Share this post on:

Ditinggalkan

Penerjemah: AshSeekethEmbers

――Hal pertama yang Emilia rasakan saat bangun tidur adalah kekosongan di tangan kanannya.

Baru saja bangun, kepalanya masih puyeng karena aliran darah belum sepenuhnya mengalir. Tetapi, menyadari sesuatu bersamaan dengan kembalinya sentimen keegoisan, pipinya merona karena amarah dan malu.

Alih-alih duduk, dia berguling ke samping dan melepaskan selimut yang menutupinya. Mengumpulkan nyawa selagi berbaring di sana, pagi-pagi hari pun dia sudah mengutuk dirinya.

“――Egois, egois, egois. Aku … sangat egois.”

Gadis yang tengah meringkuk di tempat tidur itu―― Emilia, bergumam, menghembuskan nafas panjang, teramat panjang karena kondisinya kacau.

Dia mengeluar-masukkan tangannya ke selimut, mengingat suatu sensasi yang digenggamnya tepat sebelum jatuh tertidur.

Jemarinya gempal dan terasa ganjil, kulit-kulit dalam jari-jarinya sedikit lebih kaku di bagian ujung, tidak seperti jarinya yang ramping nan rapuh―― setiap kali memegang tangannya, Emilia berpikir demikian ….

Jari itu adalah sentuhan anak laki-laki yang merawatnya, yang mengucapkan kata-kata lembut itu kepadanya, dan yang selama ini duduk di samping tempat tidurnya sembari memegang tangan Emilia sampai ketiduran―― sentuhan tangan Subaru yang kikuk nan lembut.

Alam bawah sadar pertamanya tatkala bangun adalah hilangnya sentuhan tangan itu. Merasakan begitu banyak kesepian nan kosong dalam jemarinya sendiri, sebegitu tidak berdayakah Emilia?

Senantiasa ingin bersandar pada Subaru, apakah sifat alaminya memang selalu ingin menumpuk banyak beban pada bocah itu? Apakah Emilia tidak menghiraukan masalah dan dosa-dosanya sendiri sampai-sampai terbawa ke orang-orang di sekitarnya?

Sudah empat hari semenjak kedatangan mereka di Sanctuary―― mereka sampai di hari pertama, dan Emilia telah menetapkan hatinya kemarin hari dan lusa sebelum menantang Ujian di dalam Makam.

Bagi Emilia, yang bertujuan untuk memenangkan Seleksi Raja kemudian naik tahta Lugnica, mendapatkan dukungan Sanctuary adalah langkah pertama yang kelewat perlu.

Gubernur tanah ini, Roswaal, adalah pendukung Emilia, dan semua penduduk Sanctuary satu kondisi dengan Emila yang keturunan Half-Elf. Bila mana Emilia tidak mampu memperoleh dukungan mereka walau kondisi sangat positif, lantas dia mengharapkan hal apa lagi di sini?

Dibandingkan kandidat Seleksi Raja lainnya, jelas posisi Emilia tidak menguntungkan. Tidak berdaya sebagaimana dirinya, Emilia memerlukan bantuan orang-orang di sekitarnya demi meraih kemenangan. Dan dibutuhkan kepercayaan untuk mendapatkan bantuan tersebut, dan kepercayaan didapatkan dari tindakan.

Mengerti betul posisinya, yang perlu Emilia perbuat dan buktikan dalam Sanctuary jelas sudah. Dia tidak meragukan lagi hal demikian.

Tapi, yang membuat matanya tertunduk adalah――

“Ujian ….”

Satu-satunya syarat yang tidak dapat dinegoisasikan agar para penghuni Sanctuary setuju adalah menembus Ujian.

Berkat Penghalang yang diciptakan oleh Makam, tidak ada penduduk Sanctuary yang berani menjelajahi hutan. Demi menyeret mereka ke luar untuk bertarung bersamanya, Emilia mesti menghapuskan Penghalang dengan mengalahkan Ujian. Sebab Emilia tidak bisa minta bantuan mereka kalau dia sendiri tidak menyelesaikan perkara besar ini?

Baik fisik mau pun batin, semuanya akan selesai jika Ujian selesai. Dan tatkala masalahnya sejelas ini, tidak ada lagi argument atau dalih.

Masalahnya sekarang adalah tantangan Ujian, yang bak racun mematikan bagi Emilia.

――Suara tanpa perasaan di dalam Makam menyuruhnya untuk Menghadapi Masa Lalunya.

Kapan pun Emilia memejamkan mata, dia akan melihat dunia putih itu.

Tiba-tiba, seolah-olah dilempar tinggi oleh udara yang sangat menusuk, dia menggigil dikarenakan hawa dingin yang berkelanjutan.

Mungkinkah rasa takut ini menjalari tubuhnya karena mengingat hawa dingin masa-masa itu atau karena dia masih belum melupakan ketakutannya sejak saat itu, bahkan sampai sekarang?

Apa yang ada di kepala Subaru ketika dia mendengar masa lalu Emilia yang kacau.

Masa lalu tak terlupakan yang masih mengikatnya dengan rantai rasa bersalah sampai kini―― siang hari kemarin Emilia mengungkapkan semuanya kepada Subaru.

Malam sebelumnya, adalah kali pertama Emilia menantang Ujian yang meluluh-lantakkan hatinya. Emilia dari tadi menangis dalam pelukan Subaru setelah laki-laki itu membangunkannya, meratap, tersedu-sedu, sampai suara dan belaian tangan anak laki-laki berhasil menenangkannya. Setelah itu, Emilia memberitahu semua orang yang sudah menunggu kepulangannya di luar bahwa dia telah gagal.

Emilia tidak kuat melihat wajah mereka satu per satu. Entah tatapan kekecewaan atau rasa jijik, sama sekali tidak berarti. Emilia mamasang wajah kuat, mengucapkan selamat malam, dan pergi ke kediaman khususnya. Dan saat menyadari dirinya sendirian, gadis itu dilahap teror tak tertahankan.

Tidak boleh mendekam terus seperti itu, Emilia bergegas keluar dari kediaman dan langsung menggigil karena angin malam kemudian berpapasan dengan Subaru yang tengah berlari bermandikan sinar rembulan.

Lalu, ketika Subaru mengutarakan semua tekad dan perbuatannya selama ini demi Emilia, gadis itu menolaknya dengan dalih idealisme dan melarikan diri.

Betapa sedihnya Subaru ketika mendengar ucapan Emilia? Sama-sama terkejut oleh kata-katanya sendiri, Emilia sebenarnya tidak tahu.

Setelahnya Emilia tidak ingat bagaimana dia bisa kembali ke kediaman.

Kali selanjutnya dia terbangun, itu karena suara Subaru yang memanggil-manggilnya, wajahnya pucat pasi sewaktu melihat Emilia terbaring pingsan di lantai.

Dia menceritakan Subaru yang tengah khawatir tentang Ujian―― dan tidak sengaja, malah memperbincangkan masa lalunya.

Saat itu, Emilia menceritakan masa lalunya kepada Subaru sejujur-jujurnya.

Saat-saat dia menyaksikan perbuatan jahatnya, ingatan tak terlupakan serta bekas luka yang dikupas terbuka, seolah-olah memperlihatkan semua luka-lukanya yang terekspos kepada Subaru.

Pada saat yang sama pula, Emilia mengakui motif egoisnya untuk berpartisipasi dalam Seleksi Raja.

Bukannya Emilia takut.

Akibat dari kesalahan yang telah dia perbuat saat masih kecil, Emilia sudah membuat banyak orang menjadi korbannya. Namun Emilia tak pernah menerima karma, bahkan sekarang dia menikmati waktu yang dia miliki sendiri.

Parahnya, penebusan dosanya malah menyeret lebih banyak orang ke dalam masalah kacaunya.

Diumpat, dihina, dijauhi, sudah biasa bagi Emilia.

Tetapi, entah bagaimana, dia percaya 100 persen bahwa Subaru takkan meninggalkannya.

