Share this post on:

Penghalang Garfiel

Penerjemah : Bell Cranel

Editor            : Aiz Wallenstein

Subaru melihat Garfiel sedang cedera.

Pendarahan dari luka yang tak terhitung meninggalkan warna merah tua di tubuhnya, nafasnya megap-megap. Darah merembes keluar dari banyak luka goresan, kecuali pakaian compang-camping yang menutupi bagian bawah sosoknya, selain itu sepenuhnya telanjang.

Garfiel bahkan kehilangan sepatunya, berdiri nyeker. Subaru menurunkan tangannya yang melambai.

“… Tentu bukan gaya orang yang aku sambut. Sepertinya kau mau marah-marah, tapi tak kusangka akan sampai seperti ini.”

“Gak usah khawatirin apa pun soal gua. Cuma kepeleset jatoh aja.”

Pipi Subaru menegang saat Garfiel berbicara, orang itu merespon sambil memasang mata tidak puas.

Penjelasan Garfiel sama sekali tidak bisa dipahami. Anggapan Subaru buruk saat melihat orang itu terluka.”

Garfiel berkeliaran di Sanctuary, masih mencari-cari, kebetulan terperangkap dalam recana Subaru, yakni kelompok Otto yang pekerjaannya mengulur-ulur waktu.

Subaru bisa berdiri di sini karenanya. Si Suwen itu …

“Otto, dasar tolol, sudah kubilang beberkan semuanya terus lari!”

“Orang ini keterlaluan beraninya. Pertarungan yang kagak bagus-bagus amat, dia juga kagak pernah berantem dulunye. Terus nih orang ngoceh-ngoceh semuanya buat temen, temen dan temen … bener-bener nyulitin gua.”

Pipinya mengkerut karena kesal, Garfiel menyentuh bekas luka putih di kepalanya.

Luka itu sudah ada sebelum pertemuan mereka hari ini, tapi apakah luka di tubuhnya itu merupakan kenang-kenangan pertarungannya melawan Otto?

Meskipun, bertarung―bukanlah kata yang tepat dalam pertarungan berat sebelah. Otto mungkin lebih mahir berkelahi daripada Subaru, tapi dalam dunia yang dikuasai orang-orang maha kuat, Otto seharusnya tergolong non-kombatan.

Kalau diadu melawan petarung sungguhan seperti Garfiel, salah satu orang terkuat yang Subaru kenal, Otto tidak punya peluang kemenangan.

Apalagi Subaru cuma minta Otto ngulur waktu doang. Tidak lebih.

“… Dia tidak … mati, bukan?”

Dahi Subaru berkeringat dingin.

Kemungkinan terburuk yang mungkin terjadi adalah pertarungan itu berakhir ketika cakar Garfiel mencabik-cabik Otto. Akan menyenangkan bila Subaru ada di sana dan menertawakannya macam teman laknat, tapi dia tidak bisa. Tidak setelah melihat Garfiel yang keadaannya buruk begini.

Garfiel yang sampai seterluka ini, pasti pertarungannya sengit. Berharap Garfiel tidak kelewatan melawan Otto, ujung-ujungnya pemikiran itu kelewat optimistis.

Tetap saja, jika Otto meninggal, semuanya jadi sia-sia.

Kini Otto sudah tiada―hidup Subaru sudah tidak ada artinya.

“… Subaru.”

Tepat saat Subaru menarik nafas sedangkan pikirannya menjorok ke keputusasaan, sebuah suara mirip dering lonceng perak memanggil namanya dari belakang.

 Ujung jemarinya yang hendak menyentuh Subaru ditahan-tahan, kini bersandar di pundak lemasnya. Sentuhan tak berbobot itu membuat rentetan pemikiran Subaru mogok.

Dia melirik ke belakang dan mendapati Emilia berdiri di sana, mata khawatirnya menatap Subaru. Nampak jelas bahwa dirinya masih belum memilah-milah emosi yang berkecamuk dalam dirinya.

Waktu-waktu demikian kala Garfiel berdiri di sana, murka dan berlumuran darah, pasti tidak bisa dipahami oleh Emilia, walau barangkali Emilia menganggapnya bukan masalah duniawi biasa. Namun dalam mata yang tertuju pada Subaru itu ada sesuatu lebih dari sekadar rasa takut.

“Aku tidak apa-apa, Emilia. Maaf kau mesti melihatku seperti ini. Barusan …teringat siapa yang berdiri di belakangku, jadi aku oke-oke saja sekarang.”

Seakan dihidupkan kembali oleh matanya, Subaru menarik nafas dalam-dalam sebelum kembali menghadap Garfiel. Pintu masuk Makam terletak di sebuah lereng kecil, lantas Subaru kudu menundukkan kepala untuk melihat sosoknya. Sementara itu, sosok yang dilihat menggeram, membungkuk bak tombak tajam yang hendak membunuh.

“Keknya pas gua lagi sibuk, elu lagi ngapa-ngapain. Sembunyi-sembunyi, sembunyi-sembunyi … ya? Tau gak gua benci banget ama trik kotor macam ini?”

“Aku tidak tahu perlu izinmu untuk mengurus hal-hal di sini. Kau ini seorang pria yang mudah dibaca, alhasil aku sudah tahu hanya dari melihatmu sekilas. Aku bertaruh kau sedang marah-marah, tidak lebih dari itu.”

“Hah?”

Dihadapkan intimidasi Garfiel, Subaru meresponnya sambil mengangkat bahu. Mungkin karena nada suara Subaru tidak terdengar lebih bersemangat dari biasanya, Garfiel mengerutkan hidung.

Di sisi lain, melihat ekspresi kesal Garfiel, wajah Subaru menegang.

“Garfiel. Apa yang kau lakukan pada Otto?”

“Dia udah jahatin gua … karena itu deh, gua kunyah dia sedikit, sekarang tubuhnya dah jadi pupuk tanah hutan.”

“―”

Setelah menggertakkan taring tajamnya, Garfiel menjilat bibir, Emilia merasa gelisah. Kemarahan maha besar terpancar dari tubuh Garfiel. Hal itu saja sudah memaparkan betapa Otto menyulitkannya―sekaligus kenyataan bahwa Garfiel tidak kuasa menahan diri selagi melawannya.

Jadi ….

“Wow, jadi dia masih hidup. Waduh, padahal tadi kau sungguh mencemaskanku …. Segenap diriku pikir semuanya sudah gagal, enggak bercanda.”

“… Hah?”

“Otto itu mikirin apa sih … yah, dia bilang berhasil mendapat bantuan Ram, mungkinkah perempuan itu yang menjejalkan ide-ide aneh ke kepala si pedagang? Semacam hal yang diperbuat Ram …. Maksudku, tidak pernah dia beritahukan niatnya di saat-saat urgensi.”

“Woi, woi, apaan sih!?”

“Artinya, Ramlah yang menghajarmu habis-habisan, ya? Aah jadi masuk akal. Tidak mungkin Otto bisa melakukan ini sendirian. Yah. Aku hampir mengira Otto tengah menyembunyikan beberapa kekuatan rahasia dariku, kalau begitu ‘kan jadinya perusak integrasi persahabatan ….”

“―BANGSAD! Lu ngomongin apaan! Hah!?”

Garfiel berang, menghentak-hentakkan emosinya yang terkumpul ke tanah, memutus ikatannya.

Bumi melubang di bawah tumit Garfiel, membuat retakan di sekeliling kakinya. Retakan mulai menjalar ke sekitar lubang tersebut, debu-debu mengepul di sekeliling tumitnya selagi memamerkan taring-taring tajamnya.

“Gua bilang dia udah mati! Ntu orang gua bunuh! Dia make Divine Protection aneh biar hutan memihaknya, ampe ngundang tikus-tikus sama serangga. Banter-banternya, dia nyerang gua make sihir besar yang dia sendiri pun kagak bisa rapal. Jadi … gua ngehormatin semangat bertarungnya―Lewat cakar dan taring gua!”

“Hutan memihaknya … yah. Enggak tahu Divine Protection of Anima Whispering bisa sebermanfaat itu. Panteklah dia, nyembunyiin sesuatu sehebat itu dariku ….”

“Sama halnya Ram yang ikut-ikutan dia! Dia mendadak dateng terus nyerang gua sekuat mungkin … jadi gua kunyah juga dia ampe mati.”

“….”

Menggertakkan gigi, Garfiel membenamkan wajahnya di tangan dan mendongak ke langit. Sementara, tanpa kata-kata menyaksikan keluhan Garfiel, Subaru merenungkan pernyataan pria itu.

Memang sih, Ram dan Otto telah bergabung dan setuju melawan Garfiel.

Dibantu Ram, mungkin mereka berhasil memaksa Garfiel menyentuh jurang kekalahan. Tetapi, pertahanan manusia hewan ini terbukti ketebalan.

“Gua kagak mau ngejar-ngejar bajingan yang kabur padahal sebenernya lagi ngalihin perhatian gua. Tapi gua di sini kagak pengen mempersoalkan perbuatan lu. Nah, pergi deh dari sini. Kagak ada lagi yang boleh pergi ke Makam lagi. Akan gua hancurin semuanya.”

“Bila kau melakukannya, tidak mungkin Penghalangnya terlepas. Sanctuary … akan ditutup selamanya. Kau sungguh-sungguh tidak mempersalahkan hal itu?”

“Gua setuju aja. Selain hal itu, semuanya masalah.”

Mengatakannya, Garfiel melangkahkan kakinya dari lubang menuju Makam. Kehilangan seluruh keraguannya, seolah-olah mengintrik dirinya tidak segan-segan bertindak sesuai tuturnya.

Tubuh Garfiel mengamuk dan penuh luka-luka―bahkan dalam kondisi ini pun, terdapat celah tak terjangkau di antara mereka.

Kendati semua luka-lukanya, kekuatan Garfiel jauh di atas Subaru.

Baik lubang di bawah tumitnya atau pun aura mengerikan yang berpendar dari tubuhnya membuat hal ini jelas.

Namun ….

“Aku … aku takkan membiarkanmu melakukannya.” kata Emilia.

Di sini, bukan hanya Subaru, masih ada orang lain yang menghalangi Garfiel. Melangkah ke samping temannya, Emilia berdiri di antara Garfiel dan Makam. Melihat demikian, tatapan si manusia hewan dongkol.

“Apa-apaan nih. Cewek lemah seharusnya jangan ikut-ikutan deh.”

“Tidak, aku akan menghentikanmu. Aku takkan membiarkanmu menghancurkan Makam. Karena aku mesti lulus dari Ujian ini, tidak peduli apa pun yang terjadi.”

“Tentu saja elu kagak bisa lulus. Hari demi hari, terisak dan menangis terus. Terus sedih gegara temen kecil elu ilang, ya? Sana meringkuk di tempat tidur, nangis lagi deh. Lakukan itu, dan gua kagak bakal ganggu elo.”

“―Ugh.”

Wajah Emilia terbalut sedih tatkala mendengarkan imbuh kejam Garfiel. Namun raut wajah itu cuma bertahan sejenak saja, Emilia kembali mengacuhkan kesedihan tersebut.

“Sayang sekali, entah kau bilang apa, aku tidak boleh pergi. Aku wajib menantang Ujian ini. Perlu menghadapi masa laluku, dan ….”

“Elu semua emang bener-bener dah … cih!”

Memotong kata-kata Emilia, Garfiel mendecakkan lidahnya karena kesal, matanya menyala-nyala penuh amarah.

Aura membara yang menekan dari kehadirannya ini menyentak intens, membuat bahu Emilia gemetaran. Sadar akan reaksi takutnya, Garfiel nyengir.

“Apa kabar ocehan lu soal masa lalu? Saat gua nakutin lu, hilanglah semua kepercayaan diri lo―Kagak ada orang yang bisa ngalahin Ujian. Hanya omong kosong si Penyihir belaka biar dia bisa ngeliat penderitaan kita sambil ketawa-tawa.”

“Wah, pendapatmu tentang Penyihir buruk juga, ya.”

“Hah?”

Subaru yang menginterupsi membuat pandangan Garfiel terlaih ke Subaru dan melotot murka, jarinya tertunjuk ke anak muda itu.

“Apaan sih anjing? Lu bener-bener ngebela Penyihir ntu? Pepatah bilang, Tiada pagi atau subuh bagi Potosk, elu ini budak Penyihir? Yah?”

“―”

Subaru terbungkam pada pertanyaan Garfiel.

Menyaksikannya, Garfiel mengerutkan alis heran, seolah-olah tidak paham maksud Subaru yang terdiam.

Penyihir yang tidur dalam Makam adalah Echidna. Tetapi bau yang mengelubungi tubuh Subaru adalah milik Penyihir Kecemburuan.

Tahu tentang bau, namun tak tahu milik siapa bau itu, Garfiel tidak tahu cara membedakannya.

Pasalnya, setelah semangatnya hancur setelah satu percobaan saja, Garfiel juga tidak paham konsep Ujian Echidna.”

“Kau sungguh setengah-setengah soal melakukan semua hal, Garfiel.”

“… Maksud lo apa sih?”

Menyatukan semua ujar dan tindakan Garfiel sejauh ini, demikianlah penjelasan Subaru.

Menelinga penilaian tak berujung Subaru, Garfiel menggumamkan ancamannya. Meskipun kehadiran Garfiel sendiri sudah mengancam, Subaru masih melihat matanya tanpa rasa takut.

“Hanya karena kau sendiri tidak bisa melakukannya, kau berpikir tidak ada lagi yang bisa melakukannya. Inilah pemikiranku, orang itu harus berpikiran serupa―Arogan sekali kau?”

“….”

“Kau benar, Emilia telah gagal beberapa kali dalam Ujian. Dia terpaksa melihat masa lalu yang tidak ingin dia lihat dan setiap kali melihatnya membuat dia menangis, aku tidak menyangkal itu. Ketika Puck pergi, dia merasa sangat kehilangan sampai aku pun tidak tahan melihatnya, aku sendiri bahkan tidak yakin Emilia dapat mengatasinya.”

Di hadapan Garfiel yang sunyi, Subaru menyentak dagu ke arah Emilia di sampingnya.

Cewek itu terkejut saat mendengar komentar tiba-tiba ini. Mungkin karena melihat paras Subaru ketika bocah itu mengatakannya, Emilia tidak menyangkal.

Lagi pula, Subaru hanya menyuarakan apa yang telah ditelan Emilia sepenuhnya. Walaupun memalukan, dia tidak mampu menampik fakta-fakta itu.

Fakta bahwasanya dia menerima penilaian ini secara langsung membuatnya cantik betulan biarpun punya banyak kelemahan.

Intinya ….

“Mungkin hasil Ujian ini tidak akan berubah, bahkan sekarang pun masih tetap. Barangkali akan tetap gagal malam ini dan doi nangis lagi.”

“Kalau elu udah tau, ngapain masih berusaha ….”

“Tapi Emilia akan terus berusaha―Tidak sepertimu.”

“―Ugh.”

Garfiel menahan nafas.

Melihat kilat-kilat keraguan yang menyala-nyala dalam mata tajamnya, Subaru mengutarakannya tanpa gentar.

Kemudian, sekali lagi menatap matanya lekat-lekat.

“Garfiel. Kau gagal dan melarikan diri, tapi Emilia sama sekali tidak sepertimu.”

“―Cih! Jangan pongah lu!”

Saat kata-kata Subaru terlontar, Garfiel berteriak marah, kini kaki kanannya yang menghancurkan tanah.

Dampak dari injakan kakinya membuat kerikil terbang ke atas. Lewat mekanisme tak dikenal, bentuknya seperti lempengan persegi seukuran tikar tatami ketika Garfiel menendangnya dengan kaki kiri.

Cuilan bumi berputar secara vertikal, terbungkus dalam angin puyuh saat meluncur melalui tulang rusuk kiri Subaru, langsung masuk ke Makam, menabrak struktur kuno itu.

Debu dan sebagian jerat tanaman putri malu terkelupas dari dinding Makam yang bergemuruh. Namun, meski puing-puing itu menghujani kepala Subaru, dia masih tak bergeming. Di sampingnya, bahu Emilia bergidik sesaat, tapi setelah mendengarkan kata-kata Subaru sebelumnya, dia sama tak bergemingnya.

Melihat kepercayaan samar di antara mereka, mata Garfiel terbuka lebar. Pendar bengis di mata merah darahnya kian menjadi-jadi.

“Nge*totlah! Dah cukup! Arghhh! Udah cukup! Cukup sudah keangkuhan kalian, wajah-wajah sok tau itu! Kalau mau gua bakal merobek-robek semua badan elu atau mutilasi sampai-sampai enggak tau lagi mana badan lu mana badan Emilia! Elu ngerti, gak!?”

“Aku mengerti kok―bahwa kau tidak bisa melakukannya.”

Menarik nafas kasar, menghentak-hentakkan bumi, Garfiel membentak ancaman demi ancaman. Tapi jantung Subaru tak lagi diteror.

Wajar sih. Setelah semua halnya, perbincangan bersama Lewes dan situasi terkini―Subaru memahami apa yang bersemayam dalam hati Garfiel.

Sekalipun sudah mengumbar-ngumbar kemarahan dan kebenciannya kepada Subaru serta Emilia, Garfiel―

“Kau tidak akan membunuhku atau Emilia. Lebih tepatnya, tidak bisa. Bagaimanapun, Garfiel … kau tidak pernah membunuh seseorang sebelumnya, benar?”

“―”

“Kau melawan Otto dan Ram, tapi tidak bisa membunuh mereka. Kesampingkan Otto, tidak mungkin kau tega-teganya membunuh Ram. Mereka tidak di sini karena sibuk menghambatmu … dan beginilah jadinya.”

Saat ini, tindak-tanduk agresif Garfiel berhenti.

Menahan nafas sembari menatap Subaru. Sedangkan itu, mendengarnya berkata demikian pada Garfiel, mata Emilia langsung bingung.

Sebab dia cuma pernah melihat sosok biasa Garfiel, deklarasi Subaru pasti agak sulit dimengerti.

Tapi, Subaru yakin akan hal itu.

Garfiel, paling tidak dalam bentuk manusia hewan dan masih memegang kehendak diri, takkan bisa secara sadar membunuh seseorang.

―Subaru sudah beberapa kali berkonflik dengan Garfiel dalam perulangan-perulangan sebelumnya.

Entah karena perbedaan pendapat, atau Garfiel serta-merta menganggap Subaru sebagai musuh. Suatu saat, dia dipukul oleh Garfiel ketika mencoba membunuh Roswaal, dan kehilangan satu mata.

Tapi Garfiel juga yang menyembuhkan tubuh Subaru setelahnya, walaupun sangat membencinya, pria itu tak pernah sekali pun membunuh Subaru.

Ada satu pengecualian: ketika Garfiel berubah menjadi harimau dan membantai habis para pengungsi. Memori yang mending Subaru tak ingat, tetapi juga memori yang tidak bisa dia lupakan, karena telah tertancap dalam-dalam di kepalanya―peristiwa yang membuatnya merasa egois kepada Garfiel, sampai sekarang.

Tapi, memikirkan hari-hari itu, ada sesuatu yang disadari Subaru.

Garfiel tidak bisa bicara dalam rupa binatangnya. Mengayunkan cakar dan taring sesuai naluri dia menjadi hewan sebetul-betulnya hewan. Bahkan kala mengincar para penduduk, dia hanya bertindak sesuai insting saja.

Tapi, waktu itu, penduduk pertama―ketika dia membunuh orang itu, yang mana memulai pembantaian besar tersebut, Garfiel agak ragu-ragu, di momen-momen terakhir.

Momen itu, amarah dan kepanikan membuat Subaru tidak mengerti.

Saat Garfiel membunuh orang pertama itu, Subaru pikir adrenalinlah yang membuat semua halnya berjalan dalam mosi lambat. Tapi bukan itu masalahnya. Namun keragu-raguan sejati si harimau.

Hanya saat membunuhnya, saat kehilangan keraguan itu, Garfiel sungguh-sungguh menjadi binatang buas.

Subaru masih ingat kebencian yang dirasakannya saat melihat mata harimau raksasa itu, rasanya berisi darah dan kehidupan.

“Matamu tidak seperti mata-mata itu. Kau belum pernah membunuh.”

“Maksudnya apaan lagi? Emang betul gua kagak pengen ngebunuh Ram, tapi gua punya alasan buat ngerobek-robek temen mini lu ampe mati.”

“Ya, soal Ram memang betul.”

“H-hei, umm … kalian berdua punya dendam kesumat pada Otto-kun ….?” tanya Emilia.

Emilia dengan ragu-ragu memotong komentar Emilia tentang perlakuan buruk Otto dalam percakapan ini.

Tapi, barangkali untuk kali pertama, Subaru mengabaikan Emilia dan menunjuk Garfiel sambil marah-marah.

“Apabila kau ingin memukulku, kau pasti akan melakukannya. Sekarang pun kau tidak mencobanya. Ngomong doang. Nafsu mendidihmu cuma pamer saja. Sekadar pencari tahu mana dari kami berdua yang penakut.”

“Woi, woi, woi … jaga mulut lu, kont*l. Ngomong lagi, kata-kata selanjutnya mungkin pesan terakhir lo.”

“Berhenti membuat ancaman yang tidak bisa kau tindak lanjuti. Sudah muak melihat tiga orang tolol yang bertingkah kerad di gang kota dulu. Tapi, mereka masih berani menikamku.”

“D … diam … diamlah ….” protes Garfiel.

Menggertak gigi, sorot mata marah Garfiel menembak Subaru.

Tetapi dirinya sedang melawan Natsuki Subaru. Talenta orang ini hebatnya membuat marah lawannya. Jadi ….

“Setiap hari kau menumbuhkan cakar serta taring yang kau banggakan, menjaganya agar tetap bagus dan rapi, untuk hiasan belaka, kan? Meh, bagaimana kalau kau warnai kukumu saja? Di kampung halamanku, para gadis suka mewarnai kuku. Cocok dengan sifat banci tulenmu, benar?”

“Udah gua bilang, DIEMMMM―!”

Tekanan lagi.

Bumi yang tercungkil keluar melesat di udara, meluncur ke atas kepala Subaru dan menabrak Makam.

Tidak perlu menghindar. Garfiel memang tidak berniat menyakitinya.

“Kiranya kau ingin bermain lumpur, cari kotak pasir sana. Kau tahu betul tempat di belakangku ini adalah artefak sejarah tak tenrilai, bukan? Bukankah kau mengaku-ngaku sebagai Pelindung Sanctuary atau semacamnya? Ini adalah makam Penyihir lokalmu, tahu. Membeda-bedakan teman itu tidak baik.”

“Dia bukan teman gue! Sialll! Semuanya gegara Penyihir yang dikubur di sini … jadi gua …gua …cih!”

Lidahnya terbelit. Dihadapkan provokasi Subaru, nafas Goyah jadi megap-megap dan lemah.

Garfiel memaksa tubuh terlukanya datang ke sini. Terlebih lagi, dia mesti menanggung percakapan merepotkan dan menyia-nyiakan staminanya cuma untuk ujuk kekuatan tak berfaedah. Aliran darahnya dipercepat hingga selaras dengan pusaran emosinya, kembali membuka luka-luka lama yang telah tersegel.

Berdiri di sana, menarik nafas terengah-engah, Garfiel memelototi Subaru. Lalu mendadak, matanya berpaling ke Emilia di samping si bocah. Hidungnya mengendus-ngendus, seolah mengetahui sesuatu.

“Woi … maksud lu apaan nih. Mata lu kok begitu.”

“….”

“Misal pengen ngomong sesuatu, omongin aja! Menyebalkan kali ngeliat lu kek gitu!”

Barangkali melihat sesuatu dalam mata senyap Emilia, Garfiel naik pitam.

Melihat sosok Garfiel dalam emosi kompleks di mata kecubungnya, Emilia geleng kepala terhadap permintaan Garfiel.

“Garfiel … apa sih, yang kau takutkan?”


“Lu bilang … gua takut?”

“Yah, kau takut. Bicaramu keras, tampil arogan, dan menginjak-injak tanah biar dirimu terhibur, bukan?”

“Memangnya elu tau apa soal gua ….”

“Aku memang tahu ….”

Memotong pernyataan Garfiel yang lebih tenang, Emilia mendesah.

“—Selama ini aku juga hidup dalam ketakutan akan banyak hal.”

Nafas Garfiel membeku.

Emilia menyentuh dadanya, jemarinya tidak merasakan kehadiran kristal, tampak sekelebat perasaan di matanya.

“Aku berhasil bertahan sampai saat ini karena takut banyak hal. Meninggalkan banyak urusan kepada Puck, mengandalkannya …. Tidak sadar sedang berbuat apa, dan sampailah saat ini. Namun kini, sejak tak lama, aku akhirnya paham sedikit.”

“Bacot.”

“Aku tidak betul-betul tahu mana yang benar, atau apa yang mesti dilakukan. Tapi rasanya aku tahu bahwa ada sesuatu. Juga aku bisa mencari sesuatu itu di dalam Makam. Aku tidak bisa mengikuti maumu.

“Diam deh. Pergi sono. Jangan ngomong sama gua.”

“Bukankah kau benar-benar sudah punya sesuatu itu?”

“—Ah!”

Melampaui batas, kepala Garfiel terangkat. Lututnya menekuk sedikit, tubuhnya langsung menerjang maju seperti peluru.

Menyerbu Emilia dengan kecepatan ngeri —Namun sebelum mencapainya, Subaru berdiri di tengah-tengah memisahkan mereka.

“Garfiel!”

“—Cih!”

Mengulurkan tangannya ke laju Garfiel, Subaru maju melindungi Emilia. Pemuda itu menabrak serangan si manusia harimau, terhempas hingga berguling-guling, meringis kesakitan karena pukulan itu.

Setelah berguling beberapa kali sebab diterpa momentum itu, dia berhenti dengan wajahnya yang menghadap tanah. Garfiel mengarahkan cakarnya ke leher Subaru sembari memamerkan taring-taringnya kepada Emilia.

“Sekarang juga! Sekarang, cabut dari sini! Kalau kagak mau gua warnain pakaian lu sama darah merah lehernya yang kepotong!”

“Subaru —”

Emilia bersiap bertarung.

Barangkali dia kehilangan Puck, tetapi masihlah seorang pengguna teknik roh. Masih bisa meminta bantuan dari roh-roh kecil yang dikontraknya lewat sihir. Tidak peduli menang atau tidak, dia mampu melawan Garfiel.

Emilia segera mengumpulkan mana —“Emilia, hentikan! Aku baik-baik saja! Lagian dia takkan berani melakukan apa-apa!”

“Diem! Dah cukup, gua udah muak sama semua ini! Kuping gua pengang gegara ngedengerin ocehan goblok ntu cewek! Nanti gua buka mulut lu trus gua potong rahangnya, setelahnya mungkin elu kagak bakal ngoceh-ngoceh kek begini lagi?”

“—Agh.”

Mencondongkan badan pada Subaru yang jatuh, Garfiel menggerakkan cakar tajamnya ke pipi kiri. Ujungnya mencungkil daging, Subaru meringis pelan karena pedih. Meski begitu, matanya tidak menyerah.

“Kau menghalangi kami, menghancurkan Makam, terus apa? Kau kira berlari, berlari, dan berlari akan menyelesaikan masalahmu?”

“Itu salah lu sendiri. Bangkelah, lagian mesti ngapain lagi? Para penyihir ntu kagak bakal ngelepasin kita. Kenapa lu kagak ngerti-ngerti!”

“Tidak, aku tidak mengerti, Garfiel—Karena masa lalumu, penyesalanmu, semuanya bisa kau lalui.”

“—”

Tegas Subaru.

Garfiel dan Emilia menahan nafas.

“Memang menyakitkan, pedih rasanya, sungguh-sungguh menyedihkan sampai-sampai aku tidak bisa menghadap siapa pun dan ingin menyerah saja. Tapi yang sebenarnya menyedihkan adalah aku, sebetulnya tidak ada harapan.”

Bahkan bilang semua adegan yang disaksikan dalam Makam adalah palsu, orang tua palsu, ingatan buatan dari memori asli kita. Raut wajah Subaru menampakkan penyesalan terakbar, semata-mata menyampaikan satu jawaban sambil mengucapkan selamat tinggal.

Ujian betul-betul memberikan Subaru rasa sakit. Mengingatnya lagi membuat tubuh bagian dalam Subaru berderit, ada sesuatu yang abadi dalam dadanya, dan Ujian telah mengecap Subaru dengan masa lalu serta kesengsaraannya.

“Tapi, termasuk lara dan pokoknya semuanya deh, aku menelan masa laluku. Menelannya …. Kendati penyihir itu brengsek sangat, dan takkan pernah kulupakan dirinya yang mengkhianatiku saat aku coba mempercayainya.”

Yang melintas di pikirannya adalah sosok penyihir putih, ia senantiasa menampakkan senyum misterius.

Entah berapa waktu telah berlalu, Subaru takkan pernah mengungkapkan perasaan rumitnya tentang penyihir itu.

Walau begitu, semestinya tidak sampai mengkhianati perasaan yang Subaru peroleh saat itu.

“Aku berterima kasih kepada para penyihir. Aku senang bisa menghadapi masa laluku lagi. Aku kabur, kabur, kabur, dan kabur … dan aku bersyukur tidak bisa kabur.”

“—”

“Garfiel—Apa kau beneran masih lari dari masa lalu keluargamu?”

“Apa—!?”

Paras Garfiel berubah warna. Merah murka, pucat karena syok, dan sekarang jadi kusam pasi.

Taring-taringnya bergemeletuk karena giginya gemetaran.

Merasa merinding, atau malah ketakutan, Garfiel menatap Subaru.

“Siapa, yang memberitahumu … masa laluku?”

“Semua orang yang kau duga. Pikirmu itu pengkhianatan? Ataukah hal lain?”

“Ah, uh, ugh ….”

Kemurkaan besar itu membuat Garfiel tak bisa berbicara dan nafasnya megap-megap, terengah-engah. Nafasnya jadi acak-acakan. Menonton keterkejutan hebat yang terjadi di hadapannya, Subaru melanjutkan.

“Sang penyihir bilang bahwa kau takut pada dunia luar.”

Garfiel tidak menjawab apa-apa.

“Frederica bilang kau pernah diajak untuk ikut ke luar, dan kau menolaknya.”

Garfiel lagi-lagi tidak menjawab.

“Lewes-san mengutarakan apa-apa yang kau lihat dalam Makam, termasuk perpisahan dengan ibumu.”

Garfiel membalas dengan—

“I … bu ….”

“Dengar-dengar garis kekeluargaanmu dengan Frederica. Kalian adalah kakak-beradik dari seorang ibu manusia, dan dua ayah manusia hewan berbeda. Kalian dua perempat darah saudara-saudari tidaklah terikat oleh penghalang Sanctuary. Frederica meninggalkan Sanctuary agar dia bisa menciptakan tempat untuk para penduduk di sini, tatkala penghalang telah terlepas.”

“Kakak ….”

“Tapi kau tidak meraih tangan Frederica, dan ngenolep di sini. Kenapa? Apa yang ingin kau lakukan? Faedahnya apa, dirimu yang masih tinggal di sini?”

Nafasnya compang-camping.

Tangan Garfiel yang menyemat Subaru ke tanah mulai menuangkan lebih banyak kekuatan. Dia melakukan ini bukan untuk membungkam Subaru. Garfiel betul-betul menggila jika tidak mengarahkan tenaganya ke sesuatu, melekat pada sesuatu, jika tidak begitu dia akan hancur lebur.

“Dalam Makam kau melihat masa lalu. Kau melihat seorang ibu meninggalkanmu dan Frederica di Sanctuary … benar?”

“—”

“Itukah alasanmu selalu acuh tak acuh pada dunia luar?”

Diam adalah pembenaran. Garfiel tutup mulut, menatap Subaru dengan mata terlemahnya. Bahkan tidak bisa disebut tatapan, mata tak berdayanya.

Wajahnya bak anak kecil yang takut rahasianya terungkap.

Rasa bersalah karena menggores luka lain di dada Subaru. Dia menundukkan perasaan itu, menahannya, selagi mendesak Garfiel akan jawaban.

Dia menusukkan jarinya ke luka yang samar-samar terlihat, membuat lubangnya kian lebar, membiarkan darah ngucur keluar.

“Karena ibumu mencampakkanmu. Karena kau membenci ibu yang meninggalkanmu, karena kau membenci dunia luar yang mencuri ibumu, kau dengki pada dunia luar?!”

Teori Subaru yang didapatkan lewat diskusi bersama Lewes. Saran Echidna, mengucap bahwa Garfiel takut pada dunia luar. Alasan bahwa salah perpisahannya bersama keluarga tetap membekas di hati Garfiel, bahkan menyengatnya bagai duri.

Mendengar nada tegas pernyataan Subaru, Garfiel menggelengkan kepala panik.

“Tidak! Tidak, tidak tidak tidak tidak tidak tidak, elu salah! Elu kagak ngerti apa-apa! Jangan sok tau lagi deh!”

“Betul itu! Yang aku katakan cuma khayalan semata, dan yang kuimbuhkan barusan tak berdasar. Satu-satunya orang yang tahu isi pikiranmu adalah kau sendiri. Semisal aku salah, maka perasaanmu sebenarnya apa!?”

Dengan paksa menekan paru-parunya. Subaru tidak menampakkan wajah sakit selagi meninggikan suaranya.

Diteriaki Subaru dari bawahnya, paras Garfiel menegang. Dia memalingkan muka.

“Kau menolak Frederica yang ke luar, mengikat dirimu dengan kewajiban yang semata-mata melindungi Sanctuary, belum lagi mengganggu orang-orang yang menantang Ujian, berusaha menghancurkan Pelindung! Apa sih yang kau takutkan! Kau takut pada apa! Apa hanya hasad dunia luar saja?!”

“Lu semua salah ….!”

“Yasudah benci saja ibu yang meninggalkanmu! Kau menantang Ujian, menyaksikan dirimu ditinggalkan, itukah yang kau takutkan!”

Ekspresi Garfiel berubah sedih.

Mengangkat tangannya dari Subaru, menegakkan dirinya dan menganggap angin lalu ocehan Subaru.

Namun Garfiel tidak melarikan diri.

Subaru mengulurkan tangan, meraih leher belakang Garfiel, dan menariknya berhenti.

Wajah Garfiel yang amat mengerikan dan berlumuran darah serta nafasnya yang putus-putus, Subaru memelototinya, makin mendesaknya.

“Jawab aku, Garfiel! Apa yang kau takutkan!”

Teorinya dari berbicara dengan Lewes, kata-kata Echidna, sikap Roswaal juga Frederica, wajah Ram saat dia melihat Garfiel—Subaru mendapati jawaban yang berbeda-beda dari mereka. Bila dia benar, apabila itulah kebenarnanya, maka ….

“Tidak, aku yang hebat ini … aku yang hebat ….”

“Sebenarnya apa yang kau pikirkan!” teriak Subaru.

“Ibuku … yang, hebat ….”

Garfiel menelan nafas, mendongak ke langit, taringnya bergemeletuk seraya berkeata:

“—Gua pengen dia bahagia!”


“Kami menghalangi kalian bukan!? Gua dan kakak gua, kami menghalangi kebahagiannya, kan!?”

Mengalir.

Semua yang ditahan-tahan Garfiel hingga kini.

“Gua tau itu! Dia ninggalin gua sama kakak. Tentu saja!”

Dalih Garfiel, yang dia simpan lama di hatinya, tak pernah diumbar kepada siapa pun.

“Banyak pria di luar sana, pilih mana saja yang dia mau, tapi malah berhubungan sama manusia hewan … tentu saja kami ngehalangin dia buat hidup di dunia luar! Pergi dari kami, ngebuang kami, apa salahnya … kagak ada … yang salah dari itu!”

Tak kuasa menyembunyikan suara seraknya, dia mengubur wajahnya di tangan untuk menyembunyikan mata goyahnya.

“Gua paham ngapa kami dicampakkan. Jadi gua gak benci emak gua! Sejelas-jelasnya! Gua dan kakak gua, lagi ngenjegal kebahagiaan ibu! Dia ninggalin gua, dan pergi dari Sanctuary agar dia bisa bahagia!”

Walau masih muda, Garfiel melihat kepergian ibunya ketika meninggalkan mereka dan keluar dari Sanctuary.

Garfiel tidak mengerti perasaannya saat itu. Tetapi perasaan tersebut telah mengakar dalam dirinya, tumbuh dalam dirinya selama rentang waktu yang lama, dan berkembang menjadi satu jawaban: Ibunya baru saja pergi.

Meski demikian ….

“Tapi lu tau malam ntu … gua, ngeliat. Ada di dalem Makam, dalem Ujian, gua liat. Gua liat. D-dia pergi, pergi dari Sanctuary, dan …tepat setelahnya, pas dia pergi, karavannya tergelincir tanah longsor, ditelan tanah dan dia mati ….”

“—!”

“Kakak nggak tau …. Kakak pikir ibu masih ada di suatu tempat, melupakan kami dan hidup bersenang-senang. Tapi … kenyataannya gak begitu! Ibu, saat dia ninggalin kami! Dia mati!”

Fragmen-fragmen kebenaran, terisak keluar dari mulut Garfiel.

Pahitnya kenyataan itu melanda Subaru, menyadarinya situasi sekarang meski Emilia tidak.

Garifle tetap berdiri diam di depan dua orang itu, kepalanya masih terbenam tangan, nafasnya tercekat karena isak.

“Dia mati begitu aja … kagak pernah bisa bahagia ….”

Subaru tidak bisa membalas apa-apa.

“Kenapa? Tapi setahu lu dia pergi ke luar biar bisa bahagia?”

Emilia tidak bisa membalas apa-apa.

“Setahu lu dia ninggalin kami karena ingin bahagia?”

Tidak Subaru maupun Emilia dapat merespon apa-apa kepada Garfiel.

“Dia ninggalin kami, tapi tidak pernah benar-benar bahagia dan mati begitu saja, terus ….”

Pertanyaan-pertanyaan tak terjawab mengalir dari mulunt Garfiel. Tentunya—

“Harus kami apakan kesedihan ini, perasaan dibuang ini?”

—Pertanyaan-pertanyaan itu selalu, selalu terngiang-ngiang dalam hatinya.

“Gua pengen ibu bahagia!”

Kekuatan terdengar dari suaranya yang berlinangan air mata.

Garfiel menarik tangannya dari wajah, menggertakkan gigi dalam diamya.

Taringnya bisa saja retak. Gigi-giginya bisa sampai merobek bibir.

“Kesedihan yang kami rasakan! Kesepian karena dibuang! Semuanya jadi berarti karena semata-mata demi kebahagiannya, begitu yang gua pikirin! Gua pengen bisa benci ibu!”

Tidak tahu lagi apa perasaannya kepada ibu, hati Garfiel telah terperangkap di dalam Sanctuary.

Titdak ada yang bisa disalahkan, emosinya hanyalah bensin penyala api yang terus menelan jiawanya.

“Tapi ibu udah mati! Gua sama kakak, pengalaman kami menyedihkan dan cuma punya itu aja. Ibu tidak pernah senang, hidupnya penuh penderitaan dan cobaan, dia mati dalam kepedihan.”

Menggapai kesimpulan ini, di tengah-tengah abu yang membara dalam dirinya, Garfiel memutuskan.

DIa berdiri. Menjauh dari Subaru.

Melihat Makam, dan dalam suara lirih ….

“—Aku takkan pernah pergi ke dunia luar.”

Suaranya gemetar.

Terlahap amarah, merana, kemurkaan, nya apinya masih terbakar sampai sekarang.

Garfiel balik badan.

Menatap Subaru yang terjatuh, dan menggemeletukkan taring tajamnya.

“Cabut ke luar takkan memberikanmu kebahagiaan! Coba ubah hal apa pun yang datang menyertai rasa sakit, tidak semua orang bisa menahan sakit itu!”

“—”

“Banyak orang-orang tak berdaya di luar sono! Tempat ini penuh sama mereka! Maksud gua! Buat mereka berkorban demi kebahagiaan, hasilnya dapat pengalaman menyedihkan?! Mirip kakak gua?!”

“—”

“Gua—diri gua yang hebat ini—akan melindungi mereka.”

Garfiel mengepalkan tinjunya.

Raungannya berhenti, matanya menampakkan keteguhan.

“Diri gua yang hebat ini akan melindungi mereka. Segala yang bisa dilakukan gua, gua yang hebat ini akan lindungi. Melindungi, melindungi, melindungi … jangan pernah kehilangan seorang pun … jangan pernah membiarkan orang lain mengalami hal yang serupa dengan ibuku!”

Bukan kemarahan, bukan kesedihan, yang membuat hati Garfiel gemetaran.

Baik Subaru atau pun Emilia, bisa bergerak saat dihadapkan dengan perasaan Garfiel ini.

Garfiel merentangkan tangannya lebar-lebar, membalikkan punggungnya ke makam, lalu berteriak.

“Gualah Penghalangnya! Penghalang sejati, memisahkan dunia dalam dan luar, sebuah Penghalang!”

“Garfiel ….”

“Gua! Bakal! Ngelindungin Sanctuary, melindungi semua orang! Melindungi nenek! Hanya gua yang bisa melakukannya! Cuma gua doang yang tau semua ini! Tidak apa-apalah mereka kagak tau!”

Raungan berdarah Garfiel, tekadnya, determinasinya.

Menghadapi hal demikian, mereka terdiam.

Garfiel telah melapisi tekadnya dengan besi.

Jadi ….

“—Subaru.”

“Tidak apa-apa, Emilia.”

Emilia memanggil Subaru saat dia beranjak bangun, melangkah maju.

Melambaikan tangannya ke Emilia selagi dia menghampiri Garfiel.

Keduanya saling berhadap-hadapan, jaraknya satu uluran tangan.

Kata-kata tidak lagi bisa menghentikan Garfiel.

Jadi, hanya ada satu hal untuk di lakukan.

“Dasar keparat keras kepala, bajingan kacang lupa kulitnya ….”

“Aku paham tekadmu. Asumsiku salah semua. Asumsimu salah juga. Lantas …. Akan aku perbaiki semua itu.”

Garfiel membungkuk sedikit, tangannya menjuntai di samping.

Walaupun pertahanannya terbuka, aura abnormal nan mengerikan terpancar dari dirinya selagi memasang kuda-kuda bertarung.

Subaru mengangkat tangannya dan memasang kuda-kuda gayanya sendiri.

Garfiel sebagai lawannya, menentukan bahwa ucapan saja tidak cukup, melawannya di wilayahnya.

“Akan kupaksa kau menyerah, dan kuajari kau—Bahwa kau ini orang goblok bin tolol!”

Share this post on:
Subscribe
Notify of
guest
13 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Unknown H

Muhasabah njir :”)

Unknown H

Itu si subadrun sampe bikin garfield mewek :v

●︿●

Aku berharap bahasanya bisa lebih baku biar enak dibaca T-T ngebaca Garfiel ngomong pake gue elu itu ga enak, bang

Echidnaxx

menurut gua emg udah pas elu gua, mirip sama cara dia ngomong di anime

Botolgas_Romane_Kontol

“lu gua lu gua lu gua lu gua lu gua…”
Ahh..~~ Otakku Bergetar..~~

RL

Yg bener aja. Pake bahasa indo kan bisa. Jujur waktu web lu tertaut ke blog lain yg ch 1-58 gw suka bgt bahasanya baku. Bisa ngerasain emosi tokoh yg di sampain penulis. Tp begitu setelahny dr web lu. Semua ny yg ada di tokoh garfiel ancur. Bagus si terjemahin tp jujur gw gk suka cara lu yg hampir ngerubah makna nya. Pake kata kasarny berlebihan+banyak bahasa kejawa an yg gk tau artiny. Diskriminasi penulisan ny terlalu besar bro.

Xxrck

Ini cuma masalah selera. Gue justru lebih enak kek gini. Jadi ya udh terima aja. Garfiel tuh kepribadiannya kasar kek preman. Tukang marah². Gmn ceritanya lu bisa ngarepin Garfiel berbicara sopan dan baku saat sedang emosi? Lu coba bayangin Aja preman paling kasar yg bisa lu bayangkan, atau anak paling nakal Jeger di sekolah, pasti semisal mereka marah, ya kata² yg keluar juga ga akan baku. Ga mungkin mereka bakal ngomong “kamu berani sama aku?”. Yg ada di real life bakalan “eh goblok, lu berani ama gue hah”, atau di daerah gue di Sunda bakal bilang “eh anjing, sia wani ka aing?” Look! Berharap mereka ngomong “kamu berani ke aku?” Itu bener² ga masuk akal, dan ga enak tentunya.
Dan lagi, main lu kurang jauh kalau ngira bahasa Inggris ga ada bahasa gaul dan kasarnya
Soal Diskriminasi penulisan, adminnya cuma menerjemahkan berdasarkan penulisan pada bahasa aslinya, yg versi Inggris. Kalau semisal lu ingin merubah gaya bahasa/penulisan yg udh ada dari sananya, bukanya justru lu yg melakukan diskriminasi penulisan? Pahami dulu sebelum protes.

riidi

iya nih.. ane setuju juga, bahasanya lebih dapet buat karakter songong kek garf:v

Emilia - Tan

Uwuw Admiiiin …. Mantul dah wkkwkwkwkwkkw….

Enak banget baca nya … Dari pada terjemahan GOOGLE TRANSLET …

Njir tambah enjoi Otak gw baca . Kwkwkwkwk