Share this post on:

Hari Terakhir Mansion Roswaal

Penerjemah: Tim Emilia

“Otto, kau sendiri yang bilang, benar. Soal menggunakan sihir angin dan air biar langkah kakinya terdengar kedengaran dari jauh.”

“… Aku yakin kita pernah membicarakannya, tapi aku terkesan kau masih mengingatnya. Sihir sesederhana itu tak mustahil dirapalkan walaupun mana-ku saat ini sedikit, tapi … penggunaannya? Aku hanya menggunakannya saat ingin membalikkan seseorang.”

“Kita menggunakannya persis sebagaimana yang kau katakan. Kau membuat langkah kaki gemuruh, tarik perhatiannya, dan pancing menuju perangkap—kemudian aku ledakkan dengan jiwa sains.”

“Kau kedengaran yakin soal ini, sebetulnya apa sih jiwa sains itu ….?”

“Kematian sederhana namun pasti: ledakan debu. Metode dan bahan-bahannya tidak ribet. Kau hanya perlu menyalakan api dan tepung. Kalau memang betul-betul kuat, maka cukuplah buat meledakkan seekor monster.”


“… Setelah mendengar perkataanmu, aku percaya padamu dan ikut membantu, alhasil semuanya jadi begini!”

“Bacot! Kemajuan ilmiah selalu disertai pengorbanan! Kenapa tidak berhasil!? Ya karena tepungnya tidak cukup, atau apinya tidak cukup, atau … hukum fisika berbeda di dunia ini? Karena itulah ledakan serbuknya gagal ….”

“Ughhh! Semua itu sama sekali gak penting, fokus saja memadamkannya! Ahh, oh gawat! Gawat!”

Petra menyela, ngomel-ngomel, membombandir olimpiade teriak Subaru dan Otto.

Mereka bertiga berada di dapur lantai pertama, diterangi oleh cahaya nyala api. Karena, “Kebanyakan minyak! Bagaimana cara menghilangkannya!? Mulai menyebar!”

“Kau kira hemat-hemat minyak tuh bagus saat melawan monster yang sangat besar itu!? Kalau kita tak membawa barang yang mudah terbakar dan meninggalkannya saja di sini, hasil akhirnya juga sama! Kau seratus persen akan membayar biaya semuanya setelah ini berakhir!” kata Otto.

“Kawan-kawan, hentikanlah! Bukan waktunya berdebat! Kita tak bisa memadamkannya! Lari!”

“Kau kedengaran seperti anak SMP yang baru saja pulih dari kecelakaan kembang api.

Ucap Subaru, ia putus asa, ketika menyadari taplak mejanya terbakar. Apinya tidak padam entah sebesar apa mereka mengipas-ngipas, jadi Subaru dengan pasrahnya melemparkan taplak itu ke api. Api dari gudang konsumsi menyebar dalam sekejap, api mulai berputar-putar ke ruang makan dan dapur. Rasanya batu sihir yang mereka manfaatkan untuk memasak akan terjebak dalam kobaran api dan meledak kapan saja.

“Terlalu banyak pengorbanan untuk ini ….”

Tutur Subaru, keningnya mengerut, saat melihat mayat hangus jatuh di ambang pintu antara dapur dan ruang makan. Mayat itu adalah hewan buas yang menghalangi pintu kantor lantai tiga, Otto memancingnya ke bawah menggunakan sihir liciknya, kemudian terjerembab ke minyak gudang dan terbakar sampai mokad.

Otak monster itu sama dengan kekuatannya, memicu setiap perangkap tanpa mencurigakan apa pun. Untungnya rentan terhadap api, panik gila saat dirinya terbakar, dan mulai membakar sudut-sudut Mansion lain.

Subaru panik setengah mati ketika ledakan serbuk gagal, namun Otto dan Petra punya rencana cadangan, yakni: menggunakan minyak dan berhasil menggapai kemenangan.

Sekali lagi adalah karena Petra dan Otto gagal paham atas maksud Subaru tentang teror ledakan serbuk, juga sedikit firasat untuk membuat insuransilah, yang menyelamatkan mereka.

Namun bila membicarakan masalah dari insuransi itu, lantas api yang membunuh Monster Iblis, telah menyebar.

Kobaran api membakar dinding Mansion, melahap makanan di dapur, lidah-lidahnya hingga di kaki meja ruang makan.

Bau-bau asap keluar, dunia yang kacau dan terbakar. Penglihatan Subaru mulai mengabur. Negeri tanpa pemadam kebakaran, mereka kekurangan penyihir air yang bisa memadamkan api.

“Aku tahu kita perlu melakukannya, mengingat Garfiel sedang melawan Elsa dan Monster-Monster Iblis tengah berkeliaran … tapi apinya kelewat besar, kita mesti merenkonstruksi gedung ….”

“Bukan waktu untuk membahasnya, Natsuki-san. Kita mengikuti Frederica dan keluar dari sini. Buruan, sebelum tangga lantai tiga terbakar habis.”

“Cepat! Cepat!”

Semuanya terasa tidak nyata bagi Subaru kala dirinya menyaksikan api menelan pemandangan yang sudah familiar, Petra dan Otto menarik lengan bajunya.

Otto bersama Petra adalah satu-satunya orang di sini kecuali Subaru. Frederica dan Rem berpisah ketika memulai rencana untuk menjebak satu Monster Iblis, juga ditugaskan untuk mengawasi apakah monsternya sudah menjauh dari pintu atau belum, lalu mengamankan lorong tersembunyi di kantor.

Subaru merasa khawatir ketika mempercayakan Rem kepada Frederica yang terluka, namun memikirkan kemampuan bertarung murni, rencana tersebut masuk akal. Kendati Frederica tidak bisa menggunakan satu tangan, dia jauh lebih mampu mengalahkan Subaru dan Otto.

Pokoknya, mereka sukses mengalahkan sang Raja.

Seraya berdoa agar perkiraan mereka benar dan tak ada musuh lagi di lorong, tim Subaru keluar dari ruang makan dan berlari menaiki tangga, menuju lantai atas.

“Bagaimana kalau Garfiel mati dalam api!?”

“Garfiel tidak segoblok itu, dia akan baik-baik saja! Lagian dia juga masih bisa selamat dengan menyerbu kumpulan Monster Iblis di luar!”

Subaru cemas perkara penyebaran api ini, bagaimana demikian itu akan menghancurkan medan tempur Garfiel. Pernyataan Otto benar, tapi bagaimana kalau benar-benar—

“Kakak Frederica!”

Selagi Subaru merenung, ketiga manusia itu sampai di lantai tiga.

Kehabisan nafas, Petra membuang udara sewaktu melihat Frederica berdiri persis di luar kantor dan melambai padanya. Frederica tampaknya tahu bahwa mereka telah memenangkan pertarungan, seketika wajahnya lega.

“Alhamdulillah, kalian selamat. Aku lega tidak ada yang mati.”

“Maaf nih, kenapa bilang begitu selagi menatapku? Maksudmu aku yang paling mungkin mati? Ayolah, aku mau nangis nih!”

“Ye ye, santai, santai. Soal peningkatan peluang hidupmu itu masalah nanti, untuk saat ini pikir saja cara menangani masalah itu. Frederica, bagaimana jalannya?”

“Tidak ada masalah sama sekali. Jalannya juga aman, sekurang-kurangnya sampai ruang dalam … oh ya, apa aku mengendus aroma sesuatu yang terbakar?”

Frederica menyipitkan mata ketika menanyakan bau asap. Subaru merinding, memandang Otto dan Petra, mereka berdua menggelengkan kepala.

“Ahm, yah kita salah sedikit, api yang kita gunakan untuk mengalahkan monster itu membesar. Jadi ….”

“Mansion kebakaran …. Aku tidak mengharapkan gedungnya akan kembali normal, kini terbakar seluruhnya …. Tapi tidak sebanding dengan hidup kita.”

“Oh, kau paham. Yea. Yea pengorbanan itu tak terhindari.”

“Aku punya sedikit hubungan batin kepada Mansion ini. Malahan, hubungan Ram sangat besar, jadi bersiaplah untuk kena omelan sesudahnya.”

“Wheughhhh ….”

Membayangkan hukuman tanpa henti yang tak berkesudahan, bulu kuduk Subaru mendadak naik terhadap reuni mereka.

Ada baiknya Subaru memikirkan masa depan seperti ini. Frederica tersenyum kecut pada sikap Subaru, suasana damai menjalar di tempat ini.

“Wah, kita baru saja membuang-buang waktu, ayo cepat keluar. Frederica, kau yang memimpin jalan, kemudian Petra lalu Otto. Apabila kalian sampai di zona aman tatkala keluar dari jalan ini … entah berada di sisi penghalang mana kalian, intinya ikuti saja arahan Frederica. Rencana terbaiknya adalah bertemu kembali dengan para penduduk desa yang melarikan diri bersama Patrasche, kalau kalian bisa.”

Mengakhiri lelucon, Subaru buru-buru menjelaskan kemana arah mereka selanjutnya.

Tampang Frederica dan Otto menegang saat mengangguk sebagai respon. Tapi Petra mengerutkan alis.

Mengangkat tangan mungilnya dan angkat bicara:

“Subaru?”

“B-bukannya ini agak lucu? Soalnya kau kedengaran tidak ikut kita ….” imbuh Petra.

“—Memang. Maaf, tapi aku tidak pergi bersama kalian. Kita berpisah.”

“Kenapa!?”

Teriak Petra yang heran.

Mengulurkan tangan dan meraih lengan baju Subaru, jari-jari gadis itu gemetaran, berusaha mencegahnya pergi.

“Ayo pergi saja! Mansion kebakaran, ada banyak sekali monster menakutkan! Kau tidak bisa mengalahkan mereka, kan, Subaru? Jadi mengapa tidak lari saja?”

“Kau benar, aku tidak punya alibi, tapi aku takkan bertarung. Walaupun dalam artian lain, tetap saja artinya bertarung.”

Meskipun senang karena Petra perhatian, Subaru dengan lembut menjauhkan jarinya. Melihat kesedihan meresapi mata besar bundarnya, Subaru sakit hati.

Otto menepuk pundaknya dari belakang, berhati-hati agar tidak mengejutkannya.

“Petra-chan. Natsuki-san punya sesuatu yang mesti dituntaskan. Ia tidak bisa meninggalkan Mansion apabila belum tuntas.”

“Tapi! Subaru lemah! Dia dalam bahaya! Kita seharusnya meninggalkanmu saja, Otto-san!”

“Kau tidak ngomong begitu karena percaya pada kekuatanku, benar!?”

Menggelengkan kepala, Petra menatap Subaru dengan air mata berlinang. Subaru berlutut sampai matanya setara mata Petra dan menepuk kepalanya.

“Maaf, Petra. Kau, dan Rem, juga Frederica akan keluar dari Mansion. Tapi itu masih belum memenuhi tujuanku yang kembali ke Mansion. Ada satu orang lagi yang mesti kukeluarkan dari sini.”

“B-Beatrice, sama?”

“Ya. Pernah bertemu dengannya?”

Petra menggelengkan kepala.

Petra mulai bekerja di sini sekitar sepuluh hari lalu. Belum pernah melihat gadis nolep itu sekali pun selama tinggal di sini. Beatrice betul-betul nolep akut.

Meskipun Subaru juga tidak pernah keluar kamar kecuali ke toilet.

“D-dia benar-benar ada? Kau tidak salah pikir, menipu kepalamu sendiri bahwa dia …?”

Meski tidak bermaksud, Petra mulai meragukan kenyataan.

Mungkinkah orang itu hanya ada dalam kepalamu sendiri? Begitulah pertanyaan Petra.

“Dia betul-betul merepotkan, kesepian tapi pengacau total, menghadapi semuanya sendiri dan menjawab seluruh pertanyaannya sendirian kemudian menderita, tidak bisa menyelesaikan masalah sendiri sampai meminta orang lain mengakhirinya.”

Petra diam saja.

“Aku lebih ingin imajinasiku tidak mewujud menjadi orang semacam itu. Seumpama ingin mengkhayal sesuatu, maka khayalan itu adalah karakter yang meteran kebaikannya maksimum.”

Beatrice takkan pernah mengiyakan apa yang diinginkan Subaru, tidak tahu apa yang didambakan dirinya atau orang lain, ia tidak ingin lagi berpikir, berada di puncak kegalauan. Maka dari itu Subaru perlu mengajarinya sesuatu.

“Kau tahu, Petra. Beatrice seumuran denganmu. Tapi ada beberapa sisi pribadimu yang sudah dewasa, kau mirip dengan teman pertamanya.”

“Teman pertamanya?”

Subaru menyebutkan Theta masa lalu.

Memikirkan Lewes Meyer, kawan lama Beatrice, yang meninggalkan bekas luka permanen dalam hatinya. Beatrice dan Lewes barangkali tak terlalu menyadarinya, namun menurut orang, mereka adalah teman baik.

“Petra. Setelah aku kembali bersama Beatrice, kau pasti menjadi temannya. Kau akan menyukainya. Karena menyenangkan godain dia.”

“Lebih menyenangkan dari godain Otto?”

“Ya. Kau bahkan bakal membuang Otto.”

Otto tampaknya ingin mengatakan sesuatu, namun Subaru dengan sengaja mengabaikannya.

Menarik tangannya dari kepala Petra dan berdiri.

“Aku pergi. Mencari Beatrice. Aku akan berusaha untuk tidak mati kelalap api, tapi misalkan aku mati terbakar maka catatlah dalam tinta sejarah bahwa diriku mati sebab minyak Otto.”

“Lebih baik tidak terjadi. Semisal kau tidak kembali, aku akan menamparmu, aku bersumpah.”

Tegas Otto, terlihat jengkel, menaruh tangannya di bahu Petra dan menariknya dekat-dekat.

Seolah menggambar garis pemisah antara Subaru dan mereka berempat.

“Frederica. Aku mengandalkanmu.”

“Segenap hidupku, aku bersumpah akan membuka jalan menuju pelarian kita.”

“Ketahuilah. Jika kami tidak menyusul kalian, lantas aku sia-sia saja datang kemari.”

Mata Frederica membelalak.

Jarang-jarang Subaru melihatnya terkejut. Rasanya mantap.

Akhirnya, Subaru menatap Rem, di punggung Frederica. Putri tertidur itu sama sekali tidak menghantarkan kepergian Subaru.

Tidak apa. Rem tidak seharusnya melihat Subaru pergi. Seharusnya Subaru menyambutnya.

“Hati-hati, Subaru!”

Balik badan kepada mereka berempat, Subaru berlari.

Bahkan saat mereka berpisah, suara Petra menggelitik punggung Subaru.

Petra juga tidak ingin ia pergi.

Nyala api terus berkobar ke seluruh Mansion.

—Tangannya memegang kenop pintu yang masih utuh, Subaru tentu bertanya-tanya kapan apinya mencapai Perpustakaan Terlarang.


Perisai menangkap bilah Elsa yang menebas ke bawah, hingga terpercik titik-titik api dari logam, pisaunya terpukul mundur.

Mengincar masing-masing celah, tendangan kuat menghujam perut Elsa—Wanita itu kena serangan, berputar untuk menepis daya dorongnya, memanfaatkan momentumnya untuk menebas Garfiel, bilahnya dimaksudkan untuk membelah dua kepalanya. Namun ….

“Lambat ah!”

“Astagfirullah. Kasar sekali.”

 Rahang terbuka nan lebar Garfiel menggigit bilah, teknik itu dilakukan empat kali dalam satu hari ini.

Kekuatan rahang Garfiel langsung menghancurkan bilahnya, Elsa menarik tangan lalu melompat mundur. Penghancuran senjata favorit membuat senyumnya makin intens.

“Kalau saja rambutmu kena, kepalamu sudah buntung. Mengesankan sekali kau bisa melakukan itu.”

“Gua punya trik. Gua mulai bosen ngelawan lu sekarang ini.”

“Dingin sekali. Kau kira memahami keseluruhan wanita, kau baru mengenalnya sebentar.”

“… Diem babi—Hrn.”

Garfiel menutup telinganya, meringis, seakan mengendus sesuatu.

Melihat koridor. Mulutnya menyeringai.

Sepertinya Elsa belum sadar, namun indra penciuman Garfiel telah mengendus bau asap. Bau bata dan kayu yang terbakar—dengan kata lain, aroma api.

“—Ahhh, yang benerlah, aku tidak percaya ini! Dia sangatttt tidak bergunaaaaaaaa!”

Tepat setelah Garfiel tersenyum, gadis di atas Monster Iblis cemberut.

Elsa memelototinya. Meili lanjut bicara meski merasa kesal.

“Rupanya Guiltilaw itu baru saja mati. Yasudahlah dia juga tidak pernah mendengar perintahku, mudah marah, dan sangat menyusahkan, tapi … bagaimana bisa dia terbunuh padahal kerjanya hanya menunggu di luar pintu?”

“Yang jadi pertanyaan, kenapa kau membawa hewan tak berguna itu?”

“Shadowlion dan Boulderpork adalah satu-satunya Monster Iblis yang nganggur atau lagi tidak hibernasi. Dan dia mati, aku tidak percaya inii.”

Meili merengut sambil melemparkan pisau lain kepada Elsa. Elsa menangkapnya, merasakan gagangnya, tidak mempedulikan informasi terbaru Meili.

Nampaknya Meili sama sekali tidak menghiraukan Monster Iblis yang sudah mati itu. Monster malang.

Biar demikian. Informasi yang didengar Garfiel membuatnya tersenyum.

“Ihhh. Pria seram berharga, wajahmu beneran jahat.”

“Kekuatan gua masih belom bisa nandingin Kapten. Pokoknya, dah gua bilang kan? Rencana lu kagak ada apa-apanya buat Kapten dan temen-temen timnya.”

“Benar sih, mereka telah melampaui perkiraan kami … selanjutnya apa? Satu monster yang terbunuh belum mengubah posisi kami yang menang jumlah. Kami terus menjagamu di sini, tentara yang pentingnya bukan main, tersemat di sini … kondisi terpojok mereka masih belum berubah.”

“Ya, lu benar.”

Elsa tidak memegang erat kedua pisaunya sementara Garfiel menyilangkan tangan.

Dia mengendus lagi, memikirkan pertarungannya melawan Elsa sampai saat ini—lalu memutuskan.

“Waktunya bergerak.”

“Apa maksud—”

“Elsa!”

>Rem Babu<

Kata-kata Garfiel membuat Elsa kebingungan. Sebelum menyelesaikan pertanyaannya, Meili berteriak.

Garfiel mendapati mata Boulderpork berganti warna, hewan raksasa itu amat gelisah dan menghentak-hentak lantai. Meili memanggil-manggil monster ini, pelan-pelan menenangkannya. Sepertinya Monster Iblis itu telah menyadari kehadiran api, persis seperti Garfiel.

Meili menepuk-nepuk Boulderpork untuk menenangkannya, kemudian menatap tajam Elsa.

“Elsa, Mansion kebakaran. Seseorang membakarnya.”

“—”

Seseorang yang lu maksud sopo—Jelas-jelas yang buat Kapten. Sangat masuk akal dan mudah dipahamin. Monster Iblis adalah monster. Kalau pengen ngusir mereka cepet-cepet, caranya ya sulut api.”

“Tapi … dia datang ke Mansion untuk menyelamatkan orang-orang di dalamnya, kenapa membakarnya seiring pelariannya?”

Ketegasan dalam tindakan Subaru mengejutkan Meili. Elsa juga kesulitan mengolah informasi ini, mungkin karena tidak menyangka-nyangka Subaru akan berbuat demikian. Tetapi hati Garfiel masih tenang, berbanding terbalik dengan keterkejutan mereka.

Tentu saja, Subaru tidak bilang akan sampai sejauh itu kepada Garfiel. Garfiel sendiri yakin bahwa Subaru akan bertindak berani, tapi dugaannya tidak sampai pembakaran Mansion. Membuat Garfiel merasa tak gentar sebagai seseorang yang sudah bergabung dalam timnya.

Lebih pentingnya lagi, situasi direncanakan ini menyalakan percikan api dalam diri Garfiel. “Mansion terbakar. Di luar ada sekawanan Monster Iblis.”

