria itu mempunyai punggung kukuh dan kepala juga janggut dicat putih. Subaru hanya mengenal satu orang dengan ciri khas tersebut.

“—Pak Wilhelm?”

“Sir Subaru? Apakah aku mengejutkanmu?”

Wilhelm barangkali sudah merasakan kehadiran manusia jauh sebelum Subaru sadari. Memanggilnya, Wilhelm memasukkan tangan ke lengan yukata berwarna nila begitu berbalik. Kelembutan tatapannya cocok betul dengan pakaiannya.

Melihat Iblis Pedang memasukkan tangannya ke lengan yukata selagi berdiri di taman bergaya Jepang entah bagaimana terlihat indah sekali.

“Malamnya tenang, tapi kau tidak bisa tidur?”

“—tidak, sebenarnya tidak begitu. Cuma mau melihat taman ini saja pas malam-malam. Kupikir akan jadi pemandangan bagus, jadi itulah tujuanku.”

“Seperti itu. Kalau begitu tidak sopannya aku mengganggu acara malam hari khidmat ini.”

Cara Wilhelm menuturkannya dengan senyum sentimental dan suara lembut membuat Subaru menggaruk pipi. Bagi Subaru, mendengar suara Wilhelm itu menenangkan nian. Entah kenapa, membuatnya merona sedikit.

Wilhelm adalah orang yang paling Subaru hormati di dunia ini.

Ada banyak orang yang Subaru ingin temani, bersaing, dan anggap setara, tetapi kemungkinan besar Wilhelm seorang yang menjadikan Subaru berpikir aku mau menatapnya sambil menyimpan perasaan mirip-mirip cemburu.

Wilhelm cukup ideal bagi Subaru, baik sebagai seorang pribadi ataupun seorang pria.

Karena itulah, saat Subaru menggaruk pipi, dia menggeleng kepala terhadap kerendahan hati Wilhelm.

“Tidak, tidak. Pak Wilhelm tidak mengganggu sama sekali. Malahan, sang Iblis Pedang cocok banget berada di taman Jepang hingga mengukir sebuah foto ke dalam hatiku selamanya. Aku suka melihat orang-orang di bawah langit yang diterangi cahaya bulan.”

Setahu Subaru, orang yang paling cocok diterangi langit berbulan tidak diragukan lagi adalah Emilia.

Rambut peraknya berkelap-kelip dan berkilauan yang takkan pernah sinar matahari tampakkan. Kecantikan Emilia bagaikan cahaya bulan yang lewat cepat. Itulah sebabnya Subaru harap suatu hari kelak menjadi bintang yang bersarang di bulan.

Karenanya, Subaru mendapati Iblis Pedang berdiri di bawah langit yang diterangi cahaya bulan sebagai simbol aspirasinya.

“Semestinya kau bisikkan kata-kata itu bukan kepadaku, melainkan seorang wanita. Sia-sia sekali.”

“Dengan wajah begini, meski mengatakan kalimat-kalimat berbunga semacam itu, tetap takkan cukup, apalagi ungkapan itu tidak berguna sedikit pun pada gadis yang hatinya paling ingin kugelitik saat ini.”

“Seseorang harus memilih kata demi wanita yang paling disayanginya …. Perasaan frustasi itu adalah bagian kebahagiaan cinta.”

Nada menggoda Wilhelm melorotkan bahu Subaru dengan gerakan lucu.

“Ohhh, sudah lama aku tidak melihat Bapak diselubungi aura kisah cinta itu. Jadi ada juga masa-masanya Pak Wilhelm seperti itu, ya?”

“Tentu saja.”

Ketika Subaru membungkuk hormat mengikuti kebiasaan, Wilhelm bilang, “Baiklah, kurasa tidak bisa mengelak,” nampak teramat senang sewaktu menceritakan kisahnya.

Mata birunya menatap sesuatu nan jauh sambil mengingat kenangan tercinta.

“Aku canggung dengan kata-kata bahkan sampai hari ini, tetapi diri laluku jauh lebih buruk. Seorang pria yang kekurangan kata-kata. Waktu pertama kali bertemu istriku, masalah seorang pria yang isi kepalanya hanya mengayunkan pedang pastinya membuatnya bosan sampai menangis.”

