Share this post on:

Reuni yang Mengejutkan, Reuni yang DItakdirkan, dan Reuni yang Tak Diharapkan

Penerjemah: Dark Sun Gwyndolin

Setelah menemui pria aneh bertudung, perjalanan berlanjut tanpa insiden apa-apa lagi. Kadang-kadang, Emilia melirik ke air, tenggalam dalam renungan, tapi dia menghalangi hatinya yang gundah dengan senyuman sebelum seorang pun dapat menanyakannya.

Satu-satunya sosok berbeda dari pria yang dia temui adalah tudungnya, dia nampak punya semacam koneksi dengan Emilia. Menurut Emilia, tingkah lakunya sangat sopan. Mungkin kelewat ekstrim saat menjelaskan rambut Emilia, rambut peraknya benar-benar memberi kesan baik pada dirinya.

“Ngomong-ngomong, dia tahu padahal Emilia mengenakan jubah ….”

Subaru tiba-tiba menyadari efek jubah sihir Emilia, dia selalu kenakan untuk menyembunyikan identitasnya, jubah barusan tak berefek pada sip ria. Jika jubahnya beroperasi secara normal, dia takkan melihat kehadiran Emilia. Akan tetapi, nyatanya dia melihat rambut perak Emilia.

Berarti mata pria itu mampu menembus sihir yang terpasang jubahnya.

“Beako.”

“Jadi kau menyadarinya. Emilia dan Garfiel belum tahu dan berjalan biasa tanpa sadar, kayaknya. Anak-anak ceroboh.”

Beatrice berjalan di samping Subaru, tahu persis sumber kekhawatirannya.

Saat Beatrice menyuruh Subaru menjauh dari Emilia, anak muda itu menyentuh dagunya dan mengerutkan kening.

“Aku rasa dia tak menggunakan trik apa pun, tapi pria itu mencurigakan. Penghalang kognitif jubah seharusnya tak bisa dilawan.”

“Antara dia mahir sihir atau punya Berkah … omong-omong, orang itu tidak biasa. Sungguh merepotkan, kayaknya.”

“Haruskah kita memberi tahu Emilia?”

“Sebenarnya tidak perlu, kayaknya. Jika dia menyimpan niat buruk maka Emilia pasti mengetahuinya. Kita tak perlu memperhatikan ini, kayaknya.”

Mendengar pernyataan Beatrice, Subaru menjawab, “Aku mengerti,” dan menerimanya.

Beatrice mengatakan apa yang dia yakini benar. Semenjak dirinya sering menghabiskan waktu mengamati manusia, dia pun memperhatikan gerak-gerik Emilia, anak muda itu menurut. Tidak perlu menyulut-nyulut kegelisahan.

Meski begitu, Subaru dan Beatrice paling tidak harus berhati-hati.

Di kota luas ini, kemungkinan kecil akan bertemu si pria lagi. Namun masih ada kemungkinan dia berusaha secara aktif mengontak mereka, lantas mereka perlu waspada.

“Cepatlah, Kapten. Kalau lu ama Beatrice kelamaan kita bakal sampe pas matahari terbenam.” “Berhenti mengatakan hal-hal aneh. Dasar monster bau menjengkelkan.”

Garfiel berbalik menghadap mereka dan tertawa senang menanggapi hinaan kasar Beatrice.

Mendadak ekspresinya berubah. Telinganya bergerak bolak-balik, hidungnya berkedut-kedut.

“Ada apa?”

“Kaga, deket hotel … keknya ada adu bacot.”

Mereka berbelok ketika Garfiel selesai bicara dan Subaru juga mendengar keributan. Memang kedengarannya ada orang marah-marah.

“Bau-baunya akan ada perkelahian, kacau deh.”

“Kapten sendiri ribut-ribut pas negoisasi, emangnya lu berhak nyebut itu kacau? Kalau gua gak ada di Kamar Dagang, lu pasti dah ditangkep sama penjaga.”

