Share this post on:

Waktunya Bernyanyi dan Menari

Penerjemah: Artorias the Abysswalker

Subaru menyelesaikan pembicaraan penting tapi sepele dengan Julius lalu meninggalkan Seasylph Lodge bersama Emilia dan Beatrice.

“Di halaman, kau mengobrol ramah sama Julius sekali. Kalian ngomongin apa?”

“Pertama-tama, mengira aku bersahabat dengan pria itu salah kaprah, menurutmu kami memperbincangkan apa?”

Lain kali kita main di mana? Sesuatu semacam itu.”

 

TL N: Ternyata mereka nge-gay gan, h3h3.

 

“Memangnya kami teman sekolah!?”

Messkipun asumsi kasual Emilia mengenai hubungan mereka benar, bahkan menduga bahwa Julius dan Subaru pergi ke satu sekolah, mereka berada dalam kelompok sosial yang sepenuhnya berbeda. Sekolah, seperti halnya masyarakat, punya hierarki.

Logikanya, bukankah sesuatu mirip-mirip pembagian antar kelas ada secara universal?

“Entah dunia ini atau dunia lain, kesulitan itu adalah sama ….”

“Hei, hei, kalian ngomongin apa?”

“Aku ingin sekali menanyakan peristiwa buruk baru-baru ini. Apa yang sebetulnya terjadi barusan? Apa latar belakangnya? Selanjutnya bagaimana? Topik semacam itu, deh.”

“Bukannya itu bersahabat?”

Emilia memiringkan kepalanya dan bertanya. Subaru mendesau.

Mendengar kata-kata sembarangan di akhir percakapan, barangkali mereka memang kelihatan seperti teman. Tapi hanya dia dan Julius, lantas itu mustahil. Dia bukan teman, dia ialah seseorang yang menyebalkannya tak tertandingi.

Walaupun tidak mungkin mengetahui apa itu tepatnya.

“Yah, dia tentu saja bukan teman. Tidak salah lagi.”

“Sejujurnya ….”

Emilia berbalik dan menghadap Beatrice yang mendesau diam. Subaru merasa sedikit sebal oleh suasana saling pengertian ini.

Pokoknya, percakapannya dengan Julius di halaman menyangkut Reinhard, Wilhelm, dan hubungan keduanya sama Heinkel Astrea.

Jika dia jujur menyampaikan isi pembicaraan kepada Emilia, maka Subaru merasa agak bersalah.

Selain ragu mengungkap hubungan pribadi Keluarga Astrea, Subaru tak ingin membuat tekanan tak perlu bagi Emilia.

Lagipula, situasi ini peliknya tanpa solusi.

Sejarah Keluarga Astrea bukan sesuatu yang dapat dengan mudah diketahui orang luar.

Julius sendiri terlibat dalam sejarah dan mengakui keprihatinan Subaru, ia menyampaikan segalanya padanya.

—namun, Subaru masih merasakan suam-suam mual di perutnya.

“Jadi, Subaru. Walau senang berjalan-jalan seperti ini, kau merencanakan apa?”

“….”

Selagi Subaru bergulat melawan kecemasan batinnya, Emilia mendadak tersenyum dan mengutarakannya.

Subaru yang terkejut sejenak terdiam seribu bahasa. Buru-buru mengerjap dan mengangkat bahu.

“Emilia-tan, kasar banget. Aku cuma murni berkeinginan menjelajahi Kota Bendungan bersamamu. Paling-paling, aku tergoda untuk memikatmu ke dekat air mancur, kemudian menghayati sosokmu yang terbasahi air.”

“Huuu~, Subaru, bilang begitu. Kau benar-benar orang keras kepala. Bahkan aku pun tahu sesuatu setidak penting itu bukan niatmu sebenarnya.”

“….” Beatrice diam saja.

Emilia cemberut, dan tangan paniknya menepuk dahi. Menatap Beatrice, meminta bantuan, tetapi gadis muda yang berjalan di tengah-tengah pasangan tersebut ekspresinya sama seperti Emilia.

Tanpa bantuan apa pun, Subaru cepat-cepat mengangkat tangan menyerah.

“Oke, aku menyerah. Maafkan aku. Aku takkan menciprat Emilia-tan.”

“Su-ba-ru.”

Ketika namanya dipanggil dengan amarah, Subaru menurunkan tangannya yang terangkat dan kali ini benar-benar menyerah.

“Subaru nakal.”

“Kau membaca pikiranku, Emilia-tan. Biarpun, aku ini mentormu, harus kuberi penghargaan … baik, baik, aku akan serius sekarang.”

“Jujur.”

Menanggapi Emilia yang gerakan angkat tangannya berkata, ‘Aku pukul kau,’ Subaru cuma bisa tersenyum.

“Aku tidak berusaha menyembunyikan apa-apa, hanya mau sedikit mengejutkanmu. Saat ini, kita menuju taman kota Pristella, kemarin di sana mengejutkannya aku bertemu si Biduanita.”

“Waw, Biduanita-san? Anu, kalau begitu, akankah dia berada di sana hari ini?”

“Mata bersinarmu menggemaskan. Yea, aku punya informasi kontak Biduanita. Sekalipun mempercayai kemampuan negoisasi Otto, aku pun yakin nasib buruknya akan merugikan kita pada kesempatan ini. Jadi cuma sebagai asuransi.”

“Begitu. Dan semisal kita berhubungan baik sama Biduanita-san, maka meminta Kiritaka-san menukar bijihnya sudah seperti permintaan pribadi.”

“Demikianlah. Kerja bagus.”

Subaru melingkarkan tangannya di atas kepala. Emilia sangat polos.

Faktanya, kendati transaksi takkan sesederhana dan semudah omongan Emilia, tak perlu lagi menunjukkan kesalahannya.

Emilia semata-mata berharap hubungannya baik-baik saja dengan Liliana. Subaru dapat menangani sisanya secara rahasia.

“Aku merasa orang-orang seperti Emilia-tan dan Liliana bakal punya semacam reaksi kimia ….”

“Reaksi kimia?”

“Kelihatannya, aku pikir Emilia-tan dan Liliana akan rukun.”

“Masa? Hahaha, aku harap begitu.”

Meski entah bagaimana meminta maaf pada Emilia yang hanya ingin bertemu, Subaru sudah merasa lumayan lelah hanya dengan bertemu dirinya.

Bahkan saat berharap jikalau Liliana berada di taman untuk memenuhi tujuannya, Subaru berdoa agar dia takkan menemuinya lagi.

Tentu saja, seandainya tak di sana, sore hari akan menjadi kencan bersama Emilia—biarpun dia ingin menghindarinya, Subaru tak bisa menyangkal dirinya yang terasa bersenang-senang.

“Emilia-tan, kau tidak mau pergi berlayar bersamaku? Aku rasa akan menyenangkan, dan nantinya memperkuat ikatan kita.”

“Aku tak yakin apa itu berlayar, tapi pikirku Subaru ‘kan mabuk laut andai melakukannya. Kau malah jadi letih, jadi kita harus menghindarinya.”

“Belum lagi taman kini sudah di depan kita. Sekarang bukan saatnya untuk menyerah, kayaknya.”

Beatrice menarik pergelangan tangan tak nyaman Subaru, menuntunnya ke depan selagi terus berjalan maju.

Mereka sampai di destinasi tanpa sedikit pun keraguan, Subaru tidak lagi melawan setelah melihat pintu masuk taman.

Air mancurnya terletak di tengah atau taman kota, memperlihatkan tontonan tak terduga. Para penonton yang berkerumun di taman jumlahnya lebih banyak dari kemarin.

“Karena kita datang lebih awal, aku bersiap-siap kalau mungkin saja Liliana tidak datang ….”

Melihat massa berkumpul, pemikirannya hanya sebatas kekhawatiran.

Penampilan hari ini terlihat optimis, aksi unjuk rasa dan tepuk tangan dari para pendengar fanatik, aura yang mendominasi taman.

“Tepuk tangan dan teriakan?”

“Hari ini kelihatan sedikit lebih ramai dari kemarin, kayaknya.”

Sama bingungnya dengan Subaru, Beatrice memiringkan kepala.

Sekalipun telah disampaikan oleh perangkat sihir pagi ini, nyanyian Liliana jenisnya damai, sunyi tenang, menarik para pendengarnya dari kenyataan. Justru sebab sifat itulah hiruk pikuk kumpulan ini serasa janggal.

Situasinya tercampur sesuatu tak terduga.

“Semua orang rasanya bersenang-senang. Dia sungguh-sungguh layak menjadi seorang Biduanita-san.”

Walau Emilia mau menembus keramaian agar bisa melihat lebih jelas, Subaru punya firasat buruk perihal seluruh situasinya.

Selagi mendekati bagian depan ramai penonton, Subaru mulai merasakan rasa penyesalan tidak enak.

“….”

Akan tetapi, dia tak boleh menyuarakan perasaan tersebut, karenanya Subaru berhenti.

Apalagi Emilia tidak sabar melihat keramaiannya secara langsung. Lagian, Subaru tak sanggup mengkhianati mata kecubung yang bersinar penuh harapan.

Segera setelahnya, fanatisme khalayak umum berubah menjadi tepuk tangan meriah kala terus menembus kerumunan.

Demikianlah, penyebab keributan itu sedikit lagi berakhir. Titik tuju kehebohannya mulai jelas.

Di sana ….

“Tariannya sangat menakjubkan! Sehabis melihat tarian luar biasa ini aku jadi girang!”

“Tidak sama sekali, seluruh performa dan nyanyainmulah yang menangkap perhatianku sepenuhnya. Teramat-amat layak. Sudah lama aku tak melihat keterampilan seperti itu.”

Di sana, berbicara dan berjabat tangan erat-erat satu sama lain, adalah sang Biduanita dan seorang wanita serba merah tua.

Intuisi Subaru benar.

 


 

Hari ini, Subaru lagi-lagi menjadi saksi di hadapan hadirin yang meneteskan air mata terhadap permainan dan nyanyian Liliana.

Andaikan sesuatu pada hari ini berbeda di hari kemarin, maka hal itu adalah Priscilla yang berdiri di samping Liliana, juga dihujani pujian, ‘Tarianmu terlalu hebat,’ ‘Sangat menyentuh,’ ‘Aku pasti akan datang lagi,’ ‘Pasti ‘kan datnag lagi.’ penerima pujian murah hati ini, Priscilla mengipas dirinya sendiri dan merentangkan tangannya lebar-lebar.

Setelah interaksi heboh bersama para penggemar mereka, satu-satunya orang yang tersisa hanyalah Subaru, Emilia, dan Beatrice. Menyadari mencoloknya mereka yang diam terus, kuncir dua Liliana sekali lagi memantul.

“Oh, hei! Rupanya Natsuki-sama dan Emilia-sama! Dan gadis kecilnya-sama Natsuki-sama! Kalian sedang apa?”

“Aku tak membiarkan panggilan gadis kecil-sama ini. Subaru, jelaskan, kayaknya.”

“Mengapa tak suruh orang yang mengatakannya? Nih, aku beri permen enak, jadi bersikap baiklah.”

“Kau takkan mmmm … menipuku seperti ini, mmmmm ….”

Mengesampingkan Beatrice yang sibuk mengisap manisan di mulut, Subaru menoleh ke Liliana yang kuncir kembarnya melambai-lambai riuh bak seekor anjing. Kendati lebarnya mata Emilia berlebihan sekali sebagai tanggapannya, presentasi perilaku aneh Liliana baru saja dimulai.

“Sekalipun cuma satu hari, kau lagi-lagi mengadakan pertunjukan besar lainnya. Kau ditendang keluar oleh Kiritaka lagi?”

“Eeeeh! Yah~, itu benar. Orang yang mencintaiku membuat permohonan sungguh-sungguh, jadi aku menurut. Bukankah itu sifat wanita baik? Kurasa begitu.”

“Jadi, bahkan setelah dibuang, kau pikir membuat sebuah penampilan oke-oke saja ….”

Liliana meluruskan dada kurusnya dan membelai kumis yang awalnya tak ada. Di sampingnya, Priscilla berdiri sambil menyilangkan tangan di depan dada besarnya. Melihat Subaru, mendengus jijik.

Kau sedang apa? Kendati kau tertarik daya pikatku, menatapku itu sangat kasar. Pria yang terobsesi kecantikanku sekurang-kurangnya diizinkan menghirup bau harumku sebagai pengisi mimpi indah mereka.”

“Aku tak melihat tarianmu, sekalipun aku lihat, aku takkan merasa terlalu bersemangat. Aku hanya menyukai gadis bertipe halus layaknya Emilia-tan, lantas tubuh menaarikmu tak terlalu berarti bagiku.”

“Lebih menyukai blasteran penyihir alih-alih aku tentu saja benar-benar kesalahan total. Tentu saja aku tak seberpikiran sempit itu hingga menerima selera aneh. Selain itu, apabila kau tak memahami kecantikan sejati, maka pandanganmu cuma melihat hal-hal yang kau sukai saja.”

Subaru merasa sia-sia mendebatnya.

Anggapan mereka keterlaluan berbeda. Subaru tak bisa mengarahkan akal sehat kepada Priscilla yang sesungguhnya percaya kalau dunia itu sendiri adalah miliknya.

Omong-omong ….

Tarian mengangumkan, Priscilla menari?”

“Menyesallah karena melewatkannya. Menari bukanlah sesuatu yang kulakukan secara cuma-cuma. Begitulah, sebab artis penyanyi ini yang memintaku.”

Priscilla menyebut Liliana kepada Emilia yang tertegun.

Subaru kaget oleh jawabannya, sementara Liliana memutar mata. Mengabaikan Liliana yang berpura-pura sedang meniup gelembung, Subaru menatap lurus Priscilla.

“Kau menari untuk orang-orang? Itu beneran tidak terduga.”

“Lalu, kau anggap apa kekisruhan kerumunan orang bodoh barusan? Walau lagu artis itu memang terselip sihir di dalamnya, tanpa kehadiran tarianku, para penonton akan terjatuh pingsan dan menjadi boneka pendengar. Sekalipun bisa dibilang suatu kenikmatan, aku tak menyukainya. Orang-orang tolol akan tetap tolol, orang bodoh akan tetap bodoh. Kenapa juga tak bermanfaat bagiku dan hari-hari mereka?”

“… dengan kata lain, orang bego yang bersuka hati pada kebegoan mereka akan lebih bahagia?”

“Ho. Kau jelas-jelas seorang rakyat jelata, tapi cukup piawai dalam hal pemahaman.”

Mensyukuri pujian Priscilla itu mustahil.

Belum lagi Priscilla tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa dia ingat dirinya ssungguhan lupa perihal keberadaannya dalam penginapan. Subaru sudah puas Priscilla mengingat Emilia.

“Tapi, tapi, Priscilla-sama dan Emilia-sama. Banyak banget orang menyenangkan berkumpul di sini, sangat aku hargai.”

Liliana bertahan dalam suasana menyeramkan dan bereaksi.

Ikut campur dalam persaingan keduanya dan bertindak sebagai mediator, bukan seperti Subaru yang canggung melakukannya. Boleh jadi kepribadian blak-blakan tanpa pikir panjangnya cuma kepura-puraan.

“3h3h3h3. Apakah laguku begitu indah? Jujur saja, itu membuatku malu. H3h3h3h3h3h3.”

“Tidak, ini sifat aslinya.”

Liliana terbutakan pujian dan jatuh dalam rasa malu. Subaru tersadar dia melebih-lebihkannya dan bahunya merosot kecewa. Sesudahnya mendadak menyadari tak ada orang yang menyertai Priscilla.

“Kau sendirian? Tidak sama AI, atau si keparat bangsat itu, ataukah kepala pelayan imut?”

“Aku membolehkan Schultz jalan-jalan, tapi sepertinya dia tersesat. Dia berusaha sangat keras, tapi apa pun usahanya tiada arti, begitulah anak manis itu. Karena omelan tanpa henti AI menyebalkan. Aku menyuruhnya mencari Schultz. Soal si keparat bangsat, aku tak yakin. Barangkali berada di kedai minum suatu tempat.

“Jadi si keparat bangsat sudah jadi bahasa umum di antara kita ….”

Subaru terheran-heran oleh jawaban serius tak terperkirakan itu. Nampaknya Heinkel pun tak diterima dengan baik dalam fraksinya sendiri.

Sekalipun sungguh sangat mengerti alasan Heinkel diperlakukan demikian, kenapa pula Priscilla repot-repot mengundang orang macam itu ke dalam fraksinya?”

“Pasti bilang, ada dia bakalan menarik, yah ….”

“Kau roman-romannya sudah paham betul. Yah, aku merekrutnya untuk beberapa alasan kecil. Mereka yang menghampiriku dan berusaha mempromosikan diri masing-masing akan disambut selama aku menemukan suatu hiburan pada mereka. Seandainya mereka adalah hambatan, maka bisa kapan saja dibuang. Orang itu selebih-lebihnya, adalah seperti itu.”

“Tidak, bagaimana ya bilangnya … kelihatannya dia tak memenuhi harapanmu dalam faktor apa pun.”

Tampaknya seakan karena harapannya belum terpenuhi sehingga Priscilla marah besar. Mungkin saja Priscilla bahkan sudah lama melupakan kejadian itu.

“Tapi bukankah kau merasa ini berbahaya? Tepat detik ini. Aku tak pernah mengizinkan Emilia-tan pergi keluar sendirian.”

“Penyertaku sedang absen, dan bila mana aku berada dalam bahaya, maka aku sedang tidak diuntungkan. Pemikiran-pemikiran itu hanyalah terdapat pada mereka yang memandangku sebelah mata.”

“Ah, begitukah?”

Penilaian yang rasanya menggampangkan kemampuan AI. Akan tetapi, setelah melihat aksi Priscilla, perspektif itu dapat dimengerti.

Pada perjamuan sebelumnya, kemampuan yang didemonstrasikan Priscilla lebih unggul daripada manusia biasa. “Ngomong-ngomong. Rahangku pernah ditendang sebelumnya.”

“Dalam perulangan ibu kota, Subaru sekali pernah membuat Priscilla tak senang dan wajahnya ditendang. Tubuhnya terbang tinggi sekali sampai-sampai menyentuh langit-langit, dan mendarat di ruangan terdekat.

Rasa sakit intens itu seperti rahang patah.

“Jadi, kau menampik AI dan datang menemui Liliana?”

“Bentang alam sederhana perkotaan ini bagusnya meredam rasa bosanku. Tak seperti arsitektur berbelit-belit ibu kota, Pristella punya banyak tempat bagus yang layak dipandang. Selagi aku berkelana, suatu lagu indah mengaliriku.”

“Yea~, awalnya saat tariannya menyulut kehebohan aku betul-betul tak tahu apa yang terjadi. Kadang kala ada orang yang serta merta bergabung dalam penampilanku dan merubah suasana. Meski sebagian besarnya laguku menghantam mereka dan jadi berubah pikiran.”

“Kau sungguh-sungguh sama sekali tak bertingkah selayaknya Biduanita ….”

Menyerang lagu semacamnya kelewat berani untuk dilakukan.

Dan memang, sedikit mengejutkan misalkan Priscilla bergabung dalam tariannya. Berarti para penonton terlampau terbawa suasana sebab tariannya seirama dengan sang lagu.

“Meskipun sulit mengatakan kau bisa memenangkan hati dan pikiran sepertiku, sebenarnya ada nilai tertentu dalam suaramu. Bagaimana? Ikutlah denganku. Perkenankan pengaruhku melimpahkanmu status, dan izinkan aku menawarkanmu kehormatan untuk tampil dalam mansionku.”

“….”

Dengan kata lain, Priscilla menghargai lagu Liliana dan mengajukan permintaan tak masuk akal. Walaupun ide tersebut menjadikan Liliana sebagai musisi pribadi Priscilla, implikasi gelap di balik ucapan Priscilla pun hadir jua.

Andai kata kemarahannya tersulut sebab tak bisa merebut hati Liliana seperti tingkatan apresiasi kepada musik buatannya, Pricilla mau apa? Implikasinya mengerikan.

Kemudian Liliana menjawab ….

“Terima kasih banyak! Evaluasinya membangkitkan semangat nian, dan senangnya bukan main! Tapi! Tapi! Tapi! Izinkan aku menolaknya ….”

Dia tak tahu amarah menyeramkan Priscilla, apalagi tidak bisa membaca suasana hati.

Ketidaktahuan mengerikannya, antusiasme kasualnya menolak proposal Priscilla. “Ho, kau menolak. Kenapa?”

Benar saja, suara Priscilla melirih, dan tatapannya jadi gelap.

Gemetaran. Subaru yang tak berhubungan dengan mereka berdua, merasakan bilah dingin menusuk punggungnya.

Satu kalimat, suasana hampir menjadi mematikan.

Di dunianya sendiri, bebas dari ketegangan, Liliana memebelai kotak yang menyimpan instrumennya.

“Aku Liliana, seorang penyair pengelana. Kendati benar aku diminta untuk tinggal di kota ini, aku seorang musafir yang cepat atau lambat akan berpergian kelak. Tak terikat oleh tanah, oleh orang lain, itulah caraku melayani profesiku—cara bertahan hidup yang telah lama ditetapkan.”

“Karenanya undanganku ditolak.”

“Entah itu ibuku, atau nenekku, atau nenek buyutku, keluargaku selalu menempuh jalan serupa. Kami semua adalah orang yang memilih melupakan hal material apa pun sehingga sanggup hidup dalam alunan nyanyian di hati orang lain. Tiada yang mampu menangkap angin, seperti halnya menghentikan lagu. Sebab itulah ….”

“….”

“Biarpun aku teramat-amat senang dengan undanganmu, tolong izinkan aku menolaknya. Selain itu, aku pun tak tahu ke mana laguku akan pergi, karena segenap keputusanku diserahkan kepada udara.”

Mengangkat instrumennya, berbicara bangga, bagaikan melepas suasana yang sengaja dipancarkan tuk memprovokasi orang lain.

Hanya seorang penyair biasa—Biduanita yang ingin mengabadikan kisahnya dalam sebuah lagu.

Setelah mendengarkan jawaban singkat Liliana, Priscilla mengangkat satu tangan tinggi-tinggi dan menutup satu mata. Mata satunya, tatapan merah tua tertuju kepada si gadis kecil.

Selanjutnya, di depan raut wajah tak tergoyahkan Liliana, Priscilla mendadak menghela nafas.

“—menakjubkan. Tekad itu menyenangkan. Aku izinkan. Vulgar satu ini sepertinya mirip sepertiku.”

“Tidak, tidak, tidak sama sekali. Aku sangat, sangat minta maaf.”

Kepada Priscilla yang mulutnya hendak mengurai senyum, tanggapan Liliana tulus.

Tak salah lagi, interaksi antara mereka berdua membuat Subaru tercengang. Menyipitkan matanya sebab parasnya membeku, Priscilla mengerutkan kening seakan tidak senang.

“Ada apa, rakyat biasa? Kau kelihatannya tidak merasa senang.”

“Benar-benar kejutan. Aku kira kau hendak membelah dua Liliana setelah menolakmu, aku jadi merinding ….”

“Keresahanmu konyol.”

Hal itu takkan mungkin terjadi, itulah maksud, ‘Hmph,’ Priscilla.

Akan tetapi, sebelum dia sempat mendengar alasan Liliana, Priscilla sungguhan pengen membunuhnya. Tetapi sebelum keputusan itu jatuh tempo, ucapan tepat Liliana seimbang dan memiringkan keadaan condong ke keberuntungan. Paling tidak, begitulah yang diketahui Subaru.

“Tapinya, aku pun sedikit kaget. Soalnya Priscilla-san kelihatannya tipe orang yang Aku ‘kan meraih semua keinginanku.”

Ranjau darat yang susah-susah dihindari Subaru secara tak sadar dipicu Emilia.

Emilia terang-terangan mengungkap kesan mengenai Pricilla. Subaru tanpa sadar meluruskan punggung dan berbalik menghadap wanita serba merah itu. Namun dia hanya menutup mata dan ….

“Kata-kata yang sangat bodoh, setengah penyihir. Bagaimana bisa mata berbayangmu menilai karakterku? Ada batasan penghinaan tak sopan yang bisa kutahan.”

“Dasar gadis tak tau kata minta maaf, kayaknya. Sekiranya kau punya waktu untuk merenungkan kekurangan orang lain, maka kau harusnya bercermin pada tingkah lakumu sendiri. Betty pikir akan lebih berfaedah bagi kedua belah pihak, kayaknya.”

“Beatrice ….”

Seraya mendengarkan cemooh Pricilla tanpa henti, Beatrice mencengkeram bingung tangan Emilia. Tapi Priscilla mengangkat alis, memandangi Beatrice seakan baru pertama kali memperhatikannya.

“Gadis kecil ini berani berbicara seperti itu. Kemurahan hatiku tak berdasarkan usia. Andai kata kau mengira anak muda akan terhindar dari murkaku, lebih baik ubah sikapmu sekarang.”

“Campur tanganmu betul-betul tak diperlukan, kayaknya. Siapa yang kau sebut gadis kecil. Hanya memperhitungkan penampilan Betty akan sangat merugikanmu.”

Nyala api muncul di antara Priscilla dan Beatrice.

Kedua gadis itu mengenakan gaun terurai, sama-sama terlihat marah.

Walaupun Subaru tak meragukan kemenangan Beatrie, dia tahu bahwa konflik ini tak bisa dihindari tatkala kandidat raja saling bertemu. Demikianlah tipe hubungan mereka.

“Jangan sekeras kepala begitu, Beako. Priscilla dasarnya memang bengis, tidak ada faedah mendebatnya.”

“Subaru, jangan hentikan Betty. Kau tidak marah Emilia direndahkan? Tunjukkan aku kejantananmu.”

“Bisa tidak bilang hal semengerikan itu!? Terlebih lagi ….”

Subaru terkejut pada Beatrice yang jarang-jarang mempedulikan orang selain Subaru, dia berang demi Emilia.

Bahkan Emilia, orang yang dirisaukan, merasa terkejut.

“Beatrice, aku baik-baik saja.”

Melepaskan tangan Beatrice, Emilia dengan lembut menyentuh kepala si gadis. Sesaat, wajah Beatrice berkaca-kaca.

Tetapi hanya berlangsung sejenak. Beatrice kembali memasang ekspresi biasa dan menghadap kembali Priscilla.

“Bersyukurlah kau diampuni.”

“Seharusnya kau yang merasa begitu. Berterimakasihlah pada wajah imutmu sendiri.”

Beatrice dan Priscilla sama-sama mendengus.

Kendati ujung-ujungnya Priscilla malah memuji penampilan Beatrice, gadis kecil yang marah-marah itu tak sadar. Omong-omong, ‘Aku melepaskanmu karena kau manis,’ penjelasannya aneh. Subaru tidak paham.

“Kau benar-benar wanita tak irasional ….”

“Tentu saja. Kau bangga sekali lantaran yakin dirimu bisa melihat isi hati wanita mana pun, seperti aku!?”

“Maksudmu ini salahku ….? Yang memulai insiden ini adalah karena kau bilang Aku menginginkanmu pada Liliana.”

Alibi Priscilla untuk membiarkan Liliana melarikan diri dari genggamannya masih menjadi misteri. Subaru menatap dingin dirinya. Tanpa diduga, kipas menutup mulutnya.

“Segala sesuatu di dunia ini adalah milikku. Dengan demikian, tiada keharusan tuk mempertahankan hal-hal indah nan tinggi. Selama mereka masih eksis, maka bukan masalah.”

“….”

“Dunia ini adalah perkaranganku, artinya, entah di mana burung bernyanyi tidak jadi soal. Menaruhnya dalam kendang? Vulgar. Melindunginya dari tangan musuh luar? Vulgar. Faktanya, hal-hal itu merepotkan.”

Pandangan Priscilla menghujam anggapan Subaru sampai ke tanah. Sisi asing dari asingnya membuat Subaru terdiam seribu bahasa.

Bukannya Subaru tak mengerti perkataannya. Akan tetapi, yang dia mengerti berbeda dari yang dimengerti Subaru.

Itulah sebabnya, Subaru takkan pernah memahami Priscilla selamanya.

Terus terang, dia pikir mengerikan. Tapi bisa jadi itu menurut sudut pandang orang lain. Perasaan buruk ini, mungkin, barangkali sebagai inspirasi kekaguman atau malah dambaan bagi orang lain. Boleh jadi itulah alasan AI mengikutinya.

“Hei, hei, hei! Karena semua orang sudah tenang, biarkan aku memerankan duta besar dan menyuarakan niat baikku seraya memamerkan suaraku! Yea, aku lakukan!”

Caranya memotong suasana, Liliana mengajukan permintaan sendiri. Dia mengambil kecapinya dan senarnya memainkan kunci berirama cepat, lanjut berkonsentrasi menggerakkan tubuhnya sendiri.

“Hanya kali ini, Priscilla-sama tak usah ikut menari, menikmati lagunya saja sudah oke. Akan kulepaskan tembakan penuh semangat seorang Biduanita! Tolong dengarkan baik-baik!”

“Ho?”

Tukas Liliana membuat paras Priscilla tertarik.

“Emilia-sama rupanya pertama kali tiba saat lagu pertamaku berakhir. Aku harap daripada menganggapku seorang penyanyi yang nilai jualnya imut-imut, kalian akan menganggapku seorang penyair yang menghasilkan sedikit uang dengan keterampilannya.”

“Waw, masa?”

“Sekalipun aku bukan musisi yang paling berkualitas, aku harap kau akan puas.”

Terlepas dari pernyataan Liliana. Emilia tanpa neko-neko tertarik penampilan dan nyanyiannya. Karena itulah Emilia yang tertarik pada interaksi mereka sebelumnya, menantikan permintaan Liliana.

Menghitung jarak halus perasaan antara Emilia dan Priscilla, Liliana sepertinya sudah ingin bersiap-siap. Dia diam-diam melambai ke Subaru dan suara lirihnya bertanya ….

“Natsuki-sama, Natsuki-sama. Biarpun ini hanya pendapat pribadiku, apakah Emilia-sama dan Priscilla-sama hubungannya buruk?”

“Bukan masalah pendapat, itu sudah jelas dari percakapan mereka. Lagian, Priscilla tak cocok dengan siapa pun, tentu saja akan bakal tegang di depan Emilia.”

“Masalahnya besar!”

Liliana nampak terkejut, rambutnya naik seperti ekor anjing waspada. Apakah sarafnya terhubung dengan rambut? Subaru betul-betul ingin mengulur tangan dan menggapainya.

“Jadi, jadi. Biarkan aku datang ke sini dan memotong ketegangannya, kemudian menyatukan keduanya dalam dunia pesona dan lagu. Ah! Barusan, apa imajinasimu mengira berbahaya saat aku bilang memotong? Itu tidak baik!”

“Meletihkan rasanya hal menginspirasi dan sebaliknya dijadikan satu kalimat, jadi jangan lakukan lagi itu.”

Subaru mengagumi Liliana yang nampak bak orang gila, namun masih bisa merisaukan orang lain. Menyapu suasana buruk dengan lagu, sesuatu sederhana dan secara terang-terangan.

Mereka berdua adalah teman yang sama-sama minat dengan nyanyian Liliana. Bahkan Priscilla takkan berlaku sinis terhadap Emilia sejenak mendengarkan suara Biduanita yang dia kagumi.

“Sesudah lagunya berakhir dan mereka ngobrol lagi, bukannya kita mesti menyiapkan makanan dan minuman untuk mereka? Termasuk manisan ringan yang tentunya menutup jarak antara mereka, menurutmu begitu?”

“Tidak, menurutku tak begitu.”

“Sesudah lagunya berakhir dan mereka ngobrol lagi, bukannya kita mesti menyiapkan makanan dan minuman untuk mereka? Termasuk manisan ringan yang tentunya menutup jarak antara mereka, menurutmu begitu?”

“Ini parodi yang tak membolehkanku tidak mengatakan iya?”

Liliana menyuguhkan pilihan keliru dengan nada dan suara identik, Subaru hanya bisa menyerah dan bilang iya. Ekspresi Liliana mendadak senang lagi.

Kesulitan komunikasi tingkat tinggi antara spesies manusia dan spesies Liliana belum dipertimbangkan baik-baik.

“Baiklah, nanti aku belikan sejumlah makanan saat Liliana bernyanyi, Emilia-tan, aku akan kembali, jadi jangan bertengkar dan tunggu di sini baik-baik, oke?”

“Seriusan. Tak usah segelisah itu, dan lagian takkan terjadi, kok. Aku tak ingin bertarung melawan Priscilla-san.”

Peringatan Emilia sebagai pemasti saja, namun Emilia tersenyum lebar. Sekalipun tak meragukan si gadis, bahkan jika dia tak mencari-cari keributan, kehadiran Priscilla saja merupakan penyulut tertinggi.

“Beatrice. Jika terjadi sesuatu pada Emilia-tan, aku serahkan kepadamu.”

“Aku tahu. Gadis itu, misalkan mau berbicara lagi, aku sulap dia jadi abu, kayaknya.”

“Kau tak mau adu bacot juga, kan?”

Mengerahkan kewajibannya kepada Beatrice yang jauh lebih galak daripada Emilia, Subaru bersiap-siap meninggalkan taman. Tapi sebelumnya ….

“Priscilla, ada sesuatu yang tak kau makan?”

“Mengejutkan sekali. Orang biasa sepertimu sungguh-sungguh memperhatikan. Yah, kalau begitu, siapkan sesuatu yang menarik. Kalau kau menyiapkan sesuatu membosankan, kuangkat kepalamu dan kubanting lagi.”

“Kutebak kau suka bermain gunting batu kertas, kenapa syaratnya sekejam itu!?”

Subaru sempat ingin memberikannya sentuhan rasa lezat pertama yang dia temukan. Priscilla biasa memberengut oleh jawabannya.

“Gunting, batu … kertas?” dia memiringkan kepala.

Karena pernah sekali melupakan Subaru, mungkin dia pun lupa syarat yang diajukannya.

Subaru tak tahu harus bilang apa. Dia mustahil ditangani dalam artian kata apa pun.

“Subaru, berhati-hatilah.”

“Kalau-kalau terjadi sesuatu, panggil Betty, kayaknya.”

Dihantarkan oleh pandangan Emilia dan Beatrice, Subaru melambaikan tangannya. Seusainya, dia balas melambai dan mengedipkan matanya ke Liliana seakan main mata, lalu berlari dari taman.

Segera sesudahnya, melodi cahaya Liliana datang.

Mendengarnya, Subaru berpikir hendak balik ke taman secepat mungkin. Misal dia tak bergabung sama sekali, maka takkan berhasil. Subaru menyuntik lebih banyak kekuatan ke dalam langkah kakinya.

 


 

Sudah sepuluh menit semenjak Subaru meninggalkan taman.

“Aku tidak berguna banget, benar, deh.”

Setelah meninggalkan toko, Subaru melihat isi tasnya dan menarik nafas.

Demi mendapatkan makanan penutup yang mantap, Subaru si pesuruh pergi ke toko pertama yang dia rasa cocok dan berbelanja selekas mungkin. Kendatipun dia tertarik oleh cita rasa terkenal Pristella, produk langka bernama Jeli Gina, Subaru tak berani membawanya ke Priscilla.

Biarpun menyebutnya ketakutan akan hubungan antara kedua fraksi memang terdengar bagus, yang sejatinya ditakutkan Subaru adalah Priscilla sendiri.

“Tapi, aku penasaran apakah rasanya mirip Jeli Unagi1. Sekalipun aku malu karena tak berani memastikannya sendiri, aku tak terlalu membenci diriku.

Subaru bersiul karena peninjauan ulang serba rumitnya, berlari di sepanjang jalan ke taman dengan langkah cepat.

Dia menghitung waktu berlalu sepuluh menit sejak dia pergi, dan Beatrice belum mengontak.

Walau begitu, kebanggaan maskulin memintanya kembali sesegera mungkin, tapi ….

“Agh, maaf.”

Berbelok kencang di tikungan, dia hampir menabrak seseorang. Meskipun tangkasnya menghindar, Subaru menoleh untuk memastikannya.

“Maaf. Tidak kusangka menabrakmu, kau baik-baik saja?”

“Hei, saudara. Kau meminta maaf? Maka kau harus menyampaikannya lebih tulus!”

Suara kasar pria yang hampir ditabrak Subaru menjawab, mimik wajahnya berubah ketika melihat Subaru.

Di saat yang sama, Subaru sendiri juga tertegun.

“Woaa, Chin-kah? Kau bahkan dipekerjakan Felt, kenapa masih melakukan hal goblok ini?”

“Kau mengesalkan banget! Sudah dibilang namaku bukan Cin! Dan kau sedang apa di sini!?”

Pria yang meludahi kata-kata itu sambil marah adalah seorang utusan yang kemarin mengacaukan pengiriman pesannya. Kata Felt, dia diperintahkan untuk bermalam di hotel kota lain.

“Kau sendirian, tak bersama Ton juga Kan? Itu mencurigakan.”

“Penasaran atau semacamnyalah, kau bahkan tahu apa soal diriku? Tidak ada apa pun di antara kita, kenapa kau terus saja memulai sesuatu? Kau sangat menyebalkan, sudahlah pergi saja.”

“Kau dingin banget, meski hubungan kita sudah hidup mati.”

“Aku tak mengingat hal semacam itu!?”

Larkins yang tak terbiasa oleh frasa Subaru, mukanya sebal selagi berusaha menghindarinya.

Bahkan Subaru sendiri kesulitan memahami mengapa dirinya sebaik ini. Barangkali penghalang dalam hati Subaru menyamai Tonchinkan sebagai rekan fana.

Terlalu banyak orang yang kuatnya konyol sekali di dunia ini, jadi menghadapi mereka membuat Subaru lega.

Walaupun mereka jelas-jelas pernah membunuhnya. Subaru sudah makin-makin berani.

“Ngomong-ngomong! Jangan ganggu aku! Aku lagi kerja!”

“Kau yang dulunya sering bermain-main dan mengganggu orang lain kini bekerja baik-baik … aku turut bahagia.”

“Dia siapa!”

Sesaat Subaru pura-pura menangis, Larkins melarikan diri darinya dan menuju kerumunan. Sesudah menerima reaksi dingin, Subaru menggaruk kepalanya dan bercermin.

Jika kau punya kebiasaan buruk untuk tak berinisiatif berbicara dengan orang lain, pastinya ada suatu sensasi jarak pemisah yang tak hilang-hilang.

Melihat Larkins menghilang ke lautan orang, Subaru berbalik ke arah taman lagi. Kemudian kakinya berhenti.

“Hmmm?”

Subaru melihat-lihat dan mulai curiga.

Di hadapannya, di detik-detik sekejap itu, adalah alasan Subaru berhenti—semua orang berhenti.

Kerumunan yang dituju Larkins membeku di tempat, Subaru tak sengaja mengikuti. Larkins mengerutkan bibir dan keluar dari kerumunan orang.

“Orang ini, orang itu, dan ini pula! Kalian semua lihat apa!?”

Ditembak sumpah serapah memuakkan, Larkins menyejajarkan pendangannya seperti pandangan massa, terfokus ke atas atap gedung menjulang tinggi.

Bangunan tinggi megah, terhias mosaik ukiran kristal, sebuah bangunan yang mempunyai lonceng. Dalam kota besar atau kecil, bangunaun ini dianggap umum. Setiap kota metropolitan atau kota biasa pastinya punya beberapa Menara jam ini.

Di kota Pristella, juga ada sejumlah Menara jam yang menyebar letaknya. Menara jam di sini adalah salah satunya.

Akan tetapi ….

“—duh, jujur saja. Mohon maaf, aku sungguh minta maaf.”

Di sana, satu sosok berdiri, menatap keluar dari jendela terbuka menara jam, teramat dekat dengan tepiannya.

Sosok itu menarik perhatian semua orang di dekatnya, suara gemetarnya seakan-akan menanggung seluruh perhatiannya.

“Terima kasih. Aku sesungguhnya hanya perlu sedikit saja, lantas biarkan aku meminjam waktu kalian.”

Dia meminta maaf, tapi tukasnya bukan murni menyesal, imbuhnya jauh lebih condong ke pembenaran diri, seolah-olah mengutamakan iktikadnya sendiri.

Suara merindingnya pecah nan tajam. Mendengarnya menyakiti telinga, hati kecil mendesak mati-matian untuk buru-buru menghilangkan ketidaknyamanannya.

Alasan perasaan aneh itu mungkin asalnya dari penampilan absurd sosok tersebut.

—kepala orang itu seluruhnya terbalut perban, menyisakan mata menyilaukannya saja. Tubuhnya terbungkus jaket hitam erat-erat, kedua pergelangan tangan terlingkupi rantai Panjang, ujung-ujungnya diseret di tanah, goyang ke kiri kanan seketika si pemilik mondar-mandir di menara.

Gerak-gerik ganjil di hadapan massa—senyuman, bisa jadi, tetapi perbannya merahasiakan dan teramat-amat mendistorsi mulutnya sehingga ekspresi itu rasanya menggelisahkan.

“Mohon maaf, akulah Uskup Agung Kemarahan dari Kultus Penyihir.”

Setelah menyatakan gelar buruknya, sosok itu mengutarakan Namanya.

“—namaku Sirius Romanee-Conti.”

Menghantarkan maksud jahat, dia tersenyum.

 Catatan Kaki:

  1. Unagi (ウナギ) adalah kata Jepang untuk sidat air tawar, khususnya sidat jepang, Anguilla japonica (nihon unagi 日本鰻 [1]). Unagi adalah bahan umum dalam hidangan Jepang, seringkali sebagai kabayaki. Ini tak sama dengan sidat air asin, yang dikenal sebagai anago dalam bahasa Jepang.
Share this post on:
Subscribe
Notify of
guest
2 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Kodai

mulai gelud nih

geber terus min

Fazana

Mantap udah ketemu uskup agung keserakahan sama kemarahan, bentar lagi bakal kesiksa nih