Share this post on:

Hasil Pertempuran Memperebutkan Pristella III

Penerjemah: DarkNier

Uskup Agung Dosa Besar Kemarahan. Seorang monster berbalut perban yang mengaku sebagai istri orang gila itu, Kemalasan.

Sirius Romanee-Conti seluruh tubuhnya diikat rantai senjatanya sendiri dan dia dikurung di suatu ruangan dalam selter tanpa bisa bergerak.

“Aku kebosanan karena tidak ada yang datang, mendekat juga tidak. Tapi, mereka memanggilmu, sayangku. Terima kasih, maaf? Berkat semua orang, sepertinya kita bisa punya reuni membahagiakan …. Walaupun nyatanya ada beberapa gangguan pula.”

Saat melihat Subaru masuk ruangan. Suara Sirius menyambut. Akan tetapi, bagian terakhir kata-katanya serba amarah intens kepada Emilia dan Beatrice.

“…”

Seperti biasa, rupanya Sirius salah menganggap Subaru sebagai tubuh yang dirasuki Betelgeuse, atau semacamnya. Tentu saja, hanya sesuatu yang ingin Sirius percayai saja.

Selagi diliputi tatapan kuat monster yang memancarkan kegilaan, dia benar-benar bertingkah aneh, Subaru mengangkat bahu bak menutupinya dan berkata:

“Kau cukup tenang padahal jadi tawanan. Entahlah apakah Priscilla berusaha menangkapmu sesuai keinginannya atau tidak, tapi kami takkan melepaskanmu hidup-hidup.”

“Walaupun kau bilang begitu, mereka juga tidak bisa mudah menyingkirkanku, kan? Terima kasih. Aku tahu kau memedulikan keamananku. Tapi, maaf? Kau repot-repot cemas, tapi itu tak masuk akal bagiku. Seperti itu, bukan?”

Dengan pemikiran aneh ini, Sirius menafsirkan ancaman Subaru sebagai hal positif. Monsternya tetap tenang di kursi dan hanya menggetarkan sedikit suara seraknya …

“Lantas selama ada Cinta untuk memikirkan pihak lain dan mendambakan pihak lain berada di hati semua orang, tidak ada yang dapat menyangkalku. Bahkan berlaku sama untuk gadis sombong itu.”

“… Wewenangmu mestinya tidak berfungsi kepada Priscilla dan Liliana. Bukan berarti takkan ada yang menyakitimu.”

“Tapi itu bukan kau. Apa pun yang bukan dari dirimu, apa pun itu, pada akhirnya tidak masuk akal bagiku. Terima kasih, maaf?”

“—cih.”

Subaru menggertakkan giginya kepada Sirius yang mengendurkan bibir diperbannya menjadi senyuman. Tampaknya percakapan telah terjalin, namun kenyataannya tiada pemahaman di antara mereka.

Nilai tegas dalam diri Sirius bahkan tidak menerima sedikit pun rangsangan luar. Semakin menghantamnya, kian terluka Subaru.

“Subaru, faktanya, itu sia-sia. Sia-sia mengharapkan emosi manusia semacam intropeksi diri atau empati dari orang sepertinya, kayaknya. Faktanya, orang ini hanya jahat saja.”

“… roh berwujud gadis, jangan dekat-dekat Betelgeuse berhargaku.”

Saat Beatrice menarik lengan baju Subaru yang tengah mengatupkan giginya, Sirius blak-blakan mulai bertingkah kesal. Beatrice mendengus kecil mendengar kata-kata monster itu dan semakin lebih nempel menarik lengan Subaru.

“Sayang sekali, kayaknya. Tapi Betty milik Subaru, aku dibutuhkan di sini, dan di sinilah aku, kayaknya. Jangan beraninya memanggil Subaru dengan nama menjijikkan itu. Kau bahkan tak tahu arti sejati nama itu.”

“Jangan sok, anak kecil. Sisi orang itu adalah tempat yang aku susupi hati dan tubuhnya. Jangan berani-beraninya menunjukkan pengabdian sembarang dan kelirumu kepada orang itu. Aku bakar punggungmu, bakar bagian dalam perutmu jadi abu dan menugbahmu menjadi pupuk untuk Od Lagna.”

“Kalian berdua, jangan naik pitam dan bertarung. Nanti membuatku marah juga.”

Tatkala suasana berkecamuk diciptakan Sirius dan Beatrice, tatapan menyela Emilia menajam. Subaru dalam situasi tengah dikelilingi tiga wanita, ditarik lengannya, namun Subaru tidak bebas bercanda tentang itu sekarang.

Demikianlah perasaan desakan kuat yang dirasakan dalam jiwanya dengan berada di sebelah Sirius. Dia tidak yakin apakah disebabkan Wewenang yang monster itu miliki.

“Emilia, Beatrice, mundur. Barangkali dia cuma akan bicara denganku. Meski, terlepas dari ada orang di sini atau tidak …. Meragukan mau tidak maunya dia berkomunikasi.”

“Tapi …” sangkal Emilia.

“Tolonglah—Ini kesempatan tak terduga untuk bicara dengan Kultus Penyihir.”

Andai bukan karena situasi ini, dia takkan berkesempatan duduk dan bicara dengan Kultus Penyihir.

Emilia mendesah diminta Subaru, baik Emilia dan Beatrice tukar pandang satu sama lain; mereka mundur selangkah agar tidak menganggu pembicaraan Subaru dengan Sirius.

Lalu Subaru yang dipercayakan situasi ini, berbalik menghadap monster terikat itu sekali lagi.

“Sesuai keinginanmu, aku akan bicara padmau. Jadi kau dari tadi menderitkan rantaimu, berhenti bergerak. Misalkan kau lolos dari ikatanmu, kami terpaksa menghajarmu.”

“Kau pun punya sudut pandang. Aku pahami itu. Tidak apa. Rantai ini takkan lepas atau gampang hancur. Terima kasih.”

Sirius tertawa senang terhadap perilaku Subaru yang mencoba berkomunikasi dengannya.

Tidak menyiratkan kalau sosok Emilia dan Beatrice tak dalam pandangan, namun nampaknya Sirius seratus persen menendang mereka dari perhatiannya.

“Lantas, kita harus membicarakan apa? Sebab hubunganmu denganku, nyaris tiada yang dapat dikatakan di antara kita …. Kita bisa saja bertukar Cinta, bagaimana? Cuma bercanda, maaf?”

“Tujuanmu …. Iya, tujuanmu. Tujuan di balik kalian semua para Uskup Agung menyerang kota ini berbarengan. Kalian tidak butuh omong kosong semacam kitab atau roh buatan. Paling tidak, kami tahu betul tujuan kalian semua bukannya buat mencurinya.”

“Ini kesalahpahaman yang sebetulnya tidak kami maksudkan. Biarpun, tentunya aku pribadi tidak menginginkannya. Aku tak tahu yang lain bagaimana, namun aku semata-mata mengikuti deskripsi Kitab.”

“Kitab …. Itu lagi? Sama sebagaimana Betelgeuse. Mengapa kalian semua mengikuti Kitab aneh itu? Betelgeuse mengikutinya pula.

Alhasil, dia kehilangan nyawanya.

Deskripsi Kitab mengemukakan masa depan yang mesti diikuti seorang pemiliknya—Namun demikian, Kitabnya tidak mahakuasa, Subaru pikir itu hal jelas misalkan memikirkan momen-momen terakhir orang sinting itu.

Subaru mengetahui jalan masa depan yang dapat dilihat tidaklah mutlak.

Tapi meski begitu …

“Kenapa juga Kultus Penyihir mengikuti persis kata-kata Kitab itu? Apa karena Kitabnya akan membantu kebangkitan Penyihir …. Penyihir Kecemburuan tersayangmu?”

“—mohon jangan salah paham, sayang.”

“Salah paham?”

Emosi gembira Sirius mendadak hilang dari suaranya begitu mendengar suara menuduh Subaru.

Selagi monsternya menatap mata Subaru yang berkilat-kilat, wajahnya yang dibalut perban, dia memelintir bibirnya hingga memperlihatkan gigi menguningnya.

Lalu, dia bicara.

“Kaulah satu-satunya orang yang aku cintai. Kau seorang. Aku tidak memedulikan Penyihir. Semuanya, hanyalah hal-hal penting untuk mencapaimu.”

“…”

“Para Uskup Agung lain pun serupa. Mereka semua hanyalah nafsu menjijikkan tak krusial dan tidak berharga, memegang teguh Wewenang mereka belaka. Bagiku, satu-satunya alasanku adalah Cinta, dan demi sayangku tercinta, itu berbeda. Maaf? Berbeda dalan segala halnya.”

—tujuan Kultus Penyihir adalah kebangkitan Penyihir Kecemburuan.

Subaru meyakininya tanpa ragu bahwa memang begitu, mengingat gelagat dan ucapan Betelgeuse Romanee-Conti, selain itu, keyakinan serta tindakan barbarisme yang didengarnya perihal Kultus Penyihir hingga kini.

Namun prinsip tersebut—alasan utama keberadaan kelompok bernama Kultus Penyihir diguncang di sini.

Tentu saja, Subaru pun pernah bertemu Regulus Corneas dan mereka berbicang-bincang pula.

Seketika dia memikirkan pria sombong dan egosentris itu, meremehkan semua orang selain dirinya, hendak mengidolakan sang Penyihir, perasaan tidak enak Subaru jadi lebih kuat.

Setelah dia bahas, itu jelas. Makin-makin Subaru pikirkan, semakin dia bisa dapat kesimpulan lebih baik. Namun jikalau sudah seperti ini, maka apa tujuan keberadaan Kultus Penyihir?

“Terus, kenapa juga kalian semua ada di Kultus Penyihir …”

“Karena ada kau di sana.”

“…”

“Itu tujuanku satu-satunya. Aku di sini tuk mengadu cinta bersamamu. Entahlah yang lainnya bagaimana. Bila kita menjadi satu, aku pikir kau mengerti.”

Menjadi satu, singkatnya, boleh jadi meleburkan hati mereka satu sama lain menggunakan Wewenangnya.

Tetapi itu bukan saling memahami, namun kepatuhan paksa. Tidak bisa menyebut memaksakan hati melawan kehenedaknya dengan mengikatnya pada emosi sama sebagai cara tuk memahami satu sama lain, apalagi menjadi satu.

“Apa tujuan para Uskup Agung? Apa tujuan utama Kultus Penyihir?”

“Yah, siapa tahu? Maaf. Sayangnya itu sesuatu yang tidak menarik minatku.”

“Secara umum, Kultus Penyihir saling bertemu di mana? Apa ada yang memimpin?”

“… tidak. Apalagi mengingat rutinitas yang sudah ditetapkan. Kau pun tahu itu.”

Sembari tersenyum sinting di balik perbannya, Sirius mengelak pertanyaan Subaru. Tidak, dia barangkali tak berniat mengelaknya.

Monsternya akan menjawab tulus jawaban suaminya, Betelgeuse, dengan cara monster.

Karena perilakunya sejauh ini, nampaknya tidak salah lagi Sirius punya pengabdian besar kepada Betelgeuse, melebihi ketergantungannya.

Dengan kata lain, seperti halnya pernyataan monster, dia betul-betul tak tahu apa-apa.

“—biar begitu, lagian, seperti itu?”

“…?”

Sirius menggerutu sambil melihat sosok Subaru dari bawah.

Subaru bereaksi sedikit lambat pada kalimat patah-patah itu. Monsternya memanfaatkan celah sesaat dari sana.

Kursi kecilnya berderit ketika dimajukan, lalu wajah Sirius mendekat ke wajah Subaru. Mata merah berdarahnya menatap Subaru yang refleks menahan napasnya dari dekat.

Sirius memajukan kursinya, masih mengikat pergelangan kakinya, kemudian menyeimbangkan diri menggunakan jari-jari kakinya saja yang hampir tidak bebas. Tubuhnya bergerak maju disuntik momentum hingga condong ke Subaru.

“… oh.”

“Kukira ada yang aneh semenjak kita bertemu kembali di menara jam, tapi aku yakin. Gairah hari itu tidak tersisa sama sekali pada matamu—Sayangku, apa kau sedang ditelan?”

“…”

“Kau sedang dimakan jiwa, oleh tubuh yang semestinya menjadi timpat tinggal sementara, dan kau akhirnya tidak bisa bergerak …. Sungguh, kau orang tidak berguna tanpa aku.”

Lidah panjang Sirius menjilat pipi Subaru dengan curiga sembari menghembus napas panas. Merasakan ujung lidah kasarnya di kulit, setiap helai rambut tubuh Subaru berdiri tegak.

Rasa tak nyaman yang bangkit dalam dadanya, serta di balik matanya memerah tua. Gila menganggap fenomena ini disebabkan tindakan kejinya.

Gila memikirkannya, namun dia tidak merasa bisa mempertimbangkan hal lain. Kemudian—

“TEKNIK ICE BRAND!”

“UGH—fuuhh.”

Pukulan palu es menukik diagonal dan menghantam tubuh Sirius yang selama ini menempel ke Subaru, lalu melemparnya ke dinding belakang bersama kursinya.

Suara hantamannya tinggi, dan Sirius yang menerima pukulan sedingin es tanpa pertahanan ini, jatuh. Debu berhembus melintasi ruangan sempit tersebut, dan serpihan dari langit-langit berjatuhan.

“Uh, ha …?”

Berdiri di samping Subaru yang akhirnya jatuh berlutut, Emilia menghilangkan palu es yang dia buat. Subaru yang lamban menyadari Emilia-lah yang melancarkans serangannya tanpa peringatan dulu, menghembus napas panjang.

Dia betulan tidak mampu memahami apa yang terjadi selama ini.

“Subaru beneran bego, kayaknya.”

“—cih. Beako?”

Di tengah hantaman dan suara serak, Subaru berkedip, menyadari pipinya ditampar. Orang yang menampar pipinya adalah Beatrice yang duduk di dekatnya. Sudut matanya menatap Emilia dan bilang:

“Seandainya Emilia tidak menginterupsi tadi, faktanya, Betty pasti akan melakukan hal sama. Kau kelewat ceroboh di sekitar orang seperti itu, kayaknya. Hal terburuknya, dia bisa-bisa merobek tenggorokanmu dengan giginya.”

“…”

Subaru menyadari kecerobohannya sendiri berkat perkataan Beatrice. Tidak berlebihan atau sesuatu yang bisa ditertawakan. Aktualnya, Sirius menjilat pipi Subaru dengan lidahnya.

Mengesampingkan sikap memuakkan tindakan itu, sekiranya lidahnya taring, dan alih-alih pipinya, maka lehernya akan kena, Subaru takkan sanggup menghentikannya.

“Jangan coba-coba hal aneh. Aku sedikit ceroboh, jadi tidak terlalu ahli menahan diri. Selanjutnya akan jadi pukulan yang sangaaaaaaaaat menyakitkan.”

Emilia menyatakan dia tidak berniat menahan diri, sembari menjaga kewaspadaannya pada Sirius roboh.

Sirius betul-betul terikat, karena itulah dia tidak bisa bergerak—Tindakan penanggulangan berlebih yang akhirnya mereka terapkan  terhadap lawan tahanan dalam kondisi ini adalah bukti monster itu makhluk jahat.

Sepertinya Subaru melupakannya di depan ancaman Wewenang Kekuasannya, akan tetapi, Uskup Agung Dosa Besar Kemarahan ini menonjol dari yang lain, bahkan dari kekuatan tempurnya sendiri. Sekilas, orang-orang akan mengira yang paling kuat di Kultus Penyihir adalah Regulus sang Tak Terkalahkan, namun kenyataannya, Keserakahan mengandalkan penuh Wewenang Kekuasaannya, ancamannya rendah.

Kekuatan yang tidak bergantung kepada Wewenang Kekuasaan, sekaligus ancaman kekuatannya—dalam hal ini, Uskup Agung Dosa Besar lain jauh lebih tangguh ketimbang Regulus.

“Subaru, kau harusnya sudah tahu ini, kayaknya. Kau takkan dapat apa-apa, faktanya, meskipun kau bicara sama orang ini. Dia bukan tipe orang yang bisa kau ajak ngobrol. Aku tak tahu dia tahu apa, tapi sekalipun kau berharap mengorek sesuatu darinya, kau takkan bisa berbincang waras untuk mencari tahu apa yang diketahuinya, kayaknya.”

“Kalau mustahil bicara dengannya …”

“Ajukan pertanyaan ini ke tubuhnya, yang kumaksud tuh penyiksaan. Kendati bukan sesuatu yang dilakukan Subaru, kayaknya. Faktanya, itu hal yang sesekali dilakukan Kerajaan setelah menangkap seseorang.”

Beatrice menarik lengan Subaru untuk membantunya berdiri seraya mengungkap sudut pandang kejam tersebut.

Penyiksaan, Subaru merasa tidak enak sama kata itu. Juga kematian dan kebrutalan, kata-kata itu tidak dia dengar atau katakan sehari-harinya.

Kendatipun dia tak tahu kenyataannya, perihal seberapa banyaknya hal mengerikan yang dipraktikkan, jika hal-halnya bisa diimajinasikan, Subaru paham. Serta penderitaan orang-orang disiksa.

“Kurasa mereka tidak pantas mendapatkan itu.”

Mentalitas Subaru tidak naif-naif amat hingga percaya sifat manusia dasarnya baik.

Dia tak berpikir semuanya mesti berakhir dengan Kematian perkara menyelesaikan pertempuran; pemikiran ingin menyelesaikan segala hal tanpa membunuh sebisa mungkin selalu menjadi sifatnya. Itulah nilai moral yang dia bawa dari dunia nyatanya, dan hal itu sendiri merupakan kenaifan yang tidak sanggup dilepaskan Subaru.

—tapi, sekalipun demikian, senantiasa ada kesimpulan yang melampaui batas-batas moral tersebut.

Kalau bisa, dia lebih ingin menuntaskan semuanya tanpa membunuh. Pada akhirnya, pemikiran tersebut berarti dia harus membunuh lawan-lawannya yang perlu dibunuh.

Idealismenya berlaku kepada dua Uskup Agung Dosa Besar, Betelgeuse dan Regulus. Dan takkan berbeda soal Uskup Agung Sirius, Capella, dan Alphard sang Kerakusan pula.

Dia merasa benci, dan nafsu akan balas dendam. Namun di sisi berbeda dari sana, ada niat yang bertekad bahwa orang-orang itu adalah orang yang kudu dia bunuh.

“Aku takkan bicara padamu lagi. Saat kita berpisah di sini, boleh jadi aku takkan dapat lagi kesempatan untuk bicara denganmu. Kurasa itu bukan hal disayangkan atau disesalkan. Tapi, cepat keluarkan yang ingin kau katakan dan setelahnya kau bisa beristrirahat dengan damai …. Itu baik untukmu.”

Menyuruh orang untuk Mati tepat di depan wajah mereka membuatnya sulit bernapas.

Subaru hanya mengatakannya dan hendak meninggalkan ruangan karena tidak ada yang bisa disampaikan lagi. Sesuai ucapan Beatrice, apabila mereka mencoba mencari informasi dari Kultus Penyihir lewat Sirius, mereka tidak punya cara lain selain menyiksanya. Itu tugas berbeda, tugas yang tidak bisa dilakukan Subaru.

Sesaat Subaru menunjukkan niatnya untuk pergi, baik wajah Emilia dan Beatrice lega. Mereka berdua dari awal tidak setuju masuk ruangan. Keadaannya menyesalkan sebab mereka dijatuhkan ke suasana hati buruk tanpa mendapatkan apa-apa. Akan tetapi, dipikirkan secara positif, jelas-jelas bagi mereka cara berpikir orang itu tidak bisa dimengerti; sepertinya mereka cuma harus puas dengan itu.

“…”

Masih misteri apa yang ‘kan terjadi andai mereka mendekat.

Subaru, Emilia, Beatrice, mendekati pintu masuk tanpa mau mengangkat Sirius lagi yang masih jatuh menghadap atas karena serangan Emilia. Tentu bukan perbuatan terpuji, namun, dengan begini—

“…”

“… sebentar.”

Subaru berhenti di tengah jalan dikarenakan sensasi tak nyaman menusuk tengkoraknya tepat seketika mereka sampai pintu masuk. Lalu dia menatap Sirius yang terbaring di lantai. Sumber tak nyamannya dari sana, dari Sirius kolaps.

Monsternya berbaring miring, bernapas terengah-engah dari hidungnya sambil menekan wajahnya ke lantai dingin. Napasnya sangatlah menusuk telinga sampai-sampai perhatiannya tertarik kepadanya.

—persis sebelum meninggalkan ruangan, dia sadar Sirius sedang bersenandung.

“Hentikan lagumu, apa yang sedang kau lakukan?”

“…”

Nyanyiannya tak selaras, nada dan ritmenya kacau. Disonansinya tidak hanya itu. Lagunya semata-mata pernyataan itikad Sirius mengenai perkataan Subaru.

Dengan kata lain, ketidaksetujuan, penolakan.

“Sudah kubilang hentikan! Lagu ini menembus kepalaku!”

“—maaf? Ah, lagunya pasti bagus, bukan? Mereka mengajarkan bahwa nyanyian itu indah. Karenanya aku mendadak ingin bernyanyi.”

“Liliana …!?”

Sirius mestinya sudah mendengar lagunya ketika melawan Priscilla juga Liliana. Subaru tidak tahu bagaimana lagunya telah menyegel Wewenang Kekuasaan Sirius selama pertarungan.

Di tengah-tengah pertempuran, monster itu tidak membenci lagunya, dan dia memelajari sesuatu dari sana. Namun pemahaman monster itu soal lagunya tentu berbeda dari perasaan yang Liliana tuangkan ke lagunya.

Lagu Sirius lebih menakutkan dan gila.

“Jangan bandingkan lagunya dengan lagumu. Lagumu berbeda, kedengaran lain.”

“—aku pun bisa bilang sama kepadamu. Kau berbeda. Kau berubah. Kau tentunya berbeda dari orang yang aku cintai. Meski kau sama, kau berbeda.”

“Hah?”

“Betelgeuse ada dalam dirimu. Jiwa dan jiwa melebur menjadi satu, dan seperti itulah, orang tercinta itu akan muncul, walau perlu waktu. Yang harus kulakukan adalah membantunya. Melihat orang itu bangun, di dalam dirimu.”

Masih kolaps di lantai, Sirius memiringkan lehernya dan menatap Subaru.

Badai emosi tak berujung melonjak di mata menggilanya. Kemarahan, kegembiraan, kesedihan, kerinduan yang tidak kuasa dia sembunyikan, semuanya berputar di mata Sirius.

“Aku akan seret orang itu keluar dari dirimu—Terima kasih, maaf? Tolong, hingga hari itu tiba, jaga pikiran dan tubuhmu.”

“—cih.”

Sirius pastinya paham bahwasanya Subaru dan Betelgeuse adalah dua makhluk berbeda.

Dia semestinya mengerti itu, namun monster yang bersembunyi di balik fantasi nyamannya, menimpanya. Betelgeuse yang tertidur dalam diri Subaru suatu hari kelak akan keluar menyambutnya, kata Sirius.

Mustahil. Itu tidak mungkin.

Kemungkinan benar Gen Penyihir Betelgeuse yang dia ketahui ada dalam dirinya. Akan tetapi, tak mungkin ia menjaga roh Betelgeuse. Dari mana monster ini menemukan kesamaan antara Betelgeuse dan dirinya hingga mengulang omong kosong semacam ini?

—ataukah Subaru dan orang sinting itu punya bagian sama tatkala dilihat dari luar?

“Satu hal lagi, aku akan memberikanmu saran sehingga kau tak melakukan hal tidak penting.”

“… saran? Kau, kepadaku?”

“Iya, agar aku tidak kehilangan kekasihku tercinta—Berhati-hatilah di sekitar Kerakusan. Pemakan Makanan Aneh, Pencicip Makanan, dan Kekenyangan akan mencoba merebutmu. Andai itu terjadi sebelum dia bangun, takkan ada orang yang ‘kan mengingat sayangku.”

“…”

Dari sumber yang paling tidak dia duga-duga, Kemarahan menyebut nama Keraksuan dan memberikan informasi tentang mereka kepadanya. Biarpun isinya sendiri bukan aneh-aneh, itu informasi yang sudah Subaru ketahui, namun—Tidak.

“Sebentar. Pencicip Makanan, dan siapa lagi?”

“Pencicip Makanan, Pemakan Makanan Aneh dan Kekenyangan, dimakan dan dibawa masuk tanpa orang sadari adalah aksi kebiadaban terhadap Cinta yang harusnya melebur bersama, bercampur bersama, dan menyatu. Semisal kau punya kesempatan, tolong bunuh Kerakusan. Karena mereka merepotkan.”

Dia mengutarakan serba-serbi Uskup Agung Dosa Besar yang satu posisi dengannya, dan terlebih lagi, dia tanpa peduli mengharapkan kematian mereka. Baguslah dalam hal ini ada perbedaan fatal dalam hubungan petinggi serta Kultus Penyihir.

Masalahnya adalah yang Sirius katakan mengenai Kerakusan—tidak, mengenai para Kerakusan.

“Aku betul-betul menduga Kerakusan yang Otto temui adalah Kerakusan yang berada di Menara Pengendali, sebab mereka berkaliaran sebagaimana Kenafsuan, namun …”

Bagaimana andaikata bukan itu yang terjadi, dan itu cuma salah satu dari para Kerakusan di antara dua Kerakusan lain. Bagaimana andaikata ketiga Kerakusan bersembunyi dalam kota dan bukan hanya Kerakusan itu.

Dan bagaimana andaikan Kerakusan yang bertanggung jawab atas Menara Pengendali terus melindungi posnya.

“—cih. Sialan, aku harus pastikan …!”

Subaru mendekap cemas kepalanya karena kebodohannya sendiri, dia menghentak tanah dan menuju pintu masuk. Kini bukan waktunya berbicara dengan Sirius.

Subaru harus memastikan dengan mata kepala sendiri keselamatan semua orang yang berpartisipasi dalam pertempuran mempertahankan kota.

Dia harus pastikan tiada yang menghilang gara-gara nama mereka dimakan Kerakusan.

“EMILIA! BEATRICE! Langsung kembali ke selter sebelumnya. Aku harus memastikan sesuatu.”

“Subaru? Aku tidak tahu kau kenapa, tapi tenanglah …”

“SAAT SEMUA INI SELESAI! Aku akan tenang semaumu. Aku akan tenang, jadi tolong biarkan aku melakukan sesuatu yang membuatku tenang. Ini mendesak.”

Subaru buru-buru menjawab Emilia yang menyentuh bahunya. Emilia menelan ludah melihat tingkah Subaru kemudian mengangguk dan bilang, “Aku paham.”

Beatrice yang sedari awal tidak berniat menyela tindakan Subaru, terlihat kaget. Subaru sudah melupakan Sirius, dan cepat-cepat keluar ruangan.

“Bentar, Subaru. Aku ikut juga.”

Jadi, Emilia tergopoh-gopoh mengejarnya dan kedua langkah kaki mereka menjauh cepat.

Selagi mendengarkan mereka, Beatrice berpaling ketika berada di pintu lalu menatap Sirius yang masih menghadap lantai kemudian telapak tangannya menunju sang monster.

“Sejujurnya, menurutku mengubahmu jadi kepingan-kepingan kecil di sini bukan perbuatan tepat, kayaknya.”

“—jadi, kenapa tak kau lakukan? Roh Lonte. Aku akan sangat menyambut bila itu mempercepat kebangkitan orang itu.”

“…”

Beatrice mendesah terhadap cara bicara provokatif Sirius, lanjut menurunkan menurunkan telapak tangannya. Gadis kecil itu memegang ujung gaunnya dengan tangan yang diturunkan, dan matanya penuh emosi kuat.

“Kalau kau membuat Subaru sedih, aku akan membunuhmu.”

“Tentu saja. Kebangkitan Betelgeuse terkasihku sepantasnya disambut emosi kegembiraan.”

Tidak pasti sampai mana dia paham, atau apakah dia sudah selesai di sini atau tidak, namun terlepas dari itu, percakapan putus-putusnya berakhir, selanjutnya Beatrice meninggalkan ruangan, menutup pintu di belakangnya.

Persis sebelum dia lakukan, senandung rusak Sirius menyelinap masuk ke gendang telinga Beatrice.

Perusakan dan kerasnya suara yang menganggu indra pendengaran dengan ritme rusaknya bak menginjak-injak konsep musik di baliknya. Jenis musik sepenuhnya baru yang menanamkan perasaan tidak mengenakkan pada orang lain—itulah Musik Kebencian.

Pintunya ditutup dan Musik Kebencian terputus.

Tapi di mana pun dia berada, ritme rusaknya tetap terngiang-ngiang di telinganya. Beatrice mengejar Subaru dan Emilia secepat adagio sembari merasakan sensasi tidak mengenakkan tersebut.

Sesudah meninggalkan penjara Sirius, Subaru bergegas menghampiri AI yang menunggu di koridor. AI berjaga-jaga bersama Pedang Naga Biru yang dia pegang, kaget oleh tingkah mengancam Subaru yang mendatanginya.

“Hei, Saudara. Aku dengar suara sangat keras, kau tidak membunuhnya, kan? Meninju dan menendang juga dianggap kejahatan terhadap tawanan, jadi itu bukan sesuatu yang bisa kau puji.”

“Aku tidak membunuhnya, habis ini nanti aku kasih penjelasan tepatnya tentang kejahatan terhadap tawanan, lebih pentingnya, aku perlu memeriksa sesuatu, AI, di tempatmu tidak ada yang mati, kan?”

“—? Yah, kalau kau menanyakan keseluruhan kota, tidak tahu. Tapi sekurang-kurangnya, mbak-mbak bertelinga kucing—saudara, dan nona yang ada aksen Kararagi-nya baik-baik saja. Kupikir kau sudah tahu?”

“Aku tahu, tapi …. Ah, sialan.Kalau begini aku takkan memperoleh apa-apa!”

Wajar jika jawabannya tidak meyakinkan.

Mengikuti kerisauan Subaru, misalkan ada orang yang menjadi korban Keraksuan, orang itu akan menghilang dari ingatan orang lain, seperti Rem. Dalam situasi itu, bertanya, Apa ada orang yang tidak kau ingat? tak masuk akal.

Cara paling gampangnya adalah memberi tahu AI dan Emilia nama semua orang, satu per satu.

“—cih.”

Itu menakutkan, mengerikan.

Meskipun bukan waktunya gemetar ketakutan, akan terlampau menakutkan mendengarnya dari mulut seseorang. Akan lebih meyakinkan kembali ke selter dan memeriksa keamanan semua orang dengan matanya sendiri.

“Aku akan kembali ke selter. Tolong jangan lengah sampai Reinhard kembali apa pun alasannya.”

“Baiklah, tapi …. Yah, tidak jadi. Aku takkan bertanya detailnya. Membuatku merinding.”

Sudut matanya melihat Priscilla yang kelihatan bosan seperti biasa, dua orang saja, hitung Subaru.

“Hah. Rakyat jelata jelas berkemampuan rendah, karena itulah hatimu amat terganggu oleh hal-hal sepele semacam itu, itu masalah besar. Misal kau sedang mondar-mandir, paling tidak fokuskan perhatianmu seolah sedang jalan-jalan sebisa mungkin.”

“Kau yang tidak berubah tak membuatku lega sedikit pun. Sampai nanti.”

Tidak sempat berhenti, Subaru cepat-cepat melewati Priscilla. Itulah sikapnya, lebih tepatnya sikap tidak hormat yang bisa saja mengotori suasana hati Priscilla, namun dia tidak berkomentar apa-apa dan hanya menggumamkan, “Membosankan sekali.” sambil mengipasi kulitnya.

“Jadi, Subaru, kau mau melakukan apa? Kau harus memastikan apa?”

Kembali ke selter penuh orang-orang terluka, Emilia memanggil Subaru yang tengah melihat-lihat sekelilingnya dengan gelisah. Menanggapi panggilannya, Subaru ragu sejenak mesti meminta bantuan atau tidak.

Memikirkan kasus Rem, Emilia tidak punya resistansi sedikit pun perihal makanan Kerakusan. Subaru belum melupakan syoknya ketika mengetahui hilangnya nama Rem dari mulutnya.

Dia berpasrah diri akan kemungkinan lukanya ‘kan terbuka kembali, dan dia memberanikan diri menjelaskan situasinya kepada Emilia. Sebab ini adalah bilah bawah sadar yang tidak diperhitungkan Emilia.

“…”

Hingga saat ini, Subaru telah memastikan nama sejumlah rekannya yang bertahan.

Beatrice dan Anastasia terlebih dahulu. Seusainya ditambah Garfiel dan Mimi, kemudian Wilhelm dan Otto, Liliana beserta Kiritaka pula.

Eksistensi Felt juga telah dikonfirmasi dari perkataan Otto. Menurut penjelasan para gadis, Reinhard dan Felix mestinya baik-baik saja. Dan Priscilla juga AI dia temui beberapa waktu sebelumnya.

Dengan kata lain, masih belum mungkin memeriksa keamanan—

“—Subaru, sepertinya kita bertemu dengan selamat.”

“Reinhard?”

Suara menyegarkan memanggil Subaru yang pikirannya berputar cepat, dari sebelahnya. Sewaktu dia berbalik, ada seorang pemuda berambut merah yang tangannya terangkat menyambutnya; dia Reinhard.

Setelah beberapa jam dia bertemu Reinhard lagi dengan kondisi baik-baik saja, Reinhard setelah mengalahkan Regulus harusnya pergi membantu kelompok-kelompok lain. Bagaimanapun, sekarang ini Subaru tengah mencari-cari kenalannya, Subaru merasa lega karena bisa melihat wajahnya.

“Alhamdulillah Emilia-sama dan Beatrice-sama kembali baik-baik saja.”

“Terima kasih, Reinahrd. Kau pasti berkeliling kota, kan? Baguslah kau baik-baik saja. Iya, sungguh.”

“Tidak, bukan persoalan besar. Di sisi lain, bahkan tanpa saya, semuanya memenuhi peran mereka dengan tabah. Kekuatan sederhana saya hanya sedikit kegunaannya.”

Reinhard membalas sopan Emilia lalu menatap Subaru. Reinhard menyipitkan mata biru langitnya seakan-akan melihat isi hati Subaru, terus bilang:

“Jadi, Subaru, apa sesuatu terjadi? Sekarang ini, kau kelihatan lagi bingung.”

“Saat ini aku ingin memeriksa apakah sesuatu terjadi—Reinhard, kau sudah bertemu Felt? Felt, dan yang lain …. Yah, Larkins dan yang lainnya, itu dia.”

Trio Ton Chin Kan, sekarang karena situasinya seperti ini—Mereka juga termasuk jaringan rekan. Dia dengar-dengar dari Otto, Felt baik-baik saja, dia pun mendengar para pelayannya tidak apa-apa, namun bukan berarti dia menyebutkan nama ketiga pelayan dan mengonfirmasinya. Subaru tidak bisa merasa lega.

Menerima pertanyaan panik Subaru, Reinhard menyentuh santai dagunya, dan menjawab:

“Iya, mereka baik-baik saja. Felt-sama, ketiganya, Larkins, Gaston, dan Camberly semuanya sehat sentosa. Larkins dan Gaston terluka, tapi tidak terlalu serius sampai mencemaskan. Soal Felt-sama yang beraksi secara independen, kurasa beliau harus merenungkan perbuatan beliau nanti, bukan?”

“Sepertinya ada peluang besar Pejabat Dalam Negeri kita diselamatkan oleh Felt, jadi tolong pertimbangkan, aku mohon hukuman ringan …. Ngomong-ngomoong, tidak ada hal lain?”

“Hal lain?”

“Hal lain …. Tidak, maaf. Bukan pertanyaan spesifik. Jadi anu, setelah kita berpisah, terjadi sesuatukah? Ada masalah, atau hal yang membuatmu gelisah.”

Biarpun dia pikirkan lagi, Subaru masih tidak punya pertanyaan khusus; dia merasa sedih. Tetapi, Reinhard tak menertawakannya, alih-alih dia memikirkannya diam-diam dan menggeleng kepala.

“Tidak, maaf tak ada yang terlintas dalam kepalaku. Tidak ada hal khusus yang terjadi sesudah aku meninggalkanmu dan Emilia-sama. Kurasa.”

“Be … gitu. Salahku. Bukan itu. Yah, emm …. Iya, ada banyak yang ingin kubicarakan, jadi kalau sempat, bisa datang sama Felt juga? Aku ingin berkonsultasi dengan orang-orang yang terkait kejadian sekarang, dan selanjutnya. Bisa aku serahkan kepadamu?”

“—Boleh, karena itu permintaanmu. Sekarang ini, aku hanya meminta Felt-sama sekali lagi tinggal di area penjagaan, jadi mungkin akan terdengar sarkastik bagi beliau, sih.”

“… wadaw itu buruk. Nantinya aku akan minta maaf juga, jadi sekarang ini, aku akan mengandalkanmu.”

Menyeringai pada ucapan Subaru, Reinhard sedikit melihat sekelilingnya dan buru-buru pergi. Kala dia melompat ke luar selter, kau nyaris tidak bisa melihat sosoknya melompati bangunan sekali lompat; dia akan segera bertemu lagi dengan Felt, roman-romannya.

Masalahnya …

“Subaru, Felix di sini. Kau ingin mendengar ceritanya, kan?”

“Hmm, ah. Iya, aku juga ingin bicara dengan Felix.”

Dipanggil Emilia, dia melihat arah yang ditunjuknya. Di sana, dia mendapati sosok Felix yang gelisah jelalatan di pojokan selter.

Penyembuh bertelinga kucing itu terhuyung-huyung, dan warna kulit mukanya kelihatan ngeri. Kemungkinan besar, itu efek perjalanan penyembuhan, kelihatannya dia menanggung beban cukup berat. Walau begitu, dia berjalan melihat-lihat pasien lain tanpa istrirahat—atau begitulah nampaknya.

“—ah!”

Felix yang melihat sekelilingnya, mendapati Subaru dan Emilia kemudian mengangkat suaranya. Dia sempoyongan lekas mendekati mereka dan meraih tengkuk Subaru seolah-olah dia hendak pingsan.

Menopang tubuh ringannya, Subaru memanggil, “Hei?” lalu …

“Beri tahu aku …”

“Hah?”

“USKUP AGUNG DOSA BESAR! DIA TERTANGKAP, BENAR? AKU AKAN BUAT MEREKA MEMBOCORKAN SEMUA YANG DIA KETAHUI, AKU AKAN CARI CARA MENGOBATI CRUSCH-SAMA! JADI, BERI TAHU AKU DIA DI MANA …!”

Subaru dilumpuhkan tatapan membelalak Felix yang melotot di sebelah kanannya. Kemarahan Felix bagaikan kobaran api, dia cuma mementingkan kesehatan nyonya tercintanya. Dan jika itu demi menyelamatkannya, dia siap tidak menunjukkan belas kasih kepada mereka yang tahu bagaimana mewujudkannya.

“Fe-Felix, tenang. Aku paham perasaanmu, tapi hasilnya takkan datang walaupun kau buru-buru. Sementara waktu, mari bicara …”

“JANGAN MENGHIBURKU! KAU MEMAHAMI PERASAANKU? TAKKAN MUNGKIN KAU MENGERTI PERASAANKU TAMPAKNYA!? SELAGI KAU BICARA SESANTAI INI, KAU TAHU SEBERAPA MENDERITANYA CRUSCH-SAMA … KALAU KAU PAHAM, KAU TAKKAN SANTAI! BERHENTILAH TIDAK BERTANGGUNG JAWAB!”

“…”

Setelah dadanya ditusuk, dan satu jari menotolnya, Subaru menutup mulut.

Diserang komentar irasional, Subaru bahkan tidak mampu membalas. Kondisi Crusch belum berubah, dia masih dipenuhi darah Kenafsuan Capella. Namun hal terpentingnya, Subaru merasa lega oleh komentar Felix barusan, sadar dia belum melupakan Crusch.

Korosi hitamnya juga telah menempatkan diri ke kaki kanan Subaru serta telapak tangan yang menyentuh Crusch.

Namun mustahil itu bisa melegakan hati Felix.

“Aku harus menyelamatkan Crusch-sama. Aku bisa dan akan berbuat apa pun yang diperlukan untuk melakukannya. Bila aku harus menyiksa Uskup Agung, aku juga akan melakukannya. Aku tahu cara menyembuhkan orang. Oleh karena itu, biarpun aku menyakiti mereka, bisa aku sembuhkan. Oleh karena itu, oleh karena itu …”

“Felix—Sudah cukup.”

Subaru tidak mampu berkata apa-apa kepada Felix yang frustasi membara. Kemudian orang yang memanggilnya dari belakang agar menghentikannya, adalah pendekar pedang bijak yang tak tahan melihat situasinya.

Wilhelm memanggil kesatria yang melayani nyonya yang sama dengan suara tanpa emosi.

“Aku sepenuhnya mengerti perasaanmu. Tetapi, perilakumu sungguh-sungguh semata-mata penghinaan kepada Crusch-sama. Pertama-tama tenangkan dulu dirimu. Lakukan semuanya setelah menenangkan diri.”

“Kau bilang memahami perasaanku cuma untuk menghibur saja …!”

“—aku paham.”

Wilhelm menghentikan paksa kalimat Felix dengan suara lirih di saat manusia kucing itu mencoba murka kepadanya. Setelahnya, Wilhelm melihat jaket yang membungkus abu di dalamnya, dia peluk di dadanya.

Felix langsung menggigit bibir menebak siapa yang bersemayam di sana.

“Itu … tidak adil. Itu tidak adil, itutidakadilitutidakadilitutidakadil. Pak tua Wil …!”

“Aku tahu. Buruknya aku memaksakan kemurahan hati dan kebaikanmu. Memaksakannya kepadamu yang menentang rasa sakit orang lain lebih dari siapa pun. Kau harusnya menyalahkkan orang tua ini.”

“Uuuuaaaaahh … hiks.”

Felix menahan air matanya dan menunduk. Wilhelm memeluk kepalanya dan mengangguk ke Subaru.

Artinya sepertinya dia yang akan mengurusnya. Felix juga harus menghadiri konferensi nanti menggantikan Crusch lagi ketika dia sudah tenang.

Penting membahas penanganan Sirius nanti. Tetapi sementara waktu, mereka mesti saling bicara biar mengetahui kondisi masing-masing.

Mata hening Wilhelm berkomunikasi kepada Subaru. Ada kesedihan di matanya, Subaru menunduk dan meninggalkan tempat itu.

“Wilhelm-san, kau pastinya ingin menangis juga.”

Kenapa semuanya jadi salah?

Tidaklah mungkin mencapai kebahagiaan untuk semua orang, kenalan dan orang asing. Subaru harus bertarung selama apa, berjuang dan berusaha dengan suatu cara untuk memilih pilihan terbaik, tuk sampai pada hasil itu—itu sesuatu yang tidak dia ketahui.

Dia baru-baru ini mengonfirmasi keselamatan Reinhard dan Felt, juga Felix serta Crusch. Kelompok yang hilang adalah Julius beserta Ricardo yang berangkat merebut Menara Pengendali Kerakusan. Selain itu, pelayan Priscilla, Schult, dan walaupun orangnya tidak menyenangkan, Heinkel.

Omong-omong, adik Julius, Joshua, sejak masalah dimulai, dia selalu—

“—ah?”

Tepat ketika dia memikirkannya, Subaru melihat bayangan seseorang mengawasi dari selter di luar.

Dia mengenakan pakaian putih dijahit rapi dan punya pedang kesatria tersampir di pinggangnya. Perawakan tampan dan tinggi, sekaligus rambut ungu berkilauan hampir mencolok—Tidak mungkin salah mengiranya.

Dia Julius. Sekarang ini, orang yang ingin dia pastikan keamanannya, di sini.

“Hei, Juli—”

“…”

Dia cepat mengangkat tangannya dan berteriak mencoba menyapa Julius yang separuh tubuhnya tampak. Namun seketika Julius menyadari mata Subaru melihatnya, dia segera berbalik dan pergi. Dia mencoba meninggalkan selter dengan cepat.

“Ah?”

Melihat perangai Julius, suara Subaru tertegun.

Reaksinya sama sekali tidak terduga. Opininya terpisah ke pertanyaan apakah Julius menjawab baik-baik suara Subaru atau tidak, Subaru tidak pernah membayangkan reaksi ini.

Bukan jawaban baik-baik atau sarkasme, dia mengabaikannya saja.

“Tuh bangsat bercanda?”

Setelah memuntahkan seluruh kekesalan yang mendidih dalam dirinya sejauh ini, Subaru mengejarnya.

Bukannya resah. Bukannya risau, tetapi dia mencari Julius untuk memastikan keselamatannya, Julius sepatutnya tidak bertingkah begitu.

Dia ingin melakukan apa? Subaru harus menangkapnya dan mencari tahu. Penting menyebutkan bahwa ini bukan waktunya bercanda.

“Hei, Subaru? Apa yang terjadi?”

“Bajingan Julius sok-sokan itu ada di sana tapi mengabaikanku tadi. Aku akan menangkapnya!”

“eh?”

Meninggalkan suara terkejut Emilia, Subaru lari dan mengejar Julius. Sesudah dia melompat keluar pintu masuk selter, dia melihat punggung yang nyaris menghilang di luar jalan. Jelas gerak-geriknya menghindari mata publik. Tapi kalau dia tidak kabur, bakalan gampang mengejarnya.

“Jika kau baik-baik saja, cepat katakan kau baik-baik saja …”

Ibaratnya dikutuk, Subaru lari ke sudut jalan. Satu orang berjalan cepat dan satunya berlari, jarak mereka tentunya semakin pendek. Begitu Julius berbelok, Subaru bisa melihat punggungnya terus berteriak.

“Woi, anjing! Kau, kenapa juga kau berkeliaran padahal semua orang sibuk banget? Kalau kau tidak menampakkan wajahmu nanti akan mengkhawatirkan. Tidak, itu pendapat umum.”

“…”

Seusai mendengar suara kasar Subaru, Julius berhenti. Julius cuma memalingkan wajahnya, dan menatap tenang Subaru dengan mata kuninngya.

Subaru mengerutkan kening melihat tatapan diamnya, namun Julius tidak mengubah postur tubuhnya.

“—mohon maaf. Aku sedang mencari seseorang, tapi rupanya orang itu tidak ada di dalam. Aku ingin pergi ke selter lain. Permisi.”

“Sebentar sebentar sebentar sebentar, apa katamu? Yang kau cari-cari, pastinya Anastasia-san, kan? Kalau iya, aku tadi ada di selternya. Kau tidak sadar saja karena tak sabaran. Bukan seperti dirimu saja.”

“—cih.”

Subaru panggil punggung Julius yang mencoba pergi selepas meninggalkan kata-kata sopan. Kemudian, Julius menampilkan reaksi dramastis terhadap ucapan Subaru.

Bahunya berputar dan berbalik dengan wajah kaget.

“E, eh eh? Ada apa?”

Subaru refleks bereaksi dengan suara melengking. Kelihatannya alasannya jelas …

Tampang Julius sewaktu berbalik, diwarnai keheranan yang belum pernah Subaru lihat sebelumnya. Tidak, heran bukan satu-satunya sesuatu pada ekspresinya. Di sana ada sinar laksana dia memegang teguh sesuatu.

Dihadapkan emosi yang sama sekali tak cocok Julius, Subaru tidak tahu mau merespon bagaimana. Dan melihat Subaru demikian, Julius menelan ludah dan dengan ekspresi sedih bertanya:

“… Subaru. Kau, maksudmu aku?”

“Pertanyaan macam apa itu? Kau tidak punya kepribadian tak mengesankan seperti lupa akan dirimu sendiri dalam waktu beberapa jam saja. Kesatria Terbaik, Julius Euculius-san, omong kosong macam apa yang kau …”

Sembari mengangkat bahu, Subaru merespon ibaratnya mengejek Julius. Dan di tengah-tengah pembicaraan mereka, dia berhenti pas menyadari kebodohannya sendiri.

“Subaru! Jangan lari sendirian!”

Subaru yang tenggorokannya membeku, dan Julius di depannya.

Baik Emilia dan Beatrice mengejar Subaru dan bergabung pemandangan mereka berdua saling berhadapan di jalan. Sewaktu Emilia dan Beatrice melihat dua orang itu saling memandang bisu, mata besar mereka berkedip …

“Wah …. Kau sedang melakukan sesuatu, kan?”

Waktu Emilia menyadari suasana dan ketegangan aneh, emilia cemas memiringkan kepalanya.

Subaru merasakan firasat buruk pada reaksinya, terutama dari tatapannya yang tengah menatap Julius.

Lalu, Subaru menunjuk Julius …

“… ya, benar itu, tapi bukan begitu. Emilia-tan. Beako kau juga, yah …”

“…?” Emilia dan Beatrice sama-sama bertanya-tanya.

Keduanya mempertanyakan tutur canggung Subaru.

Dia harus melakukan sesuatu, barangkali pertanyaan definitif. Subaru meneguk ludah dan melirik Julius.

Di depan tatapan Subaru, Julius mempersiapkan diri dan mengangkat wajah terlampau hampanya …

“Aku menemukan Julius. Jadi, aku bisa bawa dia ke konferensi, kan?”

“—Julius.”

Saat bertanya, Emilia bicara ragu dengan suara lirih …

“Julius-san, apa dia kenalan Subaru?”

Dan seolah mengulang mimpi buruk sebelumnya, dia mengatakannya.


Kredit Ilustrasi.

Catatan Kaki:

  1. Adagio adalah tempo lambat.
Share this post on:
Subscribe
Notify of
guest
1 Comment
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Archdalf

lanjut min