“Itu hanya pesona tak tertahankan milikku …. Emilia-tan?”

Subaru tiba-tiba mendapati Emilia yang baru saja menyusul berlari melewatinya sekaligus panggilan Subaru, tapi gadis itu tidak menghiraukan.

“Suara itu dengar-dengar akrab …. Sebenarnya, aku rasa itu suara Joshua.”

“Ah, kau benar juga. Terdengar seperti suara bajingan lemah itu.”

“Aku khawatir kalau dia dalam masalah.”

Meninggalkan Garfiel yang kurang tegang di belakang, Subaru mengejar Emilia. Belok ke sudut berikutnya, Subaru akhirnya melihat Seasylph Lodge, dan di sana ….

“Dasar brengsek, sudah berapa kali aku mengatakan ini!? Jangan menahanku dan panggil tuanmu ke sini!”

“Kau sangat biadab, aku bahkan takkan mau memanggil kakanda ke sini, apalagi tuanku! Buruan pergi mumpung aku masih tenang!”

“Kau tidak paham maksudku, ya? Biarkan aku, bangsat!”

Seorang pria muda berambut ungu—Joshua, berdiri sambil merentangkan tangan di depan hotel, dia bertengkear dengan pria lain. Walaupun menghadap Subaru, fisiknya jelas cukup kekar. Melihat tingkah lakunya, perkelahian tidak bisa dihindari.

“Cukup sudah!”

Sesaat Subaru menilai perbedaan kecakapan tempur kedua pria, Emilia bergegas memisahkan mereka berdua. Dipisahkan, Joshua kaget.

“E-Emilia-sama!?”

“Aku sedang dalam perjalanan balik dari urusanku dan mendengar keributan kalian berdua. Berdebat di depan penginapan seperti ini. Apa alasan sebearnya? Tenanglah dan beri tahu aku.”

Cara bicaranya seolah-olah sedang menengahi pertengkaran dua anak bocah. Seketika itu segalanya tenang.

—Garfiel mendesau kecewa seakan bilang, ‘Yaahhh, gada gelutnya?’ sewaktu menyusul mereka.

“Semua orang sampai satu per satu … maaf sekali sudah mengganggumu ….”

“Tidak jadi soal. Nah, beri tahu aku penyebabnya.”

“Bagaimana bisa saya merepotkan Emilia-sama dengan hal sepele seperti ini ….”

Joshua dengan keras kepala menolak campur tangan Emilia dalam masalah ini, lantaran khawatir Emilia akan memanfaatkan kondisi ini. Bila begitu, maka Joshua merasa paranoid. Bahkan seratus tahun pun Emilia tidak berpikir demikian.

“Tidak banyak yang terjadi. Aku dikirim ke sini, tapi nih orang tidak membiarkanku masuk. Jadi aku mau melawannya.”

Dalam waktu-waktu menegangkan ini, pria yang bertengkar dengan Joshua bicara. Mata tajamnya tertuju rapat-rapat ke Joshua, suaranya geram seraya mengeluhkan perlakuan bawahan Anastasia itu.

“Sudah berapa kali aku mengatakannya? Jika ingin menyamarkan identitas lebih baik persiapkan dulu. Bahkan mengenakan pakaian rapi ini, kau tak dapat menyembunyikan sifat aslimu. Sejauh ini kau cuma bisa berbohong!”

“Oh maaf deh! Hei, aku juga tidak suka berpakaian seperti ini. Menyulitkan urusan orang saja! Ah, aku paham maksud perkataanku!’

Pria itu menggaruk kepalanya, frustasi selagi Joshua menolak menerima klaimnya. Bahkan dengan campur tangan Emilia, keduanya masih terjebak argumen.

“Masa, bagaimana caranya meluruskan ini? Subaru, bagaimana …. Subaru?”

Dua pria keras kepala dan Emilia yang bingung menghadpa Subaru, dia berdiri sambil memegang dagu, keningnya memberengut serius. Pandangan tertuju pada pria yang adu argumen dengan Joshua.

“Subaru, ada apa?”

“Tidak, mungkin salah saja … tapi aku rasa pernah melihatnya di suatu tempat ….”

“Hah? Apaan, woi. Mau cari ribut … eh!?”

Mendengar dialog Subaru dan Emilia, mata tajam si pria tertuju kepada mereka. Namun setelah melihat Subaru, dia langsung tegang.

Bibir gemetar, menunjuk Subaru.

“K-kau … yang waktu itu sama Reinhard ….!”

“Waktu itu sama Reinhard spesifik amat … ah.” ‘Waktu itu sama Reinhard,’ adalah petunjuk utama Subaru.

Kemudian Subaru menyadari identitasnya. Pakaiannya lebih baik daripada sebelumnya, dan perilakunya sedikit berbeda, namun mata jahat tidak berubah.

“Chin! Chin, kan!? Wow, lama tidak bertemu. Kenapa kau di sini?”

“Jangan sok-sokan mengenalku! Siapa Chin!? Namaku Larkins!”

“Ternyata Chin!”

“Diam!”

Subaru menepuk bahu Chin, dan Chin—Larkins, buru-buru menampiknya. Subaru cemberut terhadap sikap dinginnya.

“Kau kenal dia?” tanya Emilia.

“Ah. Ya, wajahnya familiar ketika pertama kali aku bertemu Emilia-tan di gang. Saat itu Reinhard menyelamatkanku dari perampolan.”

“Eh, itu … eh, rampok?”

“Berikutnya adalah ketika kau dipanggil ke Konferensi Kandidat Raja dan terjebak di gang bersama Priscilla lalu Chin ini minta teman-temannya menyerang kita. Ya, dia orang hebat.”

“Bagi seorang wanita seperti Betty dia mirip sampah, kayaknya.”

Mendengar ucapan Subaru, Emilia serta Beatrice bereaksi. Garfiel yang tadinya mundur meretakkan buku-buku jari, ekspresi Joshua jadi lebih serius.

Situasinya jadi lebih mencekam, wajah Larkins yang sudah pucat berubah putih.

“T-tunggu, tunggu. Mungkin kejadiannya lama sekali, tapi biarkan aku menjelaskan alasan kedatanganku dan mohon dimaafkan dan dilupakan, oke?”

“Garfiel. Menurutmu bagaimana?”

“Ini belas kasih dari gua yang hebat ini, ye?” “T-tunggu, tunggu dulu! Beneran, tunggu! Tunggguuuu!”

Larkins merasakan aura Garfiel dan langsung menyadari dia tak punya peluang menang. Kau bisa bilang Larkins di sini karena keterampilan yang dia kembangan tahun lalu. Jatuh terlutut, mengemis maaf dan tangan memohon di atas kepala, lanjut menunjuk hotel.

“Sebetulnya! Aku dipanggil ke sini … tidak, oleh majikanku dipanggil ke sini! Namun beliau bilang ingin terlebih dahulu berkeliling kota sebentar, lantas aku dikirim ke penginapan untuk memberi tahu mereka. Tidak bohong!”

“Aaahh, gua paham, gua paham … tapi yah, kenapa kagak pelan-pelan ngejelasinnya?”

Sikap mengancam Garfiel tidak berubah saat mendekati Larkins. Meskipun Subaru merasa bersalah padanya, dia tak menemukan alasan apa pun untuk menganggap baik dirinya. Pakaian sudah bagus, namun wataknya tidak, jadi dia tak punya kesan baik. Maka dari itu Joshua tidak memperbolehkannya memasuki hotel. Jujur saja Subaru mengasihaninya.

“Hei, nih brengsek sial. Berantem di hotel gua yang hebat ini—ah!”

Garfiel mendesak Larkins ke sudut sambil mengepalkan tangan.

Namun gerakan Garfiel mendadak ditahan dan menghadap ke arah lain. Matanya sesaat melebar, dan menyipit, dia waspada. Rambutnya berdiri tegak, gigi, cakar, dan otot bereaksi seakan memasuki zona perang.

Reaksi mendadak dan seketika.

Naluri bertarung Garfiel terbangun, melihatnya Subaru juga ikut-ikutan panik. Mengikuti pandangan Garfiel dan ….

“Larkins, aku risau kau tidak kembali-kembali. Apa ada masalah di sini?”

Pada saat itu, Subaru melihat ilusi api berdiri di depannya.

Sang api menyala merah, mewujud menjadi manusia. Tidak, bukan hanya wujud manusia—melainkan manusia nyata. Rambut berwarna api, mata berwarna langit cerah. Tubuh ramping terbalut pakaian putih dan wajah rapihnya takkan terlupakan.

Auranya menerpa semua orang, aura-aura seorang pahlawan. Demikianlah situasi sekarang.

Tidak salah lagi. Orang ini ….

“—Reinhard.”

Mendengar suara serak Subaru, pria muda yang dipanggil itu tersenyum lembut. Senyumnya lembut sekali, bermaksud menenangkan orang lain.

Hanya dengan senyuman itu, Subaru merasa seakan dia dibawa ke tangan seorang penjaga perdamaian. Semua orang terlihat santai juga.

“Sudah lama ya, Subaru. Tidak kusangka akan melihatmu di sini. Walaupun pertemuan kita berkat Julius yang memanggil ke sini.”

“O-oh. Lama tak bertemu. Tunggu, maksudmu kau juga dipanggil Julius?”

“Secara teknik, Felt-sama yang menerima undangan Anastasia-sama. Aku di sini cuma sebagai kesatria beliau, dan aku tidak berharap menemuimu di sini.”

Seperti biasa, kehadiran Reinhard membuat semua orang terasa kerdil. Meski Subaru pernah mengalami ini sebelumnya, tapi pengaruhnya tak pernah sampai setingkat ini, dia dapati hampir sulit melakukan percakapan santai.

Subaru mampu merasakan aura Reinhard yang sebelumnya tak dia sadari, membuktikan pertumbuhan kekuatan dirinya. Semakin Subaru terlatih semakin dia mengerti perbedaan kekuatan.

“Begitu. Sudah setahun ya? Kau kelihatan jauh lebih baik ketimbang terakhir kali kita berpisah. Membuatku senang.”

“Jangan ngomong begitu, kedengarannya sedang mengejekku saja. Memang sedikit bangga atas pertumbuhanku tapi melihatmu membuatku merasa bukan apa-apa.”

“Aku tidak bermaksud mengejek sama sekali. Dalam hal pertumbuhanku, aku pun nmerasa kecewa. Aku tidak berubah banyak setahun terakhir, sejujurnya agak memalukan.

Barangkali karena dia sudah mencapai level maksimal dan pertumbuhannya sudah hinggap di puncak. Melihat seorang pria yang jelas-jelas sangat kuat tetapi masih ingin lebih kuat lagi, Subaru merasa terintimidasi.

“Ngomong-ngomong, Subaru.” “Oh, uh, apa?”

“Dia yang selama ini menatapku, temanmukah? Kalau benar, aku ingin dia rileks sedikit.”

Reinhard tersenyum masam kepada Garfiel yang sangat tegang, seakan-akan siap maju dengan gigi dan cakarnya untuk menyerang mangsa.

Dialah senjata yang diandalkan Subaru berkali-kali tahun lalu. Akan tetapi Subaru ragu Garfiel mampu menyakiti Reinhard muda yang berdiri di hadapannya.

“Garfiel, hentikan. Ini Reinhard. Dia … temanku. Dia takkan menyakitimu, aku tak mengizinkanmu menyakitinya.”

Subaru ragu-ragun sebentar sebelum menyebut kata teman.

Pernah secara pribadi diselamatkan oleh sang Pedang Suci dan perpisahan terakhirnya dengan Reinhard terjadi setelah Subaru dihina di lapangan latihan para kesatria. Tatkala Reinhard menawarkan bantuan, Subaru menolaknya.

Selagi Subaru mempertimbangkannya, Reinhard mengangguk santai.

“Nah, aku sudah diperkenalkan oleh Subaru. Aku temannya, Reinhard van Astrea. Aku akan berterima kasih jika kau memberi tahu namamu.”

“—namaku Garfiel Tinsel.”

“Nama yang bagus. Kau terlatih. Kendati sangat muda tapi sudah hebat.” Subaru barusan dikejutkan oleh keakuratan penilaian Reinhrad.

Pada tahun sebelum Garfiel meninggalkan Sanctuary, Garfiel belajar banyak perihal dunia luar dan temperamennya lebih tenang. Seandainya mesti merelaks sikap dan cara bicaranya, maka Garfiel usianya akan dianggap dua puluh tahun, padahal sebetulnya hanya lima belas.

Pernyataan Reinhard menunjukkan bahwa dia mengetahuinya.

“Aku dengar-dengar beberapa desas-desus perkara penjaga Emilia-sama. Tameng Terkuat, Garfiel Tinsel, dan Kesatria Blasteran Elf, Natsuki Subaru. Memanggilmu teman cukup membanggakanku.”

“Aku senang gelarku dipanggil secara benar, sekali saja.”

“Aku tahu gelar-gelar lain, tapi kedengarannya kurang menyenangkan. Ngomong-ngomong, apakah roh dari gelar Kesatria Roh adalah gadis kecil di sana?”

Perhatian Reinhard beraih ke Beatrice yang menyusut di samping Subaru. Kadang kala dia memegang tangannya. Reinhard berlutut dan menatap matanya secara lansung.

“Aku tahu kau adalah roh terpuja dan agung. Aku merasa terhormat dapat berbicara denganmu seperti ini.”

“… Betty tuh roh kontrak Subaru. Aku tak membenci rasa kagummu, kayaknya. Tapi, jaga jarak saja. Aku tahu kau memahami alasannya, kayaknya.”

“Aku mengerti sepenuhnya. Maaf mengganggumu.”

Tak seperti Garfiel, Beatrice tidak mengungkap kewaspadaannya. Biarpun dia memegang erat tangan Subaru dan merasa sesak aneh, tak dapat menyembunyikan sedikit getarannya.

Tapi bukan berarti dia takut. Ada hal lainnya.

Juga Reinhard yang ucapannya sopan nan rendah hati, menghadap Emilia.

“Emilia-sama, sudah lama tak berjumpa. Bahkan dalam wilayah sendiri, saya mendengar pencapaian Anda berkali-kali.”

“Ya, lama tak bersua juga, Reinhard. Benar-benar sudah setahun semenjak kali terakhir bertemu di kastil. Kami juga mendengar pencapaianmu.”

“Kami melakukan jauh lebih minimal daripada Emilia-sama. Saya berbuat sedikit untuk membantu tuan saya. Dibanding seluruh perbuatan Subaru, saya merasa frustasi.”

“Hahahaha. Ya, Subaru menakjubkan. Dialah kesatria kebanggaanku.”

Dada Emilia membusung bangga terhadap sanjungan Reinhard. Kendati jelas-jelas melewatkan retorika sosial dalam ucapan Reinhard, mendengar tukas Emilia membuat Subaru bahagia, sekalipun situasinya sama memalukan.

Omong-omong ….

“Sepertinya salam kita sudah cukup, tapi apa barusan kau memanggil nama Larkins?”

“Ah, itu benar. Kau kenal dia, Reinhard?”

“Ya, aku kenal. Saat ini bawahan Felt-sama. Biarpun mencari bidang yang cocok untuknya sulit, Felt-sama menaruh harapan besar padanya.”

“Orang ini, Felt mempekerjakan orang ini!?”

Mendengar informasi tak terduganya, Subaru terkejut. Reinhard menghadap Subaru dan mengerutkan kening maaf atas reaksinya.

“Maaf gagal mempertimbangkan perasaanmu, terlebih lagi karena kehadiranku di gang kala pertemuan kalian berdua. Setelahnya, banyak hal terjadi … ketika aku memberi tahu Felt-sama, beliau secara langsung menyuruhku mengundangnya.”

“Ah, yah, kalau kau bilang begitu, tapi … serius nih, kebetulan macam apa ini? Orang ini, duh … cuma dia doang?”

“Felt-sama mempekerjakan tiga orang, termasuk dirinya. Ketiganya adalah orang yang mencoba merampokmu di gang.”

“Trio itu bekerja sama-sama!?”

Menghadapi takdir kejam nan sial ini, Subaru hanya dapat berteriak ke surga.

Segera setelah dipanggil ke dunia ini, Subaru berulang kali diserang oleh trio yang sama. Dia belum melupakan mereka, tetapi juga tak berharap menemui mereka di sini.

“Yah, kesampingkan kejutan Subaru …. Larkins adalah bawahanmu, dan dipekerjakan Felt-chan, betul?”

“Benar itu. Felt-sama ingin berjalan-jalan di kota dan mengirimnya ke penginapan untuk memberi tahu kedatangan beliau. Aku datang ke sini karena dia tidak balik-balik.”

Reinhard mengulang imbuh Larkins, dan Larkins mengangguk intens.

“I-itu benar! Aku mengatakannya berkali-kali. Entah kenapa semua orang meragukanku. Aku menuntut permintaan maaf, ya!”

“Larkins. Banyak kesempatan aku menyampaikannya, tapi kata-katamu sebagai seorang pembawa pesan kurang diperhatikan. Sekalipun orang dapat memahami situasi umum, mempercayaimu itu sulit.”

“Bangsat, kau di pihak mana!?”

“Aku memihak keadilan. Dan dalam hal ini, aku pikir adik temanku seratus persen akan salah paham.”

Berpaling dari Larkins yang marah-marah, Reinhard tersenyum ke Joshua yang ekspresi selanjutnya malu-malu.

“Lama tak bertemu, Reinhard-sama. Kali ini, rupanya kesalahan saya menyebabkan utusan Anda ….”

“Kesalahannya ada pada kami, Joshua. Dan juga, honorifikmu itu menyebalkan. Aku tahu kita lama tak bertemu tapi tangkahmu yang menjaga jarak itu membuatku sedikit kesepian.”

“Meski kakak terhormatku dan Reinhard-sama adalah teman, sekarang ini kalian berdua adalan lawan politik.”

“Kau belum berubah. Kau tak harus selalu meniru Julius dalam hal itu.”

Reinhard tersenyum masam sedangkan Joshua terlihat menguatkan gigi.

—pokoknya, keributan sudah mereda. Walau masalah sementara hilang, yang menggantikan adalah munculnya pertanyaan lain. Itu adalah ….

“Kendati begitu, kalau kita berdua dipanggil ke sini lantas Anastasia merencanakan apa?”

“Undangan kami menyebut beliau ingin bertukar informasi berguna dengan imbalan sesuatu. Sekalipun berpikir bahwa Anastasia-sama mungkin punya agenda tersendiri, aku tak menyangka Emilia-sama dan kau ikut diundang.”

“Apa maksudmu kita harus lebih siap akan sesuatu yang lebih mengejutkan?”

“Kemungkinannya begitu. Joshua, bagaimnaa.”

Salah satu dalang pertunjukkan, pria muda menggeser kacamata lensanya dan berkata, “Saya kira kita akan tahu nanti,” dan membelokkan topik.

Tindak-tanduk tak menyenangkannya membuat Reinhard kembali menatap hotel.

“Bangunan ini cukup langka, Seasylph Lodge. Dengar-dengar gaya arksitektur ini hanya ada di Kararagi.”

“Eeehh, itu mengejutkan. Kau juga belum pernah melihatnya. Kau pernah ke Kararagi?”

“Ya. Aku dilarang pergi ke luar negeri karena takut akan pelanggaran perjanjian masing-masing negara. Bahkan aku menghindari perbatasan. Kita cukup dekat dengan Kararagi, lantas Pristella adalah batas maksimal diriku berada.”

Emilia dan Subaru terperangah tatkala tahu larangan berpergian Reinhard. Mungkin itu hanya candaan, tetapi Reinhard yang tertawa sedikit tidak menganggapnya candaan.

Menanyakannya akan terkesan tidak enak, jadi mereka menarik kembali pertanyaannya.

“Sementara waktu kami di sini, dan agak melelahkan berlama-lama di dekat pintu masuk. Bagaimana kalau masuk ke dalam saja, sebab Felt belum datang?”

“Boleh, sekarang aku tidak sedang mengawasinya. Sesekali dia kabur bermain-main. Menyenangkan rasanya bersantai sesekali.”

“… sesekali? Bukannya dia selalu bermain?”

“Larkins, kau bilang apa?”

“Enggak, gak deh. Jadi boleh masuk tidak? Ini memang menghibur tapi ayo kita segerakan.”

Larkins dalam hati menyumah-nyumpah setelah meminta izin pergi. Reinhard hanya mendesau.

“Gerbabunglah dengan Camberly dan Gaston dalam penjagaan Felt-sama. Meskipun harusnya tidak ada bahaya apa pun, Rom-dono tidak menyertai kita, dan sekiranya Felt-sama berada dalam bahaya, kau harus berada di sana menghentikannya.”

“Ya aku paham. Kau sendiri bagaimana?”

“Aku tinggal bersama Emilia-sama di penginapan. Misalkan sesuatu terjadi, kirim sinyal dengan sihir api, aku akan di sana dalam waktu lima detik.”

“Kau tidak bercanda, ya.”

Selesai, Larkins meelewati Subaru. Setengah jalan dia menatap tajam Joshua, masih berjaga-jaga dari Reinhard. Dia benar-benar model kejahatan kecil.

“Yah, ayo masuk. Kita akan menyapa Anastasia-san dan bilang Reinhard di sini.”

“Aku yakin Joshua bertanggung jawab atas hal itu. Yah, ayo pergi.”

“… ya, maaf. Aku meminta maaf atas hal tidak menggembirakan ini.”

Joshua terlihat sedikit bingung. Apakah karena situasinya menjadi aneh? Untuk melipurnya, Subaru, Reinhard, Emilia, Garfiel, dan bahkan Beatrice ikut ke penginapan.

“Aku merasa bersalah seumpama memaksakan seluruhnya kepada Joshua.” kata Subaru.

“Aku ikut Subaru menemaninya.” ucap Reinhard.

“Ah, misal kalian berdua pergi aku pergi juga.” tutur Emilia.

“Kalo Kapten sama Emilia-sama ikut, jelas gua juga ikut.”

“Betty tak ingin satu-satunya orang yang dikecualikan … tapi jangan terlalu menyusahkanku.”

“Ya, kau menggemaskan.” tukas Subaru dan Emilia.

Mereka berdua berjalan di samping kiri dan kanan Beatrice, keduanya membelai kepala lembut. Gadis kecil itu menepis tangan mereka, sebal, dan meraih lengan baju mereka.

“Di sini. Anastasia-sama sedang melayani seorang tamu sekarang.”

Mereka berada di ruangan yang berbeda dari ruang makan asli. Subaru memandang letih Joshua. “Tamu? Apa dia mengundang lebih banyak orang lagi?” tanya Subaru.

“… kau kelak akan tahu, entah menatapku dengan mata mengancam itu atau tidak.” “Ayolah, mataku tidak semenakutkan ini!”

“Aku sudah tahu sekalipun suaramu tidak berisik seperti Monster Iblis.”

“Kasar banget, dan Monster Iblis macam apa? Anjing, kelinci, atau paus? Pilih satu.”

Demikianlah Tiga Monster Iblis paling menjengkelkan versi Subaru. Walau baginya, monster-monster lain yang punya rupa bak singa, jadi mereka tak membekas kesan ekstrim padanya.”

Selagi Subaru memilah-milah ingatannya, Reinhard melirih, “Paus,” memotong rentetan pemikiran Subaru.

“Paus, kau membicarakan Paus Putih, kan, Subaru?”

“… ya, benar itu. Paus terburuk. Seringkali aku menduga dia hendak mati dan ujungnya tidak mati-mati. Kalau dipikir lagi, kami menang karena keajaiban.”

Faktanya pertambahan jumlah paus putih jujur menjadikan kemenangan mereka sebuah keajaiban.

Monster Iblis itu luar biasa, dan bencana yang ditimbulkannya juga menggemparkan. Menyebabkan banyak sekali penderitaan hingga kini, dada Subaru terasa sesak saat memikirkannya.

“Penaklukan Paus Putih, berkenan menceritakan detailnya nanti? Aku bukan orang yang tidak ada hubungannya dengan monster itu. Meski sejarahnya panjang diceritakan.”

“—tentu saja. Soal kisahmu, jika sulit diceritakan maka tidak usah.”

Subaru samar-samar menyadari pengalaman Reinhard dengan Paus Putih. Bagi Subaru, pertarugan melawan Paus Putih adalah cita-cita lama pendekar pedang penuh rasa balas dendam. Dan Subaru juga tahu asal-usul sang Pedang Iblis, dan hubungannya dengan si anak muda rambut merah. Perihal kejadian antara mereka, Subaru tidak tahu.

—bukan topik yang boleh Subaru korek karena penasaran belaka, demikianlah penilaiannya.

“Terima kasih.”

Reinhard menanggapi secara singkat perhatian Subaru.

Subaru tak mencari apa-apa selain itu.

Melihat pandangan Reinhard merendah, Subaru mendesah panjang. Emilia dan Beatrice memandangnya, risau, Subaru tersenyum, ‘Aku tak apa.’

“Kita sampai. Mohon tunggu di ruang teh sampai pertemuan beliau-beliau berakhir.”

Joshua yang akhirnya sampai di tempat tujuan, menunjuk sebuah pintu bergaya silang. Tergantung di pintu adalah gulungan kertas. Subaru sekalipun senang merasa bahwa jiwa Jepangnya dirasa aneh.

Tapi, pemikiran optimisnya bertahan sebentar saja.

“Maaf. Berkenankah Anda bersama tamu lain?”

Mengarahkan pertanyaan kepada para tamu yang sudah menempati ruang teh. Ada seseorang di dalam yang sedikit bergeser, dan merespon.

“—boleh. Lagian tidak banyak hal yang bisa kami lakukan sekarang.”

Suara tenangnya menyulut Subaru. Terdengar familiar. Bukan hanya itu, Subaru barusan memikirkan si pemilik suara.

Tak seorang pun kecuali Subaru menyadarinya, ada pun satu orang lain, dialah Reinhard. Wajahnya kaku, mata birunya ragu-ragu.

Joshua tidak memperhatikan, dia membuka pintu. Suara lirih kayu bergeser, ketika penghuni dalam ruang teh terlihat.

Seusainya para penghuni duduk di atas tikar kain, melihat tamu-tamu baru.

“—Kakek Terhormat.”

“Reinhard-kah?”

Suara kakek dan cucu saling berbenturan.

Reuni tak disengaja antara Reinhard Van Astrea dengan Wilhelm Van Astrea.

Share this post on:
Subscribe
Notify of
guest
4 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Kodai

makasih min
gempur terus

Dany

Lanjutksn minnn

mpik

tempikk minn
tempikkk

Botolgas_Romane_Kontol

TERIMAKASIH SUDAH SENANTIASA MENTRANSLIT