Share this post on:

Jalan Menuju Kota Air

Penerjemah: Snuggly the Crow

Negoisasi antara Emilia dan Kiritaka Muse tak terduganya berlangsung lancar.

Kiritaka yang merupakan seorang pengusaha, berusaha tak mendukung salah satu kandidat raja. Akan tetapi, Emilia mendatanginya secara langsung, berarti pertemuan ini adalah peristiwa yang agak besar baginya.

Tentu saja Emilia sedang menyesap teh gratis, dan tak memikirkan tindakannya seperti itu. Garfiel semakin kecanduan makanan penutup yang disuguhkan, juga tak mempertimbangkan konsekuensi politik tindakan mereka.

Bisa diartikan begitu, di ruang resepesi Perusahaan Muse, satu-satunya orang yang sanggup membaca Kiritaka adalah Otto.

“Saya mengerti Anda telah menempuh perjalanan panjang. Maaf saya tak dapat bertemu sesuai keinginan Anda. Walaupun saya sendiri paham itu tidak sopan, namun karena posisi saya, tidak bijaksana untuk bepergian dengan bebas … selain itu, saya sudah terpikat oleh tempat ini.”

“Tidak sama sekali, alasan tersebut sangat masuk akal. Kamilah yang semestinya meminta maaf karena menganggu jadwal sibuk Anda.”

“Saya akan layani apa pun kebutuhan Anda dari saya dengan prioritas serta perhatian tertinggi.”

Sambil bertukar sapa sopan, Otto mengamati pria yang menghadpanya. Muse Kiritaka bahkan terkenal di luar Pristella. Tindak tanduknya mengungkap sosok bermartabat dan penuh gaya.

Dia masih cukup muda, mungkin seumuran dua puluh lima hingga tiga puluh. Tubuh tinggi dan rampingnya terbalut pakaian halus, rambut emas pucatnya disisir ke belakang. Ornamen yang kelihatan agak tidak nyaman menampilkan selera bagus, sifat tertutup dan terkesan jelas menggambarkan bahwa dirinya mungkin berpendidikan tinggi.

Otto sebagai Menteri Dalam Negeri Fraksi Emilia, bersama Roswaal tanpa sadar mengumpulkan pengalaman dalam negoisasi. Jadi dia segera menilai perilaku Kiritaka hampir tak tertandingi.

Berterus terang, Emilia sangat beruntung ditemani Otto.

Kalau Otto membiarkan Emilia menghadapi Kiritaka sendirian, tentu dia akan terombang-ambing oleh retorika tampilannya, dan ujung-ujungnya akan menghabiskan banyak uang untuk barang yang tak berguna.

Dari tahun lalu demikianlah kesan Otto kepada Emilia.

“Bersedia menerangkan sesuatu yang Anda perlukan dari saya? Menurut pengantar pesan Anastasia-san, yang Anda inginkan dimiliki perusahaan kami.”

“Mungkin terlalu dini untuk bilang tidak. Sebenarnya ….”

Menginterupsi Kiritaka yang mulai membahas topik utama, Otto menatap Emilia.

Emilia inginnya menyerahkan urusan negoisasi kepada Otto. Garfiel pun mempertahankan latah biasanya, makan makanan penutup sambil menatap-natap ujung ruangan, menyorot sosok santai yang dari ujung kepala sampai kakinya berpakaian serba putih.

Dari Kiritaka, pria bersetelan putih itu bertugas melindungi para karyawan dari pengunjung asertif. ‘Akhir-akhir ini dunia bukan tempat yang damai, jadi kuharap dia bisa bergabung dengan kami.’

Otto mengenal pria putih ini.

Konon katanya Perusahaan Muse Pristella mempunyai kekuatan pasukan bayaran yang dikenal sebagai White Dragon’s Scales, kelompok yang terkenal di Lugnica. Pria ini mungkin salah satu anggotanya.

Kabar burung mengklaim bahwa kelompok mereka beroperasi secara lokal, namun beberapa tahun sebelumnya, mereka membentuk hubungan erat bersama Perusahaan Muse, lalu Kiritaka adalah orang yang membentuk persekutuan dengan mereka.

“Kami punya permintaan spesial. Yakni sedang mencari jenis batu yang langka bahkan dalam standar Perusahaan Muse. Kami tengah mencari bijih sihir tanpa warna yang kemurniannya tak menakjubkan. Saya harap barang tersebut dapat kami beli dari Anda.”

Mempertimbangkan evaluasinya bahwa Kiritaka bukanlah orang ceroboh, Otto menyatakan permintaannya. Memainkan istilah tidak jelas tiada manfaat. Lagian, Kiritaka kemungkinan besar sudah tahu alasan kunjungan mereka tatkala mempersiapkan waktu pertemuan.

Dan Kiritaka mengerti pula dirinya tak dapat menolak permintaan langsung dari Emilia.

“Saya mengerti. Kami memang punya stok bijih sihir … dan memang punya bijih sihir yang kualitasnya lebih tinggi daripada stok-stok pedagang biasa. Emilia-sama, tidak peduli berapa banyak bijih tanpa warna yang Anda inginkan, kami juga bersedia mempersiapkan ….”

“Kiritaka-san. Harap langsung ke intinya. Kami sudah mengutarakan permintaan, bijih sihir tanpa warna yang tingkatan kemurniannya tertinggi. Itu saja yang kami perlukan.”

“… ini agak tidak sopan.”

Kiritaka cuma kurang lugas saja. Semata-mata menggunakan teknik negoisasi. Meskipun sepenuhnya memahami itikad Otto, Kepala Perusahaan dengan gamblangnya menyebutkan nama barang-barang lain yang ia yakini akan menarik bagi Emilia. Baginya, barang-barnag itu telah ditandai terjual jauh sebelum dimulainya negosasi. Pertanyaan satu-satunya adalah perihal harga.

“Kami tentu meminta sesuatu yang menyusahkan Anda, lantas untuk memuaskan harganya, kami mempersiapkan sesuatu yang menurut Anda akan bermanfaat. Hak menambang bijih sihir di Hutan Elior, bagian dari wilayah Mathers pendukung Emilia-sama.”

“Tolong jangan ubah menjadi semacam penipuan pengacau harga. Kami adalah satu-satunya perusahaan formal yang memperdagangkan bijih sihir mentah, lantas kami tak dapat menerima proposal ini. Dalam pekerjaan kami, kredit adalah segalanya. Saya yakin Anda tahu itu, Otto-sama?”

Otto mendesau lirih. Tampaknya Kiritaka tahu asal-usulnya.

Bisnis keluarga Suwen tidak menyamai keluarga Muse yang terkenal, namun pasti pernah mendengarnya walau sekilas. Para pemain utama yang mendukung setiap kandidat pasti akan diselidiki bersamaan dengan para kandidat itu sendiri.

Karenanya banyak pertanyaan tak terjawab oleh investigasi tersebut, termasuk nasab Emilia. Latar belakang misteriusnya tidak terlalu bermanfaat.

Garfiel tinggal di Sanctuary sepanjang hidupnya, Emilia menghabiskan satu abad membeku di Hutan Elior. Penyihir Loli dan roh kontraknya tak diketahui leluhurnya.

Lantas Otto yang identitasnya dapat dengan mudah ditemukan akan sering digunakan untuk melawannya sendiri.

“Otto-sama? Kompleksitas Anda tampaknya berubah. Anda baik-baik saja?”

“Tentu, tolong jangan khawatirkan ini. Saya hanya memikirkan sesuatu yang membingungkan dan itu meresahkan, itu saja.”

Menggeleng kepala kepada ucapan Kiritaka, Otto memutuskan untuk menyimpan rentetan pemikiran itu untuk lain waktu. Sekali lagi, dia mendesak Kiritaka agar memberikan jawaban langsung. Kiritaka bersikap mediatif.

“Jelas saja kami takkan melepaskan komoditas ini tak peduli sampai kapan Anda memohon, tentu saja kami akan mengabulkan permintaan Emilia-sama.”

“Kalau begitu ….”

“Akan tetapi, bijih sihir yang Anda pinta istimewa adanya. Faktanya, pada kesempatan saya pertama kali dikirim ke Perusahaan Muse cabang Pristella, presiden—beliau, ayah saya—memberikannya sebagai hadiah. Alih-alih dianggap sebagai barang komoditas, saya lebih condong menghargai nilai sentimentalnya.”

“….”

Entah ceritanya benar atua salah, Kiritaka membuat langkah pintar. Mendengar tukas Kiritaka, Otto menggigit bibir.

Sesuai perkataan Kiritaka, bijih sihir terlampau langka yang mereka minta tak lebih dari sekadar komoditas perdagangan. Mempertimbangkan besarnya transaksi Perusahaan Muse, kesempatan ini kelewat bagus sampai-sampai tidak mencari keuntungan tambahan.

Lantas bagaimana kompensasi atas nilainya? Bukan dengan komoditas, melainkan sentimental. Karena bijihnya penting berarti mesti ditukar hal penting.

“Aku mengerti … tidak kusangka barang itu penting bagimu.”

Ekspresi Emilia mencerminkan bahwa kisah Kiritaka nampaknya menyentuh. Otto hanya dapat menyimpulkan bahwa Kiritaka tidak cocok menjadi seorang aktor, melihat betapa bersalahnya dia.

Butuh tindakan dan usaha untuk memperoleh hasil yang diinginkan. Pikir Otto dalam hati sambil berdeham.

