Share this post on:

Ganjaran Kesalahan

Penerjemah: DarkSouls (Daffa Poseidon)

“Mengerti~!”

“Lu ngerepotin, berhenti ngomong gitu!”

Keesokan paginya, Garfiel yang terlihat agak malang berjalan-jalan bersama mimi.

Terkikik, Mimi menyentuh dada jubahnya yang ternodai air mata dan liur Garfiel. Bau busuknya samai-sampai membuat hidung Garfiel sakit.

Bagi Mimi yang punya indra penciuman tajam, baunya pasti tak tertahankan, namun ketika Garfiel menyarankan untuk mencucinya, dia menjawab:

“Mmmn, tidak apa! Pas kembali ke hotel, aku bisa ganti pakaian~. Nona akan benar-benar marah aku semalam tidak pulang. Hetaro dan Tivey juga~!”

“… maaf.”

“Mimi tidak mengkhawatirkan itu~! Mimi cuma bilang Garf itu anak yang baik, baik banget saat Garf nangis dan terisak!”

Merespon permintaan maaf lirih Garfiel, Mimi hanya tersenyum polos. Semalam, Garfiel telah mengucapkan perpisahan kedua kepada ibunya.

Setelah terserang luka bertubi-tubi, dia tanpa tahu malu malah menangis di dada Mimi di atap.

Dan yang lebih memalukannya, isak tangisnya sungguh melelahkan hingga dia tertidur. Esok paginya, suara berisik kota membangunkannya di pangkuan Mimi.

Sewaktu pemilik atap mendapati mereka, Garfiel akhirnya bisa tenang kembali, dan Mimi memperlihatkan tingkah biasanya.

Sulit mencari-cari dalih, jadi mereka menyelinap kabur dari atap, malu.

“Merasa lebih baik?”

“Itu, keknya, gitu, deh.”

“Seperti itu, kan?”

“… ya, kayak gitu.”

Tidak dapat menyuarakan terima kasih sebenarnya, Garfiel mengerutkan kening, tapi Mimi benar-benar mengabaikan kegagalannya, membuat Garfiel tidak tahu mesti berkata apa.

Dia mengingat kejadian kemarin malam, tatkala Mimi bilang dia tertarik padanya. Tanpa sadar, matanya mengejar sosok Mimi.

Sebelumnya, dia pikir Mimi hanya ikut-ikutan dengannya, merasakan persahabatan dengannya karena sama-sama keturunan non-manusia, tetapi mendadak Mimi mengikutinya sambil menyimpan niat romantis.

Bahkan setelah Mimi menyatakannya, dia berperilaku seperti biasanya.

Garfiel pun sama di depan Ram, tapi seketika situasinya terbalik, dia merasa terasing. Kelemahan itu adalah bagian memalukan lain Garfiel.

“Yah, kita mau ngapain pagi ini? Pergi menemui ibumu?”

Kepalanya teralihkan, Garfiel tersentak karena ucapan mendadak Mimi dan makna sejatinya.

“Bentar, bentar, kenapa kita pergi nemuin dia?”

“Karena Reala itu ibu Garf, seharusnya dia tahu itu juga.”

“Nih cebol beneran kagak bisa pahamin isi tersiratnya ….”

Selain menggunakan naluri untuk mengetahui bagian terpenting hubungan mereka, Mimi juga tak tahu seluk-beluk permasalahannya. Posisi Garfiel sulit, tidak bisa menjawab pertanyaan mereka keluarga atau bukan. Garfiel mendadak tersadar menjelaskan pun tidak berguna, kemudian dia menyerah. Dan tersadar bahwa itu masalah lain.

“Ga usah … ga perlu sampe dia tahu kalau gua yang hebat ini putranya.”

“Tidak apa-apakah?”

“Gapapa. Gua yang hebat ini bakal nyerahin ke kakak gua ….”

Barangkali dia akan memberi tahu kakak rasionalnya.

Setelah kejutan awal dan kebingungannya berlalu, kesimpulan akhirnya pasti akan sama dengan Garfiel, bahkan lebih cepat darinya.

Hanya saja, meskipun kesimpulan mereka tak sama, dia masih berhak tahu bahwa ibu mereka masih hidup. Tapi tidak apa-apakah Frederica menanggung rasa sakit seperti Garfiel?

“Butuh waktu sebentar baru kita bisa mutusin sesuatu.”

 “Jadi begitu~. Itu sangat sulit~, Mimi~, cuma berpikir kalau kita mesti berhubungan baik sama ibu~.”

“Soal ibu … lu ngerti?”

Mimi yang tak terduga, membuat telinga Garfiel bergidik dan bertanya-tanya. Mimi mengangguk seolah bilang ‘yap~.’

“Mimi, Hetaro, dan Tivey tidak pernah kenal Ayah dan Ibu. Mereka pikir mungkin, ‘Kembar tiga~ membesarkan keluarga super besar terlalu sulit~,’ jadi mereka hanya meninggalkan kami di suatu tempat~. Terus kami dipungut Kepala, jadi dia keluarga, dan Nona juga keluarga!”

“… jadi … lu betulan punya keluarga besar.”

Tanpa mengetahui alasannya, dia tiba-tiba merasa suasananya merileks selagi membelai kepala Mimi.

Kala itu ….

“—waaah!”

Mimi cepat-cepat melompat jauh dari tangan Garfiel.

Pria itu menatap wajah memerah Mimi, ketika dia berputar dengan suara mendesing sambil menggosok wajahnya.

“Dari kemarin, kedeketan sama Garf rasanya aneh.”

“Bener, maaf … lu mau gua yang hebat ini pergi?”

“Aku pun tidak mau itu~, tidak terlalu dekat atau terlalu jauh rasanya paling mantep~.”

Langkah-langkah kecilnya bergegas, berhenti di tempat di luar jangkauannya.

Garfiel memberengut, sedangkan Mimi tertawa, ‘Hehe~,’ biasa. Barusan, raut wajahnya sendiri kelihatan tergelitik dan sedikit kemerahan.

“Hei, ayo makan souffle-nya!”

“Y-yah, tentu ….”

Seolah-olah terburu-buru mengganti topik pembicaraan, Mimi mengeluarkan kotak makanan penutup dari sakunya. Itulah yang Reala berikan pada Mimi tadi malam, sebelum mereka berpisah.

Sesaat, rasa sakit mengalir di dadanya sewaktu Mimi memberikan makanan ringan tersebut kepadanya, aromanya melayang lembut ke hidung Garfiel.

Makanan penutup itu sedikit mirip roti, bumbu manis ditambahkan adonan, diisi krim dan pasta kacang.

Ada dua souffle besar bundar dalam kotak, masing-masing untuk Mimi dan Garfiel yang menjadi sarapan mereka.

“Yey! Manis~! Enak! Enak banget, super enak~!”

“Ah, maknyus!”

Garfiel menyetujui tepuk tangan keras Mimi.

Makanan penutupnya manis sedikit, tapi tidak manis-manis amat, dan adonannya mengembang juga lunak. Misalkan ini baru dipanggang, rasanya akan lebih lezat. Ini masakan ahli seorang ibu.

Kalau begitu, Garfiel bisa sering-sering merasakannya.

“Gar~f?”

“Ini sungguhan bukan kek gua yang hebat, ya?”

Merespon keresahan Mimi, Garfiel menyingkirkan semua angan itu.

Pikirannya kembali ke teman-temannya yang sedang menunggu. Seperti Mimi, Garfiel tetap keluar tanpa izin.

Karena itulah, dia pasti akan sangat dimarahi—

“—halo, halo? Tidak apakah? Semua orang bisa dengar? Makhluk daging yang bisa dengar, baguslah! Makhluk daging yang tidak bisa dengar, membusuklah dan mati, itu bakal teramat membantu. Gahahahahahahaha—”

“Apa?”

“Hmm~?”

Baru saja melangkah pendek ke depan, sebuah suara tiba-tiba menyerang gendang telinga mereka.

Kedua orang saling melirik dan menatap langit atas berbarengan, asal suara menggelegar itu.

“Ntu suara kedengaran mirip ….”

“Yah, yah, yah, apa ada idiot yang meninggal gegara syok tadi? Misal tidak, yah, tidak masalah-asalah banget, tapi seumpama ada orang yang beraninya mengabaikan wanita cantik ini, maka suasana hatiku akan hancur!”

Mengabaikan Garfiel, suara bervolume menyebalkan itu terus saja mengoceh.

Orang-orang lain yang berjalan di jalanan pagi ikut memandang langit, tercengang. Suaranya keras bukan main—kesimpulan itu akan salah.

Garfiel yang indra pendengarannya berbeda dari manusia biasa bisa saja bilang bahwa suara ini bukan suara keras dari satu sumber, melainkan menembus seluruh kota, menyebar layaknya gema.

Akan tetapi, tahu itu tak menjawab pertanyaan apa-apa.

“Dasar makhluk membosankan yang kerjanya merusak suasana hatiku belaka—kalian semua sekadar sampahsampahsampahsampah! Bersihkan pikiran menjijikkan dari kepala burukmu, sana cepat cari selokan tak berguna dan masukkan kepalamu ke dalamnya! Tolong cepatlah mati, kumohon! Gahahaha!”

—pemilik suara ini mempunyai jiwa terkeji.

“Canda macem apaan ini? Udahanlah!”

“Garf … aku terus merasa super, super tidak nyaman ….”

Sesaat Garfiel menyumpah besar, ekspresi Mimi gelisah. Di sebelahnya, Garfiel, menyusuri belas luka di dahi, menggertakkan gigi.

Paras itu tidak cocok pada Mimi. Wajah itu, Garfiel tak ingin melihatnya.

“Yah, yah, baiklah, karena makhluk daging busuk agak kusam tidak mengerti, aku jelaskan. Aku telah mengendalikan radionya—berarti, berarti, berarti—!”

“Lanjutkan, apa artinya?”

“Itu——aku, tidak, kami telah mengendalikan Balai Kota. Ah, ngomong-ngomong, apakah ada menara pengendali di ujung kota? Itu pun sekarang milik kami!”

“Menara pengendali … bagaimana dengan brotto?”

Begitulah sisi lain tujuan sejati si pemilik suara, Garfiel merasakan ancaman tersebut, menahan napas.

Sebelum dan sesudah tiba di kota, dia kesulitan memahami struktur Pristella dari penjelasan Otto. Bendungan air Pristella yang bekerja permanen dapat berfungsi menjebak musuh di kota misalkan mereka dipancing ke dalam.

Dan yang bertanggung jawab atas operasi bendungan itu, adalah menara pengendali yang terletak di setiap sudut kota, dikendalikan oleh si pemilik suara yang karakternya paling kejam. Populasi seluruh kota sedang disandera.

Berpikiran sama dengan Garfiel, panik dan kerisauan mulai menyebar di kalangan warga sipil. Semua orang berteriak di saat bersamaan, dan kota tersebut menderingkan tawa beracun.

“Huahahahahahahaha—! Kini! Saat ini! Baru sekaranglah kalian sadar akan dihancurkan! Mengejutkan betapa tololnya kalian semua! Keberatan bagiku! Ah, sampahsampahsampahsampahsampahsampahsampah! Gahahahahaha—”

“….”

“Oh, ini tidak baik. Memperlama tanpa memberi tahu namaku, kalian semua hendak melarikan diri dari kenyataan? Mengapa tak mengizinkan belas kasih wanita lembut nan baik hati ini memberian jawaban jelas dan mudah?”

Di kota panik, Garfiel mengenggam tangan Mimi erat-erat. Lalu mendengarkan baik-baik perkataan suara itu.

“Aku adalah Uskup Agung Dosa Besar Kenafsuan dari Kultus Penyihir—”

“Kultus Penyihir—!”

“Capella Emerada Lugnica! Gahahahaha! Hormatilah aku! Sembahlah aku! Terus menangis dan memohon kemudian matilah dengan tragis bak cacing! Dasar daging busuk! Kahahahahahahaha—!”

 


 

Setelah mendengar siarannya, Garfiel terpaksa memilih berbagai macam pilihan.

Walaupun penyiaran orang yang mengaku-ngaku sang Uskup Agung menimbulkan kepanikan, tindakan warga Pristella sangatlah tertib. Bahkan di waktu-waktu kekacauan, mereka mengingat prosedur darurat dan melarikan diri menuju selter yang tersebar di seluruh Pristella.

Para pelintas berusaha menuntun Garfiel dan Mimi ke selter. Akan tetapi, mereka menolaknya dan malah pergi ke tempat lain.

Itu membuat Garfiel memilih pilihan lain.

Maka, hasil pilihan itu adalah—

“Ah, Tuan Menawan!”

“….”

Di selter lain, Reala berlari mendekati Garfiel setelah melihatnya, lega menemukan seorang kenalan.

Garfiel menahan rasa sakit pendengarannya dan membiarkannya mendekat.

—dan itulah hasil pilihannya ….

Semenjak Garfiel menolak diantar ke selter terdekat, pilihan ini paling cepat.

Dia harus ke mana? Bersama Emilia dan Subaru, atau seorang ibu yang berusaha dia pastikan keselamatannya?

Secara rasional, Garfiel tahu harusnya dia kembali ke sisi Emiia.

Meski begitu, dia berdalih pada diri sendiri karena selter ini relatif dekat, dia bisa memeriksa keamanannya.

“Baguslah Mimi-san baik-baik saja. Siara itu mengkhawatirkanku.”

“Ah, tidak ada yang terjadi pada kami~! Souffle-nya enak, makasih~ buat hadiahnya~!”

“Ah, bagus deh, aku senang itu sesuai seleramu.”

Mimi tidak keberatan oleh pilihan Garfiel apa pun, dan setia mengikutinya.

Tentu saja, dia ingin kembali ke Anastasia dan adik-adiknya. Baginya, keselamatan Reala adalah urusan orang lain, dan dia tak wajib pergi memeriksanya.

“….”

Selagi mendengarkan dalihnya sendiri, Garfiel akhirnya telah memastikan keselamatan Reala, dan dia bebas untuk pergi. Dia mesti segera kembali ke sisi Emilia dan mempertahankannya dengan semangat juga kekuatan.

Ketika Kultus Penyihir muncul, Garfiel akan melindungi Emilia dan bertarung atas namanya. Begitulah persetujuannya sama Subaru, dan itu takkan dia langgar.

Kendati dia tidak bisa melindungi dirinya sendiri bagaikan harimau, dia tidak boleh lupa dirinya sebagai seorang pria.

“Keknya semuanya baik-baik aja, jadi gua yang hebat ini akan ….”

“Sebentar …. Tuan Menawan, apakah kau ….”

Seketika Garfiel bersiap-siap pergi, tindak-tanduk takut-takut Reala menakutkan Garfiel.

“Apakah kau melihat anak-anakku? Mereka pergi subuh ini … dan mereka tidak di selter ini ….”

“….!?”

Buru-buru mendongak, Garfiel mengamati sekelilingnya, tidak bisa melihat sosok mereka di mana pun sekitar sini.

“Bahkan suamiku … tidak, lupakan, aku berlebihan ….”

“Ngapa? Gua yang hebat ini akan terganggu jika apa-apa disembunyiin.”

“—siarannya dari Balai Kota, tempat suamiku bekerja … jadi hari ini, saat terjadi sesuatu di sana ….”

“….”

Balai Kota adalah sebuah gedung tinggi di pusat kota.

Garfiel dengar tempat itu bertanggung jawab atas fungsi-fungsi kota, dan Uskup Agung mengumumkan bahwa mereka telah merebutnya.

Barangkali di sanalah Garek berada.

“Haaah ….”

Beritanya datang kelewat mendadak, dan hati Garfiel mencepat seperti ritme alarm.

Sepasang saudara yang hilang, Garek di tengah-tengah lokasi paling berbahaya. Mengonfirmasi keselamatan Reala membuat Garfiel tahu keadaan keluarganya.

“Kapten, Emilia-sama ….”

Wajah-wajah mereka, juga Otto dan Beatrice yang terlintas di benak Garfiel. Dia harus kembali dan menjadi kekuatan mereka.

Tapi, seakan langsung mengejar pemikiran tersebut, wajah-wajah adik-kakak dan Garek pun melintasi kepalanya.

“Maaf telah mengganggumu, Tuan Menawan. Tolong lupakan apa yang kukatakan.”

“….”

“Barusan, aku gak ketakutan. Anak-anak dan suamiku sadar betul akan prosedur darurat kota.”

Reala tersenyum kuat, tetapi tangannya disatukan, seolah sedang berdoa.

Tak salah lagi sikapnya ketakutan, dia mati-matian berpura-pura agar tidak membuat Garfiel risau.

“….”

Diam, diam, diam.

Tanpa bicara, giginya menggertak, pikiran Garfiel berpacu. Muka Mimi menghadapnya, dia pun diam, menunggu keputusannya. Tanpa bicara, dia cuma memegang tangan Garfiel.

“… ga usah khawatir, serahkan anak-anak dan suami lu ke kami.”

“—Tuan Menawan!?”

Jawaban tak terduga itu mengejutkan Reala yang terdiam. Mengangguk kepadanya, Garfiel menatap Mimi.

“Ini masalah gua, jadi lu kudu balik.”

“Hiyaah!”

“Aww!”

Saat disuruh kembali, Mimi menendang Garfiel, dan dia berteriak kesakitan. Mimi memanfaatkan waktu itu untuk berdiri tegak.

“Garf mengatakan sesuatu setampan itu, jadi bagaimana mungkin Mimi tidak menandinginya~? Aku beneran~ akan ikut denganmu~!”

“Cebol … kaga, oke, deh. Maap.”

“Kalau begini, kau harusnya berterima kasih!”

“—terima kasih.”

“Sama-sama!”

Terkikik manis, Mimi juga membuat Garfiel tertawa.

Lalu, kembali ke Reala yang tertegun, Garfiel berbicara.

“Gua yang hebat ini akan nyariin keluarga lu, jadi tetaplah di sini sama semua orang, dan tunggu kami.”

“Tapi, tapi … kenapa kau melakukan ini untukku?”

“….”

Mengapa dia melakukan ini?

Pandangan gemetar Reala menanyakan Garfiel. Garfiel menyeringai kepadanya.

“Karena gua yang hebat ini adalah harimau hebat! Harimau Menawan!”

“Kalau begitu Mimi juga Mimi Menawan~!”

Meneriakkan kalimat bodohnya, kesembronoan mereka mengejutkan orang-orang yang berkumpul di sini.

Sewaktu Reala terkejut, Garfiel dan Mimi terlihat bersemangat, berputar gagah, mereka bedua bergegas dari selter.

“Garfiel, kita harus melakukan apa?”

“Pake baunya untuk ngejar mereka. Kedua bocah dan Garek, lu masih inget benar baunya, kan?”

Masalahnya adalah kota ini besar, dan aliran air di mana-mana.

Untuk menemukan bau mereka secara akurat, kondisi lingkungannya harus benar. Di kota berpenduduk padat ini, indra penciuman kuat malah akan menangkap banyak bau. Meskipun demikian, indra dua manusia hewan ini berfungsi dengan baik.

Begitu mereka menghantarkan Reala, mereka menemukan bau sepasang saudara.

Waktu-waktu ini, evakuasi warga kota berjalan lancar. Kotanya cukup tidak menyenangkan, nampak seperti kota hantu. Di saat-saat seperti ini, akan terjadi penjarahan, namun tiadanya tindakan tak bermoral semacam itu kemungkinan besar disebabkan tersohornya nama Kultus Penyihir.

“Hmmm, apa yang ini? Gar~f, aku mengendus baunya!”

“… bener, dan arahnya ….”

Garfiel melacak mereka dan memperkirakan lokasinya secara kasar. Mereka tampaknya melacak rute kemarin dari Third Street ke First Street.

Pikiran melintas di benaknya.

“Dua orang itu pergi ke taman untuk menemui si Biduanita ….”

Fred bilang kemarin dia terlambat pergi dan gagal menemuinya. Setelah belajar dari kesalahannya, dia pergi lebih awal pagi ini, bertekad untuk tak melewatkannya lagi.

Kali ini, kakaknya pasti ikut.

“Kalau gini, kalo kita pergi ke First Street ….”

Jika mereka pergi ke sana, mereka bisa menemukannnya dengan sangat cepat.

Garfiel sedikit cerah, berpikir situasi menguntungkannya. Lalu dia mengendus baunya.

“….”

“Apa ini ayah mereka ….?’

Mimi mendapati yang diendus Garfiel.

Terpisah di tengah-tengah sepasang saudara. Garek pergi menuju Balai Kota di tengah kota.

Satu pilihan lagi singgah di Garfiel.

Misalkan dia pergi ke First Street, dia bisa saja menemukan si kakak beradik. Apabila mereka berada di pertunjukkan Biduanita, mereka pasti sudah aman.

Namun Balai Kota beda ceritanya.

Seiring waktu berlalu, orang-orang di Balati Kota yang diserang Kultus Penyihir, tingkatan bahayanya kian meningkat.

Walau begitu, Garek ada di tempat yang setiap detiknya boleh jadi semakin meninggikan tingkat kematiannya.

“Gar~f … bagaimana?”

“….”

Sekali lagi pilihan mendekati Garfiel.

Dia bisa saja memilih memastikan kelangsungan hidup saudara-saudari kandung yang di tengah perjalanan untuk kembali bereuni ke Subaru. Namun sayangnya, dia menutup mata pada Garek di Balai Kota.

Bagaimana penjelasan hubungan Garfiel dengan Garek?

Tak seperti Reala, dan anak-anak yang terlahir darinya, tidak ada hubungan langsung di antara mereka. Seandainya darah digunakan sebagai dasar penyelamatan, kewajibannya untuk menyelamatkan Garek takkan ada.

Biar begitu, apa yang terjadi kepada Reala bila kehilangannya?

Dia bertahun-tahun akan berkabung bersama anak-anaknya, karena Garfiel menyerah ke Balai Kota. Keluarga itu akan meneteskan air mata tiada akihr.

“… Balai Kota adalah tempat Uskup Agung berada, kan?”

“Yap~!”

“Menara pengendali itu berbahaya banget, tapi kalau aja kita bisa langsung ke Uskup Agung dan ngebunuh dia, maka ….”

“Semua orang akan selamat~? Keren~! Terlalu keren~!” lompat-lompat di tempat, Mimi memuji komentar Garfiel.

Tetapi, dia segera berhenti melompat di tempat ….

“Sekalipun itu bukan masalah besar, tapi~ aku merasa tak tehang ….”

“Ga tenang?”

“Berbahayanya bukan main. Firasat semacam itu. Tidak jelas, tapi begitulah.” maksud Mimi dia tak punya bukti atas perkataannya.

Melihat lagak segannya, Garfiel merasa terasing.

Sampai sekarang, Mimi terus mendukungnya dari belakang, menyetujui setiap keputusannya.

“Memalukan amat … ngarepin orang lain selalu ngedukung gua.”

“Garfiel, ada yang bisa kubantu?”

“Bego kalo gak mikirin itu, kapten dan yang lainnya bakal maki-maki gua, tapi ….”

Kekuatan terkuat Emilia takkan lari ketakutan.

Betapapun dia berjuang, demi menyelamatkan kota, pada akhirnya mereka harus menghadapi Balai kota.

“Pertama-tama, kita belom mastiin situasi Balai Kota. Contohnya ada penjaga di sono atau enggak, dalemnya aman gak.”

“Apakah ini namanya investigasi? Ooooh! Begitu~, kita akan mengintai~”

Biarpun Mimi masih sedikit tegang, dia dengan penuh semangat setuju.

Melihatnya mengambil tongkat favoritnya dari dalam jubah, Garfiel pun menarik perisai kembar dari pinggang dan ditempelkan ke pergelangan tangan.

Saat lengannya tertutupi baju baja perak, dia menyatakan dirinya telah siap.

“Ayo pergi.”

“Baiklah~!”

Merespon ucapan singkat Garfiel, mereka berdua pergi ke Balai Kota.

Menurut informasi Subaru, Uskup Agung Dosar Besar Kemalasan punya beberapa kaki-tangan yang berjuang bersamanya. Meskipun tidak bisa menandingi para Uskup Agung, mereka yang berpengalaman bertarung bisa menjadi ancaman.

Di jalan, waspada terhadap penjaga yang boleh jadi ditugaskan di sana, mereka berdua bepergian dengan hati-hati dan was-was.

“Aneh … ada apa?”

Akan tetapi, mereka bahkan tidak melihat satu pun pemuja.

Kendatipun mereka bersembunyi, mereka bisa saja menipu hidung Garfiel dan Mimi. Karenanya ….

“Seolah-olah mereka kaga butuh penjaga!”

“….”

Keitka mengingat suara siaran, kekuatan kemarahan Garfiel tak tertahankan.

Mereka tidak menyangkan orang lain akan menyerang mereka. Tanpa tanda-tanda kesiagaaan, mereka beranggapan bahwa kendali mereka atas bangunan tersebut mutlak, dan mereka telah menang.

Keangkuhan itu, ingin dia cabik-cabik dengan cakarnya dan gigit dengan taringnya.

“Hmmmm?”

Selagi Garfiel menggertakkan giginya, Mimi mendeham lirih.

Nampak tenang, dia menggosok punggungnya, tampak terganggu, hidungnya terus-terusan berkedut.

“Ada apa?”

“Aku tidak tahu~ tapi aku rasa ada yang salah. Garf, ada kejanggalan.”

“Jangan maen-maen!”

Menarik ujung celana Garfiel, Mimi tiba-tiba mengatakan sesuatu yang membuatmu berkecil hati. Garfiel membentak Mimi yang ingin mundur setelah datang jauh-jauh ke sini.

Kultus Penyihir bahkan lalai menempatkan para penjaga. Mundur hanya karena suasana serasa aneh bukan sesuatu yang mereka lakukan.

Kalau mereka sekarang pergi, peluang keluarga Reala tertimpa tragedi makin meningkat.

“Lu boleh ke sini kalo gam au pergi. Gua yang hebat ini bakal baik-baik aje, bakal gua hantem Uskup Agung itu dengan gampang!”

“Garf!”

Menampik jemari di celana, Garfiel melompat dari tempat persembunyian mereka.

Dari alun-alun di sepanjang kanal, rencananya dia ingin langsung melompat ke Balai Kota.

Jaraknya menyempit. Suasana tetap stagnan. Keangkuhannya nyata, dasar konyol.

Tidak ada yang terjadi. Sepuluh langkah lagi. Sembilan langkah. Delapan langkah. Tujuh langkah. Dia memanjat dinding, mencari-cari rute lebih mudah untuk masuk gedung. Enam langkah. Lima langkah—

“Garf—!”

“….!?”

Tiba-tiba mengubah arah, Garfiel menyalurkan energi ke kaki, tak melompat ke depan, namun ke samping.

Lalu cahaya tajam berkilau dari ujung bilah tenang terlintas di tatapannya. Energi destruktif itu benar-benar sunyi.

Batu yang dilangkahinya memiring, seakan-akan terpotong, tidak sampai situ saja. Muncul asap putih mengambang.

“….”

Misalkan bukan karena teriakan peringatan Mimi, dia sekarang pasti sudah mati.”

Tebasan indah nan sempurna nyaris tak melewatkan kepala Garfiel. Seandainya potongan artistic itu kena sasaran, kepala Garfiel sudah terbang terbuka di alun-alun.

Keringat dingin.

Tatkala itu, Garfiel mendarat dan berbalik, kemudian melihatnya.

“….”

“….”

Di hadapannya, dua sosok tiba-tiba muncul.

Salah satunya adalah pria raksasa, masing-masing tangannya memegang pedang besar. Satunya adalah wanita ramping gemulai, memegang pedang panjang.

Keduanya mengenakan hiasan berkepala hitam, Garfiel tidak mampu memastikan kemunculan mereka.

“… bukan sambutan yang baek, ye?”

Menggaruk leher belakang yang serba keringat dingin karena syok, Garfiel angkat bicara, berusaha mengalihkan perhatian mereka selagi menentukan kekuatan tempurnya.

Akan tetapi, tidak ada yang menanggapi ucapan Garfiel.

“Garfiel, dua orang ini ….”

Memutari mereka, Mimi menghampiri sisi Garfiel.

Garfiel bahkan tidak berani menatap Mimi, alih-alih mengawasi kedua sosok tersebut.

“Ya, mereka kuat.”

Suara Mimi mengejang gugup, Garfiel menjawabnya sambil menaruh tangan ke pundak si perempuan, mendukungnya.

Dua orang yang mereka hadapi tampaknya mirip hantu suram beralamat buruk.

Tingkat bahaya pra-alamiah yang dipancarkan mereka berdua mustahil diukur secara akurat. Stimulasi asing yang menusuk kulit Garfiel telah merenggut air liur mulutnya, dia merasakan rasa haus mendesak.

Jelas saja, kekuatan musuh jauh melampaui manusia.

Mereka lebih unggul dari mesin pembunuh yang pernah dilawan Garfiel.

“Hanya dua orang ….?”

Tidak ada bayangan lain yang mengintai di sekitarnya.

Satu-satunya penjaga adalah dua orang di depannya. Menyembunyikan keberadaan mereka dari Garfiel sampai sekarang, jadi potensi eksistensi mana pun takkan ada. Orang-orang kuatnya memilih berhenti menyembunyikannya.

Dengan kata lain, dua orang di depan mereka adalah penghalang yang harus ditembus untuk merebut kembali Balai Kota.

Begitu Garfiel memahaminya ….

“Heh, menarik ….!”

“Garf?”

“Andai kita menang, kita bisa nembus bagian ini ….!”

Jantungnya penuh semangat sembari menolak rasa takut yang hendak menguasai hatinya, perisai disentuhkan ke dada seraya bicara tajam. Walaupun kepalanya mulai mendingin, percikan kegembiraan masih melambung dalam dirinya.

Walau sudah begitu, sambil memegang celana Garfiel, Mimi berteriak ….

“Tidak, tidak! Garf, tidak! Dua orang ini, tidak bisa kita lawan! Mereka super~ kuat! Hanya Mimi dan Garfiel saja tidak bisa menang sama sekali! Kita tidak bisa!”

“—entah kita menang atau kaga, gua …. Bakal menang atau engga, gua kaga bakal berusaha buat tau hasil akhirnya. Gua beneran ga bakal menyetujuinya. Terlebih lagi ….”

Mimi berkecil hati, lantas isi perasaan Mimi kian memperbesar kepengecutan Garfiel. Laki-laki itu cemberut, rahangnya marah besar kepada dua orang musuh tersebut.

“Kendati kita kabur terbirit-birit, mereka entar juga bakal ngejar kita.”

“Kalau begitu, kalau begitu, sekali! Kita serang mereka sekali, menghindar, terus kabur. Kalau cuma kita, mending pergi saja! Tanpa Kepala atau Julios—!”

“….”

Mendengar tukas panik Mimi, Garfiel menggigit bibirnya dan merenung.

Memang, Garfiel juga tahu Mimi benar. Mereka tak sanggup menandingi kedua orang itu.

Menghadapi musuh semacam itu, satu lawan satu, sama saja bunuh diri.

Karena tidak ada cara lain, apa ada tindakan tepat?

Dua sosok di depan mereka adalah penghalang terlampau kuat. Kekuatan maha perkasa yang menghadang bagian depan, mereka pun harus melewati penghalangnya.

Garfiel dikalahkan oleh Reinhard yang jauh lebih kuat dari perkiraannya.

Sadar betul mesti menjadi perisai paling penting, ‘kau harus menjalani jalan terkuat demi perjalanan penting agar kau bisa menjadi harimau emas.’

Kemudian, sekalipun tak sama sebagaimana wujud harapan, sang ibu dan pertemuan keluarga baru mereka. Jika dia kembali disini, Garek akan—

“….”

Sekali lagi menyambar ujung celana Garfiel, dikuasai pikiran kacau, Mimi-lah yang ekspresinya gelisah. Garfiel mengingat malam lembut mereka, di saat dia menjadi pelindung baiknya.

Seketika itu perasaan keras kepalanya sedikit demi sedikit hilang.

“… okelah, kita ikutin rencana lu. Abis nyerang, kita kabur, dan cari orang lain buat bantu kita—Oke?”

“Ya! Ya! Itu dia—ayo lakukan~!”

Dihadapkan keberanian tak tergoyahkan Garfiel, Mimi gembira.

Setelah menyatukan pemikiran mereka, keduanya berbalik menghadap sosok-sosok defensif di depan yang sedari tadi diam.

Pertengkaran singkat mereka memberikan kesempatan sempurna untuk melancarkan serangan. Mereka menahan diri karena menghormati? Belas kasih? Atau was-was?

“—ayo pergi!”

“Hah!”

Jika mereka berhati-hati belaka, maka tiba waktunya untuk menghancurkan mereka.

Tidak memerlukan sinyal, Garfiel dan Mimi melompat ke medan perang bersama-sama. Garfiel terbang menyerbu si wanita, dan Mimi menyerang si raksasa.

Sewaktu Garfiel mendekatinya secepat peluru, wanita tersebut dengan lunglai menggerakkan bagian tubuh atasnya, berikutnya, mengayunkan pedangnya ke bawah dengan kecepatan mengkhawatirkan.

Tajamnya kilat pedang indah membalah udara hingga menyilaukan Garfiel dan lengah sejenak.

“—uah!”

Namun, dia tidak bodoh-bodoh amat sampai hilang kendali dan membiarkan pedang mengenainya.

Pedang itu dipantulkan perisai di pergelangan tangan kanan, mencuri kesempatan tersebut untuk menendangnya. Si wanita halusnya menghindari serangan dan balas menyerang lagi, tetapi sosok luwes menakutkannya diblok perisai lain.

Leher sasarannya, Garfiel melindunginya dengan tangan kiri. Segera setelahnya, dia menendang, tubuh kurusnya terhempas dengan mudah.

“Haaahh!”

Melihat tubuh wanita yang mudahnya dia kalahkan, Garfiel merasa riang gembira.

Kala Garfiel menoleh ke belakang, dia melihat raksasanya, ‘Gua melihat raksasa yang beraksi di sana, perannya adalah adaptasi, menyerang serangan sihir yang sedikit melewati pedang besar—dia hampir keluar dari alun-alun.’

Mimi sepertinya berhasil lolos.

Raksasa tak bisa mengejar Mimi yang lari, wanita ini tidak mampu melawan Garfiel. Kalau demikian ….

“Kiranya kita bisa ngalahin satu—!”

Semisal dia bisa mengalahkan si wanita, melangsungkan serangan lain nantinya akan lebih mulus. Mengalahkan wanita itu akan membuat si raksasa lebih mudah dicabik.

Garfiel menerjang maju wanita pingsan itu, pedangnya menabrak pergelangan tangan kiri.

Perisai di tangan kananya menabrak badan kerempeng nan rapuhnya. Dia tidak mungkin punya kekuatan regenerasi seperti Elsa.

“Kena lu!”

Dia bisa mengalahkan wanita itu.

Sesaat Garfiel mengkonfirmasinya dan suaranya meninggi, Maut datang dari belakang.

—raksasa yang harusnya berada jauh menghampiri Garfiel, yang bersamanya adalah maut. Naluriah Garfiel bereaksi bagaikan pegas penuh.

Segera memotong serangan, pergelangan tangan kiri pindah ke punggung, melompat jauh dari sana.

Akan tetapi, serangan lain dari belakang menghancurkan pergelangan tangan kiri Garfiel, sambil meringis dia terbang ke tanah.

“Aaahhh?” “….”

Garfiel yang tertelan kejutan, mengerang keras karena pukulan tak terbayangkan.

Memantul dari tanah, tubuhnya tersangkut di udara, sekali lagi dihadapkan serangan berlebihan. Dibantu perisai kembarnya, dia bertahan atas benturannya—tetapi momentum menerbangkannya.

Menargetkan Garfiel yang meluncur di udara, lintasan sejajar dari tanah, raksasa bersama wanita maju mengejar di satu waktu.

“….”

“….”

“Haaah, aaahhh!”

Garfiel dijepit dua serangan paralel.

Dari depan disambut ayunan pedang, perisai satunya untuk menangkis pedang besar di belakang, dengan hentakan kuat dari tanah, dia hampir tak menghindari serangan penjepit mereka. Sesekali pedang muncul dari medan tempur, dan dia balas kedua perisainya, percikan-percikan api menari di sepanjang permukaannya, lalu dilanjutkan ayunan pedang dari atas ke bawah ….

“Hah!”

Tulang dadanya retak-retak, kekuatan pukulan itu membuat penglihatan Garfiel semerah darah.

Biarpun dia menanggung beban terberat pedangnya, bilah tumpulnya nyaris tak menyelamatkan nyawa Garfiel.

Jeritan kesakitan mengiringi darah yang merembes keluar dari mulut ketika tubuhnya terbang ke menara, hampir-hampir tak menghindari bahaya yang hendak menghancurkannya sampai berkeping-keping. Akan tetapi, kedua musuh sulit dikalahkan itu tak memperkenankan keselamatan hidupnya.

“….”

Tanpa kata, mereka mengejar Garfiel.

Kendatipun intensitas serangannya tidak bisa dibandingkan serangan sebelum-sebelumnya, ketajaman senjata wanita tatkala memanggil kekuatannya mestinya tidak sampai sebesar itu, indah sebab bersentuhan napas kematian. Bahkan sejauh ini, bilah tenang nan elegan akan membelahnya jadi dua.

“….”

Juga tanpa kata, gaya bertarung raksasa itu brutal dan kasar.

Namun demikian, kebrutalan itu bukanlah sesuatu impulsif dan mengandalkan kebetulan semata, melainkan kebrutalan seseorang yang sanggup memanfaatkan serta mengoptimalkan kekuatan serangan-serangannya. Kebanyakan orang hampir tidak mampu memegang salah satu pedangnya, tetapi dia tanpa masalah mengayunkan dua sekaligus di masing-masing tangannya.

“Ah, ahh, hahh, ah, haaahhh!”

Angin puyuh baja keras mengiris udara, mengalir selayaknya aliran air.

 Walaupun gaya mereka berbeda, efektivitas dinamikanya sepadan dengan keterampilan luar biasanya, mereka menyerang berdampingan, membuat pelarian Garfiel menjadi pertahanan habis-habisan.

Langkah lompatnya di jalanan berbatu kepayahan, menghindari ayunan berat, merasakan siulan angin tajam di atas kepalanya yang dipecahkan angin, mengandalkan nalurinya untuk menahan serangan bersama perisainya, menghindar, melompat, bertahan.

—tetapi bila mereka terus melakukannya, cepat atau lambat, Garfiel akan terpenggal.

“….”

“….”

Kedua sosok menekan Garfiel, hampir tak memberikannya kesempatan bernapas. Tanpa itu, Garfiel tidak bisa menangani kekurangan oksigen di otaknya, tak mampu melihat secercah harapan. Setiap upayanya fokus untuk menghindari cedera fatal.

Tatkala dirinya kelelahan, perhatiannya gagal mengikuti. Dirinya yang teralihkan menerima serangan fatal.

Ahli tempur, ahli mengayun.

Gigih seperti cara hidup Garfiel, mereka bisa saja dengan mudah merenggutnya. Semakin waktu berlalu, semakin banyak jalan keluar yang tertutup darinya.

Keputusan. Keputusan mendesak.

Satu-satunya jalan keluar dari dilema ini ialah mengungkap taring sejatinya. Pada momen-momen itu, Garfiel menemukan satu keunggulan yang dia emban.

Pikiran itu menghidupkannya kembali. Dia mencari kesempatan bernapas.

“—apa ….”

Bilah wanita tersebut menorehkan luka mematikan. Sepasang pergelangan tangannya maju untuk menangkapnya, menggeser tubuhnya setipis mungkin untuk menghindari dampak penuh serangan seratus persen raksasa.

Sesuai dugaan, serangan raksasa itu meremukkan bahu kiri Garfiel, lutut kaki kanannya hancur. Tapi, untuk menggantikan udara segar, dampaknya bukan apa-apa.

“Kaah, haaah ….”

“….”

“….”

Raungan mengamuk, Garfiel melepaskan panas mendidih dalam tubuhnya.

Perasaan serupa layaknya darah mendidih meluas ke seluruh penglihatannya yang memutih bersih, suara pecah bergema dari balik wajahnya disertai pergeseran tulang. Gigi-giginya memanjang hingga menjadi taring, lengannya mengulur seketika otot-ototnya tumbuh mengembang cepat, tubuhnya diselimuti bulu-bulu emas.

Hanya tubuh bagian atasnya yang berubah, Garfiel kini dalam kondisi setengah hewan.

Bau darah mengusir rasionalitasnya sementara waktu, tapi dalam keadaan ini, benaknya tak sepenuhnya berubah binatang. Melihat orang di depan mereka membuas, tak mungkin pihak musuh tetap tenang.

“….”

Menghadapi dua sosok terdiam seribu bahasa itu, Garfiel menggeram, menyukai ide penghancur gendang telinganya, mengesahkan kukunya menjadi senjata tebal bermata dua. Sewaktu langkah musuh membeku, Garfiel ingin membuka lubang di tubuh mereka.

Cakar depannya mengarah ke si wanita—dan datanglah sosok pria raksasa yang teguh bertahan.

Tidak jadi soal. Bahkan otot-otot tebal itu tiada arti. Semata-mata perisai kertas bagi cakarnya. Raksasa bermaksud melindungi—mengulurkan bilah pedang raksasanya yang menghadap ke bawah, kuda-kudanya tidak bertahan atau menyerang, namun melindungi wanita di belakangnya.

Lucu. Tapi berakhir sudah.

—cakarnya akan merobek tubuh raksasa, disertai tubuh ramping wanitanya ….

“….!?”

Proses di tengah jalan itu dijeda gerakan pertama.

Kaki harimau Garfiel menghantam raksasa, tapi gagal merobeknya. Karena kaki Garfiel ditangkap tangannya sendiri.

Membuka bagian depan jubahnya dan memperlihatkan keenam lengan.

Lengan kuat Garfiel mendesak, menggenggam pedang besarnya dan menahan ujung cakar tajam Garfiel yang menyerang ganas dari depan.

—itulah gerakan bertahan Eight Arm.

“….”

Kelewat kaget untuk bereaksi, Garfiel ragu-ragu.

Bocah itu tak percaya raksasa mampu menahan serangan penghancurnya.

Bisa dibilang, sedetik itu, pertahanan Garfiel terbuka dan benar-benar tidak siap.

“….”

Dari belakang pungugng raksasa, wanita berayun di belakang manusia hewan lengah dan menyerbu.

Punggung Garfiel yang tertutupi bulu harimau adalah target wanita yang mengayunkan pedang panjangnya. Kala ujung pedang mendekat, Garfiel merasakan napas maut gaib di lehernya.

Sayangnya, cakarnya ditangkap tangan si raksasa, Garfiel cuma bisa menunggu mautnya

“Tunggu sebentar!”

“….”

Garfiel akan terbelah dua secara diagonal, andaikan wanita itu tak dihentikan penghalang sihir biru.

Serangannya melambung dari penghalang, menghilang saat dia mendarat kembali ke tanah. Kuncing rambut jingga menyelamatkan Garfiel tepat waktu.

“Garfiel, kita janji akan langsung pergi!”

Pertama kalinya, suara Mimi berintrik celaan.

Dalam status blasteran hewannya, mendengar suara dari belakang, rasionalitas Garfiel kembali ke kepalanya kala menyadari kebodohannya sendiri.

Tak menghiraukan kecemasan, karena kelewat ceroboh, terlalu meremehkan lawannya, dia terjatuh ke situasi berbahaya. Di jalan buntu itu, Mimi telah menyelamatkannya.

Garfiel menelan ludah seraya mengakui kekuatan penghalang Mimi.

Bengisnya pedang si wanita tak cocok sama penampilannya, dan kemampuan defensif Mimi betul-betul cukup mumpuni. Garfiel sangat beruntung Mimi berada di sana.

“Haaahh, ah, ah, haahh!”

“….”

Yakin dia akan baik-baik saja, Garfiel membebaskan diri dari cengkeraman raksasa. Menendang tubuhnya dan melihat pukulannya ditahan lengan, Garfiel meraih pinggang Mimi dan mundur dari pertarungan.

Dengan cara ini, dia kabur dari sana bersama Mimi. Mengikuti rencana awal mereka, keduanya mencari bala bantuan kemudian bertarung lagi.

“….”

Sebelum mereka sempat bergerak, musuh wanita menyusul cepat. Namun sekali lagi, Mimi membuat penghalang yang lebih besar dari sebelumnya. Musuh terlempar jauh, Garfiel mengumpulkan seluruh energinya ke kaki, dan bersiap melarikan diri.

—satu tarikan napas. Sang wanita berhenti dan lembutnya mengulurkan tangan ke depan penghalang. Satu lompatan, dia mendekat.

“Apa—!”

“….”

“Eh?”

Suara kecil disertai dampak lembut.

Bersiap-siap bertanya apa yang terjadi, Garfiel terhenti di tengah-tengah lompatan. Ketika batu-batu yang dihentaknya terbang, dia melihat garis merah melambung di langit.

Darah. Itulah garis merahnya.

“Cebol ….?”

Fokus mempertahankan wujud setengah hewannya terganggu, Garfiel buru-buru kembali ke bentuk manusia. Sensasi kehilangan bulu harimau tergantikan gelombang dingin.

Di lengannya yang kelelahan, terkuras. Dia menunduk. Yang menatap sosok terbangnya adalah seorang wanita yang bilahnya melayang di udara.

Lebih dari setengah pedang dilapisi darah kental merah.

Cairan hangat menetes ke perut bagian bawah Garfiel. Melihat Mimi gugur sambil menggenggam tongkat favoritnya, meski dia lumpuh karena kelelahan, Garfiel kembali tersadar.

“….”

Mendarat, melompat lagi. Terus loncat ke gedung-gedung terdekat, membawa beban di sisinya selagi kabur. Untungnya, musuh tidak mengikuti.

Apa mereka tak tertarik melakukan apa pun selain menjaga alun-alun, atau inikah bukti kemanusiaan? Entah yang mana, dia sekarang harus apa? Setelah empat lompatan jauh dari alun-alun, Garfiel turun ke sebuah gedung, tempatnya memeriksa kondisi Mimi.

Matanya terpejam, sejumlah besar darah tumpah dari luka dadanya.

Garfiel membuka paksa pakaiannya untuk memeriksa luka. Ragu-ragu menyimpulkan cederanya tidak fatal. Tentu saja, optimismenya tak bertambah. Dia membutuhkan sihir penyembuhan segera. Dia perlu menenangkan diri.

“….”

Tangan ditempatkan ke luka, Garfiel menghendaki semua mana dalam tubuhnya ke Mimi.

Garfiel adalah salah satu dari sedikit orang yang mampu menggunakan sihir penyembuhan dalam Sanctuary. Dia senantiasa merasa sihirnya tak berguna, tetapi dalam keadaan darurat, dia berharap bisa melakukan sesuatu. Karenanya, Garfiel telah mencurahkan semua upaya magisnya untuk belajar cara menyembuhkan, alhasil Garfiel punya pemahaman kasar namun lengkap pada setiap bidang penyembuhan.

Selama cederanya tak fatal, dia cukup yakin dapat melakukan sesuatu.

Mesti mengerahkan seluruh kekuatannya untuk menyembuhkan luka Mimi. Keringat mengikis dahinya selagi mengumpulkan mana, ditujukan tuk menekan pendarahan dan memperbaiki kulit, otot, serta organ-organ dalam yang tertebas, susah payah ingin memperbaikinya, terus-menerus menyalurkan mana.

Terus. Terus.

—lukanya tak menutup.

“Apa … apa ….?”

Suara lirih siapa itu?

Seseorang yang dalam situasi ini sempat-sempatnya melirih begitu layak menerima amarah Garfiel. Menatap liar sekeliling, mencari-cari sumbernya. Tidak ada orang di sana. Akhirnya, dia tersadar. Suara itu miliknya sendiri. Mengetahuinya. ‘Itu suaraku.’

Jadi suara lirih itu darinya? Iyakah? Suara semacam itu adalah, adalah, adalah—

“Tutup, tutup, tutup, sembuhsembuhsembuh ….!”

Kelelahan, memerintahkan seluruh sihir dalam tubuhnya untuk merawat Mimi. Gelombang sihir penyembuhan mengalir di dirinya, arus mana lembut mengisinya.

Biar sudah begitu, lukanya tidak menutup-menutup.

“—ini boong, kan?”

Tak bisa menerima kenyataan di hadapan, suara lemah Garfiel sekali lagi melirih.

Segera setelahnya, memukul wajah sendiri dan menggigit keras bibirnya agar tetap tenang. Dia harus apa, dia harus apa?

Dia bisa apa, dia bisa apa, dia bisa apa, dia bisa apa? Tak tahu sama sekali. Namun dia tidak bisa menyerah begitu saja. Gadis ini harus diselamatkan. Sebab, bukankah dia mengizinkan Garfiel menangis di depannya?

Anak ini, yang terluka saat mencoba menyelamatkannya, tak boleh mati seperti ini.

“….”

Gigi menggertak, Garfiel mulai berlari. Salah satu tangannya berada di luka si gadis, mencoba lagi menghentikan pendarahannya dengan sihir tak efektif.

Bau darah, bau maut. Di jalan sepi ini, perkiraan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi pada tempat ini sepenuhnya hilang dari kepala Gafiel.

Seseorang, siapa pun! Selametin anak ini! Seseorang, siapa punlah, bawa keajaiban! Beri tahu gua harus melakukan apa! Seandainya ada yang bisa gua lakukan … gua bisa apa untuk nyelametin dia!?

“….”

Garfiel menguatkan indra penciumannya.

Bau air, darah, perasaan menumpuk, daging hangus. Di tengah-tengah bau busuk, Garfiel menemukan bau yang sangat akrab melintas, dan langsung mengikutinya, berlari, berlari, terus, tanpa berhenti, berlari.

Dia pergi ke selter, melihat orang-orang berlumuran darah di mana-mana, menghela napas sedih. Tetapi dia tidak boleh mengindahkannya saat ini. Membuka mata, mencari-cari sosok itu.

Mencari, mencari, mencari ….

“Garfiel!?”

Dia menemukannya.

Di fasilitas bawah tanah dalam, gelap, dan dingin itu, dia menemukan orang yang mati-matian dicari-cari.

Natsuki Subaru.

Bagi Garfiel, orang itu ajaib, dan dalam situasi terburuk bagaimanapun, dialah sinar cahaya, hal terakhir yang bisa diandalkan Garfiel.

Tergopoh-gopoh. Kepala gemetaran.

Karena tangannya keberatan dan paru-parunya tercekik, Garfiel goyah.

Selagi mendekat, Subaru melirik sekitarnya, sebelum menyadari Mimi yang tak sadarkan di tangannya.

Ditatap Subaru, Garfiel menundukkan kepala, memenggendong Mimi, tahu-tahu mengutuk kebodohannya sendiri.

“Maaf, kapten … uhk! Gua yang hebat ini, emang … gak guna ….! Gak kompeten … ack!”

Dia tidak mampu melindungi keluarga itu, sumpahnya untuk menjadi tameng misi mereka belum tercapai, tantangannya melawan pasukan musuh tidak membuahkan hasil, ujung-ujungnya, gadis lembut ini berada di ambang kematian.

“Garfiel, apa yang terjadi … tidak, bukan waktunya untuk itu. Ferris!”

“Aku tahu! Cepetan, berikan anak itu kepadaku!”

Mengulur, Mimi diambil dari lengannya, dan ditaruh di tempat tidur dekat Subaru. Garfiel sejenak mencoba memilah-milah pikirannya.

Waktu berikutnya, pancaran energi penyembuhan meluap-luap, menembus ruang. Garfiel tidak bisa menandinginya. Seumpama kecakapan penyembuhan Garfiel bak setetes hujan, Ferris seperti air terjun.

Menyaksikan sihir yang bahkan mampu membangkitkan orang mati, penyembuhan, Garfiel terlihat seakan nyawanya tengah ditarik keluar, wajahnya menatap perawatan Mimi.

Subaru dengan lembutnya menepuk bahu Garfiel yang mengendur. Sekilas memandang, dia melihat Subaru menahan cedera mengerikan di kakinya.

“Sekalipun aku tidak bisa bilang ini berjalan baik, kerja bagus kau membawanya ke Ferris. Berkat kau, anak ini diselamatkan.”

“Berkat gua ….?”

Apa maksud Subaru?

Berkat Garfiel, Mimi selamat? Konyol! Mimi terluka berat, semuanya salah Garfiel.

Dari awal pun hidup Mimi semestinya tak dipertaruhkan. Semuanya terjadi karena penilaian buruk Garfiel.

Tak berguna dan rencana sinting, pikiran bersalah tak terpecahkan, dan pengakuan akan pribadi gobloknya. Dunia tak akan memaafkan tololnya Garfiel.

Dia melakukan kesalahan, dia wajib membayar ganjarannya. Tetap saja, hasil terburuk tengah terjadi.

“Ferris, ada apa ….?”

Merasakan perubahan, raut wajah Subaru jadi khawatir.

Subaru menyeret dirinya ke atas tempat tidur, menanyai seorang pria yang sedang merapalkan mantra penyembuhan kuat.

Dalam semburan sihir menakutkan, kepala si penyembuh menggeleng.

“Kenapa ….? Luka-lukanya, tidak mau sembuh ….! Kalau terus seperti ini, aku tidak tahu bisa menyelamatkannya atau tidak!”

Teriakan sedihnya bergema ke seluruh ruangan, Garfiel mendongak ke langit. Tetapi dia lagi di bawah tanah, lantas langit pun tidak memberi tahu Garfiel apa-apa.

—kesalahannya dibayar darah.

Share this post on:
Subscribe
Notify of
guest
8 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
pier

hbs ibunya di lanjut teman dekatnya, coba an Tate no Santuary , calon yuusha ≧∇≦
Haturnuhun min TL nya, asli penasaran

Pengemar Emilia

Kapan update min

wip wip

agan makasih ya

Kakaka

Mskasih kaka

フル君

Garfield suram banget dah..
Tapi kalo Return by Dead nya Subaru aktif berarti bisa aja itu gk pernah terjadi.. -_-

Aldebaran

Bismillah 50 chapter lagi semoga bisa tamat baca arc 5 selama 3 bulan, sehat selalu min!

Dicky Dyan Nugraha

Noo mimi mo mimi, apakah bakal redo dr subaru? Utk nyusun strat lawan witch cult,lets see.