Share this post on:

Tulisan Keluarga Juukulius

Penerjemah: Law

Ga nemu sumber gambarnya 🙁

Dua puluh hari berlalu sejak keberangkatan dari manor ke Bukit Pasir Augria.

Perjalanan itu dimulai dengan suatu pagi yang tak menyenangkan, namun untung saja tidak ada insiden penting di tengah jalan, memberikan kelompok itu masa-masa damai.

Mereka menuju timur tanpa belok-belok mengikuti jalan, melewati waktunya dengan rasa bosan nikmat.

“Aku berpikiran sama ketika pulang dari Pristella dan di dataran Liphas juga, tapi … jalanan di Lugnica cukup aman.”

“Pemeliharaan dan keamanan jalan punya peran penting dalam menjaga ketenteraman negara. Dibanding negara-negara lain, Lugnica yang paling berdedikasi. Alhasil serangan bandit dan monster iblis jauh lebih rendah.

“Hah, apakah artinya negara-negara lain tidak seaman ini?”

“Kerajaan Suci Gusteko berusaha keras menjaga jalan mereka sebab tertutup salju abadi. Kekaisaran Vollachia dan Federasi Kararagi menaungi banyak ras, hasilnya ada berbagai macam adat yang berlainan. Dengan perbedaan semencolok itu, bentrokan lebih sering terjadi.

Jadi jawaban pertanyaanmu, tidak, negara-negara lain tak seperti ini.”

“Mana mungkin.”

Subaru dan Julius lagi mengobrol di kursi pengemudi kereta kuda selagi angin sepoi-sepoi bertiup lewat.

Kereta kuda besar ini ditarik dua naga darat. Subaru sedang memegang kendali sedangkan Julius duduk di sebelahnya dan mengawasi sekeliling. Mereka menyetujui formasi ini sebab jika semua orang berada di dalam kereta, maka kalau-kalau terjadi sesuatu reaksi mereka akan terlalu lamban, namun menurut basa-basi itu, jalannya sejauh ini damai.

Hoaaam.”

“—Subaru.”

Subaru menguap di depan pemandangan dan rasa bosan tak berubah, tetapi dia langsung dibalas suara tajam Julius.

“Iya, iya.” Subaru melambaikan tangan.

“Aku mengerti mempertahankan fokus tingkat tinggi itu susah, tapi membiarkan celah seperti itu adalah hal paling berbahaya. Aku tidak menyuruhmu untuk selalu was-was, tapi setidaknya jangan jelas-jelas begitu sampai orang lain tahu.”

“Aku menguap sekali. Aku yakin kau pernah melakukannya dalam hidupmu, ‘kan?”

“Tentu saja. Aku mengalami fenomena fisiologis serupa dengan semua orang. Tapi seorang kesatria wajib dalam keadaan pikiran dan kesanggupan tidak menunjukkannya ke orang lain. Kesadaran dirimu masih kurang.”

“Iya, iya, itu aku, sang kesatria tidak peka.”

Julius semenyebalkan biasa, namun Subaru piawai menangkis kritikannya.

Perjalanan dari Pristella ditambah perjalanan saat ini, dia sudah menghabiskan dua puluh hari perjalanan dengan Julius. Subaru telah belajar cara mengakrabkan diri dengannya.

“Dan juga menatap lawan bicaramu selagi berbincang serius adalah sopan santun.

“Seandainya seseorang tak serius mendengarkan perbincangan seriusmu, artinya mereka pikir bukan waktu yang tepat untuk menikmati perbincangan tersebut, benar? Bersantailah sedikit. Kau ini tegang banget. Menguaplah sedikit atau lakukan hal lain.”

“….”

Subaru membunyikan lehernya sambil merespon dengan suara datar.

Nampaknya dikejutkan hal itu, Julius berkedip.

“… aku kelewat tidak tenang sampai-sampai kau bisa dengan mudahnya tahu?”

“Kubayangkan semua orang mengira dirimu terlalu gelisah. Aku paham dalam beberapa hal itulah sifatmu, tapi ….”

“Cuma kau saja yang sadar kalau aku bersikap begitu karena memang sudah sifat.”

Ada kepasrahan di suara Julius. Subaru hanya meresponnya dengan, “Iya”, serak.

Mereka tak bisa dengar percakapan para wanita di dalam kereta kuda. Jadi para wanita pun tidak bisa dengar yang di luar.

Mereka berdua laki-laki, dan ada banyak kerumitan dalam hubungan mereka, tetapi saat ini mereka adalah rekan yang harus saling membantu.

Subaru beralih topik, memutuskan mereka harus bicara sedikit lebih buka-bukaan.

“Hal ini diungkit pas bicara dengan Roswaal, tapi rohmu kenapa?”

“… tidak ada perubahan. Mereka masih menemaniku, tapi mereka tidak mau mendarat di lenganku untuk mengistrirahatkan sayap mereka. Mereka juga tampaknya bingung.”

Julius memperlihatkan roh-rohnya saat Subaru mengangkat topik itu.

Kilat samar enam warna masih mengikuti Julius. Tapi mereka tidak duduk di lengan terulurnya dan malah melayang-layang kebingungan.

“Perlindungan ilahiku sepertinya tetap berfungsi dengan baik. Barangkali itulah bagian yang mengganggu mereka. Mereka nampaknya tidak mengerti mengapa berat sekali meninggalkanku.”

“Membentuk kontrak lain … bakalan sulit sebab kontrak orisinilnya masih ada, ya? Aku tahu tak berhak bilang begini, tapi dapatkah kau membuat kesepakatan dengan roh lain sampai semua ini selesai?”

“Jarang-jarang orang punya bakat meminjam kekuatan roh-roh kecil yang kebetulan lewat seperti Emilia-sama. Roh-roh yang bisa kuminta kekuatannya adalah dari mereka yang telah kukenal selama bertahun-tahun. Mirip dengan dirimu dan Beatrice­-sama beroperasi.”

Emilia-tan sama Puck pun begitu. Kurasa masuk akal rekanmu spesial.”

Menggaruk kepala, Subaru mendapati dirinya berpikir dia telah membuat saran tidak masuk akal.

Sebagai sesama pengguna roh, dia tidak ingin orang lain menyuruhnya mencari roh lain. Andai ikatannya dengan Beatrice diputus, akankah dia sekadar melepaskannya? Pada dasarnya itulah yang dia minta Julius pertimbangkan.

“Gara-gara itu, aku hanya mampu memenuhi tugasku sebagai kesatria dengan pedang ini. Tentu saja pelatihanku dengan pedang tidaklah lebih kurang dari sihir rohku, namun tetap saja kekuatan pribadiku turun signifikan.”

“Waktu kau bilang sekadar pedangmu tidak cukup kuat, bagiku itu seperti sarkasme.”

Subaru yang kalah telak oleh persis pedang itu adalah titik awal hubungan mereka. Waktu itu, Subaru mungkin bak seorang bayi yang mencoba melawannya. Sekarang aku seharusnya berumur lima tahun, ya?

“Reinhard juga sama, tapi kalian berdua punya kebiasaan buruk meremehkan diri sendiri. Ada yang namanya terlampau rendah hati. Faktanya, itu berlaku ke banyak hal, menurutku.”

“Aku sangat ingin mengatakan hal yang sama ke dirimu, tapi aku tak yakin-yakin amat—kesampingkan dirimu dan diriku, yang Reinhard perbuat berbeda dari rendah hati atau meremehkan dirinya sendiri.”

“Kok bisa …?”

Subaru memiringkan kepala bingung selagi membayangkan sang pahlawan berambut merah.

Siapa pun yang melihatnya akan tahu bahwa dia adalah manusia super, yang terkuat, dan yang paling tak tertandingi. Ialah Reinhard van Astrea, jadi mengagetkan bila ada perbedaan dalam cara Julius dan dirinya menilai Reinhard.

“Tolong jangan salah paham. Aku setuju mengenai tingkat tingginya kekuatan Reinhard. Memang, aku mengira dalam posisi itu semua orang yang mengenalnya akan setuju penuh. Bisa dibilang dia adalah puncak umat manusia.”

“Mengejutkannya itu tidak bisa kusebut berlebihan.”

“Tidak hanya kekuatannya pula. Jalan hidup dan kesadarannya pun telah sepenuhnya terwujud. Kali pertama aku bertemu dengannya, Reinhard bahkan belum sepuluh tahun, tapi dia tidak berubah sama sekali sejak itu.”

“Bentar, bahkan dulu pun dia tetap sama?”

Menanyakan kapan Reinhard menjadi Reinhard adalah pertanyaan yang sedikit filosofis, namun bagi Julius yang telah mengenalnya lebih dari satu dekade lalu, saat itu dia sudah sepenuhnya berkembang.

Anak muda yang bahkan belum sepuluh tahun yang kehilangan neneknya, mewarisi perlindungan ilahi, lalu menjadi Pedang Suci—

“Aku ingin tahu seperti apa rasanya.”

“Hmm?”

“Lima belas tahun lalu, Reinhard sekitar lima tahun, ‘kan? Mewarisi perlindungan ilahi neneknya di umur sebesar itu, tumbuh di keluarga yang mewarisi darah keturunan seorang pahlawan legendaris … tanggung jawab macam apa yang dibebankan kepadanya.”

Subaru merasa dirinya bisa sedikit memahami beban harapan orang tua.

Tentu saja, beban yang ditanggungnya dan yang dipanggul Reinhard serta tanggung jawab yang tersirat, tidaklah sebanding, dan bahkan mungkin kurang ajar andai membanding-bandingkannya, tapi tetap saja.

“Jujur saja, aku lemah. Aku lemah dan tidak cukup kuat, jadi aku selalu menyesali berbagai hal. Bisa jadi tidak ada satu malam pun aku tak berahap untuk menjadi cukup kuat biar tidak tak berdaya-berdaya amat.

“Kedengarannya kau telah menahan cukup banyak malam tanpa hasil.”

“Kau kira aku dengar itu? …. Intinya, rasanya seperti Reinhard berada di situasi yang berbeda persis. Kurasa dia tidak selalu menjadi Reinhard yang kita kenal dari umur lima tahun, jadi perasaannya bagaimana?”

“… aku tak bisa bilang apa yang barangkali dirasakannya kala itu.

“Akan tetapi ….”

Julius terdiam dan menatap ke atas.

Ekspresinya melunak selagi menatap jalan yang mereka lalui.

Mungkin lebih akuratnya dia sedang melihat langit di kejauhan dan sinar mentari yang menyinari mereka.

“… melihat Reinhard adalah titik balik besar untukku.”

Suaranya hampir kedengaran bangga.

Seolah-olah dia menyipitkan mata bukan sebab matahari, namun sebab aspirasi yang telah diingat betul-betul oleh ingatan masa kecilnya dan kini pun ingatan itu masih terasa baru.

“….”

Melihat Julius seperti itu, pikiran Subaru melayang ke Reinhard.

Seperti mereka yang menantang Menara Penjaga Pleiades, Reinhard juga mengambil peran penting—Subaru cemas perihal pemindahan Uskup Agung Kemarahan.

Mereka telah menangkap Sirius di Pristella, dan saat ini dia sekarang ditransportasi ke ibu kota. Sesaat kelompok Subaru mendapati diri mereka di luar Bukit Pasir Augria, Sirius harusnya sampai di ibu kota.

Bakalan mantap semisal tidak terjadi apa-apa, dan Reinhard pun mengikuti, jadi aku tak perlu khawatir, tapi—

“—Reinhard akan baik-baik saja. Dia pasti akan berhasil.”

“Jangan asal baca isi pikiran orang-orang, itu menakutkan.”

“Hah. Karena untuk sementara ini aku sudah bepergian bersamamu. Aku mulai memahaminya, kurasa.”

Julius menyisir rambutnya ke belakang, entah bagaimana kelihatan puas oleh dirinya sendiri.

Kurasa kami berdua sudah lebih baik dalam berurusan dengan satu sama lain.

“Kalau begini, jika tak terjadi apa-apa, nanti kutulis disertasi tentangmu.”

“Jangan khawatir. Sekarang ini, kau sudah jadi orang nomor dua setelah aku yang paling mengenal diriku di dunia ini.”

“Itu bukan gelar yang teramat kuinginkan, tapi tuh! Aku dapat gelar doktor di Juliusologi. Kalau Joshua sampai dengar itu ….”

Subaru terdiam saat dia mulai bercanda.

“….”

Joshua Juukulius. Adik laki-laki Julius yang punya penyakit kronis pemujaan kakak.

Dan seperti Rem, nama dan ingatannya telah dicuri dari dunia, dari keluarganya, dan saat ini masih tidur.

“… suasana ini akan membaik jika sesuatu terjadi ….”

Menebak alasan Subaru terdiam, senyum Julius menghilang sembari menggumamkannya.

Sama sekali tidak seperti dirinya, namun Subaru tidak setolol itu sampai tidak sadar kalau Julius mengutarakannya untuk dirinya sendiri, tapi ….

“Agh, sial. Aku betulan bego.”

Menggaruk kepalanya dengan menyedihkan, Subaru bergumam kesal sendiri.

“….”

Pada akhirnya, Julius tak bicara lagi hari itu.

Tiga hari setelahnya, kelompok itu sampai di Mirula, kota paling dekat dengan Bukit Pasir.

Share this post on:
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments