Share this post on:

Sendirian Dalam Ruang Terbatas

CH 99

Penerjemah : Undine Drop

――Dua karakter penting hilang secara bersamaan.

Alamiahnya, menghadapi situasi yang tak pernah terjadi dalam perualangan ini, membuat bagian dalam diri Subaru kalang kabut.

Berlari menyusuri Sanctuary, Subaru menuju kediaman kabin Lewes――kabin kecil di pinggiran desa tempat dia tinggal setelah menyerahkan kediamannya kepada Emilia.

“… Lihat siapa yang datang.”

Ketika Subaru membuka pintu dan merengsek masuk, dia mendapati Garfiel berdiri tidak tenang di sana, menunggunya. Dengan tangan disilangkan, hidung berkerut, wajah kesalnya terlihat jelas, dia memelototi Subaru.

“Lama banget sih lu. Mau sampe kapan lu buat gua nunggu?”

“Yah. Aku pergi ke sini secepat mungkin …. Tapi lupakan saja itu, apa maksudnya Lewes-san menghilang?”

“Lu buta ye?”

Garfiel menyentak dagunya, menunjukkan ruang sempit. Melihat ruang itu, cukup luas untuk dijadikan tempat penginapan sementara Lewes berbentuk gubuk sederhana tanpa perabotan terkecuali tempat tidur.

Andai kata Lewes tidak berada di tempat tidur itu, maka tidak salah lagi dia sedang tidak di rumah.

Mengontrol nafasnya, Subaru cepat-cepat menyeka telinga di dahinya menggunakan lengan baju.

“Tentu saja dia tidak di sini, tapi … menyebutnya menghilang bukannya keterlaluan? Lewes-san barangkali terlihat menghilang, tapi dia ‘kan sudah besar. Mungkin lagi jalan-jalan di luar atau semacamnya, tidak perlu untuk――”

“Bacot, lu tau apa sih!? Nenek tidak pernah menghilang tanpa alasan. Gua juga kagak pernah melihatnya kelamaan tidur atau terus-terusan berada di kasur, lu bilang dia jalan-jalan? Lu mau gua makan, ya!?”

“Cara pengutaraan yang kasar, tapi hidupmu bersama Lewes-san kedengarannya cukup nyaman ….”

Walaupun keadaan mereka seperti itu, dasar dari anggapan bahwa Lewes menghilang sejatinya agak lemah. Mengatakan demikian, Subaru melemas, menatap Garfiel yang tanpaknya tidak sesentimen Subaru. Dia menghampirinya, menegakkan punggungnya, kemudian memamerkan gigi-giginya.

“Ini belom pernah terjadi sebelumnya, tapi pagi ini tidak pernah terjadi hal itu di sini, itu karena intervensi orang-orang lu, orang goblok pun tahu itu. ――Kalian ngapa-ngapain Nenek gua, kan?”

Walau Garfiel terlihat sangat berbakat untuk menuduh-nuduh orang tanpa bukti, kali ini kecurigaannya tepat sasaran.

Lewes――Saat ini Lewes Theta――menghilang karena Subaru. Sulit membayangkan seseorang menculiknya dan Emilia dalam satu waktu.

Dia pergi tanpa meninggalkan pesan ke Garfiel. Sebagaimana Emilia, dia terhalang Penghalang Sanctuary, lantas Emilia tidak bisa kabur keluar. Dengan kata lain, memang sudah niatnya untuk bersembunyi. ――Dan tenggat waktu atas kejar-kejaran Lewes lebih menekan ketimbang Emilia.

“Sekiranya aku tidak menemukan Theta-san pada hari ini ….”

Jadwal rotasi akan merubah eksistensinya menuju Lewes besok――Alpha, Beta, atau Sigma yang akan menggantikannya. Kalau itu terjadi, Subaru tidak akan punya kesempatan lain untuk berbincang dengan Theta dalam batas waktu dua hari itu, dan rencana sempurnanya mengurus Sanctuary akan gagal.

“They … ta?”

Mendengar Subaru memanggil Theyta alih-alih Lewes, wajah Garfiel muncul pertanyaan. Subaru hendak meminta bantuan Garfiel untuk mencari Theta, tetapi dia menutup gagasan itu sewaktu melihat ekspresinya.

Pertanyaan yang muncul dalam diri Subaru membuatnya terbungkam.

“――――”

Pertanyaan sederhana, tapi tidak pernah dia konfirmasi.

――――Apakah Garfiel betul-betul tahu tentang empat kepribadian perwakilan Lewes?

Garfiel tentu tahu tentang Lewes Meyer dalam kristal yang disimpan jauh di dalam hutan. Dia pernah menantang Ujian, bertemu Echidona, dan terkualifikasi sebagai Apostle Keserakahan. Alamiahnya, memegang Wewenang kekuasaan atas para replika, Garfiel menyadari keberadaan kloningan Lewes yang hampir identik.

Tapi, bagaimana dengan yang lainnya? Apakah Garfiel tahu mengenai empat kepribadian Lewes, Alpha, Beta, Sigma, dan Theta?

“Ngapa lu? Tiba-tiba diem begitu. Kalau tau sesuatu, kasih tau sekarang. Langsung dan jujur, pepatah bilang Lib-Lib seneng-seneng aje walau kena tipu.”

“Kedengarannya Lib-Lib akan ditipu selamanya seperti itu ….”

Membayangkan kisah beberapa pangeran senang, Subaru tidak yakin mau jawab apa pertanyaan Garfiel.

Konfrontasinya dengan Garfiel seharusnya merupakan barikade terakhir tuk menyelesaikan rute Sanctuary. Jujur saja, Subaru hampir tidak siap melawannya tanpa mendengar ocehan apa pun dari Theta. Meski begitu, jawaban apa pun yang dituturkan dapat mempengaruhi hasilnya secara tidak langsung.

――Bagiamana responnya? Setelah melewati banyak pertimbangan, Subaru menjawabnya ….

“Nah, Garfiel. Bukankah kau bisa memanggil Lewes-san kapan saja?”

“――――Gh!”

Segera, Subaru melihat ekspresi Garfiel berubah menjadi geram. Matanya goyah ragu-ragu sambil melangkah maju, meraih kerah Subaru.

Jarak mereka sangat dekat sampai-sampai dahi mereka hampir bersentuhan, pupil emas Garfiel mendidih penuh amarah――amarah yang begitu kuat hingga mampu membakar lawannya menjadi abu cuma lewat tatapan.

“Lu ngomong apaan sih …. Gua kagak ngerti sama sekali soal Milfram yang lu omongin ini!”

“A-aku tidak tahu Milfram itu apa, tapi … itu bukan reaksi orang yang sama sekali tidak punya petunjuk, benar … hei keparat, lepaskan aku.”

Mungkin marah-marah dan meraih kerah Subaru adalah caranya menenangkan diri. Perkataan Garfiel selagi berusaha menantangnya omong kosong betul.

Pengamatan Subaru tepat sasaran, genggaman Garfiel melonggar dan Subaru memanfaatkan kesempatan ini untuk lepas darinya. Membenarkan pakaiannya yang kusut, Subaru mundur membuat jarak.

“Maksudnya seperti yang kuimbuhkan. Aku tahu kau tidak setolol itu sampai tidak mengerti. Kau punya solusi tercepat nan sederhana, kan. Kenapa tidak kau gunakan saja?”

“Lu ngomong gitu seolah-olah gampang … cuih.”

Pipi Garfiel memelintir jijik selagi tatapannya kepada Subaru penuh kebencian besar.

Namun, walaupun besarnya kemarahan dan kebencian yang terpendam dalam mata itu, Subaru jelas bisa melihat bayangan kesedihan yang tercampur di dalamnya.

Melihat sedikit kesedihan, wajah Subaru berubah, tapi Garfiel merasakan emosi di dalam dirinya sudah ketahuan, dia mendecakkan lidah dan memalingkan muka.

“Gini nih gua kaga boleh lengah sama bajingan yang punya kualifikasi. Entah palalu diisi apaan sama si Penyihir. Tapi jangan main-main sama gua, jangan main-main sama gua.”

“――――”

“Jadi lu juga tau soal tanah percobaan Nenek? Kalau gitu lu pasti juga tau asal-usul kristal Nenek …. Bahwa itu benda bukan barang pakai biasa.”

Mendekap dadanya dengan tangan kanan, seolah-olah Garfiel berusaha menyembunyikan perasaannya dari Subaru. Biarpun barangkali secara fisik tidak di sana, Subaru mengira dia pasti menunjukkan Wewenang Komando tak kasat mata yang dia miliki. Tangannya masih mendekap di dada.

“Gua bukan elo atau Roswaal. Gua kagak bakal make sesuatu cuma karena gua bisa makenya …. Gua kagak bakal berpikir kek gitu.”

“… Garfiel.”

“Gua sendirian juga dah cukup. Selama gua masih punya diri ini, gua nggak perlu hal lain lagih. Bener-bener gak gua pake kecuali emang dah terpojok banget. ――Nenek, nenek … dia Nenek gue.”

Kata-kata terakhir itu seakan-akan sebuah bisikan. Subaru pernah mendengar Garfiel memanggil Lewes Nenek. Tapi kali ini, lebih lembut dari kali terakhir. Tanpa maksud apa-apa di baliknya, yang diucapkan pastilah pikiran sejati Garfiel.

“――Cih.”

Menyadari kesalahannya, Garfiel menghentakkan lantai. Kekuatan besar itu menggertakkan seluruh gubuk, mengirimkan titik-titik debu ke kepala Subaru selagi menunggu langkah Garfiel selanjutnya. Tahu betul bahwa dia adalah satu-satunya orang yang marah, ekspresi Garfiel makin tidak nyaman selagi mendorong Subaru ke samping.

“Minggir. Gua kagak ngomong ama lu lagi. Kalau elu kagak ngasih tahu gua Nenek dimana, gua cari sendiri dah. Pas ketemu, kagak bakal gua biarin lu ngedeketin dia lagi.”

“Kenapa begitu, kenapa seolah semuanya salahku?”

“Sebelum kalian … sebelum kalian para anjing datang, semuanya damai-damai saja, tidak ada yang terjadi di sini. Gua akan bawa penduduk Sanctuary ke masa-masa itu. Gue kagak perlu apa-apa lagi, mau itu ada di luar atau di dalam sini …. Kagak perlu apa-apa lagi.”

Pergi menyisakan kata-kata bimbang itu, Garfiel merengsek keluar dari gubuk kecil. Menekuk lututnya begitu keluar dari pintu, dia keluar sambil menyeret kaki binatangnya――sekalipun jalannya lurus, dalam hitungan detik sosoknya sudah menghilang.


Menyeka debu yang mengepul karena keberangkatan Garfiel, Subaru memeriksa kamar Lewes sekali lagi sebelum pergi.

Terlepas dari kesimpulan terburu-buru Garfiel, akankah Lewes benar-benar menghilang tanpa meninggalkan jejak? Atau sekurang-kurangnya, dia pasti meninggalkan beberapa petunjuk tentang destinasi kepergiannya――

“Tapi yah, kalau ada sesuatu di sini, orang yang mengenalnya selama bertahun-tahun pasti mengetahuinya. Hidungku tidak setajam matanya dan mataku juga tidak bagus-bagus amat ….”

Setelah lima menit pencariannya dan tidak menemukan apa-apa, Subaru mendesah dan meratapi dirinya sendiri. Keluar dari kabin, dia melihat desa, dan termenung.

“――――”

Emilia dan Lewes Theta, keduanya hampir menghilang secara bersamaan.

Kemungkinan besar, mereka berdua meninggalkan kediaman mereka atas kemauan sendiri, berusaha bersembunyi dari Subaru dan semua orang. Bahkan ada kemungkinan mereka berdua bekerja sama.

“Aku tidak tahu Emilia dan Lewes-san sedekat itu, tapi ….”

Sejak sampai di Sanctuary, kepala Emilia dijejali Ujian dan Seleksi Kerajaan. Subaru tidak ingat satu kala pun dia berinteraksi dengan seorang pun di sini.

Paling-paling cuma ngobrol sama Subaru, Ram, Otto, tapi jarang-jarang berbicara dengan Lewes atau Garfiel.

Memikirkannya lagi, kurangnya interaksi barangkali adalah alasan dia terpaku pada rasa tanggung jawabnya dan alhasil kesepian, dan disitulah letak kesalahan Subaru karena tidak cukup perhatian padanya. Bila Subaru lebih gigih lagi mengurus pekerjaannya, Emilia pasti tidak akan memendam banyak emosi, barangkali mereka juga dapat menemukan solusi yang lebih jelas terhadap masalah mereka.

“Tapi agak terlambat untuk itu, kan ….”

Bukan waktu memikirkan penyebab hilangnya Emilia. Lebih pentingnya lagi, Menyelidikinya lebih jauh justru membuat Subaru semakin menyalahkan dirinya sendiri. Tidak ada waktu untuk membenci diri sendiri.

“Untung saja Garfiel tidak tahu Emilia juga menghilang … bukan berarti dia memprioritaskan pencariannya daripada pencarian Lewes-san, entah apa yang akan dia katakan seandainya tahu itu.”

Bahkan kelegaan singkat ini tidak berguna semisal Emilia tidak segera ditemukan. Tetapi menemukan Lewes Theta juga bukan masalah yang bisa ditunda. Misalkan dia tidak meneukan Theta sebelum Garfiel menemukannya, kedepannya akan jadi sulit. Dengan kata lain, yang perlu Subaru lakukan singkatnya adalah:

“Amankan Emilia dan Lewes Theta sebelum Garfiel, cari tahu alasan Theta melawan pembebasan Sanctuary, semangati Emilia, buat dia menantang Ujian, dan lakukan semua itu dalam setengah hari, ya.”

“… Natsuki-san, seburuk apa sih jalan yang hendak kau lalui sebelum kau puas?”

Kala Subaru sampai pada kesimpulan yang agak suram itu, Otto tepat waktu muncul di dekat pintu. Tiba sedikit lebih lambat dari Subaru, yang berlari ke sini, Otto melihat-lihat inferior gubuk yang kacau lalu mengerutkan alis.

“Meski kau mengobrak-abrik seluruh rumah, paling tidak jangan sampai sekacau ini dong. Yah, perbincanganmu dengan Garfiel nampaknya berakhir baik-baik saja.”

“Kesimpulannya aman, tapi bukannya aku mendapatkan sesuatu dari itu. Omong-omong, sudah kutegaskan kembali situasinya dan langkah selanjutnya sesuaikan dengan rencana.”

“Yang aku dapatkan dari rencana itu kita kedapatan masalah baru di atas masalah lama dan sekarang jadi berantakan semuanya, kurang lebih begitu.”

“…”

Tidak mampu membalas impresi akurat Otto, Subaru melemaskan bahunya.

Namun demikian, kenyataan Subaru merasa lebih tenang dari sebelumnya adalah karena kehadiran Otto, berarti dia tidak perlu lagi bersedih hati sendirian.

“… Rasanya tidak enak jika kau terus menatapku dengan mata lega itu, tahu.”

“――? Ha?”

“Lupakan semua yang kukatakan. Nampaknya kau tidak sadar-sadar juga, ya. Kagak mungkin kau akan sadar. Aaaagghhhh tapi andai kau sadar dan sengaja menyodorkan hal ini padaku, nantinya aku jadi keseret juga sama semuanya, betul ‘kan ….”

Melihat Otto mengacak-acak rambut abu-abunya. Subaru memiringkan kepala. Tapi, tanpa menjawab paras linglung Subaru, “Ngomong-ngomong!” Otto berteriak ….

“Tidak salah lagi situasi tanpa harapan ini semakin memburuk. Jadi kita harus apa? Kini situasinya sudah ingin membuatku kabur saja dari sini, bagaimana jalan keluarnya? Firasatku bilang andaikan kita cepat-cepat mulai dari sekarang kita masih bisa menyelesaikan semuanya dan melanjutkan rencana.”

“Setelah kau melihat dan mendengar semuanya, pikirmu kita bisa meninggalkan semuanya dan kabur begitu saja? Kita bukan orang yang melakukan sesuatu tanpa disertai tanggung-jawab, kan?”

“… Nyatanya Emilia-sama melakukan persis seperti yang kau katakan.”

Memalingkan muka, Otto bergumam sambil menghela nafas.

Bukan karena dendam. Otto hanya melampiaskan ketidakpuasan yang terpendam di dadanya. Menyadari hal ini, Subaru tidak menyalahkannya.

Subaru semata-mata menggelengkan kepalanya pelan-pelan.

“Emilia bukan tipe gadis yang balik badan kemudian lari dari masalahnya ….”

“Kok bisa kau bilang begitu? Natsuki-san. Yang kukatakan tadi sungguh-sungguh, apa kau yakin tidak kelewat terpaku oleh sisi menarik Emilia-sama?”

“… Maksudnya apa pula. Yah, benar sih, Emilia terlampau cantik sampai-sampai mataku mau meledak.”

“Soal itu aku setuju, kau tentu tahu bukan itu yang aku masuk.”

Mendapati lelucon kadaluarsanya tersingkir, Subaru mengerutkan bibir di hadapan Otto. Seakan menyakitkan untuk melihatnya, Otto mengangkat jari lalu berkata, “Kau dengar tidak?”

“Aku paham kenapa kau hanya ingin melihat sisi baik gebetanmu. Aku yakin hal semacam itu tuh umum banget. Dan aku tidak menyalahkanmu karena membayangkan cita-citamu bersamanya.”

“――――”

“Tapi Emilia-sama bukanlah insan sempurna. Faktanya, dia punya beberapa masalah. Dan masalah itu termasuk faktor-faktor yang sepenuhnya di luar kendali. Darah keturunannya, kedudukannya, dan hal lain juga termasuk.”

Mendengarkan pidato lancar Otto, Subaru mengira Otto pasti ingin menguliahinya tentang hal ini selama beberapa waktu dan telah menyiapkan kata-kata itu sebelumnya.

Dan memang sih, tukasnya keras dan sama sekali tidak bisa dibantah.

“Alamiahnya, faktor-faktor eksternal itu tidak terkait pada kemurnian batin Emilia-sama. Dan kecantikan luarnya menambah daya tariknya. Tapi, Natsuki-san. Emilia-sama hanya manusia biasa … sekadar gadis biasa. Dan sebagaimana gadis biasa, dia juga bisa khawatir, lemah, dan memiliki aspek-aspek tak atraktif juga.”

“Tapi ‘kan, cuma Emilia yang ….”

“Bukankah aneh kau hanya melihat sisi baik Emilia-sama semata? Natsuki-san, sejak kedatanganmu ke Sanctuary, kau pasti melihat banyak kekurangan Emilia-sama secara langsung, kan? Kekurangan itu takkan terjadi di tempat ini tapi terjadi di masa depan juga. Lagian aspirasi Emilia-sama yang terlalu tinggi di atas jangkauan orang-orang biasa.”

Itulah pendapat Otto tentang tingginya aspirasi Emilia――yakni Tahta.

Puncak yang banyak orang lain cita-citakan, seperti Emilia.

Ada Crusch Karsten, mulia dan tulus, idealisme kelas atas dan kemampuannya tak terbantahkan.

Priscilla Barielle, sombong dan berbahaya, kehendaknya adalah absolut.

Anastasia Hoshin, serakah dan penuh perhitungan, mencurahkan segalanya demi mewujudkan mimpi, posisinya saat ini diperoleh karena semangat kompetitifnya yang tak tertandingi.

Ada juga Felt, masih miskin dan lemah di posisi awalnya, namun didorong oleh ambisi yang melampaui umur mudanya sampai-sampai tak menghentikan dirinya tuk berhenti di tempat.

Semua kandidat Seleksi Kerajaan memiliki tekad, determinasi yang tiada tara.

Menghadapi lawan-lawan yang layak ini, apakah Emilia sungguh-sungguh cocok untuk berdiri di antara para petarung itu?

Emilia baik, baik dari semua orang di dunia. Tapi apakah itu saja cukup?

“Saat ini, Emilia-sama masih kurang dalam segala hal. Dia belum siap. Dan kondisinya sekarang, barangkali dia bisa tersentak dan kabur dari kesulitan kapan saja. Dia memilih melarikan diri dari momen-momen sulit ini. Tidakkah kau melihatnya, Natsuki-san?”

“… Tapi itu …. Aku tidak …. Emilia tidak akan ….”

Tidak akan. Sebesar keinginannya untuk melanjutkan perkataannya, namun dia tidak bisa.

Tidak bisa meramu kata-katanya. Perasaan itu persis ada di sana, perasaannya mengenai Emilia. Namun bagaimana dia bentuk menjadi kata-kata sehingga Otto mengerti?

“――――”

“… Kau sangat keras kepala, kau tahu itu, benar?”

Subaru menggigit bibirnya dan hanya melihat Otto dengan mata tidak terima. Tapi, melihat mata itu, Otto memalingkan pandangan.

Dia mengangkat bahu dan menggelengkan kepalanya karena terkejut lalu melihat desa.

“Saat ini kita tidak mesti mencari kesimpulannya. Membicarakannya tidak mengubah situasi. Yah kita masih harus menemukan Emilia-sama dan Lewes-san.”

“… Maaf. Aku tahu ada banyak hal yang mesti kita bicarakan baik-baik.”

“Karena kita teman nanti sajalah. ――Jadi, kita harus apa sekarang?”

Menyentak dagunya――mengarah ke Sanctuary, Otto menyerahkan aksi selanjutnya kepada Subaru.

Mereka harus berlari, atau bertarung? Orang pertama yang mesti mereka cari dahulu siapa? Kenyataan bahwasanya Otto menyerahkan keputusan itu kepada Subaru merupakan bukti besarnya kepercayaan Otto padanya.

Meskipun Subaru tidak berniat meremehkan kepercayaan itu, laki-laki itu sendiri tidak bisa menahan senyum atas berkat yang telah dilimpahkan kepadanya.

Lantas ….

“Garfiel tidak tahu Emilia menghilang. Dan walaupun Garfiel menemukan Emilia, tidak akan terlalu jadi persoalan. ――Hal terburuknya adalah Garfiel menemukan Lewes-san duluan. Kalau kita kehilangan kesempatan untuk berbicara dengan Lewes-san, kita malah akan semakin jauh dari akhir bahagia.”

“… Maksudnya?”

“――Kita cari Lewes-san dulu. Kudu kita temukan duluan sebelum Garfiel, dan dengarkan perkataannya.”


“――Emilia. Semua orang ingin mendiskusikan hal penting. Jadi jangan nakal dan tunggu di tempat biasanya, oke?”

Setelahnya, Emilia muda didorong ke sebuah lubang pohon besar di dalam hutan――lubang itu disebut Ruang Putri――salah satu hal dalam hidupnya yang tidak terlalu Emilia sukai.

Di suatu desa dalam hutan tempat tinggal rahasia para Elf, Emilia tumbuh dicintai semua orang.

Semua orang dewasa menyayanginya dan menuruti keinginan kecilnya tanpa keluhan sedikit pun. Walaupun jarang bermain bersama anak-anak lain membuatnya sedikit kesepian, dia mesti mengikuti istruksinya. Peraturan seperti itu harus dipegang teguh, itulah yang dikatakan ibu angkatnya, Fortuna.

Fortuna adalah orang yang merawat Emilia di desa Elven, seseorang yang sudah dianggap ibu bagi Emilia.

Rambutnya perak dan matanya kecubung seperti Emilia, namun dia memotong pendek rambutnya karena rambut panjang terlalu merepotkan, yang membedakan adalah ketajaman mata mereka.

Emilia tidak lagi ingat kapan dia mulai tinggal bersama Fortuna. Yang dia tahu Fortuna bukanlah ibu kandungnya melainkan kerabat sedarah yang statusnya adalah seorang bibi.

“Aku adalah adik ayahmu, tahu. Kakakku … ayahmu dan ibumu sedang sibuk dan tidak bisa menemanimu … lantas mereka memintaku merawatmu.”

Penjelasan Fortuna mengejutkan Emilia. Tapi, kejutan itu bukan berarti negatif. Walaupun dia terus bersikukuh bahwa Fortuna bukanlah ibu kandung, namun bagi Emilia, Fortuna tidak salah lagi adalah ibunya.

Dan, selain Fortuna sebagai ibunya, dia punya ayah dan ibu kandung juga. Biasanya seseorang cuma punya dua orang tua, seorang ibu dan ayah, tapi Emilia punya ayah dan dua orang ibu. Beruntung sekali dirinya, pikir Emilia kala itu.

“Rambut perakmu dari kakakku. Bahkan warna matamu juga, benar-benar warisan keluarga kita. Wajah cantikmu juga … dari ibumu. Semua orang dari nasab kita matanya menyeramkan.” Kata Fortuna.

“… Tapi aku suka mata ibu Fortuna”

Mata Fortuna biasanya intens dan nyelekit. Kadang-kadang, ketika Emilia membuatnya marah, ketajaman matanya akan meningkat, membuat Emilia bergetar hebat.

Tapi, selain saat-saat itu, Fortuna adalah ibu ideal Emilia, dan mata tajam yang menatap Emilia sebenarnya penuh kasih.

Sebagai seorang ibu, Fortuna ketat tapi baik.

Meskipun Emilia kadang kala berpikir kedisiplinan yang dipaksakan kepadanya agak berlebihan, bahkan di usianya, namun Emilia paham semua itu demi kebaikannya sendiri.

Kedisiplinan Fortuna tidak disertai kekerasan, sang ibu tak pernah memarahi Emilia karena sesuatu yang tidak masuk akal. Bahkan pada saat-saat omelannya membuat Emilia menangis kejer, malam itu juga mereka berbaikan dan tidur saling berpelukan.

“Jika ada satu hal yang sangattttttt aku sesali, itu adalah aku yang tidak cukup baik kepada orang-orang. Bila aku lebih cepat menyadarinya, kakakku takkan menunggu sampai akhir tuk mengandalkanku.”

Wajah Fortune tampak kesepian setiap kali berkata Sangattttttt.

Hal demikian meninggalkan kesan kuat dalam benak Emilia sampai-sampai dia berusaha meniru perilaku itu. Bedanya dia akan mempraktikkan itu saat dia tidak sedih, melainkan saat senang dan tertawa-tawa.

Mungkin saja sekadar keinginan biasa seorang anak untuk melukiskan kenangan akan kesepian dan kesedihan ibunya dengan memanfaatkan itu demi sesuatu yang mengangkat mood atau malah menggembirakan.

“Mmuuuu … bosen bangetttt.”

Kembali ke laptop, Emilia terdiam di Ruang Putri sendirian.

Dia tidak suka-suka amat dipanggil Putri, tapi karena semua penduduk desa memanggilnya Putri, alhasil kini dia sudah terbiasa.

Edward Kenway.

Sebab dia tahu mereka tidak mengolok-oloknya melainkan memberi kasih sayang, Emilia tidak pernah meminta mereka berhenti memanggilnya Putri. Tapi mereka yang sejatinya menempelkan moniker itu di ruangan tempatnya terkurung adalah salah satu ketidakpuasan Emilia.

“Semua orang lagi ngapain, ya ….”

Jikalau Emilia terkurung di dalam Ruang Putri, berarti pasti ada tamu dari luar desa. Cukup banyak orang luar sesekali memasuki hutan untuk mengunjungi masyarakat misterius Elven. Kendati tak seorang pun memberitahu Emilia, dia bisa merasakannya.

Sebenarnya, indra ke-6 ini ada karena Emilia tidak sadar mengganggu roh-roh mikro hutan yang memberitahunya kehadiran orang-orang itu, tapi waktu itu Emilia tidak mengetahuinya.

Memeluk lututnya di ruangan sempit itu, si gadis biasanya melewatkan waktu dengan membolak-balikkan halaman buku yang ada di sana atau memainkan boneka lusuh buatan Fortuna.

Walau dia dikasih tahu bahwa Fortuna tengah menghadiri pembicaraan rahasia yang hanya bisa dimengerti oleh orang dewasa, nampaknya ada banyak anak-anak kecil yang hadir, membuat Emilia semakin tidak senang.

Emilia dilarang berbohong atau menyimpan rahasia, itulah yang diajarkan ibu Fortuna. Tapi apakah salah mana kala ibu Fortuna dan orang dewasa berbohong dan menyimpan rahasia darinya?

Setiap sepuluh hari atua lebih, Emilia akan dimasukkan ke dalam Ruang Putri. Meski Emilia sama sekali tidak senang, dia tidak nakal-nakal amat sampai menunjukkan batang hidungnya. Namun sekarang, dia sudah tidak tahu berapa kali dia dijejalkan ke tempat itu belum lagi pertengkarannya dengan Fortuna semalam. Paling pentingnya lagi, dia lupa membawa boneka yang dibuat Fortuna, ketinggalan di kamarnya, membuat Emilia bosan parah.

“Aku mau ke luar ….”

Gumaman lalu itu tak ada yang mendengar.

Walau Emilia tidak mengatakannya kepada satu pun orang yang dia kenal, Mereka yang mengenalnya mendengarnya keras dan jelas.

“――?”

Di dalam lubang, di dalam ruangan yang diterangi cahaya putih bijih lagumite, kini ada pendar-pendar melayang berwarna biru pucat. Dia berkedip saat pancaran cahaya itu mendadak memikat perhatiannya.

Menari di depan matanya, cahaya itu tetap menarik perhatian si gadis kecil selagi terbang ke sudut Ruang Putri――kemudian pendar-pendar itu menghilang seolah tersedot ke dalam dinding.

“――――”

Berdiri, Emilia sempoyongan menghampiri tempat pendar menghilang. Dia sedikit takut, tetapi rasa penasarannya membara dalam dada.

Berdiri di depan dinding yang menghisap cahaya itu, Emilia mengulurkan tangannya seakan hendak memastikan dinding berbahan dasar kayu itu, dan di sana, dia menemukan celah yang cukup besar untuk dilewati lengan kecilnya.

Barusan, pendar biru pucat itu keluar melalui celah itu.

Pintu depan Ruang Putri dikunci dari luar dan tidak bisa dibuka dari dalam. Dirancang demikan agar Emilia tidak bisa kabur meski dirinya sangat ingin kabur.

Memikirkannya baik-baik, perlakuan ini jelas agak terlalu berlebihan bila dianggap normal, tapi Emilia, yang saat itu iya-iya saja, tidak pernah mempertanyakannya.

Namun, sekarang setelah dia menemukan kesempatan untuk meloloskan diri dari tempat yang semestinya dia dekam, hati Emilia bimbang antara mengikuti hasratnya ataukah perintah ibunya.

Dia ingin tahu apa yang dilakukan semua orang di desa saat kepergiannya.

Ibu Fortuna mengajarkan Emilia untuk betul-betul mengikuti perintahnya, dan Emilia perlu tinggal di Ruang Putri sampai Fortuna kembali menjemputnya.

Bagaimana dengan menguji rute pelarian ini, dan begitu dia mengintip pekerjaan semua orang, dia menyelinap kembali ke sini?

Lagian juga, orang dewasalah yang pertama kali melanggar peraturan untuk tidak berbohong mau pun menyimpan rahasia. Seandainya mereka melanggar satu peraturan itu, dan Emilia melanggar pula satu peraturan, bukankah akan impas?

“――――”
Gadis kecil itu menimbang-nimbang sebaik mungkin dan terbesitlah pembenaran kecil.

Melihat lebih dekat lubang yang dimasukkan lengannya, lubang itu adalah salah satu celah di antara akar-akar pohon kusut. Jika dia mengalirkan seluruh kekuatan ke lengannya, Emilia yakin bisa memperlebar jarak akar pohon tersebut, meski sedikit.

Bergantung pada perasaan demikian, Emilia kecil mendorong akar guna menciptakan ruang yang cukup besar untuk dilewatinya. Keringat menetes dari alis, lumpur mengotori pakaiannya. Tidak mungkin dia bisa bilang pada Fortuna, “Aku gak ngapa-ngapain,” sekarang karena sudah begini, jarak antara akar-akar mulai melebar, alhasil dia bisa merangkak keluar.

“――――Ah.”

Sebuah perasaan aneh yang mirip syukur tumbuh di dada Emilia saat angin dunia luar menerpa dirinya.

Kendati dia baru saja melakukan sesuatu yang ‘kan membuatnya dimarahi bila ketahuan, dia masih merasakan desakan kuat yang menyuruhnya menjambangi Fortuna kemudian dengan sombongnya menggertak, “Ehem, aku berhasil.”

Tentu saja Fortuna akan terbakar amarah kalau Emilia melakukannya, lantas gadis itu buru-buru menghentikan dirinya sebelum mulai berlari liar. Huft, bagian sulitnya sudah dilewati.

Walau begitu, pikir Emilia.

――Anggap dia mengikuti logika idiotnya kala itu, pergi mengemis pujian Fortuna, dimarahi keras-keras, menangis, meratap, dan menyesalinya, kemudian melupakan semua hal tentang celah di akar pohon, semuanya akan jadi lebih baik.

Coba dia melakukan itu, Emilia takkan pernah menggerakkan roda tragedi selanjutnya.

――Tapi apakah tragedi itu?

Pertanyaan tersebut tidak sampai pada gadis yang baru saja melarikan diri dari Ruang Putri, sekarang dengan gagahnya pergi ke tempat semua orang sebagaimana mestinya.

Dia sadar betul tengah melakukan hal yang salah, karenanya Emilia ngumpet dari satu tempat ke tempat lain, berkat roh-roh berukuran mikro itu, dia samar-samar mengetahui keberadaan semua orang.

Tak lama kemudian, Emilia mendapati semua orang sedang berkumpul di alun-alun desa. Dan di samping mereka, dia melihat sekelompok orang berkostum hitam aneh.

“――――”

Emilia bersembunyi di balik pohon besar lalu dengan tangkasnya memanjat dahan-dahan. Terkadang, ketika Emilia kecil merasa nakal, dia lari dari pohon ke pohon bak hewan kecil sehingga orang-orang dewasa kaget dan berusaha menangkapnya.

Akrobat yang dia pelajari dari kegiatan itu sekarang ini memungkinkannya untuk mengawasi percakapan sembunyi-sembunyi itu.

Jumlah penduduk desa Elven berjumlah 40 orang. Dan nampaknya semua orang dewasa serta anak-anak, selain Emilia, berkumpul di sana. Orang-orang berjubah hitam jumlahnya lebih sedikit, sekitar dua puluh orang saja.

Beberapa dari mereka berada di tengah-tengah perkumpulan, nimbrung dalam percakapan, sedangkan sisanya memindahkan muatan. Orang-orang berjubah hitam itu datang ke sini mengendarai wagon, tatkala mereka memindahkan kargo ke penduduk desa, wajah para penduduk mencerah sambil menundukkan kepala.

“――Kami tidak tahu harus berkata apa terhadap kebaikan yang senantiasa Anda berikan.”

Mereka lagi apa? Mereka ngomongin apa?

Bertanya-tanya, Emilia ingin menguping, ketika dia mendengar suara sedekat bisikan di telinganya.

Dia terheran-heran namun tidak melihat seorang pun di sekitarnya yang menjadi asal suara itu. Walau begitu, suara itu tak salah lagi milik Fortuna.

Bahkan, Fortuna persis berada di bawah Emilia――berbincang-bincang bersama sosok berjubah hitam yang nampaknya pemimpin dari kelompok itu.

“Terima kasih telah menyediakan persediaan ini, sangat sulit mencarinya di hutan, kami senang atas perhatian Anda.”

“Anda terlalu baik. Kami sangat menyesal karena cuma ini satu-satunya cara membayar kalian. Kami selalu membebani Anda, Fortuna-sama.”

“Kami juga.”

Emilia jelas memahami isi percakapan mereka serta balas-balasan senyum.

Sosok Fortuna di bawah kiri tak salah lagi mereka berdua yang sedang berbicara. Tapi entah bagaimana, indra pendengaran Emilia diperkuat.

Barangkali perbuatan roh-roh kecil yang mematuhi kehendak Emilia, namun secara alamiah, Emilia kecil ini tidak menyadari kepatuhan mereka.

Yang berdiri di depan Fortuna adalah seorang pria berwajah gagah, mengenakan jubah hitam.

Fisik serta perawakannya yang berotot membuatnya menonjol di antara para Elf yang kebanyakan ramping. Hampir tak terbayangkan, meski penampilan fisiknya begitu, dia membungkuk rendah kala berinteraksi dengan Fortuna.

Melihat lelaki mengesankan itu menunjukkan rasa hormat tanpa segan-segan kepada Fortuna membuat bangga Emilia yang mengintipnya.

Kalau dipikir-pikir, orang luar biasanya ini membungkuk-bungkuk kepada ibunya ….

“Nah, memang pernah saya tanyakan, tapi … bagaimana segelnya?” tanya pria besar.

Emilia membusungkan dada walau harga dirinya agak salah sasaran, namun sentimen itu langsung buyar begitu pria besar mengganti topik pembicaraan. Seberat itulah emosi kompleks yang menjiwai kata-kata sang pria.

“Sepertinya tidak bisa saya tampik karena Anda terlampau mencemaskannya. Tidak perlu khawatir, masih stabil seperti biasa. Bahkan peluang 1 : 1.000.000 pun masih belum cukup untuk melepaskan segelnya. ――Bila tidak begitu, saya takkan mampu menghadap kakak serta istri beliau.”

“Saya sungguh turut berduka, mengenai kakak Anda beserta istri beliau.”

“… Saudara saya pastinya telah siap. Adapun saudari ipar, sampai sekarang saya tidak yakin. Tapi, saya tentu paham beban tanggung jawab yang dipercayakan kepada saya. Saya tidak bermaksud meninggalkannya atau melaksanakannya setengah hati. Saya yakin Anda juga merasakan hal serupa.”

“Saya … saya tidak tahu-menahu perkara itu. Saya takut kenyataannya tidak sama seperti tugas dan tanggung jawab yang Anda tanggung, Fortuna-sama. Obsesi, keterikatan … hal-hal semacam itu.”

Pria itu tertawa tegang sedangkan Fortuna memperhatikannya dalam ekspresi sedih. Di sisi lain, makna percakapan kecil mereka sepenuhnya luput dari kehadiran Emilia.


――Saya sungguh turut berduka, mengenai kakak Anda beserta istri beliau, maksudnya apa?

Saudara laki-laki Fortuna adalah ayah Emilia. Maka istrinya adalah orang yang dinikahinya. Pengantinnya. Dengan kata lain ibu Emilia.

Saya sungguh turut berduka, apa sih maksudnya? Dan ketika Fortuna mendengar ini, mengapa dia tidak bertanya?

Memeluk dahannya erat-erat, Emilia meregangkan lehernya lalu menajamkan telinga sehingga bisa mendengar percakapan mereka lebih jelas. Tidak menyadari berkah roh membuat gerakannya kedap suara, Emilia mati-matian berusaha menelinga agar tidak ketinggalan satu kata pun.

“Motivasi tidak ada hubungannya dengan kemuliaan suatu tindakan. Perbuatan Anda layak dipuji puluhan ribu kali. Sangatttttt disayangkan hal itu tidak lazim.”

“Hahahahaha. Saya menghargai kata-kata pujian itu. Tapi, tetap saja tidak mungkin. Jika niat sejati kita terungkap oleh dunia, tatanan stabil ini akan sekali lagi terjerumus dalam kekacauan. Saya yakin Anda atau pun saya … sekurang-kurangnya, tidak ingin melihat itu.”

“… Hm, saya rasa tidak.”

Fortuna setuju sambil mengangguk.

Setelahnya, topik pembicaraan menyimpang dari apa yang ingin didengar Emilia, dan percakapan mereka selanjutnya sebagian besar terdiri dari obrolan ringan biasa.

Selagi Fortuna dan pria itu bercakap-cakap, bawahannya selesai membagikan kargo. Salah seorang dewasa memanggil Fortuna, kemudian Fortuna balas mengangguk lalu menghadap kembali ke pria berjubah itu.

“Berkat perlindungan para roh, perubahan musim tidak terlalu berdampak pada hutan … tapi tetap saja, pakaian dan selimut ini sangat membantu. Terima kasih.”

“Andai kata balasan ini setimpal dengan tindakan Anda, semua orang di sini mestinya tinggal di tempat yang lebih layak. Anda tidak terpaksa tinggal di tempat semacam ini.”

“Mengapa Anda bilang Tempat semacam ini? Kami senang tinggal di hutan, tahu.”

Mengatakannya sambil bercanda, Fortuna tersenyum tipis. Pria itu juga tersenyum dan keduanya berbagi momen persahabatan bersama.

Lalu ….

“Uskup Agung-sama. Barang-barangnya sudah dipindahkan, kita siap berangkat. Tolong cepatlah.” Panggil bawahannya.

“Mmm, dimengerti.”

Mendengar laporan sosok berjubah hitam lain, pria itu enggan memandang desa untuk kali terakhir. Lalu, membungkuk kepada Fortuna, di sisi lain Fortuna dan orang dewasa lainnya meletakkan tangan di dada dan membungkuk balik kepada kelompok berjubah hitam itu. Sang pria berbalik mengikuti wagon yang hendak pergi――tapi, dia terhenti.

“Oh ya, ada satu hal lagi yang ingin saya tanyakan.”

“…”

Pria itu berbalik dan mengangkat satu jari, sedangkan Fortuna diam saja.

Melihat sikap Fortuna, untuk sesaat, pria itu menutup mata, lanjut menatap ke kedalaman hutan ….

“――Emilia-sama, apa beliau baik-baik saja?”

“――Duh.”

Mendengar pria itu menyebut namanya, tanpa sadar Emilia mencicit di cabang pohon. Untungnya, karena dia baru saja menghembuskan nafas, kedengarannya seperti erangan kecil.

Dan untungnya lagi, tidak ada orang yang mendengar, Fortuna perlahan mengangguk terhadap pertanyaan pria itu ….

“Dia baik-baik saja. Emilia sehat, dia tumbuh menjadi gadis baik. Gadis baik yang … lebih dari yang kuajarkan. Tapi … maaf. Saya tidak bisa memperkenankan Anda menemuinya.”

“Itu saja sudah cukup. Saya mengerti. Selama Emilia-sama sehat tanpa masalah, sudah lebih dari cukup. Seorang pendosa seperti diri saya, saya tidak berani menghendaki hal lain selain demikian.”

Ketimbang mencela diri sendiri, lebih kedengaran seperti peringatan.

Namun demikian, tidak ada ucapan menghibur yang dilanturkan bibir Fortuna ketika mendengar itu.

Sang Uskup Agung mendongak sembari memasang ekspresi yang seolah-olah lega sementara Fortuna diam saja. Dan, setelah menatap satu sama lain beberapa saat, mereka memecah keheningan.

“Uskup Agung-sama, apa ada masalah? ――Uskup Agung Romanée-Conti-sama?”

Seseorang berlari menghampirinya dari kelompok yang sudah berjalan jauh di depan. Mendengar namanya di panggil, pria berjubah itu melebarkan tangan ….

“Tidak apa-apa. Yah, sebaiknya saya pergi dulu. Fortuna-sama, sampai jumpa.”

“Terima kasih atas segalanya, seperti biasa. Dan maaf … Geuse.”

Tersenyum samar pada kata-kata perpisahan Fortuna, pria yang dia panggil Geuse bergabung kembali dengan kelompok mereka dan berangsur-angsur meninggalkan hutan.

Melihat kepergian mereka sampai sosok terakhir tak nampak, Fortuna melemaskan bahu sembari mendesah. Kemudian, dia bertepuk tangan sekali, menarik perhatian semua orang yang hadir di sana ….

“Nah, sekarang cepat bagikan semuanya. Seperti biasa bagikan juga barang-barang itu. Aku pergi menjemput Emilia.”

“――――!”

Melihat orang dewasa dan anak-anak terus mengangkut barang-barang sesuai perintah Fortuna, Emilia langsung turun dari pohon dan berlari secepat mungkin menuju Ruang Putri.

Tubuh mungilnya merangkak melewati celah pelarian, walaupun kulitnya luka-luka, Emilia berhasil masuk ke dalam. Tetapi, begitu sampai di dalam, dia ngeri saat sadar penampilan jeleknya tidak seperti gadis cantik yang patuh menunggu di ruangannya.

Baru saja, Emilia berpikir bahkan jika Fortuna tahu dia kabur dan memarahinya, nanti Emilia juga dimaafkan kalau minta maaf secara tulus dan memikirkan baik-baik perbuatannya.

Tetapi, setelah mendengar yang baru saja didengarnya, optimisme itu sirna begitu saja. Malahan, Emilia yakin dia baru saja mendengar sesuatu yang seharusnya tak dia dengar.

“Gimana nih, gimana nih, gimana nih, gimana nih, gimana nih, gimana nih, gimana nih, gimana nih, gimana nih, gimana nih.”

Ibu Fortuna bisa saja kembali dan membuka kunci pintu kapan pun. Sekali melihatnya, tidak sulit mengetahui bahwa Emilia kabur ke luar. Kala Fortuna tahu gadis itu mendengar percakapannya, tamatlah dia.

“Setidaknya, aku harus menyembunyikan lukaku ….”

Bnyak luka di sekujur kulitnya, lutut serta sikunya tergores, beberapa luka mengeluarkan darah. Tidak mungkin luka-luka itu bisa lepas dari penglihatan Fortuna, memikirkan sakitnya saat mandi saja sudah menakutkan.

Emilia harus melakukan sesuatu, tetapi, tepat sewaktu pikirannya tenggelam dalam renungan――

“――Eh?”

――Emilia melihat pendar-pendar biru pucat muncul di Ruang Putri, bak tanda penyelamatnya.

Partikel-partikel yang bersinar terbang itu memenuhi penglihatan Emilia, menarik kesadarannya dengan gerakan mereka sebelum dipercikkan ke tubuhnya.

“――A, ahhh.”

Seperti ketika tersedot ke dalam dinding, cahaya biru pucat itu masuk ke kulit Emilia. Seolah-olah menyerang luka si mungil, mereka berkumpul dalam beberapa goresan, memenuhi luka dengan cahaya redup mereka――dan, perlahan-lahan, cuma tersisa merah samar dalam lukanya.

“――――”

Perubahan tubuhnya yang tak terjelaskan membuat Emilia ketakutan dalam diamnya.

Luka menyakitkan pada siku, lutut dan kulitnya lenyap sudah, tubuh Emilia pulih ke kondisi awal.

Menyadarinya, Emilia ganti pakaian menjadi gaun cadangan di Ruang Putri. Tapi, pakian robek dan lusuh yang baru saja dia ambil jadi masalah baru ….

“Oh aku tahu ….!”

Membolak-balikkan botol-botol tinta berwarna-warni, lalu dioleskan ke seluruh bajunya yang sobek. Emilia kecil menodainya dengan sangat teliti sampai-sampai tidak bisa dicuci bersih lagi ….

“――Emilia? Kau bangun?”

Dia mendengar suara Fortuna di luar pintu dan buru-buru menegapkan punggungnya.

Merasa jantungnya berdebar-debar sampai rambutnya melambai-lambai pelan, dia mencoba membalas panggilannya baik-baik, namun tenggorokannya tidak bersuara.

“Emilia? Kau tidur?”

“Aku, aku bangun, aku bangun, ibu Fortuna. Hanya saja, aku ….”

“Oh, jadi kau terjaga. Maaf membuatmu lama menunggu ….”

Seolah senang mendengar jawaban Emilia, Fortuna membuka kunci pintu dan memasuki ruangan. Tapi begitu dia masuk, senyum Fortuna mendadak menghilang dan mengerutkan hidung mancungnya ….

“… Ada apa nih? Ada bau-bau tinta.”

“Err, maaf. Enggak sengaja menumpahkan semua catnya … bajuku kena semua.”

Melihat guci cat yang jatuh ke tengah-tengah ruangan, kemudian Emilia kebingungan di belakangnya, Fortuna menepuk jidat dengan telapak tangan seraya berkata, “Aduhhhh ….”

“Yah, mau bagaimana lagi. Untung saja kita punya pakaian cadangan di sini. Kalau tidak, aku terpaksa membawamu pulang sambil telanjang, tahu.” Ucap Fortuna.

“Anu, ibu Fortuna … aku ….”

“Tidak apa-apa, Emilia. Tidak perlu takut, kau tidak bermaksud menumpahkannya, jadi aku tidak marah padamu. Lebih pentingnya lagi, kau terluka tidak?”

Berjongkok sampai menyamai tinggi Emilia, Fortuna memandangi putri kesayangannya dari atas hingga bawah, memeriksa kondisinya. Dan ketika dia tidak melihat ada luka apa pun, Fortuna mendesah tanda bersyukur dan memeluk lembut Emilia.”

“Bu?” panggil Emilia.

“Tidak, tidak apa-apa kok. Aku hanya … sangatttt merindukanmu, Emilia. Maafkan aku. Biarkan saja aku memelukmu lebih lama lagi.”

Terus mendekap Emilia, Fortuna menekan pipinya ke pipi gadis kecil itu.

Biasanya, Fortuna terlihat sangat malu saat menyayanginya begitu, jadi jarang-jarang Emilia diperlakukan begini. Barangkali, pertanda bahwa Fortuna sungguh-sungguh risau.

Setelahnya ….

“… Dasar gadis pembuat masalah.”

 Fortuna membuka matanya pelan-pelan, menggumamkan kata-kata demikian sembari mendekap putrinya, Emilia membelai rambut perak pendeknya.

Tetapi, tanpa mengindahkan keberatan Fortuna, Emilia terus-terusan membelai rambut sang ibu sepuasnya.

Ada begitu banyak hal yang ingin dia tanyakan.

Tetapi Emilia yang terlampau muda tidak tahu meramu kata-katanya, jadi dia tidak mengatakan sepatah kata pun.

“Hei, Emilia.”

“… Hm?”

Melihat Emilia pelan-pelan membelai kepalanya. Fortuna menyipitkan mata. Mendadak, mata ungunya yang satu warna dengan mata Emilia, meneteskan air mata.

Dalam sekejap, tetesan air mata itu bergulir turun dan menetas dari pipi Fortuna, tetapi tidak dihapus, fokus menatap Emilia lalu tersenyum ….

“――Aku mencintaimu, tahu.”

Masih banyak yang ingin Emilia tanyakan.

――Tapi saat ini, tutur ibunya sudah cukup sebagai jawaban, pikir Emilia.


Menyeret kakinya ke dalam kegelapan dikelilingi pendar biru pucat, Emilia melanjutkan langkahnya.

Lelah, kehabisan tenaga untuk berjalan, dia hampir tidak kuasa mengangkat kakinya dari tanah. Tetapi kesadarannya yang masih gigih membuatnya maju tanpa henti.

Ingatan dari masa kecilnya terlintas dalam benaknya.

Tapi kenapa dia baru ingat sekarang?

Masa lampau yang Emilia lihat dalam Ujian agak berbeda dari masa lalu yang baru saja dia ingat. Masa lalu yang dia ingat barusan alurnya agak mundur sebelum peristiwa yang ditunjukkan Ujian.

Jika entah bagaimana Emilia bisa kembali ke masa-masa itu――semuanya pasti akan berbeda.

“Ibu, Fortuna ….”

Baik, hangat, dan kuat, Fortuna adalah wanita ideal Emilia, bahkan sekarang masih idela.

Dia ingin tumbuh menjadi ibu Fortuna saja. Tapi setiap kali dia dihadapkan kesulitan kecil, dia ragu-ragu, jengkel, sakit hati, serta takut apabila menuju akhir yang tak dapat diulang.

“U … ugh … hk.”

Kapan pun dia memikirkan akhir tak terulang itu, dada Emilia akan diterpa rasa sakit tak tertahankan.

Kesedihan, penyesalan, penderitaan, diliputi oleh emosi-emosi ribet ini, Emilia diantar menuju ambang air mata karena kebodohannya sendiri, ketidakmampuannya serta rasa malu.

Selalu. Selalu saja dia seperti ini.

Panik, mati-matian, tanpa ragu menyerahkan segalanya, Emilia tetap gagal mendapatkan keinginannya, menyentuhnya saja tidak bisa.

Bahkan hal-hal yang semestinya dia miliki, dipegang erat dalam tangannya, menyelinap keluar dari jemarinya bagaikan pasir, mempesona Emilia dengan kilau sementaranya kemudian menghilang dilahap ketiadaan.

Fortuna, Puck, Subaru, mereka semua sama saja.

“Semuanya … salahku. Semuanya karena aku … seorang gadis nakal … tidak bisa menepati janjinya … kepada semuanya ….”

Sambil terisak-isak, kaki Emilia masih diseret.

Di tengah-tengah pepohonan tebal, hijau tua, lamban dan lambat, dia tetap meneruskan langkahnya.

“Semua orang berusaha menyembunyikannya dariku … menyembunyikannya … tapi, tidak. Kalau saja pergi tanpa mengtahuinya, kalau saja aku tidak mengetahuinya … kalau saja aku tidak ketahuan, alangkah baiknya itu, tetapi … tetapi ….”

Di hutan. Pendar biru pucat itu. Laki-laki berjubah hitam. Ibu Fortuna. Ular Hitam Raksasa. Pintu yang tertutup. Salju. Dunia putih. Dunia perak putih. Akhir, dunia yang tengah berakhir. Ayah, Ibu.

“Namun aku ….”

Pusaran kata tak berujung itu melesat di kepalanya.

Terbalik dan tersiksa setelah terbangun, Emilia mengangkat kepala dan terus maju ke depan.

“――――”

Suaranya lemah. Langkah kakinya goyah.

――Namun tak ada setetes air mata pun di matanya.

Share this post on:
Subscribe
Notify of
guest
7 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Manusiah

Lebih dalem daripada masa lalu Rem

subaru naik haji

garfield orang jakarta gaul ni pasti
gw gw gw
bangke lah

Odaoda

Astagah, itu Garfiel cara bicaranya ngajak gelud :v

Botolgas_Romane_Kontil

Aah..~~ Otakku bergetar..~~

ex

liat bahasa gaul di pake di novel kek gini bikin males bacanya, ga cocok bgt :v, memang di bahasa jp mereka pake bahasa kasar + ga formal tapi kalo di indo in jelek bgt menurutku

dah lah mending nunggu animenya aja :v

Fer

Sabar min, tuh orang emang gatau terimakasih. Udah dikasih gratisan bahkan ente gak buka donasi kurang apa coba