Share this post on:

Awal dan Konklusi Cinta

Penerjemah: Leon S. Kennedy

Di belakangnya adalah ruangan penuh lalat raksasa.

Subaru dan Crusch telah mengalahkan sang naga hitam, dan kini dia berbaring tak bergerak di tanah luar. Namun, di depan Subaru adalah tawa seseorang yang terus saja menginjak Crusch.

Tawa jahat, nada mencemoh. Orang di hadapannya tak salah lagi adalah Uskup Agung Kenafsuan, Capella Emerada Lugnica.

—seluruh tubuhnya mulai tergelitik.

“Apa, apa ini ….?”

“Kau benar-benar mesti meluangkan waktu untuk memikirkanya? Sampah pun tidak perlu meresahkan hal-hal semacam itu—pilihan terbaikmu adalah mengenali kenyataan di depanmu! Kau melihat gadis cantik gemetar ketakutan! Tapi identitas sejatinya adalah Uskup Agung dari Kultus Penyihir~!”

Ketika benak Subaru berpacu, Capella menari-nari, menjulurkan lidahnya selagi mengejek Subaru. Mata Crusch berputar ke belakang saat diserang tanpa henti.

“Bukannya kau betul-betul merasa aneh? Di sini, di Balai Kota, kenapa juga adad aging anak-anak? Tapinya reaksi pertamamu tak salah lagi adalah, ‘Ah, anak ini dalam bahaya, aku harus menyelamatkannya ….’ betapa pemikiran yang bodoh banget!”

“B-bacot. Ada banyak hal yang ingin kukatakan, tapi pertama-tama, pindahkan kakimu.”

“Hmmm? Apa kau terlampau terpesona oleh kaki cantikku sampai-sampai ngiler~? Ataukah kau membayangkan babi ini sedang menjilati kakiku? Memang, tubuh miliknya indah~. Apa kau berusaha sangat keras sampai tidak bisa menahan diri sekarang? Gahahahahaha!”

“Lonte ini! Bangsat, kami bukan makhluk yang bisa kau langkahi!”

Capella memasang wajah gembira dan tumitnya mengobrak-abrik Crusch lagi dan lagi. Menanggapi tindakan mengerikan dan mengejeknya, saraf-saraf Subaru mendidih marah.

Tubuh bagian bawahnya menegang, siap bergerak maju. Capella yang memprovokasi Subaru, rupanya menyambut serangan. Namun Subaru tidak sebodoh itu hingga maju ke depan secara membabi buta.

Bahkan tanpa ingatannya, Crusch masih petarung menakutkan.

Kekuatannya dijamin Wilhelm. Meki begitu, baru sekian detik sosoknya hilang dari Subaru, dia telah kalah tanpa perlawanan.

Kekuatan Kenafsuan ini pasti jauh di atas Subaru.

Subaru perlu menyelesaikan situasi tanpa melawannya.

“….”

Nyawa Crusch yang sangat dalam bahaya, harus dipulihkan dan dibawa ke Julius serta kawan-kawan.

Terserah dia cara merekayasa pelariannya, meninggalkan misi mereka di tengah prosesnya. Walaupun gagal menghentikan siaran, misi tersebut tidak sepadan hidup mereka.

Mereka pun belum menemukan orang-orang yang harusnya diselamatkan, setidaknya tidak di lantai ini.

Satu-satunya kesimpulan adalah cadangan kekuatan tempur mereka belum cukup untuk merebut kembali kota secara rahasia.

Karena itulah, Subaru tidak boleh ragu-ragu.

“Huh?”

“Haa!”

Capella menghela napas, agak kaget oleh aksi mendadak Subaru.

Target cambuk Subaru bukan Capella, melainkan rak dinding samping. Dia mendapati patung logam, cukup besar hingga dapat dipeluk dua tangan, terbungkus cambuknya, dengan cekatan menggerakkan pergelangan tangannya dan membawanya ke Capella.

Subaru kini menggunakan angin puyuh logam cepat.

Senjatanya sekarang punya kekuatan yang sampai membuka lapisan dinding. Entah untuk menahan atau menghindar, Capella mesti memindahkan kakinya dari Crusch.

Subaru akan memanfaatkan momen itu untuk meraihnya.

“Rasakan ini!”

“Oke~.”

“Hah?”

Berbeda dengan teriakan menggila Subaru, respon Capella adalah kata-kata biasa.

Suara benda keras menabrak tulang dan daging juga darah menyembur keluar dari dahi Capella yang terkoyak, hampir robek sepenuhnya. Bagian dalam kulit kepalanya terekspos, darah menegang pipinya yang sobek.

Subaru tidak lagi tahan melihat sesuatu yang mulanya paras imut.

Mata kirinya setengah hancur, cahayanya telah menghilang. Situasi tak terduga ini sesaat mengosongkan pikiran Subaru.

Tindakannya bermaksud mengalihkan perhatian musuhnya, tetapi dia sebaliknya malah tertangkap basah—seorang Uskup Agung tentu takkan membiarkan momen ini berlalu.

“Tidakkah manis saat mengira aku akan mengikuti rencanamu? Bukannya ini semacam kebodohan tak terobati~ masalah bagimu? Gahahahahaha!”

Hinaan Capella menyelinap masuk ke pikiran membeku Subaru.

Si gadis berbalik dan menghadap Subaru yang kaku, berikutnya, hembusan angin puyuh hitam menghantamnya, tiba-tiba menerbangkannya.

“Gah!”

Dihantam kekuatan raksasa, setengah tubuh kanannya diserang hebat, Subaru jatuh menabrak meja, lalu berguling-guling ke tanah. Seluruh tubuhnya gemetaran, berusaha berdiri sambil merasa pusing, menguatkan dirinya sembari menempelkan tubuh ke dinding. Yang dia lihat selanjutnya adalah ….

“Ada apa? Apa kau kelewat terperangah oleh kecantikanku sampai-sampai tidak mampu bergerak?”

“… apa, yang terjadi barusan?”

“Kau betul-betul harus bertanya? Gunakan matamu sesekali~!”

Capella dengan senang hati bergoyang, dan Subaru bahkan tak sanggup berteriak kesakitan.

Tadi dia melihat penyerangnya adalah ekor naga, tumbuh dari belakang si gadis mungil. Kemunculan membingungkannya tercetak pada kesadaran Subaru.

“Mungkinkah kau … seekor naga?’

“Oh, ya~ otakmu putus asa, tidak tahu kebenaran padahal sudah merasakan dampaknya! Bahkan setelah wanita lembut ini telah memberikan banyak petunjuk spesifik, kau tidak mampu membayangkannya, dasar daging tak berdaya.”

“….!”

Capella menggoyang-goyang ekornya ringan ketika Subaru memahami fisiologi musuhnya. Ekor panjang menyapu garang, lantai retak-retak seketika Subaru hampir saja tidak berhasil menghindar ke samping. Tapi ….

“Bukankah kelegaanmu naif?”

“Wah!?”

Akan tetapi, sewaktu bersiap bangkit, Subaru diserang pergelangan tangan kiri besarnya. Selagi dia melompat menghindar, dia diserang lagi ekor naga yang menunggunya, setelah benturan keras dengan langit-langit, ditebas sayap berbulu, kemudian beristrirahat di tanah.

Batuk-batuk hebat ketika dampak membuatnya berguling-guling di tanah, melihat wajah asli teror yang menyerangnya.

Yang sebelumnya cuma ada ekor hitam, sekarang kepalan tangannya tertutupi rambut hewan. Terus muncul ekor hitam sebelumnya, akhirnya sepasang sayap burung, cukup panjang hingga bulu-bulu tajamnya memotong tubuh Subaru. Semua ini adalah wujud gadis muda tersebut.

“Kau semestinya sudah~ memikirkan jawabannya, kan?”

Alien, adalah satu-satunya kata yang terlintas di pikirannya.

Ekor naga, tangan hewan buas, sayap burung besar, seluruhnya pada gadis manusia.

Dia tidak sanggup memikirkan kata-kata lain yang cocok untuk menggambarkannya. Deskripsi tanpa kata makhluk ini yang sepatutnya tidak esksis, bisa dibilang rasa benci fisik.

Dia tidak merasakan apa-apa kecuali rasa jijik terhadap monster di depannya.

“Variasi, transformasi ….”

“Akulah Uskup Agung Dosa Besar Kenafsuan, Capella Emerada Lugnica. Segenap cinta juga hormat di dunia ini telah aku kuasai sendirian. Sekiranya seseorang mencintaiku, entah seabnormal apa hasrat mereka, akan aku respon. Singkatnya, akulah perwujudan tertinggi segala jenis kebajikan dan keindahan dunia. Gadis mana pun yang cocok dengan preferensimu, aku bisa menjelmanya. Hei~ aku ini wanita yang berbakti, bukan? Kahahahahahaha!”

Tahu-tahu bicara tidak jelas, Capella beralih menghadap Subaru, dan mulai mengubah-ngubah wujudnya dengan bebas.

Beralih dari bentuk abnormalnya menjadi gadis kecil, tetapi tangan dan kakinya kemudian segera berubah menjadi tubuh wanita dewasa. Seketika Subaru menyadarinya, dia menjadi gadis desa sederhana, pada saat berikutnya dia menjadi gadis yang tersenyum  

0.+/+*.

“Nah, kau suka aku?”

“….”

Tak berkata-kata. Subaru tidak sanggup mengatakan sesuatu. Sekilas, dia menyadari situasi ini adalah yang terburuk.

Capella menodai nilai-nilai kemanusiaan. Dalam hal ini, kemampuannya jelas. Kemampuan Kenafusan adalah menodai dan menginjak-injak berbagai nilai sehingga dia menjadi satu-satunya hal yang dicintai dunia.

Sekejap saja, Subaru melihat luka wajahnya telah lama sembuh, tanpa bekas luka. Kemampuan regenerasinya—atau, pada kenyataannya, kemampuan transformasinya, telah lama menyembuhkan luka lamanya.

Bagiamanapun, akhirnya dia memecahkan misteri bagaimana naga  itu menjadi seorang gadis. Awalnya mengira dia ini seperti Betelgeuse, mampu menggunakan tubuh orang lain, tetapi seumpama begitu ….

“… apa?”

Andai bukan itu, lantas apa yang terjadi kepada naga tadi, dan lalat-lalat di ruang siaran?

“Apakah kau akhirnya menyadarinya?”

“Tunggu … tunggu, tunggu, tunggu, tunggu, tunggu, tunggu sebentar.”

Seolah-olah membaca pikiran terdalamnya, raut wajah Capella berubah, dia tertawa mengejek.

Dia menjadi wanita berambut panjang, bahkan suara tawanya pun berubah.

Dalam situasi ini, tatkala dia tak yakin bebicara dengan siapa, Subaru menggeleng kepala. Tidak mungkin, mustahil, pasti tak benar.

Akan tetapi, misalkan dia benar, semua hal hingga sekarang bisa terjelaskan. Kenafsuan Capella membuatnya bisa mengubah dan mentransformasikan tubuhnya.

Dan andaikan kemampuannya efektif pada benda, selain tubuh fisiknya ….

“Apakah otak basah kuyupmu akhirnya menyadari identitas lalat-lalat menjijikkan itu~?”

“Mereka … mereka ….”

“Hmm~ hmm~ cepatlah berikan jawabanmu, akan aku dengar. Gahahahahaha!”

Tangan Capella menutup mulut dan tertawa keras.

Membenci sikap itu dari hati terdalamnya, suara gentar Subaru berkata:

“—mereka … orang-orang dalam gedung ini, yang telah kau ubah.”

“Benar~, tapi jawabanmu lambat sekali, jadi tidak ada hadiah~. Kau takkan kuberikan apresiasi. Ah, sia-sia, dasar sampah, mengapa kau hidup? Omong-omong, aku sungguh tidak terbaca~”

“Itu kata-kataku!”

Capella sama sekali tidak kelihatan bersalah atas kekejaman brutal ini.

Jelas sudah, dia baru saja menjejalkan orang-orang itu ke ruangan gelap. Ketika mata merah mereka tertuju pada Subaru, sayap-sayap mereka yang tidak mampu terbang, telah mengepak mati-matian, mendengung keras.

—kala itu pasti meminta bantuannya.

“Ada yang salah sama kepalamu! Kenapa … kenapa teganya kau melakukan hal semacam itu! Mengapa kau melakukannya? Mengubah orang menjadi lalat … kenapa!?’

“Mengerikan, kan?”

“Kelewat gila! Dasar … kau, kau ….”

“Mungkin itu hanya karena aku ingin menciptakan makhluk menjijikkan~?”

Sekali lagi, Subaru terbungkam.

Napas megap-megap dan gigi menguat, tatapan mata Subaru penuh kebencian menyala-nyala, ibaratnya berusaha membunuhnya dengan pandangan.

Dia bisa saja bermain sama kehidupan orang lain, bahkan mengubahnya menjadi lalat. Kekejaman itu bahkan lebih buruk daripada pembunuhan.

Dalam beberapa jam ini, Subaru sukses menemukan empat Uskup Agung yang belum pernah dia temui sebelumnya.

Sirius yang murka adalah wanita sinting yang memanipulasi emosi orang lain dan mendambakan cinta egois.

Regulus yang serakah adlaah orang takabur dan memaksakan pemikirannya kepada orang lain.

Alphard yang rakus mencuri ingatan dan eksistensi, racun bagi umat manusia yang dapat lolos dari karma.

Capella yang nafsu adalah monster yang melucuti martabat dan identitas manusia. Mereka semua putus asa, bersalah karena kegilaannya.

“….”

Berbeda dari Subaru yang marah, Capella diam kebosanan. Deitk berikutnya, dia mengejek.

Selagi Subaru mengamuk, Capella berbicara:

“—memang, menjengkelkan dan menjijikkan.

Menghadapi kemurkaan Subaru, Capella tersenyum senang.

Menepuk tangan, menunjuk ruangan penuh lalat.

“Waktu kau melihat ruangan penuh lalat-lalat raksasa, kau mendapati rasa jijik mengerikan, bukan begitu? Dan tentu saja, tidak peduli siapa yang melihat makhluk-makhluk jelek itu, mereka pasti lari.”

“Apa … yang ….”

“Siapa pun itu, semua orang merasa jijik atas keburukannya. Mereka para sampah menjadi serangga yang tidak tahan kulihat. Jelas sekali tidak ada yang mencintai mereka.”

“Maksudmu apa?”

“Manusia, bagaimanapun adalah makhluk yang tidak mampu hidup tanpa cinta atau dicintai. Namun sesaat orang tercinta mereka menjadi makhluk semacam itu, entah semencintai apa, mereka takkan bisa mencintai mereka. Dalam hal ini, tidak peduli betapa enggannya mereka, mereka tidak mencintai sesuatu yang kotor.”

Benak Subaru mengosong.

Kepala Capella memiring sedikit, dia mengucapkan kata-kata mengerikan tersebut.

Mendengar tepuk tangannya, Subaru merasa ingin melarikan diri.

Sekarang, tanpa ragu-ragu sedetik pun, dia ingin menghilang ke suatu tempat tanpa monster-monster ini.

Tubuhnya tak ingin mata-mata itu melihatnya, telinganya tak ingin mendengar suaranya, kepalanya tak ingin mengingat keberadaan itu, seluruhnya karena jijik.

Bukankah Capella perwujudan keengganan?

Sesuatu yang sungguh-sungguh tidak sanggup dia tahan, bukankah itu definisi horor di hadapannya?

“Aku yang lembut dan penyayang, aku benar-benar wanita sempurna. Sebab benarlah aku akan memonopoli semua cinta serta hormat dunia, maka aku sungguh-sungguh tidak boleh berleha-leha dari tugasku. Agar bisa lebih dicintai, dan mengubah diriku agar sesuai seleramu. Demi menarik perhatianmu, aku ‘kan menarik segala sesuatu yang kau minati kecuali diriku. Mencintai semua orang tidak apa-apa, tetapi pada akhirnya kau memilihku. Aku akan berupaya keras untuk mewujudkannya. Aku akan memperbarui memperbarui lebih baik memperbarui memperbarui memperbarui memperbarui memperbarui memperbarui memperbarui memperbarui daya tarikku! Dan mengurangi mengurangi mengurangi mengurangi mengurangi mengurangi mengurangi daya tarik daging yang bukan diriku! Siapa pun itu, tak peduli siapa dia, akan jatuh hati kepada aku yang tercantik dan termenarik di dunia!”

“… bunuh saja aku!”

“Mengapa? Aku ini dermawan, bisa-bisanya aku dengan brutalnya membunuhmu? Walaupun kau bajingan tak berharga, seandainya ada peluang kau akan mencintaiku, sekalipun sekecil-kecilnya, sesedikit mungkin~, bagi setiap orang, akan kubiarkan mereka hidup sedetik lebih lama andaikan mereka memujiku! Hanya mereka yang tidak berkehendak dibunuh! Di atas semuanya, Capella-sama adalah wanita terpuji nan dihargai!”

“….”

“….”

“….”

“Kini aku paham.”

“Iyakah? Yah, sekarang kau mengerti, cepatlah apresiasi Capella-sama. Perkenankan dirimu dilebur cinta Capella-sama dan jadilah daging favoritku ….”

“Pergilah ke nerakah.”

Subaru tidak sanggup berpikir. Tapi tak perlu berpikir.

Musuh di depannya betul-betul musuh terganas. Segala sesuatu selain pengetahuan itu tidaklah penting.

Cambuk Subaru seketika terbang maju. Si monster tersentak mundur sewaktu parasnya diserang tiba-tiba, kaki kotornya terlepas dari Crusch. Memanfaatkan kesempatan itu, Subaru langsung bergerak dan meraih Crusch.

“Saksikanlah—sebab kau menginginkan onggokan daging itu, cairanmu takkan berhenti bocor. Tidakkah kau menyangkalnya lebih awal? Tidakkah kau menyampaikan begitu banyak ucapan-ucapan indah~? Tidakkah kau menyukai hal-hal indah? Tidakkah kau menyukai hal-hal lucu? Tidakkah kau menyukai sesuatu yang lembut dan nyaman?”

“….!”

Mengejar, Capella merentangkan kedua lengannya, pergelangan tangan mengarahnya.

Satu tangan berubah menjadi kepala ular, sedangkan satunya lagi kepala singa—kepala-kepala gila mengejar Subaru, menunjukkan gigi taring mereka sambil merangkak naik-turun di lantai ruangan.

Biarpun kaki kanannya mulai berdarah lagi, dia masih tidak merasakan sakit. Merasakan suhu tubuh dan berat badan lengannya, habis-habisan melindungi wanita yang dibopongnya, Subaru memfokuskan segenap kemampuan atletiknya untuk menghindar.

“Apakah kau sangat memedulikan sampah itu? Kalau begitu, selama sisa hidup pendekmu, genggam erat-erat dan jangan lepaskan! Mata menggoda itu! Bibir manis itu! Daging-daging manis itu! Karena dia merangsang, kau memegang teguh dirinya hingga tidak mampu melepasnya? Matilah! Matilah! Sana mati! Matilah sekarang!”

“Jangan bilang omong kosong, bangsat! Aku bukan orang seperti itu!”

“Diamlah! Sampah seharusnya tetap patuh dan baunya patut seperti sampah! Babi betina pantasnya tetap diam dan baunya mirip binatang! Tidak pernah kau pikirkan? Jujurkah kau bilang tak pernah memikirkannya sedetik saja? Bukankah detik itu membuat hubungan cabul atau semacamnya? Apa bedanya? Bedanya apa? Beri tahu aku bedanya apa!”

Ular dan singa menggeliat laksana kegembiraan Capella, meliuk-liuk di seberang ruangan.

Suara gigi meremukkan meja kayu, membuat kakinya terbang, membongkar bagiannya. Kekuatan yang sama mencari-cari Subaru, berusaha berulang-ulang menggapainya.

Terperangkap di tengah badai perusak, mengerang sakit, mati-matian menghindari serangan terus-menerus. Capella berdiri di pintu keluar kamar. Biarpun Subaru ingin memanfaatkan peluangnya untuk kabur, tubuh Capella mengembang dan berkonsentrasi, wanita, gadis, serta perawan, dalam anomali yang nyatanya terlihat tabu.

“Tidakkah kau berhasrat membelai rambutnya? Tidakkah kau ingin menyikat bibirnya? Tidakkah kau ingin mendekap tubuhnya? Pemikiran-pemikiran negatif itu senantiasa dibenarkan kata-kata indah, bersama perisai cintanya! Bukannya itu penilaian tinggi hati? Benarkah kau menggunakan kata-kata indah tuk menutupi keinginanmu!?”

“…. kau!”

“Langsung saja akui nafsumu! Jangan coba-coba menyembunyikannya di balik kata cinta! Ataukah kau tidak ingin mengatakannya? Menyangkal apa yang telah ditentukan?—Cintaku kepadanya adalah karena perasaan terdalamnya! Kebangsawanannya, kelembutannya, belas kasihnya, kesederhanaannya, mata biru langitnya. Dia bersedia berkorban demi orang lain, punya kekuatan untuk menanggung ketidakadilan, kerentanan yang dia tunjukkan kepadaku saja, aku tidak ingin meninggalkannya sendirian. Suara meyakinkan itu, sorot mata penuh cinta itu, sepasang mata yang mencuri kemurungnaku, bibir yang begitu lembutnya memanggil namaku, kehangatan yang menggenggam kedua tanganku, kegembiraan dalam detak jantungku seketika kami saling menyentuh, rambut indah yang melambai tertiup angin. Karena takdir menyatukan kita, sebab aku yakin hanya dia seorang yang akan menerimaku, karena dia senantiasa berada di sisiku selagi aku sedih, karena dia mengajarkan banyak sekali pelajaran penting, karena kami telah bersama selama selama selama selama waktu ini, aku ingin melihat dan merasakan sesuatu yang dia lihat serta rasakan mulai saat ini hingga selamanya. Karena kami berjanji, aku bersumpah untuk takkan pernah melupakan itu, dan hanya aku seorang yang mengenalnya, hanya di hadapannyalah aku bisa menjadi diri sendiri. Karena aku sangat kesepian, aku selalu menginginkan seseorang memahamiku. Kau bilang pemikiran awal itulah yang membuat seseorang mencintai orang lain. Kaulah yang merenggut air mataku, kaulah yang muncul dari lautan tak terbatas untuk menemukanku, kaulah yang mendekapku erat-erat saat aku pingsan, kaulah yang pertama kali memarahiku sebab aku naif, kaulah yang mengutarakan kebenaran tersembunyi, kaulah yang memberi tahu banyak banget hal yang tidak kuketahui sebelumnya, kaulah yang membawaku melihat banyak pemandangan yang belum pernah kulihat sebelumnya, kaulah yang meraih tanganku dari sangkar burung. Entah kapan, kau mendukungku, entah apa, kau mengerti diriku. Kita ditakdirkan untuk bersama, selalu, aku tidak bisa hidup tanpamu, kaulah segalanya bagiku, kau mencintaiku karena aku pun mencintaimu, karena dadamu teramat hangat, karena bersamamu, seluruh warna dunia bersinar begitu mengkilau, aku tidak bahagia tanpamu, tidak sanggup hidup tanpamu. Dalam dunia penuh kebohongan, inilah satu-satunya kebenaran.”

Raut wajahnya tetap, Capella menuturkan kata-kata itu seakan sebuah kutukan.

Ketika dia mengimbuh pengakuan panjang nan menyentuh, wajah Capella terlihat bak campuran cantik, kagum, dan mesum. Bahkan ekspresinya lebih kompleks dan aneh ….

“—seluruhnya, bukan semata-mata manis!”

“….”

“Semua kata-kata itu dimaksudkan hanya untuk menenangkan orang lain, apa salahnya dihapus? Apakah kata-kata itu punya ketulusan? Karakter? Itu omong kosong memualkan belaka, menyebalkan sekali! Kepura-puraan! Itu hanyalah kepura-puraan! Sejatinya, kau hanya tertarik pada penampilan si daging! Apabila kau sungguh-sungguh bisa merasakan cinta dengan orang-orang yang kau sampaikan kata-kata serba kasih sayang lalu berbagi sentuhan kasih dan percakapan intim, lihatlah apa yang terjadi sekejap mereka menjadi seekor lalat! Mampukah kau mencintai mereka? Apa kau tak takut pada mereka? Kau tidak jijik? Tidak! Kau dari setiap pori-pori kulitmu kau merasa jijik! Sudah? Pikirkan perkataanmu!”

Pelecehan verbal gila, khayalan viktimisasi, kecemburuan, kebencian, obsesi akan diri sendiri.

Meludah ke sepanjang ruangan, Capella hilang kendali tatkala dia secara histeris menghancurkan ruangan.

Desisan ular, raungan singa, teriakan Capella, Subaru takkan tahan mendengarkan suara-suara tersebut lebih lama lagi.

Suaranya mewujud menjadi badai, ruangannya mulai runtuh. Apa pun yang dilakukannya, Subaru tidak melihat apa-apa di balik asap.

Bagaimana keadaan kakinya? Mungkinkah masih dia gunakan, terluka dan sobek seperti itu? Satu-satunya hal yang dia yakini adalah detak jantung seorang wanita di tangannya, Subaru terus meresapinya dengan tekad.

Sayangnya, bahkan pertarungan semacam ini terjadi dan berakhir di sini.

“Hei, daging. Aku melihatmu!”

“—huh!?”

Menembus asap, kepala singa tiba-tiba merengsek masuk.

Kemudian taringnya menyambar kaki kanan Subaru, merobek sepotong besar daging, darah menyembur keluar intens.

Lukanya secara langsung melampaui batas yang bisa ditangani Felix, kepala Subaru mulai mendidih sembari berjuang melalui rasa sakit kehilangan kaki kanannya. Menjerit sakit luar biasa sampai-sampai tenggorokannya tidak bisa menanggung.

Tentu saja, tak mampu menopang tubuhnya sendiri.

Seketika roboh, Crusch berguling ke tanah di depannya. Darah mulai mengalir. Tidak melebih-lebihkan, nyatanya seolah-olah seember darah mendadak dibalik. Jelas hidupnya telah mengalami penurunan cepat.

“Ah, pusing banget. Sepertinya aku bersemangat—sungguh tidak sopannya aku. Kahahahahaha!”

“….”

Mempertahankan posisinya di lantai, satu tangan kejang-kejang Subaru menunjuk lukanya.

Biarpun telapak tangan menghalangi luka, pendarahannya belum berhenti-berhenti juga. Malahan, tubuh Subaru mulai merasakan perasaan lain.

Segera, sesudah segalanya berhasil. Inilah perasaan akrab tentang Kematian, sensasi yang sedikit demi sedikit menghampiri Subaru.

Hanya dalam beberapa jam, dia merasakan sakitnya kehilangan kaki kanannya dua kali.

Wajahnya pucat pasi, napasnya mencepat lalu matanya memerah.

“Aduh, aduh, bukannya kau akan mati~? Menyaksikan penderitaan sepotong daging, sangat menyedihkan bagi diriku yang penuh kasih kepada orang lain.”

“… ah … ah ….”

“Seonggok daging yang kau lindungi pun akan segera mati. Amat memalukan aku menuruti sedikit hobiku … dan memutuskan untuk mencari tahu dia akan kalah dari darahku atau tidak~.”

Capella berjongkok, melirik wajah menggila yang kesakitan Subaru. Lalu monster tersebut tersenyum dan mengulurkan tangan ke kaki terlukanya.

“Aku penasaran kau akan menjadi daging jelek macam apakah nanti~?”

“….”

Seraya bicara, Capella mengubah tangan satunya menjadi pisau, memotong tangan yang barusan membelai luka Subaru. Berangsur, angsur, darahnya mengalir ke Subaru. Merah dan hitam dicampur bersama, darah bercampur jadi satu, membentuk adegan tak senonoh.

Dan ….

“….!? Hah, ah, ah, ah, ah, ah, ah!?”

“Darah Capella-sama berbeda dari darah biasa di mana-mana. Punyaku dicampur darah naga yang mengandung kutukan hebat~ sanggupkah kau bertahan sedikit lebih lama dari orang lain?”

Capella bersenandung senang, namun Subaru tidak bisa menjawab apa-apa.

Seluruh tubuhnya sudah mati setengah, bahkan rasa sakitnya pun melamban. Sedetik sebelum dia mati, darah yang masuk ke lukanya hancur dan mengikis tubuhnya.

Seakan-akan benda asing berakal telah memasuki tubuhnya, rasa takutnya lebih tinggi ketimbang rasa sakit regional yang memerkosa Subaru, umpamanya berusaha sepenuhnya menulis ulang keberadaannya tatkala bergabung bersamanya.

Tidak dimengerti, bahkan tak diizinkan diberi rahmat kematian.

Dibanding Crusch? Sesuai perkataan si monster. Dia turut merasakan satu rasa sakit. Bila dia harus menahan rasa sakit itu, lebih baik dia mati! Biarkan kami mati! Biarkan kami mati! Biarkan kami mati! Biarkan kami mati! Biarkan kami mati!

“Gahahahahahaha! Baiklah~ para penjajah telah diurus dengan baik. Yah, sudah saatnya aku ….”

Setelah melihat-lihat Subaru dan Crusch yang roboh, Capella berdiri dan puas.

Kembali ke wujud gadis mungil, ekornya menghilang kala menuju ruang siaran. Seketika berbalik, dia pun berhenti.

Tatapannya tertuju kepada dinding yang telah hancur saat si umpan naga diserang.

“Wah, wah, mereka lumayan bagus~.”

Dan setelah jatuh dari gedung beberapa waktu lalu, sang naga hitam kembali ke langit. Melihat musuhnya melepaskan raungan yang memekakkan telinga, kemudian menghembuskan api hitam.

—seketika itu, api hitam melanda kota.

Share this post on:
Subscribe
Notify of
guest
11 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Pier

siksaan menhampiri subaru, sad dah subaru gagal terus di perulangannya, sudha kaki luka parah..
thanks min dan TL Leon
semangat ngeTL nya hehe

Jager

Semangat terus. Lanjutkan, min.

NhyNos

Thanks min
LANJUTKAN

wip wip

lanjut teruuuuusss >_<

subaru naik haji

lanjut terus mbutttr

Ran

Parah bgt di ubh jadi lalat bnr2 nyiksa bnr ga bunuh diri pula.

betelgeuse

si capella mirip sam Pricilla njiiirr
ato emng dia wkwkkw

フル君

Kan.. kan.. mati juga tuh Subaru..

Putaran kali ini agak panjang ya, tapi pas bangun cuma ada waktu 15 menit doang sebelum ketemu Uskup lagi.. -_-

Semangat TL nya min.. lanjoott..

Xxrckk

Harusnya pas Subaru lagi deket² Capella, sebutin rahasia tentang RBD. Mudah² aja Satella Dateng membelai jantung Capella :v

Rendy

Berotak sengku