Tidak peduli seberapa buruk masa lalunya, atau penebusan kesalahannya yang egois, Natsuki Subaru takkan, takkan, takkan pernah, meninggalkannya.

Sebesar apa lukanya, dan walaupun dia menangis, Subaru akan terus melindungi Emilia. Berkali-kali, Emilia melihat tindakannya.

Pemuda baik hati, setia dan peka. Walau, menghadapi kelewat banyak masalah, masih menolak mengesampingkan apa pun, akan terus berjuang terlepas luka-lukanya.

Dan selama Emilia masih menjadi salah satu orang yang dilindunginya, entah betapa aneh sifatnya, Subaru takkan melepaskannya.

――Dengan kata lain, pemikiran kejam nan keji.

Meskipun Emilia sudah menolak mentah-mentah, mengaku tidak pernah berpikiran seperti itu, bohong misal tidak pernah terlintas dalam benaknya. Dan jikalau sebagian dari hatinya mengharapkan hal ini, sama saja seluruh kehendak Emilia menerima pemikiran demikian.

Lantas, menaruh kepercayaannya kepada seseorang yang tidak pernah bisa membencinya, Emilia mengakui masa lalunya yang hina.

Sudah menceritakan semuanya dalam masa-masa genting, hanya itu saja.

Pada akhirnya, kendati Subaru tidak bisa menyembunyikan keterkejutan apa lagi kekecewaannya, Subaru tidak menghukum kejahatan Emilia.

Ketika Emilia sudah lelah menceritakan semua unek-uneknya dan termakan kantuk, sentuhan bocah itu saat menggenggam tangan si gadis kecil masih terngiang-ngiang, masihlah sama seperti sebelumnya.

Fakta bahwa Subaru berusaha sebaik mungkin sedangkan bagian memuakkan dalam diri Emilia membuatnya sakit hati tanpa ujung.

Mata Subaru yang biasanya tajam melunak karena cemas, mencemaskan tubuh serta batin cintanya. Kebaikan Subaru bak racun manis bagi Emilia.

Meluluhkan hatinya, tekadnya, dan menampakkan seluruh keburukan dalam dirinya.

Andai saja Emilia bisa menyerahkan semua itu pada Subaru dan biarkan dia menanggung rasa sakit yang menggerogoti hati Emilia. Seandainya gadis itu mampu mengatakannya lantang-lantang sebagaimana anak kecil ngambek yang bersikap masa bodo pada semua hal yang tidak menyenangkan, Subaru tidak akan ragu sedetik pun untuk mengabdikan seluruh jiwanya demi Emilia.

――Tapi itu tak termaafkan.

Sejak pertemuan pertama mereka, Emilia dari dahulu sudah dibantu Subaru.

Dari toko serba ada di Ibu Kota, sampai Monster Iblis yang mengancam wilayahnya, hingga masalah besar di Aula Seleksi Raja bahkan sampai para penyerang asing yang mengepung desa dan Mansion, sampai kini.

Emilia senantiasa mengandalkan Subaru. Tidak tahan melihat laki-laki itu terluka dan yakin dirinya sendiri tidak layak mendapatkan kebaikannya, Emilia pernah sekali menolak bantuannya.

Namun demikian, Natsuki Subaru takkan pernah meninggalkan Emilia.

Tidak cuma itu, tatkala Subaru memberi tahu alasan mengapa dia menyelamatkan Emilia, tukasnya ….

“Aku mencintaimu, jadi aku ingin menjadi kekuatanmu.”

Emilia tidak pernah sekalipun ditembak cinta sepenuh hati yang tidak perlu balasan apa pun.

Satu-satunya orang yang menunjukkan kasih sayang kepada Emilia adalah para Elf yang tinggal bersamanya di Hutan Elior, dan, setelah lama terlelap, orang yang menjadi keluarganya, adalah Puck.

Ditarik dari hutan oleh Roswaal, Emilia sekali lagi diingatkan kenyataan dirinya yang merupakan Setengah-Elf, dua kali kunjungannya ke Ibu Kota semakin memperdalam kenyataan itu.

Menerima permintaan Roswaal sebagian karena ingin memenuhi tujuannya, namun Emilia juga berharap bahwa dia barangkali mampu mengubah anggapan kuno yang sudah sangat mengakar kepada Setengah-Elf―― walau kecil. Tetapi harapan itu begitu samar nan jauh sampai-sampai dia sendiri tidak mempercayai anggapan tersebut bisa dirubah.

Jadi, seberapa besar sebenarnya Emilia berubah ketika Subaru, pemuda satu tujuan yang mengabaikan fakta bahwa dirinya adalah seorang Setengah-Elf dengan segala kekurangannya, bahwa Subaru mencintai Emilia?

Ras mereka tidaklah sama, juga tidak diputuskan sejak lahir bahwa Subaru memang ditetapkan untuk menemaninya. Semata-mata seorang pria yang secara kebetulan berpapasan, semakin dekat, dan, setelah semua hal yang mereka hadapi bersama, mulai tumbuh rasa―― seberapa besar sih, kebahagiaan yang menerpa Emilia?

Justru karena ini, Emilia tidak boleh lagi bergantung pada Subaru.

Setiap kesulitan yang dia tanggung demi Emilia adalah ukiran luka baru dalam tubuhnya. Bukan hanya luka daging, tapi juga di hati.

Soal otot dan pengetahuan Subaru tidak terlalu ahli, Emilia tahu betul.

Meskipun hatinya berlimpah tekad serta hasrat untuk melindungi orang-orang tersayangnya, Subaru sama sekali bukan orang spesial.

Dia bisa terluka oleh kesedihan, dia menangis ketika terluka, andai kata dia terlalu banyak kehilangan darah maka matilah dia.

Dia semata-mata orang biasa.

Emilia tidak ingin pemuda sederhana itu menanggung rasa sakit lagi karenanya.

Kalau saja Subaru bisa tinggal bersamanya dan mendukungnya selagi Emilia melangkah maju, lantas dia tidak lagi menginginkan apa-apa. Meski hal itu sungguh egois sampai Emilia merasa malu.

Apabila Emilia didukung Subaru tatkala tekadnya hendak goyah, maka, Emilia mampu mengatasi rintangan apa pun tanpa gagal.

Dan Emilia sendiri yang mesti melawan semua rintangan yang menghadang.

“Lagi pula, kalau tidak kuusahakan sendiri ….”

Bila Emilia terus bergantung padanya, menyerahkan segalanya padanya, memaksakan semuanya padanya, pada akhirnya, Subaru akan menganggapnya sebagai beban.

Pemikiran itu suatu hari nanti akan memenuhi benak Emilia.

Sesuatu yang tidak ingin dipercayai Emilia. Sesuatu yang dia tahu, bahkan jika dia mengharapkannya pasti takkan terwujud dan ujung-ujungnya menyerah. Sesuatu yang selama ini disematnya, namun diam-diam selalu didamba-dambakan.

Karena kini Emilia mempunyainya, telah diberikan, dan telah meraih tangan terulur itu―― Emilia tidak boleh melepaskannya.

“――――”

Dosa Emilia telah melukis hutan dengan warna putih dan menyegel semua teman serta sanak keluarga dalam es dan salju.

Emilia sendiri juga tertidur dalam es itu dan mendekam selama seratus tahun sampai Puck membangunkannya, tanpa menyadari kejahatannya.

Dosa besar nan buruk itu semakin diperburuk oleh kenyataan bahwa Emilia sendiri tidak mengingat satu pun detail nyata perbuatannya.

Semuanya kosong, selain pengetahuan bahwa tindakannya telah menjerumuskan semua orang ke dalam dunia putih stagnan, Emilia tidak mengingat satu pun penyebabnya, atau apa yang dia pikirkan.

Putri Sang Penyihir. Nama itu tidak asing bagi Emilia.

Setelah Puck membangunkannya dari es, dia menghabiskan tujuh tahun di Hutan Besar Elior. Tidak bisa menemukan atau mengolah makanan di dalam hutan beku, dia berjalan ke desa-desa terdekat di luar hutan dan bergantung pada makanan pembierian mereka.

Dia tidak melupakan tatapan ketakutan mereka atau panggilan Penyihir Hutan Es.

Penyihir. Penghinaan itu cocok untuknya.

Dia sendiri sudah kesulitan melampaui Ujian, tapi walau Emilia merasa kata-kata itu tanpa makna. Gadis itu bahkan tak bisa membayangkan caranya mengalahkan masa lalu. Lantas dia hanya menghindari pertanyaan Subaru dengan kata-kata menenangkan dan memilih untuk menutup diri dalam tong mimpinya.

Disemangati oleh sentuhan telapak tangan Subaru, tak lama kemudian Emilia ikut tidur.

――Dia ragu kala tidurnya memimpikan sesuatu.

Saat terbangun, Subaru masih dalam posisi yang sama, menjaga tidurnya. Luapan emosi yang tak tertahankan menyerbu dadanya ketika melihat Subaru, masih memegang tangannya, mereka melangkah menuju Sanctuary―― untuk menantang Ujian.

Hasilnya sudah jelas. Emilia gagal.

Subaru dan Ram melihatnya keluar Makam. Juga Garfiel, Lewes, dan para penduduk Sanctuary yang menatapnya dari belakang. Tidak dia melakukan apa, Ujian serta-merta menolaknya.

Setelah disiksa, mentalnya diserang, diinjak-injak oleh masa lalunya yang tidak dapat diubah, Emilia kembali terlempar keluar.

Dia kembali tersadar di lantai makam yang dingin nan keras, Emilia meninggalkan Makam dengan tubuh lemah lunglai dan disambut oleh Subaru dan para penduduk yang khawatir.

Sebagaimana malam sebelumnya, Emilia dibaringkan di kediaman ini, langsung pingsan setelah menyentuh tempat tidur―― dia baru bangun pagi ini.

“Ujung-ujungnya, sama sekali tidak ada kemajuan … aku sungguh tidak berguna ….”

Hal yang dia pelajari kemarin, bahwa dia adalah seorang anak manja yang selalu menyebabkan masalah bagi Subaru dan semua orang di sekitarnya―― dan, meski begitu, masih tidak muncul harapan baik. Selemah itulah dirinya.

“Puck ….”

Liontin yang tergantung di dadanya―― dan kilau hijau dari batu yang menghiasai ujungnya, adalah media kontrak spiritualnya dengan Puck.

Kapan pun dia memanggil lirih namanya, Puck akan menjawabnya dengan riang, “Ada apa?” Seperti dalam kontrak.

Tapi hampir dua minggu Puck berhenti merespon.

Kejadian seperti ini pernah terjadi, cuma periode hibernasi, yang dia lakukan setiap beberapa bulan. Tetapi ada juga saat-saat ketika Puck berhenti merespon, dan setiap kali hal demikian terjadi, Emilia berusaha menahan rasa kesepiannya sambil menunggu Puck sadar.

Kendati begitu, periode hibernasi biasanya berakhir tiga sampai empat hari, pertama kalinya sampai sepanjang ini. Terlebih lagi, walaupun Puck sedang hibernasi, bila mana Emilia benar-benar memanggilnya, Puck akan menginterupsi tidurnya dan menanggapi panggilan Emilia.

Namun sekarang, Emilia bahkan tidak bisa merasakan reaksi apa pun dari Puck.

Apakah terjadi sesuatu padanya? Apa ada yang berubah dalam dirinya selama hibernasi membuatnya tidak bisa mewujud lagi? Dan seumpama itu masalahnya, Emilia mesti apa?

Walau Emilia sudah sangat lama menghabiskan waktu bersama Puck, dia masih tidak mengetahui alasan apa pun kenapa dia meninggalkan Emilia seperti ini.

Apakah itu perkara Ujian, Subaru, letak masa lalunya, atau Puck yang mendadak menghilang, Emilia tidak punya satu solusi pun terhadap semua masalah ini.

“…. Bodohnya aku.”

Menghadapi kebuntuan ini, tepat ketika dia hendak merana karena tak ada orang yang menemaninya, Emilia tiba-tiba menghentikan pemikiran itu.

Karena, jika melakukannya, lantas masalahnya sudah tidak bisa diatasi lagi. ――Meskipun opininya sendiri jauh lebih tidak meyakinkan dari waktu-waktu di masa lalu, Emilia tidak ingin berpikir bahwa kondisinya bisa-bisa lebih buruk dari saat ini.

“Nnn, hentikan. Bahkan jika aku terus berpikir begini … hari ini dia tidak akan muncul lagi. Tapi Puck pastinya punya alasan tertentu. Tapi tidak ada kemajuan perkara Ujian. Aku harus tenang dulu.”

Dia menggerakkan tangannya dan menepuk-nepuk pipinya untuk menyemangati dirinya sendiri.

Kemudian, melihat ke atas, dia mengambil sisir dan menyisir rambutnya yang berantakan. ――Menyebalkan melakukannya sendiri. Karena bagian ini adalah tugas Puck, dan Emilia tidak pernah berinisiatif untuk merawat tubuhnya sendiri.

Menyusuri rambutnya, Emilia mendapati kuncirnya hilang. Dia tidak menggunakan cermin. Dan memang ada cermin yang terbungkus kain dan diletakkan di sudut ruangan agar tidak memantulkan apa-apa.

Memain-mainkan rambutnya, Emilia memutuskan bahwa dirinya berhasil membenarkan penampilannya seminimal mungkin. Lalu, memainkan jemari, dia menguncir rambut peraknya.

Tahap pertama untuk dijadikan rambut kepang―― Puck adalah orang yang bertanggung jawab atas gaya rambut harian Emilia, dan karena itu adalah bagian kontrak mereka, memang penting untuk mematuhinya. Karena itulah, sudah dua minggu Puck tidak memilihkan gaya rambutnya, Emilia terus mengikuti ajaran terakhir yang diberikan Puck.

Dan tentu saja, dia juga meneruskan bermacam-macam kebiasaan membosankan seperti berolahraga sebelum dan sesudah mandi lanjut berbicara dengan roh-roh berukuran mikro. Lagi pula, mana kala dia berhenti mematuhi syarat-syarat itu, hubungannya dengan Puck yang hilang akan benar-benar musnah, dan itu sangat menakutinya.

“――――Di bagian sini rupanya.”

Membagi dua rambutnya dan menjalinnya menjadi dua kepang, dia melakukannya setiap hari. Tapi hari ini, dia mengepang panjang rambutnya sampai punggung.

Setelah mempertahankan bagian kontraknya dengan Puck pada hari ini, Emilia berdoa agar umur kontraknya semakin panjang.

Mengkonfirmasi koneksi mutlak dalam dirinya, Emilia――

“… Eh?”

Berniat mengganti pakaiannya sebelum Ram muncul sambil membawa-bawa seember air, Emilia meneteskan air mata kecil.

Mata kecubung membelalak terkejut ketika tatapannya mendarat di liontin dadanya.

Seperti yang dia periksa sebelumnya, kristal hijau itu masih tergantung di ujung liontin sebagai bukti keberadaan Puck―― tidak termasuk celah di bagian luarnya.

“Apa … tidak, eh ….? Tunggu … a, apa ini ….?”

Menggenggam kristal yang mulai retak dengan tangannya sendiri, Emilia mengeluarkan suara yang tidak bisa dianggap sebagai sebuah kata.

Pupilnya gemetaran, tubuhnya tersentak keras selagi dirinya yang terbalut rasa takut membelai permukaan kristal. Ujung jemarinya merasa retakannya semakin melebar, membuatnya menangis lirih seakan-akan sedang dicekik.

“T-t, tidak … tidak, tolong … jangan lakukan ini, tunggu …. Tidak, Puck, tidak ….”

Tidak peduli berapa lama dia menggelengkan kepala karena menolaknya, tetap tidak memperbaiki kristal itu.

Emilia sekuat mungkin menstabilkan tangannya yang gemetaran agar tidak semakin merusak liontinnya, tetapi getarannya malah makin tak terkendali membuat kristalnya semakin retak dan tak lama kemudian akan hancur di tangannya.

Apa yang akan terjadi sekiranya seluruh kristal rusak?
Menghadapi scenario yang belum pernah terjadi sebelumnya, kepala Emilia kosong melompok.

Tapi satu hal pasti. Dan itu adalah ….

“Kalau terus begini … Puck akan ….!”

Berarti perpisahan antara Emilia dan mahluk yang sudah dia anggap sebagai satu-satunya keluarga.

“――――!”

Emilia mengangkat kepala. Melihat ke sekitar. Tidak ada orang di sana. Hari masih pagi, tidak ada tanda-tanda aktifitas berarti orang-orang belum bangun. Meskipun dia berteriak, kemungkinan besar takkan ada yang mendengarnya. Misalkan berlari keluar mencari bantuan, guncangannya pasti akan menghancurkan permata ini, lantas Emilia tidak bergerak.

Menahan suaranya, berhenti menghembuskan nafas, Emilia melihat kristal yang hancur di tangannya.

Tidak ada solusi lain. Kalau begini, alih-alih mencegah akhir yang hendak datang, dia hanya bisa menunda semuanya dan dibayang-bayangi oleh keputusannya.

“――”

Akibat kelambanannya, terdengar suara pecahan kristal.

Di telapak tangannya, saat matanya membeliak terheran-heran, kristal hijau itu tidak lagi berbentuk. Pecahannya menyebar ke mana-mana, kehilangan warnanya tanpa tanda-tanda kehidupan, kilaunya berangsur-angsur memudar.

“Hei … Puck … kau ini … bercanda doang, kan?”

Seolah memegang untaian harapan terakhir. Emilia terus memanggil-manggil telapak tangannya dengan suara goyah.

Tapi permata di tangannya―― yang tak lagi berbentuk, kini tidak lebih dari tumpukan pasir berwarna pirus. Lupakan roh, bahkan kemampuannya untuk menyimpan sedikit Mana hilang sudah. Yang tersisa hanyalah debu berwarna hijau, menunggu menyebar ke udara.

Semua orang sudah tahu harapan singkat Emilia adalah sia-sia.

Satu-satunya orang yang takkan menerima kenyataan tersebut tidak lain Emilia sendiri.

“T-tidak, tidak mungkin begini … tidak mungkin terjadi … setelah, setelah semua hal kita lalui, Puck … saat pertemuan pertama kita, kau bilang … kau akan menjadi keluargaku … dan kau tidak akan sendiri lagi ….”

Mengungkit-ngungkit persetujuan mereka, menggumamkan kembali janjinya, Emilia mengulang kembali tukas itu layaknya anak kecil.

――Tetapi sebelum permohonannya terucap, batu bubuk itu menjawab diam.

“… b … ng.”

Dipersembahkan kenyataan yang tak dapat diterima itu, seakan-akan tidak mampu menahan keheningan dunia, mata yang tampaknya mulai paham apa yang terjadi, dia menengadah ke langit-langit dengan mata gemetar berlinangan air.

“Puck … ayah, KAU BOHONG!!!”

Jatuh terlutut, dia melemparkan pecahan-pecahan yang berserakan itu ke dinding.

Suara pecahan batu yang menghantam permukaan kayu telah menyegel perpisahan mendadak Emilia dan Puck.

Emilia membenamkan wajahnya dalam tangannya sedangkan isak tangis terus merembes keluar dari dalam telapak tangan. Tidak ada air mata.

Dalam dadanya hanyalah perasaan hampa yang semestinya diisi sesuatu.

Share this post on:
Subscribe
Notify of
guest
6 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Muhibbin

Bang,art 4 chapter 94 > 110 di trannslationchicken tolong terjemahin dong.?

Unknown H

Bang, gas tros dong :v

RAMA

USO TSUKI!!!

Udin

Oalah nenek beban

Nora

Kukira puck itu cwe