Share this post on:

Inisiasi

Sumber Gambar:

1. synndev

2. Ger0Gear

Penerjemah: Efreet Malum

… seketika kepulan asap menghilang, perasaan Ram tidak berdaya aneh.

“…”

Dia membuka mata merah tua pucatnya, membelalak selagi menatap ruangan yang masih penuh asap melayang. Meski begitu, walau dia tatap, mencari sesuatu di antara kekosongan sana, yang dia cari-cari tidak kelihatan.

Dia mencari orang-orang dalam ruangan yang di dalamnya muncul lubang besar, seseorang bergerak, atau seseorang berwarna hitam, bersama seseorang berwarna biru yang menawan; akan tetapi, mereka sama sekali tidak di sana …

“… Ram!”

Bahu Ram diraih dari belakang selagi dirinya mencoba melangkah maju, menyadarkannya. Ram sadar dia hendak melangkah ke bagian lantai yang retak. Kalau dia tidak berhenti, dia mungkin jatuh.

Ceroboh sekali, melihat ke bawah kakinya saja tidak.

“Alhamdulillah kau baik-baik saja Ram …. Dan Patrasche-chan, kau juga tidak apa-apa?”

“Emilia … sama …”

Ram mengiggit bibir. Di sisi lain, Emilia-lah yang meraih bahunya, dia semestinya berada di lantai atas. Sembari terengah-engah sedikit, Emilia memeriksa apakah Ram oke-oke saja, juga Naga Darat hitam, Patrasche, yang tengah tiarap di belakang mereka, bangkit berdiri.

Akhirnya selagi melihat mereka, Ram kembali tenang sampai bisa memeriksa sekelilingnya.

Koridor yang harusnya menara batu kuat telah runtuh, lantai dan langit-langitnya hancur berantakan. Ram dapat melihat langit serta pasirnya lautan pasir dari seberang dinding yang kini terdapat lubang di sana; karena berlubang angin kering bertiup masuk.

Terlepas dari itu, tempat yang paling rusak adalah ruangan yang didiami Ram, Patrasche, dan teman-teman beberapa saat lalu—Artinya, ruangan yang mereka sebut Ruang Hijau.

“…”

Ruangannya serba rumput dan tanaman merambat menutupi dinding, lantai, bahkan sampai langit-langit.

Namun demikian, ruangannya kini tidak dikenal dibanding ruangan aslinya, gara-gara erosi alam bertahun-tahun lamanya merobek akar dan cabang.

Termasuk tempat tidurnya yang ditenun rumput juga ivy, disertai cahaya samar kehadiran Roh; semuanya.

Perkara itu dan masalah terbesar mereka adalah …

“Ram …. Subaru sama Rem di mana? Mereka baik-baik saja, kan?”

Berdiri di sebelah Ram, Emilia mengintip ke tempat Ruang Hijau berada sebelumnya. Ram tidak bisa langsung menjawab pertanyaannya, walaupun tahu betul diri bungkam menyakitkannya sudah jadi jawaban.

 


 

“… pertama-tama, coba pilah-pilah kejadiannya. Kita takkan bisa bicara tenang kecuali melakukannya.”

Melihat ke semua orang yang berkumpul dalam ruangan seraya mengatakannya, Anastasia mengambil alih situasi.

Syal rubah putih Anastasia—Echidna—masih menyelimutinya. Jarinya menyusuri bulu rubahnya yang sedikit berdebu sambil bicara.

“Jadi, soal bayangan hitam yang menyerang menara barusan …”

“Sudah hilang, setidaknya sementara ini. Berkat kekuatan Naga Ilahi, Volcanica, menurut saya.”

“Baik sang Naga dan pergerakan bayangan itu tiba-tiba sekali, kita dibuat penasaran soal kejadian sebetulnya, ya.”

Dalam menara, mereka yang kembali dengan selamat mulai memberi tahu kejadiannya, dimulai dari Anatasia kemudian Julius lalu diikuti Echidna.

Sebagaimana Anastasia dan Echidna, pakaian kesatria putih Julius pun dilumuri debu. Akan tetapi, debunya bukan cuma karena pertempuran sengit yang terjadi di menara, namun juga karena efek peristiwa yang dibahas barusan.

Namun demikian, tidak satu pun dari ketiganya terkena luka tambahan; dari hal itu saja, bisa dibilang melegakan.

Berkat tindakan Naga Ilahi, Volcanica, di lantai teratas menara.

“Volcanica membelah bayangan mengintai itu dengan napasnya, kurasa. Kalau bukan karena itu, faktanya, kita akan sangat terluka.”

Anastasia mengangguk pada Beatrice sebagai respon perkataannya, sedangkan gadis kecil itu melipat tangan pendeknya.

Jujur, di saat Volcanica tiba-tiba sekali bernapas, Anastasia yang tidak seperti dirinya telah pasrah menerima kematian. Kejadiannya terjadi begitu cepat, sampai-sampai tak ada waktu untuk menghadapinya.

Walaupun jelas dia tidak bisa bilang sudah sepenuhnya mengendurkan was-wasnya hanya gara-gara satu tarikan napas itu.

“Respon Naga Ilahi pada krisis yang menimpa kita teramat luar biasa, tapi biar begitu, kondisinya sedang tidak bagus, itu belum berubah …. Sekalipun sekarang ini, sepertinya tetap cukup patuh dan mematuhi kehendak Emilia-sama.”

“Mempertimbangkan Julius di sini, kucoba tidak memanggil mereka pikun …. Tapi, semua ini semenakutkan Naga Ilahi-san. Omong-omong, tentang kejadiannya, benar kata Beatrice-chan.”

“Kurasa.”

Satu-satunya yang sanggup menghadapi situasi semendadak itu adalah Volcanica. Bagaimana jadinya, bila Naga itu tidak meniup bayangan yang membayang-bayangi mereka.

Namun, mereka tidak boleh melompat-lompat kegirangan …

“Bayangannya ada banyak~. Tapi, pokoknya semuanya mengincar Onii-san …”

“Meili-chan.”

“… ah, mohon maaf~.”

“…”

Meili tidak memikirkan pemilihan katanya, seolah dia marah, karena marahnya itu Anastasia menegurnya. Meili meminta maaf tulus sembari menatap Ram dan Emilia yang keduanya tetap terdiam.

Kalau dipikir-pikir, yang terkena dampak bayangan itu adalah dua orang dari Fraksi Emilia—Subaru dan Rem—Makanya, dampak ke Fraksi Anastasia sebenarnya nihil.

“Kendati aku tidak bisa betul-betul bilang begini, bagaimanapun kita semua bepergian bersama-sama.”

Gumam Anastasia, lalu sekilas melihat Julius dan Echidna. Mereka bekerja sama dengan kelompok Emilia selama Anastasia berganti tubuh dengan rubahnya, tatkala Anastasia tertidur dalam kesadarannya sendiri.

Jelas Echidna sudah Anastasia kenal selama sepuluh tahun, namun Julius yang seingatnya betul-betul baru kenal Echidna, dengan mudahnya dia tahu bahwa Echidna terguncang.

Mengenainya, Anastasia lumayan kaget melihat Beatrice yang hubungannya mestinya kurang dekat dengan mereka, menghadiri pertemuan ini.

“Beatrice-chan, kau baik-baik saja? Ah bentar, bukan, ga bagus menggunakan kata baik-baik saja. Tapi, kau tidak panik, kan?”

“… Faktanya, Betty panik takkan mengembalikan Subaru sama Rem. Sekarang, masalah utama yang dibahas adalah langkah pertama kita yang dikacaukan kepanikan, kurasa. Faktanya, aku persis mau menghindari itu.”

“Langkah pertama? Soal itu, maksudmu …”

“… mengembalikan Subaru dan Rem. Melakukannya, benar?”

Anastasia mengangkat alis kebingungan selagi mencoba menanyai Beatrice. Namun Emilia menyela, sambil menopang bahu Ram.

Mata kecubung Emilia menembus langsung Anastasia, matanya sedikit melebar kaget melihat tajamnya tatapan Emilia. Bibir Anastasia dibasahi lidahnya.

“Sial, kukira kau bakalan sedih banget, tapi sorot mata ngeri itu. Maksudnya apa?”

“Tidak rumit-rumit amat. Subaru dan Ram dimakan bayangan itu dan dibawa pergi dari kami …. Volcanica mengusir bayangannya, tapi dia sedikit terlalu lamban. Walau begitu …”

“Mereka tidak mati oleh bayangan itu. Aku yakin.”

Selagi masih ditopang Emilia, Ram membuka mata dan menjawab. Berikutnya menyentuh lembut dahinya—bagian yang seharusnya Tanduk Klan Oni berada—selagi mendesah lelah. Itulah yang mendasari kata-katanya yang terdengar yakin penuh.

“Suku Oni …. Ah, Bukannya itu sinestesia persaudarian? Jadi maksudnya kau terhubung dengan Rem-san?”

“Yap, itu benar. Rem masih hidup …. Barusu entahlah.”

“Subaru baik-baik saja, kurasa! Faktanya, itu Betty jamin!”

Beatrice berteriak murka, wajahnya nyaris memerah ketika merespon kata-kata yang mirip-mirip sifat Ram. Lagian, dia itu Beatrice, Roh yang membuat kontrak dengan Subaru. Ucapannya ada kredibilitasnya bagi mereka.

Yang artinya, kedua orang menghilang itu telah dipastikan hidup dari sudut pandang berbeda.

“Perihal Subaru, kita punya koneksi lewat kontrak Beatrice-sama, dan perihal Nona Rem, kita punya sinestesia Nona Ram …. Kedua hal itu patut dipercaya. Lagi pula, aku juga ingin berharap.”

“Jujur amat …. Yah, intinya, aku pun lebih ingin Natsuki-kun dan Rem-san baik-baik saja.”

Anastasia mengelus syalnya sehabis Julius menjawab, seakan-akan dekat-dekat dengan mereka akan jadi masalah.

Mereka sementara waktu ini bekerja sama dengan kelompok Emilia—tetapi kenyataannya mereka masih bersaing satu sama lain dalam Pemilihan Raja. Anastasia tak mau mereka salah paham tentang itu dan malah menambah masalah.

Namun demikian, justru karena bertarung bersama-samalah mereka harus membayar hutang budinya.

“Baiklah~? Nah, bagus bangetlah Onii-san dan satunya masih hidup, ta~pi mereka ke mana?”

Gagal membaca suasana secara positif, Meili bertanya demikian seraya bermain-main sama Tiny Crimson Scorpion yang diseimbangkan di kepalanya. Julius membuka mulut menanggapi pertanyaannya, dan mulai bicara …

“Yah, walaupun aku tidak bisa terlalu rinci menjelaskannya, bayangan itu adalah dari Sihir Bayangan …. Atau setidaknya, atribut Bayangan. Semestinya semacam sihir yang menyegel Penyihir Kecemburuan di kuilnya, juga Roy Alphard dalam Kereta Naga. Jika kita menganggapnya begitu, maka soal ahlinya Sihir Bayangan kita …”

“… Betty ahlinya, kurasa. Faktanya, rognosisku tidak jauh beda dari Julius. Yang satu itu gumpalan Bayangan, kurasa. Faktanya, mirip Shamac yang diberi arahan.”

Shamac? Bukannya itu sihir dasarnya Atribut Bayangan? Kok bisa sekuat itu?”

“… sudah kuduga ada beberapa manusia yang salah paham karena hampir tidak ada penggunanya. Tapi faktanya, susah misal pemikiranmu begitu padahal sama-sama Roh sepertiku.”

Echidna yang mewujud sebagai rubah putih, ditatap mata mencela Beatrice, membuatnya menunduk. Mendesau pada reaksi Echidna, Beatrice mengangkat salah satu jarinya kemudian bilang, “Bolehkah?”

“Sifat khasnya Shamac adalah Pemisahan. Shamac tingkat rendah memisahkan tubuh seseorang dari kesadaran, sementara Shamac tingkat tinggi memisahkan ruangnya sendiri, kurasa. Faktanya, Door Crossing Betty adalah salah satu aplikasinya, menghubungkan dua ruangan dan mencapai sesuatu yang mirip-mirip teleportasi.”

“Itulah alat yang Beatrice-sama pasang di mansion lama. Sulit memanggil beliau saat datangnya waktu makan, jadi jujur saja, aku sudah muak dengan itu.”

“Betty benar-benar kesal kau jujur-jujuran di sini waktu ini juga, kurasa. Aku yakin sudah menyesalinya, tapi permintaan maafnya bisa nanti …. Omong-omong, Shamac, pada dasarnya, bisa memisahkan ruang jika diinginkan; bisa juga memisahkan objek, entah sekuat apa objeknya. Faktanya, itu keahlian Penyihir Kecemburuan.”

“Dari penjelasanmu, bukankah maksudmu Natsuki-kun dan Rem-san telah dihancurkan berkeping-keping?”

Seandainya bayangan tersebut semematikan itu, maka kata-kata Beatrice meniadakan keselamatan Subaru dan Rem.

Tetapi Beatrice menggeleng kepala pada pertanyaannya.

“Yang kubahas barusan adalah kiasan, kurasa. Setidak-tidaknya, bayangan itu tidak dibuat untuk memotong-motong Subaru dan Rem. Tapi bertugas menelan mereka dan membawanya ke suatu tempat, kurasa.”

“Suatu tempat …. Melintasi ruang …. Dalam situasi ini, kubayangkan tempat itu adalah keberadaan Penyihir Kecemburuan?”

“… ditambah lagi miasmanya Barusu.”

Echidna memecah eksposisi Beatrice menjadi istilah lebih sederhana, di bagian akhir, Ram menyuguhkan latar belakangnya.

Miasma yang menyelimuti Subaru yang terlampau mengganggu Monster Iblis dalam perjalanan menuju Menara Penjaga kini sudah diketahui para Kandidat Pemilihan Raja.

Mengenai miasma ini, baik penyebab dan detail lebih rincinya, tidak dikethaui.

“Aku cuma tahu miasmanya menarik para Monster Iblis, dan orang-orang yang punya hubungan dengan Kultus Penyihir sering kali memancarkannya dalam bentuk sekop …. Kurang lebih begitu.”

“Hmm, padahal Subaru sudah beberapa kali dkejar-kejar Monster Iblis, dia tidak ada hubungannya sama Kultus Penyihir. Aku tahu itu sangaaaaaat mencurigakan, tapi …”

“Tidak usah khawatir, aku tak meragukannya sekarang, Emilia-san.”

“Oh? Baguslah. Subaru itu anak baik, jadi …”

Emilia menepuk dada lega, namun masalahnya masih ada.

Sebagaimana perkataan Anastasia, berpikir Subaru punya hubungan dengan Kultus Penyihir tidak lagi berada dalam dirinya. Namun demikian, mereka yang masih tak tahu asal-usul Subaru masih membuat dirinya ragu.

Emilia tidak menganggap Subaru sebagai orang yang punya niat buruk. Tapinya, niat buruk yang tidak disadari orang pun bisa jadi masalah.

Ada kemungkinan di balik niat baik Subaru, keberadaan Subaru sendiri jadi masalah yang membesar.

“Iya, iya, jadi tidak perlu cemas, aku sudah paham dari awal kalimatmu. Bayangan yang menelan Natsuki-kun dan Rem-san adalah bayangan yang membawa pergi mereka ke suatu tempat. Pertanyaan sebenarnya adalah, ke mana?”

“Sekaligus kejadian saat napas Volcanica ikut campur.”

Beatrice dan Ram yang masing-masingnya terhubung dengan Subaru dan Rem secara perorangan, barangkali punya gambaran kasar tentang keberadaan mereka.

Mencarinya bakalan jadi tugas sulit jika yang mereka ketahui cuma tempat keduanya dipindahkan—sekurang-kurangnya, opsi tak melakukan pencarian tidak tersedia untuk satu orang pun di tempat ini.

“Tolong, kalian berdua, Subaru dan Rem di mana? Tolong beri tahu aku.”

Beatrice serta Ram saling berpandangan, lalu berbalik menghadap permohonan tulus Emilia. Kemudian setelah dua orang itu terdiam beberapa detik …

“… dia di selatan.” kata Beatrice.

“Ram pun merasakan Rem berada di arah yang sama. Tidak yakin posisi tepatnya, tapi kurasa dia cukup jauh.”

“Selatan? Selatan dari sini itu, uhh …”

Emilia mengernyitkan alis cantiknya begitu Beatrice dan Ram menjawab mereka di selatan. Biarpun Emilia sudah berusaha sebaik mungkin membayangkan peta dunia dalam kepalanya, Anastasia mengangkat tangannya mewakili Emilia.

Sekarang ini mereka berada di Bukit Pasir Augria yang letaknya di ujung paling timur dunia. Selatan dari sini kemungkinannya adalah Picoutatte atau Flanders, dua dari lima kota besar, tapi …

“Sehubungan itu, keadaan mereka berdua tidak diketahui.”

Tampaknya tiba di pemikiran yang sama, Julius menggantikan Anastasia mengutarakan isi kepalanya.

Dari caranya menyesuaikan diri dengan kecepatan pikirannya, Anastasia semakin-makin menghargainya sebagai kesatria idealnya, sembari menutup salah satu matanya dan bilang: “Benar.”

“Jaraknya lumayan jauh, tapi semisal mereka sadar di sekitar wilayah itu, maka bisa dibilang dampak pada kondisinya tidak boleh diabaikan. Tapi, biar begitu, wajah kalian berdua kelihatan pucat …. Apa maksud kalian mereka berdua lebih selatan lagi?”

“Jauh lebih ke selatan, jangan-jangan …”

“… mereka pindah sampai ke Kekaisaran Vollachia di sela~tan?”

Kejutan Meili amat minim dibanding betapa kagetnya Emilia. Tapi amanlah berasumsi Meili bereaksi demikian sebab tidak mampu memahami bobot keadaannya. Dari hal itu, reaksi Beatrice dan semua orang sangat bisa dimengerti.

Seandainya Subaru dan Rem telah melintasi negara …. Bila mana mereka menyeberang ke Kekaisaran Selatan, mereka punya masalah besar.

“Kalau tidak salah …. Kerajaan Lugnica dan Kekaisaran Vollachia di selatan menandatangani pakta nonagresi yang akan berlaku sampai Pemilihan Raja berakhir. Benarkan itu, Julius?”

“Itu benar. Saya menduga Anda sudah mengetahuiniya, namun saya pun juga pergi ke sana untuk mengikat perjanjiannya. Saya, Reinhard, Felix, dan beberapa individu lain menemui langsung Kaisar.”

“Sedengarku, hubungan kita sangaaaaaaat buruk sama Kekaisaran; tapi, jika sudah membuat pakta, maka kita tak punya masalah dengan mereka sekarang? Jadi apabila kita pergi ke sana terus mencari Subaru dan Rem …”

“… tidak, itu tidak bisa.”

Julius menurunkan alis sembari menggeleng kepala merespon pertanyaan takut-takut Emilia. Julius pelan-pelan menurunkan mata kuningnya yang berkilauan layaknya permata, menghias wajah tampannya.

“Kekaisaran telah melarang akses keluar-masuk antara negaranya dan Kerajaan semenjak beberapa bulan lalu, untuk sementara waktu. Dikarenakan Pemilihan Raja, hal sama terjadi pada Kerajaan Suci Gusteko di utara, akan tetapi mereka sudah mencabut larangannya …”

“Kurasa artinya larangan Kekaisaran belum dicabut. Karena kita pergi ke Menara Penjaga, kita tidak mendengar informasi terbaru …. Jadi jikalau situasi di sana tidak berubah …”

“Pergi ke sana untuk membantu Subaru dan Rem bakalan susah?”

“Iya, sayangnya.”

Sekalipun mereka bertukar pikiran tentang itu, Julius menyimpulkan dengan kata-kata penyesalan belaka.

Anastasia pun satu kesimpulan dengan Julius. Mustahil menerobos masuk dari depan karena sama saja memasuki Kekaisaran Vollachia.

Mereka terpaksa mencari jalan rahasia, selain itu, mereka butuh waktu dan kontak demi melakukannya.

Tidak ada cara cepat dan mudah untuk ke sana. Tentu saja Emilia akan terburu-buru nian sewaktu memikirkan dua orang yang statusnya masih belum diketahui

“… kita harus bergerak cepat. Kita ambil darah Volcanica lalu membawanya pulang ke Pristella …. Terus kita pindahkan Kerakusan yang telah tertangkap ke Ibu Kota Kerajaan, kan?”

“Emilia …?”

“Aku tahu, Beatrice. Aku merasa sangaaaat, sangaaaat tidak sabaran. Tapi kita takkan bisa membantu Subaru dan Rem, walaupun kita memburu-burui urusan di sini …. Kita harus tenang.”

Namun keputusan tenang Emilia mengejutkan Anastasia seketika Emilia terlihat mau panik. Emilia mengangguk tegas kepada Beatrice yang sama kagetnya. Mata Emilia gemetaran, suaranya guncang sedikit, tapi dia masih berusaha sekuat-kuatnya untuk mengendalikan diri.

Ibaratnya dia bilang, Aku takkan melipat tangan dan duduk manis sejenak pun, jika itu demi mengembalikan Subaru dan Rem.

“Kalian berdua, Subaru dan Rem pastinya bersama, kan?”

“… saya baru saja memeriksa kembali dengan Beatrice-sama, kami rasa mereka tidak terpisah.”

“Baiklah …. Sekiranya begitu, aku yakin Subaru akan berusaha keras untuk melindungi Rem. Karenanya kita tidak perlu mengkhawatirkan Rem. Sekalipun Subaru itu sedikit menakutkan.”

Meskipun keyakinannya pada Subaru itu kuat, dia pun sama resahnya, Anastasia juga setuju.

Natsuki Subaru sejenak kehilangan ingatannya di menara, akibat dibiarkan sendirian. Anak laki-laki itu yang suka menghukum dirinya sendiri punya kebiasaan buruk merendahkan dirinya untuk melindungi orang-orang yang berharga baginya.

Sebagaimana kebiasannya yang kadang-kadang membuat orang lain berani, kebiasaannya pun bisa membuat orang cemas.

“Demikian, kurasa kita hanya dapat mengandalkan kecerdasan cepat Natsuki-kun. Emilia-san benar, kita tidak boleh diam mengobrol dan mengeluh dalam menara. Kita harus bergerak.”

“Jelas dipahami …. Beatrice-sama, mohon beri tahu kami semisal ada hal yang mesti diperhatikan.”

“… tubuh Subaru, kurasa. Faktanya, gerbang Subaru tidak bisa mengeluarkan mana sendiri karena rusak. Seumpama kita kelamaan meninggalkannya, maka bisa-bisa meledak karena penyumbatan mana, kurasa.”

“Begitu. Aku pun senasib, jadi bisa benar-benar setingkat Natsuki-kun jauh di sana.”

Gerbang Anastasia sudah cacat dari lahir. Dia tidak sanggup mengambil mana dengan benar; hal itu jadi kekurangan besar bagi penyihir. Namun demikian, tak berpengaruh pada keberuntungan dan bakat bisnis yang dibutuhkan seorang pedagang, lantas tidak terlalu mengganggunya.

“Ana …” panggil Echidna.

“Aku tahu, aku tahu. Perkara masalah kita, bukannya akan kita bicarakan di lain waktu nanti …. Kesampingkan itu, sepertinya tidak ada waktu untuk bermalas-malasan.”

Anastasia menepuk tangannya, dibalas anggukan semua orang terhadap sinyalnya.

Tujuan mereka adalah mencari keberadaan Subaru dan Rem yang menghilang dua-duanya. Sebab itulah, mereka perlu kembali dari Menara Penjaga Pleiades secepat mungkin, untuk mengumpulkan regu pencari juga.

Selain itu, mereka harus memenuhi salah satu tujuan utama kedatangan mereka ke menara.

“Semuanya ribut banget, sampai rasanya aku mau ping~san …”

“Iya, kan. Tetap saja, Subaru dan Rem pastinya lebih sulit.” tukas Emilia.

Emilia mengepalkan tinjunya erat-erat, memikirkan Subaru yang telah dilempar ke suatu tempat nan jauh. Melihat wajahnya, Meili, bersama Tiny Crimson Scorpion yang jatuh dari kepalanya, menyipitkan mata dan berkata, “Iya, pasti dong,” sembari mengangkat bahu.

Dan begitulah, kelompok tersebut mulai menyibukkan diri untuk bersiap-siap—Atau, hendak bersiap-siap.

“Kalau dipikir, Ram Onee-san, apa kau sudah memberi tahu mereka soal i~tu?”

“… belum.”

Anastasia dan yang lainnya. “…? Soal itu?”

Wajah Ram berubah masam terhadap pertanyaan agak tiba-tiba Meili. Seluruh tatapan mereka beralih ke Ram, tentunya tidak mendengar apa-apa tentang itu.

Dari semua orang yang menatapnya, Ram berhenti sebentar, kemudian angkat bicara:

“Emilia-sama, kendati saya masih belum seratus persen yakin perkara ini …. Yang ditelan bayangan dan dipindahkan ke Kekaisaran tidak hanya Barusu dan Rem.”

“Tidak cuma mereka berdua …. Tapi kau, Patrasche-chan, dan Meili termasuk, jadi bukannya semestinya itu semua orang yang berada di Ruang Hijau?”

“Yah, seorang gadis mendadak muncul sebelum ke~datangan bayangan itu. Dan parahnya, kata Onii-san, dia itu Kerakusan ketiga atau semacam~nya deh.”

Anastasia dan yang lain. “Kerakusan ketiga!?”

Anastasia dan teman-teman betul-betul terperangah sesudah diberi tahu berita menarik yang tak mampu mereka abaikan.

Jadilah, diskusinya kian intens, perihal haruskah mereka mengubah tindakan mereka ke depannya dan mendengarkan detail yang Ram rahasiakan soal masalah ini darinya.

Selagi terjadi, dalam Menara Penjaga yang kini gempar, Emilia menangkupkan tangan berdoa di depan dadanya seraya melihat ke luar lubang besar tempat Ruang Hijau sebelumnya berada.

“Tolonglah, Subaru … aku sungguh-sungguh berharap kau baik-baik saja dengan Rem.”

 


—saat doa kecil Emilia tenggelam dalam langit terik di atas lautan pasir, di waktu yang sama, jauh, jauh dari sana …

“…”

Seorang anak laki-laki duduk di atas padang rumput terbuka, dibelai lembut oleh angin sepoi-sepoi, dan dalam pelukannya ada seorang gadis.

Anak itu rambutnya hitam dan matanya setajam ujung belati, dengan bagian putih matanya yang cukup menonjol, bergaya sampaku1 yang sangat terkenal; mata yang menjadikan wajahnya terlihat cemberut permanen, yang rumornya dari tatapan itu saja sanggup membunuh orang.

Tapi sekarang ini, bibirnya perlahan sekali melengkung naik, dan sudut matanya basah. Dia berusaha sekuat tenaga untuk tidak menangis.

Tentu saja itu alami.

Subaru sudah menunggu momen ini lama sekali. Ingatan hari-hari yang dilewatinya dalam penantian, dalam kesedihan, tak satu pun mengizinkannya berpaling sedetik pun dari gadis di hadapannya.

Gadis yang dia peluk dengan penuh kasih, menatap Subaru lewat sela-sela rambut biru cerahnya.

Mata Rem melebar, walau Rem nyaris tak ada kekuatan untuk lepas dari pelukan begitu melihat wajah manisnya. Seolah dia terbangun dari tidur, dan masih terperangkap dalam kantuknya.

Sesungguhnya, memang itulah kebenaran hal ini. Rem akhirnya bangun dari tidurnya yang sangat-sangat lama, jadi dia jelas merasa tak terhubung dengan kenyataan.

“… ah … um …”

Bibirnya bergerak, laksana merenungkan yang itikadnya katakan sesaat lalu.

Sambil melihatnya, pemuda itu—Natsuki Subaru, mengangguk girang.

“Iya, tepat, tepat sekali, Rem. Akulah pahlawanmu. Aku sudah menunggumu lama sekali …”

“…”

“Rem?”

Mencoba menahan getaran suaranya sendiri, Subaru mati-matian mencoba mendengar suara Rem.

Mungkin gara-gara haus atau entah apa, meski bibirnya bergerak dan lidahnya mengklik, tenggorokannya tidak mengeluarkan suara. Walau begitu, Subaru mendekatkan telinganya ke mulutnya, mencoba mendengar bahkan sedikit hal yang ingin dikatakan Rem.

Upaya minim Rem tuk menyampaikan sesuatu membuat Subaru gembiranya bukan main.

“… m.”

“Aku mendengarkan, jangan buru-buru, oke? Rem, kau mau …”

Bilang apa padaku, seketika Subaru hendak mengatakan itu, kalimatnya diputus.

Begitu mendekatkan telinganya untuk mendengarnya, jejak pikirannya ditahan begitu satu tangan mendorong kepala dan dagunya.

Mengikuti aliran gerakannya, Subaru merasa dibalik dan dijatuhkan ke tanah.

Selanjutnya—

“… Re … Rem?”

Subaru mendapati punggungnya menyentuh rumput, lalu Rem mengangkang di atasnya.

Bingung, Subaru kaku di tempat. Menatapnya, mata Rem mengamatinya dari ujung ke ujung.

Berikutnya mendesau lirih dan …

“Apa tujuanmu di sini? Katakan kau berniat melakukan apa padaku sekarang!”

“…”

“Tiba-tiba mengaku pahlawan dan …. Rem siapa? Beri tahu aku sekarang juga!”

Lututnya menekan bahu Subaru, tangannya mencekik leher Subaru. Dengan berat badan Rem yang membebaninya, Subaru berusaha bergerak, kakinya menyentak-nyentak gelisah.

Namun keterampilan yang Rem gunakan untuk menahan Subaru agak mengagumkan. Dia tidak membebaskannya sama sekali.

“Ugh … ah … agh …”

“Kalau kau tidak mau bicara, akan aku teruskan sampai kau bicara. Tolong jangan perpanjang penderitaanmu sendiri. Bicaralah. Sebenarnya kau ini siapa …”

“—gha.”

Subaru tidak tahu tindakannya disengaja atau tidak, tetapi kekuatan cekikannya tidak memberinya kesempatan untuk menjawab.

Sewaktu pikirannya meredup sebab kekurangan oksigen, dia sadar akan mati jika dibiarkan.

Sudah lama sekali, sekalipun reuni sepihak, Subaru membolehkan reuninya berakhir dengan Rem mencekiknya. Tidak seperti ini.

Kendatipun tiada keberadaan Subaru yang tertinggal dalam ingatannya.

“A-ah …”

“Sekarang kau merasa mau bicara? Bila iya, aku dengan baik-baik akan—”

Kala itulah, selagi Rem mengerutkan kening sambil melihat tanda-tanda perjuangan tegang di wajahhnya …

“Ah! Ooh!”

“—kyaaa!?”

Tiba-tiba, bayangan mungil menabrak badan Rem dari samping—tepatnya, melompat ke Rem dan dua-duanya saling terjerat di rumput.

Setelah kehilangan hal yang membebani tubuhnya, Subaru berguling lalu terbatuk-batuk, lanjut melihat Rem dengan mata mengaburnya yang basah. Di sana, dia melihat sesosok gadis kecil bergelut dengan Rem.

“Uuu—! Uuuu—!”

“A-apa yang kau lakukan …. Hentikan, tolong! Ini bukan waktunya untuk …”

Rambut pirang gadis kecil itu menutupi seluruh Rem, giginya dipamerkan di wajah memerahnya yang merona seraya meraung. Subaru tertegun, tidak dapat memikirkan apa-apa ketika menyaksikan pemandangan ini.

Subaru menarik napas dan cepat-cepat menghampiri keduanya.

Kemudian—

“Woi! Lepaskan Rem, sekarang!”

“Ah—, uuu—!!”

Subaru mendorong jauh gadis kecil— Uskup Agung Louis Arneb—yang mencoba menarik rambut Rem, terus menahan Louis dengan mengunci tangannya di belakang punggungnya.

Kerakusan yang berbadan ringan berusaha berjuang, tapi sia-sia saja. Kakinya yang meronta-ronta adalah satu-satunya hal yang bisa dia perbuat. Berputar-putar dan mengerang, tapi tak lebih dari itu.

“Au—! Uuu—uuu—!!”

 “Bangsat, kau …! Berhenti bergerak-gerak …. Diam saja! Rem, kau tak apa!? Dia melakukan apa padamu!?”

“T-tidak, aku baik-baik saja. Padahal, aku sudah menanyaimu berkali-kali …”

Subaru berteriak selagi menahan Louis, kemudian pertanyaannya dibalas kerutan alis Rem. Matanya yang fokus pada Subaru, gadis rambut biru itu berusaha berdiri—

“—eh?”

Setelahnya jatuh kembali ke tanah, lututnya melemas.

Cara jatuh anehnya menimbulkan pertanyaan di benak Subaru. Tetapi tidak sadar sedang diamati, Rem mendesak lututnya dan mencoba berdiri sekali lagi. Tapi—

“… kakiku tidak mau …”

“Bentar, kau tidak bisa berdiri?”

“T … tidak, itu tidak …. Tidak benar … tidak sama sekali …”

Suaranya gemetaran selagi mencoba menyangkal klaim kuat Subaru. Akan tetapi, tidak setitik pun tekad mampu membangkitkannya. Jauh dari kata seimbang, dia bahkan tidak bisa mengarahkan kekuatan apa-apa ke kakinya.

“Apa kau merasa lemah karena kelamaan tidur? Sebentar, tidak mungkin. Kekuatan yang mendorongku barusan bukan kekuatan orang yang telah terbaring selama dirimu.”

Kerap kali ada pembicaraan tentang bagaimana seseorang akhirnya akan melemah sebab terlalu lama di rumah sakit, mungkin gara-gara kurang olahraga.

Fakta cukup terkenal bahwa orang-orang itu butuh rehabilitasi untuk berdiri dan berjalan lagi, tapi apakah itu hanya di kaki saja?

Bukan berarti Rem menggerakkan bagian atas tubuhnya selama masa rawat inap. Dia sudah tidur selama satu tahun, jadi masuk akal seluruh tubuhnya lelah, tidak hanya di kakinya.

Tapi, putus hubungan ini ada dalam dirinya, dalam tubuh Rem. Kemungkinan, ini karena—

“—sebentar, mungkinkah gara-gara dampak pertarungan Nee-sama?”

 Selagi pikirannya menyaring alasan-alasan memungkinkan perihal tubuh Rem yang berperilaku seperti ini, itulah kesimpulan yang dicapainya.

Subaru mendengar dari Ram di Ruang Hijau perkara jalannya pertempuran mautnya melawan Kerakusan. Sebab kondisi Subaru yang memburuk, Ram perlu mengubah banyak hal biar tidak terpojok. Jadi dia pilih berbagi beban dengan Rem sebagai kartu trufnya.

Alhasil, sebagian besar beban rasa sakit Ram yang katanya oni terkuat di seluruh Klan Oni, mengalir ke dalam diri Rem. Subaru ingat pernah mengalami percakapannya.

Seandainya benar, maka—

“… semuanya salahku.”

Subaru mengucapkan kalimat yang pasti akan ditegur Ram.

Akan tetapi, saat itu, Subaru tidak kuasa memenuhi tugas yang dia ambil sendiri, hasilnya Ram terpaksa semakin mendesak dirinya, akibatnya memengaruhi Rem. Semua kembali menjadi kesalahan Subaru.

Tenggelam ke situasi ini, tidak punya satu pun teman yang bisa diandalkannya, hanya dirinya, Rem, serta Louis yang terus bertingkah aneh entah karena apa, tanggung jawab yang ditanggungnya kian berat.

“Semuanya salahmu katamu …. Kau melakukan sesuatu padaku!?”

“Sekali pun tidak, cuma kiasan saja, tapi …”

“Pertama-tama! Kau ini siapa!? Dan aku siapa!?”

“…”

Memukul keras kaki yang tak mau menurutinya, Rem memelototi Subaru dengan badai amarah di matanya. Subaru merasakan sesuatu yang agak pahit, bahwasanya tebakan buruknya menjadi nyata, mendengar komplain memilukan Rem yang kedengaran seakan dirinya akan hilang kesabaran.

… Rem mengatakan, Aku siapa?

Kau siapa, masih jauh lebih bagus. Tapi menanyakan identitasnya adalah sesuatu yang menyayat hati bukan kepalang bagi Subaru, mengingat dirinya sudah menunggu begitu lama untuk melihat Rem lagi.

Subaru berfirasat inilah yang akan terjadi, begitu memanggil dirinya dengan, Aku, alih-alih, Rem.

“Kurasa kondisinya pasti sama seperti Crusch-san …”

Nama dan ingatan Rem telah direnggut darinya, hasilnya dia terus tertidur.

Ada dua pola lain yang didapati dari korban Kerakusan; yakni, pola seperti Julius yang namanya diambil darinya sesudahnya dilupakan oleh orang-orang di sekitarnya, dan pola Crusch yang ingatannya diambil, kehilangan dirinya sendiri.

Ketika Rem bangun, dia kehilangan ingatannya sendiri, dalam keadaan amnesia.

Kebingungannya wajar nian ketika kau menganggap dirimu terjebak dalam situasi tak dapat dimengerti ini, bersama seorang anak muda yang matanya terlihat jahat, seorang gadis yang cuma mampu mengerang ditambah kakinya yang tidak menurut.

“Uwaah!”

Tanpa sadar Louis jadi diam, seolah kelelahan karena memberontak, dia jatuh lunglai dari tangan lemas Subaru kemudian terbaring terlentang menghadap atas seraya berteriak.

Dia mulai berguling-guling sambil menggosok punggungnya. Subaru tidak repot-repot memerhatikannya, dia malah berjalan lamban menghampiri Rem.

Rem terus mengawasi Subaru yang kian dekat, sekaligus mempertahankan penjagaannya.

Melihat tatapan Rem, Subaru teringat kali pertama Rem memusuhinya.

Mudah dilupakan karena mereka jadi cukup dekat setelah saling menyukai, namun Rem awalnya cukup pendiam dan agak sulit didekati.

Soal pendekatan, Ram jauh lebih gampang karena Ram tak pernah mengubah interaksinya dengannya, baik sebelum dan seusai Ram dan dirinya jadi lebih dekat.

Sesungguhnya bagian menakutkannya adalah menurut teori seseorang, ada kemungkinan Ram dan Subaru tidak akur.

“Omong-omong, buang perihal nee-sama …. Hei, kau tahu tidak …”

“A-apa? Kukasih tahu, kalau sampai melakukan hal yang tidak-tidak kepadaku, nanti …”

“… Rem.”

“Hah?”

Ekspresi tegang Rem berubah ke ekspresi kaget. Subaru menghentikan langkah kakinya, menjaga jarak cukup di antara keduanya, agar lebih dari selangkah di luar jangkauan Rem.

“Rem. Itu namamu.”

Sekali lagi, Subaru memanggil namanya.

“…”

Rem terdiam, tak sanggup menyembunyikan kebingungannya yang perlahan tumpah membasahinya. Terlepas dari itu, dia gerakkan lidah merahnya yang hampir tak terlihat di belakang bibirnya, lalu dia ulang nama Rem, ibarat memastikannya.

Ibaratnya mengakrabkan diri dengan namanya sendiri lagi.

“Jujur, aku pun tidak tahu persis apa yang terjadi. Hanya saja kita terpisah dari teman-teman, dan berakhir di sini, di tempat entah berantah. Kau harusnya tahu itu cukup berantakan, kan?”

“Yah, aku …”

Selagi masih kebingungan, mata Rem mengamati padang rumput di sekitar mereka ketimbang Subaru.

Angin sepoi-sepoi bertiup melintasi padang rumput, matahari tengah tinggi di langit, dan kulitnya merasa lembap. Sensasi adem, yang rasanya berbeda dengan udara kering Bukit Pasir Augria.

Subaru berada di tempat yang terlampau berbeda sampai-sampai sensasi udara yang dirasakannya telah berubah.

Dengan kata lain …

“Jangan berharap langsung diselamatkan. Kita harus mengambil tindakan penting untuk membantu diri kita sendiri dari sini, entah bagaimana. Karena itulah …”

“Karena itulah apa? Kau mau menyuruhku melakukan apa? Aku, dan kakiku nyaris tidak bisa bergerak sama sekali.”

“… kuduga kau akan curiga lagi setelah aku mengatakan hal semacam ini, tapi aku senang kau ada di sini bersamaku. Bernapas, bicara denganku, matamu yang melihat-lihat sekeliling, aku sudah puas dengan itu.”

“…? Maksudmu melihat-lihat sekeliling dengan mataku terus memberitahumu pesisirnya aman atau tidak?”

“Tidak begitu juga, sih, tapi bolehlah.”

Subaru sudah sangat puas dengan Rem yang terbangun, bernapas, dan bicara padanya.

Kendatipun itu hal yang tidak egois, yang diinginkan Subaru soal terbangunnya Rem adalah asalkan dia sehat, maka kata-katanya barusan tidak dilebih-lebihkan, itu maksud sejatinya.

Tentu saja dia perlu menuntaskan masalah hilang ingatannya. Itu, juga Emilia, Beatrice, Ram, serta semua orang yang ditinggalkan di menara yang telah terpisah dengan Subaru dan kelompoknya, pastinya benar-benar risau.

Subaru pengen bergabung kembali dengan mereka secepat mungkin—Dia ingin mempertemukan Ram dengan Rem, sebab dia teramat-amat mencintai adiknya yang tidak dirinya ingat.

“Tolong, akankah kau percaya padaku di sini? Biarpun gantinya aku serahkan nyawaku …. Tidak, tak ada gunanya kalau menyerahkan hidupmu, jadi aku akan melindungimu apa pun yang terjadi. Sumpah. Makanya …

“—asumsikan aku terima tawaranmu, terus kau akan melakukan apa?”

“Ah, iya juga. Sama saja bohong misal bertindak tanpa rencana, lantas soal rencana …”

Menghadapi pertanyaan bijaksana Rem, Subaru mencari informasi yang dibutuhkan buat menyusun rencana.

Sebagaimana pembahasan sebelumnya, Subaru dan teman-teman berada di padang rumput luas, namun mereka dapat melihat pepohonan besar tumbuh berdempetan, mengelilingi padang rumput.

Penglihatan mereka dicegat kanopi pohon sebelum terlihat ufuk, pohon-pohon mengepung mereka 360 derajat, nampaknya berada di padang rumput terbuka, tempat semacam itu adanya di hutan.

Sebetulnya, berbahaya menjelajah ke dalam hutan di tanah yang tak dia kenal sama sekali, tapi—

“Pertama-tama, aturan wajib dipatuhi saat tersesat di hutan adalah memberi tahu posisinya ke kawan menggunakan GPS, tapi …”

Ji-pi-es?”

“Iya-iya. Itu tidak ada …. Hanya saja Beako punya koneksi denganku, jadi kemungkinan dia bisa menentukan keberadaanku dengan sesuatu yang mirip GPS. Di satu sisi, eksistensiku sendiri itu GPS.”

Tergantung situasi, ada pula kemungkinan sinestesia Ram akan mendeteksi lokasi Rem. Dalam hal ini, baik Subaru serta Rem memenuhi peran mereka sebagai GPS yang terhubung ke kawan mereka.

“Sisanya adalah mengamankan sumber air …. Amat penting untuk mendapatkan air, apa pun yang terjadi. Barangkali sebaiknya menetapkan kamp kita, terus memperbesar bidang pencarian kita dari sana. Rumput dan buah-buahan yang bisa dimakan itu … ah, iya, aku belajar dari Clind-san. Mesti berterima kasih pada mentorku …”

Selagi belajar parkour dan cara menggunakan cambuk, Clind menanamkan berbagai teknik dan ilmu pengetahuan ke kepalanya. Ada kalanya dia hampir merengek ingin menyerah pada ajaran kepala pelayan serba bisa itu, namun berkat itulah jadi bermanfaat untuknya, Subaru dapat mengingat prinsip panduannya meskipun sedang dalam situasi ini.

Ngomong-ngomong—

“Ada banyak hal lain pula, tapi bukan berarti aku akan bertindak tanpa rencana. Kau sekarang paham?”

“… sampai tingkat tertentu. Walaupun mau melawan, aku lagi begini, jadi …”

“… aku bisa tahu sedikit pikiran jujurmu dari komentar tadi.”

Subaru mencoba tersenyum, mencoba meyakinkannya, namun reaksi Rem tak sebaik perkiraan Subaru.

Usai kehilangan ingatannya, Rem tidak punya fondasi untuk membangun kepercayaannya kepada Subaru. Seandainya dia bisa bebas menggerakkan kakinya, maka dia pasti sudah lama kabur darinya.

Walau, Subaru tak ingin menganggap kemalangan yang menimpa Rem sebagai keberuntungan.

“Kakimu. Kuharap kau bisa menggerakkannya secepatnya.”

“—ugh, biar sudah kau katakan pun, aku tidak tahu. Apa rencanamu?”

“Sudah kubilang. Awalnya, aku berencana mencari air. Kakimu ada masalah, jadi pengennya kau tidak melawanku …”

Berkata demikian, Subaru menutup langkah terakhir antara dirinya dengan Rem, berjongkok kemudian memunggungi Rem.

Jika Rem melihat postur tubuhnya, bahkan Rem tahu niat Subaru.

“Kau mau menggendongku di punggungmu?”

“Boleh juga gendongnya ala-ala putri, tapi misal caranya begitu aku takkan bertahan lama. Misal kau membiarkanku menggendongmu, kurasa itu akan sangat membantu, secara pribadi.”

“…”

Dia terdiam sesaat, menatap raut wajah menyedihkan Subaru. Setelahnya, Rem mendesah pelan dan segan-segan meraih punggungnya.

Lengan kurus Rem menyelinap di atas bahunya, saling mengunci di depan dada Subaru. Merasakan beban ringan di punggungnya, Subaru berdiri sedikit-sedikit, memastikan Rem yang menempel padanya tidak terguncang.

Subaru merasakan beratnya. Akan tetapi, Subaru menganggap ringan Rem yang digendong di belakangnya.

Selama satu tahun ini, Subaru punya banyak kesempatan untuk membawa Rem tertidur, tapi setiap kali dia lakukan, dia alami betapa susahnya membawa orang tak sadarkan diri secara langsung.

Tidak ada perasaan semacam itu pada Rem yang kini berpegangan dengan sendirinya.

“…? Ada masalah?”

“Tidak, anehnya cuma merasa tersentuh banget. Jadi, tentang mencari air, ya, tapi …”

“Sebelumnya … kita apakan tuh gadis?”

“… ah.”

Melihat ke arah yang dagu Rem tunjuk di atas bahunya, Subaru teringat masalahnya.

Di padang rumput, terlentang di sana sambil menepuk pantatnya, bagian yang Rem pukul di tanah, dialah Louis yang terjerat oleh rambut pirang panjangnya sendiri—Dia harus mengapakan Uskup Agung Dosa Besar yang bertingkah aneh ini?

“…”

Bahkan Subaru tahu keadaan Louis saat ini tidaklah wajar.

Louis adalah lawan yang struktur mentalnya tidak bisa dibilang baik, tetapi karena ketangkasannya, bukan karena Subaru tidak mampu melihat bagian kekanakannya yang sebelumnya tersembunyi.

Faktanya, dia cukup cerdas bagi anak seusianya, dia pun bisa merenungkan pikiran jahatnya, seperti menggesekkan lidahnya ke serpihan sesuatu di jantung seseorang.

Perihal tingkah laku Louis saat ini?

“Aah, aauuh …”

Menjilat wajah Subaru tepat setelah dia bangun, menggeram bak anak kecil yang tak tahu caranya bicara, terus mengambek layaknya anak bayi.

Tidak salah lagi sesuatu tak terperkirakan telah terjadi dalam pikirannya.

Tapi—

“Memangnya jadi alasan buatku untuk mengasihaninya?”

Dia teramat-amat jahat. Kebenaran itu senantiasa tak tergoyahkan.

Louis yang dia hadapi di kejadian terakhir Aula Ingatan mengalami trauma karena merasakan Return by Death, tidak hanya takut sama Subaru namun segala hal yang eskis di dunia ini.

Tatkala itu, dia telah menjadi gadis menyedihkan nan malang.

Meski demikian, Subaru tidak menyelamatkannya. Dia bahkan tak berpikir ingin menyelamatkannya.

Walau tersedia banyak pilihan di depan, mereka terus-menerus memilih pilihan yang bertentangan dengan kemanusiaan, akhirnya kehilangan peluang untuk memperbaikinya, dan memotong jalan taubat. Para Uskup Agung Dosa Besar adalah orang-orang semacam itu.

Kedua kakak laki-lakinya sekaligus Louis sendiri pun tidak terkecuali.

Melakukan kejahatan tidak termaafkan, Louis Arneb telah berubah menjadi orang rendahan yang pantas dikutuk di neraka.

—kenapa juga Subaru mesti menyelamatkan orang semacam itu?

“Kau takkan membantunya?”

“… ribet. Kami berasal dari tempat yang sama, tapi dia bukan sekutuku beneran. Malah, dia di pihak berlawanan dari sekutu. Hatiku takkan sakit biarpun aku meninggalkannya di sini.”

“…”

Di belakang, Subaru mendengar napas Rem sampai ke tenggorokannya, tetapi reaksi itu wajar-wajar saja.

Bagi Rem yang tak mengetahui keadaan Subaru, Louis barangkali hanya tampil sebagai gadis muda yang tak berdaya, sebagaimana perawakannya. Kendati identitas aslinya adalah salah satu penoda yang memainkan banyak nyawa.

Oleh karenanya Subaru punya satu pilihan.

“Kita tinggalkan dia di sana …. Kita tidak boleh membawa unsur berbahaya dengan kita, apalagi beban.”

Menarik masuk Louis dari bayangan yang menujunya adalah keputusan salahnya di menara. Boleh jadi, seumpama Subaru meninggalkannya waktu itu di tempat itu, kemungkinan takkan terjadi hal semacam ini antara dirinya dan Rem.

Tentu orang-orang menyebutnya, ibarat menyebabkan seratus masalah namun tidak menghasilkan satu keuntungan pun.

“Be … gitukah.”

“Yea, begitu. Tidak bisa bilang waktu bangunku bagus juga, tapi …”

Prioritas utama Subaru adalah Rem lalu dirinya sendiri. Subaru takkan salah penilaian.

Dengan niat itu, Subaru mengabaikan Louis yang tengah berbaring di rumput selanjutnya menuju hutan di sisi berlawanan untuk—

“—sudah kuduga, sekalipun aku kosong, memang benar untuk percaya pada diriku sendiri.”

Katanya dengan nada kelewat dingin dan tajam.

Usai suaranya digumamkan dekat telinganya, Subaru bernapas seraya bilang, “Eh?” tapi mencegahnya bereaksi lebih lanjut, sepasang lengan kurus melingkari lehernya.

—Rem yang digendong di punggungnya mencekiknya dari belakang.

“—agh …”

“Menuturkan sesuatu yang kedengaran nyaman di telingaku lalu mengundangku ikut denganmu kemudian mencampakkan gadis itu. Mana bisa aku percaya sama seseorang sepertimu, menyuruhku percaya padamu? Berhenti memainkanku.”

Kekuatan lengan yang melingkari lehernya jelas kekuatan seorang oni, tak seperti kakinya yang cacat fisik.

Tidak mampu melepaskan tangannya, napas Subaru tersumbat sepenuhnya. Membungkuk ke belakang, Subaru tidak sengaja melakukannya, tetapi punggungnya jatuh ke padang rumput.

Tetapi sekalipun Rem ditekan di bawahnya, dia tetap tidak melepaskan lengannya dari leher Subaru. Sebab dia di belakangnya, Subaru tidak dapat mengayun tangannya untuk membebaskan diri darinya.

Kenapa? Keraguan dan pertanyaan memenuhi kepalanya.

Seharusnya dia tidak bertanya, Kenapa? Karena Rem sudah memberikan jawabannya. Di hadapannya yang tidak mengetahui apa-apa, Subaru terlalu terburu-buru gara-gara panik.

Dia menerima pembalasannya, seperti ini—

“Membiarkan bau busuk menyebar di sekitarmu dan bilang tidak merencanakan apa-apa jelas-jelas itu bohong!”

“…”

Bau busuk. Subaru mengenang ingatannya sesaat mendengarnya.

Sewaktu dia baru bertemu Rem, alasan terbesar Rem meragukannya dan menganggapnya berbahaya adalah kesan buruk yang Subaru berikan selama pertemuan pertama mereka, atau bentuk mata yang dimilikinya dari lahir.

—bau Penyihir.

Setelah kehilangan ingatannya, meskipun Rem punya apa-apa selain dirinya, dia masih dapat merasakannya.

Itulah faktor terbesar yang menghadirkan kecurigaan Rem.

Dia sudah terlambat mengingatnya, terlebih lagi menyadarinya, dan—

“—ah.”

Meronta-ronta dan memutar tubuhnya, Subaru berusaha membuat-buat alasan akan tindakannya, tetapi itu mustahil.

Seperti itulah, kesadaran Subaru jatuh ke jurang kegelapan yang dalam, perlahan dan berangsur.

Dia paling tidak ingin dibunuh Rem seperti ini. Dia habis-habisan meneriakkannya.

Suaranya membisu, tidak terdengar.

 


“—agh, Rem!?”

Kesadarannya yang mendadak bangun membangkitkan tubuh bagian atas Subaru seakan-akan dirinya dihantam.

Seketika itu juga, dia batuk-batuk keras karena tenggorokannya sakit, sambil meludahkan dahak yang macet di sana, Subaru entah bagaimana mengangkat tubuhnya dan melihat sekitar.

Posisinya adalah padang rumput tempat Subaru dilempar; itulah keadaannya.

Kendati sadarnya pernah dia rasakan sebelumnya, dia langsung tahu bahwa sadar yang satu ini bukan sadarnya Return by Death.

—karena tidak sosok Rem maupun Louis ditemukan di manapun di sekitarnya.

“Tempat ini … tidak salah lagi tempatku dilempar. Aku …”

Mengingat saat-saat sebelumnya, begitu dia sentuh lehernya, rasa sakit itu memuntahkan ingatan memuakkan.

Tenggorokannya dicekik oleh Rem yang digendongnya, seperti itulah, nyawanya direnggut—tidak, tidak begitu.

“Tenggorokanku, sakit … artinya, Rem tidak membunuhku.”

Rem memang mencekiknya, tetapi tidak sampai membunuhnya.

Terkejut oleh keputusan Rem padahal kata-katanya diutarakan dengan suara sedingin itu, Subaru menghembuskan napas lega lalu tiba-tiba menegur dirinya kalau sekarang bukanlah waktunya merasa lega.

Subaru tidak mati. Artinya, dunia bergerak maju dari kemungkinan kejadian terburuk yang terjadi sebelumnya.

Subaru membuat Rem meragukan kemanusiaannya gara-gara bau Penyihir, kemudian dia menghilang dengan kesan paling buruk yang tetap dipegangnya—Alasan kedua orang itu tidak di sini pasti karena berusaha kabur dari Subaru.

Ujung-ujungnya, Rem jijik oleh keputusan Subaru soal meninggalkan Louis.

Tidak menghiraukan seorang anak kecil di padang rumput tak dikenal, Subaru pasti kelihatan seperti seorang pria berdarah dingin.

“Sudah kubilang itu salah paham, tapi dia barangkali takkan percaya meski kuberi tahu …!”

Sambil meratapi kesalahan keputusannya, Subaru cemberut dan berdiri.

Saat melihat langit, dia bisa tahu dari posisi matahari bahwa waktu tidak lama berlalu. Dia tak mau menyebutnya keberuntungan, tetapi kaki Rem pun tidak dalam kondisi bebas sepenuhnya.

Dengan kakinya yang demikian, dia takkan bisa lari jauh-jauh. Buktinya adalah—

“Ada tanda seretan di rumput …! Sekarang bisa kukejar!”

Andaikata dia mengejar dua orang yang belari masuk ke hutan yang membentang luas 360 derajat mengelilinginya tanpa petunjuk apa-aa, maka akan menandai awal permainan kejar-kejaran dengan tingkat kesulitan mustahil.

Namun andai dia mengikuti jejak yang tertinggal di rerumputan lantas dia akan mengerti dua orang itu masuk hutan dari mana. Walau mengejar mereka lebih lanjut dari sana artinya pertaruhan …

“Soal pertaruhan tidak menguntungkan, aku sudah melakukannya berkali-kali!”

Meneriakkan penghargaan tak pantas, Subaru dengan energik mengejar jejak di rumput. Dengan kemampuan kakinya, Subaru bisa langsung tahu dari mana keduanya memasuki hutan.

Adanya dedaunan dan pepohonan rindang, agak cocok dengan kesan Subaru perihal hutan hujan tropis.

Sejenak dia ingat pernah menonton saluran berita di televisi tentang Hutan Amazon yang sudah lazim menjadi tempat kematian manusia—

“Seandainya Rem masuk ke tempat semacam itu, malah makin-makin tidak boleh dibiarkan.”

Baik Subaru dan Rem saat ini sama sekali tidak siap memasuki hutan.

Ketika dia memikirkan Rem yang kepayahan masuk ke dalam hutan dengan kaki cacat, Subaru menyesal telah melakukan hal sebodoh itu, dan mengutuk semua keputusannya.

“—Rem! Keluarlah! Tolong! Ini salahku!”

Dalam hutan, sambil berjalan di atas tanah lunak dan rerumputan tinggi, suara keras Subaru memanggil-manggil. Tentu bisa jadi suaranya akan membuat Rem dan makhluk lain was-was, alhasil menjaga jarak.

Tapi tetap saja, masih lebih baik daripada berkeliaran tanpa tujuan dalam hutan, tidak punya petunjuk apa-apa, tidak bisa meninggalkan apa pun.

Paling pentingnya, Subaru harus mencari Rem, jika tidak dadanya akan meledak karena rasa bersalah dan benci dirinya sendiri.

Walaupun banyak sekali orang berusaha keras demi Rem, bila mana sesuatu terjadi kepadanya, dia bisa berbuat apa untuk meminta maaf.

Biarpun tidak mungkin meminta maaf dengan menyerahkan hidupnya.

“Rem—! Kau di mana! Tolong respon! Kumohon, jangan tinggalkan aku!!”

Masa bodo suaranya akan mengering, dalam pohon-pohon penghalang di hutan lebat, dia berteriak.

Dan anggota badannya serasa berat disertai letih besar selagi menyusuri hutan. Kini setelah dia pikirkan, tubuh Subaru telah melampaui pertempuran sengit yang terjadi di Menara Penjaga Pleiades, dan baru tidur beberapa jam belaka.

Biarpun pemulihannya ditambah penyembuhan roh Ruang Hijau, namun masih belum cukup.

Jika dia tidak bijaksana, maka Subaru bisa-bisa pingsan karena lega telah menemukan Rem.

Kewaspadaannya meningkat tatkala memikirkan kemungkinan tersebut, Subaru tanpa arah kelayapan dalam hutan—

“Rem! Tolong respon! Kumohon, maafkan aku!”

Tangannya di mulut, Subaru melanjutkan dengan suara keras.

Panggilannya dari lubuk hati tetapi tidak ditanggapi apa-apa oleh Rem membuat hatinya nyaris hancur.

Segala halnya yang tetap seperti ini, mengejar sosok lenyap Rem, dia kecapekan memandang pepohonan lebat hutan di sekitarnya—

“…”

Sekali lagi membuka mulut lebar-lebar untuk memanggil nama Rem, sesuatu terbesit di area penglihatannya.

Sesuatu itu yang sedikit berbeda itu tengah melihatnya dari celah-celah pohon di balik dedaunan berjatuhan. Melihatnya bergerak berbeda dari rumput yang bergoyang ditiup angin—

“Re—”

Kala itulah Subaru memeluk harapan dan beralih menghadap arah itu.

—dampak sesuatu menerjang dengan teramat cepat, menusuk dada Subaru langsung dari depan.

“—agh!?”

Tidak mampu menjerit, kakinya hilang keseimbangan karena dampak itu, lalu badan Subaru terhempas mundur.

“Gah … a, pa … ahk!?”

Pikirannya dikacaukan tabrakan sesuatu yang datangnya dari celah-celah pohon persis berada di depannya yang tadi dia lihat, mata Subaru melihat sekeliling.

Akan tetapi, setelah memikirkan dampak yang dirasakannya, dia langsung paham kalau itu serangan. Maka, bahkan sebelum pikirannya berjalan dengan baik, Subaru mencoba melompat menjauh dari sana.

Sayangnya, dia gagal melompat. Karena—

“—ah?”

Karena, anak panah tebal menembus dada Subaru, menjepitnya ke pohon besar di belakangnya.

“Ugh, uhk … hk.”

Begitu kesadarannya terfokus ke dadanya, dia langsung memuntahkan darah yang meluap dari tenggorokan.

Dipanah, sejumlah besar darah dari organ pecah atau bagian lain tumpah keluar tanpa henti. Muntah darah alih-alih menghembuskan napas, Subaru menderita seraya bernapas sekali lagi.

Selagi menderita, dia ambil panah di dadanya dan coba tarik keluar.

Dia tidak sanggup, sepenuhnya tidak kuat. Panah itu kuatnya menembus Subaru dan pohon di belakang, melumpuhkan semua gerakan.

Panah ini apa.

Putus asa, abnormal, pukulan panah kuat yang tebal. Busur yang betul-betul ditarik kuat-kuat, tubuh yang ditusuk panahnya telah dijahit dan dilumpuhkan bagaikan serangga, kemudian menggelepar-gelepar buruk.

“Ugh, bruagh, eerh, guh …!”

Dari sela-sela darah yang tumpah keluar, dia panggil nama wanita itu yang masih berada dalam hutan ini.

Panggilannya yang tak mampu menyuarakan kata-kata adalah peringatan bahaya terhadap ancaman yang mengintai di hutan.

Memegang busur dan panah, seseorang yang bersembunyi di hutan telah mengincarnya.

Dengan cara buruk ini, tidak kuat menyusul Rem, tak sanggup mencapai apa-apa, Subaru—

“—m.”

Apa-apaan yang terjadi. Tempat ini di mana, dia harus melakukan apa.

Demam dan rasa sakit datang sesudah beberapa saat berlalu, menyebar ke seluruh tubuhnya serta, darah mengalir keluar dari mata, hidung, dan telinga Subaru pula.

Mencicipi sensasi kehilangan kesadaran dan menghampa, sembari merasakan dinginnya Kematian yang mendekat, Subaru menajamkan mata, menggetarkan tenggorokan, lalu memanggil namanya hingga akhir.

—memanggil namanya, sampai akhir.

Dilumuri darah.

Hingga paling akhirnya akhir, dia memanggil, memanggil, terus memanggil namanya.

Terus memanggil namanya—

 

Catatan Kaki:

  1. Sampaku (三白 sanpaku): kondisi mata ketika bagian putih di atas dan bawah iris terlihat.

Share this post on:
Subscribe
Notify of
guest
4 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Tortilla

Kok lgsg arc 7 dah?

Subarem

Bohong huuu bohong

Dicky Dyan Nugraha

Makasih min uda semangat garap projeknya