Share this post on:

Tempat Tidur Tanpa Kehangatan

CH 98.png

Penerjemah: Vas Phein

――Kapan pun Emilia menutup mata, ingatannya akan kembali hidup, bahkan sekarang pun terjadi.

Putih. Dunia putih.

Terbangun, sembari menghembuskan nafas putih, Emilia muda mendapati dirinya berada di bentang alam penuh salju. Kenapa tanyanya dalam hati. Tapi tidak ada jawaban.

Tidak ada memori sebelum hari ini, dan kesadarannya mengabur.

Beranjak dari tempat tidur, kemudian berlari melihat pemandangan di luar jendela. Desanya yang familiar di tengah-tengah hutan hijau rimbun kini benar-benar tertutup oleh salju putih yang membeku.

Karena ini adalah pertama kalinya Emilia melihat salju, dia bahkan tidak tahu fenomena yang disebut Salju. Namun hawa dingin dan ketakutan jelas itu membakar citra pemandangan ke dalam ingatan mudanya.

Masih tidak tahu apa yang sedang terjadi, pipi serta tenggorokan Emilia menegang dan memarau dalam pelariannya.

Saat dia merengsek keluar dari rumah tua yang dibangun di dalam pohon besar berlubang itu, tubuhnya diterpa oleh angin dingin yang menusuk tajam tapak kakinya bak pisau selagi beradaptasi di daerah es.

Salju segera menyambar membuat kakinya terpeleset jatuh dengan wajah yang menabrak tanah duluan.

Pelukan salju beku berwarna putih, salju tebal yang mengkristal. Kontak pertama dengan serpihan es itu menanamkan kengerian pada Emilia muda. Saljunya begitu indah, namun sangat dingin.

Pakaian sederhananya tidak lebih sebuah kain tipis yang menyelimuti tubuhnya, melawan dingin yang menjalar membuat seluruh badannya menggigil sampai ke dalam-dalamnya.

Salju memanaskan tubuhnya sedangkan kristal putih merobek hatinya. Tetapi Emilia, mengerang tatkala mengais salju, mulai berlari sekali lagi.

Kepingan salju yang jatuh menari-nari tanpa henti dari langit. Mendongak dan terengah-engah, serpihan salju menyumbat bagian dalam tenggorokan. Batuk-batuk selagi berlari, air mata mengalir di pipinya.

Emilia tidak tahu mengapa dirinya menangis. Dia takut. Dia kuatir. Dia ketakutan. Mengapa dia di sini sendirian? Ke mana orang lain pergi? Semua orang yang baik padanya, yang tersenyum padanya, dan menawarkan bantuan, mereka pergi ke mana?

Emilia mencoba mengingat wajah mereka, tetapi sesuatu menyumpat pikirannya. Wajah semua orang dalam kepalanya――wajah mereka, senyuman mereka, tertutup oleh bayangan hitam seolah-olah merampas keberadaan mereka dalam kepalanya.

“――――Hah.”

Buru-buru menggelengkan kepala, air mata mengalir di wajah saat dia berlari.

Emilia tidak boleh berpikir. Jika Emilia memikirkan mereka, bayangan hitam yang menelannya. Semua orang yang berharga baginya akan lenyap semua.

Tapi bila mana Emilia tidak memikirkan mereka, dia akan sendirian. Dalam dunia putih yang dingin tak tahu arah, sendirian――adalah teror yang tidak bisa ditanggung Emilia muda.

Tak berdaya, tak mengetahui apa-apa, dalam dunia putih ini Emilia hanya bisa berjuang.

Naas seolah-olah mengejek perjuangannya yang sia-sia, salju yang turun membungkus tubuh mungil Emilia sampai diselimuti benda putih murni menyesakkan.

――Tidak ada orang di sini. Tidak kelihatan satu orang pun. Kini, Emilia bahkan tidak bisa mengingat semua orang lagi.

――Tidak――!!!”

Terperangkap di dunia putih ini, anggota tubuhnya melumpuh tidak bisa bergerak, Emilia jatuh menabrak tanah, menangis seperti bayi yang baru saja lahir.

Lututnya merosot sampai menyentuh salju lembut, seharusnya dingin, namun dia sama sekali tidak merasakan dinginnya. Kulitnya, yang kerap kali disebut putih seputih salju, kini berendam merah murni dalam kedinginan Salju sejati.

Tepat seperti itu, kabur dari segalanya, Emilia memeluk kepalanya dan tenggelam dalam salju.

Salju yang jatuh tidak henti-hentinya menumpuk tubuh bagian atas gadis kecil itu dan berangsur-angsur ditelan warna putih――

“――Emilia!!!”

Saat Emilia memejamkan mata, jatuh tertidur nyenyak, sebuah jeritan merobek keheningan serta-merta membangunkannya.

Membeliakkan kelopak matanya yang beralis panjang. Seketika, tubuh rampingnya ditarik keluar salju dan didekap.

“――――Ah.”

“Kau tidak apa-apa, Emilia. Tidak apa-apa, semuanya baik-baik saja. Alhamdulillah … kau kutemukan ….” Ucap seseorang.

Emilia ingin berbicara, tapi tenggorokannya, membeku karena hawanya sangat dingin, cuma mengerang saja. Namun, memahami kondisi Emilia, orang tersebut hanya memegang Emilia muda dalam pelukan mereka, suara mereka penuh suka cita karena keselamatannya.

Emilia, hidungnya memerah dan terisak-isak, mengusap wajahnya melalui rambut pendek orang itu, mencoba menyampaikan emosinya. Lewat tindakan tersebut, sebagaimana cinta tak terbatas diarahkan kepada orang itu, Emilia juga membalasnya.

Sungguh bahagia dipeluk oleh tangan mereka, berbicara dengan mereka lagi.

Di salju putih nan memutus asa yang membuat Emilia kecil bertanya-tanya apakah semuanya sudah berakhir, kala ini terdapat kehangatan.

Masih memeluk Emilia, menggigil bercampur kegembiraan dan kedinginan, wanita berambut pendek itu memandang sekeliling dan ekspresi leganya mulai menegang kemudian mulai berlari ….

“Emilia, bisa dengar aku? Aku tahu kau cemas, dan aku tahu kau tidak mengerti, tapi … semuanya baik-baik saja. Entah bagaimana, akan kubuat baik-baik saja. Meskipun kita berdua berpisah di sini, kau takkan kutinggalkan sendirian ….”

Emilia tidak memahami kata-kata bertekad itu, tapi untuk berpisah dari seseorang di hadapannya itu membuat si gadis ketakutan. Jari-jarinya yang kaku meraih kerah wanita itu, matanya berkaca-kaca selagi menggelengkan kepalanya penuh kepanikan.

Bagi Emilia muda yang polos, merasakan emosi orang lain adalah satu-satunya hal yang bisa dia lakukan.

Selama dia melakukan ini, Emilia telah dicintai dan disayang oleh orang-orang di sekitarnya. Senantiasa seperti ini. Adapun hal itu ada di tempat ini atau tidak――

“――――!”

“Tidak, tidak begitu, Emilia. Walaupun sampai sekarang kita baik-baik saja, kau tidak boleh begini terus. Kau harus jadi kuat, pintar, dan berani. Kalau tidak, kau takkan mampu menerima dirimu sendiri, dan akan berpapasan dengan akhir buruk. Itu membuatku … saudaraku, semua orang, sangat, sangat sedih.”

“――――Ah.”

Gadis itu menggeleng-gelengkan kepalanya.

Kendati begitu, wanita itu menampik permintaannya. Terus menyuruh Emilia tidak boleh bersikap begitu, dia memarahi Emilia yang bergantung kepada orang lain.

Emilia tidak mempercayainya. Tentu saja itu menyakitkan.

Bahkan ketika diberitahu dia tidak boleh begitu, bagaimanapun, wanita itu selalu saja menghalangi upaya Emilia. Tetapi kenapa sekarang tidak seperti itu?

Mengapa sekarang mulai gagal, tatkala menghadapi saat yang paling menyakitkan, sukar, dan mengerikan selama hidupnya? Seandainya ada cara yang lebih benar untuk melakukan ini, bagaimana mungkin Emilia tidak pernah diberitahu? ――Emilia mulai membenci semua orang.

“―――――!”

“Maaf, Emilia. Aku sangat minta maaf. Karena tidak pernah mengajarimu satu pun hal penting, karena telah menyembunyikan semuanya darimu … karena terus membiarkanmu menjadi putri mungil cantik, maafkan aku … maafkan kami ….”

――Aku tak ingin memaafkan. Tak ingin memaafkan. Tak ingin memaafkan. Tak ingin memaafkan.

“Semua orang yang yang menghargai senyummu, serta dusa lembut yang mereka tuturkan … tolong jangan benci mereka ….”

――Benci mereka. Benci mereka. Benci mereka. Benci mereka. Benci mereka. Benci mereka. Benci mereka. Benci mereka.

“――――” Emilia terdiam.

“Emilia kami tersayang … suatu hari, kau akan ….”

“――――!” Emilia tetap terdiam.

Emilia menjerit tanpa verbal. Dia tidak lagi ingin mendengar. Tidak peduli dia dengar apa, tidak akan mengubah apa pun.

Deru angin ribut bercampur jeritan Emilia menenggelamkan kata-kata terakhir wanita itu dari dunia ini.

Ekspresi wanita berambut perak itu sedih terhadap penolakan Emilia dan tubuhnya yang memberontak riweh dalam dekapan sang wanita, tetapi, menghiraukan semua emosi, si pendekap sekali lagi melihat ke depan――

“――Ah.”

――Dan di sana, akhir yang sebenarnya telah datang.

Wanita itu berlari secepat mungkin sambil mendekap Emilia sampai melihat sosok di depannya dan berhenti.

Terdorong oleh sentakan samar, Emilia mendongak, dan di bagian atas penglihatannya――dia melihat wajah wanita yang menggendongnya, terlihat lebih tegang dari yang sebelum-sebelumnya.

Dalam ekspresinya berisi kejutan serta kesedihan, amarah lagi kagum――bahkan sedikit rasa lega.

Menepuk-nepuk pipi Emilia, angin lebat putih yang dingin semakin menjadi-jadi.

Dalam badai salju yang sangat kuat sampai-sampai membuka mata sulit, diliputi teror, Emilia memegang telinganya yang nyaris membeku lalu menjerit.

Lalu――

Lalu――

――――――

――――――――――――――


Pagi hari kelima di Sanctuary――hari penting yang akan menentukan apakah Natsuki Subaru akan mampu menembus perulangan ini, memulai hari dengan kabar terburuk.

“Barusu. ――Emilia-sama pergi ke mana?”

Setelah mencuci wajahnya di kolam dan menyeka tubuhnya dengan kain basah kemudian mendapati Ram tanpa tahu malu muncul di tengah-tengah kumpulan pria yang setengah telanjang, Subaru mengerang letih terhadap pertanyaannya.

Waktu sedikit maju setelah matahari terbit, sekitar jam 8 di dunia asalnya. Bangun satu per satu, para pria pengungsi berkumpul di sekitar kolam untuk membersihkan keringat mereka sejak malam.

Berani-beraninya menerobos area pemandian pria, satu hal yang diucapkan mulut Ram adalah pertanyaan mengenai keberadaan Emilia.

Melihat seorang wanita muncul seperti itu adalah hal biasa, beberapa pria buru-buru menjauh karena malu, tetapi Subaru tidak sempat mengejek mereka. Lagi pula, Subaru tidak mengerti maksud Ram sama sekali.

“Emilia … kau ngomong apa sih?”

“Seperti pertanyaannya. Ketika aku masuk ke kamar Emilia-sama untuk menjaganya, tidak ada seorang pun di sana. Kukira dia bersamamu, Barusu ….”

“Tak ada orang di sana … bagaimana bisa? Maksudku, sudah kupastikan untuk mengucapkan selamat pagi padanya tatkala dia terbangun kemudian aku baru pergi … alhasil tiba di sini setelahnya.”

Tidak kuasa menyembunyikan keterkejutannya atas apa yang baru saja dikatakan Ram, Subaru mengingat kembali kejadian pagi itu.

Dia memegang tangannya sepanjang malam sebagaimana permintaan Emilia, dan saat gadis itu terbangun di pagi hari Subaru mengawasinya tepat di sampingnya, tersenyum lembut pada Emilia kala itu.

Waktu itu, Subaru pikir Emilia terbangun biasa tanpa rasa kantuk di matanya. Emilia melihat ke bawah dan mendapati tangannya masih digenggam Subaru, perlahan-lahan melanjutkan percakapan mereka tadi malam,

“Aku ingin bicara … begitu kepalaku dingin. Setelah Ram membantuku berapakian, aku akan siap membicarakannya.” kata Emilia.

Setelahnya, dia menyuruh Subaru keluar kamarnya.

Subaru tidak sabar, namun menilai perasaan Emilia, tidak baik jika menyuruhnya buru-buru. Lebih pentingnya lagi, Emilia tampak tenang. Memaksanya akan berdampak negatif. Paling tidak, itulah yang Subaru terka, tetapi ….

“Sesudahnya, aku pergi, kupikir kau mengurus sisanya ….”

“Kau meninggalkan kamarnya sebelum aku tiba … ya. Rupanya begitu. ――Kau salah, Barusu.”

“――――”

Subaru tidak mampu membantah vonis dingin Ram.

Faktanya, dia lengah dan mengacaukan hal-hal di sana sebab tidak nungguin Ram untuk menggantikannya. Tetapi Subaru tak pernah berpikir Emilia, dari semua orang di dunia, akan melakukan ini.

“Barangkali … dia di kamar mandi, atau ….?”

“Menurutmu aku seceroboh itu ujuk-ujuk datang ke sini tanpa memeriksa seluruh sudut kediaman Emilia-sama?”

“Bukan itu maksudku … tapi, hal apa lain yang menyebabkan itu ….?”

“Kau sungguh-sungguh tidak mengerti?”

Ram memojokkannya tanpa henti.

Tatapannya dingin sebagaimana biasanya, tapi, untuk sesaat, intensitas dingin itu makin meningkat. Ada kegelisahan yang sama di mata Subaru seperti saat menatapnya kemarin malam.

Melihat kekecewaan serta penyesalan di mata Ram, Subaru menurunkan pandangannya.

“――Maksudmu … Emilia melarikan diri?”

“Bisa jadi apa lagi? Mungkin pasukan oposisi pembebasan Sanctuary telah menunggu kesempatan ini sewaktu tak seorang pun dari kita menemani Emilia-sama dan langsung melancarkan pergerakan mereka … tapi memangnya kau percaya itu?” tanya Ram.

“… Tidak mustahil … sih.”

“Bila kau benar-benar ingin berpegang teguh pada opini itu, maka kau jauh lebih putus asa dari perkiraanku. Apa pun itu, tidak mengubah kenyataan bahwa Emilia-sama menghilang. Terlepas dari fakta bahwa dirinya tidak punya alasan kabur dari Sanctuary, ini buruk.”

Meski sikapnya keras, Ram masih berusaha memelankan suaranya agar tidak ada yang mendengar mereka. Dia juga tahu perlu menyembunyikan kabar menghilangnya Emilia, sehingga tidak memengaruhi reputasi Roswaal.

Karena itulah, dia menganggap masalah ini mesti ditangani diam-diam.

“Emilia ….”

Melihat ke atas, Subaru menggumamkan nama gadis itu dengan suara lirih.

Menurut pernyataan Ram, bahkan jika Emilia hendak meninggalkan segalanya dan melarikan diri, dia tidak mungkin bisa melewati Penghalang Sanctuary karena dia Setengah Elf.

Emilia masih terjebak di Sanctuary, tidak peduli seberapa besar usaha pelariannya, tetap tidak bisa keluar.

Dia tidak setolol itu samapi tidak mengetahuinya. Tetapi andai dia merasa amat terpojok sampai-sampai mencoba kabur, lantas ….

“Semua ini salahku dan Puck ….”

Salah Puck karena gagal membayangkan tingkat syok yang Emilia rasakan dikarenakan kehilangannya.

Kesalahan Subaru adalah meremehkan luka Emilia dan mengira kepura-puraan tenangnya adalah asli.

Jikalau Emilia benar-benar memilih untuk lari, maka akan menjadi konsekuensi kegagalan mereka.

“Asumsikan saja Emilia-sama melarikan diri dan bersembunyi di suatu tempat. Barusu … ada ide tempat itu dimana?”

“Tunggu dulu. Jangan langsung putuskan dia cabut. Maksudku, tiada tempat yang bisa dijadikan persembunyiannya dalam Sanctuary tanpa seorang pun melihat tempat itu. Dan Emilia tidak bisa bebas berkeliaran.”

Subaru memohon, mengibaskan tangannya bertanda menolak kesimpulan Ram.

Melihatnya, gadis berambut merah itu mendesah dan mengangguk sedikit.

“Kuakui barangkali diriku terlampau menetapkan, tapi saranmu apa? Karena kau di sini, para pria itu tentu saja tidak melihat apa-apa. Jadi kita pupuk saja harapan salah seorang wanita di Katedral melihat Emilia-sama?”

“Para penduduk desa Arlam akan melapor sesuatu seandainya melihat Emilia berkeliaran sendiri. Hal terburuknya, salah seorang penduduk mungkin sudah melihatnya …. Kita mesti menanyakan mereka dahulu sebelum membuat kesimpulan.”

Bahkan saat cepat-cepat membentuk rencana, Subaru kurang lebih mengerti dirinya hanya menunda konklusi itu. Dan walau Ram mendengarkan usulannya, kemungkinan besar gadis itu memikirkan hal yang sama.

Satu-satunya titik kesepakatan mereka adalah akan sangat buruk bila mana kabar Emilia yang sengaja bersembunyi menyebar luas.

Namun persoalan mereka berdua peduli kepada Emilia atau reputasi Roswaal lain cerita.

“Apabila salah satu dari kita dapat segera menemukannya, mungkin saja bisa kita atasi berdua. Tetapi alangkah lebih baik untuk menyimpan kemungkinan terburuknya di benak kita. Mengertikah, Barusu?”

“… Lebih baik tidak memikirkannyalah.”

Pengingat Ram juga peringatan baginya untuk tidak mengalihkan perhatian dari skenario terburuk.

Jika mereka gagal menemukan Emilia sebelum Ujian dan kabar penghilangannya tersebar ke seluruh khayalayak Sanctuary――reputasi mereka takkan bisa didapatkan kembali.

Intinya, mereka harus berusaha sekuat mungkin sebelum itu terjadi.

“Andai kita sudah bertanya semuanya dan masih tidak menemukannya ….”

“Maka kita mesti habis-habisan mencari beliau di hutan.”

“… Kalau begitu tidak selesai satu atau dua hari.”

Mengangkat kepalanya, Subaru melihat hutan yang mengepung Sanctuary lanjut menyipitkan alisnya.

Kendati terhalang oleh Penghalang, Sanctuary cukup luas untuk dijadikan tempat persembunyian satu orang. Seandainya Emilia bersembunyi di hutan, dia bahkan tidak perlu terus-terusan mendekam di satu tempat.

Hari ini, dan esok. Banter-banternya 48 jam tersisa sebelum taruhan hinggap di batas waktu kontrak.

Dalam jangka waktu itu, Subaru harus menemukan Emilia, membuatnya menantang Ujian, dan mengalahkannya.

――Tapi apa bisa?

Mungkinkah dia, dari semua orang, setelah memaksa Emilia sampai ke batasnya, tidak memerhatikan efek samping yang timbul dalam hatinya, betul-betul memberikan kekuatan untuk bergerak maju?

“Kau benar-benar melebih-lebihkanku, Puck ….”

“… Pasti ada hubungannya dengan putusnya kontrak Roh Agung-sama, ya?”

“Kehilangan dukungan utama dalam hatinya barangkali ada sangkut-pautnya. Tapi … kita berdua tidak menyangka akan jadi seperti ini.”

Pasti ada sesuatu yang mendesaknya sampai melewati batas wajar.

Memikirkan kembali Emilia yang tenang-tenang saja malam serta pagi ini, itulah satu-satunya hal yang bisa dijadikan tolak ukur Subaru.

“――――”

Kecuali, sesuatu terbesit dalam benaknya.

Subaru sudah bener-bener memikirkan tindakannya.

Tapi, secara hipotesis, semisal Emilia tahu――

“――Natsuki-san!”

Selagi merenung, panggilan tajam itu mengejutkan bahu Subaru.

Melihat ke tengah desa――dia mendapati seorang pemuda berambut abu-abu, panik berlari sambil mengayun-ayunkan lengannya.

Pemuda itu adalah Otto, dia tidak ikut mandi pagi dan tetap menemani penduduk desa di Katedral untuk membantu menyiapkan sarapan.

Dia mencari Subaru, wajahnya pucat pasi dan terengah-engah, tangannya berada di lutut.

“A-ada beberapa hal yang perlu aku laporkan. Yah, lebih banyak sih kalau secara rinci, tapi … untuk sekarang, ada dua hal besar. Kabar bagus dan kabar buruk.”

“Kedengarannya penting, tapi aku yang bertanya dahulu. Apa Emilia muncul di Katedral? Ataukah ada orang yang membicarakannya?”

“――? Tidak, aku belum melihat beliau pagi ini. Aku juga tidak mendengarkan kabar apa pun mengenai beliau di Katedral.”

Otto mengerutkan kening terhadap pertanyaan yang nampaknya tidak berhubungan dengan kabar baru, di sisi lain, mendengarkan jawaban baiknya, wajah Subaru serta Ram menggelap. Otto sepertinya merasakan kegelisahan mereka, namun masih menganggap laporannya lebih penting.

“Jadi, kabar baik dan kabar buruk … ingin dengar yang mana dulu?”

“Agak malas mendengarnya jika digabungkan begitu … tapi, kurasa kabar bagus dulu?”

Ketika Subaru mendengar kabar buruk, dia perlu waktu untuk memikirkan tindakan penyelesaiannya, situasinya sudah terlalu buruk. Subaru lebih baik tidak terjerumus ke dalam keputusasaan karena semakin banyak kabar buruk yang menumpuk di kepalanya.

Menerima keputusan Subaru, Otto melipat tangannya sembari mengangguk.

“Baiklah, kabar bagus. Aku selesai berbicara dengan para pengungsi seperti yang kita berdua diskusikan. Mereka sudah berkemas-kemas dan siap berangkat kapan pun kau mau. Aku meminta mereka untuk tetap waspada sehingga bisa pergi kapan saja kau memberi perintah.”

“――Begitu, ya. Maaf. Semestinya aku yang bicara dan memintanya kepada mereka.

“Untungnya, mereka ramah kepadaku selama beberapa hari terakhir ini. Mengingat perbuatan kita berdua, untungnya kita punya kesempatan itu. Ngomong-ngomong, mereka sudah siap tanpa masalah.”

Suara Otto percaya diri, tapi, meski usahanya berbuah bagus, wajahnya jauh dari kata cerah. Kemungkinannya, kabar bagus itu dilahap oleh suatu hal yang telah bangkit.

Menghadapi tatapan bisu Otto, Subaru meminta laporan lainnya――

“Jadi, apa kabar buruknya?”

“Barusan, Garfiel yang marah-marah menyerbu Katedral, mencarimu Natsuki-san.”

“Mencariku ….? Kenapa? Aku tidak ingat kali ini pernah membuatnya berang begitu ….”

Membujuk Garfiel seharusnya konfontrasi terakhir perulangan ini. Subaru lebih berhati-hati tatkala berinteraksi dengan Garfiel, bahkan setelah memasang taruhan, Subaru berusaha sebaik mungkin untuk tidak berbicara kepada Garfiel.

Sejauh ini oke-oke saja, dan Subaru sukses melewati hari-hari kritis tanpa melawan Garfiel, tapi――

“Idealnya, aku ingin berbicara dengan Lewes Theta sebelum mengurusnya ….”

“Itu masalahnya.”

Ketika Subaru mengutarakan urutan rencana yang dia tetapkan, Otto mengangkat satu jari.

Mata Subaru membeliak terhadap gerakan ini, tidak tahu apa maksud Otto.

Tetapi, melihat tanda tanya muncul di kepala Subaru, paras Otto jadi gelap seraya berkata:

“Lewes-san nampaknya hilang pagi ini. Garfiel mencarinya di seluruh desa, kelihatan putus asa. Karena itulah dia mencarimu, Natsuki-san.”

Share this post on:
Subscribe
Notify of
guest
6 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Unknown H

Tadi fortuna nyebut hamdallah? :V

RAMA

Alhamdulillah…

agus

subaru naik haji
Takbir

Naki

Min, orang mana?