“—?”

“Ada orang yang mesti kami selamatkan, warung yang kudu kami buka. Satu-satunya orang yang bisa ngelawan gua, Kapten, nyerahin semuanya ke gua.”

“Tuan, maksudmu sebenarnya apa ….”

“Kan udah jelas.”

Elsa memiringkan kepala. Meili kelihatan seperti tengah mengamati sesuatu yang mengerikan.

Garfiel mengklik taringnya, merasa segar.

Tubuhnya ringan. Tiada lagi sesuatu yang menakutinya.

“Setelah semua persyaratannya terpenuhi, terus orang-orang di luar sana apa kagak bersemangat!? Gua bakal melakukannya. Ngelawan naga, Reid sang Pedang Suci yang ketawa-tawa sambil menghunuskan pedang.”

“Kau tahu pepatah itu dikatakan orang gila tidak waras?”

“Ya tau dong. Terus apa? Maksud lu ada yang salah sama gua yang hebat ini?”

Garfiel membenarkan kebodohannya sendiri dengan pengumuman menyegarkan, Elsa jadi terheran-heran. Tapi hanya sesaat saja.

Dia nyengir-nyengir lagi, menjilat bibir sesaat matanya melunak indah.

“Kau benar. Kau sungguh benar. Kau menyatakannya dengan sempurna.”

Setuju dengan Garfiel, Elsa menghunuskan pisaunya ke arah Garfiel.

Menyilangkan bilahnya, rambut hitam panjangnya menari-nari selagi memiringkan kepala.

“Bersediakah dikau mengubah cara bertarungmu? Aku ragu kau mendadak bisa jadi kuat, kau juga tahu itu setelah beberapa kali bersilangan senjata denganku. Mungkin aku yang paling terluka, tapi konfrontasi saja masih belum cukup.”

“Kau benar.”

Sekitar sepuluh menit telah berlalu sejak Garfiel dan Elsa bertarung.

Besi berjua besi beratus-ratus kali, saling bertabrakan. Garfiel unggul sedikit perkara kemampuan bertarung. Sedikit melampaui kekuatan brutal Elsa, tekniknya tak pernah sekali pun dikalahkan.

Namun Elsa dapat menyembuhkan luka-lukanya dalam hitungan detik dan dengan senang hati terluka, tak sejenak pun merasa kesakitan, sesaat pun ia tidak menahan serangan atau pertahanannya.

Kendati terluka, Garfiel juga terluka. Pria itu juga butuh waktu untuk menyembuhkan diri, sedangkan Elsa tidak.

Garfiel kalah unggul dibanding Elsa soal stamina.

Bila mana pertarungannya tak berkesudahan, maka bilah Elsa ujung-ujungnya pasti akan merenggut nyawa Garfiel.

“Lima … tidak, mungkin enam? Dah berapa kali gua yang hebat ini ngalahin lu.”

“Ya, kau mungkin benar. Terus?”

Mendaratkan tendangan, menghantamnya ke dinding dengan perisai, mencengkeram kakinya lalu membanting kepalanya ke lantai—Garfiel telah banyak melancarkan serangan fatal kepada Elsa. Lukanya sembuh sendiri setiap waktu, bocah itu tidak melakukan apa-apa, namun—

“Gua dah memperkirakan paling banyak empat ampe lima kali.”

“—”

“Vampir kaga abadi. Cukup pukulin mereka terus … nanti juga mereka mati juga. Niat gua gitu sebelum seluruh Mansion ini terbakar habis.”

Garfiel memasang kuda-kuda, kakinya terpisah, seraya tertawa ganas dan taringnya terpampang terbuka.

Elsa mendengarnya dalam diam, senyum menghilang dari wajahnya. Memainkan ujung kepangnya dan bernafas tenang.

“Meili—beri aku itu, dan kau kejar mereka.”

“Elsa … kau serius?”

“Kalau dipikir-pikir, kegagalan membuahkan kekecewaan pada musuh. Satu-satunya penyesalanku adalah tidak bisa mengekstrak isi perutmu bersih-bersih.”

Balas Elsa sembari menutup mata. Meili tidak mempertanyakan lebih lanjut.

Menjatuhkan gagang pisau yang dia bangga-banggakan ke lantai, dan menarik gagang berbeda—gagang dua pisau, dan dilempar ke Elsa.

“Hmm?”

Garfiel bersenandung riang kala melihat Elsa menarik pisau dari gagangnya.

Dua bilah ini memancarkan tekanan yang terlampau kuat sampai-sampai bilah lain yang dia gunakan tidak ada apa-apanya.

Pisau di tangan kiri Elsa benar-benar hitam dari pegangan sampai bilahnya. Sekilas identik dengan kukri, namun pisau satu ini punya banyak taring hewan buas di ujungnya, lebih cocok untuk menusuk ketimbang merobek.

Pisau di tangannya yang lain berbeda sepenuhnya, putih bersih dan bentuknya tebal. Mirip kukri juga, sangking tebalnya bisa-bisa memotong tulang secepat kilat, memasangkannya dengan pisau hitam melukiskan kedua barang itu teramat kejam dan hebat.

“Itu kartu as lu?”

“Pisau-pisau ini khusus untuk membunuh musuh, alih-alih melihat isi perut mereka. Kecuali Ibu, kau orang ketiga yang aku lawan dengan senjata-senjata ini.”

“Gua kagak lega ngedenger itu, keluarga yang kagak buat gua iri juga.” Garfiel mengejamkan mukanya setelah menelan pernyataan itu.

Meili memerintahkan Monster Iblisnya dan ia bergerak sendiri. Hewan buas itu menginjak-injak tanah, menerjang dinding menuju ke gedung utama untuk mengejar tim Subaru—akan tetapi ….

“Makasih udah nunjukin gua kartu as. Gua belom nunjukin kartu as gue, namanya gak adil, ya?” Setelahnya Garfiel menginjak tanah.

Tiba-tiba, mengalir kekuatan kepada Garfiel dari kaki melalui tanah, melaju di koridor, melewati Elsa dan mencapai Monster Iblis—kemudian meledak.

“—!?”

“Boulderpork!?”

Segala yang berada di bawah monster itu runtuh, kehilangan keseimbangan dan menabrak dinding saat kejatuhannya. Dampaknya mengguncang Mansion, Meili tidak bisa diam saja di atas Boulderpork, ia mendarat di koridor. Menepuk pantat Boulderpork selagi melihat lantai, mendapati sebuah lekukan, ia melirik ke belakang.

“Jangan bilang, kau yang melakukan ini?”

Memanfaatkan Divine Protection of Earth-Soul, Gafiel bisa membuat lekukan maupun tonjolan di daerah manapun asalkan masih ada tanah. Keefektifannya tergantung jarak target atau besarnya bentuk muka bumi yang ia inginkan, tapi cukup untuk gertakan saja.

Garfiel mempelajarinya dari Subaru, ketika kau punya sesuatu yang benar-benar tidak ingin diketahui orang lain, tertawalah tanpa tahu malu.

“Gimana nih. Lu pikir gua bakal ngebiarin lu kabur. Selama kaki gua nyentuh tanah, lu kagak bakal bisa ke mana-mana asalkan mata gua masih ngeliat lu.”

“Meili. Pelan-pelan ke atasnya. Panggil yang lainnya, dan bangunkan hewan itu.”

“… Mama akan marah.”

“Kita akan dimarahi jika gagal mengusir ancaman. Dan juga, aku ragu kita sempat memikirkan masa depan nanti.”

“Jadi lu paham.”

Raut wajah Meili kehilangan ketenangannya selagi ia mengangguk, menggerakkan jarinya ke mulut, kemudian bersiul. Garfiel diam-diam menyaksikan suara lirihnya bergema dari jauh, ke seuruh Mansion. Sekiranya mereka berdua berbicara kebenaran, maka Monster Iblis itu tak lama lagi akan sampai.

Situasinya kian panas dan panas.

“Akan kucabut anggota tubuh dan bahumu saat kau tidak berdaya. Rasanya semua ini akan sia-sia kalau tidak bisa menikmatinya dalam waktu lama.”

“Kapan lu mau berenti nganuin perut?”

“Lebih baik aku tidak bernafas daripada tidak membongkar perut.”

Garfiel membunyikan lehernya setelah Elsa berkata demikian, membungkuk ke depan dan bersiap menghadapi serangan musuh.

Elsa melihai dan memposisikan pisau putih itu di beakangnya, tangannya melentur.

“—Kuyakinkan kau, bahwa aku, lebih dari orang lain, mencintaimu sampai daging dan sumsumnya.”

Senyum mengerikan tak bermoral. Jeritan pisau bergesekan dengan pisau.

Kemudian ….

“—Gahh!?”

Pisau putih yang mencuat dari bahu kiri Garfiel telah mematahkan tulangnya.

—Pertempuran antara Pemburu Usus melawan Tameng Sanctuary, telah memasuki ronde terakhir.


Bahunya kelelahan, pinggulnya, kepalanya, sakit semua.

Dihajar habis-habisan setelah jatuh berkali-kali, selalu menahan erangan kesakitan atas benturannya.

Dia berlari, berlari, berlari, kehabisan nafas, lututnya gemetar, matanya berbayang, tetap berlari.

Bernafas membuatnya sakit. Menundukkan kepalanya agar tidak menghirup asap. Nyala api sudah menyelimuti sebagian besar bangunan, dia tetap berlari mencari pintu yang belum tersentuh.

“—Ugh.”

Menemukan pintu yang belum dibuka, Subaru langsung saja meraih gagang putih dan membukanya. Di hadapannya terungkap ruang tamu yang serba-serbi duniawi, ruang tersebut akan segera tenggelam dalam lautan api. Mengesampingkan emosinya, Subaru membiarkan pintu terbuka saat dia kembali berlari lagi. Menuju ruang sebelahnya, sebelahnya, sebelahnya, dan sebelahnya, membuka setiap pintu yang dia lihat—

“—Nah!”

Terbebas dari bau asap pekat, bau kertas tua menjalar keluar ruangan.

Subaru mengendus bau nan akrab, bau apek saat menginjak ambang pintu.

Subaru mengangkat kepala. Memanggil orang yang mendekam dalam ruangan ini.

“Hei! Sudahi saja semua ini, berhenti marah-marah dan dengarkan a—”

“Keluar, ya!”

Gelombang kejut tak nampak menerpa Subaru, hendak menghempasnya. Namun Subaru mengaitkan jemarinya di karpet untuk mempertahankan serangan itu.

Bearda di tengah-tengah tekanan kuat sampai bisa menyeretnya ke belakang, pipi Subaru tersenyum.

“Hah! Jangan remehkan aku. Kau pikir aku akan terusir lagi, lagi, lagi, dan lagi secepat itu hanya dengan metode yang sama per—”

“Aku takkan mengatakannya lagi, ya!”

“Bahggahhh!?”

Sebuah buku terbang yang mengendarai angin menampar dahi Subaru, dia pusing dan menjatuhkannya, berguling-guling, terbang ke belakang, mengeluarkannya dari ruangan.

Subaru sampai di koridor. Menabrak dinding. Ia menggelengkan kepala ketika pintu di depannya menutup sendiri, lalu Subaru buru-buru merengsek ke benda itu—naas dia terlambat. Ruangan ini sudah tidak terhubung ke Perpustakaan Terlarang.

“Meki! Siapa sih yang kau tunggu sih, loli sampah!”

Setelah menendang pintu keras-keras sampai terbuka, Subaru berlari mencari pintu lain.

Ruangan itu tak mengirimnya ke lantai dua sayap timur—area yang dekat dengan pertarungan Garfiel melawan Elsa—mungkin merupakan kebaikan hati Beatrice.

“Paling tidak dengarkanlah aku, bego!”

Beatrice pasti memikirkan hal yang sama di Perpustakaan.

Sungguh merasakan kebenaran itu, menolaknya berkali-kali, Subaru berlari menyusuri Mansion untuk mencari Perpustakaan Terlarang.

Pertarungan di sayap barat telah memasuki babak terakhir, api dari gedung utama menyala-nyala menuju seluruh Mansion—tinggal masalah waktu saja hingga Mansion Roswaal terbakar habis.

Share this post on:
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments