Share this post on:

Menuju Lautan Pasir

Subaru memakai jubah gurun (fan art)

Penerjemah: Kisara

Sumber Gambar

Secara nyata, Mirula adalah kota persinggahan yang nyaris kosong.

Besar kotanya tidak terlalu kecil, tapi tidak ada bandingannya dengan kota-kota terkenal. Tidak ada atraksi atau bangunan khusus, dan sebab letaknya dekat Bukit Pasir, tak ada turis pula.

Tanda jalan yang menyatakan Mirula sebagai kota paling timur di dunia tidak benar-benar ada manfaatnya, tiada yang bisa dilihat-lihat selain pemandangan kota sunyi.

“… para pengunjung? …. Di tengah badai pasir? Selamat datang.”

Membuka pintu dengan mendorongnya lalu masuk toko, mereka disambut seorang pemilik bar yang sedang memoles gelas. Bukan nada yang ramah, tetapi tak mengejutkan mendengarnya.

Jikalau segerombolan tamu bermandikan pasir kebetulan mampir di tengah-tengah badai pasir, jelas saja tanggapannya akan sedikit dingin.

“….”

Mereka sudah berusaha menyingkirkan semua pasirnya sebelum masuk, tetapi mereka telah disiram pasir. Itulah ganjaran mengabaikan penghuni penginapan dan keluar selama badai pasir.

Maaf membuat orang ini menanggung imbas kebodohan kami.

“Kalian mau pesan apa?”

“Susu, dingin, tolong.”

“Susu, hangat, tolong.”

Duduk di bar untuk memesan, Subaru bisa melihat wajah garang si pemilik memburuk.

Mengabaikan reaksinya, kedua pelanggan mendesah panjang dan melepaskan kain yang menutupi mulut mereka agar setelah sekian lama dapat bernapas dengan benar.

“Haah, kain ini benar-benar penting. Tapi keluar selama badai pasir betul-betul sangat berisiko.”

“Mmhmm. Kau di depanku melawan angin, tapi mulutku masih tetap sangat berdebu.”

Subaru meringis sedikit lalu mengangguk saat Emilia menjulurkan lidah manisnya.

Kepalanya ditutupi jubah putih, kemudian wajah cantik serta rambut peraknya hampir disembunyikan seluruhnya. Subaru bercanda semisal gadis cantik semacam itu muncul di kota pedesaan, orang-orang barangkali kena serangan jantung sebab perbedaan sensibilitas—namun sejatinya, mempertimbangkan posisi Emilia, menyembunyikan identitasnya adalah hal yang harus dilakukan.

Meskipun menutupi kepala juga mulutnya dalam hal ini tak hanya untuk menghindari masalah. Tetapi juga untuk berlindung dari angin bukit pasir penuh pasir yang berhembus hingga ke timur.

“Sepertinya sekarang ini Bapak tidak sedang sibuk. Tidak banyak pekerjaan selama badai pasir?”

Melepas tudung dari kepalanya, Subaru melihat-lihat kedai kosong. Pemilik garang itu merespon dengan dengusan sambil meletakkan susu pesanan.

Susu dingin adalah pesanan Subaru, yang hangat adalah Emilia.

“Tidak selalu ada orang luar yang menjambangi kedai. Membuka tempat ini di siang hari, apalagi waktu badai pasir, pada dasarnya cuma hobiku saja. Bukannya aku berharap betul-betul dapat pelanggan.”

“Begitu. Jadi karena kami orang luar sekaligus pelanggan, artinya kami tamu VIP, ‘kan?”

“Terus kau memesan susu di kedai. Silakan, nona kecil.”

“Ooh, terima kasih.”

Emilia mengambil susu hangat dan memegang cangkir di tangannya sesaat. Subaru melirik Emilia meniup susunya untuk mendinginkannya sedikit selagi pemilik kedai memelototi Subaru dari balik konter.

“Jadi? Kalian sedang apa di luar Mirula selama badai pasir?”

“Makasih sudah bertanya. Pria di penginapan mencoba menghentikan kami, tapi saya ingin menguji badai pasir, semacam uji coba. Lagian yang sesungguhnya bukan apa-apa dibandingkan ini, ‘kan?”

“Yang sesungguhnya, ya? Dan itu adalah ….”

“Tentu saja melintasi Bukit Pasir Augria.”

Pemilik kedai terdiam ketika Subaru mengangkat jari dan mengungkapnya dengan percaya diri. Selanjutnya perlahan menatap mereka berdua secara bergantian lalu mengusap-usap kening.

“Entahlah lelucon macam apa yang lagi kalian mainkan, tapi semisal kalian pergi ke luar sana seakan semacam petualangan menyenangkan, maka kalian harus pulang sekarang. Kalian sama saja bunuh diri.”

“Wah, wah, Bapak bicara apa? Memangnya kami kelihatan sedang main-main? Kau pun katakan sesuatu, Emilia-tan.”

“Haah, haaah, panas … eh? Apa? Maaf, aku tidak mendengarkan.”

“Lihat, bukannya itu betulan EMT?”

“Aku bilang begini untuk kebaikan kalian sendiri. Pulanglah sekarang sebelum kalian mati.”

Kepercayaan pemilik makin turun setelah melihat perbincangan mereka.

Namun tidak salah lagi dia tak mengatakannya atas niat jahat. Mereka sudah tahu bahaya Bukit Pasir Augria dari ulasan-ulasan sebelumnya, tapi—

“Sayangnya, kami benar-benar tidak punya pilihan pulang. Karena bergerak maju adalah jalan kami satu-sautnya, kami setidaknya ingin memilih jalan maju seaman mungkin. Bapak bisa mengerti itu, ‘kan?”

“Kau yang tidak mengerti. Kau dengar, tidak? Bukit pasir itu tidak bisa diapa-apakan. Bukit penuh monster iblis dan serba miasma penyihir, terlebih apa pun yang kau lakukan, mustahil mendekati menara jauh itu.”

Kesal oleh sikap santai Subaru, pemilik itu menjelaskan detail-detail ancaman bukit pasir. Menunjuk jendela yang tertutup untuk menahan badai pasir, bibirnya melengkung.

“Orang bodoh yang nekat sepertimu tidak ada habisnya. Tapi tak ada satu orang pun yang sampai menara Sage di tengah-tengah lautan pasir itu. Seandainya kau beruntung, kau akan kembali hidup-hidup, namun kebanyakan masih terkubur di pasir luar sana.”

“….”

“Menara itu dibangun empat ratus tahun lalu, dan selama ini, orang-orang yang tololnya berani pergi mendatangi menara itu tidak ada habisnya, tapi tak seorang pun pernah mengaku sungguh-sungguh mencapainya. Bahkan sang Pedang Suci pun tidak sanggup.

Kegagalan Reinhard ternyata meninggalkan tanda lebih luas dari yang diperkirakan.

Pemilik kedai bisa saja berniat mengungkitnya sebagai kartu truf, tapi sayang sekali, para pelanggan sudah mengetahuinya namun tetap saja bertekad pergi.

“Parahnya lagi membawa-bawa seorang gadis ke neraka itu ….”

“Maaf. Bapak sangaaat mencemaskan kami.”

Subaru kesusahan merespon pendapat tulus dan terlampau masuk akal pemilik kedai hingga Emilia menerobos masuk. Mata pemilik itu membelalak seketika si gadis mulai dengan permintaan maaf lembut.

“Kami bukan pelanggan tetap atau semacamnya, tapi Bapak masih memberi tahu banyak. Terima kasih.”

“Tidak, maaf sudah cerewet. Tapi aku tidak membual. Senantiasa anak muda seperti kalian berdua, selalu.”

“Apakah betulan sebanyak itu orang yang mau menemui Sage?”

“Kubayangkan sebagian besarnya sekadar ingin mengklaim ketenaran dengan mengatakan telah menemui sang Sage. Mungkin ada beberapa orang yang mau mencari tahu sesuatu dari Sage, tapi … seluruh pembicaraan sia-sia itu dari awal sudah cukup meragukan.”

Pemilik kedai mengangkat bahu dan menggeleng kepala jijik.

Dia boleh jadi jujur soal lusinan orang dengan sembarangan mencoba mencapai Menara Penjaga Pleiades. Dia kemungkinan pria yang lebih ramah dari penampakan wajahnya, sebab dia tampak malu atas reaksinya.

“Maksud Bapak, walaupun kami sampai menara, kami mungkin saja takkan bertemu Sage?”

“Aku tidak pernah dengar apa pun tentang seorang pun mencapainya. Dan sekiranya kau percaya rumor, Sage masih berada di puncak menara mengawasi bukit pasir, memberikan penghakiman adil kepada semua penjahat, tapi … ada juga monster iblis dan miasmanya. Aku hanya bisa membayangkan bukit-bukit pasir itu sebagai perangkap untuk berburu mangsa.”

“Pancingan untuk berburu mangsa ….”

Emilia tersentak sedikit. Pemilik kedai mengangguk kemudian beralih ke jendela.

“Jangan keluar selama badai pasir dan hindari monster iblis sebisa kalian. Namun meski begitu, kalian tetap tidak bisa menghindari miasma. Rintangan terbesar untuk membersihkan bukit pasir adalah miasma tebal tersebut.”

“Sejujurnya saya tidak bisa menggambarkan dalam kepala miasma itu sebetulnya apa.”

Subaru memiringkan kepala.

Dia berkali-kali mendengar kata itu, dan bukannya dia tak bisa memikirkan sesuatu dari definisinya saja. Fundamentalnya itu semacam suasana yang punya pengaruh negatif ke tubuh. Atau sekurang-kurangnya semacam itu.

Mungkin seperti gas beracun?

“Um, Subaru, miasma adalah kata untuk mana yang telah tercemar hal buruk. Mana itu tidak kelihatan, tapi masih ada di mana-mana, ‘kan?”

“Eh? Jadi miasma tuh mana?”

Dari penjelasan Emilia, Subaru terkejut saat mendapati miasma adalah sesuatu yang jauh lebih tak asing ketimbang perkiraannya.

Tapi tetap saja, deskripsi mana yang tercemar tak juga membuatnya bisa membayangkannya.

Kurasa sebagian alasannya karena aku adalah orang Jepang zaman modern, tapi aku tidak bisa benar-benar memahami deskripsi mana gaib ini.

“Biasanya, mana tidak punya warna, ‘kan? Miasma, mana  yangtercemar oleh hal buruk, sungguhan tidak bagus untuk tubuhmu. Namun gerbangmu secara natural menyerap mana, jadi ….”

“Jadi kau tidak bisa berhenti menyerap mana, seperti tak dapat berjalan mondar-mandir tanpa bernapas.”

“Nona kecil ini benar. Dan miasma di luar sana paling padat dari tempat di mana pun di dunia ini. Jika gerbangmu terus-terusan menyerapnya, jantung dan tubuhmu akan dimakan polusi.”

“Usainya apa yang terjadi? Apakah akan sakit—atau menggila atau semacamnya?”

“Ceritanya bilang akan menggerogoti jantung juga tubuhmu. Sebenarnya …. Yah, aku tidak benar-benar bisa menyangkal itu.”

Dia menggeleng kepala dan tidak meneruskannya.

Namun jelas dari wajahnya. Dia pernah melihat seseorang mati karena polusi miasma. Dan gara-gara pengalaman itulah dia merisaukan mereka dari lubuk hatinya alhasil memperingatkan mereka setegas-tegasnya.

“Jika kalian bisa menjalani hidup tanpa pergi ke sana, maka berusahalah yang terbaik. Kalian ….”

“Terima kasih atas susunya. Dan terima kasih atas ceritanya juga.”

Emilia menghabiskan susunya, tetapi menggeleng kepala terhadap peringatannya.

Melihat itu, pemilik kedai mendesau pasrah. Alasan dia dari awal bicara dengan mereka mengenai bukit pasir biarpun tidak mau di adalah karena dia berharap mampu mengubah pikiran mereka.

Tetapi sayangnya, kala itu pikiran mereka tak tergoyahkan.

“Harusnya itu cukup. Subaru, ayo.”

“Hmm, iya. Terima kasih atas bantuannya.”

Meninggalkan koin perak yang Emilia rogoh ke atas konter, Emilia menarik lengan Subaru. Kelebihan untuk dua cangkir susu, tetapi sekaligus tip untuk informasi yang dia berikan kepada mereka serta perhatian yang dia tunjukkan.

“—baru setahun terakhir ini, tapi orang-orang mulai melihat seekor burung terbang di atas bukir pasir.”

“….”

Seketika mengenakan jubah mereka kembali dan mulai bersiap-siap keluar menuju badai pasir, datang dari belakang. Balik badan, pemilik kedai memunggungi mereka dan sedang memoles gelas-gelasnya seraya bergumam sendiri.

“Menurut orang-orang yang melihatnya, mereka bilang kelihatannya burung itu terbang ke menara. Jadi apabila kalian tersesat di badai pasir, carilah burung. Kalau beruntung, mungkin itulah yang ‘kan memandu kalian ke menara.”

“Pak tua ….”

“Hmph. Jika kalian di luar sana dan tak ada yang dapat diandalkan, keberuntungan kalian sudah paling buruk.”

Badai pasirnya mereda, dan ada sedikit visibilitas di lautan cokelat yang mengaburkan penglihatan mereka. Sudah waktunya kembali ke penginapan dan bertemu yang lain.

“Pemilik kedai yang tadi, kayaknya kakinya buntung satu.”

“… aku tidak lihat ….”

“Aku tidak tahu bagaimana kejadiannya, tapi … aku bisa tebak lokasinya.”

Mata ungu Emilia dipenuhi kesedihan. Subaru mengangguk.

Pemilik kedai itu baik nian mencoba memohon ke sepasang pengelana gegabah yang belum pernah dia temui soal betapa berbahayanya bukit pasir. Sekiranya itu peringatan dari pengalaman pribadinya, maka artinya mereka teramat tidak tahu terima kasih.

“—Menara Penjaga Pleiades.”

Suara merdu Emilia mendadak menyebut nama menara tersebut.

Mendongak, Subaru mengalihkan pandangannya ke sisi timur kota, ke menara yang bisa dilihat dari kedai dan pasir yang berputar-putar, jalan berpasir—menara menakutkan yang berdiri di atas segalanya.

Menara raksasa yang terlihat dari jalan bahkan sebelum sampainya mereka di Mirula.

Hampir seperti menyentuh langit.

Betapapun dahsyatnya badai padang pasir di bawahnya, bagaimana bisa kau akan kehilangan sosok menara itu?

Namun Reinhard dan pemilik kedai sama-sama berkata terlampau susah dan ceroboh untuk mencoba mendekat.

“Menara Sage yang terselubung, ya ….”

Di ujung pandangannya, menara yang puncaknya tak mampu dia lihat nampak goyah di tengah pasir.

Share this post on:
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments