Share this post on:

Empati Bersama

Penerjemah: Black Hydra

Berjongkok di tanah, nafasnya terengah-engah, Subaru akhirnya menahan desakan kolaps.

Emilia dan Beatrice mengelilinginya, tampak khawatir, bahkan Liliana ikutan resah. Priscilla nampak agak tertarik, mengipas-ngipas wajahnya.

Bersimbah suara-suara dan tatapan khawatir, Subaru perlahan-lahan mengubah fokusnya.

Merasa seolah waktu berangsur-angsur kembali normal, Subaru tersadar rasa di mulutnya itu.

Subaru ibarat beralih saluran TV.

Masih bisa mengendus, merasa, atau melihat, tapi sekitarnya mendadak hancur menjadi bubuk, berubah menjadi sesuatu yang sepenuhnya berbeda.

Mata, telinga, hidung, dan kulit Subaru kesemuanya beradaptasi di dunia baru ini, namun kesadarannya tak sanggup melupakan saluran TV sebelumnya, jadi ada semacam ancaman.

Subaru hanya bisa mengabaikannya, mengunyah, mengunyah, mengunyah, dan menelan perasaan tak nyaman dari pergantian saluran sampai akhirnya berakhir.

“….”

Subaru menggertak gigi dan akhirnya bangkit.

Subaru menggeleng kepala dan melihat sekitar. Taman bermandikan sinar mentari nan cerah, air mancur serta halaman berumput hijau, juga hamparan bunga berwarna-warni.

Subaru saat ini dikelilingi oleh empat gadis cantik—Emilia, Beatrice, Liliana, dan Priscilla. Dia mendengar kata-kata Liliana dua kali.

“Kau tidak apa-apa, Subaru? Rupamu tidak kelihatan baik-baik saja.”

“… Emilia-tan. Barusan, apakah Liliana bilang dia ingin menyanyikan lagu lain?”

“Aku harus mulai dari mana lagi!? Aku, Liliana, diabaikan sedemikian rupa hingga situasi ini mengejutkan dan melukai hatiku! Kompensasi! Aku meminta kompensasi!”

Seraya bicara, Liliana menyambar marah lengan Subaru, menggugatnya, dan ditampik oleh Subaru. Subaru mengabaikan kekesalan, ‘Hei!’ Biduanita dan menoleh ke Emilia, dia tampaknya memahami keseriusan Subaru.

“Ya. Liliana bilang dia ingin menyanyikan lagu lain yang kita lewatkan. Terus Subaru dan Liliana diam-diam mulai mengobrolkan sesuatu.”

“Itu barusan terjadi? Paham, terima kasih … terima kasih.”

Terima kasih. Mengatakannya saja Subaru merasa muak tak tertahankan.

Dia mengangkat tangan untuk menutup mulutnya. Melihatnya dalam kondisi ini, Emilia mengkerut bingung.

Emilia tak salah apa-apa. Tak perlu dikatakan lagi, apresiasi Subaru tidak pahit. Akan tetapi, membangkit suatu ingatan menyakitkan dari dunia sebelumnya.

“Jadi, artinya aku ….”

Mati, akhirnya dia tersadar, tetapi tak dapat menyuarakan kata tersebut.

—Natsuki Subaru mati.

Setelah dia mati, dia kembali lagi ke saat-saat dirinya mengucapkan selamat tinggal kepada dunia. Meskipun lega dia sukses kembali, dadanya pun serasa menyesal. Tentu saja, Subaru seharusnya sudah betul-betul terjaga.

Di hutan setahun lalu, dalam Sanctuary, selama Ujian, Natsuki Subaru tegas-tegas menolak Kematian dan penderitaan-penderitaan yang menyertainya.

Tapi dia tetap mati. Mudah pula. Tanpa perlawanan, tentangan apa pun, secara tak sadar.

“Kenapa begitu? Situasinya jelas tak normal, tentu ini fakta, namun Subaru sendiri tidak tahu apa yang terjadi. Dia murni mengalaminya sendiri, sayangnya tak mampu merasionalisasi semuanya.

Subaru bahkan belum menyadari betapa abnormalnya situasi sekarang. Bukan hanya Subaru. Semua orang terpengaruh kegilaannya.

Mereka jelas-jelas melihat seorang bocah dirantai, berteriak-teriak, tapi semuanya bersorak-sorai girang atas solidaritasnya. Belum lagi tepuk tangan meriah yang menemani kejatuhan anak itu.

Tepatnya apa yang memicu semua itu?

Dan kapan Subaru melihatnya, bagaimana tepatnya dia mati?

Subaru tak mengenal agen Kematiannya, bahkan kini, tidak menemukan satu pun. Barangkali selama ini sudah di depannya, dan gagal memperhitungkannya sebagai ancaman.

Namun Subaru tidak boleh mempercayai yang dia rasakan kala itu. Walaupun merasakan situasi janggal sepeninggalnya, sampai persis detik ini, Subaru belum bisa berpikir jernih.

Bagaimana bisa dia mati, di akhir-akhir?

Apakah ada bahan peledak yang melekat pada tubuh si bocah? Bisa saja peledaknya meledak saat dia menabrak tanah, menelan semua orang dengan ledakan itu. Faktanya, bayangan tersebut hampir sesuai ingatan akan kematian ini.

Seluruhnya sangat kabur. Memorinya soal Kematian instan dibuat rabun oleh kegilaannya saat ini. Sekalipun dia seratus persen tenang, kondisi pikiran yang dia alami tatkala itu mencegahnya memikirkan memori tersebut.

Jika Subaru sudah sinting maka dia tak mungkin mengingat kejadian sebenarnya.

“Apa kau beneran tidak apa-apa, Subaru? Bahkan ekspresi Liliana terganggu.”

“Aku tak melakukan hal-hal sia-sia itu. Anggapan Natsuki-sama kepadaku tidak membuat sedih sama sekali, lantas tolong jangan salah paham.”

“Tuh, kan? Jelas-jelas kau merasa terganggu.”

Bahkan Emilia yang tidak tahu apa-apa melihat keberanian Liliana. Dari dialog mereka, Subaru ingat situasi saat ini.

Subaru sekarang ini semestinya memanfaatkan lagu Liliana untuk menjalankan tugas membeli manisan perdamaian. Dan tak lama setelah membeli sesuatu, dia bertemu monster yang dipanggil Kemarahan.

—kurang dari lima belas menit sebelum mimpi buruk itu terjadi.

“Kau bercanda ….”

Kala pengalamannya perkara Return by Death, tak pernah ada waktu sebegitu dekat antara titik ulang dan kematian.

Waktu berkisar antara beberapa jam hingga beberapa hari, itulah yang Return by Death berikan untuk Subaru pada masa lalu. Waktu yang ia miliki sekarang hampir ke tingkat ekstrim.

Hanya dalam lima belas menit, Subaru bisa apa?

Tetapi selagi dia bingung memikirkannya, waktu terus berjalan.

Dalam situasi ini, hanya menghindari kematian akan sangat sederhana. Subaru cuma perlu menghindari tempat pidatonya. Dengan begitu, penyebab kematian seperti kemungkinan bom, takkan menghantamnya.

Sangat tidak mungkin sebuah bom yang mempengaruhi seluruh kota telah dipersiapkan.

Lantas, bila Subaru hanya ingin hidup, dia hanya langsung pergi saja. Sirius takkan muncul di dekat Subaru. Tiada target spesifik pula, dan Subaru kebetulan berada di sana.

Oleh karena itu, biarpun Subaru tidak ada, alun-alun masih tetap menjadi pusat kejahatan Sirius. Deklarasi yang tak terkait sama eksistensi Subaru akan terjadi di lokasi orisinilnya, semua orang di sana akan terpengaruh.

Akan tetapi, entah apa hasilnya, anak yang terjatuh itu pasti akan mati.

“Aku harus menghentikannya … sial, harus kuhentikan ….!”

Subaru menggaruk kepalanya dan sampai pada suatu keputusan.

Dia tak tega tidak menyelamatkannya. Anak itu, Lusbel, sedang menantikan saudara atau saudarinya yang baru lahir, bersama kekasih masa kecilnya di menara itu. Siapa pun tak bisa benar-benar mengutamakan diri sendiri dan tak berusaha menyelamatkannya?

“Beako dan aku ….”

Akan pergi bersama, Subaru ragu-ragu untuk menyatakannya.

“Terus apa, Subaru?”

Beralih ke wajah Subaru, Beatrice mengutarakan pertanyaan serius.

Bukannya dia tahu krisis telah mendekat, membawa Beatrice bersamanya adalah pilihan jelas dalam hal efektivitas tempur.

Seandainya dia absen, kekuatan tempur Subaru akan terpotong setengah. Meskipun demikian, Subaru ragu-ragu. Bukan disebabkan alasan sentimental seperti tak ingin Beatrice bertarung.

Menyebut tutur tersebut tanpa pertimbangan juga tidak benar, tetapi alasan utama Subaru bukan itu.

Alasan utamanya adalah Emilia. Lebih tepatnya, meninggalkan Emilia di sini.

“….”

Kultus Penyihir berada di kota ini.

Para fanatik itu—kendatipun belum tahu apakah frasanya mesti jamak atau tidak, sekurang-kurangnya Uskup Agung Kemarahan ada. Subaru tidak tahu sama sekali dia bekerja bersama pemuja lain atau tidak.

Namun di kota ini, kota yang aktif Kultus Penyihir, gagasan meninggalkan Emilia tanpa dilindungi siapa pun membuat Subaru gundah gulana.

Meninggalkan orang penting di tempat tak terjangkau kelewat berbahaya.

Seseorang yang tidak kelihatan, tangan iblis Kultus Penyihir akan menggapai atau malah orang-orang penting yang menjangkau kunci teroris.

Jauh dalam relung hati, rasa takut pekat bernaung dalam Subaru.

Dan membawa Emilia menuju Kemarahan? Itu tidak termasuk. Mempertemukan Emilia dengan Kultus Penyihir pastinya akan mengarah ke tragedi. Hal demikian adalah pasti.

Mengingat Betelgeuse membuatnya jernih. Subaru tidak boleh membiarkan Emilia dekat-dekat Kultus Penyihir. Bukan masalah mengapa. Hanya saja.

“Beatrice dan aku ….”

“Terus apa, Subaru?”

“Kita akan makan makanan penutup yang sama, tidak apa-apa?”

“….?”

Beatrice mengerutkan kening tatkala mendengar Subaru. Dia barangkali mencurigai Subaru yang memikirkan hal lain. Subaru mengangguk ke Liliana yang bingung dan menghadap Emilia.

“Aku akan pergi sebentar untuk membeli sejumlah manisan ringan, sesudahnya aku akan segera kembali. Emilia-tan, tunggu di sini dengan cantik dan sigap sembari mendengarkan lagu Liliana dan baik-baiklah.”

“Aku mengerti. Tapi kau tidak mau aku ikut?”

“Tidak apa, percayalah padaku. Aku akan melindungimu.”

Mendengar tukasnya, Emilia mengedupkan mata lebarnya dan muka merah padamnya mengangguk. Kemudian Subaru diam-diam memberi isyarat ke Beatrice yang menatap curiga dirinya.”

“Lindungi Emilia untukku. Sewaktu-waktu membutuhkan kekuatanmu, kelak akan langsung kupanggil.”

“… kau bertemu apa sampai-sampai tak memberitahukan Betty?”

“Bersiap baik-baik. Sekiranya aku memanggil, entah kau bersedia menghadapinya atau tidak, kita pasti tengah berada dalam situasi buruk.”

Subaru dengan lembut menjepit hidung Beatrice yang merasa tak senang, selanjutnya melambaikan tangan dan pergi seketika merasakan empat pasang mata di belakangnya.

Berlari menyusuri jalan, dia sampai alun-alun dalam waktu kurang dari lima menit.

Namun demikian, waktu keberangkatannya sedikit terlambat. Dalam situasi menegangkan ini, perbedaan waktu sekecil apa pun berarti hidup dan mati.

“Walau masalahnya seperti ini, tanpa berbelanja aku hampir punya sepuluh menit ….”

Subaru melambat dan berjalan, kemudian mengamati alun-alun tempatnya tiba.

Sebelumnya, dia fokus ke menara dan tidak sempat mengamati daerah sekitarnya, tapi paling tidak untuk sekarang, tidak terlihat orang asing berpakaian hitam mencolok.

Lantas, uskup agung dosa besar itu sendiri boleh jadi bertindak sendirian.

“Pertanyaannya apa langkah setelahnya. Ketika pidatonya dimulai, aku bisa jadi terjatuh ke dalam pikiran samar itu lagi.”

Sebab asal ruang anomali itu tak jelas, seketika Subaru tertangkap, dia tidak tahu bisa tersadar atau tidak. Apalagi Subaru berasumsi mustahil mengenali anomalinya karena kekuatan cuci otak menakutkan.

“Haruskah aku menyuruh semua orang untuk berlindung di suatu tempat yang jauh dari sini? Situasinya akan sama seperti menghadapi Betelgeuse … tidak, tidak cukup tenaga kerja, misalkan Sirius beraksi terlebih dahulu, keputusan ini malah merugikan.”

Dia bisa meminta para korban yang tak terlibat dalam situasi ini untuk berlindung. Tapi bagaimana caranya? Lagipula, andai pidato Sirius tidak tertuju pada target tertentu, maka target lokasinya tak hanya terbatas pada alun-alun.

Andaikan tidak ada penonton di sini, Sirius bisa jadi pergi ke tempat lain. Alhasil, insidennya menarget sejumlah korban berbeda.

“Kalau begitu, satu-satunya cara untuk menumpas biang keroknya ….!”

Keuntungan utamanya adalah tahu kalau Sirius akan muncul di sini.

Sangat mirip dengan pertempuran melawan Betelgeuse serta sektenya. Apa pun yang terjadi, Kultus Penyihir tidak boleh dibiarkan bebas berkeliaran. Demi mencegah pemuja batil yang melakukan kejahatan, penyebab mendasarnya perlu dihilangkan. Jika tidak, tragedi akan terus berulang.

Subaru terlambat menyadarinya.

Andai kata dia lebih cepat mencapai kesimpulan ini, Subaru tak akan datang sendirian. Sudah terlampau terlambat untuk kembali ke taman.

Dia bertanya-tanya apakah mungkin sempat kembali ke hotel untuk meminta bantuan Wilhelm atau Julius.

“Membuang-buang waktu buat pemikiran tak berguna. Cuma aku satu-satunya orang di sini. Begitu deklarasinya dimulai, aku harus siap bertindak … tidak, solusinya sebenarnya jauh lebih sederhana!”

Subaru mendapati sebuah jendela kecil di bagian bawah menara, yang merupakan tempat masuk Sirius tuk mengutarakan pidatonya dari atas.

Saat ini, harusnya dia sudah dalam menara, mempersiapkan deklarasinya yang akan segera terjadi. Meskipun perkiraannya salah, Lusbel sendiri boleh jadi di sana, menunggu untuk diselamatkan.

Jadi Subaru berhati-hati melirik ke kanan dan kiri, diam-diam mendekati gerbang besi yang tak mencurigakan, membukanya, dan menyelinap masuk ke dalam menara.

Bagian dalam menara jam itu gelap luar biasa, udara dinginnya serba debu.

Seluruh menara itu sepenuhnya sunyi. Tidak sebagaimana menara jam dunianya, menara yang satu ini tak punya roda gigi. Mekanisme ketepatan waktu dijalankan sepenuhnya oleh batu sihir, dan yang dihasilkan oleh kecemerlangan sihir telah memenuhi suasana. Perubahan bertahap tersebut tercermin dalam perubahan warna kristal menara.

—karenanya, satu-satunya suar ayang akan terdengar dalam menara pastinya dibuat oleh orang lain.

“… mmmmhhgggrr!”

“Tidak usah menangis sekeras itu. Bukankah kau anak baik? Kau pastinya anak kuat. Ayah Muslan dan Ibu Ina, juga adikmu, mereka pasti bangga kepada anak laki-laki kuat sepertimu. Sungguh anak baik.”

Gema suara tak menenangkan. Rengekan ketakutan anak-anak juga bergema.

Sebuah suara menemani isakan dari atas tangga spiral. Kedengarannya macam dendam, berkat, kebencian, dan cinta.

Suaranya gila. Sinting. Tidak bisa dibilang normal lagi.

“….”

Subaru menganggap suaranya Sirius, dia menarik nafas dalam-dalam dan menahannya.

Detak jantung mulai berdegup cepat, dadanya berdetak kencang saat menaiki tangga. Untungnya, tangganya buatan batu. Dengan hati-hati dia bisa membungkam suara langkahnya, apalagi karena perhatian musuh terarah ke tempat lain.

Subaru bersiap-siap memanggil Beatrice ketika dia ketahuan selagi menaiki tangga. Ketegangan makin-makin meningkat tatkala suara datang dari atas kian keras dan dekat.

Meskipun menaranya sendiri cukup tinggi sampai-sampai Subaru mesti mendongak untuk melihat puncaknya, tidak ada yang menarik dalam perjalanan ke atas. Sebuah pilar besar terpasang di tengah menara, dan tangga spiral mengelilingi spiral tersebut.

Suara iblis dan pahlawan terdengar dari ujung tangga. Hanya satu jendela yang menghadap ke luar menara, mungkin sebagai akses agar orang-orang bisa menyesuaikan atau memeriksa ukiran-ukiran di batu sihir. Suaranya kedengaran dari suatu ruangan sebelum jendela itu.

Rasa-rasanya berada di loteng.

Subaru diam-diam mengintip dari bawah tangga dan mendapati memang ada dua sosok asing yang menginterupsi kegelapan sunyi itu.

Tidak ada orang lain. Kultus penyihir lain yang bertindak sebagai umpan pun tidak ada.

—lantas, Subaru juga mesti bersiap-siap kepada Sirius yang hendak menggantikan jiwa dalam raganya.

“….”

Menangkapnya hidup-hidup tidak mungkin.

Kendati itu yang ingin dilakukan Subaru, tingkat kesulitannya terlalu tinggi. Belum lagi selama Sirius masih hidup, siapa tahu dia merencanakan apa?

Subaru berjongkok, tangan di pinggang.

Mengambil bagian ikat pinggangnya, dan ditarik longgar.

Dalam genggamannya adalah sebuah senjata berujung memanjang, melengkung, dan ditenun dari serat khusus.

Senjatanya umum dikenal sebagai cambuk, beberapa arkeologis dalam film tersohor di dunianya suka membawa cambuk sembari menjelajahi reruntuhan.

Cambuk punya jangkauan lebih jauh dan kebih sukar digunakan dari yang ditampilkan film, tetapi setahun kemarin, di bawah ajaran Clind, kemampuan Subaru meningkat drastis.

Alasannya memilih cambuk itu sederhana.

Tak seperti pedang, palu, tombak, dan busur, cambuk teramat-amat fleksibel. Lebih pentingnya lagi, Sebuah senjata mirip pedang, peningkatan Subaru dalam beberapa tahun singkat ini sungguhan terbatas.

Subaru sedikit familiar dengan permainan pedang dalam kendo, tahu betul betapa sulit dirinya menguasai pedang itu.

Oleh sebab itu, Subaru tidak memilih tombak maupun pedang, melainkan cambuk. Biasanya dia mengandalkan kepintaran, kreatifitas, dan tipu daya untuk meraih kemenangan.

Menurutnya, senjata yang sesuai akan lebih bisa mengerahkan kekuatannya. Cambuk juga memungkinkannya menyerang dari jarak lebih jauh.

“….”

Subaru menarik nafas pelan dan menghembuskannya pelan. Kemudian menahan nafas lagi.

Dia berdiri dan terus menaiki tangga, tangan kanan mencengkeram cambuk. Sosok yang bersembunyi dalam bayangan tak mendeteksinya. Subaru unggul.

Pria itu setengah melangkah ke depan dan mengayunkan lengan ke atas. Diikuti suara peluit tajam, ekor cambuk terbang menuju sasarannya.

Serangan samping yang memprioritaskan lengkungannya, menyasar punggung tanpa pertahanan target, berusaha mengalahkan orang terkutuk itu.

Akan tetapi ….

“Kenapa kau sangat marah?”

Siluet yang memunggungi Subaru merespon sebal.

Segera sesudahnya, Sirius mengayunkan tangan kanannya secepat kilat untuk menangkis serangan cambuk Subaru, menggunakan rantai yang mengikat lengannya.

Seakan-akan seekor ular membumbung di langit dan mencegat ular lainnya.

Sedetik, Subaru tertegun oleh pemandangan itu, namun sembuh dan menggeser tangannya ke tepi ketika berpikir bahwa bagian depan cambuknya memang sudah menyentuh lawannya.

“Aduh?”

Cekikikan, seseorang yang hendak roboh itu, Sirius, kembali seimbang dan bangkit berdiri.

Meskipun rantai yang menggantung di lengan kanannya membelokkan serangan Subaru, cambuknya melilit bagian kuncian rantai, menyeret Sirius ke tanah sewaktu Subaru menangkapnya.

“H-ha!”

Menghadapi Sirius yang berusaha, Subaru semakin mengencangkan cengkeramannya tatkala bergegas memutari setengah orang aneh penuh perban itu, menabrak bahunya. Tubuh Sirius jauh lebih ringan dari yang diperkirakan, dengan mudahnya terbang jauh bersama berat badannya.

“Mn, agh!”

Sirius berteriak lirih, dan setelah menghantam tanah, jatuh ke luar jendela, sebagaimana rencana Subaru. Dari lantai saat ini sampai paling bawah kurang lebih ketinggiannya sepuluh meter, seorang anak yang jatuh ke tanah dari tempat ini akan gepeng.

“Kau tidak apa, Lusbel!?”

Subaru belum mengkonfirmasi dampak Sirius, langsung menghampiri seseorang yang tertidur di lantai. Bocah kecil bernama Lusbel yang memegang ujung rantai di kedua tangannya, menatap takut Subaru.

Rantai di tangannya terhubung ke rantai yang melingkari seluruh tubuh bagian bawahnya, bukti lain dari selera buruk Sirius.

“Orang itu ….! Mengikatmu secara paksa ….!”

Sedikit demi sedikit, dia sadar betapa Lusbel merasa ngeri, dipaksa memegang rantai di lehernya. Bahkan kini jejak-jejak teror masih tersisa di wajahnya.

Setelah menyadari kejahatan itu, Subaru merasakan amarah tak terkendali. Segera meraih bahu si bocah, melepaskan rantainya.

“Cukup! Kau bakal baik-baik saja. Kau takkan lagi melakukan hal itu. Ikutlah denganku!”

“Tapi, kalau … aku, aku tidak mengikuti, ketentuan kesepakatannya, maka Tina … Tina akan ….!”

Lusbel menjawab, mata dan bibirnya gemetaran.

Melihatnya, tenggorokan Subaru tersedak emosi.

Anak itu, berusaha melindungi teman masa kecilnya, telah menyetujui transaksi iblis. Dan bahkan merasakan hasil transaksinya, Lusbel lebih mengkhawatirkan temannya daripada dirinya sendiri.

Biarpun kakinya gemetaran, walaupun giginya bergemeletuk, bahkan jika penglihatannya dikaburkan air mata, sekalipun tidak lagi sanggup merangkai kalimat konheren.

“Tidak. Dalam kota ini, banyak … sekali … orang-orang yang dapat diandalkan.”

Suara seraknya tak bisa menyampaikan apa yang mestinya dia katakan.

Agar pemuda itu tenang, Subaru perlu menutur kata-kata menghibur tapi tegas. Sang Pedang Suci berada di kota sekarang. Sekaligus Kesatrianya Kesatria, juga tabib nomor satu kerajaan, dan beberapa orang yang mampu menghancurkan kota.

Karena itu, tidak usah merasa takut. Tiada kekuatan jahat yang bisa mengamuk bebas. Ya. Benar itu. Tidak usah takut. Tidak perlu sama sekali. Jadi ….

“Jadi … kaki, berhenti, gemetaran!”

Di depan Lusbel yang matanya tidak fokus karena takut, Subaru mati-matian memukuli kakinya yang tak responsif dan berteriak.

Suaranya penuh duka, mendadak bergaung dan menambah ketakutan dalam dadanya. Subaru merasa seakan-akan ada semacam rasa jijik yang asalnya tak diketahui, sedang melingkupi seluruh tubuhnya.

“… uugghhkk.”

Lusbel muntah, suaranya laksana ledakan gelembung. Dia mulai kejang-kejang sesaat menarik nafas, pingsan di genangan muntahnya sendiri. Subaru ingin membantunya, tapi kemudian dia pun merasa seolah-olah organ-organ dalam dirinya diaduk-aduk, rasanya ibarat dilempar ke udara.

Daisukiyaki yang dia makan pagi ini tidak terasa lagi dan bau asam lambungnya yang tajam dan kaya meluap-luap. Menelan ludah, Subaru terus muntah intens, merasa sakit ketika muntah-muntahnya hendak merenggut kesadarannya.

Selagi muntah dan muntah, pusing, telinga pengang, tubuhnya masih menggigil tanpa henti. Bukan karena dingin. Sebuah tangan tak terlihat berupaya memutar perutnya, organ-organ dalamnya diobrak-abrik. Subaru mengetahui sumbernya.

Memang, tak salah lagi ….

“—ketakutanmu adalah bukti kelemahlembutanmu.”

Mendengar suara lembut dari belakangnya, Subaru lagi-lagi muntah.

Hampir-hampir tenggelam dalam cairan yang keluar dari perutnya, Subaru jatuh ke tanah. Merasakan suatu sentuhan cairan lendir di pipi. Begitu dekat dengan kumpulan kotoran di tanah, sampai-sampai sesekali, bernafas singkat membuat gelembung-gelembung kuning meletus.

Kebanyakan orang takkan tahan melihat pemandangan mengerikan itu, namun Sirius menatapnya sambil tersenyum lembut.

Kala Subaru dan Lusbel saling menatap, habis-habisan berjuang untuk menghirup muntah mereka sendiri, runtuh oleh getaran tak kasat mata.

“Orang-orang bisa saling memahami. Orang-orang bisa menjadi satu. Kelembutan tidak untuk satu orang saja. Ia ada untuk orang lain. Kelembutan hanya bersinar semata-mata demi orang lain. Lemah lembut kepada dirimu seorang, itu namanya egois! Jadilah, kelembutanmu yang eksis untuk orang lain, tentu layak dihormati! Ah, ah, inilah Cinta!”

“Gu, aah, akkh ….”

“Tolong baik-baiklah. Biarkan aku menyaksikan. Rasakan, dan perkenankan aku menyaksikan Cintamu. Kelembutan tak berujungmu. Kebaikan yang menarwarkanmu tuk menyelamatkan Lusbel-kun!”

Seraya bicara, Sirius berdansa sembari menatap keduanya yang berbaring di genangan muntah. Tangan disilangkan, satu menunjuk Subaru dan satunya menunjuk Lusbel, pinggangnya bergoyang. Seolah menari. Seolah-olah menawarkan sesembahan.

“Ketakutan Lusbel-kun, kalian berdua jiwa yang lembut akan merasakannya bersama. Kau akan merasakan ketakutan Lusbel-kun, dan darinya, perasaan Lusbel-kun akan berpindah kepadamu. Lusbel-kun, melalui ketakutanmu, rasakan apa yang akan kau rasakan lagi darinya. Ketakutan yang kau rasakan, dan ketakutan Lusbel-kun sendiri akan menjadi-jadi. Ketakutan menjadi-jadimu yang dirasakan oleh Lusbel-kun, akan beralih memperbesar ketakutanmu sendiri. Ketakutan itu, bercampur ketakutan Lusbel-kun, ‘kan menjadi ketakutan baru nan segar, kesegaran rasa takut Lusbel-kun akan kembali ke ketakutanmu, dan ketakutan dari hati Lusbel-kun tingkat selanjutnya pasti bercampur ke tingkat ketakutan baru terbesarmu ….”

Sesuatu membisikkan telinganya. Momentum maha besar itu hampir seperti omong kosong. Subaru tak sempat memahami kata-kata itu. Mengapa? Karena bagi Subaru, semua yang dia dengar serta penglihatannya menakutkan. Semisal bernafas saja menakutkan, maka berkedip pun menakutkan. Tapi berkedip tidak menyakitkan dan tak bisa ditahan. Bahkan rasa sakit yang eksis itu hanya melambangkan teror bagi Subaru. Merasakan satu rasa sakit artinya merasakan rasa sakit selanjutnya. Kelak membuat Subaru merasakan ketakutan berkelanjutan, tiada akhir, tiada ujung. Perasaan itu tidak akan hilang meskipun dirinya menolak berkedip. Tapi, andaikan berkedip, dunia seketika akan menjadi gelap. Dalam momen-momen kegelapan yang tak menampakkan apa-apa, Subaru takkan tahu apa yang terjadi. Meski barangkali tidak ada yang terjadi, Subaru tidak tahu pasti. Tak dapat mengkonfirmasinya serasa menakutkan. Apabila rasa takut tak dikenal tersebut secara naluriah bangkit, maka makna hidup adalah usaha tanpa akhir untuk mengatasi rasa takut. Ujung-ujungnya, sesuatu yang disebut rasa takut senantiasa menjadi perasaan lemah yang mulai mewabahi mahluk tatkala mengancam hidupnya. Mempunyai emosi ini sama saja memiliki bentuk kehidupan. Fungsi horor yang serupa sebagaimana rasa sakit. Lagipula, mahluk-mahluk yang meninggalkan naluri berbahaya mereka takkan sanggup bertahan hidup. Menghilangkan rasa takut berarti menghukum dirimu sendiri.

“Wah? Kalian berdua tampaknya mau hilang akal. Mencintai dan memperkaya perasaan seseorang kadang kala bisa sangat rapuh. Ah, itu karena Cinta menyakitkan. Akan tetapi, sebab cintalah kita bisa bertahan. Ini sulitnya bukan main. Kalau begitu, Tina-chan akan membantuku. Lusbel-kun sudah bekerja keras.”

Mati rasa pada nilai kehidupan berarti melanggar kemampuan bertahan hidup. Dengan kata lain, ketakutan tidak perlu ada. Oleh karenanya, sama sekali tak perlu malu memuji kinerja perasaan ketakutan, seperti saat ini. Tentunya hal-hal semacamnya hanyalah asumsi tanpa maksud. Namun demikian, melakukan eksperimen adalah metode terbaik untuk melawan rasa takut yang mendominasi dan berkuasa, dengan harapan sebuah terobosan kemenangan, benar? Subaru yakin berpikir begitu. Lusbel di depannya mulai kejang-kejang kala matanya berputar kembali ke dalam kepala. Cahaya lilin kehidupan si anak muda ‘kan segera padam.

Menyedihkan dan menyesalkan. Walaupun demikian, Subaru tidak boleh berkecil hati. Dia akan berjuang dan berusaha hingga akhir, bukankah itu sumpahnya? Kendati menghadapi ujian berat, buruk, dan sukar tahun kemarin. Seumpama tidak, mengapa Subaru sesedih dan semenyakitkan ini untuk bertahan hidup,? Menakutkan.

Banget-banget menakutkan. Mengerikan. Semuanya mengerikan. Hidup. Mengerikan. Berkedip. Mengerikan. Bernafas. Mengerikan. Bau busuk. Mengerikan. Menjijikkan. Mengerikan. Mengerikan. Mengerikan. Mengerikan. Mengerikanmengerikanmengerikanmengerikanmengerikanmengerikanmengerikanmengerikanmengerikanmengerikanmengerikanmengerikanmengerikanmengerikanmengerikanmengerikanmengerikanmengerikanmengerikanmengerikanmengerikanmengerikanmengerikanmengerikanmengerikanmengerikanmengerikanmengerikanmengerikanmengerikanmengerikanmengerikanmengerikanmengerikanmengerikanmengerikanmengerikanmengerikan—

 


 

“Sesudah lagunya berakhir dan mereka ngobrol lagi, bukannya kita mesti menyiapkan makanan dan minuman untuk mereka? Termasuk manisan ringan yang tentunya menutup jarak antara mereka, menurutmu begitu?”

Dunia langsung terbalik dalam sekejap mata, Subaru kehilangan kesadaran setelah mendengar sebuah suara akrab. Wajah canggung seorang gadis menangkap jatuhnya ketika Subaru menyundulnya.

“Gah!?”

“Hah?”

Teriak suara tajam.

Subaru tersandung beberapa langkah mundur dari rasa sakit yang mendadak menusuk. Di suatu tempat di depannya, kedengaran suara sesuatu jatuh ke rumput. Subaru tidak langsung meresponnya sebab kelewat sibuk menggosok dahi.

“A-apa yang ….?”

“Ada apa, Subaru? Kau tiba-tiba menyundul Liliana. Itu tidak baik. Kalau kau tidak menyukainya, aku mesti menyelesaikannya dengan berbicara langsung.”

“Itu benar. Sebelum menggunakan kekerasan, kita harus memberi peringatan kepada gadis yang nampak tak sopan itu, bahwa kita akan menerbangkannya, kayaknya.”

“Apa aku sejelek itu!?”

Liliana melompat berdiri dan meringis.

Mendengar ucapannya. Emilia dan Beatrice bertatapan tanpa bicara. Liliana dipukul lagi dan pingsan lagi.

“Benar-benar lelucon konyol. Rakyat jelata tidak boleh memperlakukan penyanyi burungku dengan cara demikian. Ini tak akan pernah terjadi lagi.”

Menolak kekerasan kepada Liliana, Priscilla mengeluhkan perilaku Subaru.

Subaru mengangguk acuh, memastikan lokasinya, dan sekali lagi ….

“… menjijikkan.”

Reset kedua tak mengubah pandangannya mengenai orang aneh itu sedikit pun.

 

Share this post on:
Subscribe
Notify of
guest
5 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Kodai

mantaps, mulai seru nih

lanjut terus min

Botolgas_Romane_Kontol

SERUSERUSERUSERUSERUSERUSERUSEEUSERUSERUSERUSERUSERUSERUSERUSERU-KRAK!

geuse

bukankah sirius itu mirip fortuna ? .. hmmmm

Xxrckk

Meet lagi Ama Larkins donk, trus panggil Reinhard. kelar :v

anjir

Meskipun ketemu reinhard juga nggak bakal ngaruh