“Tapi Nyonya senang bicara dengan Pak Wilhelm, ‘kan?”

“Istriku adalah wanita emosional. Sekalipun dia sengsara oleh beban takdir yang dipikul punggung kurusnya, dia tak pernah mengeluhkannya sepatah kata pun pada orang lain. Boleh jadi itulah alasan aku tertarik kepadanya pada pandangan pertama … namun kala itu aku bodoh sekali tidak menyadarinya sedikit pun.”

Suara Wilhelm mengandung bau penyesalan dan rasa malu, tidak salah lagi malu terhadap betapa tidak sosialnya dia dulu. Merasakan reaksi langka ini darinya membantu Subaru merasa rileks.

“Siapa kira Pak Wilhelm, bagaimana bilangnya, pernah bersahaja seperti itu?”

“Aku benar-benar telah mempersembahkan segenap bagian diriku untuk pedang. Seketika memegang pepdang, aku melupakan seluruh pikiran lain, membenamkan diri ibaratnya itulah yang memberi makna dalam hidupku—istrikulah yang mengingatkanku akan alasan diriku memilih menapaki jalan pedang.”

“Baru saat itukah Bapak sadar telah menyukai nyonya, mungkin?”

“… sepertinya kau membaca pikiranku, Sir Subaru.”

Subaru merespon gumam lesu Wilhelm tanpa bicara apa-apa.

Wilhelm mungkin tak sadar bagaimana raut wajahnya tatkala itu. Dirinya yang tak keberatan menunjukkan wajah itu membuat Subaru merasa amat bangga.

Mata Wilhelm, kerutan di pipinya, nada suaranya, gerak tubuhnya …. Seluruh bagian dirinya mengucapkan satu hal. Bahkan saat ini, sejak pertama kali Wilhelm bertemu istrinya, dia mencintainya—Theresia van Astrea.

Melihat wajah itu, semua orang akan tahu dia masih jatuh cinta.

“—!”

Tanpa sadar, Subaru hampir menangis ketika melihat ekspresi Wilhelm. Panas naik ke balik matanya. Entah kenapa, dadanya jadi panas seperti ini sewaktu melihat wajah seseorang yang tengah jatuh cinta. Wilhelm akan kelabakan bila Subaru mulai menangis di tempat seperti ini, bukan?

“Persis yang kau katakan Sir Subaru. Baru saat itulah aku menyadari perasaanku kepada istriku.”

Seketika Subaru menunduk untuk menyembunyikan air matanya, Wilhelm terus menceritakan hari-hari yang telah lama berlalu. Menerima kemurahan hatinya, Subaru mendengarkan kisah pria itu begitu rasa sakit dalam dirinya makin pedih.

“Mengayunkan pedang adalah segalanya bagiku. Tapi pikiran yang kumiliki saat mengayunkannyalah yang menjadikan aku yang sekarang. Istriku mengetahui itu seolah hal jelas. Mulai dari sana, waktu mengayunkan pedang, aku memikirkan istriku.”

“Masih kau lakukan sampai sekarang?”

“—dahulu hingga kini, yang menghubungkanku dengan istriku adalah pedang.”

Wilhelm berhenti sepintas lalu merangkai kata untuk manjawab pertanyaan Subaru.

Selagi Wilhelm menghadap Subaru dengan cahaya bulan di belakangnya, matanya dibasahi emosi kompleks. Dia merasa bangga. Dia merasa menyesal. Dia merasa ragu-ragu, semangat, dan malu. Keberanian serta tragedi pun ada.

—tetapi di balik semua emosi ini ada cinta.

“Selama memegang pedang, perasaanku untuk istriku akan bertahan. Oleh sebab itu, saat aku mati, aku ingin mati bersama pedang di tanganku. Bagiku, itu sama dengan terus bersama istriku.”

Wilhelm terlalu kikuk, blak-blakan, dia mencintai istrinya dengan cara lain.

Subaru menarik napas, mengambil banyak napas pendek lain seakan-akan megap-megap. Lidahnya mati rasa, dia merasa paru-parunya bak kejang-kejang. Tetapi dia tekan dadanya untuk menahan detak jantung dan memaksa menggerakkan lidahnya.

Momen itu, sementara mata Wilhelm menatap ke kejauhan, Subaru harus mengatakannya.

“Tolong jangan katakan hal-hal beralamat buruk seperti saat aku mati. Pak Wilhelm, Bapak masih muda, hampir terlalu muda, dan akan jadi masalah besar semisal selalu memikirkan pensiun.”

“Sir Subaru?”

“Crusch dan Felix dua-duanya sangat bergantung pada Bapak. Crusch pastinya kesusahan karena tidak sanggup mengingat ingatannya, dan Felix tidak menunjukkannya, tapi dia pasti terlalu punya banyak pekerjaan karena mendukungnya dengan cara apa pun, jadi mereka membutuhkan Pak Wilhelm. Lagi pula, bahkan aku—!”

“….”

“Bahkan masih banyak hal yang ingin aku minta bantuan Pak Wilhelm. Mungkin ini cara berpikir yang naif dalam hal menghadapi lawan politik. Tapi aku ….”

—Subaru menyukai Wilhelm.

Wilhelm menyimpan perasaannya kepada istri meninggalnya bahkan selagi menghabisi musuhnya. Karena itu Subaru menghormatinya sebagai seorang pria.

Walaupun Wilhelm tidak menyadarinya, biarpun di tengah perulangan Subaru telah menghabiskan lebih dari sepuluh hari sebagai muridnya, Subaru mengagumi kekuatan Wilhelm.

Subaru ngeri mendengar kata-kata soal mengenai mengakui kematian keluar dari mulut Wilhelm.

—bahkan lebih dari sebelumnya, Subaru sensitif akan kematian di antara orang-orang yang dia kenal pribadi.

Janjinya dengan Roswaal adalah salah satu alasannya, dan itu pun efek Return by Death yang mengubah pikiran Subaru sendiri. Ketika dia pikirkan seseorang yang dikenalnya sekarat, dia kehilangan kendali atas emosinya.

Cukup sudah dia punya ketakutan rahasia yang melibatkan Emilia dan Beatrice.

“Seperti biasa, pemilihan kataku buruk nian.”

Selagi Subaru berdiri kaku, menutup jaarak di antara mereka sembari tersenyum sedih. Mendekat selangkah demi selangkah, Iblis Pedang akhirnya berdiri di tepi teras tempat Subaru berdiri.

Kemudian sorot mata biru tuanya menembus mata hitam Subaru yang berkedip-kedip.

“Sir Subaru—mungkin itulah kebajikanmu, namun itu pun bisa jadi kelemahan.”

Kaa-kata itu tidak digemakan senyum. Namun tidak juga dimarahi cemooh.

Entah bagaimana, kedengaran laksana dia memperdebatkan suatu hal seperti halnya seorang tetua bicara pada pemudanya.

Atau apabila lebih Subaru pikirkan, nadanya seperti kakek yang lagi bicara dengan cucunya.

“Istriku benar-benar sama. Kebiasaan buruknya menahan perasaan sendiri, mengutamakan hati orang-orang sekitarnya dan selalu memposisikan dirinya di urutan terakhir.”

“Kebiasaan buruk, kata Pak Wilhelm …. Nah, dari awal, aku bukan pria sesuci itu. Aku tak mengharapakn kebahagiaan semua orang di mana-mana atau semacamnya. Aku seorang pria yang berpikir jika bisa memastikan orang-orang di sekitarku bahagia, maka itu cukup.”

“Masalahnya adalah jangkauan yang dimaksud adalah orang-orang di sekitarmu. Istriku tak menginginkannya, namun dia mempunyai kekuatan yang tidak cocok dimiliki seseorang pun. Harapan dan keinginannya jauh melampaui jangkauan dan luasnya kekuatan tersebut.”

Istri Wilhelm, Theresia van Astrea, adalah Pedang Suci generasi sebelumnya. Satu tahun terakhir ini, bahkan Subaru tahu sejarah karir singkatnya. Dia sang pemimpin komando yang mengakhiri perang saudara Kerajaan Lugunica yang mengancam hendak menghancurkan negara, seorang pahlawan sekaligus penyelamat nasioanl—dialah Theresia.

Natsuki Subaru mustahil membandingkan perbuatan heroiknya dengan perbuatannya.

“Aku paham maksud Pak Wilhelm tentang istri Bapak. Tetapi tak mungkin itu berlaku padaku.”

“Dalam masa damai, istriku adalah seorang wanita biasa yang suka melihat-lihat bunga. Pahlawan yang namanya diturunkan sepanjang sejarah tidak senantiasa menjadi pahlawan di kehidupan sehari-hari mereka. Dan, Sir Subaru, luasnya namamu juga jangkauan tanganmu, jauh lebih besar dari yang kau bayangkan. Mulai detik ini, akan lebih-lebih lagi.”

“Bukan itu ….”

“Aku percaya itu. Tentang semua hal yang tidak dapat kau lakukan sendiri, Sir Subaru, aku yakin kaulah seorang pria yang mampu mengumpulkan orang-orang yang juga tidak kuasa melakukan hal-hal ini sendirian, kau ‘kan berhasil mencapai sesuatu yang sebelumnya belum pernah tercapai.”

“….”

Subaru syok. Itu saja yang dapat dirasakannya sebagai respon kelayakan berlebihan yang dilimpahkan Wilhelm.

Subaru tidak kuat, dia tidak cerdas atau bijaksana, dia pun setengah hati dan terlebih berkemauan lemah. Justru dikarenakan dia tak bisa berbuat apa-apa sendirian, dia harus membujuk orang lain untuk melakukan segala macam hal dan sekadar selamat berkali-kali, tidak lebih.

Mengapa Wilhelm menganggap Subaru sangat berharga terlepas dari semua itu?

“Mungkin sekarang ini kau belum menyadarinya. Kurasa masih banyak yang belum menyadari kelayakanmu. Akan tetapi, suatu hari nanti, kau pun akan mengerti dan begitu pula semua orang.”

“Aku ini pria lemah tidak berdaya yang tidak punya keahlian.”

“Ya. Dan diri lemah tidak berdayamulah, yang tidak punya keahlian, yang kusukai.”

Memberatkan kata-katanya dengan jeda singkat, Wilhelm mengangguk puas.

“Dan jumlah orang yang berpikiran sama akan bertambah.”

“….”

Wilhelm betul-betul melebih-lebihkan. Perkataannya sungguh tidak realistis sampai rasanya takkan mungkin nyata. Takkan ada yang menyalahkan Subaru jika dia tertawa terbahak-bahak.

Dia tidak melakukannya sebab Wilhelm yang menyampaikannya.

“—rupanya aku terlalu banyak bicara. Maaf begitu lama menahanmu di sini.”

Melihat kesedihan Subaru yang disembunyikan, Wilhelm menunduk bak tiba-tiba diliputi rasa malu. Tetapi Subaru yang kelihatannya menyesal telah membuat Wilhelm merasa demikian, menggeleng kepala.

“Aku pikirkan baik-baik kata-kata Pak Wilhelm barusan … dan aku agak menyesal. Tujuan awal semua ini adalah mendengarkan cerita tentang istri Pak Wilhelm.”

“Tidak sama sekali. Sudah lama sekali semenjak aku merasa lapang …. Yah, mungkin tidak selama itu, tapi leganya bisa membicarakan istriku. Tidak Nona Crusch ataupun Felix punya banyak waktu untuk hal-hal seperti itu akhir-akhir ini.”

“Aku secara tidak sengaja tahu gara-gara Pak Wilhelm tidak pernah bosan menceritakan kisah-kisah romantis!”

“Aku jelas jadi sedikit terlalu sentimental. Akhirnya tiba saatnya mengistrirahatkan cerita panjang seorang pria tua.”

Wilhelm menyeringai ketika melangkahkan satu kakinya dari taman ke teras. Suasana bilang kisahnya telah berakhir, jadi Subaru dengan tenang mengulurkan tangan untuk membantu Wilhelm menuju koridor.

“….”

Wilhelm menerima uluran tangan Subaru lalu naik ke koridor. Merasakan beban tubuh pendekar pedang tua lewat tangannya, Subaru mendadak mengingat situasi di aula tamu.

Bersamaan dengan itu, pikiran yang dia simpan dalam perjalanan ke taman kembali kepadanya.

Bisa saja Subaru kelewat tidak peka dan kurang ajar. Namun walau begitu—

“Pak Wilhelm. Aku tidak berniat ikut campur masalah dalam negeri fraksi lain buat menginjak-injak hati orang tanpa pikir panjang, tapi ….”

“—iya, aku dengar.”

“… tidak bisakah Pak Wilhelm akur sama Reinhard? Dia keluarga, bukan?”

Subaru bisa membayangkan kerumitan yang barangkali melingkupi hubungan kakek-cucu keluarga Astrea.

Bisa jadi tidak sopannya masuk tanpa diundang bayarannya akan menghilangkan kepercayaan yang dia bangun dengan Wilhelm. Tetapi ini isi pikiran Subaru: Apa bagusnya suatu hubungan yang kau pegang teguh, tapi tidak bilang apa-apa karena takut menyakiti pihak lain?

Dan jikalau Wilhelm yang sebaliknya melakukan yang Subaru lakukan aagar Subaru berpikir persis seperti itu ….

“Terbesit pikiran selagi berbincang denganmu, Sir Subaru.”

“….”

“Mengapa aku tidak bisa bicara seperti ini dengan cucuku sendiri?” inilah sumber penyesalan yang menyiksa Wilhelm.

Seluruh ekspresi menghilang dari wajahnya. Dirinya yang tanpa ekspresi namun nyaris tanpa emosi. Inilah emosi kuat yang terkunci dalam cangkang mengeras—tidak salah lagi namanya penyesalan.

“Aku seorang pria yang banyak penyesalannya. Akan tetapi, ada tiga penyesalan yang telah kukumpulkan selama hidupku yang sama sekali tidak ada gunanya. Salah satunya adalah penyebab keretakan masa ini antara aku dan cucuku.”

“Tapi itu membuat frustasi, bukan, Pak Wilhelm?”

“Aku tidak diperbolehkan merasa frustasi atas ini. Itulah beratnya kata-kata yang kutanamkan kepada cucuku … ke Reinhard waktu itu. Mengerikannya, tak termaafkan … dan bodoh.”

Sementara di luarnya tanpa emosi, ada api berkobar dalam Wilhelm yang sepertinya hendak menghanguskan jiwanya.

Inilah api kemarahan neraka yang terus berkobar bertahun-tahun di hati tak kenal ampun Wilhelm. Api penyesalan yang menyatu membentuk lautan api dahsyat, api yang membakar Wilhelm, tidak diperkenankan mati hingga berubah menjadi abu.

“Demi membalaskan dendam istriku, aku gelap mata dari penyesalan ini. Kini setelah membalaskan dendamnya, aku tahu ini sungguh-sungguh waktu yang tepat untuk mendekatinya.”

“Tetapi keberaniannya tidak datang-datang?”

“Aku malu sekali. Berpikir cucuku bahkan sampai sekarang membenciku, aku tidak bisa menggerakkan kakiku.”

Wilhelm meratap dari lubuk hatinya perihal betapa kecewanya dia pada dirinya sendiri.

Melihat pria tua itu terlihat menciut dramastis, Subaru terkejut. Kemudian sehabis keterkejutannya mereda, dia tak kuat menawan tawa.

“Sir Subaru?”

“M-maaf. Aku tidak bermaksud tertawa, tapi tidak bisa kutahan.”

Wilhelm memasang wajah tak percaya, tapi Subaru-lah yang sulit memercayai kata-kata yang dituturnya.

 Begitulah dia, pasrah akan kemungkinan hubungan antara keduanya terlampau tanpa harapan sampai-sampai mungkin hanya akan memburuk, namun.

“Pak Wilhelm, kedengarannya kau tidak pantas menyebut diri Anda Kakek Reinhard atau mirip-mirip itu.”

“Iya, sebagaimana kata-katamu. Meskipun tahu akulah yang salah, aku dapati diriku tidak mampu melangkah maju. Sifat pengecut itu membuatku sungguh frustasi dengan diriku sendiri, tapi ….”

“Iya, Bapak tidak terlihat semacam kakek yang takut dibenci cucunya.”

“… apa?”

Hingga titik itu ekspresi Wilhelm memendung, memperlihatkan keheranannya seraya berkedip kaku. Reaksi itu membuat pipi Subaru menyeringai.

“Aku tidak tahu banyak tentang penyebab keadaan kalian berdua memburuk. Mungkin kupikir aku melenceng. Tetapi dari sudut pandang orang luarku, Pak Wilhelm sama Reinhard sungguh-sungguh ingin memperbaiki keeadaan. Kalau begitu, jauh lebih baik orang yang meminta maaf memulai lebih dulu.”

“Tentu saja Reinhard akan menolak memaafkanku.”

“Dia takkan langsung memaafkan, teruslah meminta maaf sampai dia memaafkan. Dari awal, meminta maaf bukan mengenai seseorang memaafkan Bapak, ‘kan? Meminta maaf karena keinginan. Hasrat meminta maaf itu egois dan sewenang-wenang. Maksudku, orang yang meminta maaf adalah orang yang pertama melakukan hal buruk.”

“….”

Kali ini giliran Wilhelm yang dibingungkan lompatan logika mengejutkan Subaru.

Tentu saja Subaru sadar betul betapa sembarangan dan irasionalnya argumen tersebut. Biar begitu, itulah sesuatu yang Wilhelm takut suarakan kepada cucunya dan ngeri dia lakukan pertama kali, padahal sangat perlu dia lakukan. Yang mesti Wilhelm lancarkan seketika itu adalah kemampuan untuk sengaja mengabaikan, berani bertingkah ibarat masa lalu tak pernah terjadi, dan kehendak kurang ajar untuk tersangkut momen itu.

Dan Natsuki Subaru adalah piawainya keterampilan meragukan ini.

“Jadi ya, meminta maaf tiba-tiba setelah bertahun-tahun berlalu akan membuat seseorang berpikir, Orang ini sehat? Tapi selama meminta maaf berkali-kali, itu akan berubah. Sulit bilang entah ujungnya jadi, Orang ini tak tertolong lagi atau Orang ini menyebalkan banget, sih.”

“Aku yakin akan dianggap sebagai perubahan buruk.”

“Tapi masih terhitung perubahan. Bukannya kemajuan apa pun lebih baik ketimbang membiarkan semuanya membeku di tempat seperti sekarang?’

Gambaran populer Subaru adalah dia seseorang yang mulai memberi kesan terburuk dirinya kepada banyak orang. Bagi Subaru, dikelilingi orang-orang yang menganggap dirinya terburuk bukanlah masalah besar.

Lagian, Subaru melihat peluang kemenangan. Bagaimanapun, Reinhard itu—

“—Reinhard bilang padaku dia mau mendengar kejadian di pertempuran Paus Putih.”

Di akhir kata-kata serampangannya, Subaru mengungkap fakta yang mungkin jadi kuncinya.

Reinhard tentunya telah menanyakan Subaru mengenainya di tengah jalan menuju ruang teh.

“Aku tidak tahu apa hubungannya Paus Putih dengan ketidakakuran kalian berdua. Tapi sekiranya terhubung, Reinhard tahu Pak Wilhelm-lah yang menamatkan riwayat Paus Putih. Dia tahu Pak Wilhelm menghabiskan lebih daru satu dekade untuk juga membalaskan dendam neneknya.”

“….”

“Dia barangkali berharap inilah momen-momen hidup yang terjebak masa lalu untuk mulai bergerak juga.”

Mana mungkin Subaru tahu perasaan sesungguhnya Reinhard.

Faktanya, dari awal masih belum jelas baginya bagaimana mereka berdua bisa berteman. Bahkan ada kalanya Subaru cemas mereka berdua mudahnya berteman. Sebagiannya adalah boleh jadi karena keyakinannya bahwa Reinhard tidak pernah merasa tak berdaya atau kurang informasi.

—namun tidak mungkin itu benar. Tidak diragukan lagi Reinhard pun punya hal-hal yang digelisahkannya.

  Bahkan Wilhelm yang tampak bagai manusia super menurut Subaru, hanyalah pria lain, kakek lain, manusia berkekurangan lainnya dengan masalah dan beban.

Salahkah menerka Reinhard tidak berbeda?

Seumpama Reinhard orang semacam itu, maka Subaru bisa melakukan sesuatu untuknya sebagai teman.

Dia harap hanya butuh satu tindakan campur tangan. “Aku ingin tahu apakah cucuku … apakah Reinhard akan mendengarkan?”

Setelah jeda sekilas, Wilhelm mengeluarkan pertanyaan itu dari dirinya sendiri. Subaru tersenyum, karena inilah pemicu tepat untuk mengambil langkah pertama yang Wilhelm nantikan.

“Pertama, Bapak bicara dengannya sampai dia muak. Semisal dia mengabaikan, tidak apa-apalah. Karena, aku selalu menghampiri Emilia-tan dengan pola pikir: aku barangkali hanya berhasil sekali dalam seratus kali percobaan.”

“Sulit dipercaya—”

Mendengarkan nasihat Subaru, buka-bukaan tak terduga ini membuat Wilhelm menggeleng tidak percaya.

Kemudian laki-laki tua itu mengangkat pandangan, melihat bulan keperakan yang melayang di atas kepala.

“Kau memang tiada tandingannya, Sir Subaru.”

Jelas dari suaranya kalau dia tersenyum.

Catatan Kaki:

  1. Kendo (剣道 kendō) adalah seni bela diri modern dari Jepang yang menggunakan pedang. Kendo berasal dari kata “ken (剣)” yang artinya “pedang”, dan “dō (道)” yang artinya “jalan”. Jadi arti kendo secara keseluruhan adalah suatu jalan/ proses disiplin diri yang membentuk suatu pribadi samurai yang pemberani dan loyal. Kendo menggabungkan unsur-unsur bela diri, seni dan olahraga. Dalam latihan.
  2. Burung Pegar atau Ayam Pegar adalah nama umum dari kelompok burung famili Phasianidae ordo Galliformes, termasuk burung-burung jenis Kuau dan lain-lain. Mereka dicirikan dengan sifat dimorfisme seksual yang kuat, warna spesies jantan lebih cerah dan kaya warna serta memiliki ekor yang lebih besar dan panjang. Ukuran tubuh jantan umumnya lebih besar daripada betina. Jantan tidak memiliki peran dalam membesarkan Burung Pegar muda. Burung Pegar umumnya memakan biji-bijian dan beberapa memakan serangga.
  3. Sashimi (刺身) atau sasyimi adalah makanan Jepang berupa makanan laut dengan kesegaran prima yang langsung dimakan dalam keadaan mentah bersama penyedap seperti kecap asin, parutan jahe, dan wasabi.
  4. Cuka susyi untuk antibakteri waktu membuat susyi terutama yang pakai ikan mentah.
  5. Nigirizushi adalah salah satu jenis susyi.
  6. Wasabi (わさび atau 山葵) (Wasabia japonica, sinonim: Eutrema japonica, bahasa Inggris: Japanese Horseradish) adalah tanaman asli Jepang dari suku kubis-kubisan (Brassicaceae). Parutan rimpang (rizoma) yang juga disebut wasabi, dimakan sebagai penyedap masakan Jepang, seperti sashimi, sushi, soba, dan ochazuke. Daun, tangkai, dan rizoma memiliki aroma harum, sekaligus rasa tajam menyengat hingga ke hidung seperti mustar, tetapi bukan pedas di lidah seperti cabai.
Share this post on:
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments