Share this post on:

Jika Mengemban Kerakusan

Diterjemahkan Oleh DarkSoul

Menambahkan, menambahkan, menambahkan, terus membentuk wujudnya.

Menambahkan, menambahkan, terus mencetak bentuknya.

Menambahkan, menambahkan, terus mengisi warnanya.

Menambahkan, menambahkan, menambahkan, dan terus melanjutkan hingga mendekati penyelesaian.

Menambahkan, menambahkan, menambahkan, menambahkan, menambahkan, menambahkan, menambahkan, menambahkan, menambahkan, menambahkan, menambahkan, menambahkan, menambahkan, menambahkan, menambahkan, menambahkan, menambahkan, menambahkan, menambahkan, menambahkan, menambahkan, menambahkan, menambahkan, menambahkan, menambahkan, menambahkan, menambahkan, menambahkan, menambahkan, menambahkan, menambahkan, menambahkan, menambahkan, menambahkan, menambahkan, menambahkan, menambahkan, menambahkan, menambahkan, menambahkan, menambahkan, menambahkan, menambahkan, menambahkan, menambahkan, menambahkan, menambahkan, menambahkan, menambahkan, menambahkan, menambahkan, menambahkan, menambahkan, menambahkan, menambahkan, menambahkan, menambahkan, menambahkan, menambahkan, menambahkan, menambahkan, menambahkan, menambahkan, menambahkan, menambahkan, menambahkan, menambahkan, menambahkan, menambahkan, menambahkan, menambahkan, menambahkan, menambahkan, menambahkan, menambahkan, menambahkan, menambahkan, menambahkan, menambahkan, menambahkan, menambahkan, menambahkan, menambahkan, menambahkan, menambahkan, menambahkan, menambahkan, menambahkan, menambahkan, menambahkan, menambahkan, menambahkan, menambahkan, menambahkan, menambahkan, menambahkan, menambahkan, menambahkan, menambahkan, menambahkan, menambahkan, menambahkan, menambahkan, menambahkan, menambahkan, menambahkan, menambahkan, menambahkan, menambahkan, menambahkan, menambahkan, menambahkan, menambahkan, menambahkan, menambahkan.

Menambahkan, menambahkan, menambahkan, sampai kini, selagi menambahkan dirinya, dia masih belum selesai.

“―Hei, tahukah kau namaku?”

Si gadis kecil, Amue Sears, menahan nafasnya setelah bertanya demikian.

Pertanyaan biasa, tanpa ada maksud di baliknya. Semestinya pertanyaan blak-blakan yang tak perlu lama berpikir atau menyiapkan jawabannya. Jika kau tahu, ya tahu. Jika kau tidak tahu, ya tidak tahu. Hanya itu saja.

“―”

Tapi, suara Amue tidak ditujukan pada pertanyaan itu, meskipun ada namanya.

Hidup adalah serangkaian pilihan. Kenyataan yang bahkan Amue pun, yang baru berusia empat belas tahun, tahu betul itu dari pengalaman hidup singkatnya.

Perkara hidup, segala halnya harus diputuskan. Dari hal kecil, hal biasa, atau, mungkin pilihan besar yang berdampak pada hidup kita. Namun, kesampingkan kecil atau besar, hidup seluruhnya adalah pilihan.

Sekarang, sebuah pertanyaan berbobot terbesar yang mengemban hidup empat belas tahunnya ditanyakan kepada Amue Sears. Atau mungkin, pilihan terbesar hidupnya. Pertanyaan membosankan tak berarti banyak itu, tanpa hal spesial di dalamnya, pernah diajukan sebelumnya, hal yang serupa.

“―Hei, tahukah kau namaku?”

Pertanyaan yang diulang-ulang itu mengikat tenggorokan Amue. Namun demikian, seseorang yang bertanya nampaknya tidak ingin merasa begitu. Bahkan berbaik hati untuk mengulangi pertanyaannya, kesediaan semacam itu rasanya tak seimbang.

Kalau itu satu-satunya pertanyaan yang menyiksa Amue, maka itu juga satu-satunya pertanyaan yang paling mencemaskannya. Sesungguhnya, si penanya hanya ingin jawabannya saja. Oleh karena itu Amue mesti mencari solusi yang tepat di antara opsi-opsi yang tersedia, petunjuknya hanyalah apa yang ia renungkan dalam kepalanya.

―Apakah jawaban yang benar itu?

Tahu, atau tidak tahu, mana jawaban yang ia cari? Atau mungkin lebih baik menjawab bahwa ia mengetahuinya, walaupun sebenarnya tahu? Ataukah, jawab saja tidak tahu, walaupun sebenarnya tahu?―hati Amune menjerit atas dua pilihan menyiksa itu.

“―Hei. Tahukah. Kau. Nama. Ku?”

Setiap bagian pertanyaan yang sekali lagi diulang tersisip ketidaksabaran. Meskipun mereka tidak saling memahami, apa yang membuat si penanya girang? Ketakutan yang tersulut di dada Amue. Sejujurnya, dia bisa saja menjawab Ya atau Tidak, namun takkan mungkin memenuhi harapan si penanya.

Dia tak bisa mengakhirinya tanpa menjawab apa-apa, masih tidak merespon, tidak membuat keputusan. Dia belum merasa lega―Hanya dalam hal itu, tiada keraguan.

” ―”

Suaranya masih tak keluar. Mengembalikan tatapan sepasang mata hitam di hadapannya itu. Amue merenung. Dalam mata hitam tersebut, wajah mengerikan Amune tercermin lesu. Benar-benar tidak ingin dia ungkapkan, tapi pada penampilannya sendiri, dia sadar betul sosoknya, ia telah menjadi bayangan dari pribadi sebelumnya.

Karena benar-benar takut dikuasai si penanya di depannya, dia meringkuk.

Wajah Amue tersentak, kelelahan, seakan-akan dalam sekejap telah menua puluhan tahun. Bila semuanya terus seperti ini, dia bisa-bisa mati oleh pertanyaan yang mendesaknya, serapuh itulah dia―

“―Hei, tahukah kau namaku?”

Tekanan kuat mendadak memberinya kesan kematian, namun di dalam dirinya terbalik, ada harapan besar yang tumbuh. Walaupun Amue mengalami sensasi seolah dicekik sampai dadanya serasa mau runtuh, firasat andai dirinya menjawab saja akan langsung terbebas, telah memberinya harapan. Seketika memikirkannya, dia tersadar perasaan suram yang mendominasi tubuhnya mulai memudar.

Perasaan tercekik datang dari desakan kuat keraguannya mengenai apa yang mesti dia jawab. Karena dia ingin terbebas dari semua ini, dia harus menggigit kerisauannya pada pertanyaan awal. Barangkali semacam naluri pertahanan pribadi, tetapi bagi Amue di saat-saat ini, rasanya bak wahyu ilahi. Karenanya, dengan bibir gemetar, dia sekali lagi menatap mata-mata hitam itu.

“―Hei, tahukah kau namaku?”

Dia akan terbebas dari mati lemah tatkala menjawab pertanyaan itu.

Mengerahkan segenap kekuatannya, Amue akhirnya menggerakkan lidah bergetarnya, kemudian merangkai beberapa huruf.

“T … tidak ….”

Sesuai itikad hatinya, Amue menjawab bahwa dia tak tahu. Melepaskan pikirannya dari pilihan-pilihan yang tersedia sampai berhenti sendiri di benaknya.

Dengan sangat jelas menjawab pertanyaannya. Faktanya, dia tak tahu nama ataupun wajah orang yang berdiri di hadapannya.

Perkara dirinya, yang tinggal di tempat perbatasan, sebuah desa terpencil, peristiwa-peristiwa dari Kerajaan, bahkan yang paling penting, semacam rumor dari negeri yang jauh.

Itulah sebabnya, seterkenal apa si penanya, baginya, si penanya adalah orang asing yang tak dia kenal―

“―Begitukah?”

Jawaban singkat. Dia tak tahu apakah emosi mendalam atau kekesalan yang tertuang dalam jawaban itu. Urusan setelahnya adalah persoalan si penanya.

Seandainya hidup adalah serangkaian pilihan dan keputusan, maka hal itu berlaku sama untuk semua orang. Karena Amue telah memilih, si penanya juga harus memilih.

“―”

Seorang gadis kecil berumur empat belas tahun menunggu reaksi lawan bicaranya dalam diam.

―Menunggu jawabannya sendiri di tengah-tengah desa yang tak tersisa seorang pun kecuali dia.


“Hei, Subaru. Sebentar lagi waktunya makan siang, kan?”

Menghentikan langkahnya saat mendengar panggilan itu, Natsuki Subaru menggosok perutnya. Siang telah turun, Subaru memang merasa lapar. Dia tak menyadarinya karena konsentrasi jalan-jalan. Terus menyusuri jalan utama tanpa henti sampai-sampai harus berkonsentrasi penuh pada berjalan saja. Semisal Subaru memikirkan arahnya, dia malah akan tertekan, sepanjang itulah perjalanannya.

“Yah, istrirahat sebentar tuh penting, ya? Maaf, Emilia-tan. Apa kau lelah?”

“Tidak sama sekali, aku baik-baik saja. Tapi, aku barusan mencemaskanmu saja, karena sampai sekarang berjalan terus. Kalau merasa baik-baik saja, tak apa, tapi ….”

“Tidak tidak, bukan masalah, perutku juga keroncongan. Aku seratus persen lapar, sampai-sampai perutku hampir menempel ke punggung. Heh, bahaya banget, bahaya banget.”

“Begitukah? Berarti tempat yang sangaaaaaaaaaaaaaaat berbahaya bagi perutmu, kan ….”

Mendengar jawaban Subaru, yang telah berlebihan menaruh tangannya di atas perut, seorang gadis berambut perak―Emilia menutup mulut dan cekikikan. Sosoknya seperti wanita paling cantik di seantero dunia, suaranya kedengaran seperti lonceng perak. Saat wajah tersenyumnya makin dalam, Subaru menggaruk kepala dan ikut tersenyum pula. Dari balik mereka berdua―

“Jangan goda Emilia terus, ya. Selapar apa perutmu, tidak mungkin perut dan punggung jadi satu, ya.”

“Aduh.”

Ketika menoleh ke asal suara, Beatrice ada di sana, wajah santai sambil melipat tangan. Subaru mendadak menyipitkan mata kepada gadis kecil yang mengenakan gaun indah. Melihatnya, Beatrice mengerutkan alis yang terawat baik, lalu berkata, “Ada apa, ya?”

“Wajah Subaru agak mengganggu, ya. Ada apa sih?”

“Manis sekali saat kau mengatakannya. Katakan lagi dong!”

“Hrrrr! Jangan kejebak hal-hal aneh semacam itu, ya!”

Parasnya merona, Beatrice menampik ucapan sembarangan Subaru. Subaru dan Emilia saling menatap dan tertawa ketika melihat tanggapan Beatrice. Gadis kecil itu bahkan menggendutkan pipinya. Melihatnya seperti itu betul-betul imut―Tidak ada yang salah. Apabila Subaru memberitahunya secara langsung seperti tadi, bisa jadi suasana hati Beatrice makin buruk. Setelahnya, Subaru menggulung salah satu lengan bahu dan berteriak, “Baiklah!”

“Oke, bagaimana kalau manfaatkan keresahan Emilia-tan dan mulai makan siang? Untuk saat ini, biarkan aku menampilkan bakatku. Ada permintaan?”

“Ah, oke deh, aku ingin kau menyisipkan mayonesnya. Hei, Ram sepertinya membuat mayones lagi, kan?”

“Tentu saja, tentu saja, sungguh senang sekiranya itu perintah Emilia-tan! Beruntungnya, ada banyak persediaan mayones yang dibuat Ram. Akhirnya dia mengakui kelezatannya ….”

“―Berhenti mengatakan hal-hal bego.”

“Uahhh!?”

Setelah menaruh tas-tas yang dia bawa, Subaru mulai membuat perkemahan di dekat jalan besar. Melihat sepasang kaki ramping berdiri di sampingnya, mata merah muda pucat yang menatapnya mengagetkan Subaru. Seorang wanita yang menyilangkan tangan, aura nyonya besar menyelimutinya. Gadis itu kelihatan sedikit ramah, berbanding terbalik dengan pakaian pelayan yang ia kenakan―

“Sambutan yang lumayan kasar, ya, Ram. Paling tidak biarkan aku ngomong dulu!”

“Hah! Jangan membuatku tertawa. Aku membantu membuat mayones karena pesanan seorang profesional. Memangnya Ram asal percaya pada bumbu yang rasanya hambar dan aneh itu? Menjijikkan.”

“Berlebihan kalau dibilang menjijikkan! Lagian, kau tidak bisa menampik kekuatan rasa mayones pada kentang rebus! Takkan kuizinkan kau mengatakan rasanya palsu!”

Rasa yang dilapisi banyak mayones pada kentang kukus penuh garam dari oven. Rasa manis dari cita rasa terlarang yang membanjiri lidah seseorang adalah Surga yang harus dinikmati seluruh pecinta mayones, paling tidak sekali―Kentang dan mayones memiliki unsur kecocokan tertinggi, sangking tingginya mustahil kehilangan kelezatannya.

Mulut Subaru berair tatkala mengingat harmoni rasa luar biasa itu. Apakah makanan di samping Subaru rasanya sama? Dia mendapati mata Emilia serta Beatrice berkilauan.

“Lihat tuh, reaksi dua penikmat manis ini! Melihat mereka, masihkah kau mendustakan mayones!?”

“… Ah, ya. Seperti yang Barusu bilang. Keagungan kentang kukus bersama bumbu aneh macam mayones dapat menambahkan nilainya.”

“Bukan begitu, sebaliknya! Tidak, sebaliknya pun tidak benar, lebih tepatnya kau kepala batu. Benarkan itu, nee-sama!”

Ujung-ujungnya, Ram tidak pernah mau mengakui kontribusi mayones lebih besar daripada kentang rebus. Meskipun Subaru mengayunkan tinjunya pada sikap keras kepala itu, Emilia tertawa lepas, bilang, “Nah, nah, santai saja,” kepada mereka berdua.

“Subaru, tenanglah. Aku suka mayones dan kentang rebus, sekaligus mayones yang dialirkan ke atas kentangnya. Lagi pula, Ram hanya tidak mahir jujur.”

“… Emilia-sama, tolong tidak usah repot-repot memikirkan Ram. Usia target Ram akan menurun seiring terucapnya kalimat itu oleh Emilia-sama.”

“M-maaf. Apa maksudmu target usia ….?”

Emilia bingung terhadap reaksi tidak jelas dan tidak dapat dipahami Ram. Namun, perasaan yang telah diekspresikan dalam perbincangan dua orang itu bukanlah kemurungan, melainkan kasih sayang dan kepercayaan. Sebaliknya, Emilia dan Ram telah membangun hubungan ideal satu sama lain. Menganggap mereka punya hubungan tuan-pelayan agak rumit karena dari sudut pandang Ram, dia tak menganggap dirinya bawahan, sekalipun lebih banyak hubungan antara mereka berdua. Dan hanya Subaru yang memahaminya sebaik mungkin. Bagaimanapun―

“Aku merasa bersalah pada Nee-sama, tapi kata-kata Dewa Emilia-tan harus diutamakan. Begitulah model pesta ini. Semuanya, makan siang hari ini akan serba mayones!”

“Yayyy, horeeee!”

Emilia bertepuk tangan gembira, Ram mendesah putus asa. Meski begitu, Ram merasa sudah cukup untuk tidak mengungkitnya lebih lanjut. Emilia sendiri memahami kelezatannya. Tentu saja, karena Subaru adalah pecinta mayones tak terkendali, dialah hakim atas menu abnormal ini.

“Oh ya, Beako juga sangat menyukai mayones sepertiku. Itu membuatku senang, kan?”

“Itu tidak salah, ya. Tapi, caramu berbicara menyebalkan, ya. Sebetulnya amarah Betty tak mudah disingkirkan, ya. Sebagai gantinya aku ingin makanan enak, ya.”

“Hehe, sesuai permintaanmu.”

Membusungkan dada kurusnya, Beatrice mengajukan perminaan spesial. Subaru membungkuk terhadap permintaan itu. Melihat gerakan lebay Subaru, memastikan bahwa Emilia dan kawan-kawan puas, para pelayan mulai menyajikan makanan. Walaupun ahli, mereka tak bisa membuat makanan rumit di tengah-tengah wilayah terbuka. Apabila menggunakan kekuatan sihir, mereka bisa menggunakan api dan air di sana-sini, tapi ….

“Maaf, Subaru. Aku tidak bisa terlalu membantumu.”

“Tidak usah minta maaf. Sekarang waktunya aku bersinar, bukan begitu? Kebalikannya, oke-oke saja kok kalau jatuh cinta lagi pada saat aku memperagakan keterampilan tak terduga kreatifku.”

“Aduhh, dasar idiot.”

Mengembalikan senyum pada Emilia yang masih menampakkan seringai samar di wajahnya. Subaru mulai memikirkan sesuatu atas dasar bahan-bahan yang ada di tangannya sekarang. Makanan adalah energi sehari-hari, Subaru tidak mau main-main. Memerika isi tasnya, Subaru berusaha sebaik mungkin untuk menyiapkan makanan yang dapat memenuhi kebutusan semua orang. Semua orang yang menyertainya akan diberikan makanan enak.

Subaru sampai sekarang belum memikirkannya, tapi akan menyenangkan andai semua orang merasakan hidangan lezat buatan Subaru. Salah satu motivasi koki Subaru membuat makanan. Andaikan dia bisa mengerjakan sesuatu yang sederhana, maka ibunya pasti akan senang.

“Hmmmmmmmmmm ….”

Selagi membatasi emosi itu dalam sudut pikirannya, Subaru mengintip mereka yang sibuk memasak dan wajahnya menyantai saat melihat sosok ceria Emilia dan teman-teman. Dia bahkan bisa mendengarkan suara senandung. Benar-benar tidak jelas.

“Oho, hari ini yang bertugas membuat makanan ternyata onii-sa~n. Cukup merisaukan~”

Meili muncul saat mereka tengah menyiapkan makanan. Meili menghadap Subaru, tatapannya cocok dengan anak gadis seusianya sambil memutar-mutar jari dalam rambut kepang birunya. Subaru balas menatap curiga Meili yang parasnya tersenyum manis.

“Risau, ha? Risau apaan. Aku tidak memberi makanan kepada gadis yang omongannya seenak jidat!”

“Wow, itu ja~hat. Lagian, bukankah Onii-san yang ingin memasukkan mayones ke semua makanan? Aku tidak terlalu menyukainya.”

“A-apa!? Kau juga tidak tahu pesona mayones ….!?”

“Wajahmu jangan terlihat seperti dunia mau kia~mat dong.”

Meili menghela nafas saat melihat Subaru menampakkan wajah terheran-heran. Tapi, syok yang diterima Subaru sewaktu mendengar jawaban Meili tak terukur. Bahkan jika tidak seperti dunia mau kiamat, kejutan yang dia terima rasanya seakan-akan tahun telah berakhir.

“Pokoknya, kupikir kau menganggapnya sedikit terlalu serius. Nona Meili cuma bilang dia tidak satu selera denganmu, ingin mencampurkan mayones ke semua makanan.”

“Ugh ….”

Julius-lah yang melanjutkan kata-kata Meili, seketika dia keberatan dengan mayones. Julius adalah pria tampan, kiprahnya pun agung. Julis mendadak menghampirinya dan tiba-tiba menyeringai.

“Kalau boleh saran, aku juga sepikiran dengan Nona Meili. Kendati mayones sendiri tidak buruk-buruk amat. Kesan pertamanya akan berkurang apabila kau berlebihan meletakkannya. Kau mesti berhati-hati, tahu.”

“Dasar orang banyak omong. Yang terjadi sekarang tuh masalah aku dan Meili. Lebih baik kau tidak nimbrung.”

“Sekiranya peranku sebagai salah satu anggota di sini, adalah menjaga kesehatan grup. Mengabaikan benih ketidaksetujuan akan menghasilkan suatu konflik, kau akan menyesal dan meratapi semuanya. Sudah jadi tugasku untuk memberikan nasihat sebelum berakhir buruk. Hanya karena itu saja, tanggapanmu seperti itu?”

“Kau ini pria yang selalu bisa menyalahkan semua omonganku, bukan!”

Mengekspresikan dirinya dengan cara ribet, Julius menghantam dalih Subaru. Merasa tersudut oleh kata-katanya, suara Subaru semakin dalam.

Mendengarkan percakapan mereka, Emilia tertawa terbahak-bahak dan bilang, “Hehe.”

“Emilia-tan?”

“Seperti biasa, Julius dan Subaru adalah teman yang sangatttt akrab.”

Subaru dengan sedih menurunkan bahunya ketika melihat Emilia yang seolah-olah tengah menonton adegan menyenangkan. Dalam sudut pandang yang sama pula, Julius menutup salah satu mata sambil menggaruk pinggirannya.

Baru kali ini Subaru dan Julius saling setuju. Tetapi, tampaknya terdapat perbedaan dari cara Emilia menerima pendapatnya. Karena mata ungu bagaikan permata itu menganggap pembicaraan Julius dan Subaru seperti obrolan teman dekat.

“Anu, Emilia-tan. Aku selalu bilang ini, tapi itu ….”

“Itu?”

Selalu saja salah paham, entah bagaimana kondisinya. Subaru mencoba menjelaskan itu kepada Emilia yang cenderung memiringkan kepala―

“Itu ….”

“―――”

Kata-kata yang ingin Subaru jelaskan, awal mulai pemberhentiannya, bibir Subaru menegang.

Barusan, gerakan Emilia yang memiringkan kepalanya sambil tersenyum, membuatnya berhenti―Tidak, bukan hanya Emilia saja yang berhenti.

Di sekeliling lingkungan Subaru, semua orang yang sibuk memasak hingga kini, mereka yang bercakap-cakap tengah membatu―seolah-olah dunia telah berhenti sepenuhnya dan menunggu langkah Subaru berikutnya.

Namun, suara angin, aroma tanaman hijau, dan air mendidih menuturkan bahwa itu tak benar. Dunia belum berhenti―hanya Emilia dan anggota timnya yang berhenti. Seolah-olah Subaru sedang menunggu gambar menyusulnya, mencoba memunculkannya kembali.

Tetapi, hanya mereka saja yang berhenti―

“―Master~! Dor, aku datang memeriksa~!”

“―”

Mendadak, kehadiran orang asing melibatkan dirinya ke dunia sunyi yang tengah terhenti. Sosoknya bergerak di depan mata Subaru, menyalakan api dan duduk di atas sebuah batu besar. Sosok itu melompat gesit, menerjangnya dengan penuh semangat.

“Inilah kembalinya Shaula! Master, tolong puji dan peluk aku, cintailah aku!”

Seorang wanita jangkung cantik, senyum menghiasi wajahnya, menoleh ke arah Subaru dan mengatakan demikian. Dia adalah seseorang yang mengungkapkan kulit putih beningnya, rambut panjang terikat. Memamerkan tubuh feminim seksinya tanpa rasa malu―si wanita, Shaula, memasang senyum riang di wajahnya.

“―”

Sayangnya, reaksi Subaru kepada penampilan Shaula cukup buruk. Reaksinya seperti biasa. Shaula menerobos masuk persis ketika Emilia sedang tersenyum.

Lompatan lihai dan meriahkan menceraiberaikan Emilia, dia juga menghapus orang-orang lain yang sedang diam. Subaru mengerutkan kening.

“A-apa? A-ada apa, Master? Apa aku mengacaukannya lagi?”

“… Tidak, tidak apa-apa. Tidak perlu mengkhawatirkannya. Kau tidak salah.”

“Begitukah? Baiklah, aku tidak akan khawatir! Ah, oh ya, Master aku senang kau menyiapkan makanan! Aku lapar~”

Untuk sesaat wajah Sahula jadi mendung ketika melihat ekspresi Subaru, namun begitu mendengar penjelasan Masternya, dia memeluknya, sedikit nampak sedikit bekas kecemasan di wajah Shaula.

Meskipun merasakan tubuh Shaula menekan tangannya, kelembutan surga di siku dan bahu, Subaru melepaskannya seraya berkata, “Hei, lepaskan aku.”

“Ah! Master jahat banget …. Tapi aku tidak akan berkecil hati. Bambambam, dengan menyerangmu seperti ini, aku akan menembak tepat hati dan jiwa Master, memancing naluri pria.”

“Bidikanmu tidak tepat sasaran …juga, jangan memegang tangan orang yang lagi masak. Apa jadinya kalau tanganku terbakar?”

“Misalkan benar terjadi, aku akan menjilat lembut lukanya! Aku jilat dan jilat terus siang malam, tidak melepaskanmu!”

“Tidak bisa menghentikan infeksinya ….”

Shaula bersikeras, mengangkat kedua tangannya dengan sangat semangat. Subaru mengangkat bahu setelah melihat perilaku Shaula itu dan tertawa sedikit. Melihatnya, Shaula mengangkat alis, “Oh, oh!”

“Master barusan tertawa? Ada yang lucukah?”

“Yang lucu tuh kau, kau seorang.”

“Ehh, apakah itu … lamaran pernikahan ….?”

“Bagaimana bisa sampai ke kesimpulan itu!?”

Subaru tidak tahu pembicaraannya akan melompat ke arah sana, dia menepuk jidat Shaula (pipinya menggeliut-geliut, bersimbah warna merah), memasukkan penolakan dan keberatan. Shaula menerimanya, ia mengerang. “Oww~”

“Yah, yah, tidak bilang Kau wanita yang lucu, tingkahmu seperti seorang pria yang jatuh cinta pada wanita yang juga mencintaimu! Setelahnya, bukankah langsung saja bilang, Jadilah wanitaku!?”

“Bener nih, darimana kau mendapatkan informasi sepihak itu? Pernyataan itu sudah menua bahkan di kampung halamanku, kau tidak bisa menggunaknanya lagi ….”

Mungkin jarang protagonis laki-laki bisa menangani kejadian pertemuan pertama kali dengan wanitanya dalam game, atau di manga Shoujo. Tapi, Subaru tidak tahu apakah pernyataannya masih digunakan hingga sekarang.

Pokoknya, bilang Shaula lucu bukan berarti untuk menggodanya. Dan setahu Subaru, reaksi Shaula―

“―Hal yang kau ujar tak terduga, kalimat baru.”

“―”

“Karena itulah berbicara denganmu … tidak parah-parah amat. Tidak diragukan lagi.”

Subaru tidak secara umum bilang berbicara dengan orang selain Shaula merepotkan. Tetapi, ketika Subaru bercakap-cakap dengan orang lain, biasanya, dia akan menyadari ketidaklengkapan dirinya sendiri. Dan itulah yang menyakitkan. Bukannya orang lain bersalah juga―yang bersalah adalah dia sendiri.

“Yang bersalah … selalu aku. Karena itulah ….”

“Dengan kata lain, kali ini, lamaran pernikahan!?”

“Apaan sih, enggaklah!”

Suasana yang hadir oleh kata-kata tulus itu berlangsung sesaat saja. Shaula membiarkan ketidakpuasannya pada Subaru berteriak-teriak. Menggoyangkan tangan dan kakinya seraya protes, “Eeeh~”

“Tapi, tapi, waktu tidak jelas yang kuhabiskan di suatu tempat, kaulah yang mengenalkan hal baru padaku. Seperti itu deh. Bukankah itu yang menjadi hak legal dari hak legal~?”

“Sama sekali tidak. Jadi, pengetahuan biasmu itu darimana ….?”

Subaru inginnya bicara serius, tapi Shaula mengacaukannya, dan pria itu menghilangkan ide tersebut. Tanpa sadar mengendurkan pipi, Subaru kembali berkonstentrasi pada masakannya.

Di sebelah Subaru yang sedang masak-masak di pinggir jalan, sebuah makanan disiapkan untuk mereka berdua. Untuk Subaru dan Shaula―bukan untuk mereka yang lagi ngobrol, yaitu: Emilia, Beatrice, Ram, Meili dan Julis serta kawan-kawan lainnya.

―Menyadari kebenaran ini sekali lagi, dada Subaru terasa kesepian dan pedih.


Menambahkan, menambahkan, menambahkan, terus membentuk wujudnya.

Menambahkan, menambahkan, terus mencetak bentuknya.

Menambahkan, menambahkan, terus mengisi warnanya.

Menambahkan, menambahkan, menambahkan, dan terus melanjutkan hingga mendekati penyelesaian.


Seringkali dia sadar bahwa dirinya bukanlah mahluk sempurna. Dan itu membuatnya gelisah. Sangat jelas kondisi batin sehat dan tak terpengaruh imajinasi, namun jika kau benar-benar berada dalam situasinya, lantas kau akan merasa jiwamu kurang lengkap.

Terus terang, kerangka berpikir Natsuki Subaru adalah seperti itu.

“―Master, master, selanjutnya kita mau ke mana?”

“Ah, benar juga ….”

Shaula berjalan tepat di sebelah Subaru, terbalut semangat berapi-api. Mendengar pertanyaannya, Subaru merenungkan hal itu sambil melihat jauh ke depan jalan utama.

“Sekarang kita seharusnya ke barat, kan? Apa kau sedang mencari suatu komunitas? Kalau ingin menjauh dari komunitas mana pun berbeloklah ke kanan dan kau mungkin sampai di Air Terjun Besar, kurang lebih begitulah perkiraanku.

“Jangan membuat saran menyeramkan, Nee-sama …. Malah perasaan itu yang aku terima darimu, tahu.”

Maksudnya bukan hanya saran jujur, meainkan perkataan khas yang diutarakan Ram, seakan-akan sedang menyodorkan racun. Menyimpannya dalam dada, Subaru memutuskan untuk pergi ke barat sesuai saran Ram.

“Aku akan terus ke barat …. Tapi, kau bagaimana?”

“Eh? Yah, aku akan mengikuti Master selamanya, benar? Karena kita sudah sangatttt lama berpisah, malah jadi sulit buatku untuk menjauh dari Master sedetik saja. Tolong baik-baik pada Shaula, yang selalu mengamatimu dari pagi ke pagi lagi.”

“Dari pagi ke pagi lagi, katamu …. Menakutkan sekali! Bukankah itu 24 jam!”

“Setiap siang dan malam juga.”

Merinding karena tahu dia sedang diuntit, Subaru menundukkan wajahnya, ekspresi kesulitan melapisinya. Jujur saja, aneh rasanya menempuh perjalanan jauh bersama Shaula.

Sebagian diri Subaru merasa bersalah dan sengsara. Dan datanglah Shaula yang tingkahnya blak-blakan tanpa agenda tersendiri. Mungkin dua kombo orang itu, keseimbangan plus dan minus tetap terjaga.

Bagaimanapun juga, walaupun Subaru merasa banyak terbantu oleh perangai wanita itu, dia tak tahu Shaula dapat apa dari mengikutinya.

“Master itu Master, orang nomor satu bagiku, tahu.”

“… Jujur nih, aku tidak benar-benar memahami dirimu. Apa kau serius akan terus mengikutiku?”

“Tentu sajaaaa! Pernahkah kau mendengar kalimat, Sampai Ajal Memisahkan Kita!1 Tidak boleh kubiarkan cinta yang tumbuh di saat pertemuan kita mengering, tahu~. Aku takkan meninggalkan Master apa pun yang terjadi. Aku bahkan akan melahirkan banyak anak, sebanyak satu tim kasti!”

“Jangan asal ngomong begitu ….”

Memancing-mancing dengan payudara besarnya, Shaula menatap Subaru dengan mata cerah berkilauan. Menutupi matanya dengan telapak tangan. Kedalaman hatinya terlampau kompleks dan sukar dipahami.

Dia betul-betul tak yakin perilaku Shaula selalu saja menggoda atau tidak, namun dia sendiri sebagai seorang pria, Subaru belum tentu tidak bahagia. Seumpama mengesampingkan eksentriknya, Shaula adalah wanita cantik menarik.

“―”

Akan tetapi, hati Natsuki Subaru tak tergoyahkan oleh godaan Shaula. Karena emosi milik manusia hanya dapat ditujukan pada manusia yang layak. Singkatnya, Subaru yang sekarang tidak merasa begitu.

“Sebaiknya Subaru lebih baik lagi memperlakukan Shaula. Dia terus menyerahkan segalanya, dan Subaru masih belum puas, bukannya malah menyedihkan?” kata Emilia.

Mendadak, suara berdentangan bak lonceng perak memotong keraguan Subaru. Memindahkan pandangannya, Emilia mengintip wajah Subaru. Subaru memejamkan salah satu matanya kepada paras cemberut imut Emilia.

“… Meski Emilia-tan sendiri yang bilang begitu, bukannya kedengaran sangat kejam? Aku kira diriku memahami Emilia-tan.”

“Uhmm … kurasa. Mungkin. Maaf. Tentu saja aku kesepian juga, tapi tidak ada gunanya kalau dipikirkan terus. Lagian ….”

“Lagian?”

“Lagian, aku sudah―”

Saat menyipitkan mata ungunya, Emilia berusaha melanjutkan kata-kata sebelumnya. Dia ingin menginterupsi sekiranya ada sesuatu yang tidak ingin didengarnya, namun itu sulit. Tak memperkenankan telinganya mendengarkan kata-kata Emilia lebih sulit ketimbang mendustakan kata-kata Dewa.

Namun―

“Waduhhh.”

Walau mustahil memotong percakapan secara spontan, Subaru masih menginterupsinya lewat dua faktor. Karena tiba-itba mendengar suara dekat belakangnya, Subaru mengalihkan perhatiannya dari Emilia dan berjalan ke jalan utama. Suara roda yang menghampiri mengisyaratkan datangnya kereta naga.

Setelahnya, dia menarik tangan Shaula dan mereka berdua menjauh dari jalur kereta naga.

“Ahhh, Master agresif banget ….”

“Lepaskan aku.”

Subaru mati-matian menghindari pelukan Shaula, perempuan itu memanfaatkan tangannya yang ditarik Subaru. Didorong, Shaula menabrak beberapa pohon di sepanjang jalan utama, dan menjerit, “Ahhhhhh.”

Sekilas melihat Shaula yang hidungnya merah, masih menabrak pohon, Subaru menunggu kereta naga lewat dan keluar dari pandangannya, lalu kembali ke jalan utama sekali lagi―

“Hmm?”

Di hadapannya, kereta naga yang melewati Subaru serta Shaula berhenti. Sepertinya tidak ada masalah dengan bodinya. Subaru tidak tahu mengapa dia berhenti di depan mereka.

Hari itu masih siang bolong, namun jalanan sepi. Subaru meningkatkan kewaspadaannya sepersekian detik seakan-akan telah berpapasan dengan bandit dan kaumnya.

“―Tidak mungkin kau Natsuki Subaru-san, kan?”

Anehnya, kewaspadaan itu cepat lenyap karena panggilan dari seseorang yang turun dari kursi pengemudi kereta naga. Setelah memanggil namanya, pemuda tinggi yang seharusnya duduk di kursi pengemudi menghampiri Subaru, dia sedang lengah.

Seseorang yang usianya seumuran Subaru, rambutnya abu-abu kuncir kuda. Walaupun perawakan lembutnya tak memberikan kesan mencolok, ternyata tubuhnya cukup kuat. Dia tak memancarkan aura seorang kuli, sepertinya pekerjaannya ada hubungannya dengan kuli.

Terlepas dari kesan pertama itu, yang terpenting bagi Subaru adalah bahwa pemuda ini mengenalnya, dan memanggil namanya.

“Ahh, sesuai dugaanku, Natsuki-san benar? Sudah lama tak bertemu, ya.”

“Ahhhh, yah ….”

Seorang anak muda yang menyambutnya tak salah lagi seorang kenalan, meski ada jarak sedikit. Subaru bingung bagaimana menanggapinya, Subaru melihat sekelilingnya.

Ditatap seperti itu, Emilia, Beatrice, dan teman-teman lainnya menggeleng kepala. Tidak tahu siapa dia bagi Subaru. Emilia, orang lain, Subaru juga, angkat tangan, namun dia enggan memulai percakapan sambil berpura-pura mengenalnya.

Demikianlah tanggapan Subaru, dia tak ingin melakukannya karena berbagai alasan. Melihat batin Subaru linglung, si pemuda mengerutkan alis dan bilang ….

“Oh, mungkin kau lupa? Ini aku, Regin Suwen …. Kakaku, Otto Suwen, dia membantumu. Kita pernah bertemu sebelumnya di desa.”

“Regin, ya …. Ah, Otto!”

“Saat bilang seperti Otto itu, kayaknya kau menganggapnya urusan orang lain, bukan?”

Tersenyum paksa terhadap wajah tak alamiah itu, Subaru bertepuk tangan sekali di depan si pemuda―Regin. Sayangnya, dia tidak ingat sosok Regin, tapi dia tahu Otto.

Kini ia tahu, fitur Regin dan Otto punya banyak kesamaan. Tidak salah lagi mereka kakak adik, sekaligus kenalan Subaru.

“Maaf, maaf. Baru saja aku memikirkan banyak hal dalam kepalaku. Karena itulah namamu tidak terpikirkan olehku, atau semacam itu deh.”

“Tidak, tidak, kurasa itu dapat dimengerti karena posisimu sekarang sedang sibuk. Seleksi Kerajaan telah sampai telingaku yang tinggal di perdesaan terpencil …. Nii-san tidak menyusahkanmu, kan?”

“Otto-kun menyusahkanmu … sangat tidak masuk akal, ya? Kami sudah sangat banyak dibantu oleh Otto-kun.”

“Ya. Otto banyak membantu kami di perkemahan … seperti itu. Kalau saja orang itu tidak di sana, masalahnya akan melebar ke mana-mana.”

“Benarkah ….? Aku turut senang ….”

Kendati Regin samar-samar mengatakan terima kasih, tampaknya dia cukup lega setelah diberitahu kondisi terkini kakaknya. Dan setelahnya, beralih menatap Subaru dan Shaula yang berdiri tak jauh dari satu sama lain.

“Oh ya, Natsuki-san, apa yang kau lakukan di tempat ini? Sulit ‘kan berjalan di jalan utama tanpa kereta naga ….”

“Ahh, kau benar juga, lebih tepatnya, bagaimana bilangnya ya … aku suka mengendarai kereta naga, atau semacamnya kalau bisa, tapi karena suatu alasan, melakukannya akan sulit. Dan, soal apa yang kulakukan saat ini ….”

Memotong kata-katanya, Subaru berpikir sejenak. Kemudian, menemukan kata-kata yang tepat.

“Aku saat ini sedang memikirkan ulang eksistensiku …dengan kata lain, Perjalanan Mencari Jati Diri.”

“Perjalanan Mencari Jati Diri ….?”

“Mmm, itu benar. Perjalanan Mencari Jati Diri … Gh-hahahahaha!”

Ucapannya sendiri terdengar lucu, Subaru tanpa sadar cekikikan sendiri. Kendati Jati Diri adalah kata yang lazim bagi remaja milenial, adakah kata-kata yang lebih relevan saat ini? Kalau dipikir-pikir lagi, tidak lucu sama sekali.

Regin nampaknya samar-samar merasa ada yang salah dari Subaru, dia bertanya, “Kau baik-baik saja?” sambil bersikap prihatin di depan Subaru.

“Apa ada yang salah di tubuhmu? Sesaat, pikirku tubuhmulah alasan kau telat mengenalku, tapi karena dulu aku kelewat sering disangka orang lain ….”

“Tubuhku tidak sehat, beneran deh. Jika kau menanyakan perasaan emosiku, maka aku sedang berada di kondisi terburuk. Tapi, berkatmu, Regin, aku masih bisa bertahan. Senang rasanya bertemu denganmu di sini.”

Memotong kata-kata Regin, Subaru menundukkan kepalanya dan mengungkap terima kasihnya. Melihat tindak-tanduk Subaru, Regin makin bingung. Tampaknya Subaru kian mendukung keyakinannya soal keabnormalan Subaru. Tampang Regis jadi tegas, dan memanggil Subaru dengan, “Natsuki-san.”

“Aku tidak paham betul situasinya, tapi untuk saat ini, ayo pergi ke desa bersamaku. Kita bicarakan rinciannya di klinik. Kau perlu istrirahat.”

“Apa kau membicarakan dokter?”

“Walaupun pasienku itu naga darat, binatang ternak dan sejenisnya, aku masih seorang dokter. Kau lupa juga?”

“―Lupa. Aaah, benar juga. Aku … lupa?”

“Natsuki-san?”

Kalau saja dia lupa, maka bagi Natsuki Subaru, semuanya dari dulu sampai sekarang takkan terasa asing. Akan tetapi, perasaan yang menyiksa Natsuki Subaru itu tak mudah dilupakan.

“Desamu jauh di depan sana, kan? Pernahkah aku mampir?”

“Y-yeah, tentu saja. Dulu, saat ada masalah sedikit, kau, kakakku, dan satu orang lainnya mampir ….”

“Begitu rupanya. Terima kasih.”

Subaru mendengar jawabannya. Dia berbalik menghadap Regin, yang kaget oleh kata-kata Subaru, dan lanjut bicara.

“Caramu … dan kakakmu bicara sangat mirip.”

“Huh?”

“Kau orang baik. Kakakmu sepertinya pria baik juga.”

Sebab itulah mulai dari sekarang, Reuni Pertama mereka juga buruk. Bukan sesuatu yang didamba-dambakan atau dinantikannya.

“―Shaula.”

“Hadir, ada apa Master?”

“Jangan sakiti dia.”

Panggilan singkat, tak banyak berarti. Tapi, hanya dengan menebak niatnya, Shaula sudah mengangguk paham, “Arahorasasasa.”2

Dan―

“Maaf.”

Subaru meminta maaf kepada Regin di hadapannya dengan satu kata saja. Arti sebenarnya dari permintaan maaf tersebut lebih jelas ketimbang ketidakjelasan kata-kata Subaru sebelumnya. Akan tetapi, Regin tidak pernah mengerti maksud sebenarnya.

―Itu karena sebelum Regin bisa mengerti, kepalanya sudah diselimuti cahaya dan menguap.

“―”

Tubuh tanpa kepala Regin jatuh ke jalan utama tanpa menjerit kesakitan. Panas intens membakar luka-lukanya, bahkan darah pun tidak bisa mengalir keluar dari leher buntungnya.

Walaupun secara etis tak baik bila memuji kemampuan terampil membunuhnya, namun caranya begitu halus sampai Subaru ingin menilainya.

“Hebat sekali tak peduli berapa kali aku melihatnya.”

“Teknik yang aku sempurnakan untuk membunuh Mahluk Sihir dari puncak menara setiap harinya, gabut selama empat ratus tahun. Kalau diingat-ingat lagi, hari-hari kelabu itu tak cocok bagi seorang gadis perawan seusiaku, kan?”

“Kau hidup selama empat ratus tahun dan masih menyebut dirimu gadis perawan ….?”

Tidak berempati sedikit pun pada tragedi di depan mata, Subaru bingung saat mendengar kata-kata Shaula. Kemudian, sambil menyeret mayat tanpa kepala Regin, dia mendekati kereta naganya, yang telah kehilangan sang pemilik.

Namun, saat naga bumi menyadari Subaru dan satu orang lainnya mendekat, ia mendadak kabur, menjauh dari mereka di jalan utama.

Dalam sekejap, cahaya putih melesat melewati sisi Subaru dan menembus kereta naga. Serangannya menembus daging naga bumi yang masih menarik kereta naga, membakar bagian dalamnya, menembus kepalanya dan ujung-ujungnya merenggut nyawa.

Meski serangannya hebat, Subaru tidak memintanya.

“…HEYYYYY.”

“T-tidak ada maksud apa pun! Hanya pertahanan diri saja! Ini karena aku ingin menghentikannya dengan caraku sendiri! Hanya saja kebiasaan mesin pembunuhku tak hilang semudah itu!”

“Aku tidak marah. Tidak marah, tapi kita tidak bisa mengendarai kereta naga lagi sekarang. Kapan kita tidak berpergian dengan kaki ….”

Tidak ada cocok-cocoknya dengan naga tanah saat berkelana bersama Shaula. Berkat penyertanya, Subaru terpaksa berjalan kaki selamanya.

“―J-jadi, seperti yang kubilang? Meskipun dalam keadaan darurat, demi Master, aku akan menggendongmu~. Dan saat aku menggendongmu, aku tak keberatan kalau kau melakukan hal aneh-aneh pada tubuhku! Gimana!?”

“Kedengarannya kau sedang memalak uang atau barang lainnya.”

Menghindari godaan blak-blakan Shaula, Subaru menarik mayat Regin ke kereta naga yang dihentikan Shaula. Tubuh besar naga tanah juga terjerembab ke jalan utama setelah bernasib sama seperti pemiliknya, kepalanya ikut buntung. Subaru tentu tidak kuat menarik naga tanah. Tapi Shaula kuat.

“Sekarang, seret naga tanah sekalian keretanya ke pesisir hutan. Aku akan pergi ke desa yang Regin bicarakan―Kau tahu aku akan berada dimana?”

“Gampang banget. Orang lain tak boleh menemukan mayat mereka, kan?”

“Jika mayat-mayatnya tidak bisa ditemukan dalam waktu singkat, boleh-boleh saja. Cukup tersembunyi selama dua hingga tiga hari.”

Turun dari kereta naga, Subaru menyuruh Shaula menutupi tragedi ini. Mengangkat tangan sebagai tanda terima kasih, Shaula menyambar mayat naga tanah besar dan diangkat oleh tangan kurusnya. Keretanya juga ditarik.

Selagi pergi menyembunyikan kereta naga di hutan, Subaru balik badan dan memandang arah desa.

“Baiklah.”

Subaru mulai berjalan lagi, bukan tanpa tujuan, namun punya tujuan tertentu dalam kepalanya. Berjalan lurus menuju desa Regin berasal.

Berapa banyak orang yang mengenal Natsuki Subaru di desa sana?

Entah terlalu sedikit atau malah kebanyakan, yang mana pun, hatinya merasa berat. Tapi sekalipun hanya masalah ketidaknyamanan saja, seandainya Subaru hindari, akibatnya dia tidak bisa menempuh jalan yang benar.

Pilihan tanpa belas kasih, namun harus dia lakukan.

Kalau saja―kalau saja dia setidaknya bisa kembali ke Natsuki Subaru, semuanya akan baik-baik saja.

“Efektifkah mengembalikannya?”

Atas alasan itulah Subaru memilih pilihan yang tak bisa dipilih Natsuki Subaru.


“―Uh, ahhh.”

Subaru menjatuhkan buku yang dipegang kedua tangannya seketika kesadarannya kembali.

Lututnya gemetaran, nafasnya megap-megap. Pusing tak tertahankan, efek buruk kelamaan berdiri, menggoyahkannya walaupun sedang duduk di tanah.

―Tak pernah terbiasa, entah berapa kali mengalaminya.

“Haahh, ahhhh ….”

Menyeka keringat dingin yang menetes dari dahi dengan lengan baju, Subaru terus mengambil nafas biar detak jantungnya tenang. Apakah penyebab ketidakaturan degup jantungnya itu dari disonansi antara jiwa dan raganya?

Setiap kali Subaru memegang buku, berkali-kali, dia mendapati suatu hal dalam buku itu, tulisan yang dia baca Diri sendiri, telah menjadi berbahaya.

Manusia waras barangkali takkan mengetahui batasan antara diri sendiri dengan orang lain jika kejadian tersebut terus saja diputar kembali, dan nantinya menyatu bersama. Atau, malah melupakan diri sendiri.

“Master, kau tidak apa-apa?”

“… Ya, aku baik-baik saja, tidak apa. Lebih pentingnya lagi, apa kau menemukan buku berikutnya?”

“Gimana, ya … aku masih mencari. Seperti mencocokkan gambar-gambar, sulit menemukannya~aku tidak terlalu mahir dalam pekerjaan ini.

Menyuarakan kekhawatirannya pada Subaru yang nafasnya tak teratur, Shaula mengharapkan kabar baik dan kecewa terhadap kurangnya perhatiannya. Akan tetapi, Subaru tidak berniat menyalahkan gadis rapuh itu.

Itu karena Subaru menyuruhnya mengerjakan sesuatu yang bukan ahlinya, sebagaimana yang diketahui gadis itu sendiri. Terlebih lagi, Subaru masih sadar diri untuk tidak memarahi gadis yang menaati perintahnya tanpa ganjaran apa pun.

Apa yang dia lakukan, sudah lebih dari cukup. Subaru juga punya batasan, karena dia selalu berlari di jalur tak manusiawi.

“Aku tahu kau tidak mahir melakukannya, tapi aku mengandalkanmu Shaula. Tidak ada orang lain lagi yang bisa kuminta selain kau.”

“Senang sekali Master, bila kau bilang … hanya aku saja.”

“… Sekarang, orang yang aku andalkan, hanya kau saja.”

“Hehe, baru aku puas.”

Melebarkan pipi, Shaula sekali lagi terjun ke lautan buku sambil memasang wajah puas. Walau suasana baik hatinya takkan bertahan lama, matanya sangat dibutuhkan untuk mencari buku-buku itu.

Kehadirannya adalah hidup-mati bagi Subaru, bahkan sampai menganggap dia satu-satunya orang yang dapat diandalkan.

“―”

Subaru memungut buku yang terjatuh ke kakinya, sudah dia baca tadi, dan menyusuri judul yang tertulis di belakangnya.

Judul buku hitam itu sederhana dan jelas: Regin Suwen tertulis di sebelah sana.

Pemuda itu yang kebetulan berpapasan dengan Natsuki Subaru di masa lalu, telah kehilangan nyawanya oleh Natsuki Subaru masa kini―Subaru mengira hidupnya di buku adalah dia.

Ingatan kesempatan pertemuannya dengan Natsuki Subaru juga pasti ada dalam pengalamannya. Tetapi.

“… Mereka bukan kenalan baik. Menurut Regin, Natsuki Subaru adalah seorang pria yang datang bersama kakak laki-lakinya dan tak terlalu mengenal seluk-beluknya.”

Merasakan kenangan yang telah menjadi bagian dirinya, Subaru menghirup nafas, seakan-akan usahanya sia-sia. Sejujurnya, Subaru pikir orang yang ingin mendesah lelah adalah Regin yang ujungnya menjadi korban. Namun perasaan kecewanya yang sia-sia juga sesuatu yang tak bisa dia hindari.

“Hei, selama apa pun kau melihatnya, semuanya tidak seperti itu, benarkan, Natsuki-san?”

“…. Maaf. Walaupun aku mencuri semua ingatanmu, hubungannya masih terlalu tipis, membuatnya kembali peluangnya minim. Sepertinya tidak banyak waktu diriku bisa memperhatikanmu.”

Menatap tajam buku yang menulis namanya, di antara rak-rak buku, Regin menatap lekat-lekat Subaru. Biarpun tatapannya jelas, terkandung penyalahan dalam matanya.

Lagi pula, hampir semua orang akan merasa kesal bila kematian mereka dianggap tak berguna setelah dibunuh.

Mengetahuinya, Subaru meminta maaf jujur, “Maaf,” tetapi―

“Omong-omong, aku hanya bisa menerima kematianku. Lagian ‘kan, apabila tujuanmu terpenuhi, Natsuki-san, maka semuanya akan kembali seperti semula, benar? Harap saja itu benar.”

“Oohhh, pengertianmu setingkat pendeta. Maaf telah memanfaatkan kemurahan hatimu, tapi aku mengandalkannya nain. Aku akan membayarnya saat mengembalikan semuanya ke keadaan semula.

“Kalau begitu kita hanya bisa berharap, tinggal masalah waktu belaka.”

Mengangkat bahu, Regin melambaikan tangan dan sosoknya buyar dari pandangan Subaru layaknya kabut. Setelah melihatnya menghilang, Subaru menaruh Buku Kematian ke raknya sendiri. Lalu, mengambil kertas di dekatnya dan mencoret sesuatu dengan pena bulunya―Kertas itu berisikan daftar nama banyak orang. Barusan pun, dia mencoret nama Regin.

“… Sudah 23 orang.”

Selagi Subaru menghitung angka-angka yang dia himpun, Subaru meretak tulang-tulang leher, tahu perjuangannya masih panjang.

Perpustakaan yang menyimpan Buku Kematian, masih menampakkan―rasa permusuhan kuat Taygeta. Entah berapa kali dikunjungi Subaru, perpustakaannya masih tak memberikan fitur pencarian atau sejenisnya.

Karena Subaru sering menggunakannya, apa salahnya semisal layanan Perpustakaan ditingkatkan sedikit. Tapi bisa jadi betul-betul menjengkelkan.

“Perpustakaan Terlarang Betty cukup besar, namun tidak bisa dibandingkan dengan yang satu ini, ya. Tidak ada yang mengeluhkannya lagi, ya, Subaru.”

“Aku setuju. Nampaknya hampir mustahil menemukan buku tertentu di perpustakaan sebesar ini. Kau harus duduk manis dan fokus mencarinya. Kau akan kelelahan kalau terus mencarinya.”

Persis setelah kepalanya komplain, Beatrice dan Julius memberikan saran saat mereka melihat-lihat perpustakaan. Ucapan mereka baik di dengar Subaru, karenanya dia menggelengkan kepala.

Tentu saja, seandainya dia ingin mencurahkan waktu yang disarankan kepadanya, bisa jadi perasaan sia-sia dan keresahannya akan sedikit berkurang, tapi―

“Lagian juga meringankan bebannya terkesan manja. Tidak punya waktu untuk duduk manis tanpa melakukan apa-apa. Aku harus menemukan solusinya secepat mungkin ….”

“Bagaimana kalau tidak kesampaian? Apakah ada yang berubah jika kau bergegas sedikit?”

“Akan berubah!―semuanya akan berubah!”

Ram memelototi Subaru yang mengumumkannya sambil mengepalkan tinju, tatapan mata merah muda dinginnya. Subaru berpaling dari sorot matanya, Subaru menatap datar daftar nama yang dipegangnya.

Daftar tersebut memuat semua nama masing-masing orang dari desa yang Regin tulis. Menaksir dari apa yang dia konsultasikan bersama ingatan Regin, kemungkinan mereka membantu tujuan Subaru sangat rendah. Rendah, tapi tidak nol.

Kalau begitu―

“Apakah keinginan Subaru akan tercapai bila membaca buku-buku orang-orang itu?”

“Emilia-tan ….”

Subaru sesaat ragu-ragu terhadap pertanyaan Emilia, matanya khawatir. Tapi, Subaru mengangguk di depan Emilia seakan-akan dia lebih yakin dari semua orang.

“Tentu saja akan tercapai. Semenjak … semenjak aku melupakan segalanya, aku hanya merepotkan semua orang saja. Inilah satu-satunya cara aku mendapatkan kembali semuanya.”

“Aku bahkan tidak mempertimbangkannya ….”

“―Itu masih belum cukup!”

Raut wajah Emilia kian muram seolah tidak tahan melihat Subaru yang marah-marah. Pria itu mengangkat suaranya tanpa maksud jahat.

Ketika menatap tajam mata Emilia yang terkejut, Subaru terus berbicara.

“Jangan ngomong begitu, membuatku marah saja. Apa pun yang terjadi … aku akan mengembalikan Natsuki Subaru. Setelahnya ….”

“… Setelahnya?”

“Setelahnya aku akan menemuimu lagi … aku akan menemuimu dan memulai hidup baru.”

Sejak dirinya kehilangan segalanya, barulah Subaru menyadari sesuatu yang penting, sayangnya sudah terlambat. Mengapa orang-orang tak sadar bahwa apa yang dimilikinya sekarang sangat-sangat berharga sampai seluruhnya hilang?

Kecuali telah kehilangan segalanya dan tidak dapat dikembalikan lagi, maka―

“―”

Mata lemah Emilia terus menatap Subaru, ketika yang ditatap menggumamkan kata-kata itu. Emosi kompleks melingkupi mata ungu yang tak dapat dibaca Subaru.

Semestinya dia jelas bisa melihat segala tentangnya. Namun, kerisauannya seketika muncul di waktu-waktu dia tak memahami keadaan hatinya.

Emilia memikirkan apa? Emilia merasakan apa? Kok bisa dia menerima Subaru saat ini?

Jawabannya adalah―

“―Master! Aku menemukan buku lanjutannya! Puji aku dong! Puji aku dong!”

“Ah, ahhh, kerja bagus. Kau hebat, Shaula.”

“Huehehehehehehehe~”

Shaula, yang melompat masuk, mengakhiri dialognya dengan Emilia. Subaru menepuk-nepuk kepala Shaula, alhasil, paras Shaula menyantai dan senang.

Buku yang dia pegang pastinya cocok dengan nama yang tertulis di daftar.

“… Berapa lama Natsuki Subaru tertidur di dalam dirimu?”

Menerima bukunya dari Shaula, Subaru mengajukan pertanyaan itu kepada buku yang tak bisa menjawabnya.

Biarpun jelas si buku takkan menjawab, barang-barang itu tak secara ringkas menyampaikan jawabannya. Beruntungnya, memang ada jawaban dalam buku itu. Seluruh perbuatan barbar serta pengorbanannya adalah demi tujuan ini.

“Terfragmentasi, informasi objektif sudah cukup. Aku akan mengikis semuanya, dan mendekatkan penyelesaian bentuknya ….”

Evaluasi adalah suatu penilaian yang diputuskan oleh tolak ukur pihak lain.

Misalkan masalahnya itu, bila Subaru dapat memeriksa penilaian semua orang dan mana kala pribadi yang dinilai dapat ditentukan oleh tolak ukur semua orang, maka Subaru dapat membuat ulang orang itu.

―Dan mengembalikan Natsuki Subaru.

Itulah prioritas utama Natsuki Subaru; seluruh petualangannya adalah demi tujuan ini.

Tentu saja, seluruh pengorbanan yang telah dibuat, sekaligus pengorbanan-pengorbanan di masa depan nanti, semuanya demi mengembalikan Natsuki Subaru.

Bila mana berhasil mengembalikan Natsuki Subaru. Sekiranya dia kembali.

“… Kalau kau, aku tahu kau bisa mengurus semuanya.”

Ingatan Emilia, Beatrice, Ram, Meili, Julius, orang-orang lain selain mereka, semua orang yang punya hubungan dengan Subaru. Dia ingin ingatannya.

Karena, kekuatan itu terletak pada Natsuki Subaru.

Karena, dengan kekuatan itu―

“―Selamatkan aku.”

Aku mengandalkanmu, Natsuki Subaru. Jika kau benar-benar seorang pahlawan, selamatkanlah aku.


Menambahkan, menambahkan, menambahkan, terus membentuk wujudnya.

Menambahkan, menambahkan, terus mencetak bentuknya.

Menambahkan, menambahkan, terus mengisi warnanya.

Menambahkan, menambahkan, menambahkan, dan terus melanjutkan hingga mendekati penyelesaian.


Membunuh sudah menjadi kebiasaan.

Salah satu ungkapan yang ditinggalkan seorang detektif terkenal, Hercule Poirot3.

Makna ungkapan ini tak merujuk pada seseorang yang membunuh manusia dan mendadak punya preferensi atas pembunuhan tersebut, yang nantinya terus mengulangi kejahatannya untuk memuaskan keinginan mereka.

Merujuk pada seseorang yang pernah memecahkan masalah dengan membunuh, dan bagi mereka, kapan pun masalah lain muncul, mereka ‘kan memikirkan solusinya dengan membunuh lagi.

Membunuh sudah menjadi kebiasaan.

Tetapi, jika pembunuhan sungguh-sungguh ada kaitannya dengan solusi masalah, apakah hasil dari pembunuhan itu bisa disebut kebiasaan?

Pembunuhan tersebut tidak bisa disebut kebiasaan, melainkan keadaan tak terhindari yang terus bermunculan.

Situasinya tak menghubungkan pembunuhan dengan pilihan karena sudah menjadi kebiasaan, tapi bukan berarti tidak ada pilihan lain selain membunuh. Barangkali sudah tidak ada lagi kebiasaan membunuh

Membunuh menjadi—

Persetan dengan Hercule Poirot. Detektif fiksi tak perlu seambisius itu.

BIsa-bisanya dia menuturkan sesuatu seolah menyaksikan semuanya!? Alasan di balik setiap situasi, setiap semua halnya, senantiasa terjalin bersama dalam berbagai komplikasi, bermacam-macam lapisan kompleksitasnya.

Jangan abaikan hal-hal itu dan mengimpilasikan teorinya dengan segala sesuatu.

Membunuh.

Satu-satunya jalan seandainya tak ada jalan lain. Jalan terlogis ketika tiada jalan lain yang menggapai jawaban benar.

Karenanya bukan membunuh yang menjadi kebiasaan, melainkan ….

Hanya dengan membunuhlah jawaban terungkap.

Yea, benar itu. Tentu saja benar. Hanya itulah satu-satunya jawaban. Satu-satunya jawaban benar. Satu-satunya pemotong keputusasaan dari jalan buntu ini, satu-satunya pilihan terakhir.

“Subaru selalu membantuku: apa pun yang terjadi solusi pasti akan ditemukan …. Ksatria terhormatku.”

“Jika Subaru tidak di sana, Betty akan sendirian selamanya dalam Perpustakaan Terlarang, ya.”

“Ah … Barusu adalah seorang pria yang mahir mengatur tempo. Bahkan Ram mengakuinya.”

“Kalau Onii-san tidak menyebal~kan, aku yakin dia takkan mengacaukan pekerja~annya.”

“Subaru, walaupun kau sudah tahu, aku juga pernah diselamatkan olehmu. Eksistensimu merupakan jalan harapan bagiku.”

“Aku tahu.”

Aku tahu kalian semua sangat menyayangi Natsuki Subaru.

Aku tahu kalian semua sangat memperhatikan Natsuki Subaru.

Aku tahu Natsuki Subaru yang menyelamatkan kalian adalah seorang Superman.

Aku pun tahu segala hal yang diperbuat Natsuki Subaru untuk menyelamatkan kalian telah dihancurkan.

Maka dari itu aku harus mengembalikannya.

Kalau saja sekurang-kurangnya aku bisa mengembalikan Natsuki Subaru.

Kalau saja bisa melakukan itu, semuanya akan lancar. Nantinya akan lancar.

Aku harus terus berjuang.

 


“―Natsuki Subaru sudah gila dan membunuh Emilia, Julius beserta semua orang yang menemaninya. Aku nyaris tidak lolos dan entah bagaimana berhasil kabur ke sini.”

Semua orang yang berkumpul mengerutkan kening saat menerima laporan yang dibawa Anastasia. Arti yang ditampakkan pada wajah mereka semua cukup jelas.

“Wajar jika kalian sulit mempercayainya. Aku juga sangat menyesal untuk menyampaikan laporan ini. Tapi, jika kita memperhitungkan bahaya yang dia miliki, kita tak bisa mengabaikannya.”

“Anastasia-sama, meskipun begitu, saya pikir ….”

“―Aku Echidna. Ana masih tertidur dalam raga ini. Mungkin tetap seperti ini adalah berkah baginya.”

“…Kedengarannya seperti dongeng twitter saja.”

Orang yang menundukkan mata dan menanggapinya ketika berdiri di depan Anastasia―Tidak, Echidna, adalah seorang ksatria berambut merah, ia Reinhard van Astrea.

Mereka berada di Kota Bendungan Pristella―Mereka yang berkumpul di sana adalah partisipan Seleksi Raja. Pertempuran mempertahankan kota telah berakhir beberapa waktu yang lalu, dan masing-masing orang yang hadir menunggu laporan mengenai kembalinya Subaru dan kawan-kawan yang pergi ke timur.

Emilia dan teman-teman berkelana ke timur dengan niat meminjam kebijaksanaan sang Sage, bermaksud menemukan cara memulihkan kerusakan yang diperbuat Pemuja Penyihir akibat kemunculan Uskup Agung di Pristella.

Mereka diselimuti kecemasan. Namun masih menunggu-nunggu kabar baik.

Alasannya adalah salah satu anggota yang diutus ke timur. Anggotanya adalah Natsuki Subaru sendiri―salah satu kabarnya adalah dia telah menggila.

“Seandainya aku memahami semua hal yang kau katakan, maka aku tidak bisa mengangguk belaka pada cerita ini.”

“Meskipun kau tidak mempercayainya, ini kebenaran. Dia bukan orang yang dulu kau kenal. Natsuki Subaru telah hilang ingatan, dan terobsesi untuk mendapatkannya kembali. Dan dia memilih cara terburuk untuk mengembalikannya.

“Apakah cara terburuk itu ….”

“Buku Kematian yang berada di Menara Penjaga Pleiades …. Di dalamnya terdapat jejak dan kenangan dari mereka yang sudah mati. Bukunya dapat dibaca dan dimengerti. Sayangnya, karena aku belum membaca salah satu bukunya, aku tidak terlalu paham kekuatan penuhnya.”

Grup itu kian bingung setelah menerima jawaban Echidna tentang kekuatan aneh yang diemban buku-buku tersebut.

Tentu saja, ancaman kehilangan ingatan sudah lebih sering ditunjukkan. Itu juga salah satu efek samping yang Subaru dan anggota grup coba tangani.

Tapi, siapa kira perjalanan mereka untuk mencari solusi malah berakhir sama buruknya.

“―Kurasa Natsuki-san tidak bisa melakukannya sendiri. Kalau tujuannya adalah Buku Kematian, lantas bagaimana cara mendapatkannya?”

“Otto, kau percaya ini?”

Mata Reinhard membelalak dan menatap Otto yang mengajukan pertanyaan dingin ini. Sekali pandang mata biru sang Pedang Saint, Otto mengangguk seraya berkata, “Ya.”

“Anastasia-sama … atau Echidna-san sekarang? Tidak mungkin dia berbohong di saat-saat seperti ini. Abnormal, tidak masuk akal pula. Faktanya, aku berpikir pasti terjadi sesuatu tak terduga padanya sampai kembali sendirian seperti ini.”

“Itu …. Tapi ‘kan.”

“Aku juga tidak mau percaya itu. Tidak mau percaya pada hal semacam itu.”

Mengepalkan tinju, Otto mengatakan demikian dengan suara gemetar kepada Reinhard yang gigih menolaknya. Siapa pun yang mendengar suara gemetar itu tahu ada banyak emosi dalam diri Otto.

Melihat penyesalan besar tak terukir pada seseorang yang dia anggap kakak laki-lakinya, Garfiel, saat ini berdiri di sampingnya, memanggil sambil merasa khawatir: “Brotto ….”

“… Tebakan Otto-kun benar. Walaupun kehilangan ingatannya, pola perilaku Natsuki Subaru berubah …. Andai sendirian saja, Emilia dan Julius pasti sudah cukup kuat menahannya. Yang jadi masalahnya itu … Shaula.”

“Shaula ….? Bukannya itu nama sang Sage yang menjaga Menara Penjaga? Tuh orang ngapa-ngapain Kapten …. Kagak, bingung banget dah. Pepatah menyebutnya Keraguan Osmund ….”

“Maaf, aku tidak bisa menunggu sampai kau tidak bingung. Seperti tebakanmu, Shaula adalah penjaga di Menara. Menurut perkataannya, sang Sage sendiri adalah Masternya. Walau dia sendiri bukan Sage ….”

“Ada banyak hal yang ingin kutanyakan, tapi … untuk memastikan saja, apa Shaula ini bekerja sama dengan Subaru?”

Reinhard menanyakan pertanyaan pemastian, dan Echidna mengangguk. Seketika kondisi menjadi kacau atas informasi itu.

Pengkhianatan tak terduga dari sang pahlawan yang mencoba menyelamatkan Kota Watergate dari para Uskup Agung. Dan orang yang menyertai perubahannya tidak lain Sage sendiri, salah satu pahlawan besar dunia.

Siapa yang sempat meratapi dunia dalam situasi kejam bagaikan mimpi buruknya mimpi buruk.

“… Bukan karena aku ingin balas dendam dan ujungnya menyalurkan kebenarannya ke sini.”

Mendadak, Echidna, yang wajahnya tertunduk ke bawah, menggumamkan kata-kata itu di tengah kekalutan laporannya.

Menangkap jawaban itu, Reinhard mengangkat alis dan berkata: “Echidna?” saat sorot mata beberapa orang tertuju pada wanita itu, Echidna menghembuskan nafas singkat.

“Dari perasaan Ana, dan waktu yang aku habiskan bersama Julius, kurasa ada baiknya marah-marah kepada Natsuki Subaru yang membunuhnya … sialnya, aku kelelahan.”

“Kau kelelahan?”

“Mungkin benar aku membencinya, dan dia balik membenciku. Sekalipun dia anak putus asa yang mendekatiku sambil mengguncang tinjunya, aku kelelahan.”

Menggeleng lemah kepalanya, Echidna pelan-pelan berdiri.

Wajah dan suaranya milik Anastasia, namun seumpama keduanya benar-benar dia, maka tampang serapuh itu takkan pernah terlintas di wajahnya.

“Aku akan meninggalkan tahap ini. Kekejamanku mengikutkan Anastasia kembali ke tahap ini tak termaafkan. Kita membuat kesalahan yang tidak dapat diulang.”

“Melakukannya ….”

“Aku tahu niatmu tidak buruk. Namun terkadang, menyerah adalah hal terbaik yang bisa kau lakukan. Membujukku untuk tidak menyerah hanya semakin memperparah kesedihanku. Aku … berhenti di sini.”

Setelahnya, tidak seorang pun bisa menghentikan gadis yang berputus asa itu. Echidna tahu betul tidak ada yang bisa menghentikannya di sini.

Tahu itu, dia menghadap jauh mereka-mereka yang berkumpul, dan meninggalkan tempat itu―seperti yang dia katakan sebelumnya, meninggalkan sepak terjang Seleksi Raja.

“Aku mendoakan pertarungan kalian semua―Kumohon, berhati-hatilah.”

Laporan terakhir yang ditinggalkan satu-satunya anggota yang kembali hidup-hidup dari ekspedisi Menara Penjaga Pleiades. Yang dilakukannya makin menambah kemasygulan.


“… Bagaimana nih?”

Ricardo berjalan di sebelahnya, bertanya demikian selagi pulang kembali. Terhadapnya, Emilia menutup mata.

Luka serius tangan buntung Ricardo, bagian hilang yang dulunya tangan tebal nan kekar tidak lagi melekat di sana. Yang menggantikannya adalah sesuatu mirip kait. Sifatnya yang tidak gampang menyerah mirip sekali dengan dia, tetapi―

“Sudah kubilang. Aku menyerah. Itu pilihan terbijak. Mulai sekarang, aku tidak akan berpura-pura menjadi Ana lagi …. Paling tidak, aku akan memenuhi tanggung jawab teringan Perusahaan Hoshin.”

“Apa maksudmu tanggung jawab teringan, arrrrrrrrrr ….?”

“Kebangkrutan perusahaan, aku mesti membantu para karyawan mendapatkan pekerjaan lain. Perusahaannya sendiri baik-baik saja kalau diserahkan kepada Wakil Presiden Chuden.”

“―”

“Aku tahu kau tidak puas. Tapi, tidak ada pilihan lain.”

Meskipun niat aslinya dulu belum terungkap, Echidna dan Ricardo sudah bersama sejak lama. Kendati hubungannya satu pihak, dia memang menghargai perasaan kuat yang ditujukan kepada Anastasia.

Karena perasaan itu sama dengan perasaan yang ditujukan Echidna kepada Anastasia.

Apabila Ricardo punya perasaan seorang ayah untuk Anastasia, maka Echidna adalah perasaan sang ibu kepada Anastasia.

Oleh karena itu―

“Sepertinya aku akan berpisah dengan Taring Besi juga. Ricardo, mulai dari sekarang, kau bebas.”

“Misalkan aku bebas, maka aku akan mencari cara untuk membangkitkan Nona kembali.”

“… Sekiranya tujuanmu masih tetap sama dalam situasi peluang terbaik kita telah gagal, lantas aku tidak bisa bilang apa-apa lagi. Bukankah lebih baik bagi yang muda-muda dari Taring Besi menyertaimu, benar?”

Echidna tidak bisa begitu saja mengabaikan sifat keras kepala Ricardo. Dia juga serius ingin melindungi orang tercintanya, tidak menyerah pada orang yang tidak bisa dia serahkan. Tiada yang lebih jahat lagi selain menilai perjuangannya sia-sia sebelum bahkan dirinya sendiri pun melakukan sesuatu.

Tidak mungkin Ricardo ikut-ikutan menyerah seperti Echidna.

Namun demikian―

“Aku pun tak tahu Ana akan senang dengan perilakumu atau tidak.”

“… Jika dia memarahiku, aku berserah diri saja. Dan lagi, bisa-bisanya aku menyerah tanpa berusaha!? Aku melakukan ini karena …. Aku berperan sebagai ayah angkat Ana.”

“―”

“Dapatkah seorang ayah yang meninggalkan putrinya benar-benar bisa menjadi seorang ayah? Entah orang bilang apa, aku tak akan … Tak akan pernah menyerah.”

Tidak ada tanda sarkasme satu pun kepada Echidna dari deklarasi penuh keteguhan hati Ricardo. Akan tetapi, tahu betul kelemahannya, dada Echidna tertusuk dalam-dalam. Alhasil, Echidna menyeringai kagum terhadap keteguhan Ricardo.

Lalu―

“―Ricardo, kau beneran―”

Echidna ingin melanjutkan kata Kuat, ya.

Atau, jika dia berkesempatan, Echidna ingin bertanya apakah dia bisa mendapatkan keteguhan seperti itu.

―Namun tidak ada waktu.

“―”

Perasaan bak getaran berguncang di bawah kaki mereka, dalam sekejap, Echidna melihat Ricardo mengulurkan tangan. Tangan tebal dan tangan kaitnya menyambar leher Echidna dan kakinya terangkat ke udara.

Ricardo mencekiknya, Echidna memahami situasi terkini, dan itu adalah hal terakhir yang dia lakukan.

Sedetik berikutnya, semburan air berkekuatan besar membidik mereka, menenggelamkan Echidna, Ricardo, dan kota, lalu terus membasuh segalanya.

―Pemuja Penyihir yang gagal membuat banjir, kini sekali lagi menyerang Kota Bendungan yang sebelumnya lolos dari malapetaka.


Subaru mendesah pendek saat melihat kota terlalap banjir.

Desain kota dibangun seperti adukan semen sehingga mana kala air dituang ke dalamnya, takkan ada jalan keluar dari kota. Strateginya seratus persen manjur, seolah menuangkan air ke dalam sarang semut.

“Kota yang dimanfaatkan sebagai pertahanan melawan Mahluk Sihir memang hebat … keefektifan perangkapnya menakjubkan.”

Sejarahnya, kota itu awalnya didirikan untuk mengalahkan seorang Penyihir, para Mahluk Sihir, dan semacamnya, sesuai dengan namanya, keberhasilan membuka bendungan air sangat besar.

Dorongan air menyeret kota ke dasar permukaan dalam sekejap, dan menelan penduduknya sebelum sempat menyelamatkan diri.

“Aku mengerti, menurutmu ini luar biasa~? Dengan ini, banyak orang akan tahu kau mengurus semuanya sekaligus … kurasa penemuan jati dirimu sudah semakin maju~ kan?”

“… Bacot.”

Di belakang Subaru, yang sedang melihat kehancuran, sosok badut tinggi meludahkan isi pikiran jahatnya. Ekspresi wajahnya gembira, meskipun responnya masuk akal terhadap pemandangan di depan matanya.

Karena rencana tersebut bisa sukses karena pengetahuan dan nasihatnya, bukan berarti Subaru tak memahaminya, tetapi.

“Selera Master buruk ….”

Sosok pelayan muda yang menatap jijik badut itu. Seorang gadis muda, dengan manis memancarkan kesan pintar, menyusup lebih dekat ke Subaru dan memeluk tangannya.

Meremas tangannya, Subaru mengangguk singkat.

“Petra, bagaimana kondisinya?”

“Ummmmm, yah, sepertinya Shaula-san melancarkan semuanya. Karena keempat menara kendali telah digunakan, tak mungkin ada yang bisa kabur …. Mungkin mereka sedang berlindung.”

“… Begitu. Maaf meminta laporan menyedihkan ini darimu.”

Petra memasang senyum berani bahkan ketika diminta pendapat objektifnya.

Gadis yang Subaru kenal tentu saja berhati besar, namun dia tetap anak biasa yang tak punya keahlian. Tentu saja bukan berarti Subaru tak merasa bersalah telah melibatkannya dalam semua ini, tetapi―

“Jika kau terbawa perasaan, lebih baik tidak usah memulai semua ini. Subaru-sama masih saja orang yang plin-plan, benar.”

“Ugh, aku bahkan tidak bisa melakukan apa-apa.”

Kemarahan seorang pelayan berambut pirang, Frederica, ia mengecam Subaru dan takkan dengan mudah melepaskannya.

Frederica sangat menghargai tragedi yang terjadi pada orang-orang terdekatnya, dia telah menyaksikannya. Dalam hal ini, sepertinya dia tak pernah memaafkan perbuatan Subaru.

Bukan karena tujuan; melainkan masalah emosional. Bila Subaru melihatnya dari perspektif logika, dan dia jujur pada perasaannya, maka Subaru punya hubungan kekerabatan dengan keluarga Garfiel.

“Yah, aku tahu Garfiel pun dari orang lain juga.”

Menggumamkannya sambil mendesah, Subaru menyisir pinggiran rambutnya dengan jari. Menggaruk kasar kepalanya, menghela nafas kuat-kuat dan memfokuskan perhatiannya pada pertarungan di depan.

“Baiklah? Selanjutnya~ apa, Subaru-kun.” tanya si badut.

Mencondongkan tubuh ke depan, mendecakkan lidah pada Roswaal yang mengintip dari samping. Lalu, Subaru menyatakan, “Seperti keputusan kita,” seakan-akan dia menyemburkan sumpah-serapah.

“Sesuai rencana―pertama-tama langsung menyerang orang paling menyusahkan.”


Menambahkan, menambahkan, menambahkan, terus membentuk wujudnya.

Menambahkan, menambahkan, terus mencetak bentuknya.

Menambahkan, menambahkan, terus mengisi warnanya.

Menambahkan, menambahkan, menambahkan, dan terus melanjutkan hingga mendekati penyelesaian.


“Ugh, bhak ….!”

“Brotto, kau baik-baik saja!? Keluarkan airnya! Keluarkan sampai habis!”

Air mata mengalir di wajahnya, Otto terbatuk-batuk keras agar air di dalam paru-parunya keluar. Melihat kondisinya yang sangat kritis, Garfiel membantu mengeluarkan airnya, tapi, tubuhnya terguncang kembang-kempis, naik-turun menyiksa kepala dan tubuh Otto.

Meski berkat itu, dia berhasil mengeluarkan semua air yang masuk ke paru-parunya.

“Sial! Apa-apaan ….!?”

“… Bendungan kota telah dibuka. Alhasil, jalan-jalan ditelan air. Meskipun kita habis-habisan menahan serbuan Pemuja Penyihir, semuanya jadi sia-sia.”

Gumam Otto kepada Garfiel, taringnya gemetar, saat sekeliling mereka hanyalah keadaan kota yang tenggelam. Mendengarnya, dia menatap mata hijau sang kawan yang sudah seperti adik laki-laki, tahu mereka sedang sedih. Otto melihat ke bawah.

Keadaan kota saat ini sudah serba putus asa, bahkan tidak kelihatan satu orang pun. Beruntungnya, Otto dibawa pergi Garfiel di bahunya, melarikan diri ke ketinggian tak tercapai air. Namun, berapa banyak orang di kota ini yang bisa melakukannya?

“Semuanya sudah kelelap air ….”

Tertegun di tempat dan mata melebar, Garfiel kaget oleh banjir bandang yang melanda kota. Kendati dia belum mendengar rinciannya, Otto merasa Garfiel mengalami pertemuan yang cukup berdampak di Pristella. Kehadiran lawan yang terperkirakan ini pasti penting baginya.

―Banjir ini dengan kejamnya menghanyutkan orang-orang yang punya ikatan batin dengan Garfiel.

“… Tidak, bukan hanya itu.”

Walau dia mencemaskan kondisi fisik dan pikiran Garfiel, Otto lebih meresahkan orang-orang yang terkena banjir ini.

Seperti Anastasia―Echidna, yang baru saja memberikan laporan tak terduga-duga, serta orang-orang lain, termasuk kandidat Seleksi Raja yang berkumpul untuk mendengar laporannya telah menjadi korban bencana ini.

Mereka berkumpul dan diperingatkan semua hal yang sedang terjadi, namun nampaknya malah jadi bumerang.

“Aku akan berkata kasar. Garfiel, berdirilah. Kita mesti menghadapi situasi ini seperti menghadapi Pemuja Penyihir kemarin.”

“T-tapi … Brotto … lu tau ….”

“APA JADINYA KITA KALAU CUMA DUDUK DIAM TIDAK MELAKUKAN APA-APA!? NATSUKI-SAN ATAU EMILIA-SAMA TIDAK LAGI DI SINI! AYO BERDIRI, GARFIEL! HANYA KITA SAJA YANG TERSISA!”

“―”

Meraih kerahnya, Otto meneriakkan temannya yang dianggap adik laki-laki, wajah lemah terukir di tampang Garfiel. Otto tahu terlalu babar meledakkan kata-kata seperti itu, tapi adek-adekannya lambat memahami situasi sekarang, masuk telinga kanan keluar telinga kiri.

Hatinya layu karena omelannya, yang membuat Garfiel berdiri adalah hati yang menyala-nyala dalam hatinya.

Jika Otto dapat mengembalikannya, dia bahkan tak peduli bila dianggap berhati dingin―Bahkan jika dia dibenci oleh Garfiel nantinya, itu pun lebih baik daripada Garfiel tidak mampu memenuhi tugasnya.

“Kita perlu mencari orang yang selamat, kemudian bertemu kembali dengan kandidat Seleksi, para Ksatria atau orang-orang yang masih hidup. Apabila serangan ke kota ini adalah dari beberapa orang yang punya niat buruk, kita mesti mengumpulkan ulang pasukan dan melawan mereka ….”

“―Cih! Brotto!”

“―!?”

Menginstruksikan Garfiel perintah bengisnya, Otto menyuruhnya. Mendesak dadanya, Garfiel meraung-raung.

Segera setelah itu, kilat cahaya menembus tepat dari depan Otto, melintas ke sisi samping atap, lintasannya sangat cepat, lebih cepat dari yang bisa dilihat mata.

“Ghaaaaaaaaaaaaaa!”

Sesaat, seluruh tubuh Otto dipenuhi rasa sakit membakar dari cahaya yang menyerempet dadanya. Tidak ada pendarahan. Tapi, ada tanda hangus di kemejanya, serta kulit di baliknya telah hangus.

Wujud asli cahaya putih itu sungguh murni dan panas membara. Cahaya putih itu adalah―

“RRRRRRAAAAAAAAAAaa―!”

Meraung-raung marah, Garfiel secara paksa menangkis setiap sinar cahaya putih, sinar kematian putih, meluncur ke arah mereka secepat kilat.

Garfiel memegang perisai perak di tangan, menantang kekuatan besar berkecepatan luar biasa itu. Pertarungan beda kelas lagi-lagi tidak bisa dihadiri Otto.

Meskipun begitu, dia tahu betul apa yang sedang terjadi.

“Darimana datangnya ….”

Selagi menahan rasa sakit, Otto melihat sekeliling dan berkonsentrasi mencari letak pancaran kilat-kilat putih. Kemungkinan besar pelaku yang menembak cahaya ke Otto dan Garfiel adalah pihak yang membuka bendungan.

Tentu saja, musuh yang terbesit dalam benaknya adalah Pemuja Penyihir―

“―Uh, jauh di sana!?”

Jauh, jauh di sana, di tepi pandangannya, tampak salah satu menara pengawas pintu air―kilatan cahaya dapat dilihat dari tempat berpijak Otto dan Garfiel, dari puncak menara yang berdiri hampir di seberang sisi kota.

Mendadak setelah dia melihat kerlipan cahaya itu, cahaya langsung mendatangi mereka. Entah bagaimana, Garfiel berhasil menangkisnya sekarang, tapi―

“MAKIN LAMA MAKIN BURUK BROTTO! NGUMPET SONO! GUA YANG HEBAT INI BAKAL NGEHAJAR TUH ORANG!”

“GARFIEL! TIDAK APA-APAKAH KALAU KAU MENDEKAT!?”

Meskipun Garfiel meraungkannya, bukan berarti idenya bagus dalam situasi ini.

Kecepatan pergerakan sinar putih teramat janggal, jarak yang memisahkan mereka dari lawan membuat Garfiel mengambil posisi bertahan saja.

Andai dia lebih dekat, waktu menangkis sinar cahaya akan berkurang. Bahkan sedetik pun berharga dalam pertarungan level ini.

“POKOKNYA, KAGAK ADA CARA LAIN! CUMA KITA BERDUA DOANG! BENER!?”

“―Kau benar. Garfiel.”

“HYAHHHHHHHHHH!”

Mengulang apa yang Otto katakan sebelumnya, Garfiel mengambil langkah besar ke depan dan melompat ke atas.

Menggunakan bangunan yang nyaris tak tergolong sebagai pijakan di kota terhanyut banjir ini, Garfiel dengan penuh semangat maju ke depan, dengan cekatan menerjang menuju menara kendali kota letak datangnya cahaya putih.

“GRRRRRRRRRRRRRRRRRRRaaaaaaaaaaaa―!”

Tembakan demi tembakan, Garfiel memberanikan diri dan entah bagaimana berhasil mempertahankan pijakan padahal dihantam-hantam kilat-kilat cahaya yang rasanya seolah melumpuhkan tubuhnya sampai ke tulang.

Lawannya hebat.

Selain akurasi serangannya yang terlampau jauh, jumlah mana yang mereka lengkapi pada serangan kuat ini stabil, semuanya jauh dari kata normal.

Sekiranya Garfiel mempertimbangkan posisinya dan menjaga jarak dari awal, yang unggul adalah lawannya.

“Walau begitu ….”

Ukuran kekuatan lawan takkan membuat Garfiel menyerah. Terlebih lagi, yang sang lawan lakukan sangat-sangat-sangat serius tak termaafkan.

Kelewat banyak jumlah penduduk menjadi korban Kota Bendungan Pristella yang kian tenggelam. Satu demi satu, tragedi dalam kota ini belum disembuhkan setelah serangan Pemuja Penyihir terakhir.

―Terjebak di tengah-tengah tragedi, adalah keluarga yang Garfiel ikat dengan darah.

“―Cih!”

Tidak membiarkan pikirannya memikirkan itu lagi, Garfiel menggertakkan gigi, dengan panik menggelengkan kepala.

Namun pada akhirnya, Garfiel sudah berusaha sebaik mungkin, apa pun yang dia pikirkan takkan merubah satu hal pun. Kesedihan dan kemarahan bukanlah perasaan yang terkandung bersama dalam dada Garfiel, alih-alih hatinya malah terselubung amarah gelap, semakin-semakin murka.

Apabila dia menyalurkan amarah gelap itu pada taring dan cakar, digunakan untuk mengalahkan musuh, maka―

“―Garfiel.”

Mendadak, ada suara yang menembus kerangkanya di tengah-tengah amukan berapi-api. Suara tersebut memanggil namanya. Kalau bukan panggilan nama, Garfiel takkan mengindahkannya.

Akan tetapi―

“―Kapten?”

Beda cerita jika suara itu milik orang yang telah lama ia tunggu-tunggu. Mata hijaunya berputar-putar, Garfiel melihat sekeliling dalam pertempuran berkecepatan tinggi untuk mencari-cari orang yang memanggilnya.

―Dari awal pun, Garfiel tidak percaya laporan yang dibawakan Echidna.

Pertama-tama, Echidna adalah nama yang tidak dapat dipercayai Garfiel. Tentu saja, dia sudah memperingatkan Subaru mengenai bahaya mahluk itu, terlebih lagi, dia memaksa Kaptennya pergi ke Menara Penjaga Pleiades.

Kendati begitu, melihat Echidna merasuki Anastasia, Garfiel menyesali pemikiran pendek, naif, dan tidak dewasanya.

Garfiel mengikuti perintahnya untuk mencari Subaru, Emilia, dan yang lainnya sesegera mungkin.

Persis setelah mengusulkan diskusi itu kepada Otto, banjir datang menerpa kota.  Sepertinya Otto satu pikiran dengannya, Garfiel menyalurkan kekuatannya ke taring dan dengan tegas mengakui pemikirannya salah.

Bagi Garfiel, Subaru bukanlah pengacau.

Karenanya Garfiel telah menemukan harapan setelah mendengar suara Natsuki Subaru di sini. Dirinya akan mengubah situasi buntu ini.

Mencari-cari sosoknya sampai-sampai pada bayangan Kaptennya pun dia tertarik―

“―Hatimu tidak bisa memahami hal terpenting bagimu―Tetap saja, mata keluargamu tajam.”

Saat terlihat sosok Subaru, Garfiel mengerutkan alis bingung. Bukan karena mendengar suaranya. Suaranya malah tak terdengar. Yang mengubah tampang wajah Garfiel adalah keterkejutan di depan matanya.

“―”

Di hadapan matanya, ada sosok yang menatap Garfiel, bocah itu melompat ke arah cahaya putih. Penampilannya sama dengan yang dia kenal, tapi ….

“―Lu sape.”

Mengalihkan perhatiannya ke hidung, ia mengendus bau tak asing. Rupanya, instingnya yang merasakan, bukan kelima indranya, Garfiel mengabaikan seseorang di bawahnya.

Kesalahan yang bahkan tak berlangsung sedetik pun mengingatkanya.

Sudah begitu, kesalahannya fatal.

Bergerak ke sana mengakibatkan―

“―Ciluk-ba! Kena kau!”

“Ugh.”

Dari depan, seorang wanita berambut hitam terjun maju, melancarkan tendangan sambil berteriak antusias. Menahan tendangannya dengan dua perisai, Garfiel menyerap tendangan yang serasa ditabrak kereta naga.

Sekalipun sudah ditahan, wanita itu bukanlah musuh yang bisa dia lawan dalam situasi ini. Tidak bisa memfokuskan perhatiannya ke dua arah berbeda, baik ke depan maupun bawahnya.

“Lumayan, tapi Master tercintaku 100 kali lipat lebih dahsyat.”

Sambil tersenyum puas, telapak tangannya bergerak ke wajah Garfiel. Dalam sekejap, seluruh rambutnya naik, Garfiel menguatkan tubuhnya dan buru-buru menggerakkan wajah ke belakang―

Buk

Pukulannya menembus perut Garfiel dan organ-organ dalamnya tumpah-ruah dari punggungnya.


―Kepala Otto berputar cepat saat melihat darah tersebar di tengah-tengah udara.

“―Ugh.”

Menggertakkan gigi, Otto mengutuk bagian hati terdalamnya. Muak sekali dirinya yang pada saat-saat ini mencoba memahami situasi. Teman yang dia anggap sebagai adik laki-laki telah terhempas tepat di hadapannya. Sekalipun melihatnya, Otto masih tidak terkalut emosional sama sekali.

Bahkan dalam situasi tak menguntungkan ini, perhatian Otto tertuju pada sekelilingnya dan mencari cara untuk melarikan diri.

Jika menggunakan Divine Protection of Anime Whispering, maka secercah harapan samar akan datang, entah bagaimanapun situasinya. Meyakini berkah itu, dia melampaui sebanyak apa pun cobaan yang mengujinya sampai sekarang.

Oleh karena itu―

“Sayang sekali, bahkan tikus pun sudah tenggelam ketika direndam air sebanyak ini. Tampaknya hewan yang kau ajak bicara sudah tidak ada lagi.

“―”

Sebuah suara, disertai langkah kaki, berangsur-angsur menyentil gendang telinga Otto.

Suara langkah kaki yang mendekat perlahan-lahan di dunia ini terdengar sangat jelas mengerikannya. Memutar kepalanya dan mencari-cari arah suara, Otto menahan nafas sesaat.

Kemudian, menarik nafas pendek.

“… Kau betul-betul tidak dikenal lagi, Natsuki-san.”

“Begitu, ya? Misal kau membicarakanku, jawabannya aku tak terlalu memahami diriku, tapi ….”

“Kupikir kau akan jelas memahaminya jika melihat kaca. Ahh, benar juga. Bukankah Echidna-san bilang kau hilang ingatan. Apakah karena itu kau tak memahami diri sendiri?”

Hahaha, mungkin begitu. Lebih tepatnya, jika diriku ada yang beda pada setiap aspeknya, lantas … aku sudah menyerah, tapi ….”

Sembari menggaruk pipi, lawannya menertawakan pukulan Otto. Lawannya mesti dia panggil apa; siapa nama lawannya? Ketenangan dan impulsif serentak menyeru dalam benak Otto. Ragu-ragu pada nama apa yang harus dia panggil, ragu-ragu tiada hal lain selain memanggilnya itu, Otto berteriak.

“Kau ….”

“Meskipun tidak kau sebutkan, aku tahu. Namaku … Natsuki Subaru. Kegilaanku sudah melampaui batas.”

“―”

“Aku juga banyak mendengar tentangmu. Reputasimu cukup terkenal. Akhirnya kita bersua juga, Otto.”

Mengatakannya, individu itu―yang mencuri sosok Natsuki Subaru, kelihatan sepenuhnya berbeda dengan Natsuki Subaru yang Otto kenal, ia tertawa-tawa.

Mata kiri tanpa cahayanya telah memendung, entah apa yang membuat rambutnya memutih semua. Ia tersenyum lebar seolah berada di kursi goyang, Natsuki Subaru terus tertawa.


Menambahkan, menambahkan, menambahkan, terus membentuk wujudnya.

Menambahkan, menambahkan, terus mencetak bentuknya.

Menambahkan, menambahkan, terus mengisi warnanya.

Menambahkan, menambahkan, menambahkan, dan terus melanjutkan hingga mendekati penyelesaian.


“―”

Selagi menatap Otto yang berwaspada tepat di depan mata, Subaru mendesah panjang.

Memberitahu dia banyak berubah akan sangat jelas memaparkan bagian paling memuakkan darinya. Kalaupun seseorang bilang dia tak berubah, dalam kondisi mentalnya saat ini Subaru akan menganggap kebalikannya, tetapi bila seseorang mengatakan, Kau pribadi yang berbeda, maka ia sulit menerimanya.

Sampai sekarang cara bicaranya yang frontal ini belum pernah diketahui orang-orang mati yang ditambahkan ke dalam ingatannya, atau bahkan orang yang berada dalam menara.

“Jujur saja, aku kesulitan mengurus semua ini.”

“… Apa maksudmu?”

“Tidakkah kau mendengar perbuatanku dari Echidna? Ingatanku sudah menghilang, kepala peningku mengamuk-ngamuk …. Begitulah intinya.”

“Tentu aku tahu. Bahkan mendengar dirimu yang berusaha mendapatkan kembali ingatanmu.”

“Tak ingat pernah bicara begitu, dan … yah, dugaannya masuk akal. Lagian, semua orang yang masuk dalam ingatanku kompeten betul. Yang paling tidak kompeten adalah aku sendiri.”

Dengan lembut menggerakkan tangan ke bawah mata kiri, Subaru bergumam seakan-akan mengejek diri sendiri. Melihat gerakannya, Otto menelan ludah.

“Boleh tanya mata itu kenapa?”

“Mata … ah, mata kiriku? Memang kelihatan agak kabur, tapi bukan masalah besar. Walaupun aku tidak merasa sering menjedotkan kepalaku ketika semua ini dimulai. Kalau soal rambutku, yah, tidak ada yang spesial … memutih sendiri. Lucunya.”

“Hahahaha, lucu sekali memang. Kau sudah puas?”

‘’Jauh dari kata puas. Masih panjang jalan menuju kepuasan. Jauhnya bukan main sampai aku jadi stress.”

Melihat Otto tersenyum ngasal, Subaru meresponnya dengan tersenyum ngasal juga.

Awalnya, Otto dan Subaru adalah kawan baik, dan Subaru masa kini tahu itu. Perasaan demikian tak dia dapat dari Emilia atau Beatrice belaka, atau dari semua orang di perkemahan, melainkan dari sesuatu yang lebih orisinil lagi.

“Subaru dan Otto-kun selalu rukun, mereka sangattttttt menghangatkan hati.”

“Yah, sebenarnya Subaru selalu godain Otto, ya. Kurasa tidak banyak yang berubah, ya.”

Di kiri dan kanan Otto, Emilia serta Beatrice menyuarakan penjelasan mereka. Natsuki Subaru mengangguk terhadap penjelasan itu, Subaru menjilat bibir dan berkata, “Baiklah.”

“Aku telah menanti-nanti Reuni Pertama kita sejak dulu. Biarpun tahu kau ini salah satu bajingan yang semakin lama semakin berbahaya jika dikasihani. Maaf, ayo akhiri saja semua ini.”

Reuni Pertama, ungkapan aneh, kesampingkan saja itu, aku memikirkan tujuanmu … bukankah tujuanmu sebuah kegagalan?”

“Hah?”

Tubuhnya condong ke depan, Subaru mengerutkan kening. Setelahnya, Otto lanjut bicara, “Gimana ya penjelasannya.”

“Praktisnya, langkah yang cukup bagus. Menemukan momen yang tepat di mana semua orang sedang berkumpul dalam satu tempat dan membunuh mereka semua dalam satu serangan tak terhindari … aku mengakui strategimu. Apabila musuhmu terjebak dalam bencana ini, mereka tidak bisa melancarkan serangan balik, entah mereka itu ahli pedang atau tentara bayaran.”

“―”

“Kalau begini, bukankah membiarkan Echidna-san kabur dari Menara Penjaga termasuk strategimu? Melepaskannya, agar bisa mengumpulkan semua orang yang dikenalnya biar mengumumkan laporan bisa lebih mudah. Dari hipotesis itu, kemungkinan kekuatan Pristella terpusat di pusat pertemuan tersebut sangat tinggi. Jadi bendungannya bisa dibuka.”

“… Aku merasa terhormat dipuji olehmu.”

Sambil bersikap seolah dia menerima pujian, Subaru menggulung lidahnya ke mulut. Semestinya Otto yang dipuji.

Otto hampir menguak seluruh misteri, semua tebakannya pun benar, termasuk Subaru yang membiarkan Echidna kabur.

Meskipun ….

“Yah, sejujurnya, awalnya kebetulan saja Echidna lolos, kemudian aku menyadari dia bisa berguna setelah dibiarkan kabur. Karena itulah tidak aku kejar.”

“Aku mengerti. Aku juga akan terkejut kalau bisa sampai sejauh itu mengetahuinya. Tidak aneh andai mengatakan mereka yang kehilangan ingatan menjadi sangat cerdas―Tapi.”

Menghentikan kata-katanya, Otto memelototi Subaru. Menyadari kekuatan tekad dalam matanya, Subaru juga membangunkan kekuatannya.

Tetap berjaga-jaga, Otto melanjutkan ucapannya.

“Ujung-ujungnya, kau mengacaukan babak penghabisanmu.”

“Mengacaukannya? Aku? Maksudnya apa?”

“… Ungkapan yang aku juga belum mengerti, tapi tidak ada maksudnya. Tidak ada kesempatan lain kau bisa menyerang sehebat ini. Kalau kau tidak setengah-setengah, sebaiknya jalankan apa yang telah kau persiapkan.”

“Apa yang aku persiapkan ….”

“Seharusnya kau langsung incar Reinhard-san tanpa serakah.”

Menunjuknya, Otto mendeklarasikan hal itu kepada Subaru. Mata Subaru membeliak saat mendengar pernyataannya, wajahnya terheran-heran, Otto menagih jawaban Subaru.

“Kau tidak menggunakan Buku Kematian yang memungkinkan seseorang membaca ingatan orang lain? Kalau kau berencana untuk menggunakannya dan mengembalikan dirimu, Reinhard-san adalah ancaman terbesarnya. Semisal kau mengincarnya, tidak mungkin dia kalah tanpa menyerang kelengahannya. Mulai saat ini, kau harus was-was. Tidak ada kesempatan lain lagi.”

“Saat aku berhadap-hadapan dengan mangsa, semestinya tidak melepaskannya. Begitukah maksudmu?”

“Benar, itu yang aku maksudkan. Jadi kau harus ….”

“Ha.”

“―?”

 Otto mengangkat alis ketika Subaru membunyikan suara aneh dalam tenggorokannya. Reaksinya menunjukkan keterkejutan, kebingungan, sekaligus keheranan.

Subaru tidak bersandiwara maupun menipu, reaksinya murni karena Otto. Rekasi semacam itu rasanya lazim dalam beberapa hal.

Meskipun telah menduga banyak kejadian, pada akhirnya, Otto salah menduga babak penghabisannya.

“Kau, Otto, kaulah yang tidak mengerti.”

“Itu ….”

“Orang yang aku incar bukanlah Reinhard. Tentu saja, banyak masalah akan selesai kalau dia mati di tengah-tengah banjir ini, tapi aku tidak pura-pura mengandalkan kecelakaan menguntungkan itu.”

Reinhard yang unik sangat dikenal semua orang. Dialah Pedang Saint yang senantiasa dirumor-rumorkan, membunuhnya adalah tindakan hebat sepanjang masa―bagaimanapun juga, penting membuat, membuat, dan membuat rencana mengalahkannya.

Mati karena kecelakaan biasa, kematian bukanlah keberuntungan yang bisa diharapkan dari seorang pahlawan.

“Itulah sebabnya aku mencari-cari cara untuk membunuh orang itu. Mungkin membunuhnya bisa melemahkan Reinhard, mungkin bisa kuserang di saat-saat lengahnya, boleh jadi memasang jebakan, bisa jadi menyandera. Tentu kalau aku membunuhnya, aku akan menerapkan rencana itu … tapi prioritasnya belakangan.”

“Kalau begitu, banjir ini gunanya untuk menyingkirkan orang-orang yang kau kenal sekaligus? Pastinya, jumlah orang yang kau kenal di kota ini sejak peristiwa kemarin ….”

Otto berusaha melanjutkan ocehannya. Tapi dihentikan oleh Subaru yang mengulurkan telapak tangan.

Bahkan Subaru tahu Otto ingin bilang apa. Kekejaman Pemuja Penyihir kepada Kota Bendungan Pristella telah diperhitungkan dari seluruh aspek. Tentu saja hal itu adalah alasan mereka menjadikan kota ini sebagai markas. Namun, faktor itu sepele dibandingkan alasan terbesarnya.

Tujuan Subaru menyebabkan banjir di Kota Bendungan saat ini hanyalah satu.

Tujuan utamanya adalah―

“―Kau, Otto.”

“… Ah?”

“Rencana sempurnaku agar bisa seratus persen membunuhmu. Orang lain yang mati … Yah, itu cuma bonus saja.”

“―”

Otto menegang seakan-akan tidak mengerti arti tujuan Subaru.

Lalu, menutup mata kanannya kepada Otto yang terperangah, Subaru memutar kepalanya, melihat pemandangna dari atap, merefleksikan dunia sekitar dengan mata kiri rabunnya.

“… Kenapa … aku?”

“Kenapa juga aku membuat masalah besar untukmu seorang? Karena kehati-hatian terbesarku terletak padamu. Bahkan rencana menyingkirkan Garfiel adalah agar langkah membunuhmu semakin pasti.”

“―”

“Asal kau tahu saja, hal ini tidak kupikirkan sendiri, karena aku sama sekali tidak percaya pada isi kepalaku. Aku sadar sedang membuang kebijaksanaan tak berguna dari benak tak bergunaku.”

Memang, Subaru tidak terlalu licik.

Kepala Subaru tidak puas, dia masih naif perkara urusan dunia, terputus dari rahasia-rahasia alam, asing kepada hukum-hukum Midgard.

Karenanya―

“Aku berkonsultasi dengan mereka.”

“―”

Mereka yang mengelilingi Otto terdiam adalah rekan-rekannya, sayang hanya bisa dilihat mata kiri Subaru, dan selamanya tak kasat mata di mata Otto.

Emilia, Beatrice, Ram, Roswaal, Petra, Frederica, semua rekannya membuat lingkaran yang mengelilingi Otto.

Melihat wajah mereka satu per satu, Subaru mengangkat bahu dan berkata, “Benarkan itu?”

“Siapa … orang paling menyusahkan yang mengenalku?”

“Otto-kun.”

Jawab Emilia.

“Siapa … orang paling menyusahkan yang mengenalku?”

“Otto, ya.”

Tanggap Beatrice.

“Siapa … orang paling menyusahkan yang mengenalku?”

“Ya Otto-lah. Ngerepotin aja.”

Respon Ram.

“Siapa … orang paling menyusahkan yang mengenalku?”

“Otto~kun dong.”

Ujar Roswaal.

“Siapa … orang paling menyusahkan yang mengenalku?”

“Otto-san.”

Tutur Petra.

“Siapa … orang paling menyusahkan yang mengenalku?”

“Otto-sama.”

Kata Frederica.

“―Semuanya sepakat. Andaikan Garfiel ikut bergabung, imbuhnya pasti sama.”

“Kau berbicara dengan siapa ….”

“Meskipun kau berusaha mengulur waktu, sia-sia saja. Alasan aku membanjiri kota ini adalah kau―Bahkan kau takkan bisa kabur dari tempat ini, satu ekor tikus pun tidak ada.”

Inilah alasan Subaru membuka bendungan dan merendam kota dalam air.

Entah naga air, tikus, atau cacing, tidak ada yang bisa menghampiri Otto Suwen. Karena telah dipisahkan dari terra firma, Otto tidak bisa menggunakan berkahnya.

Subaru telah mengatur segalanya dengan memanfaatkan pengetahuan semua orang.

Ini dan itu, semuanya―

“―Aku tidak akan meremehkanmu. Takkan meremehkan orang lain. Kalian semua punya kemampuan. Karena itulah aku akan membunuh kalian seefisien mungkin .”

“Kau ….”

“―Master.”

Setelah dideklarasikan perang oleh Subaru, sebuah suara menyela Otto yang mencoba berbicara. Orang yang mendarat di atap adalah Shaula, setengah tubuhnya basah merah darah.

Saat membersihkan area di sekitar dadanya yang ternodai darah, dia melapor ….”

“Akhirnya aku selesai! Kyaaa~ dia kukuh sekali. Kukira dia abadi karena berapa pun kupukul perut dan menerbangkannya, dia masih bertahan!”

“Kau betul-betul meluangkan waktu … sudah kau pastikan menghabisinya dengan benar?”

“Aku bahkan meratakan kepalanya, mungkin. Kecuali Master, manusia mati apabila kepalanya dihancurkan, betul?”

“Aku tidak paham kenapa kau mengecualikanku. Bahkan aku pun bakal mati kalau kepala ini hancur!”

“Master punya banyak kejutan~”

Sambil ke tawa-tawa, Shula mengangkat bahu tak percaya. Menurut Subaru caranya berpikir tak bisa dipahami, walau tidak sopan untuk ikut campur dalam selera orang.

Paling pentingnya lagi, dia menjalankan tugas yang diberikan kepadanya. Saat ini sudah bagus.

“Terima kasih atas kerja kerasnya, Shaula. Sekarnag ….”

“Aku hanya perlu membenuh Tuan Nomor Satu-san, kannn? Tapi, tapi, memangnya dia bisa jadi musuh yang seberbahaya itu? Bagiku, sepertinya dia ….”

“Kalau kau membicarakan kekuatan fisik atau kelemahan, aku pun bisa membunuhmu dengan satu tangan.”

Kekuatan Otto terkandung pada bagian otaknya yang sukar diukur Shaula. Itulah kesimpulan yang dia dapatkan setelah mengumpulkan detail-detail dari cerita Emilia dan yang lainnya.

Mendengar jawaban Subaru, Shaula menanggapi, “Hmm~ tentu saja.”

Di sisi lain, Otto dengan kebencian yang berdenyut-denyut dalam relung hatinya, menyaksikan percakapan mereka.

“Mustahil, dianggap hal paling berharga sepanjang hidup dan malah menjadi senjata makan tuan … rasanya buruk.”

“Berharga sepanjang hidup? Kau salah paham.”

Tidak ada sarkasme dalam jawaban Subaru kepada kata-kata Otto, dia berbicara jujur sejujur hatinya.

Demikianlah kebenaran yang dilihat Subaru dari membaca semua buku Tim Emilia. Tidak ada yang salah.

“Kaulah orang paling berharga di dalam tim, Otto!”

“―Halah pler, dasar palsu.”

Subaru menggertak gigi dan menyeringai, Otto ikutan menggertak gigi serta menyeringai seram.

Meskipun ucapan barusan menembus sedikit ke dada Subaru―

“―”

―Di saat-saat berikutnya, kilatan cahaya putih menembus tubuh Otto, dan perbincangan mereka berakhir secara paksa.


Menambahkan, menambahkan, menambahkan, terus membentuk wujudnya.

Menambahkan, menambahkan, terus mencetak bentuknya.

Menambahkan, menambahkan, terus mengisi warnanya.

Menambahkan, menambahkan, menambahkan, dan terus melanjutkan hingga mendekati penyelesaian.


“―Sampai sini saja perbuatanmu.”

Natsuki Subaru perlahan membuka kelopak matanya yang terpejam tepat saat kata-kata itu terdengar.

Di bawah matanya, di kakinya, setengah bagian atas mayat Otto telah hancur dan jatuh di sana. Garfiel, yang mati dalam pertempuran, pastinya telah mengapung di permukaan air tak jauh dari sini.

Perbuatan Subaru sama munafiknya dengan keadaan ini, ia sedang berdoa dalam hati.

Subaru tak menaruh dendam pada Otto ataupun Garfiel.

Tidak ada alasan bagi Subaru untuk menyimpan dendam mendalam kepada orang-orang yang sejauh ini telah ia bunuh―Tidak, dia yakin Subaru orisinil memang menyimpan dendam kepada Roswaal, yang melatarbelakangi kejahatan besar, namun Subaru masa kini tidak tahu niat sebenarnya Roswaal saat itu.

Selain masalah-masalah kecil mencemaskan ini, Subaru tidak membenci satu orang pun. Orang yang senantiasa dia benci, adalah dirinya sendiri. Mengemban kebencian pada dirinya sendiri, yang bukan Natsuki Subaru.

Versi palsu dirinya yang tak bermanfaat bagi siapa pun.

Hanya Natsuki Subaru konyol yang mencoba mengumpulkan potongan-potongan ingatan Natsuki Subaru. Natsuki Subaru konyollah yang berusaha merakit sulamannya. Natsuki Subaru konyol yang mencoba membentuk pribadi dengan menyatukan dirinya apa pun yang terjadi.

Karenanya―

“Aku ingin meminta maaf, bahkan kepadamu.”

“…Subaru.”

Menolehkan kepala ke belakang, tatapan Subaru tertuju pada Reinhard, dia berdiri di tepi atap.

Walaupun telah melihat sosoknya dalam ingatan banyak orang, tidak ada kerutan dalam sosoknya. Terlebih lagi, pakaiannya pun tidak basah, bagaimana bisa?”

“Begitu, kau ini orang abnormal.”

“Subaru, apa kau melakukan semua ini? Otto, Garfiel, dan ….”

“Aku yang membunuh mereka semua–jika itu yang kau maksud maka jawabannya ya. Dan bukan dua orang itu saja. Semua orang di kota menjadi korban banjir …. Semua itu adalah perbuatanku.”

“Kenapa … kenapa kau melakukan ini!? Padahal kau pergi dari kota untuk menyelamatkan seluruh penduduknya …”

“Ke Menara Penjaga, kan? Aku tahu. Aku tahu betul. Seperti biasa, pengalamanku agak kurang, tapi aku samar-samar memahami intisarinya seakan-akan sedang membaca manga.”
Basah kuyup oleh penyalahan Reinhard, Subaru merentangkan kedua tangannya ke arah kota.

Kota itu kacau-balau oleh air, tapi Subaru tahu kotanya sudah melewati masa-masa sulit bahkan sebelum kebanjiran. Luka yang ditinggalkan atas kerasnya serangan Pemuja Penyihir lebih mendalam.

Mereka telah merenggut ingatan orang, mengubah mereka menjadi wujud tak manusiawi, menggunakan kekuatan maha besar untuk secara paksa menundukkan orang-orang yang tak menaati kehendak para Pemuja, sekaligus memaksa paham keliru agar penduduk kota bersimpati pada mereka.

Tidak salah lagi hal-hal yang mereka perbuat di sebut terburuk dari yang terburuk soal menginjak-injak hak asasi manusia.

Tapi, pada saat yang sama, memberikannya semacam kesan tertentu.

“―Rencana mereka penuh kelemahan. Aku kira mereka merasa di atas angin, karena itulah mereka dengan barbarnya menerjang maju begitu saja.”

Para Uskup Agung Dosa Besar mengantongi kekuatan supernatural yang kesemuanya punya kemampuan khusus. Tidak adakah orang yang mengajarkan mereka? Kekuatan macam apa yang kau emban, bila digunakan dengan cara yang salah, kau akan kalah entah siapa pun statusmu.

Bisa kebijaksanaan, angka atau talenta hebat, kau akan selalu dikalahkan.

“Aku takkan menantangmu tanpa punya persiapan. Mencari kemenangan disertai waktu yang tepat. Karena itulah aku berkonsultasi dengan mereka.”

“Konsultasi …. Benarkah yang menipumu adalah gadis di samping itu?”

“Hah, akuuu?”

Mendadak dipanggil, Shaula, yang berada di samping Subaru membelalakkan matanya karena kaget. Menatap Reinhard sambil menunjuk-nunjuk diri sendiri.

“Aku menipu Master … kalau bisa melakukan godaan besar itu, aku sudah berhasil dari duluuuuu! Master sangat seksi sampai-sampai dia tak terjerat godaanku … sama sekali! Yah, walau seksinya untuk kebaikan sendiri.”

“Meski posisinya adalah rekan, dia tidak bisa menipuku sedikit pun …. Bukan, gimana ya, kurasa adalah suara dalam diriku.”

“Suara … dalam dirimu ….?”

“Singa yang tertidur dalam diriku mencari-cari waktu terbebasnya dan akan mengamuk-ngamuk.”

Setelah mendengarkan respon Subaru dengan seksama, Reinhard seketika sadar perkataannya omong kosong. Masih menatap mata Reinhard yang jelas diwarnai keputusasaan, Shaula menyikut tubuh samping Subaru, memanggil, “Master-Master.”

“Hei, anu, dia tuh mirip sama Reid gegeh itu. Bukannya nyeremin?”

“Memang. Memang gegeh yang nyeremin. Karena dia keturunan Reid yang itu.”

“K-keturunan.”

“Cucu dari cucu-cucunya, dan anak dari anak-anaknya sampai seterusnya. Seperti itu deh.”

“Urghhh! Dia tidak ada hubungannya dengan Reid, kan!? Aku tidak diberitahu tentangnya!”

Shula mengeluh soal kekurangannya kepada Subaru, wajahnya seolah-olah terjerat dalam Perangkap Kaizo4. Sebenarnya, ingatan terkait Reid cukup jelas bagi Subaru dan kawan-kawan.

Wajar saja Subaru tidak mampu mengalahkan Reinhard, karena orang itu dialiri darah Reid, dalam pertempuran adil mau pun pertempuran terbuka.

” ―Maaf, tapi mari akhiri kebiadabanmu di sini. Aku yang berhasil melakukannya, adalah bukti persahabatanku kepadamu.”

“Kau mengutarakan hal sedih seperti itu kendati kita pernah sama-sama menghancurkan upacara pernikahan bersama! Wah, biarpun aku yang membuatmu mengatakannya, kau tahulah, ternyata Emilia-tan senang ….”

“Subaru, hentikan―Hentikan saja.”

“―”

Subaru menutup mulut ketika mendengar permohonan sedih Reinhard. Tampang Reinhard jadi terlihat agak sedih. Darinya, Subaru merasa seolah dadanya dikoyak-koyak terbuka.

Otto dan Garfiel pun sama, dia tak menyimpan dendam kepada mereka.

Subaru pun tidak menyimpan dendam kepada Reinhard. Subaru tahu Reinhard tak punya salah apa pun. Dia orang terpuji yang tidak layak disalahkan. Subaru juga tahu Reinhard adalah sahabat baik.

Meskipun begitu―

“―Aku juga memerlukan potongan dirimu untuk mengembalikan Natsuki Subaru. Maka dari itu, aku akan membunuhmu suatu hari nanti.”

“―”

“Tapi, tidak sekarang. Tidak sekarang. Itu masalah untuk hari esok, esok, dan esoknya lagi.”

Mata Reinhard menjejak bingung setelah mendengar proklamasi Subaru.

Reinhard ingin menyelesaikan semua masalahnya sekarang ini. Faktanya, Reinhard ingin melakukan itu, Subaru bisa saja menutup jarak dengan satu langkah dan menebasnya dalam sekejap. Kendatipun Shaula bersiap menjaganya, hasil akhirnya takkan berubah.

Meski begitu, Subaru bisa bilang―

“Asumsikan Felt berhasil kabur dari semua ini, aku pikir dia berada di suatu tempat di tepi kota.”

―Berbalik ke arah yang ditunjuk oleh raksasa berkepala gundul, Shaula menembak kilatan cahaya putih ke arah penunjuknya.

“―”

Dalam sekejap, Reinhard menahan nafas, dan terbang mundur, mengikuti tembakan cahaya yang kecepatannya sama dengan Reinhard. Pria itu tidak membunuh Sbaru, yang berdiri tepat di depannya, melainkan buru-buru menghampiri baungunan jauh tempatnya Master Reinhard―Felt bersembunyi setelah sukses bertahan dari banjir, agar bisa menangkis kilatan cahaya putih tersebut.

“Apabila kau menempatkan sesuatu penting dekat-dekat, itu sama saja memperlihatkan titik lengahmu. Hal yang sama berlaku bagi Pedang Saint Reinhard, benar~?”

Roswaal, yang memberikan sarannya tersenyum lebar, menikmati kepuasannya karena telah mengalahkan Pedang Saint. Memandangnya dari samping, Subaru menarik nafas pendek, dan berkata.

“Shaula, ayo mundur―Hari ini sudah cukup.”

“O~ke!”

Dengan cerianya mengangkat tangan, Shaula mendekat punggung Subaru. Mengangkat Subaru dengan kekuatan tangan rampingnya, menekuk lutut sedikit, mereka melompat keluar dari kota.

Tapi, persis sebelum lompatan pertama, Subaru menghadap arah Reinhard pergi, dan berkata.

“―Kau tidak mahakuasa atau manusia super seperti yang kau pikirkan.”

Sebab itulah―

“―Nanti kau pasti akan kubunuh juga, Reinhard.”


Menambahkan, menambahkan, menambahkan, terus membentuk wujudnya.

Menambahkan, menambahkan, terus mencetak bentuknya.

Menambahkan, menambahkan, terus mengisi warnanya.

Menambahkan, menambahkan, menambahkan, dan terus melanjutkan hingga mendekati penyelesaian.


“―Beritahu aku sekali lagi. Siapa namamu?”

“Ah, Amue. Amue Sears ….”

“Begitu, nama yang bagus, Amue …. Yang barusan terjadi pasti sulit bagimu.”

“Hghghghghg ….”

Seorang ksatria bermabut merah, dia berlutut sampai setinggi Amue, mengujar kata-kata itu padanya. Setelah mendengar kata-kata itu, emosi tengang si gadis kecil meledak-ledak.

Air mata perlahan menetes dari wajah Amue, tubuhnya mulai gemetaran atas teror yang kembali menyelimutinya.

Lalu, ketika dia memandangi gadis kecil yang menangis itu, sang ksatria―Reinhard mengalihkan matanya dan melihat sekeliling, kemudian menggigit bibir, kekhawatiran mendalam mengisi dadanya terhadap pemandangan mengerikan yang disaksikannya.

“―”

Dua hari yang lalu, sebuah insiden terjadi di desa kecil bagian utara Kerajaan Lugnica.

Butuh waktu lama untuk diketahui karena desa itu terletak di daerah perbatasan terpencil, karena letaknya cukup jauh dari Ibu Kota Kerajaan dan lima kota besar. Pengiriman ksatria, termasuk Reinhard, telat beberapa hari.

Saat-saat itu, Amue sebagai satu-satunya orang yang selamat di desa itu, duduk diam saja di sana, memeluk lututnya sendirian. Dia di sana, dikelilingi semua mayat keluarganya serta orang-orang yang dia kenal baik.

“Subaru ….”

Reinhard termenung dan menggumamkan namanya sambil menyentuh gagang Pedang Naga yang dia sembunyikan di pinggang.

Mengingat masalah dalam insiden ini, kemungkinan besar tindakan jahat tersebut dilakukan oleh Pemuja Penyihir. Akan tetapi, intuisi Reinhard secara alamiah mengetahui siapa yang menyebabkan semua ini.

“Orang-orang yang melakukan semua ini …kalau tidak salah, seorang pria dan wanita, kan? Dua orang pemuda.”

“Y-ya … itu benar. Ah, tapi ….”

“Tapi?”

Sembari terisak-isak tangis, Amue tersedak kata-katanya seraya menjawab pertanyaan Reinhard. Amue ragu-ragu sedangkan Reinhard denga sabar menunggu jawabannya, alis mengkerut.

“Aku tidak kenal siapa si wanita, tapi si pria ….”

“Pria?”

“Aku tidak tahu, tapi seolah-olah dia berbicara dengan seseorang ….”

“―”

Apakah ada keraguan tatkala Amue menyampaikan informasi tak jelas itu? Amue tak yakin sama sekali tehradap perkataanya. Tapi, Reinhard menutup mata dan mendesah panjang-panjang atas jawabannya.

Perkiraan Amue benar. Pria dan wanita itu―Bukan, Natsuki Subaru jelas berbicara dengan orang lain selain wanita yang menemaninya, seperti yang dikatakan Amue.

Reinhard tak tahu orang-orang itu dia kenal atau tidak, tapi―

“Terima kasih sudah memberikan informasi ini. Ordo Ksatria akan segera menanganinya. Kau punya kerabat lain selain keluarga ….?”

“―Ah.”
Jari-jari Amue dengan lembut menggenggam manset celana Reinhard saat pria itu berbicara baik dengannya. Seakan gadis itu takut Reinhard akan meninggalkannya, wajah Amue tampak tak percaya pada tingkahnya sendiri.

Namun, mengingat kondisi mentalnya, wajar dia berbuat begitu.

Kehilangan keluarga dan kota kelahirannya. Sebesar apa penderitaannya mulai dari sekarang.

Seandainya Subaru bisa mengalihkan perhatiannya dari seluruh kekacauan ini, maka.

“Baiklah. Aku akan menyertaimu sampai kau aman. Tenang sajalah, karena orang yang ingin menyakitimu takkan bisa dekat-dekat lagi.”

“H-hiks …. M-maaf, aku benar-benar minta maaf ….”

“Tidak perlu minta maaf―Karena kau tidak melakukan kesalahan apa pun.”

Meraih tangannya, Reinhard diam-diam teringat kembali pada pria dan wanita yang membuat semua ini selagi melihat Amue menangis tersedu-sedu.

“Apa kau … puas dengan ini? Apakah telah memuaskanmu? Apa yang dilihat oleh matamu itu? Aku tidak mengerti―Subaru.”

Reinhard menggumamkan nama orang yang tidak berada di sini dan menuutp matanya.

Sosok yang terbayang di blaik kelopak mata Reinhard adalah seorang teman yang nantinya akan datang membunuhnya. Teman itu kemungkinan besar akan melakukan segalanya agar Reinhard bisa mati.

Teman yang nantinya akan dibunuh Reinhard dengan kedua telapak tangannya.


“Sepertinya anak itu, Amue, pasti sudah ditemukan oleh Reinhard-san, kan?”

“Dia satu-satunya orang yang tersisa di desa terbakar itu, kan? Misal anak seusianya melihat Reinhard, dia pasti merasa lega dan tak ingin terpisahkan darinya―Dengan ini, dia tak punya waktu untuk mengejar kita.”

“Licik banget, lebih tepatnya, curang banget, atau …. Ah, aku tidak berhak berkomentar sih.”

“Betul tuh. Brotto dan Kapten bener-bener sama kalau soal ini.”

“Ewwwww.”

“Lu cocok dah sama huruf T!”

Menembus semak-semak dengan cabang pohon yang dipegangnya, Subaru menyusuri jalan tikus sambil mengerutkan wajahnya. Otto yang sedang menapaki hutan di sampingnya menampakkan wajah serupa. Dan Garfiel yang melihat mereka berdua, menepuk tangan sekali dan meruncingkan taringnya, menertawakan situasi sekarang.

“Hehe, paling enggak kita semua masih sama-sama, iya gak? Berkat Subaru yang sangattttttttt sibuk dan berusaha sebaik mungkin.”

“Katamu, bahkan aku pun merasa usahaku banyak manfaat dan kepalaku merasa damai. Seandainya kau, Emilia-tan, merasa perjuanganku benar, maka aku ingin kau menghadiahkanku banyak hal, tapi ….”

“Kau ingin hadiah, tapi?”

“… yah, aku tuh anak laki-laki polos, berarti tak boleh membiarkan naluri laki-laki berbicara.”

Subaru melihat Emilia yang memiringkan kepalanya. Pemuda itu menggaruk-garuk pipi, memalingkan wajah dari sosoknya. Sebuah tatapan menghentikannya, tatapan itu adalah Ram yang sepasang matanya penuh penghinaan.

“Menjijikkan.”

“Langsung ke intinya sajalah! Sebetulnya, aku tidak pernah bilang begitu! Aku ingin kau memuji perasaanku karena tak meminta hasrat memalukan apa pun!”

“Ram? Memuji Barusu? Lebih baik diturunkan dari surga daripada memujimu.”

“Aku lebih rendah lagi dari bencana!?”

Mengangkat bahu, Ram balik badan dan mulai berjalan dengan anggun. Pundak Subaru melemas kesal terhadap lagak Ram. Kemudian dua tangan kecil nan lembut meraih tangannya dari kiri dan kanan.

“Astaga, dari jauh pun aku bisa melihat muramnya kau, ya. Sekiranya rekan Betty agak seperti ini, aku tahu kelanjutannya pasti sulit, ya.”

“Betul itu. Ram nee-sama selalu saja blak-balakn, bukan berarti dia niat melakukan itu. Karena itu akan akan baik-baik pada Subaru-sama. Anak baik, anak baik.”

“Hei hei, tidak mungkin aku akan diapit anak-anak gadis macam sandwich … walaupun dipikir-pikir lagi, Petra tidak kecil lagi. Sial, waktu memang kejam … hanya Beako saja yang masih gadis kecil ….”

“Gadis kecil … apa maksudmu gadis kecil, ya!? Tidak sopan kepada seorang wanita, ya!”

Melewati masa-masa loli, Petra membusungkan dada gembira, Beatrice bingung menganggapnya pujian atau hal lain. Yang mana pun, Beatrice nampaknya adalah seorang gadis kecil sepanjang masa, mau bagaimana lagi.

“Sepertinya sang ayah dan ibu dunia ingin anak-anak mereka berhenti tumbuh saat usianya memasuki masa terimut, kau ini seperti mimpi, Beako!”

“Hmph …. Maksudmu mengisyaratkan Betty ini orang terimut di dunia, ya?”

“Aku ingin mengumpulkan kandidat orang-orang terimut di dunia dan membuat mereka saling berkompetisi, sekalipun yang terimut sudah pasti kau. Aku akan memberikanmu medali.”

“Aku gimana? Hei hei, Subaru-sama, aku gimana?” panggil Petra.

“Hmmm, Petra yang terimut di dunia ini.”

“Yeeeeee!”

Berteriak gembira, Petra meraih salah satu tangan Beatrice dan melompat girang. Selagi terpenuhi semangat itu, suasana hati Beatrice tampaknya tidak buruk juga.

Di sana―

“Wah, wah, wah~, sepertinya kau lagi bersemangat sekali, ya~? Kesampingkan fisikmu, kau semestinya bertingkah sesuai anak seusiamu, walaupun tidak begitu, kau ini masih lumayan~ menggemaskan, betul begitu?”

“Ugh, ya ….”

Kaki panjang Roswaal melangkah maju, wajahnya menampilkan aura tenang. Beatrice merasa terganggu kepada Roswaal yang merubah menampilannya. Kebetulan saja, Petra yang memegang tangan Beatrice juga tidak senang terhadap tukang onar dalam tim Masternya. Yah, seumpama memikirkan kesalahannya, wajar patut disesali.

“Beatrice-sama, Petra, wajah kalian tak usah tidak senang begitu.”

“Benar~, Frederica memang mantul. Memberitahu kalian berdua benar-benar ….”

“Bila kalian berdua semakin memasang wajah itu, Master semakin senang, kan? Karena Master orangnya begitu.”

“Aku menarik~ kembali pujian barusan.”

Roswaal kehilangan ketenangannya sebab menerima pukulan keras Frederica.

Di sisi lain, baik Petra maupun Beatrice dengan patuhnya menerima kata-kata Frederica dengan, “Ooookee,” dan, “Baiklah, ya.”

“…Oh, rasanya kalian semua terlalu cerewet, kurasa cerewet ini sudah jadi bagian kehidupan sehari-hari, kan?”

“Tidak masalah apakah termasuk bagian kehidupan sehari-hari atau tidak, tapi tolongah, bukannya kau melupakanku dan Nona Meili?”

“Hmm ….”

Sedikit terpisah dari tim Emilia yang saling menegur sambil berjalan, Julius yang mengekor di belakang mengungkitnya. Menutup salah satu matanya, sosok Subaru terpantul pada mata kuningnya dan bilang ….

“Yah, apa kau mengakui saran bergunaku ketika melawan Reinhard?”

“Aku tidak bilang itu berguna, tapi pengamatanmu soal Reinhard malah mendekatkannya kepada Pria Impian, jadi kredibilitas sarannya bisa goyah. Jangan terlalu terpaku pada sindrom pahlawanmu.”

“Bukan jawaban yang membuatku membantumu. Barangkali mesti sedikit merubah sikapku dari sekarang?”

“Heeeeeey hey, tidak boleh ngomong begitu, Julius. Haruskah aku yang memberikannya kekuatan kepada Natsuki-kun? Seharusnya bisa tanpa kontrak apa pun.”

Respon baik bernada lembut, Anastasia mencampuri percakapan Subaru dan Julius, yang apabila dilanjutkan malah akan jadi adu argumen.

Anastasia telah seratus persen mendapatkan kembali perangai pedagangnya, menatap Subaru dengan mata pirus pucatnya, dia bilang:

“Natsuki-kun, kau sudah lupatah? Misalkan kita bekerja sama dengan baik satu sama lain, terus Natsuki-kun, saat kau sudah kembali normal, kau akan ….”

“―Aaah, aku baru ingat. Andai aku mengembalikan Natsuki Subaru dan kembali ke waktu diriku bisa memulihkan semuanya, maka.”

Memotong kata-katanya, Subaru mengambil nafas dalam-dalam dan melanjutkan.

“Akhirnya, aku bisa menebus semua orang yang aku bunuh.”


Menambahkan, menambahkan, menambahkan, terus membentuk wujudnya.

Menambahkan, menambahkan, terus mencetak bentuknya.

Menambahkan, menambahkan, terus mengisi warnanya.

Menambahkan, menambahkan, menambahkan, dan terus melanjutkan hingga mendekati penyelesaian.

Hingga mendekati penyelesaian, dan semisal penambahannya kali ini selesai.

Bila mana bisa ditambah sampai membentuk orisinilnya, pastilah.

―Pastilah, tak salah lagi dia akan mengulangi semuanya.


Natsuki Subaru mempunyai kekuatan mengulang takdir.

Demikianlah konklusi Natsuki Subaru.

Dia bisa saja mengembalikan nyawa Emilia, Beatrice, Ram, Julius, Meili, Petra, Frederica, Roswaal, Rom-ji, Garfiel, Otto, Anastasia, Ricardo, Hetaro, Tivey, Mimi, Kiritaka, dan Liliana.

Seharusnya bisa, bila dia Natsuki Subaru.

“Ksatriaku yang terhormat.” “Rekan Betty, ya.” “Seorang pria yang hanya piawai mengatur tempo.” “Seorang teman baik, pikirku.” “Yah~ oke-oke saja bila aku menghargainya sedikit.” “Rasanya seolah aku bisa berjuang sekuat mungkin berkat Subaru!” “Aku bersyukur karena Subaru-sama sudah berkali-kali menyelamatkan kami.” “Subaru-kun, aku sabar menunggumu bertahun-tahun lamanya ….” “Tidak pernah sekali pun aku mengira si bocah bisa melakukan ini.” “Kapten! Curhat lah ama gua kalau ada masalah apa pun! Kekuatan gua bakal ngelakuin apa pun!” “Yah, menakutkan sih jika konsekuensi pembayaran hutangnya bisa mencelakakanku, jadi aku ingin kau memikirkannya baik-baik.” “Hmmm, menyibukkan diri memang bagus. Aku, Mimi dan kawan-kawan harusnya bersantai-santai sedikit.” “Oh, bukankah itu keputusan bagus dari Ana-bo! Aye aye, kami kebanyakan kerja! Beberapa hari libur sudah bagus!” “Andaikan Nona libur beberapa hari, aku juga akan meliburkan diri ….” “Saat Natsuki-san membantu, Nona berusaha memeras bantuannya sampai habis.” “Ooo, kau benar! Aku paham, aku paham! Mimi juga, Mimi juga! Mimi akan berusaha sebaik mungkin bersama Garf!” “Jadi aku bisa melunaskan hutang budi dirimu yang menyelamatkan kota …bukan sesuaut yang bisa aku katakan semudah itu perkara kejadian setelahnya, tapi ….” “Kau bercanda, kan? Mungkinkah dendam banget sama Kiritaka-san? Karena andaikan Natsuki Subaru-sama kembali normal, semuanya akan kembali seperti semula, ya ‘kan!”

Dengan seluruh kekuatan yang mengauk-amuk itu, para rekan yang mengelilingi Subaru menuliskan harapan mereka kepada Natsuki Subaru.

Subaru mengangguk ketika mendengarnya, merasa seperti mengganggu urusan orang.

“Aaaahh, benar juga. Memang benar. Walaupun mustahil untukku, walaupun mustahil, aku akan melakukannya.”

“Jika kau, Subaru, pasti bisa melakukannya, benar?”

“Tentunya aku bisa …. Tidak, pasti akan kulakukan, bagaimana?”

Subaru menyatakannya dengan tinju terkepal erat, teman-temannya bersorak-sorai. Sambil menikmati keramaian di depannya, mendadak Emilia menghampiri. Subaru mengangkat alis.

Dengan lembut memberi isyarat kepada Subaru, lalu, menunjuk suatu tempat yang agak terpisah dari lingkaran rekan-rekan mereka. Orang yang ditunjuk jari putihnya adalah―

“―Sahula … kelihatannya dia kesepian. Kasihan sekali, Subaru. Dia kelihatan sedih, bukan?”

“Dia ….”

“Tidak usah berdalih. Kami semua sungguh-sungguh ingin berusaha sebisa mungkin bersama Subaru, tapi, orang yang paling berusaha adalah Subaru, dan yang kedua Shaula? Jadi ….”

“―”

“Jadi, kau harus baik-baik dengannya―Janji.”

Yang Emilia ucapkan kepada Subaru, sebuah janji, adalah sesuatu yang sangat-sangat penting di antara mereka berdua―Tidak, pada kenyataannya, karena Subaru bukan Natsuki Subaru, dia tak paham sebesar apa Natsuki Subaru menghargainya.

Sekalipun dia tidak memahami Natsuki Subaru, dia mengerti kepercayaan yang dipegang Emilia tatkala membuat janji dengan Natsuki Subaru, terlalu menyakitkan.

“… Baiklah, aku berjanji.”

“Mhmm, sempurna―Baiklah, sampai nanti, Subaru.”

Mengatakannya, Emilia melambaikan tangan sambil tersenyum.

Setelah Subaru mendengarnya, banyak sosok teman-teman di bidang pandang mata kiri berawannya benar-benar menghilang. Sesudahnya, semua suara menjadi sunyi, tiada siapa pun di sana. Keheningan yang rasanya seperti memotong segala hal kecuali Subaru.

Orang yang ia ikat janji tidak ada lagi, apalagi sisa-sisa janji yang dia buat.

“―Shaula, sini-sini.”

Menghiraukan pemikiran-pemikiran dangkal itu, Subaru memanggil Shaula, yang sedang berjalan di kejauhan. Mendengar panggilan itu, wajah Shaula tiba-tiba bersinar dan melompat ke sisi Subaru.

“Ada apa nih, Master! Hmm, sudah selesaikah waktu senang-senangmu yang seperti sedang bicara sendiri itu!?”

“Jangan terang-terangan begitu! Tidak perlu mengatakannya seakan-akan kau ini berbicara dengan orang gila, tak usah semenyakitkan itu!”

“Salahkuuuu!”

Menampar bagian atas dahinya dengan telapak tangan, Shaula menarik kembali perkataannya sambil menjulurkan lidah. Dia minta maafkah? Rasanya seperti bukan permintaan maaf, tapi, yah, mirip-miriplah.”

Bagaimanapun, Shaula yang terus menemani Subaru sampai sini dari Menara di gurun pasir―Tentunya, adalah kontributor utama tujuan Subaru, bukan karena apa yang dikatakan Emilia.

Subaru meminjam ide, pengetahuan, dan kebijaksanaan dari banyak rekan-rekan dalam menyusun tindakan serta rencana. Tapi, sesuatu yang dibutuhkan setiap kalinya adalah pengimplementasiannya, sederhananya, Subaru memerlukan kekuatan tempur.

Kehadiran Shaula sangat diperlukan untuk memungkinkannya. Meski begitu, Subaru hampir tak menghadiahkannya apa pun.

Rasanya dia hanya sumur yang bisa diambil air kapan pun Subaru memerlukannya.

Seakan-akan Shaula bilang Subaru bisa melakukan segalanya, kalau dia, yang bukan Natsuki Subaru.

“―”

“Master?”

Otomatis, Shaula bertanya-tanya sambil memiringkan kepalanya kepada Subaru, sebab Masternya merenung. Rambut hitam panjang perlahan turun ke pundak pasi telanjangnya.

Subaru memperhatikannya, dia menelan ludah dan meluruskan pikiran.

“Shaula. Kau ingin apa setelah semuanya berakhir?”

“Hmmm~ Maksudmu apa?”

“Aku tidak ingin apa-apa! Kau pasti mengerti tujuanku, kan?”

Sampai tadi, Subaru membuang pemikiran macam apa pun tentang menghadiahkan Shaula. Mana kala kau memperhatikannya, kau akan mendapati Subaru mulai berbicara kasar padanya.

Kata-kata itu, Shaula mengerutkan kening, wajahnya tidak tampak mengerti sama sekali pada perkataan Subaru. Dia mendekatkan wajah cemberut, setelahnya, telapak tangan Subaru menempel di dahi.

Selagi menahannya.

“Aku membunuh semua orang yang mengenalku dan membaca Buku Kematian mereka. Jikalau aku membunuh semua orang yang mengenalku, maka orang terakhirnya adalah kau. Setelahnya, aku akan membaca bukumu, dan ….”

Subaru kekurangan sesuatu yang penting bagi dirinya sendiri dan tak mampu mengisi lubang menganga itu dengan kekuatannya sendiri. Subaru tak punya pilihan lain selain membangun Natsuki Subaru sedikit demi sedikit untuk mengumpulkan seluruh memori Natsuki Subaru dari semua orang yang mengenal Natsuki Subaru kemudian menambahkannya sampai membentuk wujud orisinilnya.

Dalam wujud lengkapnya, akan berisi semua kenangan dari mereka-mereka yang mengenal Natsuki Subaru. Seperti Emilia, Beatrice, dan lain-lain, Shaula juga bukan pengecualian.

Karena itulah dia berjanji bahwa dirinya suatu hari nanti akan membunuh Reinhard.

Shaula terus tersenyum lebar di hadapan mata Subaru. Terus membantu tujuan Subaru tanpa ragu-ragu. Berinteraksi dengan tindak-tanduk riangnya. Subaru harus membunuhnya.

“Namun, kau masih menemaniku? Shaula.”

“Apa kau mengkhawatirkankuuuu? Apakah itu karena kau mencintaiku?”

“―Jangan bercanda. Aku bertanya serius.”

Jawaban Shaula kepada pertanyaan tulus yang Subaru ajukan bernada sama seperti biasanya. Itulah yang memicu kegelisahan Subaru, mengulang-ulang pertanyaannya dengan perkataan yang lebih kasar.

Tapi, setelah menerima kata-katanya, Shaula kembali memanggilnya, “Master.”

“Aku sungguhan tidak bercanda. Karena dicintai oleh Master adalah makna hidupku. Jadi, itulah hal yang paling pentingggg.”

“―”

“Misalkan Master mencintaikuuuu, maka kau bisa menggunakanku sepuasnya. Hidupku adalah property Master. Gunakanlah sesukamu, Master … itulah keinginanku.”

Bicaranya masih sama, gayanya yang blak-blakan sudah seperti lem, masih memancarkan aura sembrono yang tak dibedakan apakah ia bercanda atau serius, Shaula menggerakkan tangannya ke bawah payudara.

Ke bawah kemudian mata gelapnya menatap Subaru lalu tersenyum lemah.

Yang dia tunjukkan adalah ketulusan terhadap kesungguhan hidupnya, tak pernah berbohong. Shaula selalu bicara serius―karena dia selalu serius, dia tak perlu bebrohong.

“Kau boleh menggunakanku selama mungkin sampai aku berakhir. Gantinya, aku ingin kau mencintaikuuu, dan aku ingin kau menangis ketika kematianku datanggg. Karena aku, aku hanya …hanya puas saja dengan itu.”

“Kenapa kau sangat mengabdikan dirimu kepada seseorang sepertiku? Mungkinkah karena aku Natsuki Subaru.”

“Bukan itu sebabnya.”

“―”

“Master ya Master, aku tidak mempedulikan orang lain. Aku ingin dicintai oleh orang yang kucintai. Dan bila orang itu balas mencintaiku, yah, itu sempurna deh. Apa aku ngomong aneh?”

Shaula kebingungan, tak meragukan perkataannya sedikit pun. Melihatnya, Subaru mendesah pelan, “Hahhh,” sesaat kemudian cekikikan dan kian lama menjadi tawa besar.

Subaru tertawa.

Dia tak tertawa sebagai Natsuki Subaru orisinil ataupun Natsuki Subaru palsu yang dia peragakan di depan Emilia serta kawan-kawan. Kali ini dia tetawa ikhlas sebagai Natsuki Subaru hampa yang telah melupakan segala kehidupannya di dunia lain.

“Ahhhh, sialan dah, kalian … kalian bisa berhenti meresahkan pencarian jati diriku tidak …Dasar kaum-kaum tolol.”

“Huh!? Master, tak mungkin, kau marah? Apa aku ngomong aneh!? Mungkinkah Senin itu, Kamis, dan Jumat, semua hari sampah itu mau dibuang!?”

“Aku tidak marah. Hanya kagum saja, kagum, dan ah, aku tak tahu mau ngomong apa.”

Mendesah panjang, Subaru sedikit menggelengkan kepala dan mulai berjalan. Shaula, terlihat sedikit tak seperti biasanya, dengan takut-takut mengawasi punggung Subaru.

Aank muda itu mendesah panjang lagi ketika melihat kekeras kepalaan dalam mata Shaula.

“Terserah kau mau apa, jadi, cepatlah ke sini.”

“Kalau terserah aku … kalau begitu, kau tidak marah jika aku memegang tanganmu, kan?”

“Kurasa begitu jika kau tidak mengerahkan seluruh berat badanmu.”

Sekejap itu, wajah Shaula bersinar dan melompat kemudian mendekap dada Subaru. Kendati rasanya akan kasar, hanya ketika ia menyentuh Subaru, Shaula menurunkan kekuatannya.

Seakan-akan memegang sesuatu yang rapuh nan penting, berusaha untuk tidak menghancurkannya.

Subaru benci Shaula menggodanya―Tidak, dia hanya tidak menyukainya. Rasa sayang Shaula membuat Subaru merasa tidak nyaman.

Shaula ingin disayang oleh Natsuki Subaru. Dan, semua orang juga tak tertarik atau peduli kepada Natsuki Subaru, selain Natsuki Subaru.

“Master, master~”

“Hmm?”

“Aku mencintaimuuu Master. Love is Over5.”

“Begitu rupanya. Aku tidak mencintaimu sih.”

“Huuuuu! M-master jahat banget ….”

“Tapi.”

“Tapi?”

“… setelah kau membunuh Reinhard, aku akan membunuhmu. Aku, yang bukan Natsuki Subaru akan membunuhmu orang yang terakhir. Itulah yang akan kulakukan padamu.”

“―”

“Itu saja yang akan kujanjikan.”

“Wk, wkwkwkwk, wkwkwkwkwkwk! Master, Master … beneran? Aku yang terakhir? Aku jadi wanita terakhir?”

“Kata-katamu itu, ingin membuatku menghancurkan langsung janjinya.”

“Ehh~! Tidak! Itu ‘kan janji! Sungguh-sungguh janji!”

“Aku bercanda.”

“Eeeeeeeh!? Canda? Mana candanya!? Master, Master~!”


Menambahkan, menambahkan, menambahkan, terus membentuk wujudnya.

Menambahkan, menambahkan, terus mencetak bentuknya.

Menambahkan, menambahkan, terus mengisi warnanya.

Menambahkan, menambahkan, menambahkan, dan terus melanjutkan hingga mendekati penyelesaian.

Menambahkan, menambahkan, menambahkan, terlalu banyak yang mesti ditambahkan. Meskipun terus menambahnya sampai wujud aslinya pun tak dikenali, dia masih bisa membuat baru.

Menambah, dan terus melanjutkan hidup.

Menambah, dan terus melanjutkan hidup.

Hingga datang hari kematiannya, dia akan terus menambahnya, dan terus melanjutkan hidup―

Menambahkan Kehidupan di Dunia lain Dari Nol

FIN

Catatan Kaki:

  1. Sumpah yang diucapkan ketika orang menikah, di Indonesia gak ada, Eropa dan Amerika pasti mengucapkan sumpah itu saat menikah.
  2. Referensi untuk Yatterman (Sebuah anime Jepang, yang juga mendapatkan film), trio tokoh dari film anime ini mengatakan アラホラサッサー! Dalam salah satu lagunya. Kedengarannya seperti: Hei, hei, hey.
  3. Hercule Poirot (/ɜːrˈkjuːl pwɑːrˈoʊ/; pengucapan bahasa Prancis: [ɛʁkyl pwaʁo]) adalah karakter detektif fiktif Belgia, yang dibuat oleh Agatha Christie. Poirot adalah salah satu karakter Christie yang terpanjang hidupnya, muncul dalam 33 novel, satu permainan (Black Coffee), dan lebih dari 50 cerita pendek yang diterbitkan antara tahun 1920 dan 1975. Poirot muncul di radio, serta di layar untuk film dan televisi, dan diperankan oleh beragam aktor, seperti John Moffatt, Albert Finney, Sir Peter Ustinov, Sir Ian Holm, Tony Randall, Alfred Molina, Orson Welles dan yang paling terkenal David Suchet.
  4. Kaizo Trap = Perangkap Kaizo. Adalah salah satu tipe video game Hope Spot. Singkatnya ketika lu baru saja menyelesaikan tantangan sulit seperti mengalahkan boss, meningkatkan level, atau bahkan menyelesaikan seluruh game. Lu baru saja bernafas lega. Namun game itu mendadak membunuh lu di adegan kemenangan (victory cutscene), dan lu mesti ngulang semuanya lagi.
  5. Referensinya budaya pop versi Shaula, yakni lagu ini: https://www.youtube.com/watch?v=NxaED86s3L0
Share this post on:
Subscribe
Notify of
guest
17 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Unknown H

WAW OwO

SPOILER PAK TAPI :”V
ini dari arc 6 anjeeeeerrrrr

Unknown H

Ya bacanya nanti aja :v wkwkwkk lagian ini gak gitu nyangkut kok

Lebih parah ayamatsu kata gw

MYTHICAL

If gluttony sampai sini aja ya? Atau masih ada lanjutannya?

Pukimak

Woy ini sudah selesai? Reinhart belum mati

Vk

GW SUKA BACANYA BCOS BANYAK REINHARD DISINI EHEHEHE♡

Vk

Makasi translate nya, lafyu minnn

Fazana

Ini maksudnya apa ya? mohon penjelasannya

sang pembaca anon

Reinhard belom mati bambang woi ngapain udahan si shaula juga masih sehat wtf njir bener bener akhir spin off yang ngeselin

btw thank saudara yang udah TL ni novel walaupun gak mau di bayar 🙂 makasih banyak btw ch selanjutnya kapan? wkwkwkkw

waokwaokwaokwaok

if yg lain gmna min, ap mau d TL juga

Gabriella

Mantav min, semangat terus tl nya, para penggemar re-zero menunggu update-an mu :v (y)

Beako

Arc 6. Menara pleiades.
Natsuki subaru yg hilang ingatan grgr louis arneb(gluttony).
Shaula yg ngira subaru si Flugèl.
Louis arneb yg make solar elipse buat ngerasain jadi Subaru eh keterusan malah lupa jati diri lol
Jadilah ‘Natsuki Subaru’ di side story ini. Sekian.

Zegion 「✔ ᵛᵉʳᶦᶠᶦᵉᵈ 」

gak yang comment