Share this post on:

Kau yang Terefleksi di Cermin

Penerjemah: Tifa Lockhart

Sambil menghadap penyihir yang balas menatapnya dari cermin, Emilia mendesau.

Sosoknya hanya berwarna hitam dan putih, Penyihir Keserakahan, Echidna.

Setelah mendapati Echidna berada dalam kamar alternatif dunia mimpi, Emilia merasa tempat ini sungguh-sungguh dibangun kepalanya sendiri.

Dunia damai, tenang, nyaman, tempat hidupnya di hutan berlangsung selamanya.

Dunia di mana dia mampu menghabiskan hari-harinya bersama senyum Fortuna, Geuse, Arch, dan semua orang.

“Namun dunia itu tidak ada, kan ….”

“Tentu tidak. Ini adalah dunia palsu berdasarkan ingatan dan harapanmu. Akan tetapi, algoritma penciptaan dunia dalam Ujian telah melampaui pengetahuan manusia. Orang-orang yang kau lihat di dunia ini adalah mereka apa adanya, pembuatannya secepat kilat.”

Emilia baru saja mengingat kebenaran membekunya Hutan Elior.

Seandainya tidak ada korban jiwa saat itu, dan ketenangan hutan terpelihara, kehidupan mereka disertai senyuman semua orang.

Penampakan Geuse dan Fortuna, duduk riang di meja makan, telah menjejal dalam-dalam di kepala Emilia.

Persis seperti kejadian yang ingin dilihat Emilia kecil maupun dewasa dari lubuk hati terdalam, ingatannya dipulihkan.

“Apakah menyaksikan hadiah tak mengenakkan membuatmu tenggelam dalam dunia ini?” seolah-olah mengintip kedalaman hati Emilia, Echidna menamparnya dengan ucapan manis memikat.

Emilia mengangkat kepala. Tatapan Echidna kembali, matanya sendingin suaranya. Membelai rambutnya yang seputih salju, membiarkannya melambai melewati bahu dan turun hingga punggung.

“Ibumu, dan pria baik itu. Apakah melihat kebahagiaan mereka tidak mendorong hatimu untuk melanjutkan hidup ini selamanya? Aku yakin itu menyenangkan dan memimpikan sisa-sisa harimu bersama semua orang di hutan, juga teman-teman yang akrab denganmu.”

“… Intinya apa?”

“Hanya sejumlah kebencian, semacamnyalah. Kau yang menemukanku berarti telah mencapai jawaban atas dunia ini. Dan kau tahu jawabanmu ini adalah memilih kenyataan alih-alih mimpi, sangat membosankan. Hasil akhirnya seperti ini, harapanku jadi sinar.”

“—”

“Daripada kebahagiaan ibu serta teman-temanmu, kau memilih dunia nyata yang membunuh mereka. Hasil dari Ujianmu: Kau seratus persen wanita sinting egois.”

Kritik tajam Echidna menembus dada Emilia.

Kata-katanya terlampau tajam sampai Emilia sakit hati, meskipun dia ditikam secara langsung, tangan Emilia bergerak ke dada dan secara impulsif mundur selangkah. Reaksi Emilia membuat Echidna mendengus.

“Selama itu membuatmu berinteropeksi diri. Omong-omong, Ujian tidak memperhitungkan kepribadian para penantangnya. Selama mereka terkualifikasi, walaupun mahluk tanpa moral, atau bangsawan tamak pengikut paham nazi, Ujian akan menganggapnya setara. Santai saja. Tak lama lagi tujuanmu akan terwujud.”

“Tuturmu … sangattttt menyakitkan. Apa kau seperti ini kepada orang lain?”

“Tidak sama sekali.”

Echidna mengangkat bahu sebagai tanggapan atas pernyataan Emilia yang tegang.

“Selain kau, ada dua orang di dunia ini yang aku dengki.”

“Tidak merasa bahagia sedikit pun karena terpilih menjadi tiga serangkai itu …. Aku tidak ingat pernah melakukan hal yang bisa sampai membencimu.”

“Tak usah mengkhawatirkannya. Kebencianku kepadamu tidak ada hubungannya dengan darah blasteran elf. Bukan perkara asal-usulmu. Tidak ada hubungannya dengan darah atau silsilah, aku hanya membencimu …. Tidak, tidak begitu juga.”

“—?”

Echidna menurunkan pandangannya, merasakan sesuatu yang aneh pada bagian akhir pernyataannya. Emilia mengerutkan alis kepada penyihir yang sedang merenung itu, lalu menggelengkan kepala sebentar. Tidak mungkin dia bisa mengabaikannya dan membiarkan komentar sebelumnya begitu saja.

Echidna telah mengatakan banyak hal yang perlu sekali disangkal. Bukan cuma demi Emilia, namun demi kehormatan seluruh penduduk hutan.

“Membenciku tidak banyak manfaatnya lho. Aku tahu sulit menyukai orang sepertiku. Karena banyak orang bilang mereka membenciku.”

“Kalau begitu masalahnya, alangkah lebih baiknya kau jaga sikap sedikit dan diam saja di hutan.”

“Yah, aku takkan melakukan itu. Aku yakin sudah mengucapkannya di kali terakhir Ujian. Aku akan mencairkan es dan menyelamatkan semua orang. Kemudian berbangga-bangga dan memberitahu semuanya, bahwa dunia sekarang lebih mudah dijelajahi.”

“Lebih mudah dijelajahi. Kebohongan bernyali besar. Diskriminasi antar ras tetap hebat, dan orang-orang tidak dapat menerima mereka-mereka yang berbeda. Oleh karena itu tempat semacam Sanctuary masih mempertahankan fungsinya bahkan sampai hari ini. Perbedaan pendapat yang kau maksud akan sepanjang masa melahirkan konflik di seantero dunia. Salahkah aku?

“… Kau tidak salah.”

Komentar pedas Echidna menempatkan Emilia di ambang pesimistis.

Emilia masih ingat hari-hari yang dia habiskan bersama Puck di hutan. Bagaimana desa-desa terdekat menakutinya, semata-mata meludahi sumpah-serapah dan kutukan-kutukan.

Tingkah tanpa belas kasih Echidna membuatnya memikirkan hari-hari itu. Si gadis mencoba untuk tidak memikirkannya, tetapi luka yang disembuhkan ataupun tak tersembuhkan mulai terasa pedih.

“Tapi aku akan berperilaku seolah-olah kau salah.”

“—”

Masih tertarik pada rasa sakit itu, Emilia membantah tegas Echidna.

Melihat Echidna menyipitkan mata, mengigit bibir, mata Emilia mulai berkekuatan.

“Tidak seperti orang lain, terkadang, terlibat dalam perselisihan menyakitkan. Jumlahmu banyak atau tidak merupakan penentu korban dan pelaku, kadang-kadang, begitu.” kata Emilia.

“Dan hal itu sudah terjadi berulang-ulang kali, sepanjang sejarah. Masyarakat tidak bisa menerima mereka yang tidak berupa sama. Perbedaan jumlah mewakili perbedaan kekuatan. Mayoritas menekan minoritas. Kini kau memahami kebenaran ini, dan sudah sedikit lebih bijaksana, apa pilihannya? Kumpulkan minoritas, dan membuat utopia bagi yang lemah-lemah? Bukankah itu tujuan tempat yang kami sebut Sanctuary ini?”

“Itu … pilihan itu bisa dijadikan pilihan, menurutku. Tapi aku ingin jalan lain. Walaupun aku tidak bisa menampik adanya korban atau pelaku, masa depan lain cerita.

Ketika Emilia menyebut masa depan, wajah Echidna membeku.

Bagi Emilia, Echidna kelihatan marah, seakan-akan sesuatu yang tidak ingin dia dengar dari Emilia. Namun gadis itu melanjutkan.

“Aku yakin akan mengusahakan banyak hal dalam Seleksi Raja. Aku bahkan akan menghadapi lebih banyak hinaan dan dendam daripada sebelumnya. Tapi aku takkan pernah berhenti. Bertanya soal apa salahnya menjadi orang lain. Bertanya apa yang ditakutkan untuk tidak sama seperti tetangga-tetangga kita.”

“Aku lebih ingin kau berhenti mengatakannya, tapi ini adalah kebenaran mendasar. Seseorang tidak bisa menerima perbedaan antara diri mereka dengan orang lain. Pokoknya, semua mahluk ingin semuanya seperti diri mereka. Menyukai hal yang sama, mencintai hal yang sama, membenci hal yang sama, jijik pada hal yang sama—mereka merasa aman kala semuanya satu rasa, dan suka bersimpati. Pahammu akan ditolak. Dicap sebagai ocehan orang lemah.”

“Pemikiranmu itu konservatif! Kampungan!”

“K-kampungan ….?”

Teriak Emilia. Mata Echidna membelalak, tidak menyangkal kata-kata yang terucap itu.

Emilia membusungkan dada.

“Kampungan banget!”

“Kampungan sangat. Kau tidak mirip tetangga, jadi kau membenci mereka … emangnya kau bocah? Konyol sekali kalau ada orang yang ansos gara-gara itu. Aku akan mengumumkannya triliunan kali kepada orang-orang berpikiran pendek ini. Ketimbang koar-koar kau tidak menyukainya, mengomel-ngomeliku tak karuan, lebih baik ubah pemikiranmu sedikit.” ujar Emilia.

“Benar-benar egois. Pemalsuan diri yang hebat. Mengeliminasi opini pihak lain yang tidak ingin kau dengar, agar kau dapat memaksakan opini sendiri?”

“Aku tidak mengeliminasi apa-apa. Terserah mereka mau menganggapnya angin lalu atau tidak—aku hanya keras kepala saja.”

Sambil tolak pinggang, Emilia menunjukkan kepada Echidna bahwa tekadnya takkan pudar.

Ekspresi Echidna berubah masam dan dia memalingkan wajah dari Emilia.

“Terserah omonganmu deh, dunia belum berubah. Para penghuni hutan, membeku dalam es—seandainya mereka masih hidup, dan kau membawanya ke dalam dunia cair, tatanan masyarakat takkan siap menerima mereka. Kau hanya melemparkan mereka ke kesulitan lain. Semuanya demi paham munafikmu.”

Emilia tidak membalas apa-apa.

“Kau ingin membebaskan kawan-kawanmu secepat mungkin. Tapi setelah dibebaskan, teman-temanmu akan menderita karena dunia menolak mereka. Hidup dalam penderitaan, bersama kematian. Di dunia ini, apakah yang dapat dilakukan kehendak pribadimu saja? Apa yang bisa dirubah. Apa yang akan berubah?”

Echidna tulus bertanya kepada Emilia.

Dia telah memverifikasi kebulatan hati Emilia melalui dua Ujian, masa lalu dan masa kini. Sekarang, Echidna menyanyakan Emilia mengenai cita-cita masa depannya.

Perihal pemikiran Emilia yang mesti diikuti Echidna.

Perkara rute yang akan gadis elf itu ambil tuk menggapai masa depan yang didambakannya.

Perihal apa yang akan digunakan Emilia sebagai batu pijakan, tentang bukti konkret apa yang akan membuat jalan ini.

Emilia mengangguk, dan:

“Aku akan memikirkannya setelah menyelesaikan Ujian!”

“—Hah?”

“Akan bertentangan di masa depan nanti bila aku hanya fokus pada masa depan sampai lupa siapa diriku. Aku tahu bagaimana ini kedengarannya saat aku sendiri yang bilang, tapi aku ini banyak bicara. Saat ada tembok yang mesti kuukur, aku meresahkan apa yang ada di balik tembok itu, aku nanti malah jatuh ke lubang di kaki balik tembok.”

Antara Ujian dan argumennya melawan Subaru, Emilia merasa dia punya pandangan benar dan objektif soal dirinya sendiri.

Merasa penilaiannya terhadap diri sendiri juga tak terkekang.

Dia bukan orang cekatan yang bisa mengurus semuanya sendirian.

Pertanyaan tentang apakah, setelah berusaha yang terbaik pada tujuan di depan matanya, Emilia berhasil meraih hasil.

Dia menaruh harapan pada masa depan. Prospek ke depan.

Meneguhkan hati untuk mengincar harapan juga prospek itu, dia mesti mengambil langkah pertama untuk mencapainya.

Sesuatu yang mestinya dibangun sekarang, dengan kata lain, langkah pertama.

“… Aku baru ingat betapa unfaedahnya berdebat denganmu. Bodohnya diriku.”

“Aku tahu kau pintar, tapi tidak adil mematikan pendapat orang lain seperti itu.”

“Kau percaya kita lagi bertukar pikiran? Aku mengajukan pertanyaan, dan jawabanmu hampa, aku sampai lupa. Kau ini bocah tak berdaya, tidak bisa berdiri sendiri, terus saja mengandalkan orang lain, dasar wanita lemah.”

“Kau benar … aku anak lemah.”

Emilia menurunkan pandangan dan menggeleng kepala.

Mendadak kembali menghadap depan, dan menatap lekat-lekat mata Echidna.

“Tapi ….”

“Memangnya salah menjadi lemah?” tanya Emilia.”

“…. Apa?”

“Aku tahu seseorang yang mengajariku hal penting akan ngomong begini. Tidak salah menjadi lemah. Salahnya kalau ingin tetap lemah.”

Emilia memikirkan seorang pria berambut hitam, bermata jahat.

Meratapi ketidakberdayaannya, namun baik hati dan lebih menderita daripada orang lain, seorang anak lelaki berharga.

Andaikan dia, yang meminjam bantuan semua orang tapi tetap mengambil peran yang paling tersakiti, dia akan berkata demikian.

“Reorientasi.”

“Mm. Aku lama berorientasi.” ucap Emilia.

Melihat senyuman di wajah Emilia, Echidna merasa tidak bisa berdebat lagi.

Echidna tak mampu menghentikan Emilia optimistis yang kelewat hiperaktif.

Lebih jauh campur tangan pada masalah ini akan sangat berdampak pada martabatnya sebagai seorang Penyihir.

“… Yah, nikmati sisa Ujiannya. Tatkala kau menaklukkannya, kenyataan akan jauh lebih keras daripada Ujian-Ujian yang ‘kan menantimu. Aku yakin nanti kau mengerti sulitnya menegakkan kata-kata kosongmu.”

“Terima kasih sudah repot-repot berbicara denganku. Aku akan simpan dalam-dalam saranmu. Dan juga ….”

Echidna baru saja hendak menghilang dari cermin.

Melihat refleksniya memudar di cermin, Emilia melanjutkan perkataannya. Echidna mengerutkan alis, tampak masam. Dan Emilia ….

“Terima kasih sudah menunjukkanku dunia ini.”

“—”

“Mungkin dunia yang mustahil tercapai, tapi masih ingin aku lihat. Tak pernah terkirakan hari itu akan datang, Ibu dan …. Ayah Geuse tertawa seperti ini. Terima kasih.”

Betulan menyakitkan ketika Echidna bilang dunia ini tidak nyata.

Sekalipun dunianya mustahil, pemandangan ini akan terjadi nanti.

Pemandangan penuh kebahagiaan dan cinta, cukup membuat Emilia terbalut suka dan duka.

Aku sangat senang bisa melihat ini, pikir Emilia dari lubuk hatinya.

“… Kau.”

Jadi Emilia menyampaikan terima kasihnya—dan raut wajah Echidna berubah.

Tampangnya seolah menyaksikan sesuatu yang memuakkan, perangainya mewakili ketidaksenangan, tindak-tanduknya mencibir semua aksi Emilia, dia menampakkan banyak paras sampai sekarang—namun paras ini berbeda sepenuhnya.

—Echidna, hampir menangis, dia menatap Emilia saja.

“Echidna?”

“Aku membecimu—Aku hanya, membencimu.”

Tutur Echidna, suaranya tercekik dan wajahnya menunduk.

Bayangannya di cermin dan berdistorsi, penyihir berambut putih itu menghilang dalam sekejap. Yang muncul adalah seorang gadis berambut perak tergerai dan—

“—Ah!”

Gelombang penolakan menusuk dada Emilia seketika dia mengalihkan pandangannya dari cermin.

Denyut nadinya kian cepat, nafasnya sedikit tak beraturan.

Harusnya Emilia sudah menguatkan diri perkara semua ini, tetapi sosoknya yang tercermin membuatnya takut. “—”

Satu abad berlalu di Hutan Elior sebelum Puck menyelamatkannya dari es—dia tidak pernah melihat kedewasanya.

Alasannya sederhana. Dia takut saja.

Seabad tidur dalam es berarti hati Emilia belum matang, sedangkan tubuhnya sudah matang menjadi seorang wanita.

Begitu dia siuman, dan tersadar tidak bisa mengendalikan tubuhnya dengan baik, Emilia tersentak dengan ilusi bahwa tubuhnya bukanlah tubuhnya, menghabiskan banyak malam dalam tangisan.

Reaksi dari para penduduk desa tetangga semakin memicu traumanya.

Emilia punya ciri-ciri fisik yang sama dengan sang Penyihir Kecemburuan, dan penduduk desa menakutinya seakan-akan dia ini iblis. Meski tahu Emilia tidak berbahaya, mereka terus mengasingkannya.

Saat orang-orang tahu Emilia tidak berdaya, yang menantinya adalah kehidupan penuh diskriminasi, dendam, dan kutukan. Selama itulah, gadis itu akhirnya tersadar bahwa orang-orang membencinya karena dia mirip Penyihir Kecemburuan.

Ketika itulah dia enggan memakai cermin dan menjaga matanya dari sosok sendiri, sosok yang dibenci orang lain.

Puck tahu luka-luka batin Emilia, dan menghilangkan segala sesuatu yang reflektif di sekitarnya. Puck bahkan memanggilnya ketika Emilia mengambil air, mengalihkan perhatiannya agar tidak melihat wajah yang terpantul air.

—Salah satu pasal dalam kontraknya dengan Puck, kucing itu bertanggung jawab atas perawatan tubuh sehari-hari, kemungkinan besar untuk melindungi Emilia.

Untuk melindungi sang putri, ia tak bisa melihat cermin, Puck memanfaatkan kontraknya sebagai dalih untuk menutupi trauma Emilia.

“… Orang yang menjagaku benar-benar banyak.”

Berapa lama juga Emilia merajuk sendirian tanpa memikirkan perasaan orang lain?

Inilah akhir waktu apatis yang dihabiskannya.

Emilia mengambil nafas. Membeku.

Lanjut mengangkat kepala, melakukan tindakan penting pribadi saat melihat dirinya di cermin.

Terbayang di cermin adalah seorang gadis yang rambutnya perak panjang dan mata kecubung.

Melotot padanya, seakan dunia tengah berakhir.

“—Apaan sih.”

Katanya, semuanya jadi antiklimaks.

Melihat wajah dewasanya di cermin, Emilia mendesah.

“Rupaku miripnya sedikit amat dengan Ibu Fortuna, parah banget ….”

Setelah menggumam cemberut, dunia hancur berkeping-keping.

Dunia mimpi kebahagiaan yang sesuai hasratnya, telah berakhir—


“—Ah, huhh.”

Setelah siuman, Emilia baru tahu dia tidur menempel dinding.

Merosot dan duduk di lantai dengan kaki direntangkan di samping, bersandar di dinding yang terukir pesan-pesan Subaru. Menyisir rambut acank-acakannya dan membayangkan sosoknya sendiri.

Jadi begitu perawakannya, ditakuti banyak orang sebagai Penyihir, dan Subaru terus bilang imut atau bahwa dia dicintai.

Emilia yang tahu estetika pribadinya buruk, tidak bisa memastikan mana pihak yang benar.

Namun, Ibu Fortuna adalah contoh orang paling indah dan keren. Jadi dia tidak menganggap mata jahat itu buruk, dia juga tidak membenci mata jahat Subaru.

“Aku baru saja sadar, bukan waktunya memikirkan hal-hal itu.” menyentuh pipi, Emilia menempatkan jeda dalam pikirannya sendiri.

Sangat menggelikan. Dia dengan aman mengakhiri Ujian dan kembali, melihat pesan tulisan tangan Subaru saja membuatnya sesenang ini?

“Humm … berarti Ujian kedua sudah selesai, kan?”

Gumam Emilia kepada tak seorang pun saat beranjak bangun dan mulai memikirkan hasilnya.

Memikirkan tingkah Echidna di akhir-akhir waktu, Ujian kemungkinan besar telah berakhir. Berbeda dengan Ujian pertama, Emilia merasa dia tidak mengatasi apa pun.

Namun benar-benar hampir merenggut hatinya yang terpikat, ujung-ujungnya dia sukses kembali.

“—”

Fortuna dan Geuse. Ketika Emilia berpikir seberapa dekat mereka, hatinya terasa sakit.

Tetapi Emilia menekan kesedihannya dan kembali ke ruang Ujian.

Andai kata Ujian ketiga sudah siap, Emilia mesti keluar dan masuk lagi sebagaimana yang dia lakukan pada Ujian kedua.

Emilia akan mengerahkan segalanya untuk mengalahkan Ujian terakhir, dan membebaskan Sanctuary.

Demi Subaru, atas permohonan Ram, sesungguhnya untuk bualan yang dia utarakan kepada Roswaal, Emilia harus menjawab harapan semua orang.

“—Gelap gulita.”

Melewati lorong gelap Makam, langkah kakinya mengintip dari lantai batu, Emilia menyipitkan mata saat melihat redupnya cahaya yang masuk ke gerbang Makam. Barangkali awan sedang menghalangi bulan, atau cahaya samar ini asalnya dari bintang.

Dalam Sanctuary, tempatnya kehilangan semua sumber cahaya di tengah-tengah malam, hanya pencahayaan alami dari langit atas tuk merekah kegelapan malam.

“—Hah?”

Demikian yang direnungkan Emilia saat dia berjalan, ketika berjalan keluar Makam, kerumunan tatapan yang tertuju padanya membuat tenggorokannya tanpa sadar macet.

“D-dia kembali!”

Seseorang berbicara, obrolan lansung menyebar ke mana-mana. Keributan kian menyambar di hadapan Emilia yang terkaget-kaget, kelompok besar orang-orang yang seluruhnya memusatkan perhatian pada Emilia.

—Mereka adalah para penduduk Sanctuary.

Orang-orang yang tinggal di Sanctuary kecuali Garfiel dan Lewes.

Emilia tidak sering berinteraksi dengan mereka saat tinggal di sini. Sebagian alasannya karena kondisi mental Emilia tidak cukup tenang, sebagiannya lagi karena mereka juga enggan berinteraksi dengan Emilia.

Emilia langsung grogi sewaktu banyak orang menatapnya seperti ini.

Para penduduk membenci garis keturunan Emilia, tapi menaruh harapan baginya untuk membebaskan Sanctuary, terutama mesti memastikan apakah dia adalah orang yang layak sebagai pemimpin.

Lantas Emilia pikir mustahil bahwa mereka dapat banyak berkumpul seperti ini sebelum dia berhasil membebaskan Sanctuary.

Gadis itu yakin bisa berkomunikasi setelah mewujudkan harapan mereka.

Tapi kenapa berkumpul di sini?

Kenapa juga tatapannya terpaku pada Emilia seorang—tidak ada kebencian, melainkan ekspektasi besar?

“Tidak bisa di bilang bagus sih ….”

Di hadapan Emilia yang kebingungan itu, seorang gadis melangkah maju dari tengah-tengah kerumunan.

Orang itu berambut merah jambu yang tergerai panjang, dia Lewes.

Tampil mewakili para penduduk desa dan tersenyum pada Emilia.

“Semua orang di sini tertegun. Ingin tahu jawaban yang kau berikan kepada Ujian, dan … cemas apa yang terjadi pada kami setelah Sanctuary dibebaskan.”

“… Masuk akal kau mempertanyakannya. Tapi apa maksud Tidak bisa di bilang bagus?”

“Santai. Semua orang di Sanctuary, tentang pertarungan Gar kecil dan Su kecil, adu mulutmu dengan Roz kecil, atau, yah … banyak deh. Kami semua mendiskusikannya secara rinci, dan dari diskusi itu ….”

“M-mendiskusikannya!?”

Selagi melihat Lewes menggaruk-garuk pipi, pipi Emilia sendiri memerah.

Jangankan pertempuran tekad Subaru dan Garfiel, cekcok Emilia dan Roswaal diakibatkan dirinya memaksa pendapat tak berdasar.

Emilia memikirkan ulang bahwa akan memalukan bagi semua orang yang mendengarnya, namun saat dia tahu seseorang kedapatan menguping, dia jadi malu.

“Walaupun kau mendengarnya … Lewes-san, darimana kau tahu itu?”

“Hmmm, jadi … meskipun tampangku begini, telingaku cukup tajam. Sangat tajam, sampai kau tidak bisa merahasiakan semuanya selama masih di Sanctuary.”

“Kupingmu memang tajam …. Waw.”

Lewes mengaku telah menelinga malah mengesankan Emilia alih-alih membuatnya marah. Tidak menyadari wanita tua bertubuh muda itu menjulurkan lidahnya, Emilia mengangguk terkesima kepada semua orang yang berkumpul di sini. Lalu ….

“E-Emilia-sama.”

“Y-ya?”

“Cara bicaramu seperti sedang berkencan saja.” kata Lewes.

Yang memanggilnya adalah salah satu penduduk desa—yang mendiami Sanctuary, kelihatannya seorang demihuman. Gigi taringnya sedikit panjang, pupilnya sedikit berbelah. Dia tampak setua Roswaal atau mungkin sedikit lebih tua, nampak tegang saat menampakkan diri di hadapan EMilia.

“Saya … tidak, kami, anu … dengan setulus hati, kami masih bimbang.”

“—”

“Perihal apakah kami harus mempercayai Anda atau tidak, atau mempelajari dunia luar selain Sanctuary. Karena, dunia luar penuh sesuatu yang tidak kami kenal, dan itu menakutkan. Kami semua lahir di tempat ini, dan hidup di tempat ini pula. Kami tak tahu satu hal pun soal dunia luar.”

Kata-kata itu juga dikemukakan Garfiel, cara hidup dalam Sanctuary.

Penghalang empat ratus tahun telah memaksa orang-orang hidup di sini selama beberapa generasi. Tidak bisa keluar, atau malah tak memikirkan dunia luar.

Namun kini jalan pelarian mereka benar-benar di depan mata, dan orang asing bernama Emilia ini berupaya untuk membebaskan mereka.

Tentu saja banyak orang merasa taka man dan mulai memberontak. Keraguan yang meledak menuju dunia luar, benar-benar percaya akan hal itu.

Emilia takut keresahan Garfiel adalah konsensus seluruh opini dalam Sanctuary.

Dan pria di depannya ini mengutarakan sesuatu-sesuatu yang menjadi ketakutannya.

“Barangkali kami bisa mengikuti arahan Roswaal-sama di dunia luar, namun apa yang membedakan dengan kondisi sekarang? Intinya, kami lebih risau alih-alih penuh harapan. Perubahan menakutkan kami.”

“… Mmm.”

“Akan tetapi.”

Emilia mengangguk dan menurunakn pandangannya, ketika pernyataan pria itu menghentikannya. Si pria membenarkan posisi tubuhnya sebelum melanjutkan, wajahnya tegang.

“Semua orang tahu bahwa Garfiel … telah mendengar suara bocah itu.” Emilia tidak membalas apa-apa.

“Kami tahu isi pikiran polisi itu, dan perasaannya. Tahu percakapan antara dia dan bocah berambut hitam, antara Anda dan Roswaal-sama setelahnya.”

Masih tegak, raut wajah pria itu berubah.

Menyesal, hampir menangis. Kata-katanya menghujam dalam-dalam dada Emilia.

“Saya, dengan tulus mengatakan, rasanya menyedihkan. Seorang bocah empat belas tahun sangat mengkhawatirkan kami, dan seorang anak belum berusia dua puluh tahun meneriaki kami seperti itu …. Sekalipun Roswaal-sama sendiri bilang Anda tidak akan berhasil, kami juga akan mendengarkan kata-kata Anda. Lantas, Emilia-sama.”

“—Ya.”

“Entah bagaimana hasilnya, tidak peduli kejadian sesudahnya, saya yakin usaha Anda untuk menantang Ujian sangat luar biasa. Menakjubkan. Tidak semua dari kami bisa begitu. Tapi saya ingin menyaksikannya sampai selesai.”

Menyaksikan apa? Tidak perlu bertanya.

Dikelilingi tatapan, Emilia melihat orang-orang di belakangnya—sekumpulan orang yang menerimanya sebagai pemimpin—kemudian mengangguk.

“Aku mengerti. Aku pasti akan mengakhiri semuanya … dan kalian wajib mendengarkan kata-kataku.”

“Ya. Kami berjanji. Menghakimi seseorang lewat kabar burung, tanpa berinterkasi langsung dengna mereka … Kamilah yang semestinya menurut, huh—Wahgh!”

PRia itu merosotkan bahunya. Lewes mencubit pinggul si pria dari belakang.

Pria itu muncul dan balik badan, tapi Lewes hanya mencibir cekikikan.

“Kau tidak seperti biasanya, jadi serius, ya. Dan cara bicaramu jadi santai di tengah-tengahnya. Karena kau belum terbiasa.”

“… M-maaf.”

“Omong-omong, demikianlah pemikiran kami. Maaf atas keributan ini.”

Lewat perbincangan damai barusan, Lewes menyuruh pria itu mundur.

Emilia menarik nafas dalam-dalam, sesuatu yang bukan oksigen menegarkan dadanya.

Lewes melimpahkan rahmatnya, dan orang-orang Sanctuary datang untuk melihat usaha Emilia. Siapa yang dapat menghitung kebesarannya kepada Emilia?”

“Terima kasih, Lewes-san. Sekarang, aku bisa berjuang sangatttttttttt keras.”

“Begitu, begitu. Yasudah …. Selanjutnya pasti Ujian terakhir.”

“Ya, yang terakhir—Aku akan langsung menantangnya.”

Dengan kekuatan yang diberikan kepadanya, Emilia berbalik dan menghadap Makam.

Tapi di pertengahan balik badannya, Emilia terhenti, mengingat sesuatu, dan melirik Lewes.

“Ah, oh … sebenarnya, Lewes-san, apa kau melihat Ram? Aku ingin memberitahunya bahwa aku menyelesaikan Ujian kedua, tapi ….”

“… Ram pergi menangani beberapa urusan. Tapi dia mendoakan keberuntunganmu. Kau punya tugas, dan aku juga. Mari selesaikan keduanya.”

Kedengarannya seperti kata-kata Ram, meskipun hanya laporan saja, Emilia masih tersenyum amsam.

Tugas Ram—dimana, dan dengan siapa, akankah dia mencapainya?

Emilia merasakan sesuatu dalam dadanya, tetapi buru-buru dia tekan.

Ram percaya padanya. Jadi, dia juga akan percaya pada Ram.

Sebagaimana Subaru dan kawan-kawan membukakan jalan untuknya, dia ingin melanjutkan perjuangan mereka dan ikut membuka jalan.

“Aku pergi.”

Lewes mengangguk, dan para penduduk menghantarkan kepergiannya.

Merasakan tekad lebih gagah dari Ujian pertama atau kedua, Emilia melangkah ke dalam Makam.

—Di sana

[Hadapi musibah yang akan datang]

Ujian terakhir, mendekati—


Ram merasa detak jantungnya seolah-olah tersentuh dari jauh.

Dia tak pernah merasa sebenci ini pada satu orang itu sebelumnya.

Kontak fisik bersamanya, berbicara bersamanya, disuruh-suruh olehnya.

Hal-hal itu adalah kebahagiaan bagi Ram, sekaligus makna hidupnya.

Kegirangan dan kegadis-gadisa—sewaktu dia menganggapnya sebagai musuh—Ram sangat menikmatinya.

“… Beraninya~ kau datang~ ke sini.”

Gumam seorang pria jangkuk di seberang Ram, memelototinya.

Suara panjangnya membuat kepala Rampening.

Ditatap oleh mata berbeda warna itu, segala sesuatu di bawah pinggangnya hendak hancur.

Bairpun, alamiahnya bukan waktu untuk menunjukkan hal lemah nan feminim.

Seorang wanita seperti itu akan dianggap tak berguna dan dibuang.

“Nah~, kau punya apa datang~ ke sini?”

“—Sederhana.”

Ram menjawab seperti biasa, wajahnya tanpa ekspresi dan tetap tenang.

Rambut pinknya terayun-ayun, Ram menarik tongkat dari bawah roknya, kemudian ditunjuk kepada pria cantik di hadapannya—menunjuk master terhormat.

“Saya datang untuk mengembalikan Anda dari delusi sendiri.”

Dan mengaku bahwa Ram di sini untuk membakar kekasihnya, yang termakan cinta gila, sendirian.

Share this post on:
Subscribe
Notify of
guest
2 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Unknown H

Judulnya salah tuh gan :”v

Yami

Mantap