Share this post on:

Hasil Pertempuran Memperebutkan Pristella II

Penerjemah: 2B or not 2B

Ilustrasi: HaruSabin

Sehabis mengakhiri percakapannya bersama Wilhelm, Subaru merasa lega dalam hati.

Bersama Garfiel, keduanya yang mestinya diberi tugas melawan Kenafsuan—Mereka seharusnya kombinasi yang menghadapi pertarungan paling sulit.

Sebetulnya, Kenafsuan telah meninggalkan Menara Pengendali dan Theresia-lah, istri Wilhelm, juga mantan pahlawan, Kurgan, malah mereka yang menghalangi jalan Wilhelm dan Garfiel.

Akan tetapi, sudah pasti tidak ada korban jiwa di ketiga titik Menara Pengendali tersebut.

“…”

Tentu saja, Garfiel dan Wilhelm harusnya punya banyak hal untuk direnungkan.

Faktanya, Garfiel sudah mengutarakan keberatan hatinya, dan mudah tuk membayangkan luka yang teramat sulit untuk diekspresikan dengan kata-kata berada dalam hati Wilhelm.

Namun, meski begitu.

Subaru senang mereka berdua kembali selamat setelah menyelesaikan pertarungan-pertarungan mereka.

Jika ada korban jiwa di antara kenalannya, Subaru akan berpasrah diri barangkali dia ujung-ujungnya harus menggunakan Return by Death-nya. Karena itulah dia senang mereka berdua baik-baik saja tanpa perlu Subaru menggunakannya.

Namun lega atas fakta mereka tidak mati ada kaitannya dengan keyakinan lain Subaru, di saat yang sama.

Yaitu apa pun yang terjadi, dia sekali lagi takkan mengandalkan kekuatan tidak wajarnya seperti Return by Death.

Dia memanfaatkan penuh Return by Death-nya lalu berkali-kali menantang banyak hal untuk berusaha mewujudkan masa depan lebih baik. Setelah teramat-amat mengandalkan kekuatan itu, mungkin sekarang ini barangkali bisa sampai dia kutuk sumpah serapah.

Kesimpulan yang cuma dapat dicapai Subaru, justru dikarenakan Subaru-lah yang sering mati dan setiap kematiannya dia membalikkan masa depan.

Dari awal, sesuatu semacam Return by Death mestinya tidak diperlukan.

Tentu saja ada cara untuk mewujudkan masa depan yang diinginkannya bahkan tanpa Return by Death-nya. Seperti sekarang di mana semua orang bekerja sama satu sama lain demi satu tujuan, untuk mewujudkan masa depannya.

“Subaru, apa Wilhelm-san baik-baik saja …?”

Menghampiri untuk menyapa Subaru yang telah kembali, Emilia menanyakan Pendekar pedang bijak yang tengah berdiri di sudut selter. Mendengar perkataannya, Subaru menyentakkan dagu hingga mengangguk, tanpa menoleh ke belakang.

“Iya, kurasa dia baik-baik saja. Dia sedikit terluka, tapi … sepertinya dia berhasil mengurus luka dalam hatinya yang paling mencemaskan.”

“Begitu …. Meskipun ini sudah jelas, dia beneran orang yang kuat, bukan?”

“Benar. Dia tentunya orang kuat. Itulah sebabnya dia baik-baik saja.”

Subaru mengangguk beberapa kali pada Emilia yang mengatakannya hal itu. Emilia membuka mata lebar-lebar melihat gerakan Subaru kemudian tersenyum.

Melihat Subaru merengut pada reaksi tak terduga Emilia, gadis itu menaruh tangannya ke mulut lalu bilang:

“Maaf. Tingkah Subaru di dekat Wilhelm-san itu sangaaaaaaat berbeda dibanding saat bersama orang lain. Bagaimana bilangnya, jujur, kupikir dia murni semurni salju bersih1.”

“Gada lagi orang yang bilang murni semurni salju bersih akhir-akhir ini …”

Subaru nyengir mendengar ucapan kuno yang rasanya berasal dari Era Showa2.

Seusainya, Subaru garuk pipi dengan salah satu jarinya.

Walaupun kelihatannya Subaru sedang menggodanya, dia paham maksud emilia. Dan itu sudah cukup untuk Subaru sadari.

“Wilhelm-san, bagaimana bilangnya ya, spesial. Karena dia itu orang menakjubkan yang tulus aku kagumi, ya, itulah yang kurasakan.”

“Aku tahu dia itu orang luar biasa juga, tapi karena itulah, Reinhard dan yang lainnya mestinya tahu itu semua, kan? Tapi, meskipun begitu …”

“Sudut pandang berubah antara orang seusia dan orang dari generasi berbeda. Perbedaan yang kau rasakan dengan orang-orang seusiamu punya pengartian cukup besar padamu sampai-sampai kau merasa sengsara. Tetapi, perbedaan yang kau rasakan pada orang lebih tua bisa dijadikan tujuan untuk dirimu sendiri. Suatu hari kelak saat aku jadi pak tua suka cemberut, aku mau semengesankan Wilhelm.”

“… hmm, aku paham. Hehe. Kalau katamu begitu.”

Emilia mengangguk dengan wajah penuh perhatian terhadap tingkah laku tidak karuan Subaru yang dia lakukan untuk menyembunyikan rasa malunya.

Subaru merasa bertekuk lutut terhadap perilaku Emilia. Serius membicarakannya, bahkan Subaru tidak tahu cara mengekspresikan emosi mendalam yang dia rasakan dalam bentuk kata-kata.

Walaupun mungkin nyaris pasti, dia pikir baguslah tidak perlu mengutarakannya ke kata-kata.

“Faktanya, Betty yakin menumbuhkan janggut tidak cocok buat Subaru.”

“Menurutku bukan pembicaraan semacam ini, tapi yah, terserahlah, boleh juga. Aku bakalan menumbuhkan janggut saat Beako anggap pantas.”

“… baiklah, akankah saat-saat itu tiba, kayaknya. Faktanya, koeksistensi rumit antara kehalusan dan keimutan adalah area yang tidak mampu dipertahankan tanpa keanggunan Bubby. Dedikasikan dirimu kepadanya, kayaknya.”

“Ya, ya, uwah.”

Ketika Emilia dan Beatrice saling bertukar perasaan dengan cara khas mereka sendiri, Subaru—mengarahkan pandangannya ke sudut selter yang mendadak berisik.

Para pengungsi yang berkumpul di sudut selter, semua orang di sana telah terbebas dari ketakutan dan kegelisahan yang dilahirkan dari kota yang dikuasai. Namun demikian, ada tampang ceria tak terjelaskan di wajah mereka. Dan itu karena—

“Baiklah, baiklah! Perkenankan aku bernyanyi lagi! Tolong dengarkan, lagu baruku—Lagu Membara Kota Terbakar!”

“Yang ribut-ribut itu Liliana, ya?”

Terdapat seorang gadis pendek berkulit cokelat di tengah-tengah keributan. Subaru bisa melihat sosok penyair bersemangat memetik Lyulyre-nya, mengibaskan rambut pirangnya.

Penampilannya menimbulkan dampak jelas, ada orisinalitas menonjol berbeda pada penampilannya sampai-sampai bahkan Subaru pikir tidak dapat ditiru Kenafsuan; tidak salah lagi dia Liliana.

“Faktanya, dia sungguh gadis berisik.”

“Tetapi Liliana adalah salah Saturda orang yang melawan Uskup Agung Dosa Besar juga, kan? Anu …. Tidak sanggup kubayangkan sama sekali bagaimana dia bertarung …”

Memerhatikan hal serupa selayaknya Subaru, Emilia dan Beatrice mengendurkan bahu mereka juga.

Jika Liliana bertingkah seaktif itu, maka tak salah lagi Liliana berhasil kembali hidup-hidup tanpa luka pula. Dirinya dan pertempuran tempat lain—Pertempuran melawan Kemarahan adalah tempat yang tidak bsia dia bayangkan, tidak strategi maupun kekuatan bertarung diperlukan atau hasil paling tepat.

Subaru telah mempertimbangkan kemungkinan lagu Liliana akan berguna untuk membatasi Wewenang Kekuasaan Sirius, akan tetapi dia tidak tahu caranya mempraktikannya dalam kenyataan. Dia khususnya bertekad ingin mendengar apa yang terjadi di tempat pertempuran mereka.

“Tidak gampang mendekati Liliana sekarang. Mari tunda untuk nanti.”

“Iya …. Lagian, sekarang pasti waktunya lagu Liliana paling dibutuhkan. Kita sela takkan berhasil baik. Ayo tunda bicara kepadanya sampai nanti.”

“Aku setuju, kayaknya. Faktanya, Betty tidak mau bicara sama gadis mengesalkan itu.”

Subaru dan teman-teman menyimpulkan demikian sembari menyaksikan Liliana memetik alat musiknya sambil menyanyikan sebuah lagu sekeras-kerasnya dengan penuh semangat.

Aktualnya, bila mereka cuma menghitung suara nyanyiannya, dia layak menyandang gelar Biduanita. Dia setuju pendapat Emilia bahwa sekarang ini kota membutuhkannya.

“…”

Ketika Subaru lihat-lihat, sosok Kiritaka tepat berada di sebelah Liliana selagi tampil.

Setelan mahalnya berlumuran lumpur dan darah di mana-mana, ada juga bekas robekan di sisi kiri setelannya. Itu hasil dirinya kabur dari peristiwa pembantaian dan menurut cerita Otto, tidak diketahui dia sudah mati atau masih hidup.

“Pastinya tidak ada orang yang pertempurannya mengenakkan …”

Menyadari pandangan Subaru, Kiritaka membungkuk ke arahnya. Subaru melambai kepadanya dan sekali lagi mulai berjalan menjauh dari selter, mencari rekan-rekan berikutnya.

Lalu Beatrice yang berjalan di sebelahnya, berkata:

“Tidak penting-penting amat, tapi orang itulah yang membangunkanku saat aku lagi tidur, kayaknya.”

“Kiritaka?”

“Faktanya, orang itu bahkan sampai menghancurkan sejumlah Batu Sihir Besarnya. Betty tidak peduli apakah itu karena rasa tanggung jawabnya atau tidak, ataukah demi seseorang, kayaknya. Tapi, faktanya itulah yang terjadi.

“… aku mengerti, aku mengerti. Baguslah, Beako. Bagus kau mengatakannya.”

“Hmph.”

Mendengar cerita bantuan yang datang dari sumber tak terduga ini, Subaru membelai kepala Beatrice. Beatrice cemberut, terlihat tidak puas, tapi jelas ini hanya pura-pura.

Menurut cerita yang sempat didengarnya dari Anastasia, tindakan Beatrice sesudah dia bangun juga merupakan kontribusi kelewat penting terkait hasil ini. Bila Kiritaka-lah yang berperan menyembuhkannya, maka bisa dibilang dia memenuhi tugasnya sejalan perannya sebagai eksekutif kota.

“Subaru. Sepertinya orang-orang yang terluka ada di bagian terjauh selter.”

Emilia yang tengah melihat bagian selter tersebut, memberi tahu Subaru selagi dia mengobrol dengan Beatrice. Sewaktu dia lihat area samar cahaya yang ditunjuk Beatrice, di tengah-tengah kesibukan sana, adalah area yang digunakan sebagai rumah sakit lapangan.

Ada tikar serta selimut dihamparkan langsung ke tanah dan beberapa orang terluka terbaring di sana. Ini semestinya tempat pertama yang dikunjungi Felix, jadi kendatipun orang-orang yang berbaring belum sepenuhnya pulih, nyawa mereka barangkali tidak dalam bahaya.

“Apakah artinya merawat begitu banyak orang secara maksimal itu susah, bahkan buat orang seperti Felix?”

“Faktanya, seterampil apa kau dalam sihir penyembuhan, ada batasan jumlah mana yang dapat disimpan seseorang. Seandainya kau berkeliaran menyembuhkan setiap orang yang kau temui, maka mana-mu akan langsung habis, kayaknya. Faktanya, itu keputusan bijaksana.”

Beatrice yang menjawabnya, nampak agak kesal seketika mereka menatap barisan orang telruka. Kendatipun di luarnya dia sembunyikan, dia adalah roh behati lembut yang berperasaan kuat.

Sihir penyembuhan Beatrice cukup efektif, biarpun tidak mendekati Felix. Tapi, kendatipun kami bilang dia punya mana, kuantitas yang disediakan Subaru takkan pernah mendekatinya.

Tidak salah lagi dia kesal dan meratapi kurangnya kekuatan.

“Sebenarnya, aku juga mau berkeliling membantu semua orang menggunakan sihir penyembuhanku, tapinya …”

“Kau punya peran lain, Emilia-tan. Karena itulah sekarang ini, kau harus kesampingkan.”

“Iya, aku tahu.”

Apabila membiarkan diri mereka terhanyut emosi saat ini, mereka takkan mencapai tujuan mereka dan akhirnya kehilangan segalanya. Subaru memperingatkan Emilia agar dia menahan diri, dan selagi mereka berjalan di antara orang-orang yang mengerang sakit karena luka-luka mereka, mereka mencari rekan-rekan di antaranya. Dan segera setelahnya, mereka dapat menemukan pria yang dicari-carinya.

“Natsuki-san, sebelah sini!”

“Eyy, Otto!”

Di deretan terakhir orang terluka, ada seseorang yang melambaikan tangannya. Menyadari sosok familier pemuda tersebut, Subaru dan teman-teman menghampiri dengan perasaan lega.

Berbaring di tempat tidur siap jadi, sembari wajah pucatnya tersenyum samar, dialah Kepala Pejabat Urusan Dalam Negeri Kelas Petarung Fraksi Emilia, Otto Suwen.

“Biarpun sekarang, rasanya aku diberi penghargaan yang betul-betul tidak dapat kulewatkan.”

“Itu bayanganmu doang, Pejabat Urusan Dalam Negeri Kelas Petarung. Sekali lagi dirimu, kisah dengan berkeliling kota mencari-cari darah, mencari musuh. Kau suka melakukannya kan.”

“Tidak lama bakalan ada kabar burung aneh lagi, bisa hentikan klaim sepenuhnya salah ini!?”

Alih-alih menyapa reuni, Subaru saling bercanda dengan Otto yang sedang terbaring. Otto berteriak dan melemaskan bahunya pasrah, setelahnya Subaru berjongkok di sampingnya memeriksa kondisiniya.

Dia nampaknya tak punya luka mematikan, tetapi kedua kakinya kelihatan sakit.

“Otto-kun, lukamu gimana?”

“Sepertinya berjalan akan sedikit menyulitkan hingga saya sembuh, namun selain tidak adanya trauma …. Perihal situasi, Emilia-sama sepatutnya jauh lebih kesulitan, agak terlalu menyedihkan jika saya bilang terluka parah.”

“Itu tak benar. Itu bukti sudah bertarung dengan segenap kekuatanmu, bukan? Pekerjaan Otto-kun saat ini bukanlah untuk bertarung, jadi baguslah tak ada hal buruk terjadi padamu.”

“Sejauh ini, Emilia-sama satu-satunya orang yang punya nalar wajar mengenai pekerjaan Kepala Pejabat Urusan Dalam Negeri.”

“Eh?”

Di hadapan Otto yang bergumam dalam-dalam, kepala Emilia memiring terlihat bingung.

Mengesampingkannya, Subaru meminta penjelasan Otto perihal situasi yang melukainya.

Awalnya, Otto sepatutnya tinggal di Balai Kota dan menunggu laporan dari banyak tempat di titik temu.

“Lukanya bukan gara-gara terlibat keruntuhan Balai Kota, kan? Kata Anastasia-san, yang tinggal di Balai Kota adalah Anastasia-san, Felix, dan AI.”

“Entahlah persisnya apa yang dilakukan tiga orang yang tinggal itu. Ketika aku pergi dari Balai Kota, melewati kanal ibu kota …. Aku berpapasan Kerakusan. Karenanya aku jadi seperti ini.”

“… Kerakusan …. Bangsat itu. Sialan, ada juga Kenafsuan, mau separah apa lagi mereka menghina kita …”

Hati Subaru sekali lagi mula mendidih mendengar nama musuh dibencinya.

Kejahatan Kultus Penyihir sepenuhnya mengolok dan merusak segala sesuatu yang mereka atur dari prediksi mereka. Tingkah laku mereka soal mengabaikan Menara Pengendali adalah ejekan kepada orang-orang yang berperan.

“Untungnya, berkat Felt-sama juga orang-orang Whtie Dragon’s Scales, kami berhasil melawan mereka entah bagaimana. Akan tetapi tanpa bantuan Beatrice-san, aku tidak tahu hasil hasilnya apa.”

“Sekalipun jumlah kami lebih banyak, faktanya, aku tak tahan melihatnya!”

“Iya, ya. Terima kasih banyaaaaaaak.” kata Emilia.

Emilia membelai lembut Beatrice yang membusungkan dada mungilnya.

Percakapannya menyenangkan, tapi yang paling menarik bagi Subaru adalah tindakan Otto. Buang hasil pertemuan Kerakusan dan alasan sedari awal dia meninggalkan Balai Ktoa.

Kendati dia keluar formasi untuk mencegat Kenafsuan, dia seharusnya tetap tinggal di selter dan tidak berbuat lebih. Semestinya tidak perlu meninggalkan selter dan berjalan-jalan di kota.

“Ada tuntutan dari Kultus Penyihir …. Prioritas memperoleh suatu Kitab.”

Menebak keraguan Subaru, Otto bicara lirih.

Kitab yang diminta Kultus Penyihir, dia agak sedikit membicarakannya, boleh jadi sebagai pertimbangan kalau Emilia sedang mendengarkan di belakang Subaru. Subaru mengangguk terhadap kekhawatirannya.

“Orang yang bersama spesialis pemulihan, namanya siapa?”

“Itu Tuan Darts. Tidak ada yang tahu kalau ditugaskan untuk dipulihkan olehnya …. Tetapi, tuk betul-betul memastikannya, aku mencoba mengumpulkannya. Ujung-ujungnya, aku menemui Kerakusan sebelum bertemu Tuan Darts dan inilah hasilnya.”

Dia paham alasan Otto meninggalkan Ibu Kota dan berjalan-jalan di sekitar kota terlepas dari ancaman Kultus Penyihir. Sekali lagi, mencoba mengisi bagian yang tidak dapat diperhatikan Subaru.

Dia belum berpikir matang-matang tentang serangan Balai Kota sekaligus pemulihan Kitab Kebijaksanaan.

“Paling tidak konsultasikan dulu bersamaku. Kita itu teman, kan?”

“Emilia-sama diculik, dan kau pun menanggung takdir kota di punggungmu bagai seorang pahlawan, kau mau aku kasih beban menyebalkan lain? Maaf. Aku tidak bermaksud menekan teman-temanku dengan ketololan ini.”

“Duh.”

Otto maksudnya bercanda, dia tidak terduganya malah membalasnya dengan kata-kata membahagiakan, membuat Subaru menggerutu. Melihat percakapan mereka, Emilia dan Beatrice saling menatap dan mendesah panjang.

“Orang-orang ini tak jujur, kayaknya.”

“Kurasa normal bagi mereka. Tapi, Kitab itu …? Sebaiknya kita ambil. Anu, kira-kira di mana …”

“Ah, akan aku urus. Atau aku minta Garfiel. Emilia-tan jangan kelewat merisaukan Kitab itu.”

“Iya?”

Dia tidak ingin Emilia terlalu banyak terlibat dengan Kitab Kebijaksanaan.

Kompabilitasnya terbalik dengan Kitab, dan juga semacam relik yang seorang Penyihir tinggalkan. Tidak mendekatkannya ke Emilia sebisa mungkin adalah salah satu ketetapan hati Subaru.

“Tapi, orang-orang yang menemui Kerakusan adalah Felt dan White Dragon’s Scales, kan? Sisihkan tentara bayaran berpakaian putih, Felt tidak bersembunyi di suatu tempat?”

“Tapi, aku beneran tidak bisa membayangkan gadis itu diam di satu tempat, mungkinkah …”

“Aku setuju dengan itu.”

Felt dan yang lainnya telah menangkap ayah Reinhard—Heinkel, dan dia dengar mereka sedang menjaganya. Oleh karena itu, mereka seharusnya tak ikut perebutan kembali Menara Pengendali, meski barangkali tidak ada yang menyampaikan keputusannya.

“Jadi, Felt di mana?”

“Beliau kelelahan, namun tidak punya luka-luka seperti ini. Beliau buru=buru keluar dari selter saat ini, untuk menjemput bawahan yang beliau bawa.”

“Ton Chin Kan, kan? Aku sudah dengar itu, kedengarannya orang-orang itu bekerja sangat baik.”

Trio yang kesannya sama-sama baik-buruk, tetapi tidak satu pun hadir di sini. Subaru punya hubungan pernah dibunuh sekali oleh mereka, namun alih-alih suatu hari kelak membalas dendam, dia mencoba meninggalkannya ke masa lalu.

Intinya, hasil yang bagus dia bisa memastikan keamanan fraksi itu. Setelahnya, mereka akan menangani tugas yang ada hubungannya dengan Kitab Kebijaksaan, lantas masalah selanjutnya adalah—

“Natsuki-san—Berhati-hatilah di selter berikutnya.”

“Selter berikutnya …?”

Otto melirihkannya kepada Subaru yang tenggelam dalam pikirannya. Ada emosi bergejolak yang Otto masukkan dalam suaranya, suara Subaru juga alamiahnya merespon lirih.

Otto mengangguk sedikit mendengar reaksi Subaru.

Lalu …

“Salah satu Uskup Agung Dosa Besar ditahan di sana.”


“Apa-apaan ini, kaukah, rakyat jelata? Beraninya menunjukkan wajah burukmu di hadapan kami. Kelancangan itu layak dikagumi melampaui kata kagum.”

Subaru meninggalkan selter yang telah dibuat menjadi rumah sakit lapangan dan menuju selter selanjutnya mengikuti kata-kata Otto.

Dibandingkan selter sebelumnya, skala selter itu cukup kecil. Jikalau selter sebelumnya bak tempat parkir pusat perbelanjaan, selter ini banter-banternya seluas tempat parkir sepeda.

Segera setelah dia mendapat kesan samar akan tujuannya, biarpun selter, itu mungkin berbeda, wanita berbaju merah yang memposisikan diri di pintu masuk bangunan menukasnya kepada Subaru.

Nama wanita itu adalah Priscilla Barielle.

Di antara kandidat Pemilihan Raja yang berkumpul di kota, dialah orang yang sepenuhnya kurang kepribadian kooperatif.

Walau begitu, bahkan seseorang sepertinya tidak salah lagi merupakan sekutu dapat diandalkan. Selain itu, Priscilla yang bertanggung jawab atas monster asing, Sirius sang Kemarahan.

Kemampuannya menghancurkan ancaman tersebut terlampau baik sekali, dan bisa pulang adalah hasil yang harus dipuji dari dalam hati.

“Kau tidak suka wajahku itu subjektivitas prbadimu, jadi tidak apa-apalah, sementara waktu, kerja bagus kalian berdua. Aku senang kalian kembali hidup-hidup. Aku tak menyanjungmu.”

“Subjektivitas pribadiku adalah rasa estestika yang bahkan paling dihormati seantero dunia. Bahkan tidak ada gunanya mengevaluasi yang hendak kau ucapkan …. Yah, baiklah. Akan tetapi, tiada kata dapat kau ujar demi membenarkan kebutaanmu dengan mengatakan aman ketika melihat diriku.”

“Ah? Apa kau terluka atau semacamnyakah?”

Priscilla sedang duduk di kursi pintu masuk selter, mengipasi dirinya sendiri. Melihat cermat-cermat tubuh atas-bawahnya, Subaru tidak menemukan luka atau yang dia pikirkan.

Tidak, bukan luka. Kulit putih Priscilla tak ada satu goresan pun di sana, bahkan gaun yang dikenakannya tidak terdapat setitik pun debu atau kotoran. Misalkan ada perbedaan antara sebelum dan sesudah pertempuran, maka aksesoris leher dan rambutnya yang tergerai.

“Kalung dan jepit rambutmu, kau kehilangannya di suatu tempat?”

“Hmm. Jadi bahkan rakyat jelata bermata tak tajam sepertimu akan menyadarinya jika dia seorang wanita? Sekalipun aku tidak suka cara tidak sopan menyebutnya kalung begitu. Terasa membawa kebencian.”

“Kau yang tidak baik-baik saja, kenyataannya, kau membicarakan aksesorismu …”

Kepada kata-kata naif dan polos Emilia, Priscilla mendengus sebagai jawabannya.

Tentu saja dia sekarang kehilangan kalung mewahnya yang bertahktakan permata, juga jepit rambut yang menguncir rambut jingganya. Bau wangi pesonanya meningkat seketika melepas rambutnya yang biasanya terkuncir, dasar wanita berdosa.

Dari awal, pancaran Priscilla lebih mirip bunga beracun. Seandainya kau dekati, kau akan disengat.

“Jadi, aku tidak mau disengat. Mengapa kau repot-repot tinggal di selter ini? Tidak kusangka kau punya kepribadian terpuji untuk sukarela menjaganya.”

“Lawakan bodoh. Diriku tak harus terlibat dalam jenis pekerjaan yang rakyat jelata lakukan. Sebetulnya bukan niatku berada di tempat semacam ini, namun aku tidak boleh memperkenankan orang lain melihat kecantikanku sekarang. Jadi aku menghindari tatapan publik sebagai komprominya. Lagi pula, AI bersikeras.”

“Pikirku dia berusaha langsung menyangkalnya jika dia di sini.”

Selagi Subaru membayangkan gerak-gerik lebay penolakan berlebih dari pria berhelm besi, Subaru menatap pintu selter. Dia tidak melihat sekilas pun helm besi tersebut, namun dengar-dengar dia berada dalam selter ini. Dengan kata lain, dia tidak di luar, melainkan di dalam, dalam bangunannya—di sebelah Uskup Agung Dosa Besar.

“Apa AI menjaga di dalam?”

“Begitulah. Kita tidak tahu hal jahat apa yang akan terjadi bila kita biarkan. Karenanya AI menjaganya. Kalau dia, dia seharusnya bekerja dengan baik.”

“… kau tidak mengira dia mencoba membunuhnya. Itu tak terduga.”

“Dia boleh melakukannya seandainya dia mau. Diriku takkan menghentikannya.”

Apa Priscilla bosan menjawab Subaru? Priscilla menguap seraya menutupi mulutnya dengan kipas. Seperti itulah caranya mengekspresikan ketidakpeduliannya kepada pertanyaan Subaru.

Priscilla tidak berniat menghentikannya memasuki bangunan. Subaru menatap pintu masuk selter, dan menyentuh dadanya yang detak jantungnya sedikit lebih cepat.

“Subaru, kalau kau takut masuk, tidak usah memaksakan diri …”

“Benar. Kurasa kita tidak akan dapat apa-apa, kayaknya.”

Emilia dan Beatrice keduanya sama-sama mengungkapkan pendapat mereka kepada Subaru yang menghentikan langkahnya. Dia merasa ingin dimanjakan oleh kecemasan mereka. Namun begitu pemikiran itu membesit di benaknya, sudut mata Subaru menyadari tatapan jahat Priscilla menatapnya.

Tatapan yang menganggap seluruh keraguan serta kebimbangan Subaru lelucon membosankan.

Subaru maju atau mundur, penilaian Priscilla perihal Subaru kemungkinan takkan berubah. Bagi Subaru yang tidak tanggung-tanggung masih dinilai paling rendah, dia tidak pedulikan.

Dia tak mengindahkannya, namun dia menyayangkan dua orang yang bersamanya pun dinilai demikian.

“Aku masuk. Bagaimanapun, bukan persoalan yang bisa aku hindari.”

“…”

Subaru membulatkan hati, dan mereka berdua tidak mendukung atau menentang. Mereka hanya berdiri di sampingnya untuk menghormati kehendaknya.

Kemudian mereka berdua menemani, Subaru melangkah ke dalam selter gelap. Priscilla bahkan tidak melihat punggung mereka lagi. Bagi Subaru itu persis sifat Priscilla.

Suara derap langkah kaki gemeretak, mereka bergerak maju ke bangunan batu. Segera mereka dapat melihat ujung lorong, di depan jalan setapak yang berbelok ke kiri …

“—kaukah, saudara? Aku dengar suara Putri, jadi kukira dia sedang bicara sama seseorang.”

Meringkuk di lorong, membawa Pedang Naga Biru di bahunya, helm besinya—AI tengah menunggu mereka. Seketika melihat Subaru dan yang lain menuju dirinya, dia mengalihkan perhatian ke Emilia.

“Oh, tampaknya Nona juga baik-baik saja. Kerja bagus, saudara.”

“Karena keamanan Emilia-tan adalah syarat minimumku. Selain itu soal dirimu, aku dengar kau menemui banyak masalah. Irasionalitas Priscilla khususnya, itu gila.”

“Ah, kau benar-benar serius. Tapi tetap saja, aku pun bertanya-tanya ada apa sama dirinya kali ini. Yah, bukan, aku hampir senantiasa bertanya-tanya apa yang terjadi, jadi aku tidak punya kekuatan persuasif.”

“Tapi, nampaknya kau tidak membencinya …?”

“…”

AI yang mengomel bak mengeluhkan nyonyanya, Priscilla, langsung dihantam ucapan polos Emilia. Subaru tidak bisa melihatnya sebab disembunyikan dalam helm, namun di balik helm rasanya seakan dia membentuk bibirnya wujud へ3.

Praktisnya, AI adalah seorang pria yang selalu diseret ke mana-mana oleh Priscilla, dan terlepas dari itu dia masih ingin menjadi pelayannya. Subaru tebak mereka punya hubungan yang orang lain tak pahami.

Sesaat, AI memutar lehernya di lingkungan yang terasa bagaikan melahapnya, dia tepuk pundaknya dengan punggung Pedang Naga Biru dan mendadak mengarahkan pandangannya ke belakang lorong …

“Agak terlambat hingga kau datang sejauh ini, tapi …. Apa kau datang buat berbicara dengan Uskup Agung Dosa Besar?”

“Kau kira ada tujuan lain, kayaknya? Faktanya, kau pikir kami repot-repot ke sini untuk ngobrol sama penjaganya, tidak mungkin kami membuang waktu-waktu.”

“Gadis ini betul-betul pedas, ya? Jangan sampai seantusias itu, Beako … kan?”

“…”

Di hadapan tatapan dingin dan tajam Beatrice, AI sengaja menggeleng kepala. Menjaga Beatrice yang sepertinya mau mencekiknya, terlepas dari perbedaan tinggi mereka, Subaru melotot kepada AI yang memulai provokasi tidak penting ini.

“Kurang lebihnya aku paham kau jengkel, jangan provokasi dia. Beako, kau juga jangan terpancing. Atasi dengan wibawa orang dewasa.”

“Betty hanya akan mengizinkan Subaru memanggil Beako, kayaknya. Lain kali kau memanggilku begitu, faktanya, balasan yang mengerikannya bukan main menantimu.”

“Iya, iya, aku ngerti. Kau tidak bisa lebih dingin lagi.” ucap AI.

Seraya bicara, AI pindah ke sisi koridor dan memberi jalan untuk mereka. Terlihat sebuah pintu di depan mereka ketika bergerak lebih jauh ke lorong. Kemungkinan besarnya, Uskup Agung Dosa Besar dikurung di sana.

Mendadak, bagian belakang leher Subaru kesemutan, komplain karena perasaan tegang.

“Uskup Agung Dosa Besar ada di dalam. Dia ditahan agar tidak bisa berbuat jahat, jadi sementara ini, kupikir takkan ada pembantaian—Juga, aku berikan satu nasihat saja.”

“Nasihat?”

“Saudara, Nona dan roh itu juga. Mendingan mereka kembali tanpa bicara padanya. Terlibat tidak ada gunanya. Tinggalkan ini, dan kembalilah.”

“… mustahil kami bisa melakukannya.”

Menurunkan suaranya, opininya sungguh-sungguh tulus yang dia tuturkan dengan suara serius. Menolak perkataannya dengan gelengan kepala, Subaru jawab dia tidak bisa melakukannya dan menolak sarannya.

Dan merespon jawaban Subaru, AI bilang, “Sudah kutebak.” sambil mendesau.

“Apa pun yang kukatakan, kurasa aku takkan terlalu meyakinkan. Kali ini, tabiatku di sini salah, aku takkan berdalih.”

“Bukan itu alasannya. Yah, benar memang kau tidak kooperatif, namun bukan berarti aku takkan mendengarkanmu. Jangan salah sangka.”

Mempertimbangkan kata-kata buruk AI yang mengecam pribadi, Subaru menunjuk pintu di ujung lorong. Tugas yang dimilikinya dengan orang di dalam adalah satu-satunya masalah Subaru.

Apakah niatnya telah disalurkan atau tidak, AI duduk dengan bunyi pluk di tempat. Lalu sambil menunjuk pintu di ujung dengan kepalanya, dia bilang:

“Kuharap kau tidak kehilangan kendali akan dirimu selagi bicara.”

“OK, jangan ragu membantuku kalau-kalau terjadi sesuatu.”

“Bila itu terjadi, aku kirim Putri, jadi apa pun yang terjadi, dia akan langsung mengirimnya ke surga.”

Bertukar percakapan terakhir, Subaru dan yang lain mengucapkan selamat tinggal kepada AI dan menuju pintu. Ada sesuatu melayang yang membuat mereka merasakan tekanan aneh terkait pintu yang mengantar mereka ke ruangan tertutup.

Setelah sampai di sana, biarpun berusaha, Subaru tidak dapat hindari, lantas dengan tekadnya Subaru meraih gagang pintu dan membuka paksa.

—ruangan sempit yang aliran udara di dalamnya berbau debu.

Sumber cahayanya kecil dan redup, bahkan untuk seukuran selter hanya terdapat barang utama. Ruangan sempit yang selebih-lebihnya cuma bisa muat lima-enam orang, andai kau penuhi ruangannya; kurangnya udara bisa dirasakan di dalamnya.

Dan di tengah-tengah ruangan.

“—aha. Jadi kau datang, sayangku. Maaf atas ketidaknyamanannya? Terima kasih.”

Di atas kursi tua, seluruh tubuhnya terikat penuh rantai, ada monster itu—Sirius tengah menunggu mereka.

Catatan Kaki:

  1. Kalimat yang gua miringkan Bahasa Inggrisnya adalah Pure as the driven snow, maksud driven snow adalah salju melayang-layang, tidak tersentuh atau terpijak (jika di tanah) dan bersih. Jadi ya gua terjemahin aja murni semurni salju bersih. Mager riset lebih lanjut, hehe.
  2. Zaman Shōwa (昭和) atau Periode Shōwa (25 Desember 1926–7 Januari 1989) adalah salah satu nama zaman di Jepang pada abad ke-20. Zaman Shōwa berlangsung pada masa pemerintahan Kaisar Shōwa (Hirohito), sejak Kaisar Hirohito naik tahta pada 25 Desember 1926 hingga wafat pada 7 Januari 1989. Tahun Shōwa berlangsung hingga tahun 64 Shōwa, dan merupakan masa pemerintahan terpanjang dari seorang kaisar di Jepang (62 tahun 2 minggu), walaupun tahun terakhir zaman Shōwa (tahun 64 Shōwa) hanya berlangsung selama 7 hari.
  3. Bentuk へ pada dasarnya tuh bentuk mengerutkan kening.
Share this post on:
Subscribe
Notify of
guest
4 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Asuna

Chapter 76 kenpa tak blh buka min??

Wesly

Bang perlu ada donasi kah supaya d lanjut tl nya soalnya sy yakin dsni banyak jg yg nungguin dan mereka pasti gk masalah kalo ada donasi asal gk banyak hehehe