Share this post on:

Orang yang Kelak

Akan Kau Cintai

Penerjemah: Mytha, the Banefull Queen

Sejenak, Emilia tidak paham arti perkataan pria itu.

Tanpa sadar dia menelan ludah. Pria di hadapannya—Regulus, menanggapinya dengan mengangkat tangan sambil tersenyum.

“Aaah, maaf menanyakannya semendadak ini. Aku mungkin sedikit mengejutkanmu. Jujur, aku meminta maaf saat itu. Sepertinya aku harus terus mengatakannya, tetapi aku adalah orang pemaaf. Ada orang-orang tak sedap dipandang di dunia ini yang tak mengakui dosa mereka sendiri dan menyalahkan ini-itu, terlalu takut mengakui kesalahan pribadi. Mereka pikir tidak berbuat satu kesalahan pun, kalaupun kau mengosongkan amal mereka dari lahir hingga saat ini dan diperiksa kembali. Salahnya, mereka berubah menjadi begitu, searogan apa mereka? Seandainya mereka bisa memeriksa apa yang menghalangi mereka sedikit saja, lalu bandingkan dengan luasnya dunia dan mulai paham betapa kecilnya eksistensi mereka sesungguhnya, maka mereka takkan berakhir demikian, satu permintaan maaf belaka, apakah itu yang mereka sebut kepribadian? Itu mencerminkan karakter mereka. Bukankah begitu?”

“Kalau begitu, meminta maaf itu penting?”

“Benar! Benar itu, meminta maaf itu penting. Sungguh melegakan. Jelas sekali, dan kau sepertinya paham hal itu, jadi aku cukup lega. Di dunia ini, orang-orang yang tak mengerti sesuatu sejelas ini mengejutkannya ada banyak. Membuatku membenci mereka. Lantas, rupanya tidak ada masalah menyesuaikan pemahaman antara pasangan tentang meminta maaf. Aku lega, tampaknya aku dapat akur denganmu mulai dari sekarang. Jadi, aku minta maaf. Masalahnya adalah, aku sedikit tak sabaran ….”

Setelah berbicara sampai saat itu, mata Regulus menatap Emilia dari atas sampai bawah. Karena tubuhnya terbungkus selimut, dia sedikit membeku melihat pandangan tersebut.

“Ya, malu itu penting bahkan di antara pasangan. Ketika itu aku pikir kau sangat baik. Sekali lagi, mengenai pertanyaan sebelumnya, lebih baik kau tidak salah paham. Aku, lebih dari segalanya, tidak mengecek apakah kau masih perawan atau tidak menurut sudut pandang kata-kata. Sudah kututurkan beberapa kali, namun akulah suamimu dan kaulah istriku. Kurangnya ikatan kasih sayang serta adab tak diperkenankan dalam pernikahan. Dihubungkan oleh rantai panjang yang disebut cinta, mencurahkan semuanya demi pasanganmu sudah jelas. Maka dari itu, dirimu yang belum pernah disentuh pria lain …. Itulah jenis jaminan yang aku perlukan.”

“Jaminan, aku belum disentuh orang lain …?”

“Tentu saja, memeriksa apakah kau mempertahankan sisi gadismu dengan bukti meyakinkan itu omong kosong. Tetapi sebagai semacam batu ujian, aku pikir nilainya signifikan. Jadi, dengan hati-hati, walau tahu pengalaman ini takkan kau nikmati, aku menanyakannya. Aku ingin kau paham bahwa ini dikarenakan cintaku kepadamu. Sejumlah orang asing tak kau cintai, yang peduli bagaimana keperawanan mereka. Sebab aku mencintaimu, oleh karena itu aku memeriksa.”

Regulus dengan lancarnya dan terus-terusan berbicara perihal alasan pemikirannya. Terguncang gelombang kata-kata ini, Emilia merasakan sesuatu menyeramkan pada Regulus yang suka bicara.

Tak tahu alasannya, sesuatu soal penampilannya tak henti-hentinya membangkitkan perasaan déjà vu  dalam hatinya, hal yang didengarnya terus menuang layaknya air dan tidak tersimpan dalam ingatannya. Hanya saja, dia menyadari satu hal.

Yang si pemuda anggap penting, istilah perawan. Itu ialah—

“Jadi, aku bertanya sekali lagi—Hei, kau masih perawan? Atau tidak?”

“Anu, kata perawan, maksudnya apa? Maaf. Aku, belum pernah mendengarnya sebelumnya.”

“… apa?”

Setelah dilontarkan pertanyaan yang disiapkan kata-kata penuh bunga, Emilia menjawab sambil memohon maaf.

Dia tahu Regulus punya keterikatan kuat dengan kata itu, namun Emilia tak tahu artinya.

Barangkali, ada hubungannya sama gadis muda, pikir Emilia.

Suara lirih bertanya dan mendengar balasan Emilia, ekspresi Regulus menyuram.

Memejamkan mata, menutup mulut. Merenung, tindakannya membuat kecemasan menyebar, tetapi heningnya tak berlangsung selama yang dibayangkan.

Membuka mata lebar-lebar, Regulus mengulurkan tangan ke Emilia. Selanjutnya ….

“Sempurna—Kaulah, gadis idealku.”

“Eeeeh?”

Memegang tangan Emilia, wajah Regulus menunjukkan senyum cerah.

Wajah yang tulus bahagia, tak seperti senyum sebelumnya. Ekspresinya semacam itu, ekspresi berseri-seri seorang anak yang mendapatkan mainan harapannya dari orang tua penyayang.

Regulus meraih dan menjabatnya ke atas-bawah berulang kali.

“Ya. Memang semestinya begitu. Keperawanan tubuh ini, dan tubuh semuanya, tidak betul-betul cocok untukku sebagai penguji, aku selalu berpikir begitu. Akan tetapi, perasaan murni sejatinya adalah yang berada dalam hatimu. Tubuh perawanmu adalah berkat! Asalkan, pikiranmu tetap perawan juga. Seakan-akan aku merasa telah sampai di kebenaran. Mengagumkan. Kau membawakan hal baru kepada diriku yang sebelumnya puas.”

“….”

“Ya, ya, aku paham. Tenanglah, aku menyambutmu sebagai istriku. Selain itu, aku kedapatan sesuatu yang penting. Saat menyambut istri baru, menanyakan keperawanan mereka tidaklah uckup. Andai mereka bahkan belum sampai tingkatan pemahaman anak kecil mengenai definisi keperawanan, itu menurunkan nilai seorang istri. Hati mesum tidak dibolehkan. Tak cocok untuk istriku.”

Melepaskan tangan Emilia, Regulus menjauh dan sosoknya sangat puas.

Makna ucapannya masih belum dipahami baik-baik oleh Emilia. Sedari awal, maksud suami dan istri masihlah misteri baginya. Menurut Emilia, istri adalah bagian dari ayah dan ibu yang disatukan, namun dari kata-kata Regulus, gambaran banyak istri terlintas di kepalanya. Gagasan yang jauh dari akal sehat Emilia tentang sifat pasangan yang sudah menikah. Barangkali dia sedang membicarakan konsep berbeda tapi pengucapannya sama?

“Woah, dan penampilanmu tidak boleh dibiarkan begitu saja. Aku akan segera mengatur baju ganti—Nomor 184! Kemarilah.”

“….”

Meninggalkan Emilia yang kebingungan sendirian, Regulus tiba-tiba memanggil nomor. Kemudian, dari sisi lain koridor, wanita yang tadi meninggalkan kamar Emilia kini muncul. Wanita muda berambut pirang panjang dan sopan, dia menghampiri sisi Regulus dan langsung menyambutnya. Regulus mengangguk terhadap gerakannya, dan ….

“Buat dia … pakaian ganti untuk Nomor 79. Begitu siap, aku akan mengadakan pernikahan. Anak ini akan berada di posisi setara dengan kalian semua. Akrablah, dan jaga dia.”

“….”

“Ya, kau tidak mudah tertawa lagi—Anak baik. Istri yang baik.”

Kepada wanita yang mengangguk diam. Regulus bicara seolah puas.

Setelahnya, mendekati Emilia yang masih kelihatan linglung, jemarinya membelai rambut peraknya, kemudian mengelus kepalanya.

“Nah, sampai nanti.”

“Iya ….”

Insting Emilia menyuruhnya untuk tak melawan Regulus. Menerima jawaban singkat Emilia, pria itu kemudian menghilang ke sisi lain koridor dengan suara langkah kakinya.

Regulus barusan berada di sana, tenang pula—bahkan saat itu, keberadaannya memancarkan tekanan aneh yang bagi Emilia merupakan ancaman berbahaya yang mengingatkannya ketika tanah air lamanya terancam.

“Lewat sini.”

Wanita di sebelah Emilia mendadak memanggilnya. Emilia menatap punggung yang sudah lama menghilang. Mendengar suara wanita itu pertama kalinya, si gadis blasteran elf mengingat alat musik dawai yang keindahannya jernih. Akan tetapi, suara itu, sebagaimana parasnya, terasa seakan-akan semua emosi di dalamnya telah membeku dan mengeras.

“Hei, maaf, aku punya banyaaak pertanyaan yang ingin kutanyakan ….”

“Pakaian gantimu.”

“Pakaiannya penting, tapi …. Ya, kau tahu tempat ini di mana? Aku sebelumnya berada di sebuah alun-alun Pristella bersama seorang Pemuja Penyihir …. Ah, sungguh.”

Mengabaikan Emilia yang berusaha mengajukan pertanyaan, si wanita segera pergi. Cepat mengiuti di belakangnya, Emilia terus-terusan bertanya, entah bagaimana mencoba memperjelas situasinya, namun punggung yang berbalik sepenuhnya tak menjawab apa-apa.

Dipandu oleh wanita di hadapannya, dia sampai di sebelah kamar tidurnya tadi. Kamarnya yang menyerupai ruang tertata sederhana, perabotannya pun secara paksa dijejalkan ke dalam.

“Ini pasti, awalnya, ruangan yang sedikit berbeda ….”

“Pakaian dan sebagainya dipilih dengan hati-hati, suami-sama membawanya. Nomor 79, ganti pakaianmu dengan pakaian itu.”

“Maksud Nomor 79, maksudmu aku? Barusan, aku rasa Regulus juga begitu memanggilku. Kau ….”

“Aku Nomor 184. Istrinya, sepertimu.”

“Seperti aku ….”

Saat pintu ditutup, barulah si wanita—menamai dirinya sendiri Nomor 184, mulai berbicara. Suaranya yang telah kehilangan emosi belum berubah, nampaknya mustahil berbincang-bincang.

“Perihal kata istri, sudah aku tanya beberapa kali, namun apa sama dengan Nyonya? Kalau begitu, aku, rasa tidak menjadi Nyonyanya Regulus ….”

“Kendati pemikiranmu tidak demikian, dia berpikir seperti itu. Semisal dia punya pemikiran itu, maka pemikiranmu tidaklah relevan.”

“Bukannya aneh …. Menjadi seorang Nyonya, kau mesti menikahi Tuanmu, kan? Aku, tidak menikahi Regulus, dan tidak ingin. Menikah adalah antara laki-laki dan perempuan, yang katanya mereka akan tetap bersama dan harus tetap saling menyukai sesudahnya. Aku, belum sanggup berjanji seperti itu dengan siapa pun ….”

“Kalau maksudmu pernikahan, akan dihelat sekarang. Dengan itu, masalahnya akan selesai.”

Nomor 184 kelihatannya sama sekali tak ingin mendengar omongan Emilia. Sekalipun terjadi dialog, namun dialognya tak nyata, Emilia jadi kian bingung.

Sementara itu, Nomor 184 sudah mendekati Emilia, dan mencoba menarik selimut yang menutupi dirinya.

“Ah, sebentar, kau sedang apa?”

“Segera memakaikanmu pakaian pengantin. Untungnya, pakaianmu sudah disiapkan. Sewaktu aku melepaskan pakaianmu dan membaringkanmu di tempat tidur, ukurannya sudah diperiksa, tolong tenanglah.”

“Kau yang mengganti pakaianku?”

“Kau pikir aku suami-sama? Tenanglah. Dia tak terbiasa mengintip kulit wanita, dan sejak awal tidak tertarik pada wanita. Seusai keperawananmu terjamin, dia takkan melakukan apa-apa.”

“Kau, membicarakan keperawanan juga?”

“… itu mengejutkan. Tentu saja, tetapi itu bukan akting, kau beneran tidak tahu?”

Pertama kalinya, sesuatu menyerupai emosi kecil terlintas di raut wajah Nomor 184. Melihat wajah kaget samar-samar itu, mata Emilia membelalak, lalu tertawa sedikit.

“Tuh, kau bisa terkejut juga. Kalau begitu kau bisa bicara sambil tersenyum. Itu, jauh lebih cocok untukmu, kurasa.”

“… suami-sama tidak menyukainya. Aku pun akan menasihatimu: suami-sama menyukai penampilanmu yang biasa. Berbijaksanalah untuk tidak tertawa, marah, atau mengubah ekspresimu. Kalau bisa, tidak membuka mulut bahkan lebih baik, kupikir.”

“Maksudmu tidak bicara? Kenapa?”

“Karena kau tidak tahu kalau kau akan melanggar hak-hak suami-sama atau tidak.”

Melepaskan selimut Emilia, Nomor 184 memberi pakaian dalamnya. Setelah diterima, Emilia mengenakannya dan ukurannya serasa pas.

Melihatnya memakai pakaian dalam selagi tangan-kakinya gemetaran, Nomor 184 mendadak mendesau.

“Ada yang salah?”

“… tidak, aku cuma berpikir kau cantik saja. Tangan dan kaki kurusmu, kulit putih, apalagi rambut perak panjangnya.”

“—? Makasih. Biarpun kau tidak dari hati mengatakannya, aku senang. Hanya Subaru dan Anne yang memberitahuku hal-hal semacam itu.”

“Subaru … seorang pria, bukan?”

“Ya, dia kesatriaku. Kupikir dia akan sangaaat mengkhawatirkanku. Jadi, aku ingin cari tahu ini di mana ….”

Barangkali, akan membuatnya terlampau cemas.

Dalam kepala Emilia, dia sama sekali tak berpikir Subaru sudah mati. Beatrice bersamanya, gambaran Subaru berada di situasi yang mengancam nyawanya dari awal, sepenuhnya tak dibayangkan Emilia.  Subaru, entah bagaimana dia pasti selamat.

Jadi, ditangkap dan tidak bisa bilang apa-apa pada Subaru betul-betul menyedihkan.

“Orang yang kau panggil Subaru, jangan pernah sebut dirinya di depan suami-sama.”

“Uh, kenapa?”

“Sebagaimana perkataan suami-sama, keperawananmu akan dicurigai,”

“Lagi-lagi, soal keperawanan itu.”

Mengungkit istilah sebagai alasan tanpa menjelaskan maksudnya betul-betul membingungkan.

Tak menjelaskan lebih lanjut ke Emilia yang cemberut, Nomor 184 mengambil gaun putih murni dari lemari, lalu didekatkan ke badan Emilia. Bagian depan yang terlihat berkilauan, serta banyaknya ornamen mewah yang menempel menjadikan gaunnya indah.

“Tapi, sepertinya sulit untuk bergerak.”

“Bijaksananya, komplain pun jangan diungkapkan. Aku akan mendandanimu sekarang.”

Sambil bertanya-tanya, kepalanya memiring, apakah pakaian termaat indah itu bahkan cocok untuknya, Emilia mengenakannya sesuai instruksi Nomor 184, dia mengganti baju.

“—aaah, bukannya ini hebat. Ternyata aku benar, putih cocok untukmu.”

“… makasih.”

Kata Regulus dengan suara cerahnya sesaat melihat Emilia telah berganti pakaian,

Penampilannya pun berubah dari pertemuan di lorong sebelumnya. Raut wajah Emilia menunjukkan bahwa dia mengetahuinya, dan Regulus dengan santai membuka kerahnya ….

“Pernikahan itu penting, tahu. Biasanya, aku tidak berpakaian seperti ini, namun aku tak ingin mempermalukanmu dengan sikap keras kepala tak adil. Hal ideal bagi pasangan yakni saling memikirkan satu sama lain, tanpa menganggapnya tak nyaman. Sekiranya hanya segini saja, aku tak ingin membebanimu dengan pikiran resah mengenai semua pertimbangan yang telah aku tunjukkan kepadamu, aku cuma ingin tahu bahwa, bila demi dirimu, aku adalah pria yang bersedia menerima sejumlah perubahan. Mengenai tempatnya, tak lama lagi akan siap.”

“Tempatnya … maksudmu di sini?”

Mengenakan tuksedo putih dan jubah, Regulus menoleh, Emilia ikut menoleh dan menatap sekelilingnya.

Dia berada di katedral—Tepatnya, katedral yang hanya digunakan untuk satu tugas penting ketika memulai upacara pernikahan.

Setelah pakaiannya diganti oleh Nomor 184, Emilia untuk pertama kalinya meninggalkan gedung, dan langsung menyadari bahwa dia tengah beristrirahat di sebuah ruangan dalam salah satu Menara Pengendali. Dari sana, Emilia diantar Nomor 194 dari Menara Pengendali ke katedral ini.

Bagian luar katedral sibuk dipenuhi para kuli yang sedang mempersiapkan acara pernikahan. Tak berbicara sepatah kata pun menyiapkan tempatnya, ke mana pun kau melihat, hanya ada wanita-wanita cantik berpakaian modis.

“Gadis-gadis ini istriku, posisi mereka sama denganmu. Keseluruhan, jumlah mereka 291 … sedih memang, tapi banyak anak-anak itu yang meninggal, tahu. Namun mereka yang masih bersamaku, aku tuang cintaku kepada mereka secara adil, pikirku. Itu jelas. Beberapa prinsip memihak dan mencintai satu orang belaka terlalu menyimpang dari definisi suami. Aku takkan melakukan hal seabsurd itu. Cinta konstan, jumlah konstan, dengan cara konstan, aku membagikannya. Di sini, tiada favoritisme, tiada kesenjangan, tiada ketidakadilan. Tenanglah. Karena aku, juga mencintaimu dengan cara yang sama.”

“Ucapanmu, bukankah itu namanya ….”

“Suami-sama. Minta sedikit waktu, sepatah kata.”

‘Namanya aneh?’ Emilia hendak mengatakannya.

Melangkah maju, Nomor 184 yang menunggu di sisi mereka berbicara ke Regulus, mendengar Nomor 184 alisnya sedikit mengerut.”

“Kau tahu. Aku sedang berbicara dengannya sekarang, kau tahu sendiri, kan? Menginterupsiku sekarang, selagi kami tengah saling mengasuh cinta kami yang tumbuh, hanya aku dan dia, bukankah kau malah mengoleskan racun? Ataukah kau tidak memedulikannya? Basa-basi singkat antara suami-istri, aku pikir itu amat penting. Bukannya sudah berulang kali aku kasih tahu? Tapi tetap saja menghalangi, kau membuat keinginan kecilku tiada arti. Bagaimana menurutmu, Nomor 184?”

“Aku teramat minta maaf. Namun, ini penting. Aku tahu ini lancing, tapi aku bertindak semata-mata demi suami-sama, aku memintamu, untuk mendengar perkataanku.”

Bicaranya semakin cepat, tanda-tanda bahaya terpancar dari seluruh tubuh Regulus. Namun demikian, meski ditatap tajam, sikap tegas Nomor 184 tak mengalah ketika dia menasihati Regulus. Tentu saja saat melihatnya, Regulus akhirnya menurut.

“… baiklah. Bicara. Memberi kebaikan untuk sang istri, adalah kemurahan hati seorang suami. Aku bukan orang sepicik itu hingga tak dapat melakukannya.”

“Aku benar-benar bersyukur. Yah, ini soal pesan siaran lalu …. Tidak apa-apakah? Seumpama, terdapat potensi gangguan pada pernikahan ….”

“Siaran? Suara gemetar yang tak begitu aku pedulikan. Memangnya penting? Seandainya mereka ngomong saja, maka tak jadi soal. Hanya komplain pengecut yang bahkan tidak mampu menyatakan keahliannya sendiri, merangkai sejumlah kata pas, cuma itu yang aku percayai. Kecuali Capella atau Sirius, misalkan sampah itu maka aku tidak tahu …. Tidak peduli juga. Ataukah, kau tidak memercayai kekuatanku? Maka, sebagai seorang istri, apakah kau meragukan kemampuan suamimu?”

“Tidak, aku percaya. Jikalau suami-sama di sini, maka tidak ada yang perlu dirisaukan. Aku hanya berharap kata-kata suami-sama bisa menghilangkan kegelisahanku, itu saja. Mohon maafkan istri yang kurang, dan gagal mengandalkanmu.”

Jawaban yang tampaknya disiapkan, Nomor 184 mencoba menghindari pertanyaan Regulus. Perkataan gadis lemah yang wajah dan suaranya tanpa ekspresi, Nomor 184 terpaksa. Kemudian Regulus menggeleng kepala ibarat terkesan oleh kata-kata Nomor 184.

“Apabila demikian. Bahkan aku sendiri tak memikirkannya, maaf. Walaupun tak ditanya pun, aku semestinya menyadari pikiran cemasmu. Seseorang harus mempertimbangkan pemikiran orang lain, kendati pemikirannya tak terucapkan, lantas separah apa aku bertingkah sesuai kemauanku sendiri? Aku akan berintropeksi diri.”

“Justru aku yang terlampau menyesal. Imbuh suami-sama telah memberanikanku. Aku pun akan segera membantu menyiapkan tempat acaranya.”

“Ah, tolong lakukan.”

Memberi salam perpisahan, Nomor 184 berpaling dari Regulus. Di waktu yang sama, dia menatap mata Emilia dan berkedip. Barangkali peringatan pada Emilia mengenai kata-katanya yang ceroboh sebelum Nomor 184 menyela.

Tak salah menganggap Emilia tidak menghiraukan ancaman Regulus. Seketika hal-hal itu diperbincangkan, Emilia tidak ragu bertindak di jeda waktu sepersekian detik.

“—awas!”

“Hah?”

Sesaat Nomor 184 sedang berusaha kabur, Emilia menarik kasar lengannya. Sambil mendekap tubuh tinggi namun kurusnya, Emilia mundur selangkah.

Ruang di depannya, tempat Nomor 184 berdiri barusan telah dihempas angin. Menorehkan garis panjang di lantai katedral, menhancurkannya dan menembusnya menjadi garis kehancuran. Tak melambat, anginnya menabrak gerbang utama, mengubah jalan masuk menjadi bubuk, lalu menyebarkan kehancurannya sampai luar.

“….”

Sejenak kekuatan penghancur membahana, Emilia yang tengah mendekap Nomor 184 tidak bisa berkata-kata. Nomor 184 pun memperhatikan kehancurannya selagi bangkit berdiri di belakang Emilia, membeku dan benar-benar melongo.

Kemudian berdiri di titik asal kehancuran, sedang berpose laksana lagi mengayunkan lengan kanannya tak lama sebelumnya, dialah Regulus ….

“Maaf, maaf. Tanganku tergelincir—melegakan sekali kalian semua anak-anak baik-baik saja.”

“….”

“Aku ada di ruang tunggu hingga waktunya tiba, jadi hubungi aku begitu semuanya sudah siap, oke? Aaah, selagi kau menunggu juga, bukannya menata rambutmu lebih baik? Aku yakin itu lebih menarik. Cantik sebagaimana mestinya, pikirku, namun berupaya menjadi cantik adalah sesuatu yang wajib dilakukan terus-menerus. Alih-alih mempertahankan kecantikan, jadilah cantik, itu tingkat kesopanan paling minimal terhadap seseorang yang menyukaimu, kataku. Tentu saja, aku sendiri sudah puas dengan lingkunganku saat ini, tetapi aku tak ingin membatasi kepunyaanku.”

Berbicara seakan momen-momen kehancuran barusan bukan masalah, sembari tersenyum kepada Emilia, Regulus pergi ke ruang tunggu di sisi lain katedral. Menatap kosong sisa-sisa jejak kehancuran, dia menarik napas dalam-dalam.

“Barusan, itu apa …?”

“… terima kasih banyak, sudah menyelamatkanku.”

Berkata begitu, Nomor 184 melepaskan diri dari dada Emilia. Sosok yang sebelumnya membeku sedang memperbaiki rambut acak-acakannya, dia langsung meninggalkan sisi Emilia.

Langkahnya menuju tempat wanita lain sedang mempersiapkan katedral. Sepertinya para wanita itu melanjutkan pekerjaan mereka dan kelihatan seolah sama sekali tak terkait kehancuran sebelumnya. Bukan cuma itu, tetapi beberapa orang berkumpul di sekitar lantai dan pintu hancur, mereka mulai bekerja dan entah bagaimana menyingkirkan persoalan tadi.

“Bentar! Ini aneh! Bukankah kalian pikir ini aneh?”

“….”

Melihat perilaku mereka yang tak terpengaruh, Emilia berteriak bingung. Sama saja, para wanita tak meladeni suara Emilia, terus mempersiapkan tempat tanpa bicara. ‘Bila seperti ini, maka kejadiannya akan terus berlanjut selamanya’, pikir Emilia, menghampiri orang yang sepertinya mengacuhkan kata-katanya. Ke Nomor 184 ….

“Tadi, bukankah kau hampir terbunuh? Andaikan aku tak menarik mundur dirimu, pasti tubuhmu sudah terbang. Itu menakutkan? Kalau begitu, mengapa ….”

“Yah, ada apa? Aku sudah berterima kasih karena telah menyelamatkanku. Lebih dari itu, apa lagi yang kau inginkan dariku? Selain itu, bukannya itu melanggar hakku?”

“Ini bukan soal hak atau kewajiban! Mari bicarakan sesuatu lebih lagi—Lebih penting!”

Emilia menunjuk para wanita yang masih bekerja keras dalam katedral.

“Regulus bilang mereka semua istrinya. Semuanya, istri orang itu? Karena mereka para istri, mereka mengikuti perkataannya? Jika memang kau seorang istri, walaupun kau hendak dibunuh, kau dalam hati menerimanya …. Hal itu, aneh. Itu aneh!”

“Terlalu aneh …. Pernikahan mesitnya membaahgiakan, itu hal bahagia yang orang-orang lakukan, kan? Bagiku, dirimu, dan yang lainnya; tidak satu pun dari mereka kelihatan bahagia sama sekali. Apa aku, salah?”

“Ya, kau salah. Kendati kau tidak bahagia, pernikahan tetap dapat dilakukan. Pasangan tidak mesti saling mencintai. Kalau mereka terus bersama, mereka menjadi pasangan. Maka sebagai pasangan, mereka menjadi terbiasa dengan satu sama lain.”

Nomor 184 tidak menolak kalau dirinya dalam posisi yang dia benci. Bukan hanya tak dia bantah, dia bahkan menegaskan situasinya sendiri. Itu menyimpang, salah juga.

Pernikahan, adalah mereka yang ingin menjadi pasangan. Bukan sesuatu yang ingin kau biasakan.

“Tentang pernikahan, aku tak berminat melakukannya. Aku, akan pergi seperti ini.”

“….”

Wanita-wanita yang tak menggubris ucapan Emilia dari tadi, kini mengangkat wajah. Seketika Emilia bergaun pengantin mengumumkan penolakannya terhadap pernikahan itu, mata mereka menyorot.

Menghadapi badai sorot mata tanpa emosi, pundak Emilia menegak.

“Ada seseorang yang meresahkanku. Apalagi banyak hal yang harus aku lakukan apa pun yang terjadi. Maka dari itu, aku tak boleh berakhir di tempat seperti ini. Bersama dengan semua orang, segera, aku hendak menuntaskan kewajibanku.”

“Hal semacam itu, suami-sama takkan maafkan.”

“Aku tak ingat telah sah menjadi istri Regulus. Jadi, aku tidak menginginkan sesuatu semacam pengampunan. Bersama semua orang, maka … aku pasti akan kembali menyelamatkan kalian semua.”

“—uh.”

“Kalian semua, aku tahu kalian bersama Regulus bukan karena kalian mau. Jadi aku akan bicara dengan Regulus dan membebaskan semua orang. Siapa pun yang masih pengen tinggal bersamanya bisa tetap menjadi istrinya. Namun orang yang ingin berpisah, akan aku pisahkan mereka. Sekalipun kalian terpaksa menikah seperti itu, tidak ada artinya misalkan tidak bahagia bersama.”

Gambar yang dilukis Emilia dalam benaknya, adalah dua orang yang saling mencintai dan menantikan hidup bersama. Yang melayang dalam otaknya, dari mimpinya dulu bersama Fortuna dan Geuse. Kedua orang itu tak pernah menikah, dan tidak pernah menjadi pasangan. Namun Emilia pikir itu bagus-bagus saja.

Kalau itu mereka berdua, maka Emilia berharap bisa menikahkan mereka. Pernikahan bahagia dan jaminan ikatan saling mencintai, hubungan mereka benar.

Jadinya—

“Aku tahu orang-orang yang saling mencintai, tetapi tidak bisa menikah. Karenanya, menikah dan tidak bahagia setelahnya, aku tak suka hubungan semacam itu.”

“….”

Mendengar deklarasi Emilia, keributan menyebar ke seluruh wanita yang tadinya apatis. Tetapi, Nomor 184 langsung keluar dari keriuhan tersebut.

Dia menatap langsung Emilia, selanjutnya pintu masuk hancur.

“Apabila kau memilih pergi, maka itu hakmu. Akan tetapi, suami-sama takkan memaafkan kami. Tentunya langsung di tempat, kami akan dibunuh.”

“Biarpun kalian istrinya ….?”

“Seorang istri yang bahkan tidak sanggup memenuhi keinginan suami-sama, sang suami-sama sama saja menganggap seseorang yang tidak mampu mengisi kriteria seorang istri. Misalkan kau pergi, kami bakal mati. Kiranya kau tetap berkehendak pergi, kaulah yang membunuh kami.”

“….”

Menghadap Emilia, Nomor 184 berbicara seraya menyandera hidupnya sendiri. Opinininya esktrem. Ibaratnya mewakili pendapat semua orang selain Emilia, para wanita di katedral berdiri mengelilingi Emilia, dan membatasi gerakannya.

Tentu saja tak seorang pun di sana bisa melawan dan menghentikannya. Mereka semua wanita biasa. Terlahir dari rumah tangga biasa, bermoral, hidup sambil mendambakan kebahagiaan biasa, wanita biasa. Suatu saat, terjadi perubahan, dan mereka sewenang-wenang diterima sebagai salah satu istri Regulus.

“….”

Dia tidak dapat menyangkal sedikit pun kebulatan hati absolut mereka. Emilia melihat kejahatan Regulus dengan mata kepalanya sendiri.

Sedikit melawan, responnya adalah mencoba menghempas nyawa mereka semua, dialah Regulus. Tatkala dia tahu Emilia melarikan diri, sukar mengklaim dirinya takkan melampiaskan kemarahan kepada mereka. Hanya istri Regulus yang mengerti ini.

“Berapa banyak istri Regulus di sini?”

“Pasangan suami-istri, totalnya 291. Dari 291, 238 orang meninggal dunia, jadi cuma tersisa 53.”

“Istri-istri yang meninggal itu ….”

“Perlu penjelasan?”

Pertanyaan yang dia peroleh jawabannya, serasa seolah mengejek pertanyaan Emilia.

Tanpa ditanya pun jawabannya jelas, Emilia mulai tersadar. Dan satu-satunya jawaban tersebut terletak pada wanita-wanitawanita yang mengepungnya sembari membisu.

“Apabila aku pergi, maka kalian akan diberi ganjaran keras ….”

Daripada hukuman keras, kemungkinan besar kematian tak terhrindari.

Tidak salah lagi, para wanita ini adalah sandera kehendak Emilia. Memikirkan kerusakan meninggalkan tempat ini yang akan terjadi, dia tidak boleh beraksi terburu-buru.

Dia memikirkan Subaru dan teman-temannya, di luar katedral kota Pristella, merisaukannya sekarang.

Dia memikirkan mereka, dan dalam kepalanya Emilia meminta maaf.

Kemudian ….

“Ok. Pernikahannya, ayo lakukan.”

Setelahnya, tempat persiapan berlanjut sangat cepat.

Walaupun mereka bukan profesional, kerusakan diperbaiki dengan baik sekali sampai-sampai tidak kelihatan bekasnya. Melihat pengerjaan bagus itu saja, orang akan tahu sesering apa para wanita tersebut harus membersihkan ulah Regulus.

Sesudah Emilia setuju untuk melanjutkan pernikahan, Nomor 184 serta beberapa istri Regulus lainnya mengurus rambut Emilia di ruang ganti dan menghiasinya dengan berbagai perhiasan.

Kecuali waktu-waktu Annerose bantu merawat rambutnya, ini pertama kalinya gaya rambut Emilia serumit ini semenjak Puck menghilang ke dalam kristal.

Rambut perak panjangnya dikeataskan dan dijalin menjadi kepang.

Agar tak memalingkan perhatian murni gaun putihnya, dengan sejumlah hiasan sederhana, gaun pengantin Emilia lengkap sudah.

“….”

Melihat bayangannya di cermin, Emilia mengagumi hasil karya para wanita.

Memang, dia kelihatan begitu berbeda dari biasanya. Tak seorang pun di sekelilingnya yang menyuruh mengubah gaya rambut selain kadang-kadang permintaan Subaru, sudah lama semenjak dirinya diselimuti pesona feminis.

Meski Emilia merasa itu sia-sia untuknya.

“Yah, ayo pergi. Harap berhati-hati agar tidak merusak suasana hati suami-sama.”

Nomor 184 mengingatkan Emilia seketika mereka keluar dari ruang ganti.

Beralih ke katedral, Emilia melihat para hadirin sudah berbaris, menunggu kedatangannya—kesemuanya adalah istri Regulus, bersama Regulus sendiri yang berpakaian tuksedo putih sedang beridiri di depan altar.

Kendati dia tidak tahu prosedur tepatnya, Emilia melangkah ke karpet merah yang digelar dari pintu masuk, dia berjalan menuju altar tempat Regulus menunggu. Regulus mengangguk puas ketika melihat Emilia yang terhias indah ….

“Aku hampir tak mengenalmu saat kau mengenakan gaun itu, tetapi perhiasan menempatkanmu ke tingkatan yang jauh berbeda. Benarlah aku mengosongkan kursi Nomor 79. Aku tidak bisa lebih bahagia lagi dari penilaian ini.”

“Nomor 79 …. Kenapa nomornya kosong?”

“Yah, dulunya ada seorang wanita yang awalnya aku pikir sungguh cocok untuk nomor itu, namun sayangnya aku menganggapnya tidak cocok bahkan sebelum pernikahan diadakan. Kendatipun sosok pentingnya terlihat hampir sesuai idealku, aku walau enggan mengosongkan kursinya. Tetapi berkat itu, aku bertemu denganmu, bagaimanapun semuanya tidak sia-sia.”

“Me … ngosongkan?”

Apa pula artinya?

Kalimat itu membangkitkan kembali rasa jengkel Emilia yang sudah berapi-api.

Sekalipun perasaan utamanya tidak jelas, Emilia tidak tahu persisnya. Di sisi lain, Regulus menyesuaikan pakaiannya di hadapan Emilia yang bergaun pengantin.

“Baiklah, haruskah kita memulai upacara pernikahan? Aku duga acaranya lebih informal, tapi aku rasa kau tidak keberatan? Selama upacaranya berlangsung secara benar, hal lainnya hanyalah detail-detail tak berfaedah. Aku bukan orang-orang bego yang memprioritaskan bagian luar dan melupakan esensinya. Gagal melihat substansi materi seperti itu cuma dapat ditertawakan. Bisa-bisanya orang puas hanya dengan penampilan luar serta eksteriornya belaka? Sesuai eksistensi tolol dan tercemar mereka, kelewat bodoh sampai-sampai sadar sedang ditertawakan di belakang.”

“….”

Selagi Regulus melanjutkan omelan berbelit-belitnya, Nomor 184 berjalan menuju sisi lain altar. Rupanya dia fasilitator upacara ini.

Memang, dia kelihatannya memenuhi peran koordinasi antara 53 istri Regulus juga. Meskipun tidak jelas apa koordinasinya sebab Regulus bisa saja membunuh semua orang yang bertingkah sekecil apa pun.

Demikianlah alasan lain mengapa pria ini tak dapat dimaafkan.

“Nah, Regulus. Ada sesuatu yang harus aku beri tahu sebelum aku menikah denganmu.”

Karenanya, Emilia ingin memperjelas sejelas-jelasnya.

Ekspresi Nomor 184 menegang karena kata-kata Emilia. Tetapi Regulus menjawabnya dengan anggukan ramah.

“Aaah, benar juga. Ada beberapa hal penting yang ingin aku sampaikan juga sebelum kau menjadi istriku. Biarpun aku rasa bisa mengajarimu secara bertahap setelah kita menikah, penting jika mentalmu sudah siap sebelumnya. Tuk menemukan perbedaan kita di sana-sini setelah menikah itu tragis, kan? Demi memastikan sesuatu yang sangat disayangkan itu tak terjadi, pikirku penting untuk membagikan pikiran kita dengan terbuka kepada satu sama lain. Ketika kita menjadi pasangan, hati dan jiwa kita menyatu, jadi sebaiknya kita selesaikan terlebih dahulu.”

“Mmn, ya. Bila maksudnya hati dan jiwa terikat, itu penting, bukan.”

“Kan? Baguslah kita sepemikiran. Jadi, istri yang lainnya pasti sudah memberitahu sejumlah peraturan, tapi kenapa tidak bahas lagi. Pertama, saat kau menikahiku, kau dilarang tersenyum.”

“….?”

Emilia tampaknya tak mengerti maksud Regulus. Namun Regulus mengangkat satu jarinya dan melanjutkan, ‘Yah’.

“Ini cukup penting, tahu. Aku menyukai wajahmu. Aku beneran menyukai wajahmu. Aku memilih istri-istriku berdasarkan wajah mereka. Wajah cantik, menggemaskan, mempesona, proporsional. Aku punya total 291 istri, dan semuanya berwajah cantik. Wajahmu manis juga. Karena itulah kau menjadi istriku. Kau paham?”

“….”

“Begini menurutku. Ada banyak, banyak sekali orang di dunia ini yang jauh lebih egois daripada aku. Bukannya kau sering mendengar para pasangan yang cintanya mati begitu mereka menikah? Mereka berhubungan sebab saling menyukai, namun segera setelah mereka hidup bersama, seluruh masalah mulai bermunculan. Selera makan tak cocok. Kebiasaan tidak cocok. Hobi tidak cocok. Jadwal tidak cocok. Banyak sekali dalih-dalih egois, dan kala ilusi mengenai pasangan mereka hilang, mereka memperlakukan pasangannya bagaikan sampah. Aku betul-betul membenci orang-orang menyedihkan itu.”

Sambil tersenyum, Regulus dengan senang hati mengutarakan pendapatnya tentang cinta.

Polos, blak-blakan, mengoceh-ngoceh perihal kemarahannya pada mereka yang mencemooh cinta.

“Memang ada orang yang tidak sedikit egois? Tetapi mengapa mesti kecewa? Seseorang yang kau sukai barangkali berbeda kepekaan denganmu, tapi kenapa kecewa? Bagaimana bisa orang sedungu ini? Bukankah absurd? Karena itulah aku memilih pasangan berdasarkan wajah mereka. Jika pasanganku punya wajah sepertiku, aku takkan kecewa mau bagaimana pun sifat orangnya. Karena aku menyukai wajahnya. Selama wajahnya ada, cintaku takkan mati.”

“….”

“Walaupun mereka tidak menyingkirkan pakaiannya setelah dilepaskan. Sekalipun mereka adalah maniak pembunuh yang membantai anak-anak tanpa pandang bulu. Meskipun keterampilan memasak mereka mengerikan. Biarpun menjual saudara sendiri untuk melunasi hutang kemudian kabur. Kendatipun mereka psikopat yang diam-diam membunuh hewan untuk senang-senang. Biar mereka memiliki selera pakaian yang mengerikannya tingkat dewa. Meski mereka mata duitan dari lahir. Walau mereka tidak suka mandi dan baunya bagai gelandangan. Kendati mereka teramat amat meyakini kiamat akan datang dan terus membicarakannya—aku tidak membenci mereka.”

Satu demi satu, Regulus menunjuk ke-53 wanita yang hadir, berteriak. Tidak jelas deskripsi mana yang cocok dari para wanita tersebut. Emilia pun tidak paham bagaimana gamblangnya dia mengaku hanya mencintai wajah mereka dan memisahkannya dari wanita-wanita lain.

“Tidak pernah aku tutur dengan kalimat lampau seperti, Aku dulunya mencinta. Aku mencintai wajahmu. Bahkan biarpun kaulah sang Penyihir yang berkehendak membantai semua orang di dunia ini dengan kesedihan luar biasa, aku takkan kecewa. Selama aku memiliki wajahmu.”

“… apa hubungannya dengan tidak tersenyum?”

“Sangat sederhana. Ada kalanya gadis yang biasanya manis dan cantik bisa mendadak jadi menjijikkan saat mereka tersenyum, tahu? Memangnya akan kubiarkan hal semacam itu. Jadi, bukan hanya tersenyum, menangis pula. Pokoknya, takkan kubiarkan wajah manis lucumu terdistorsi dengan cara apa pun. Jadi, jangan tersenyum. Jangan menangis. Jangan ngambek. Hanya wajah manis yang diperkenankan.”

Ujung jarinya menyentuh dagu Emilia, Regulus diam-diam menuntut.

Perihal apa yang terjadi jika dia menolak, kejadian-kejadian sebelumnya sudah menjawab pertanyaannya.

Namun yang tidak masuk akalnya adalah bagaimana teganya dia berlaku kejam padahal mengaku mencintai wajah mereka.

“Kau bilang menyukai wajah-wajah mereka dan takkan kecewa … apabila begitu, mengapa kau menyerang orang yang tadi?”

“Huh?”

Melihat Emilia cemberut ke Nomor 184, kepala Regulus memiring.

Tak menurunkan legnannya, Emilia melepaskan diri dari jari Regulus ….

“Kalau saja aku tidak menarik dan menjauhkannya, orang ini pasti sudah mati. Orang itu pun wajahnya kau cintai dan oleh karena itu kau jadikan istri, benar? Misalkan benar kok bisa-bisanya kau melakukan itu?”

“Aaah, itu pun sederhana juga. Meskipun aku penyabar dia masih dapat membuatku marah. Aku tak meminta banyak, betul? Tapi beberapa orang keterlaluan tidak acuh. Aku kira istri-istriku tidak ada yang seperti itu, tapi aku bisa apa saat kejadiannya persis di depan wajahku? Mau bagaimana lagi, tiada pilihan lain selain memenuhi kewajibanku.”

“Lantas, kau kecewa? Yang kau tukas barusan bertentangan ….”

“Aku tidak kecewa. Aku tetap menyukai wajahnya, aku masih mencintainya. Walaupun dalam kematiannya, itu masih tak mengubah cinta abadiku untuknya. Bukannya kau sering mendengarnya? Kalaupun orang yang kau cintai mati, orang itu masih hidup dalam hatimu, sebab cintamu untuk orang itu akan bertahan dan takkan pudar? Aku pun tepat seperti itu.”

Logika gila Regulus sangat suci.

Suci, tak keliru sedikit pun, logikanya sepenuhnya berasal dari kepalanya. Tak sekecil pun ruang sanggahan, itu sempurna, tidak cacat.

Di depan Emilia yang terdiam seribu bahasa, Regulus mengerutkan alis.

Karena dia melihat tanda-tanda ketidakpercayaan pada mata sunyi Emilia.

“Aku untuk sementara waktu sebetulnya bertanya-tanya … apa kau, mungkin punya masalah denganku? Jika iya, maka itu betul-betul mengecewakan. Aku terlanjur memberikan kelonggaran karena perhatian padamu, tapi kau sama sekali tidak menghargai perhatianku? Seseorang harusnya tidak cuma bicara saja, tahu. Seumpama kau sedikit saja perhatian pada perasaan orang, sekiranya kau dapat membayangkan posisimu berada di posisi orang lain, kau takkan menjadi seperti ini, kurasa. Andai kata orang itu bahkan tidak sanggup melakukan upaya sesederhana itu, maka aku pun tidak tahu orang itu punya nilai apa. Itu tak sopan. Terutama, tak sopan kepadaku. Itu, itu tidak termaafkan.”

“Aku pikir pernikahan seharusnya adalah sesuatu yang sangaaaaaatt indah.”

“Hah?”

“Upacara menggabungkan dua orang yang saling mencintai dan ingin bersama. Beneran masalah besar menyukai seseorang, jadi, mendapat orang itu dari semua orang di dunia dan orang itu juga menyukaimu … aku pikir itu menakjubkan.”

Emilia bergaun pengantin menekan dadanya, sementara mendengarkan, wajah Regulus berkerut tidak percaya. Ekspresi para istri yang hadir, termasuk Nomor 184 di altar mulai menggelap.

Mereka pasti khawatir padanya, pada Emilia.

—itu bukti bahwa mereka adalah orang penyayang dan baik hati.

“Kenapa kau panggil istri-istrimu berdasarkan nomor mereka?”

“Kenapa juga tersangkut pada nama? Seakan-akan ditahan pemikiran sempit, sepenuhnya menyalahpahami cinta. Aku tak memerlukan hiasan berlebihan ini agar percaya bahwa cintaku nyata. Jadi, tidak mesti lagi meragukan diriku dengan hal sepele tak berarti itu. Agar cinta setara, kita harus melepaskan aspek-aspek tidak penting tersebut, bukan?”

“… aku mengerti. Tapi, aku tidak benci panggilan Emilia-tan oleh Subaru sama sekali.”

“Subaru ….?”

Mendengar nama yang tak bisa dia kesampingkan, tampang ketidaksenangan terpampang di muka Regulus.

Tetapi Emilia mengabaikan perubahan ekspresi Regulus dan terus melanjutkan ….

“Saat Subaru memanggilku Emilia-tan, suaranya serba perasaan. Kadang kala ketika dia tak menyebut -tan, aku langsung tahu ada yang spesial. Aku kira bukannya tidak berguna sama sekali. Nama harusnya … mengemban perasaan semacam itu.”

“Hei, uh, keknya kau bicara sendiri saat ini, tapi, Subaru siapa? Itu nama seseorang, ya? Sebenarnya nama pria, kan? Gadis yang hendak menikah menyebut nama pria lain di depan pria yang akan dinikahinya, bagaimanapun juga itu berkontradiksi dengan akal sehat, bukan? Sekalipun itu nama orang asing acak, itu masih menyakitkan, tahu. Menyakitkan. Kau tahu?”

“Dia bukan orang asing acak. Subaru adalah Kesatria pilihanku, seorang pria yang memanggil namaku dan mengatakan dirinya mencintaiku.”

“—hhaah!?”

Mendengar nama Emilia, banjir aura berdarah mengerikan terpancar keluar dari tubuh Regulus.

Merasakannya, Nomor 184 dan istri-istri lain hendak kabur, tetapi ….

“Jangan bergerak! Siapa pun yang berani bergerak, aku potong kepala mereka.”

“….”

“Aku akan menjelaskannya sendiri. Cobalah lebih hati-hati memilih kata-katamu sehingga aku tak salah paham. Aku tak ingin pernikahan ini berubah menjadi pemakaman seseorang. Tahu?”

Sembari mengangkat bahu, gemetaran, Regulus menekan emosinya seraya bicara.

Tersemat ancaman Regulus, tidak ada hadirin yang bergerak. Tapi Emilia yang tak goyah menghadapi aura membesarnya.

“Pernikahan harus antara dua orang yang saling mencintai. Tapi aku pikir ini tak memenuhi kriteria itu sepenuhnya.”

“….”

“Gara-gara, aku masih tak tahu caranya mencintai seorang pria sebagai wanita. Kendati Subaru bilang dia mencintaiku, aku tidak mampu mengembalikan perasaannya atau bahkan memberikan jawaban langsung. Itu sangaaaaat tidak adil bagiku, dan aku pun tahu seberapa menyakitkannya bagi dia. Tapi ….”

Regulus terdiam. Namun Emilia tak memikirkannya.

Semua orang juga tahu. Bahwa mata Emilia tidak melihatnya sama sekali.

“Meski tidak tahu cara mencintai seseorang, aku yakin suatu hari nanti akan mencintai. Kelak aku akan mencintai seseorang sebagai wanita. Dan sudah kuputuskan siapa yang akan kucintai kala hari itu datang. Maka dari itu ….”

Menarik napas dan menatap Regulus, Emilia berkata:

“—aku takkan pernah menjadi milikmu.”

“—agh! Aaaaaghh benarkah itu? Yah, aku pun tidak mau pelacur egois sepertimu menjadi istriku! LEBIH BAIK HAH!?”

Wajah Regulus merah padam ketika mendengar deklarasi Emilia.

Di depan jemari Regulus yang menggapai-gapai, seluruh tubuh Emilia membangkitkan mana untuk menahan serangannya. Melawan mekanisme dekstruktif asingnya, tindakan pertamanya pasti—

“….!?”

Seketika serangan mereka dimulai, suara keras menghantam seluruh katedral.

Menyertai suara itu adalah momentum maha besar ketika sesuatu meluncur langsung menuju tubuh Regulus bagaikan peluru. Menabrak tuksedo putihnya dan dampaknya menghancurkan panel pintu kayu—salah satu dua pintu masuk katedral yang barusan diperbaiki.

Itu terbang jauh dari pintu masuk sampai menabrak Regulus. Lalu ….

“Sial, kita menendang bersamaan tapi hasilnya tidak setara sama sekali! Kekuatan kakimu apa, sih!?”

“Maaf aku tidak benar menyesuaikannya. Tapi berhasil mengenai target yang aku incar, jadi hasilnya oke-oke saja, kan?”

“Kekerenan masuknya sama sekali tidak sama, ok? Tendanganku cuma membuka pintu, tapi tendanganmu langsung mengenai musuh ….”

Dua sosok menggerutu muncul dari pintu masuk katedral.

Salah satunya anak laki-laki bermabut hitam, dan satunya pemuda berambut merah.

Mata Emilia melebar takjub, dan di hadapannya, Regulus menyingkirkan potongan kayu seolah mengusir serangga. Berdiri di sana tanpa terluka, mata jijiknya menatap kedua penyusup.

“Kau beraninya mengacaukan upacara sakral. Tidak ingat pernah mengundang tamu laki-laki, tapi keberatankah memperkenalkan siapa kalian dan hadiah pernikahan apa yang kalian bawa? Haaahh!?”

Menatap Regulus dari bawah, keduanya saling menatap.

Kemudian, mengangguk satu sama lain.

“Kesatria Roh tanpa rekan rohnya, Natsuki Subaru.”

“Keturunan sang Pedang Suci, Reinhard van Astrea.”

Mengumumkan namanya, Renihard maju selangkah.

Di sampingnya, Subaru berkedip kepada Emilia lalu menunjuk Regulus dan bilang:

“Aku keberatan dengan pernikahan ini. Dan aku akan membawa pengantin wanitanya.”

Share this post on:
Subscribe
Notify of
guest
9 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Fumaru

wahhhhhhhhhhh mantapppppppp dateng dateng nendang pintu nanggung amat kalo gw mah langsung aja timpuk pake rudal biar mampussss ayo min gw nunggu lanjutannya

Ewew

Lanjutkan min

Jager

Thanks min! Semangat ngelanjutinnya! ?

Manusia

mulai seru nichhh

Hikari

Lanjutkan

フル君

Pengen banget dah sihir si Regulus jadi cewek lemah terus kasih ke rumah bordil biar tau rasa.. hahaha…

Lanjut min..
Mantap..

Jelall

Wohohohohoho, disini emila sdh jelas” merespon perasaannya subaru, entah kedepannya kapan nanti, tetap aja pilih dia, sasuga emilia tan

anjir

Nice Kill, Reinhard

Ferdi

Nyuri pengantin orang

Epic