Share this post on:

Kejahatan di Tengah Tipu Daya

Penerjemah: Royal Rat Authority

“Kenapa wajahmu begitu. Ada yang mengganggumu?”

Tepat sebelum sampai di Menara Pengendali, Ricardo berbicara kepada kesatria yang ekspresinya tegang.

Menghentikan langkahnya, alis Julius terangkat heran.

“Mengejutkan sekali, Ricardo. Tidak pernah kusangka kau akan mengkhawatirkan orang lain.”

“Jangan kira frasa itu ditujukan untuk hal lain. Yang bersamaku cuma kau seorang. Meskipun kau bilang sesuatu, nanti akan dirahasiakan dari Nona juga.”

“… kau tak salah, ya.”

Walaupun jarang, pengamatan Ricardo kepada orang lain sering kali benar.

Bila bukan karena itu, Ricardo takkan bisa menduduki perannya sebagai Kepala Taring Besi, mendengar sebatas fragmen-fragmen karir hebatnya sudah membuatmu paham. Hanya memikirkan diri sendiri dan mengabaikan lingkungan bukanlah cara untuk bertahan hidup. Budak, tantara bayaran, keduanya berlaku.

“Nah, bocah itu lumayan brutal. Biar begitu, aku akan memainkan peran semestinya, jadi kau boleh bergantung padaku. Aku pun akan berkonsultasi dengan menantu.”

Menantu itu menakutkan. Aku pun tak menyimpan perasaan aneh semacam itu pada Anastasia-sama.”

“Apa tuh, urusan Nona, ya. Mungkin soal Mimi. Selain itu, Mimi belum berhasil meyakinkan Nona.”

“….”

Julius tersenyum pahit. Tingkahnya yang diam-diam menggeleng kepala dengan anggun seperti biasa, namun kali ini pemilihan kata-katanya kurang presisi.

Apalagi gerak-gerik itu ….

“Ada yang aneh sama perebutan kembali Balai Kota. Nona pun setuju. Nona belum mendengar banyak tentang itu, tapi akan aku paksa sampai semuanya teruraikan.”

“Sepertinya kau agak tak kenal ampun.”

“Tentu saja, ini taruhannya nyawa. Tak ingin belakangku dijaga orang apatis. Kau mau menyanggah dengan memalsukan sejumlah dalih?”

“… tidak, yang kau katakan benar. Akulah yang salah. Tentunya, aku yang ragu-ragu bicara telah meningkatkan risiko kita.”

Julius mengangguk tulus kepada Ricardo yang terus mendesaknya, kemudian alisnya mengkerut elegan.

Akan tetapi, tiada kata terucap dari dirinya yang bermasalah. Melihat sikap itu, Ricardo teralih dari diamnya dan mengeluarkan suara jengkel.

“Kenapa kau berhenti di situ? Kau yang tersesat sangat menyedihkan. Keluarkan saja dari mulutmu dan berterus terang utarakan semuanya, kau tidak bisa melakukannya? Apa yang menghentikanmu?”

“….”

“Julius.”

“Mohon maaf. Aku tidak bisa memutuskan kata-kata yang sesuai untuk mengungkapkan pikiranku—Alasan kecemasanku adalah sesuai dugaanmu, Uskup Agung Dosa Besar yang kutemui di Gedung Pemerintahan. Roy Alphard sang Kerakusan, orang itu, tak salah lagi. Tak salah lagi, namun ….”

Julius kebingungan dan memotong ucapannya di tengah jalan seraya ketidakpastian muncul di mata kuningnya.

“Mirip dengan Uskup Agung Dosa Besar lainnya, barangkali Kerakusan memiliki kekuatan yang tak terjelaskan. Kekuatan tuk memakan ingatan, nama, kala pertempuran melawan Paus Putih masih bisa didiagnosa. Tetapi ….”

“Julius—!”

Ricardo memanggilnya seketika rasa tak nyaman menyentuh bagian paling dalamnya. Lalu Julius langsung mengenali makna di baliknya.

—suasana berguncang, seluruh suara menghilang dari dunia, kemudian cahaya naik ke langit.

Hanya ada satu situasi saat cahaya seluar biasa itu menembus langit malam. Mungkin hasil pertarungan orang paling terkuat di dunia ini.

“Gerakan yang fantastis. Aku benar jika menganggap itu perbuatan Pedang Suci, kan?”

“Ah, Reinhard, bukan. Sepertinya Subaru dan yang lainnya telah menemui Keserakahan. Kita pun tidak boleh menunda-nunda lagi. Harus bergegas.”

Tatkala satu Uskup Agung Dosa Besar diserang, Uskup Agung Dosa Besar lainnya akan datang bersama untuk bertahan dan membalas serangan.

Julius serta Ricardo mempercepat langkah mereka, mengincar Menara Pengendali yang mendekat.

“Jadi apa yang aneh tentang Kerakusan itu? Kau bilang dia monster tak biasa?!”

Ricardo menepuk pundaknya sembari berharap mendengar cerita Julius hingga akhir sambil menyela momentum maju Julius. Julius menoleh dan melihat ke belakang, dengan tatapan yang membantah perkataannya barusan.

“Tidak. Walaupun seperitnya dia tak benar-benar serius, keahlian Kerakusan nampaknya tak melebihi pengetahuan manusia itu sendiri. Seandainya kita berdua musuhnya, maka mungkin cukup menghadapinya, sayangnya, kengerian musuh adalah subjek yang sepenuhnya berbeda.”

“….”

Keresahan tak terhindarinya adalah karena Julius tak tahu batas kengerian sejatinya. Apalagi keegoisan normal Julius membuatnya tidak membahas masalah ini pada pertemuan strategi sebelumnya.

Julius menganggap Kerakusan sebagai lawan tak terduga dan menakutkan, namun masih yakin dia harus melawannya.

Ricardo tak tahu alasan di baliknya.

Bahkan Julius pun tidak tahu.

“….”

Mereka melangkahi trotoar batu dan melewati tikungan jalan sampai pintu keluar. Di sana terdapat salah satu dari Empat Menara Pengendali, warnanya berbeda dibanding bangunan-bangunan lain, dan di depannya adalah—

“A~h, kami pikir kau akan datang. Kami menduga kau akan datang. Benar itu, benar sekali, mungkin benar, sangat benar, barangkali benar, sangat benar, benarnya diragukan, bukankah itu benar, bukannya itu mungkin benar, karena itu benar ~tsu! Waktu menunggu jadi amat berharga ~tsu!”

—di depan pintu masuk Menara Pengendali, seorang bocah lelaki berdiri di atas batu bulat.

Mengenakan pakaian kotor, rambut cokelat gelap dibiarkan tumbuh lama sampai terlalu panjang. Mata sintingnya bersinar dan berbinar bahagia, gigi taring tajam serta lidah menetes dari mulutnya.

Kedua tangan diturunkan, dia adalah anak muda. Bagaimanapun kau menganggapnya, dia nyaris tak punya kekuatan dan kelihatan mirip anak kecil gelandangan—tetapi aura mengerikan terpancar dari tubuhnya.

“Satu hal lagi, hanya untuk memastikan … betulan dia, kan?”

“Tidak perlu bertanya, mau benar atau tidak. Tidak diragukan lagi, sebab benar-benar meyakinkan.

Menanggapi Ricardo, Julius semata-mata menurunkan rahangnya dengan tenang.

Tidak perlu ragu lagi, tak mungkin salah, bahwa dialah sang Uskup Agung Dosa Besar Kerakusan yang berdiri di sana.

Jenis pemuja terburuk yang mengunyah nama dan ingatan orang lain.

“Roy Alphard—”

“Ya, jawaban benar. Itu nama kami. Kami senang kau mengingatnya. Agak senang. Lumayan senang. Betulan senang. Betapa senangnya kami. Karena kami senang, minum ~tsu! Kerakusan ~tsu! Layak dimakan, dan dimi~num. Dan juga ….”

Mendeklarasikan namanya, Alphard tertawa brutal mengerikan. Matanya menatap tajam Ricardo yang berdiri persis di sebalah Julius.

Dia membuka mulut dan membunyikan hidungnya selagi matanya serba kepuasan.

“Kali ini sepertinya kita bakal mendapatkan anak anjing-chan. Itu membuat kami senangnya bukan main. Lagipula, perut kami mungkin akan sedikit bermasalah andai ha~nya Julius Juukulius-kun. Terserah kalian, rasanya akan betulan hambar, bukan.”

“Sepertinya aku mulai kebosanan dengan tutur penghinaanmu. Selanjutnya selesaikan ini dengan cepat, aku meminta temanku menemani kali ini. Kendati tak elegan ada lebih dari satu orang ….”

“A~h, bagus, cara memulainya. Melakukannya untuk meningkatkan kesadaran diri mungkin bagus dan itu adalah ciri khas Julius-kun na~mun agak lemah. Kami ini pecinta makanan, jadi mencicipinya akan sedikit merepotlan, tapi tetap saja, kami tertarik gara-gara Julius-kun merupakan salah satu dari makanan kelas atas yang pernah kami lihat! Rapi da~n konsisten.”

“Wah, wah … selain kami menerima sambutan besar, aku pun berterima kasih atas kata-kata itu.”

“Yah, mau bagaimana lagi ~tsu! Kejujuran, kejujuran kami adalah sesuatu yang terabaikan. Yang ingin kami ingin kau abaikan adalah sedikit ketidakcocokan karakter.”

Malambaikan tangan, Alphard tidak menekuk postur tubuhnya sampai akhir. Secara provokatif, Julius tetap tenang, tetapi Ricardo tak mampu menyembunyikan perasaan tidak senangnya. Mendecakkan lidah dan membunyikan tulang leher.

“O~h, katakan yang ingin kau katakan, bocah. Salah misal menyamakanmu dengan bocah nakal. Yang kami dapatkan atas dosa-dosamu takkan bagus. Bahkan aku bersedia melintasi perjalanan antar dimensi cuma untuk menghajarmu. Karena, wah, akan aku lakukan itu.

“Oh, menakutkan-menakutkan. Paras menakutkanmu itu jangan tatap kami. Kami meminta maaf bila mana kau ter~singgung karena sudah memanggilmu anak anjing, Ricardo Welkin. Tapi tetap saja, kami masih mendambakanmu sedikit, tahu? Jangan takuti kami, oleh suara keras nan kasarmu itu!”

“….?”

Memanggil Ricardo dengan nama lengkapnya, dia berteriak selagi Julius memberengut. Melihat matanya, Julius menggeleng kepala. Aneh. Pernyataan Alphard semata-mata khayalan gila. Tetapi rasa tak nyaman besarnya tidak mudah dihilangkan. Contohnya—kapan dia, tahu nama Ricardo?

“Bocah bangsat menyeramkan …. Dari mana, dan kapan, kau tahu nama kami?”

“Akan bijaksana jika mencoba menyelidikinya. Hanya saja, jelas kami bakal tahu namamu. Bukannya benar, Julius-ku~n?”

“Mau sampai kapan pun kau minta izin, aku tidak bisa menanggapimu. Kau juga, aku pun sama sekali tak mengenalmu. Jikalau ini caramu melakukannya, akan aku putus alirannya.”

“Lihat, ada kesimpulan membosankan itu lagi. Biarpun kami kelewat memedulikannya, itu tak nyaman tak nyaman tak menyenangkan ~tsu! Cukup berbudi luhur sebagai seorang kesatria, tapi cukup membosankan sebagai seorang manusia.”

Menghunuskan pedang kesatrianya, bibir Julius diam-diam melirihkan sesuatu.

Segera setelahnya, enam cahaya yang teramat cemerlang mengelilingi Julius.

Enam roh quazi yang senantiasa menemani Julius.

Campuran ilmu pedang serta teknik rohlah yang membuat Julius menjadi Kesatrianya Kesatria.

“Baik aroma perasaan rendah diri, ataupun tekstur rasa yang kaya akan frustasi, bahkan manisnya hasrat kuat, maupun rasa kepuasan langka seiring bertambahnnya usiamu, kau ti~dak punya satu pun ~tsu!”

“—Ricardo. Kerahkan segalanya dari awal. Mari bekerja sama.”

“Ya, serahkan padaku.”

Menggetarkan tangan, Alphard meraih belati yang terpasang di pergelangan tangannya. Penggenggam dua belati adalah gaya bertarung Kerakusan, tetapi rupanya belum cukup untuk menghentikan sihir Julius ataupun menahan serangan Ricardo.

Selama pertarungannya bukan adu penyergapan, kemenangan dan kekalahan masing-masing sudah di depan mata.

Terlepas dari itu, bagi Ricardo, Alphard tidak kelihatan sebagai musuh yang sanggup memberikan pengalaman tempur besar nan menantang.

“Kesatria Roh, Julius Juukulius.”

Sesuai sopan santunnya, Julius memperkenalkan namanya menjelang pertarungan.

Akan tetapi Ricardo yang berdiri di sampingnya tak wajib mengikuti. Mata mereka memfokus, menunggu Kerakusan memberi tahu identitasnya.

Melihat garis pandang Ricardo, Alphard berteriak.

“Bagus sekali, cukup bagus, mungkin itu bagus, bukannya itu bagus, barangkali itu bagus, bisa jadi itu bagus, boleh jadi itu bagus, karena mungkin bagus ~tsu! Minuman kerakusan ~tsu! Kerakusan ~tsu! Pencicip, makanan aneh, kekenyangan, berlebihan ~tsu! Pedas, lembut, enak, lezat ~tsu! Bahkan hidup tanpa rasa, adalah rasa baru bagi kami ~tsu!”

“—El-Clausel.”

Getaran keenam warna membentuk lingkaran di depan mata Julius, cahaya terlampau terang memancar dari ujung pedangnya yang hendak menusuk tengah-tengah Alphard.

Beragam campuran afinitas, kekuatan destruktif itu berkembang menjadi serangan warna-warni yang sanggup menelan segalanya.

Langkah maju Ricardo menghancurkan batu bulat, persis di belakang cahaya menyilaukan. Seakan-akan berusaha memaksa Alphard pindah ke samping, tepat menuju cahaya yang cerahnya bukan main. Melawan tebasan berat serta cahaya pelangi berwarna sangat cerah, Alphard menunjukkan taring-taringnya.

“—sungguh, nii-sama sehebat yang kami bayangkan. Ya ampun, kami bakal terpesona ~tsu.”


Di bawah bulan, perak mengiris angin, sesaat percikan-percikan api terpercik dari simfoni permainan pedang.

Musisi pertama adalah Pedang Iblis yang mengayunkan bilah tajamnya.

Rekannya menyambut; seorang pendekar wanita yang gerakannya mengalir bagaikan jalur aliran pelan.

Kilatan logam menari-nari di udara; benturan besi mestinya terdengar berisik, namun entah bagaimana simfoninya kedengaran menyedihkan melankolis. Dering tabrakan tajam nan tepat menyerupai belas kasih lembut sepasang kekasih.

Alasannya sederhana; kedua pendekar pendang ini saling melengkapi satu sama lain hingga tingkatannya melampaui kesempurnaan.

“Haaahhh—!”

Sang Pedang Iblis menguatkan napasnya sambil melancarkan serangan-serangan melengkung bertubi-tubi.

Lengkungan-lengkungan tepat itu sebenarnya suatu bentuk seni, gerakan bersih mereka ialah standar ideal seluruh pendekar pedang yang bercita-cita tinggi.

Keahliannya begitu mengesankan sampai-sampai orang yang layak menyebut diri mereka seorang kesatria akan terlalu terpikat hingga pertarungan mereka dijamin kalah, tetapi dia hampir dengan tenangnya, melepaskan serangan putaran terus-menerus.

“….”

Satu serangan ringan efeknya lebih dari fatal, apalagi hujan kematian tak berkesudahan ini.

Namun demikian, dia yang menghadapi badai tak terbandingi itu ialah pedang panjang yang pemiliknya benar-benar menakjubkan.

Terlebih lagi, pedang panjangnya punya kualitas aneh.

Panjang bilahnya yang setinggi pemilik membuatnya terlalu sulit untuk digunakan apalagi dijadikan senjata tepat; tetapi, pendekar pedang wanita ramping mengayunkan bilah besarnya tanpa masalah, seolah-olah tak berat.

Sekalipun pemilik pedang panjangnya dilingkupi jubah hitam dari kepala sampai kaki, menghalangi penglihatannya, ujung pedangnya mengalir bagaikan menari melalui air.

Entah perihal kecepatan atau polesan, bilah kembar Wilhelm melebihi pedang panjang. Walau begitu, masing-masing dan setiap serangan tusukan sang Pedang Iblis telah ditahan dan ditangkis semua.

Antara percik-percik api serta dentang tajam, serta desis tubrukan antar bilah yang terdengar nyaris mengasihani Pedang Iblis, pendekar pedang wanita itu melompat mundur. Sedikit terlambat bereaksi dari langkah tak terduganya, begitu Wilhelm hendak maju, kilau pisau menembus dahinya.

“—ugh.”

Menyala di hadapannya, adalah serangan yang tak bisa dia hindari.

Serangan membunuh spesial yang bergerak lebih cepat dari kedipan mata, menyamarkan bilah mendekat. Kalau Wilhelm tak berpengalaman duel dengan dirinya, dia takkan mampu melihat kematian yang menghadapinya, lalu bilah akan menembus otak kemudian membunuhnya.

Kulit antara alisnya terbakar sebab serangan nyaris itu. Sekejap, sang Pedang Iblis menghilangkan keraguannya, lanjut mulai mengejar wanita yang membeku dalam posisi berbahayanya.

“Uuuhh, kuuh.”

“….”

Sebelum Wilhelm sempat bertindak, si wanita telah mendorong jari-jarinya ke daging kakek tua itu.

Kaki rampingnya menusuk tengah otot-otot perut bagusnya dan mengguncang organ-organnya; beban tendangannya menekuk dua tubuh Wilhelm, seraya kilatan melengkung perak menghantui di atas kepalanya.

Pedang lurus berkilauan, ibarat hendak memotong bulan.

Setelah mencapai letak puncaknya, pedang itu mulai meluncur kembali ke bumi, mengiris atmosfer dan bermaksud membelah dua Pedang Iblis.

Kekuatan serangan itu tidak bisa dibandingkan serangan sebelumnya; pedang kematian dan keterampilan pemiliknya jauh lebih mampu mengiris tubuh manusia manapun.

Kilat cepat yang menghampiri layaknya kematian.

“Jangan remehkan aku!”

Masih membungkuk, Wilhelm lekas mengayunkan tangannya ke atas, terhuyung mundur ketika kedua pedang saling bersilangan di atas kepala.

Bilah Pedang Iblis sendiri menubruk pedang yang diayunkan kepadanya dari atas, selagi rahangnya mengepal karena menahan kekuatan kuatnya. Tidak sanggup menangkisnya sama sekali, lengannya mulai menurun; melemah, pedang itu menusuk dahinya.

Darah menyembur keluar, bidang penglihatannya memerah. Akan tetapi, Wilhelm tidak jatuh terlutut, pedangnya sendiri belum patah.

“Uuuuhhh.”

Lengan yang menggenggam pedang dikuatkan ke atas, sekali lagi mendorong pedang yang menurun.

Menggetok pedang berat tersebut ke samping, goncangan susulan mengguncang sosok pendekar pedang di hadapannya; memanfaatkan momen ini, Wilhelm menendang ke depan.

Kekuatan itu alih-alih terpental kembali ke tanah, malah diarahkan ke sosok wanita yang berada di tengah udara itu.

Kombinasi kekuatan ayunan ke bawah pedang serta tendangan Wilhelm menghujam jauh tubuh si wanita. Pedang Iblis tua menyerbu tubuh langsing yang tak bisa melarikan diri lagi.

—kesempatan.

Melawan pendekar pedang wanita yang terhempas di tengah udara, tanpa rute pelarian, Pedang Iblis merendahkan bahu dan melancarkan serangan.

Mengejar dirinya yang melarikan diri, serangan itu datang sekaligus dari atas dan bawah. Sewaktu salah satu dari dua bilahnya melepaskan lengkungan, bagai gigitan binatang buas merobek badan rampingnya.

Di tengah udara dia masih memunggunginya, sang pendekar pedang tidak bisa melancarkan serangan balik.

Sekalipun begitu, kemurnian serangan Wilhelm terguncang sendiri.

“….”

Tudung yang menutupi kepala pendekar wanita itu tidak sanggup menahan tarikan gravitasi di tengah saltonya, terbuka dan mengungkap yang semestinya tersembunyi ….

Rambut panjang indah berwarna api menjuntai ke bawah.

“….”

Seketika penglihatan Wilhelm melihatnya, walau tidak sampai sekejap, serangan pria itu keliru.

Kesalahan yang teramat-amat minim, secercah penyimpangan dari kesempurnaan. Meskipun begitu, tidak seorang pun dapat menahan serangan ini.

Akan tetapi, mengingat lawannya sekarang ini adalah sang Pedang Suci, kesalahannya termasuk fatal. Bagi eksistensi yang pernah sekali disukai Dewa Perang, bilah cacat Pedang Iblis sama sekali tak menjangkau.

“….”

Melihat tindakan di depannya, sang Pedang Iblis membeku gemetar.

Serangan pasti itu terputus di tengah jalan.

Bukan sesuatu yang istimewa. Sang wanita semata-mata menghunus pedangnya selagi mengudara, kemudian diselipkan di antara pedang yang datang dari atas-bawah. Semudah menyelip remah yang terjepit di antara sepasang gigi taring.

Bilah serta ujung pedang panjangnya betul-betul menahan kedatangan kedua pedang yang datang persis di tengah jalurnya. Yang membuat Pedang Iblis bergidik adalah tabrakan besinya hanya terdengar sekali.

Menahan kedua bilah dengan suara tajam tunggal, berarti wanita itu telah menghitung waktu beradunya kedua pedang Wilhelm dan pedangnya sendiri dalam waktu mili detik.

Yang sungguh menakutkannya adalah kejelasan penglihatan, keterampilan, serta keberanian untuk melakukannya.

“—uuuhh.”

Aksinya, sejauh ini melampaui akal sehat, Pedang Iblis mendesau.

Sekarang ini, kaki wanita yang terjebak antara lengkungan pedang terbang, menendang tangan Pedang Iblis yang masih terdiam sewaktu serangannya berhenti.

Tabrakannya mengetuk tangan yang menggenggam kedua senjata itu, sejenak, Wilhelm benar-benar lengah.

Selanjutnya, baja berkilau pedang panjang mengukir serangan salib.

Gabungan kecepatan bilah mendekat juga jarak yang tak bisa lebih pendek lagi.

Walau jarak dan waktunya tipis, pendekar pedang tanpa senjata tidak dapat memblokirnya.

Pedang panjang itu menusuk kulit tipis kemudian terus masuk ke dalam organ-organnya, memutus tulang punggung, tanpa henti menyusuri sisi kiri badannya dalam satu gerakan dan membelah dua tubuhnya—batuk darah dan organ dalam, tubuhnya sudah terbelenggu usia tua. Demikianlah takdir tak terhindari yang menantinya.

Akhir yang tak bisa dielak, sekaligus kesimpulan persoalan ini.

Seusai akhir hidupnya, sesudah kehilangan segalanya, dia bahkan tidak menggapai kesempatan pertaubatan.

—kesimpulan semacam itu takkan mungkin diterima.

“RAAAAAAAAAAAAHHHHHH—!”

Wilhelm memberontak melawan takdir berdarah yang terlintas dalam benaknya.

Tenggorokan pendekar hantu terbakar ilusi kejadian terakhir, vitalitas umur dua puluhannya meledak muncul. Menembus batas konsentrasi sampai-sampai waktu terhenti, hanya dia dan lawannya yang bergerak waktu itu, suara serta warna dunia memudar dari fokusnya.

Bilah mendatang melacak lintasan asing yang hendak menusuk tubuhnya.

Berangsur-angsur merasakan sentuhan bilah menembus kulit rapuh, serta panas dan sakitnya pendarahan, sementara merasa laksana kekuatan gravitasi alam telah meningkat sepuluh kali lipat, Wilhelm menyalurkan segenap kekuatannya ke sepasang kaki.

Tumitnya tertanam cukup kukuh sampai menghancurkan batu, dia mengerahkan kembali kekuatan ke lengan kanannya sebagai gerakan reaktif.

Membalik tubuhnya sependek mungkin dari sudut terbaik, berputar ke samping seolah mendatangi pedang yang menyapu tubuhnya, penghindaran yang memungkinkannya mengikuti jalur pedang yang melintas di sisinya.

“….”

 Sesudah menggagalkan serangan musuh, pendekar pedang wanita melanjutkan serangannya namun tertunda sebentar.

Dalam waktu tertunda itu, Pedang Iblis mundur beberapa langkah, meraih pedang kembarnya di tengah udara. Sambil mendesah, telapak tangannya meraba-raba tubuh bagian samping, memeriksa kedalaman lukanya.

Jelas bukan goresan kecil.

Bagaimanapun, dia berbalik pas sebilah pedang menyerang tubuhnya. Berbalik ketika ditusuk, dengan sendirinya menoreh luka di tubuhnya.

Untungnya, dengan jarak setipis mungkin, dia mencegah bilahnya agar tak masuk ke dalam organ-oragannya, namun tetesan darah dari lukanya yang berjarak beberapa sentimeter dari organ dalamnya tidak sedikit.

Bagi orang awam, barangkali lukanya serius. Walaupun sebenarnya wajar—

“… sedari awal, aku merasa tidak dapat bertahan lama dalam pertarungan ini.”

Wilhelm sedang menempuh batas waktunya, dan batasnya makin pendek.

Wilhelm sang Pedang Iblis melepas bajunya dan secara paksa menghentikan pendarahan di pinggangnya; memperlihatkan daging sehatnya selama perawatan darurat ini, dia tak diserang.

Wanita yang melawannya semata-mata dengan tenang menonton, tatapannya tanpa emosi.

Wilhelm sendiri mengantisipasi gerakan atau perubahan kecil mata musuhnya, Wilhelm tersenyum pahit. Menekan lukanya yang terbuka, dia merasa sakit.

“Kelemahan itu tidak berguna. Berhenti bermimpi, reuni sakral ini, yang suatu hari kelak bisa kau nikmati sesukamu, di surga.”

“….”

“Aku rasa tidak sedang berhalusinasi. Ataupun mengharapkan keajaiban. Istriku adalah wanita yang enggan mengikuti jalan pedang, tetapi mendorong tanggung jawab pedang kepada orang lain, adalah sesuatu yang tak pernah dia perbuat sebelumnya.”

Mayat tanpa emosi, konstruksi yang kembali dihidupkan.

Rambut merah tua halus melambai-lambai, kulit halus bersalju nan transparan, mata laksana permata berharga; Wilhelm memejamkan matanya sendiri, dia teringat akan wajah manis yang tak pernah bosan dia tatap.

Semuanya berada di hadapannya, dan semua ini mestinya tak berada di sana.

“Theresia, betapa ayunya dirimu—Karenanya, kau tak boleh di sini.”

Wilhelm mempererat cengkeraman pedangnya, mulai bertarung lagi.

Pada saat ini, berdiri di sini, bukanlah suami Theresia van Astrea. Orang yang berdoa tuk berdiri di sini bukanlah Wilhelm van Astrea.

Kini yang berdiri di sini ialah Wilhelm sang Pedang Iblis.

—menghadapi istrinya yang sudah wafat, Wilhelm menguatkan jiwanya, sorot matanya menjernih dan jelas.

Biarpun darahnya mendidih, dia takkan membiarkan amarahnya di depan kehadiran penuh dosa mencapai puncaknya.

Namun, saat ini, sekarang ini, waktu ini, detail-detail lain tidak berguna.

Teman lamanya, rekan seperjuangannya, istrinya, pernah berkata kepada Wilhelm:

‘Jangan biarkan panas menodai pedang, jangan perkenankan darahmu mendidih, kau harus belajar mencintai dinginnya besi’.

Bagaimana kalau sekarang? Apa sudah mulai panas?

“Tidak, ini terlalu dingin. Selayaknya bilah pisau.”

Di bawah bulan, tatapan besi Pedang Iblis menusuk lawannya.

Talenta pendekar pedang wanita yang menjadi lawannya, juga menggoyangkan ujung pedang panjangnya lagi, tanpa cacat.

Sekejap, pedang mereka sekali lagi saling melintas.

Suara-suara besi bertabrakan menyerupai ratapan, permohonan, kasih sayang.

Ekspektasi akhir, dan harapan yang takkan pernah berakhir.

Seolah-olah bertukar dialog tanpa sepatah kata pun. Suara permainan pedang bergema tanpa henti.


“Ah, bangke! Ga ada respon sama sekali, konyol!”

Menghentak tanah, menendang dinding, menendang ke atas, dan marah-marah.

Terbang diagonal di udara, rambut pendek pirangnya berkibar-kibar saat dihembus angin, memperlihatkan giginya, gambaran keputusasaan.

Berkali-kali, menggertakkan taring, melawan sensasi membara dari tubuh dan dadanya.

“Bangsat! Hei, halo!”

Pakaiannya berdersir, dia berlari begitu menyentuh tanah lagi.

Tindakannya hanya bisa dilakukan orang-orang berkekuatan dan berdaya tahan besar, jauh melebihi tingkatan manusia. Akan tetapi, orang yang terbang di atas kota tanpa bantuan apa-apa tidak bangga dengan kemampuannya.

Malah, terus meraung ke cermin tak responsif di tangannya.

Garfiel berlari cepat, berteriak-teriak ke alat sihir di tangannya—Cermin Konversasi.

Cermin Konversasi yang semestinya bisa menghubungkannya ke orang lain yang juga memilikinya, ia tetap diam. Tidak seorang pun mengangkat panggilan Garfiel, padahal jelas ada dua kelompok yang bisa merespon.

“Orang-orang di Balai Kota atau kawan-kawan yang ngelawan Kemarahan! Ngapa ga bales!”

Cermin Konversasi seharusnya bertugas menghubungkan semua orang selagi bertarung.

Faktanya, Cermin tersebut bekerja dengan lancar setelah dia meninggalkan Balai Kota. Namun sekarang, saat kontak diperlukan, fungsi percakapan Cerminnya membisu.

—ini perlu dikomunikasikan.

“Mesti kasih tau kalau mereka kudu pergi dari Balai Kota sekarang, sial!”

Setelah berkata demikian, dia melompat ke atas, melewati jalan di depannya lalu menempuh jalan pintas.

Meskipun pendaratan kasarnya menghancurkan atap tempatnya mendarat, Garfiel tidak peduli. Ketimbang kerusakan kota, memastikan keselamatan rekan-rekannya jauh lebih penting.

Tujuan perjalanan cepatnya adalah Balai Kota.

Garfiel lekas kembali ke tempat yang ditinggalkannya beberapa menit yang lalu. Meninggalkan Wilhelm, rekannya, dia mati-matian mengontak Cermin Konversasi.

Tiada alasan lain.

Bahaya langsung mendekati Balai Kota yang menjadi markas mereka.

—Wilhelm bersama Garfiel telah tiba di Menara Pengendali yang ditempati Kenafsuan, hampir satu waktu kala Reinhard mulai melawan Keserakahan.

Menyaksikan aurora jauh, keduanya memasuki Menara Pengendali.

Tidak satu pun pemuja penyihir ataupun orang-orang menyebalkan yang mereka duga akan muncul nyatanya tidak mencegat jalan mereka. Benar ternyata, antek-antek Kultus Penyihir di kota tampaknya terdiri dari lawan-lawan tak jelas.

Segalanya berjalan lancar hingga waktu itu, belum ada tempat lain yang layak didatangi selain ruang pengendali menara.

Lantas, sepasang rekan itu menuju lantai teratas untuk bersiap bertempur melawan Kenafsuan. Dalam bayangannya, proporsi kekuatan kubu Kenafsuan adalah yang paling berbahaya. Selain Kenafsuan, ada dua petarung ulung, berarti mereka berdua wajib menghadapi tiga musuh—wajar saja bila mereka berdua tegang.

“Apabila memungkinkan, aku berterima kasih andaikata pendekar pedang wanita itu diserahkan kepadaku.”

“Kapten pun bilang gitu ke gua. Mungkin ada seseuatu sama lu berdua. Tapi, gua yang hebat ini juga punya unek-unek yang harus diselein sama tuh wanita. Ga bisa ngebiarin lu ngelawan dia semudah ini.”

“Dia adalah istriku. Bajingan-bajingan itu menghina kematian istriku, menginjak-injak jiwanya, kemudian memaksanya menghunuskan pedang yang telah dia sumpah untuk digunakan hanya demi melindungi.”

“….”

“Apa pun yang terjadi, ini tak diperbolehkan.”

Di tengah jalan, Wilhelm menyatakan alasan bertarungnya.

Alasan itu tidak bisa dijadikan sesuatu yang membuat Garfiel menyerah, tidak dapat membalas apa-apa dan hanya menutup mulut. Ketidakmampuannya merespon saat itu, mungkin menjadi momen ditetapkannya lawan paling tepat melawan pendekar pedang wanita itu.

“….”

Biarpun dia tidak mengatakan apa-apa, Garfiel menyerahkan musuhnya kepada Wilhelm. Wilhelm juga memahaminya, kepala menunduk bisu sebagai pernyataan terima kasihnya.

Lantas, seketika dia lenagkah ke Menara Pengendali, Garfiel merasakan sensasi dingin rambutnya yang berdiri.

Sekiranya Wilhelm akan bertarung melawan pendekar pedang wanita itu, maka Garfiel mesti mengurus dua musuh lain sendirian. Sang pendekar pedang datang tiba-tiba, dan raksasa yang menyertainya pun tak kalah kuat darinya.

Kendati Kenafsuan kelihatannya kurang kekuatan tempur, Subaru telah berulang kali menegaskan hal paling menakutkan soal Kultus Penyihir, yakni kemampuan tempur langsungnya.

Ketegangan sunyi dan semangat bertarung menjalar.

Ketika indra penciumannya menangkap bau darah yang kian kuat, Garfiel menggunakan perisai perak yang diikat di kakinya, lalu bergegas masuk ke ruangan.

Di sana, dia melihatnya.

‘Kenapa pula aku harus patuh menunggu di sini? Tolol’

Kata-kata yang tertulis darah, memenuhi seluruh dinding ruangan.

Sewaktu dia menyadari maksudnya, kepala Garfiel mendidih.

Melarikan diri dari pertempuran seakan-akan memang niatnya begitu, tipe kepribadian yang dengan gamblangnya berkata tidak wajib menunggu.

“—tak bertanggung jawab. Bangsat-bangsat itu cocok melancarkan trik semacam ini.”

Wilhelm melirihkan suaranya dan mengambil Cermin Konversasi dari lengan bajunya. Alasannya mencoba menghubungi Balai Kota secepat ini adalah karena Wilhelm terlebih dahulu memikirkan perkiraan ini.

“Seumpama pasukan kita dikirim ke medan perang, maka kekuatan tempur pangkalan kita jelas bakal berkurang. Orang-orang ini takkan ragu-ragu memanfaatkan kesempatan ini.”

Di depan Garfiel yang wajahnya pucat, Wilhelm meringis pada cermin tak responsif.

Pada saat yang sama, di sepanjang atap Menara Pengendali, muncul aura permusuhan menekan.

Garfiel tahu keberadaan musuh sebab punggungnya serasa laksana dibelai pisau.

Wilhelm pun merasakan kehadiran musuh.

“Garfiel-sama, aku percayakan Balai Kota kepadamu.”

“Kalau emang gitu, gua yang hebat ini bisa sampai sana lebih cepet.”

Saling bertukar opini secepat kilat.

Musuhnya bagai pisau klandestin setajam silet. Lengah di sisi belakang sewaktu mencoba melarikan diri malah akan membuat mereka berdua ditebas dari belakang.

Di antara keduanya, salah satu wajib tinggal.

Satunya lagi wajib balik ke Balai Kota.

“Tolong, jangan putuskan kontak—Tuanku, aku percayakan beliau kepadamu.”

“Itu jelas. Layaknya suara Libre membangkitkan darah para prajurit.”

Garfiel menangkap Cermin Konversasi yang dilempar Wilhelm dan melesat keluar dari Menara Pengendali.

Setelahnya, dia terbang melintasi kota, menyeberangi kanal, dan lanjut berbicara pada cermin yang tidak kunjung merespon—Pertarungan Wilhelm juga barangkali baru dimulai.

“Sial! Semuanya, sia-sia …!”

Jikalau Kenafsuan melangsungkan serangan mendadak ke Balai Kota, pasukan yang menyambutnya sangat sedikit.

Anastasia serta Felix tak mempunyai kekuatan tempur, apalagi Crusch pingsan karena luka-lukanya. Biarpun sejumlah anggota Taring Besi berjaga-jaga, kekuatan tempur mereka takkan cukup dibandingkan dengan Mimi.

Sesaat dia memikirkan Mimi, dada Garfiel menjadi sakit.

Gadis yang sampai sekarang berada di jurang kematian, gadis yang dia tolong, selamatkan, lindungi.

Menjaga hidupnya, jelas mestinya itu tugasnya.

Tugas itu telah diberikan kepada orang lain karena keterlibatan perasaan, kesempatannya untuk membalas dendam makin-makin meningkat seiring waktu berlalu. Namun demikian, bahkan pekerjaan alternatifnya tidak bisa memuaskannya seratus persen.

Dia sedang apa? Melihat sebagaimana tindakannya saat ini, dia lagi apa?

Bagi Mimi, Subaru, kakaknya, Ram, atau orang lain, dia tidak sanggup mengangkat kepalanya untuk menghadap mereka.

“Gua yang hebat ini, sekali lagi—!”

Tidak bisa melakukan apa-apa?

Cermin Konversasi tak responsif membayangkan wajah tidak yakinnya. Kala itulah dia mengutuk diri sendiri ….

“…!?”

Selagi dia menghancurkan atap sambil melompat, dia sedikit kelewat lambat dalam bereaksi terhadap bayangan yang terbang dari samping.

Tubuhnya jauh lebih raksasa dari tubuhnya sendiri, Garfiel menabraknya secara horizontal.

Alasan Garfiel bahkan tidak bisa menangis kesakitan adalah karena tenggorokannya dicekat siku. Darah serta oksigen tidak bisa bersirkulasi ke otak, mempertahankan kesadarannya kian sulit.

Yang sedikit demi sedikit menarik kesadarannya adalah kekuatan di sekujur tubuhnya.

Disambut tubuh yang memiring di tengah udara lalu menabrak gedung terdekat. Seluruh tubuhnya menabrak dinding, Garfiel menyapu awan debu.

Rasa sakit kuyu dan tulang-tulang patah serta erangan Garfiel, sesaat dia merasa terbebas dari kekangan. Memanfaatkan elastisitas tubuhnya, Garfiel menghentak tanah sekuat mungkin, kembali membangkitkan dirinya lagi.

Mendapati dirinya dalam bangunan tak bercahaya. Kabut yang memenuhi ruangan telah menjadi asap putih bermandikan sinar rembulan, dan di hadapan dirinya yang batuk-batuk darah, Garfiel mendeteksi eksistensi lain.

Tak salah lagi pelaku yang membegalnya hingga akhirnya dia mendarat di sini.

“Segawon, lu bener-bener tau cara—”

Seketika Garfiel memasang kuda-kuda bertarung, tinju menghantam perutnya.

Seluruh area perut Garfiel menahan segenap tinju raksasa lawannya, kemudian tubuhnya terbang ke atas. Berikutnya, dia dihantam tinju dan menerbangkannya ke bawah, kemudian hancur menabrak lantai tua di bawahnya kemudian Garfiel jatuh ke lantai lain.

“Ugggh, apa … kuuh!?”

Telapak kaki menabrak badannya yang terjatuh ke bawah.

Kerusakan dari momentum dan tabrakannya membuat Garfiel meludahkan darah, selanjutnya tubuhnya sekali lagi diinjak, dahsyatnya jatuh terus sampai pintu masuk gedung, diakhiri tubuhnya yang menabrak jalan.

Dari benturan mengagetkan ini, Garfiel terus-terusan batuk selagi bangkit berdiri. Pada saat yang sama, dia merapalkan sihir penyembuhan sederhana ke dirinya sendiri, merajut tulang-tulang patah seraya mengangkat kepala.

Orang yang mengejar Garfiel dari atas gedung sampai tempat terkini adalah sosok raksasa, kepala Garfiel perlu mendongak untuk melihatnya.

Kendatipun dari atas sampai bawah terbalut jubah hitam, bahkan itu pun tak mampu menyamarkan kaki-tangan kekarnya. Alih-alih menyebutnya berotot, tidak berlebihan misal ototnya sama saja baju zirah.

Bagi Garfiel, inilah ketiga kalinya dia melawan musuh itu.

Namanya pun dia sudah tahu.

“Kurgan sang Lengan Delapan ….”

Salah satu pahlawan pengayun pedang Kekaisaran Vollachia.

Sekalipun seharusnya sudah mati selama pertempuran Mempertahankan Ibu Kota Kekaisaran beberapa dekade lalu, dirinya yang hidup saat inii, mungkinkah kematiannya sama dihinakannya sebagaimana istri Wilhelm?

“….”

Tatkala Garfiel memanggil namanya, Kurgan sang raksasa mengulurkan tangan.

Kala itu, jubahnya terlepas, memperlihatkan sosoknya. Dengan kata lain, Kurgan sang pahlawan mengungkapkan keahlian pertarungan jarak dekatnya.

Benar saja, tubuh kuatnya dilengkapi baju besi berotot tebal.

Fisik kuat yang bisa menyaingi para raksasa, serta wajah di leher mirip iblis, serba ekspresi dominan dewa perang.

Lantas yang membuat dewa perang ini diakui seperti adanya adalah sebab delapan tangan yang memungkinkan penggunaan teknik bertarung aneh itu.

Selain dua lengan yang normalnya tumbuh dari bahu, dua lengan lain tumbuh dari tempat yang sama. Di bawahnya lagi terdapat dua lengan yang asalnya dari bahu, dan sisanya memanjang dari belakang bahu.

Sesuai nama Kurgan sang Lengan Delapan. Orang yang sanggup melemahkan semangat bertarung musuhnya dari penampakan tubuhnya belaka.

“….”

Melawan Garfiel yang menelan napas dalam-dalam, Kurgan tetap menutup mulut ketika menarik senjatanya.

Terikat di kaki kekarnya, kebetulan sama poissinya seperti perisai Garfiel, adalah sepasang pedang tebal nan panjang—Parang Hantu adalah senjata yang diayunkan dewa perang ini.

Dewa perang menarik sepasang lagi Parang Hantu dari punggungnya, total empat senjata. Biarpun empat lengan lainnya masih tidak bersenjata, Garfiel masih kewalahan.

Dia tak sempat meremehkan musuh sebentar saja.

“….”

Tubuhnya gemetaran.

Di depan pahlawan sejati ini, tubuh Garfiel gemetar sampai inti-intinya.

Garfiel menatap sang pahlawan, sosok legendaris, pria hebat yang mencatat dirinya dalam sejarah.

Garfiel mustahil tidak tahu nama Kurgan sang Lengan Delapan.

Garfiel memang menaruh minat besar pada banyak sekali legenda berbagai tempat.

Hari ini, legenda itu berdiri sebagai musuh di depan matanya sendiri.

Ini mimpi buruk. Mimpi buruk berkelanjutan yang baru saja dimulai kemarin.

Apalagi yang berbahaya seperti itu?

“… haa, ahh, huuuh.”

Napas Garfiel mencepat seketika dia meraih kakinya.

Terpasang seperti Parang Hantu, adalah perisai perak. Tak sadar berapa kali jemarinya tergelincir, akhirnya, talinya terlepas.

Menempatkan perisai di lengannya seakan-akan menutupi tinjunya, Garfiel ketuk-ketuk untuk memastikannya, menimbulkan gema nada tajam di langit malam.

Perlengkapannya siap, luka-lukanya cukup sembuh dan tidak mengganjalnya lagi.

Akan tetapi, pikirannya sejenak masih lelah.

“Gada waktu buat ngoceh ga jelas—!”

Menguatkan taring, Garfiel memukul wajahnya.

Kepala menggeleng karena sakit dan syok memusingkan, pandangannya teralih ke depan lagi. Lagi-lagi memperhitungkan kuda-kudanya, dia memamerkan taring pada dewa perang di hadapannya.

“Kalau elu cuma berdiri di sono, terus gua yang hebat ini ngapain! Entah Kapten! Atau orang lain pula! Mereka semua bertarung! Jelas elu cuma jago bertarung, terus elu nunggu apa lagi?”

“….”

Terhadap Garfiel yang berteriak-teriak, Kurgan tetap tenang.

Dewa perang diam yang dihadapi Garfiel semata-mata mengawasinya dengan tenang. Cemberut, Garfiel menghancurkan garis jalan, bergegas maju satu langkah.

Melalui sol sepatunya, dia menyerap kekuatan bumi, mengizinkan Divine Protection of Earth-Soul-nya mengarahkan semua energi tersebut ke satu pukulan.

Tinjunya betul-betul diresapi kekuatan yang mampu menghancurkan bangunan batu.

Perisai peraknya memperkuat pukulannya, satu pukulan cukup berefek bahkan bagi seorang pahlawan.

Lengannya terbang lurus tepat sasaran menuju pinggang Kurgan—

“—bagaimana?”

“….”
Menggunakan kekuatan penuh badannya, serangan Garfiel diblokir Parang Iblis Kurgan.

Parang Iblis menghalangi serangan langsung yang mengarah ke perut Kurgan, menahan kekuatan serangan Garfiel. Dia tak menghindar, tidak pula tersentak.

Satu blok keras, serangan bertubi-tubi dihalau. Pahlawan Lengan Delapan hanya menggunakan satu lengan.

“—uuughh.”
Raut wajah Garfiel mengkaku karena datang serangn dari bahu. Tubuhnya yang mundur tertangkap lengan menonjol dari samping, tidak bisa melarikan diri, dia cuma dihajar habis-habisan.

Tulang pipinya langsung patah, fundusnya hancur. Penglihatan mata kanannya serba ternoda merah cerah. Taringnya remuk dan hasil remuknya terbawa angin. Tubuhnya masih ditahan, dilempar ke tanah, kaki kuat menendangnya ke tanah, dia terguling, terguling, terguling, terguling sampai kanal terdekat.

“—aaa.”

Segalanya berjalan cepat, dia menatap bulan yang melayang sangat tinggi di atasnya.

Bulan itu terlihat seolah menertawakannya. Setelahnya, tubuh Garfiel tenggelam ke kanal.

—permukaan airnya diwarnai merah tua.

Share this post on:
Subscribe
Notify of
guest
7 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
azir

Waaa updatee…terimakasih min

Reinhard SiDragon

Saran si Min…
Percakapan nya harus nya ada imbuhan seperti “ucap subaru” dll…
Biar jelas siapa yg lagi berbicara ataupun sedang menggumam dlm hati…

Louis arneb

Hahaha

Xxrckk

Novel ya emng kayak gini cuk, kagak ada “ucap xxx” seperti yg lu request kan. adapun bakal jarang. Hanya untuk beberapa moment doank. Kalau semisal lu sampe protes, berarti pemahaman baca lu kurang

Botolgas_Romane_Kontol

lanjut ~tsu ATSU

フル君

Akhirnya ada komenan si Mimin lagi.. wkwk

Mantap TL nya min..
Lanjoooooott..