Share this post on:

Menembus Badai Pasir

Penerjemah: Shionne x Alphen

Sumber Gambar

Penyerbuan awal menuju wilayah berpasir telah berakhir begitu matahari terbenam.

Waktu pasir terbesar dari ketiga waktu pasir yang terjadi setiap hari selalu muncul saat larut malam. Sebelum itu tejadi, mereka berniat mendirikan kemah di suatu tempat yang tepat selama satu malam.

Barangkali karena efek miasma, bintang-bintang jadi tidak nampak.

Dan tentu saja, artinya Menara Penjaga Pleiades yang mereka gunakan sebagai navigasi tidak lagi kelihatan, jadi sebaiknya beristrirahat dan memulihkan diri untuk satu malam.

“Kebetulan saja, apa monster iblis akan menyerang selagi kau tidur, Meili? Kita akan baik-baik sajakah?”

“… kau gampang takut, ya, onii-san. Aku sudah mengurusnya.”

Setelah tahu seberapa gilanya monster iblis di bukit pasir, Subaru sedikit kehilangan keberaniannya, namun Meili mendengus saja, suasana hatinya lagi bagus sebab telah memberi tahu betapa posisi Subaru lebih rendah dari yang dipikirkannya.

Meili bangga setelah menunjukkan kegunaannya, namun Subaru tahu rasanya dibunuh monster iblis, jadi dia masih risau. Dia tergoda ingin tidur berpelukan sama Meili jika memang harus.

Fyuuh! Harusnya cukup.”

Mengabaikan percakapan Meili dan Subaru, Emilia menepuk-nepuk tanah sambil berjongkok lalu berdiri kembali. Di sebelahnya, ada dinding es besar yang barusan muncul.

Dia membentuknya di sekeliling kereta naga untuk melindungi kemah. Dia harap bisa mencegah badai pasir masuk di malam hari dengan dinding esnya.

“Saya malu harus senantiasa mengandalkan kekuatan Emilia-sama ….”

“Tidak apa-apa. Lagian kau dan Subaru sudah berusaha sebaik mungkin selama perjalanan tadi. Dan entah kenapa, aku merasa sangaaat baik sejak masuk bukit pasir. Rasanya seolah aku bisa melakukan apa pun!”

“Masa? Luar biasa. Mulutku kemasukan terlalu banyak pasir dan tidak punya cukup air.”

Emilia memamerkan keahliannya sambil merasa biasa-biasa saja selagi Subaru dan Julius bertukar tatapan lelah.

—ada semacam berat khusus pada suasana karena miasma.

Kelelahan aneh yang kami rasakan barangkali gara-gara itu, dan bisa jadi kami tak banyak bicara di perjalanan tadi gara-gara itu juga, apalagi di kemudian hari. Maunya keluar dari bukit pasir secepat mungkin, tapi ….

“Kita tidak boleh terburu-buru. Aku sangat paham kau ingin merengsek maju secepatnya.”

Walaupun Subaru hanya melihat langit timur yang gelap, Julius dapat menebak isi pikirannya lalu menepuk pundaknya. Subaru mendengus dan berbalik.

“Ya sudah, waktunya istrirahat untuk bersiap-siap besok. Waktu pasir seharusnya berakhir sekitar fajar, jadi ….”

“Aku mesti mengurus perawatan Ram dulu.”

“Ah, baiklah. Kalau begitu, kuserahkan padamu dan Beako.”

“Mmhmm, serahkan ke kami.”

Mereka berdua pergi ke kereta naga tempat Ram menunggu di kursinya—

“—ugh.”

Dari pintu tertutup, Subaru bisa mendengar suara perawatan Ram.

Suara intens dan patah-patah yang terdengar seakan menggigit rasa sakit adalah suara Ram. Emilia dan Beatrice bekerja sama untuk melakukan pekerjaan tanduknya yang hilang.

Beban yang ditanggung Ram adalah salah satu hal yang baru diketahui karena perjalanan ini.

“Ironis. Ram punya mentalitas tangguh untuk bertahan hidup sendiri, tapi tubuhnya tak menyanggupi.”

“… entahlah. Memang benar Nona Ram bisa mandiri, tapi bukan berarti dia menginginkan itu. Lagi pula, bukan berarti dia malu oleh keadaannya saat ini.”

“… yah, itu juga benar.”

Tidak satu orang pun peduli dengan pemikiran tak terkait orang luar terhadap mereka. Ram punya pikirannya sendiri, dan agak tidak jujur membicarakan dirinya dalam segi penampilan saja.

“Tapi tetap saja, kau jeli sekali sama orang lain. Padahal kau tidak sering bicara dengan Ram.”

“Hal yang kupelajari dari pengalaman pahit. Orang-orang tidak bisa hidup sendiri. Seandainya kau tidak mengingatku, entah apa yang kulakukan sekarang.”

“….”

Julius mengangkat bahu santai. Dia bersikap tenang, namun Subaru pun merasa ada kejujuran serius pada kata-katanya.

Subaru tak yakin Julius menyadarinya atau tidak, namun dua puluh hari terakhir ini, dia telah memberi tahu Subaru tentang dirinya dengan berbagai cara.

Boleh jadi sebagian alasan Julius menceritakan tentangnya adalah karena trauma telah dilupakan.

“—Natsuki Julius, ada waktu? Kita harus bicara tentang jalan yang akan kita lalui esok hari.”

“Waduh, itu hal cukup penting untuk didiskusikan.”

Seketika hening serius mulai menyelimuti mereka, Anastasia menyela. Dia kesulitan berjalan di pasir saat menghampiri mereka.

Huft, menyusahkan. Aku kagum kalian berdua bisa berjalan dengan normal.”

“Saya berlatih dengan pijakan jelek. Walaupun tidak bisa saya akui semua itu untuk momen ini.”

“Kalau pijakannya jelek, lebih baik paksakan langkahnya. Itu ajaran Clind.”

Itulah bagian dasar-dasar yang dia pelajari soal berlari di pijakan jelek oleh instruktur parkurnya.

Anastasia mengangguk, sepertinya sedikit terkesan, kemudian menurunkan kain penutup mulutnya sedikit.

“Anginnya juga buruk, susah buat menghirup cukup udara. Aku mau keluar dari sini secepatnya biar bisa menarik napas dalam-dalam lagi.”

“Sama. Juga, aku mau mandi. Wajah dan kepalamu cepat sekali tertutupi pasar di sini.”

Kini Subaru belajar dari pengalaman buruk alasan orang-orang yang tinggal di wilayah gurun membungkus serban di kepala mereka. Berfungsi melawan pasir dan panas-dingin ekstrem. Secara logis masuk akal, tapi orang-orang yang tinggal di lingkungan ekstrem betulan punya alasan bagus di setiap perbuatan mereka. Subaru bukannya sama sekali tak melakukan apa-apa, tapi solusi setengah-setengah tidak cukup untuk melindungi diri dari pasir.

“Setuju dengan mandinya. Tapi keluar dari bukit pasir ini bakalan merepotkan—kalian berdua sadar, ‘kan?”

Senyumnya menghilang, lalu suaranya melirih sedikit.

Subaru dan Julius saling memandang terus mengangguk.

“Iya. Setengah hari ini kita lurus menuju menara, tapi ….”

“—sama sekali tidak mendekat.”

Julius menyelesaikan kalimat Subaru, setelahnya mereka berdua mendesah.

Di hari pertama, mereka telah memastikan mampu menangani waktu pasir dan pengaruh antimonsteriblisnya Meili berfungsi. Namun menurut pandangan lain, hanya itu yang mereka capai.

“Apakah tipu muslihat ini yang mencegah Reinhard mencapai menara …?”

“Sewaktu kita bicara dengannya, aku bayangkan hal semacam ini mungkin terjadi … tapi sangat berbeda ketika mengalaminya sendiri.”

“Bentar, jadi kau pun sadar?! Bilang lebih awal, dong!”

“Aku tidak yakin. Aku tidak mau menyebabkan kegelisahan tak perlu.”

“Kenapa kalian selalu melakukan ini …?”

          Julius khawatir, tapi Subaru memelototinya saja.

“Bisa buang saja omong kosong itu? Aku tidak akan marah jika kau menyampaikan isi pikiranmu! Malah mungkin itulah akhir situasi sulit ini. Kalian kok malah mengingatnya saja terus disimpan sendiri? Kalian pikir dengan begitu situasinya entah bagaimana bakalan membaik? Setidaknya sepengalamanku, tak ada kalanya aku berharap tidak mengatakan apa-apa!”

“O-oke. Maaf.”

“Meskipun itu sepele, katakan saja. Jika kau melihat sesuatu, katakanlah, itu hal paling dasar dari dasar, ‘kan? Dan andai kau menyembunyikan apa pun, Anastasia, lebih baik kau keluarkan sekarang.”

Subaru menegaskan kembali buat Julius dan Anastasia mengenai hal sama yang dia ucapkan ke Ram.

Julius terlihat menyesal, merasa goyah tak sesuai gelar kesatria terbaik.

Di sisi lain, Anastasia menaruh tangan ke mulut terhadap kritikan Subaru.

“Wah. Sejak pertama kali bertemu tidak kusangka aku akan dimarahi dirimu. Tapi kau benar. Aku bakalan merenungkan cara penangananku juga.”

“Langkah pertama ketika merenungkan sesuatu adalah pengakuan dosa. Jika kau berterus terang mulai dari sini, aku janji tidak akan terlalu marah.”

“Kau lumayan bisa merayu wanita, Natsuki. Setengah hari berjalan-jalan di bukit pasir, aku sudah menguatkan perasaan yang kumiliki. Alasan kita tidak semakin dekat ke menara disebabkan ruang di sekitar kita dibengkokkan.”

“Dibengkokkan …?”

Subaru memiringkan kepala pada pengungkapan Anastasia. Wanita itu menunjuk ke arah menara.

“Pada dasarnya, menara dan bukit pasir itu terhubung tapi juga tidak terhubung. Kemungkinan besar kita selama ini berjalan berputar-putar.”

“Gara-gara itu Bukit Pasir Augria sangat tidak bisa dilewati. Masuk akal.”

Anastasia hampir kedengaran tenang saat menjelaskan, dan Julius mengangguk dalam-dalam, seolah mengerti.

Tentu saja, hal itu seharusnya sudah diketahui Anastasia/Rubah Echidna, sih—

“Sudah kubilang, bukan? Butuh setengah hari pengamatan untuk meyakininya.”

Merasakan padangan Subaru, Anastasia melambai kedua tangannya, mengaku dirinya tidak menipu mereka.

Teramat mencurigakan, tapi meski Julius bersama mereka dia sendiri tidak bisa terlalu menekan majikannya. Subaru membiarkan kecurigaannya berlalu.

“Okelah, artinya pembengkokan ruang ini telah menenggelamkan banyak petualang sebelum kita, jadi bagaimana cara menghadapinya?”

“Pertanyaan sulit. Menerobosnya mungkin pemikiran keliru. Ini bisa saja jebakan alami yang diciptakan miasma tebal. Tidak mesti ada niat di balik itu.”

“Ini jebakan yang dibuat alam?!”

Mata Subaru membelalak kaget terhadap kemungkinan tak terduga tersebut.

Terlampau jarang, tetapi ada kalanya alam nampak punya sifat yang hampir mematikan nan berbahaya, sedemikian rupa sampai rasanya ibarat alam ingin menimpakannya kepada orang-orang.

Fatamorgana yang bisa dilihat di padang pasir, atau hamparan salju yang menyembunyikan tebing di daerah tebal salju, atau lebih umumnya rawa tak berdasar atau pasang surut arus.

Tetapi sekiranya bukit pasar tempat didirikannya Menara Penjaga Pleiades adalah perangkap alami—

“Mungkin saja menaranya dibangun di sini persisnya karena kejadian ini. Itu penafsiran yang paling logis. Dari awal semuanya tergantung niat para pembangun menara penjaga serta tujuan desainnya.”

Kata-kata Julius berhasil menarik kembali Subaru dari jalan buntu yang nyaris menjebaknya.

Bukit pasirnya yang adalah ancaman alami yang sudah eksis sebelumnya lalu dimanfaatkan para pembangun menara untuk tujuan mereka sendiri alih-alih sebuah perangkap yang diciptakan khusus untuk menara. Itu penjelasan masuk akal. Apalagi karena—

“—menara penjaga seharusnya dibuat untuk mengawasi kuil, tempat Penyihir Kecemburuan ….”

Teori itu masuk akal dan menyatu dengan informasi terkini mereka.

Subaru memasang ekspresi pahit di wajahnya.

Ada sebuah kuil di ujung timur jauh Bukit Pasir Augria tempat Penyihir Kecemburuan disegel. Menara Penjaga Pleiades kabarnya tempat sang Sage mengawasi segel itu selama bertahun-tahun.

Jikalau pembengkokan di bukit pasir merupakan teka-teki buatan manusia, maka menyelesaikannya akan menuntun mereka ke jawabannya. Namun jika hanya misteri natural, maka ada tidaknya jawaban yang memuaskan pun belum tentu.

“Barangkali alasan Sage tidak pernah menunjukkan wajahnya adalah karena dia juga tidak bisa keluar?”

“Itu teori yang menarik …. Tapi jangan remehkan aku.”

“Hah?”

Subaru merasa dia tersandung tanpa tahu arah ke dalam labirin, namun Anastasia tersenyum tak kenal takut. Mata Subaru melebar melihat reaksinya, dan ada pandangan penuh antisipasi pada tatapan Julius.

 “Akulah yang bertugas membimbing kalian ke Menara Penjaga Pleiades. Tatkala seorang pedagang mengambil pekerjaan, pasti akan dia selesaikan. Dan sekarang aku takkan gagal.”

“Kalau begitu apakah Anastasia-sama bisa melihat jalan menuju menara?”

“Bukan aku. Tapi aku tahu siapa yang barangkali bisa menemukannya.”

Anastasia melihat ke menara jauh. Angin berangsur-angsur mencepat. Suara angin dan pasir yang menerpa dinding es Emilia makin keras.

Mendengar suara pasir, mata Anastasia menyipit.

“Waktu pasir sewaktu angin bertiup ada hubungannya dengan efek pembengkokan dan pergeseran ruang. Waktu pasir adalah saat ruang bengkok mulai terpisah. Dan di balik retakan itu terdapat lautan pasir nyata yang terhubung ke menara.”

“Lautan pasir … sebenarnya ….”

“Dan soal menemukan celah tersebut, orang paling pentingnya adalah—”

Mulut Anastasia tersenyum ketika menunjuk suatu titik. Mengikuti arah telunjuknya, Subaru dan Julius sama-sama mengerutkan alis.

Anastasia menunjuk kereta tempat Emilia dan Beatrice merawat Ram—

“—Ram. Ram adalah kunci kita untuk keluar dari labirin pasir ini.”


“Aku paham situasinya. Dasar kau mandor budak.”

“Aku tidak bisa membalas apa-apa kalau kau menganggapnya begitu …. Kau betulan mengerti?”

“Mengerti apa? Deretan kekejianmu, menyuruhku untuk memaksakan diri sampai batas di hari dirimu melarangku bertindak berlebihan? Iya, aku mengerti dengan baik, dasar kejam.”

 “Ugh.”

Subaru meringis sedikit dan menciut di hadapan tatapan kasar Ram.

Emilia yang mendengarnya selagi dalam kereta naga juga ikutan.

“Ram, ini bukannya Subaru menyuruhmu melakukannya seingin dia. Subaru cuma berubah pikiran dari kata-kata awalnya karena dia pikir itulah pilihan terba—”

“Emilia, itu tidak membantu. Kurasa malah akan membuat Subaru makin tertekan.”

Subaru menyusut seketika Beatrice menghentikan Emilia demi dirinya.

Melihat mereka bertiga, Ram mendesau putus asa.

“Kalau begitu bagaimana menurutmu? Ini ideku, tapi menurutmu bisa kau lakukan?”

“Barusu benar. Sayalah satu-satunya orang yang sanggup mengisi saran Anastasia-sama. Dan ….”

Ram melihat ke bagian belakang kereta tempat Rem tertidur.

Di jalan dan gurun, Ram sama sekali tak komplain. Jadi satu-satunya hal yang tumbuh adalah kecemasan dan celaan diri kepada semua orang yang memedulikannya.

Dan sekalipun Ram tidak ingat, sebagai kakak Rem, Ram telah mengalami perasaan itu lebih dari orang lain.

“Ada alasan bagus yang layak dipertimbangkan. Jadi saya takkan ragu-ragu.”

Karena itu, dia dengan percaya diri dapat mengambil tugas yang diberikan kepadanya.

“Tapi kondisimu memprihatinkan. Clairvoyance-mu (ketajaman penglihatan), benar? Itu menguras tenagamu, ‘kan?”

“Tidak ada orang lain yang cocok untuk tugas ini. Secara teknis ini adalah jurus rahasia suku Oni, jadi cuma saya yang bisa menggunakannya.”

“Ah iya …. Akan lebih baik misalkan aku menggantikanmu ….”

Emilia mengalihkan pandangan. Dia telah menjadi sukarelawan banyak hal, tampaknya dalam kondisi baik semenjak memasuki bukit pasir. Seingat Emilia, Ram adalah orang yang paling mengurus Emilia di manor. Selama perjalanan, Emilia sangat bersemangat untuk membalas kebaikan Ram, mungkin gara-gara itu Emilia malu sebab tidak bisa membantu.

“….”

Hanya Subaru yang menyadari tatapan ramah Ram ke Emilia.

Barangkali karena Subaru-lah yang paling sering melihat tatapan lembut Ram ke Rem.

“Jadi Ram siap—tinggal Meili.”

Tidak mengomentari tatapan Ram, Subaru mengalihkan perhatiannya ke Meili.

Gadis itu sedang duduk di kursinya, menyangga kepalanya.

“Aku?” Meili memiringkan kepala.

“Iya. Kita bakalan melakukan sedikit variasi pada taktik gelombang manusia, dan kami butuh bantuanmu untuk melaksanakannya.”

“Kau perlu aku mencari monster iblis, ‘kan? Aku tidak bisa menentukan posisi mereka dengan presisi, tapi bisa kutunjuk tempat umum.”

“Itu yang mau kukatakan.”

Subaru mengepalkan tinjunya terhadap jawaban itu.

—yang artinya rencana itu sendiri setidaknya bisa diterapkan.

Saran Anastasia untuk mencari celah selama waktu pasir teramat-amat sederhana.

“Gunakan clairvoyance Ram, kita bisa melihat apa yang dilihat monster iblis di bukit pasir ini. Sebab monster iblis bahkan tetap aktif selama waktu pasir, seharusnya ada segelintir monster iblis yang menemukan celah di ruang manapun itu.”

“Biar sukses, kita butuh Meili untuk membantu mencari monster iblis sehingga dapat berbagi lokasinya dengan Ram. Rencana ini perlu dilakukan berkali-kali, tapi … Ram tidak akan menahan diri.”

Subaru dan Julius memegang kendali naga darat mereka, menunggu sinyal dari dalam kereta naga jikalau salah satu percobaan berhasil.

Upaya habis-habisan Ram untuk menantang waktu pasir dimulai keesokan harinya setelah mereka diskusikan.

“….”

Dalam kereta naga, Ram berkonsentrasi dan menggunakan clairvoyance-nya untuk mengintip bidang pandang monster iblis.

Sekiranya Ram mampu menemukan bekas-bekas retakan di waktu pasir dari salah satu monster iblis, mereka dapat menentukan lokasi monster iblis tersebut lalu mempercepat kereta ke tempat itu untuk melewati celahnya. Namun tentu saja, tidak sesederhana itu.

Mereka berada di gurun luas, ada banyak monster iblis dengan segala jenisnya. Clairvoyance Ram hanya sanggup menghubungkan target yang panjang gelombangnya sesuai—Ram harus sering mencobanya.

“… Meili, lewati laporan monster iblis di bawah tanah. Tidak ada gunanya misal mereka tidak bisa lihat.”

“Aku tidak bisa membedakan sebanyak itu. Mungkin semestinya kau jangan cepat-cepat melewatkan monster iblis yang kau temukan?”

Saat kegagalan menumpuk, keletihan fisik serta mental makin tinggi, dan teramat-amat buruk untuk dua unit utama rencana ini.

Tidak, Meili semata-mata menunjukkan lokasi monster iblis. Tapi kelelahan Ram sebab penggunaan kemampuannya semakin parah.

“Waktu pasir datang tiga kali setiap hari. Jadi hanya itu kesempatan yang kita miliki. Tapi kita pun tidak boleh setidaksabaran itu.”

“Suplai ransum dan air kita terbatas. Ditambah lagi miasma di sini akan memengaruhinya juga. Memilih mundur butuh keberanian. Ingatlah kita selalu punya pilihan untuk kembali ke Mirula.”

Kala dua hari bertambah jadi tiga, penting untuk lebih perhatian alih-alih sekadar maju melewati bukit pasir.

Ada batasan perbekalan yang dapat mereka kemas di kereta, dan pertanyaannya kembali atau tidaknya terbesit setiap hari—dan tak lama lagi tiap jam.

Apakah beberapa pendaki gunung terkenal yang bilang pilihan mundur adalah pilihan paling sulit dibuat?

“Berusaha sekuat mungkin, Joseph! Semua orang mengandalkan kekuatanmu!”

“Maaf, tapi tolong berusaha yang terbaik!”

          Mereka juga punya dinding es Emilia, tetapi demi menahan kegansan badai pasirnya waktu pasir kemudian terus maju, mereka mesti mengandalkan naga baru mereka, Joseph. Kemampuannya terspesialisasi pada iklim ekstrem, dan sosoknya yang menembus pasir serta angin kencang terlihat menakjubkan.

Tetapi ada batasnya. Tidak hanya untuk naga, namun untuk Subaru dan yang lainnya juga.

“… guh, gawat. Sambungannya putus.”

Ram menggeleng kepala.

Beberapa hari terakhir, kepenatan Ram dari seluruh monster iblis yang salah dia periksa dengan clairvoyance-nya telah meningkat sampai tingkat ekstrem.

Emilia dan Beatrice menyeka keringat dari kepalanya kemudian menggunakan sihir penyembuhan kepadanya.

Kondisi Ram akan sedikit membaik setelah diberi perawatan tiap malam, tapi meski sudah begitu—

“Segalanya berjalan buruk.”

“… iya, tidak usah beri tahu aku.”

Berdiri di luar kereta naga, Julius dan Subaru menatap matahari terang di atas.

Seketika waktu pasir hancur, angin mereda dan awan tebal terbelah, memperlihatkan langit cerah. Sepenuhnya bertentangan dengan jalannya perjalanan mereka, langitnya benar-benar cerah dan menenteramkan. Saat ini, Subaru malah merasa sebal oleh semua itu.

“Idenya sendiri tidak keliru. Hanya saja situasinya lagi bagus atau tidak, kurasa?”

Anastasia keluar dari kereta naga dan bergabung dengan keduanya.

“Situasi bagus, ya?” Subaru menggaruk kepalanya dengan kasar. “Dengan kata lain, keberuntungan murni …. Tapi bukan berarti salah satu dari kita sejak awal sudah beruntung.”

“Tidak beruntung, keberuntungan buruk, dan keberuntungan tragis. Dari awal itulah alasan utama perjalanan ini.”

Hal yang menyedihkan untuk diakui, namun kapan pun juga, ada kemungkinan tinggi mereka semua akan ditinggalkan keberuntungan.

tepat karena itulah kami harus membuat keberuntungan sendiri.

“Mana mungkin kubiarkan semua ini digoyahkan sesuatu sesamar keberuntungan.”

Subaru merentangkan tangannya ke langit dan mengepalkannya erat-erat.

Julius juga Anastasia tidak berkata apa-apa. Tetapi mereka tampaknya berpendapat sama sebab mereka pun ikut menatap langit.

Dan waktu mereka bertiga melihat langit ….

“Ah. Ada burung. Kurasa ia mau terbang pas langit sememukau ini.”

Menaungi matanya dengan tangan, Anastasia melihat ke atas. Menatap arah yang sama, Subaru mendapati kata-kata Anastasia benar—ada seekor burung terbang di langit.

Sudah lama mereka tak melihat burung di langit. Tidak jarang ada burung di jalan ke arah timur sebelum mereka sampai di Augria, tetapi sekarang ini rasanya hampir menyegarkan.

Udara di bukit pasir kental miasma, khususnya—

“Burung?”

Tahu-tahu, perasaan aneh menghentikan Subaru.

Dia mengeurtkan alis, mencoba mencari-cari sumbernya. Kemudian terbesit sesuatu.

yang pemilik kedai di kota katakan kepada mereka.

“—uh! Ram! Bisa gunakan clairvoyance-mu lagi?!”

Secara insting, Subaru membuka pintu kereta kuda dan memanggil Ram.

Ram sedang di tengah-tengah perawatan, lalu dia memelototi Subaru dengan wajah memerah sedikit.

“… ada apa, Barusu? Mestinya kau peringatkan kami sebelum asal mas—”

“Maaf! Tapi simpan itu untuk nanti! Ada burung terbang di langit sekarang! Bisa kau lihat matanya?”

“Burung …? Untuk apa …?”

Disela intensitas Subaru, alis Ram berkerut, tetapi Emilia yang berada di sebelahnya, terkesiap dan tangannya menutup mulut.

“Subaru, seekor burung ….”

“Benar, cerita yang kita dengar dari bapak pemilik kedai. Bahwa burung di bukit pasir terbang ke menara.”

Tentu saja, sebenarnya, kedengarannya tidak sepasti itu. Namun pada momen ini, mereka butuh segala bantuan yang bisa mereka dapatkan ‘tuk mencari jalan di waktu pasir, lantas mereka sepatutnya mendengarkan saran orang-orang yang mengenali daerah tersebut.

“Ram!”

 “Berhenti berteriak. Nanti konsentrasiku buyar.”

Menyadari urgensi situasi dari perbincangan Emilia dan Subaru, Rem mulai bergerak. Merosot jauh ke kursinya, dia menarik napas dalam-dalam. Selanjutnya suasana di sekelilingnya berubah.

“….”

Ram mengaktifkan clairvoyance-nya, kemudian penglihatannya terhubung dengan makhluk hidup di lingkungannya. Dengan target spesifik dalam pikirannya, dia sanggup melihat yang dilihat burung. Akan tetapi, tiada jaminan.

Entah panjang gelombang burung akan cocok dengan Ram atau tidak mustahil diketahui—

“—dapat.”

“—ngh! Julius! Kemudikan keretanya! Beako, ikut aku!”

—percobaan sekali seumur hidup, dan mereka semua langsung beraksi.

Subaru menggendong Beatrice saat dia melompat ke Patrasche; Emilia menyelinap ke sebelah Ram dan mendukungnya. Anastasia kembali masuk kereta naga, lalu Meili naik ke kursi pengemudi.

Setelahnya Julius menarik tali kekang, mensinyalkan naga darat untuk berlari—

“Ayo! Kali ini, kita akan melewati waktu pasir!”

Mereka mulai berlari melintasi lautan pasir lagi, bertekad untuk menembusnya.


—ikuti burung di langit.

Tiada bukti, dan dalam artian tertentu, keputusan yang benar-benar gila.

Jika Subaru melihat burung itu di hari pertama mereka di bukit pasir, dia takkan pernah mengikutinya sesuai kata-kata pemilik kedai.

Namun karena beberapa hari dilewati tanpa hasil, ada sesuatu yang dia sadari.

“Monster iblis sudah lazim, tapi tidak mungkin burung normal bisa terbang di langit sini.”

Tentu saja, ada banyak alasan pendukungnya, termasuk kurangnya air dan makanan, namun alasan terbesarnya adalah monster iblis juga miasma. Bahkan burung yang terbang di udara masih akan terpengaruh lingkungan buruk dan harus mencemaskan predator.

Lantas kenapa seekor burung melebarkan sayapnya di lingkungan sekeras ini?

“Mau dilihat bagaimanapun, burung itu tidak mungkin normal. Pasti ada semacam muslihat.”

Seusai menghabiskan beberapa hari di padang pasir, itulah kecurigaannya mengenai burung yang terbang di atas pemandangan neraka seperti Augria. Dan clairvoyance Ram membuktikan kebenaran tebakan Subaru.

“Terus lurus. Burung itu tidak membiarkan menara lepas dari pandangannya. Kecurigaan Barusu benar. Sekali ini, kepribadian tak dapat dipercaya dan rusaknya ada gunanya.”

“Perhatikan kata-katamu!”

Tidak aneh bagi burung yang bermigrasi untuk terbang berhari-hari, namun burung yang fokus ke satu tempat terus-menerus jelas tidak lumrah.

Namun demikian, mengikuti seekor burung yang terbang tanpa istrirahat adalah tugas berat untuk mereka yang tak bersayap.

—terutama jika berusaha melakukannya di tengah badai pasir.

“….”

Selagi mereka mengejar burung tersebut, waktu pasir dimulai lagi.

Perbedaan intensitas angin selama dan di luar waktu pasir itu ekstrem. Selama waktu pasir, rasanya bak badai pasir sesungguhnya, sampai-sampai bagian manapun yang diterpa butiran pasir akan terasa sakit.

Di balik jubah dan tudung, menutupi wajah serta setiap bagian kulit mereka serapat mungkin, mereka terus maju melewati pasir dan angin.

Melalui gelapnya malam beserta pasir yang memenuhi mata mereka, mengandalkan bimbingan clairvoyance Ram.

“….”

Subaru dan Beatrice saling berpelukan, menguatkan diri melawan badai pasir selagi berkendara di atas Patrasche. Mereka tidak boleh membuka mata. Pasir di mana-mana. Kereta naga seharusnya berada tepat di samping, namun mereka pun tidak bisa memastikannya. Mungkin saja mereka sendirian di badai pasir.

Untuk meyakinkan dirinya sendiri, Subaru memeluk lebih erat gadis itu.

“—lurus ke depan. Lurus ke depan.”

Ram yang ibarat garis hidup seluruh kelompok, menuangkan seluruh fokusnya ke clairvoyance. Suaranya seharusnya tidak terdengar dari dalam kereta, namun gerak maju kereta mewakili kata-katanya.

Mendadak, Subaru merasa lucu. Jikalau dirinya tak percaya rekan-rekannya, mustahil dia dapat melewati perjalanan sesulit ini. Rasanya hampir aneh dia tidak ragu-ragu menyerahkan nyawanya kepada Ram, untuk percaya penuh pada dirinya.

Lalu—

“—hn?”

Menyeringai pada situasi gila ini, menahan kain di mulutnya, dia merasa sedikit udara melewati bibir.

Bidang pandangnya tiba-tiba bersih. Badai pasir yang tadi berteriak berisik di seluruh sisi sudah tak lagi terdengar. Hujan butiran pasir menghilang bagaikan ilusi. Senantiasa ada lebih banyak angin sesaat waktu pasir berakhir.

Angin pasir perlahan-lahan mereda hingga usai laksana pasang surut air laut setelah itu bau-bau pasir mulai tercium. Tetapi semua itu tak terjadi. Layaknya diseret ke panggung yang berbeda penuh dari tiupan badai pasir.

“—Julius.”

Menggerakkan bibirnya yang kering seraya balik badan, Subaru melihat kereta naga itu duduk di tempat.

          Duduk di bangku pengemudi, Julius terlihat tertegun sesudah lolos dari badai pasir, seperti halnya Subaru. Walau begitu, mendengar panggilan Subaru, dia sesuaikan cengkeraman tali kekangnya dan mengangguk.

“….”

Setelah itu Subaru dan Beatrice mengangkat tinju mereka tinggi-tinggi, merayakan keberhasilan mereka menembus waktu pasir.

“Kita berhasil! Berhasil!”

“Iya! Tapi kenapa kau beteriak keras sekali ke telinga Betty?!”

Selagi Subaru bersorak-sorai, telapak tangan Beatrice diulurkan dari bawah, dagu Subaru dihantam sampai kepala Subaru oleng ke belakang. Lalu kepalanya balik ke posisi awal sambil membawa momentum pukulan Beatrice, Subaru melotot ke gadis di bawahnya.

“A’p’ a’p’a’n’ m’en’da’da’k ber’tng’kah’ b’gt’u! Li’dh’ku’ j’di’ t’r’gi’g’t”

“Kau ini menyebalkan banget bergumam sendiri selagi memeluk Betty! Mengoceh inilah dan keluar jalan itulah lalu entah apa pun yang kau katakan! Selalu teringang-ngiang di telinga Betty!”

Beatrice menanggapi keluhan cadel Subaru dengan protes galak.

Subaru tersipu menyadari semua yang dia gumamkan sembari memeluk Beatrice untuk menyamankan diri sehingga tak kehilangan harapan yang sudah dinyatakan keras-keras. Dia batuk dengan malu.

“Uh, o-omong-omong. Kita berhasil menembus waktu pasir dengan sangat baik. Ayolah, tiga sorakan! Hip hip hore!”

“… hore ….”

Kendatipun Beatrice merajuk, tetapi tak mengubah fakta mereka sukses menembus rintangan besar.

Mengelus Patrasche dan mengucapkan terima kasih atas kerja kerasnya, Subaru melihat menara tepat di depan mereka, terlihat di langit malam. Barangkali gara-gara efek miasma yang telah berkurang usai melewati waktu pasir, bintang-bintang kelihatan di langit malam. Dan dengan cahaya itu, jelas siluet menara kian dekat.

Buktinya, mereka bahkan bisa melihat kaki menara yang tadinya tak terlihat—

“Lihat, ini bukti panggungnya telah berubah. Gurunnya telah menjadi ladang bunga—”

“….”

“Ladang … bunga ….?”

Seketika kegembiraannya karena berhasil menembus waktu pasir habis, pipi Subaru menegang. Di pelukannya, Beatrice juga membeku, mata bulat nan besasrnya terbuka lebar.

Sesudah selamat dari ancaman waktu pasir, kelompok itu akhirnya menutup jarak dengan Menara Penjaga Pleiades.

Dan di sekitar mereka kini ada surga bunga yang indah dan penuh kehidupan.

Share this post on:
Subscribe
Notify of
guest
1 Comment
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
kizuna

Bjirr, dari gurun jadi ladang bunga, ngery