“Saya menghargai kebaikan Anda. Walau begitu, kami masih berharap menemukan alasan kami datang ke sini.”

“Saya paham. Aku adalah pedagang yang menjual bijih sihir, saya yakin lebih baik bersinar dengan dimiliki seseorang yang lebih memerlukannya ketimbang duduk sebagai hiasan di rumah. Saya bersedia memberikannya kepada Anda. Cuma ada beberapa syarat.”

“—syarat. Mari kita dengar.”

Setelah ditetapkan pasti ada label harga tambahan, Kiritaka memulai negoisasi nyata. Setelah Otto setuju mendengarnya, Kiritaka mengangkat tiga jari.

Syarat tidak masuk akal macam apa? Bahkan memikirkannya saja membuat Otto sedikit sakit perut.

“Pertama-tama. Perusahaan Muse tahu bahwasanya Emilia-sama mencari batu sihir ini. Namun demi mencegahnya direbut dari tangan-tangan orang jahat, kami menyembunyikan kepemilikannya. Saya harap Anda mengerti ini.”

“… itu jelas. Anda memberi tahu kami hal ini tanpa berusaha menyembunyikan apa pun telah menghilangkan seluruh kecurigaan saya.”

Awalnya Kiritaka menyangkal pengetahuan masa lalu mengenai urusan Fraksi Emilia. Tapi agar kesepakatan ini menuju kesimpulan sukses, Kiritaka meninggalkan pengetahuannya.

“Sesudahnya yang kedua. Setelah kesepakatan ini disetujui, saya ingin menginformasikan Perusahaan Hoshin perkara transaksinya dan menyampaikan keabsahannya.”

“Saya mengerti … itu tidak jadi soal.”

Tampaknya ada kesepakatan antara Perusahaan Muse serta Perusahaan Hoshin. Nyatanya dimaksudkan secara semi publik mengungkap bahwa Emilia berhutang budi kepada Anastasia.

Kendati sedikit tidak menenangkan, permintaannya sah, jadi Otto tak bisa menolak.

Sejauh ini ada permintaan yang dianggap sebagai pemecah kesepakatan. Jadi yang ketiga—begitu dia mengucapkannya, niat sejati Kiritaka menjadi jelas.

Otto menahan nafas ketika Kiritaka menurunkan jari ketiga di depannya.

“Ketiga—hindari semua kontak dengan seorang Biduanita bernama Liliana yang saat ini tinggal di kota.”

“—huh?”

Mendengar nama itu mendadak disebut, Otto membeku. Tentu saja Emilia dan Garfiel yang menemaninya bereaksi sama—tidak, lupakan saja, mereka berdua tidak berubah semenjak neoigasi dimulai. Emilia menyesap tehnya dan Garfiel menatap sosok berpakaian putih. Meskipun mereka menyerahkan seluruh negoisasinya kepada Otto, melihat kurangnya partisipasi mereka membuatnya jengkel.

“Maaf, tapi saya pikir mungkin salah dengar. Apa maksud Anda untuk menghindari kontak dengan Biduanita ….?”

“Tidak, tidak ada kesalahpahaman. Hanya itu syarat yang saya sampaikan. Seandainya punya pertanyaan, tolong tanya mereka, dan mohon pertimbangkan baik-baik kesepakatannya ….”

“Apabila Anda tak keberatan, boleh bertanya alasannya? Saat ini, saya tidak tahu hubungan kesepakatannya dengan Biduanita.”

“… bukan sesuatu yang penting. Bisa setuju dengan janji itu?”

Nada suaranya mendalam, pertama kalinya Kiritaka mengungkap sisi emosialnya. Otto yang tak memahami ketentuannya bingung mesti berbuat apa.

Sederhananya, permintaan ketiga melampaui cakrawala imajinasi. Menerimanya tak menimbulkan hambatan di masa depan Emilia, walaupun dia mungkin menyesal tak menemui Biduanita yang dia diskusikan bersama Anastasia, syaratnya tak penting-penting amat dibanding kesepakatan ini.

Yang mengejutkan adalah tanpa banyak usaha mereka bisa bersepakat.

Otto tidak menyangka negoisasinya akan berjalan lancar bukan main, ‘Walau Kiritaka pada saat ini masih bisa berubah pikiran.’ Subaru yang tersesat akan segera datang, dan urusannya akan jadi merepotkan. Sebelum dia tiba, Otto ingin mengikat kesepakatan.

“Emilia-sama, Anda setuju?”

“Mmn. Aku sedikit kecewa, tapi tidak ada pilihan lain lagi.”

Mendapat konfirmasi Emilia, Otto menyetujui kesepakatannya. Kiritaka puas sebab komitmennya diterima, dan bagian paling menegangkan negoisasi berakhir. Kini mereka bisa mendiskusikan harga moneter aktual, dan bisa jadi mengambil beberapa barang kecil.

“Ada beberapa barang berkualitas lain yang boleh jadi Anda taruh minat … maukah Anda melihatnya?”

Kiritaka berdiri dan mengambil peti kayu dari rak. Petinya diletakkan di atas meja, memancarkan cahaya saat penutupnya dibuka, Otto dan Emilia terpesona.

Di dalamnya terdapat segala jenis batu sihir, hati-hati disusun di atas bantal, yang paling bersinar adalah yang transparan.

Batu tanpa warna yang dikejar-kejar Emilia.

“Apakah Anda ingin memeriksanya?”

Mendengar ucapan Kiritaka, Emilia mengangkat kepala. Dia mengangguk dan jari gugupnya bergerak ke batu. Tapi seketika itu ….

“Emilia-sama.”

“Tuan Muda.” panggil pria bersetelan putih.

Berbarengan, kedua penjaga memanggil tuan masing-masing. Sama-sama menoleh dan menghadapi tuan mereka yang terkejut.

“Ada dua suara nyebelin yang makin deket.”

“Sepertinya ada suara langkah kaki yang datang dari bawah. Izinkan saya menyelidikinya.”

Dia berjalan tanpa suara ke pintu saat Garfiel menegangkan tubuh. Suara mengganggunya kian dekat, sampai mereka tiba di depan pintu—

“Kalian berdua kasar sekali, selalu saja mendebatkan itu! Ssshh! Emilia-tan sedang bernegoisasi di dalam ….”

Suaranya sangat familiar. Sewaktu pemikirannya terlintas di benak tiga orang dalam ruangan, pria berbaju putih membuka pintu ruang tamu, menampakkan wajah menyeramkan tak asing. Beserta dua gadis mungil di sisinya, pria ini Subaru, benar-benar layak mendapat gelar Penyihir Loli.

“—Subaru?” Mendengar panggilan Emilia, Subaru yang memucat mendapati keberadaan semua orang, Otto mau komplain, tapi dia mengamati reaksi semua orang terlebih dahulu dan menahan diri.

Lantas Subaru mengangkat tangan dan tersenyum lemah. ““A-ah …. Emilia-tan. Kebetulan banget.”

“Kebetulan? Kenapa kau berisik sekali …. Uh, Kiritaka-san?” mendengar suara terheran Emilia, reaksi Otto pun tertunda.

Tangan Kiritaka terulur ke peti kayu berisikan batu sihir dan mata sintingnya memelototi Subaru. Menggenggam batu sihir biru murni, dan ….

“Jangan-jangan, jangan, jangan, jangan, jangan, jangan, JANGAN SENTUH LILIANA-KU!”

Yang melanjutkan teriakan paniknya adalah batu sihir yang dia lempar, batunya mengarah ke Subaru dan tubuhnya diselimuti ledakan biru.

“Saya sangat minta maaf atas kejadian memalukan ini. Tuan Muda biasanya tenang, tetapi perkara yang melibatkan Liliana-san, beliau akan cepat marah … saya akan berusaha menenangkannya, namun negoisasi hari ini berakhir sudah.” ucap pria berpakaian putih.

Setelah keributannya mereda, pria paruh baya serba putih berperan sebagai mediator yang telah menenangkan kedua belah pihak. Dia menundukkan kepala penuh permintaan maaf.

Suara latah Kiritaka masih bisa terdengar dari pintu tertutup di belakangnya. Kejadian itu tak patut bagi orang luar, lantas anggota Fraksi Emilia dibawa keluar ruangan.

“Kiritaka-san benar-benar menyebalkan, bahkan merenggut kesempatanku untuk berbicara dengan Emilia-sama dan Subaru-sama! Ugh, aku kesal sekali, ugh!”

Amarah Liliana, di sisi lain pun tiada habisnya. Berbicara sambil marah-marah, dia mengumumkan akan membuat lagu baru berjudul Penguasa Kehidupan dan Kematian sang Avant-Garde, membuat Beatrice mengerutkan alis.

“Liliana-chan, mohon maafkan Tuan Muda.”

“… aku mengerti.”

Biar perlu waktu lama untuk mengerti, Liliana akhirnya terbujuk. Campur tangan Subaru telah membuat negoisasi lancarnya tak membuahkan hasil.

“Dengan kata lain, Liliana adalah penggemar fanatik, dan terobsesi dengan kita. Kiritaka tahu dan ingin mencegah kita mencurinya. Itukah inti syarat ketiga?”

“Dan baru saja hendak mengikat kesepakatannya, Natsuki-san menghancurkan semuanya. Aku paham sekarang. Apa membawamu sama sekali tidak ada manfaatnya!?”

“Aku akui ini salahku, tapi siapa kira setelah mabuk laut semuanya akan berubah menjadi seperti ini … hampir sesuatu yang tak bisa kukendalikan.”

Otto tak dapat menyembunyikan ketidakpuasannya atas hasil negoisasi.

Subaru berbicara santai, tapi dia pun hampir tak puas, dihantam batu sihir Kiritaka dan mengetahui negoisasi besok akan terlampau sulit karena Kiritaka yang marah-marah.

“Duh, duh, tidak usah berang begitu, Otto-kun. Subaru tidak sengaja melakukannya, hal-hal semacam ini sesekali terjadi.”

“Itu benar. Lanjutkanlah, Emilia-tan.”

“Aku juga punya sesuatu yang harus dikatakan kepadamu. Seharusnya jangan keras-keras kepada Liliana-san hari ini. Kita ini tamu, jadi jangan terlalu merepotkan mereka.”

“Ya, maaf.”

Subaru menundukkan kepalanya meminta maaf, dan Emilia mengangguk, ‘Baguslah.’ Otto menghela nafas tanpa daya seketika melihat tingkah laku remeh tuannya.

“Intinya, negoisasi hari ini berakhir, lantas kita mesti kembali ke Seasylph Lodge …. Sayangnya aku punya sesuatu yang harus dihadiri terlebih dahulu. Jadi aku akan bertemu kembali dengan semua orang nanti.”

“Sesuatu yang dihadiri?”

Mendengar imbuh tak terduganya, semua orang berpaling ke Otto yang menunjuk markas Perusahaan Muse.

“Kita jauh-jauh ke Pristella, jadi aku ingin meluangkan waktu untuk mempererat hubungan di sini. Meskipun hari ini wajib diriku saja yang pergi. Suatu saat nanti akan hadir hari tatkala Emilia-sama diharuskan untuk datang. Sekiranya begitu, saya harus merepotkan Anda, Emilia-sama.”

“Ya, aku mengerti. Tapi, kenapa hari ini aku tidak dibutuhkan?”

“Jik Anda muncul mendadak, mereka mungkin tidak dapat menyambut Anda. Kita perlu mempertimbangkan ke mana mestinya pergi.”

“Ya. Aku mengerti. Aku akan mengingatnya.”

Seusai mendengar tanggapan Emilia, Otto mengujar, “Tolong segeralah pulang,” seakan-akan berbicara ke sekelompok anak bocah, kemudian menghilang ke dalam Jalan Kedua. Sedangkan Garfiel yang kendati ingin menemani Otto, dia ditolak oleh kalimat, “Tolong prioritaskan Emilia-sama.”

“Jadi, Subaru, apa yang kau bicarakan dengan Liliana-san?”

“Oh? Apa Emilia-tan khawatir diriku bicara dengan gadis-gadis lain? Aku jadi penasaran. Senang mengetahui perubahan halus ini.”

“Tidak. Jangan gelisah, aku hanya ingin tahu orang macam apa Biduanita itu. Tidak apa meskipun kau salah paham.”

“Lebih baik aku salah paham, di sini!?”

Emilia senantiasa secara alami dan tanpa ampun menusuk hati Subaru. Tapi bagaimanapun juga, si gadis memberikan alasan untuk mengobrol dengannya, lantas pria itu mulai menceritakan kejadian sebelumnya.

“Awal-awal, ketika kami berpapasan di taman, aku pikir lagunya sungguh berpengaruh. Performanya mengagumkan bagi seorang Biduanita. Benarkan, Beako?”

“Aku tidak menyangkal yang ini. Tidak kusangkal, kayaknya.”

Beatrice stres sekali, apa yang terjadi?” tanya Emilia.

“—talenta di suatu bidang ganjarannya menghapus kompetensi di bidang lain. Liliana secara sempurna menggambarkan makna kalimat tersebut.”

Subaru seratus persen memahami stress Beatrice. Liliana mencurahkan hati serta jiwanya ke dalam musik, dan efek sampingnya menjadi gadis yang agak menyedihkan.

“Singkatnya, alih-alih menjadi orang yang sungguhan berbakat dalam satu bidang, kau harus berusaha menjadi orang sukses dalam masyarakat.”

“Oohh, filosofis banget, Kapten. Nyanyiannya bisa ngebuat orang mikir kek gitu, pasti hebat.

“Tidak kusangkal lagi. Ngomong-ngomong, kesimpulannya Liliana orang seperti itu.”

Semua orang kembali ke penginapan dengan berjalan kaki. Bila mereka lewat kanal lagi maka Subaru akan mabuk laut dan ditinggalkan kembali.

“Sebagaimana perkataan Otto-kun, tidak mudah pergi ke sini, jadi aku ingin berjalan-jalan dan mengingat jalan-jalan indah ini.”

Daripada membuat Subaru merasa bersalah mereka malah berjalan demi kebaikannya, Emilia mengutarakan alasannya sebagai permintaan lucu. Subaru tidak komplain, dan Beatrice pun tidak keberatan.

“Kalau aku tidak dapat menemani Emilia-tan kembali ke penginapan, aku bakal gelisah parah.”

“Tidak perlu khawatir. Jikalau kita tertimpa masalah maka Betty akan menyentuh dinding kiri, kayaknya.”

“Aku kira sudah menjelaskan metode cacat itu.”

“Kalian berdua kagak usah resah, lu punya hidung gua yang hebat ini. Entah bau penginapan atau setan kecil itu, gua yang hebat bakal inget.”

“—heh.”

Memperhatikan bahwa Garfiel menggunakan aroma Mimi sebagai contoh, Subaru tanpa sadar tertawa jahat. Reaksi anak kucing kecil kepada Garfiel meskipun mengejutkan dan membingungkan mungkin tidak lain adalah niat baik. Ditambah lagi mereka seusia. Subaru berpikir mereka bakal cocok.

Kebetulan Garfiel belum berubah, ingin mendedikasikan dirinya kepada Ram. Dan Ram cuma menganggapnya seorang adik, tidak lebih dari itu.

“Pokoknya, Garfiel. Kau ini adek gua, jadi sebagai kakak aku mendoakan kesuksesan cintamu.”

“Haa? Lu kok sok-sokan ngomong hal sensitif, Kapten? Buat gua muak aje.”

Subaru mengenakan ekspresi, ‘Aku mengerti kok,’ sambil menepuk-nepuk bahu Garfiel. Garfiel mengangkat kepala dan ketawa, memperlihatkan senyum bergigi tajamnya. Subaru berharap dari lubuk hati terdalam bahwa Garfiel yang baik hati ini akan menemukan kebahagiannya. “Benar-benar kota yang menyenangkan. Semuanya terlihat sangat segar dan orang-orang di sini kelihatan bahagia. Aku merasa bersemangat.”

Lingkungan mereka nampak menyenangkan Emilia, dan dari ekspresinya Subaru pun turut senang. Dia masuk akal sih. Arsitektur kota pasti sangat sukar didesain, dan segala sesuatu yang fungsional nampaknya berfungsi sebagai sebuah karya seni. Pelengkap wahidnya ialah kanal indah Pristella yang gunanya sebagai jalur transportasi.

“Biarpun kotanya dibangun seperti ini, sumber desainnya tak diketahui.”

“Konon katanya pembangunan dilandaskan teknologi termaju ketika itu, karena ada hubungannya dengan hewan buas yang terjebak dalam kota. Tapi itu tak merombak kemuliannya, benar?”

Emilia berhenti di jembatan yang menghadap kanal lalu tersenyum.

Subaru yang dikuasai suasana hati, mengangguk seakan mendeklarasikan, ‘Ya.’

 Entah apa alasannya, Subaru sampai di sini, di titik ini. Hasil yang dia dapatkan serta gapai selama masih dapat digapai, tak ada lagi hal vital lain.

Karena bagian terpenting dari semuanya bukanlah awal, melainkan akhir.

“Kau yang bilang, Bu.”

“Maksudmu, jika hasilnya bagus maka semuanya oke-oke saja?”

“Barusan, kau bilang apa?”

“Aku baru mengingat kalimat magis yang diimbuh wanita paling kuhormati di dunia ini.”

Hari-hari kenangan itu berlalu sudah, kendati begitu Subaru mendapatkan banyak keberanian darinya.

Mustahil melupakannya, sebab pelajaran yang dia dapatkan tak terlupakan. Natsuki Subaru hari ini hidup bersama kenangannya.

Melihat Subaru dan Emilia saling tertawa, Garfiel serta Beatrice diam saja di samping.

Seolah dunia milik mereka berdua, dan tidak ada yang menganggu. Bahkan Beatrice mengakuinya.

“Ekspresi wajahnya kelihatan bego, kayaknya.”

“Pas seorang pria bersenang-senang sama wanita yang dia sukai, jelas dia bakal gitu. Gua yang hebat ini lega. Keknya Kapten beneran seorang pria sejati.”

“Aku ingin tahu apa maksudnya, kayaknya.”

“Tidak, cuma Kapten dikelilingin ama cewek-cewek yang kekecilan buat cowok …. Kalau dia kagak deket ama Emilia-sama, pasti ada yang salah paham.”

“Subaru itu pria maskulin! Dia seorang pria sekaligus orang cabul, kayaknya! Selalu saja menyentuh Betty dan Petra, kayaknya!”

“Bukan cara nyampein yang bagus, ye?”

Keduanya berbicara panjang lebar mengenai Subaru, dan reputasinya yang suka menyentuh gadis-gadis yang lebih muda darinya. Subaru dan Emilia puas melihat kota air, sampai tak mendengar dialog irasional yang terjadi di belakang mereka.

“Baiklah, waktunya kembali. Ditambah lagi, aku agak ingin mengagumi penginapannya. Desainnya aneh tapi menarik.

“Arsitektur bergaya wafu. Aku pun ingin melihatnya lagi, meski berbeda dan kurang bisa dihargai seperti Emilia-tan.”

“Begitukah? Haha, lantas kita mesti cepat.”

Emilia menarik tngannya dari pagar, dan mundur beberapa langkah sambil tersenyum gembira. Karena dia merasa agak tidak sabar, dia tidak sempat memastikan seseorang di belakangnya.

“Ah.”

“Etss.”

Dia mundur dan menabrak seorang pria bertudung yang sekadar lewat. Emilia tersandung sedikit, namun pria itu mengulurkan tangan agar dia tidak jatuh.

“M-maaf. A-aku tidak melihat ke belakang ….”

“Saya meminta maaf juga. Anak ini merepotkan. Nanti akan aku marahi.”

Emilia yang bingung meminta maaf kepada pria yang memakai tudung. Subaru bergabung dengannya dan menunduk ke si pria. Berhati-hati dan tak menyebut namanya, mengambil tindakan pencegahan agar orang-orang tak menyadari identitas sebenarnya, kalau tidak akan ada keributan di jalanan. Tentu saja tudung yang dikenakan Emilia adalah satu-satunya barang yang menyembunyikan identitasnya.

Mana kala mereka bertatapan sekilas saja dengan seseorang, akan terpicu masalah besar. Kali ini juga.

“Kali ini akulah yang ceroboh. Lagipula, diriku dialihkan oleh dirimu.” “Dialihkan?” tanya Subaru.

“Nona yang baru saja aku temui punya rambut perak seorang gadis cantik, betul. Seorang gadis yang pernah ingin kunikahi punya rambut sewarna. Mengingat rambut itu, sekarang aku tak menghindarinya tepat waktu.”

Kata-katanya kedengaran mendesak, namun suaranya serasa lambat dan mabuk.

Menimbang suaranya, pria ini mengenakan jubah panjang dan umurnya cukup muda. Mengungkit-ngungkit pernikahan, Subaru membeku dan segara menghakiminya sebagai pria yang ingin dia cegah dekat-dekat Emilia.

“Yah, bisa kita anggap kesalahan dari kedua belah pihak. Karena kita sama-sama minta maaf, kami bisa pergi sekarang.”

“Tunggu, Subaru. Permintaan maaf itu tidak tulus dan kesannya apatis ….”

“Itu tidak apa, kan?” “….”

Subaru ingin Emilia pergi saja, dan Emilia nampaknya terdiam seribu bahasa. Melihat perilaku mereka, pria ini menggeleng kepala pelan.

“Aku tidak keberatan. Aku tak menaruh amarah ataupun menyalahkan kalian. Andai kata ingin pergi, maka kupersilahkan. Andaikan kita bertemu lagi, takdir ‘kan membuktikan kesempatan lain.”

“Ahhh, itu benari sekali. Baiklah, mungkin takdir akan membimbing kita ke pertemuan masa depan.”

Menerima salam perpisahan puitisnya, tanggapan Subaru serupa dan pergi sambil memegang tangan Emilia. Subaru melirik perempuannya sekilas. Saat itu entah karena alasan apa, Emilia memasang raut wajah bermakna tatkala dia menoleh ke belakang dan menatap pria yang barusan mereka tinggalkan.

“Memang sopan santunku buruk, tapi aku ingin melindungi Emilia-tan dan menjauhkannya dari orang aneh itu.”

“Hmm? Ah benar. Aku sungguh-sungguh berpikir tingkah laku Subaru baik nian, karena itu salahku, bukan itu yang aku pikirkan ….”

Berhenti sejenak, mata Emilia kebingungan. Akan tetapi, ekspresi rancu dan bibir gemetaran, dia melanjutkan ….

“Lelaki itu barusan, rasanya pernah bertemu dengannya … perasaanku begitu, tapi, lantaran wajahnya tersembunyi, aku jadi tidak yakin ….”

“Seseorang yang Emilia-tan kenal? Wah, aku harusnya kenal dia juga.”

“Mmmn … tapi, aku tidak yakin. Dia siapa?”

Mungkin masih mengganggunya, Emilia sekali lagi berbalik. Tetapi sosok itu telah menghilang, dan wanita itu tak tahu ke mana perginya dia.

“Ey, Kapten. Ngapa gugup banget megang tangan Emilia-sama? Takut orang mau nyulik dia?”

Melihat Subaru dan Emilia muncul dari jembatan, Garfiel menghampiri dan Subaru menjulurkan lidah.

“Goblok, bukan waktunya bercanda. Andai kata ada orang aneh berkeliaran, kau mestinya membantu kami. Kalau musuh itu tidak bisa kutangani maka Emilia-tan akan dalam bahaya.”

“Misal itu kejadian, kalo gitu bakal lu lindungi segenap jiwa. Itu yang ngebuat Kapten seorang pria sejati.”

“Kiranya aku beraksi sebagai perisai mungkin bisa menahan satu serangan. Lantas bila musuhnya meneruskan, kita akan dalam masalah. Aku tidak percaya diri dengan pertahanan diri. Secara fisik dan mental.”

Mendengar penilaian rendah hati Subaru tentang dirinya, Garfiel tertawa. Bocah itu cuma yakin Kaptennya merendah saja, namun bagi Subaru penilaiannya tepat. Mungkin sebaiknya bilang bahwa Garfiel melebih-lebihkan Subaru.

“Gak usah khawatir. Gua yang hebat ini mikirin tempik-tempik yang nyerang lu, mereka bakal diterbangin, kagak salah lagi pasti kek gitu. Lagian tuh orang dari gerak-geriknya kagak tau caranya bertarung. Hanya pria biasa doang, kagak ngerti seni bela diri.”

“Kau tahu itu?”

“Sekali lihat aja udah paham. Gua juga tahu Kapten suka maenin pedang. Gua yang hebat ini udah sadar dari gerakan pergelangan tangan.”

“Masa? Roman-romannya ada semacam trik magis di situ.”

Subaru tak pernah memberi tahu Garfiel perihal pengalamannya memainkan kendo1. Subaru tahu keterampilannya takkan berguna di dunia ini. Namun latihannya menghasilkan manfaat yang dapat dilihat praktisi-praktisi pengetahuan luas dalam semesta ini.

“Begitulah, kau masih gelisahkah, Emilia-tan?”

Subaru memusatkan pemikirannya ke satu sisi dan berbicara dengan Emilia, dia masih menatap sekeliling dan menggeleng kepalanya pertanda menyerah.

“Hmm, sudah oke. Maaf menyusahkanmu. Ayo kembali.”

“Yah, saat kita kembali, peluk saja Mimi sebentar agar kau merasa lebih baik. Aduuhh, aku yang akan memelukmu sih, Beako, jadi tak usah khawatir.”

“Betty belum bilang apa-apa!”

Mendengar keluhan Beatrice dan paras bangga Subaru, Emilia tertawa. Setelahnya menutup mulut diikuti responnya:

“Benar itu, memeluk Mimi kayaknya menghibur. Aku pasti akan melakukannya.

Seketika Emilia berbicara, dia memeriksa sekelilingnya lagi, lalu buang muka risaunya digantikan senyuman.


“—begitu rupanya. Kini aku paham maksudnya.”

Seorang pria berbicara dalam balutan mantel, pria bertudung sebelumnya. Mengingat gadis yang baru saja dia sentuh, sudut mulutnya tersenyum, senyum yang mengisyaratkan perasaan sedih.

“Aku jauh-jauh ke sini. Kalau saja bukan apa-apa lantas aku biarkan seolah tiada yang terjadi. Karena ini hadiah spesial, maka masalahnya lain.”

Kata-katanya lembut, tapi suaranya halus. Ibarat perasaannya dimasak dalam sebuah panci lengket, lalu dijemur di bawah sinar mentari dan bulan. Perasaan yang menahan ketidaknyamanan.

“Takkan kulepaskan sesuatu milikku, dan aku ingin kepemilikanku cocok. Karena aku sempurna, aku harus terus merasa puas. Merasa kosong tentu saja tidak puas.”

Pria itu berbicara sembari mengangkat kepala. Seketika itu tudungnya jatuh, menampakkan rambut putihnya, pria yang agak tidak bahagia itu berkata ….

“Aku harus menjadikannya istri ke 79-ku, tuk memuaskan kekosongan itu.”

Di kota air, seorang iblis rambut putih berbicara dengan suara penuh cemooh.

Catatan Kaki:

  1. Kendo adalah salah satu budo seni bela diri Jepang yang dipraktekkan dengan gu (peralatan). Ini juga salah satu olahraga paling populer di Jepang. Sejak 2012, sekolah SMP di Jepang telah mengadopsi budo sebagai pelajaran wajib (pilihannya adalah judo, sumo, dan kendo).
Share this post on:
Subscribe
Notify of
guest
5 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Alter

Regulus corneas sudah muncul

Kodai

Akhir nya tiba waktu nya Subaru mati-matian

lanjut terus min

Dany

Kalo di jepan dah arc n bab brpa yak? Lanjutkan min

Fatih

Kapan updet min, hampir 3 minggu nih.

Ali Fauzi

Regulus is on the house man……menargetkan emilia sebagai mangsa istrinya