Share this post on:

Alasan Percaya Padanya

Pernerjemah : DarkDurandal

Ketika dia melihat Emilia meringkuk, memeluk lututnya, Subaru terbawa rasa syukur yang tidak tepat.

Sebagian karena Subaru menemukan Emilia, dan sebagiannya lagi karena dia menemukannya di sini.

Subaru yakin bahwa ini adalah satu-satunya tempatnya pergi, Subaru mengharapkan keberadaannya di sini. Alhasil kedua perkiraannya benar, Subaru merasa terbebas dari bebannya.

“Sebetulnya, kalau di pikir-pikir, Emilia-tan.”

“…”

“Tempat ini betulan bagus dijadikan tempat persembunyian jika tak seorang pun ingin menemukanmu. Tidak banyak orang masuk ke sini, yah, yang bisa juga enggan masuk.”

Selain Emilia―hanya tiga orang lain yang bisa memasuki Makam Echidna. Satu orang menolak Ujian dan membenci Makam, satunya lagi menyaksikan masa lalu dan mempercayakan masa depan Sanctuary kepada orang lain, di sisi lain orang terakhir membangkitkan kemarahan sang Penyihir di tengah-tengah jalan Ujiannya dan kualifikasinya dicabut.

Semua orang yang punya kualifikasi dilarang ketat untuk masuk.

Jadi, tempat persembunyian ini, hanya didekam Emilia saja.

Emilia tidak bisa membalas pujian jujur Subaru.

Gadis itu tetap meringkuk, menatap Subaru dalam diam.

“―Boleh aku duduk di sampingmu? Berdiri tuh … jujur, lumayan melelahkan.”

“…”

“Aku dari mana, diam berarti iya. Jadi, permisi.”

Dipelototi mata fokus Emilia, Subaru menyatakan demikian dan duduk di sampingnya.

Keberanian Subaru hanya bisa mengizinkannya duduk terpisahkan jarak dua kepalan tangan di sisi Emilia. Sebelum dia bisa lebih dekat lagi, Subaru mesti memanfaatkan mulutnya dan mempersingkat jarak batin di antara mereka.

Karena saat ini, jarak yang memisahkan hati mereka barangkali jauh lebih besar dari dua kepalan tangan itu.

“―”

“―”

Duduk saling bersebelahan, keheningan singkat membungkam mereka.

Subaru sabar menunggu Emilia berbicara, sedangkan si gadis yang sedang duduk mengawasinya. Bibirnya bergetar beberapa kali, sampai akhirnya, dengan sedikit keraguan ….

“Subaru ….”

“―”

“Bagaimana … kau bisa di sini?”

“Bagaimana, ya … agak sulit sih menjawabnya. Karena kau selalu kupikirkan, Emilia-tan, tidak perlu lama untuk selalu berhasil menemukanmu, kurasa.”

Subaru agak bangga terhadap fakta demikian.

Karena dialah satu-satunya, paling tidak di Sanctuary, yang mengenal Emilia cukup baik dan secara akurat dapat mengungkapkan perasaannya.

Meskipun, seandainya Subaru sungguh-sungguh terbiasa dengan perasaan Emilia, dia takkan berbicara bersamanya di dalam Makam sekarang.

Dihadapkan jawaban itu, mata Emilia membeliak.

Kemudian dia menggelengkan kepalanya lagi, seolah bukan jawaban itu yang dia inginkan.

“Tidak. Bukan itu, Subaru. Aku tidak bertanya bagaimana kau bisa di sini … maksudku … aku kira hanya orang-orang yang punya kualifikasi bisa masuk Makam.”

“Aku yakin kau tidak lupa, Emilia-tan? Hari pertama kita tiba di sini, kala kau pingsan di Makam, aku merengsek masuk untuk mengeluarkanmu. Tampaknya, bila Penyihir membenciku sebagaimana membenci Roswaal, aku sudah meledak saat itu. Tapi nyatanya tidak buruk-buruk amat. Rasanya ringan seperti naik lift yang memelan sedetik sebelum perhentiannya. Aku bisa menangani semuanya.”

“… Begitu.”

Emosi yang dirasakan Subaru saat Emilia menghilang bukanlah kemarahan.

Bahkan jika dirinya marah, maka dia ‘kan marah pada dirinya sendiri karena kelewatan tanda-tandanya dan gagal memperkirakan tindakan Emilia. Tapi kecemasan itu, kepanikan dari semua rencananya telah runtuh tenggelam terhanyut banjir lega tatkala menemuinya.

Lantas, kerisauan Emilia tak diperlukan. Kurang lebih, Subaru ingin mengatakan itu.

“Kau … tidak marah.”

Itulah yang coba dia sampaikan padanya, namun tutur Emilia bukan seperti rasa lega.

“―Emilia?”

“Kau tidak … marah padaku―Kau tidak akan … marah padaku.”

Suaranya lirih, serak, dan gemetaran.

Saat Subaru mengerutkan alisnya terheran-heran, terlambat sudah.

Melihat ke bawah, menggigit bibirnya, mata Emilia terbuka lebar.

Air mata terkumpul di bawah kelopaknya selagi dirinya berusaha untuk tidak menumpahkannya.

“Kenapa … kau tidak bisa marah.”

“Emi―”

“Aku egois … bukan? Aku melakukan sesuatu yang membuatmu stress, bukan? Aku mendadak menghilang tanpa mengatakan sepatah kata pun, dan aku membuatmu khawatir, bukan? Membuatku gundah, ingin tahu apakah aku melarikan diri … begitu, kan? Dan ketika seseorang melakukan itu padamu, bukankah kau seharusnya marah? Tidakkah kau seperti itu, Subaru?”

Memotong suara Subaru, Emilia menyemburkan perasaannya seperti arus deras.

Menekankan keegoisan dalam perbuatannya, Emilia mendekati Subaru seolah memaksa si bocah untuk mencerca pribadi Emilia.

Tak henti-henti dipojokkan, Subaru akhirnya sadar dia telah salah merangkai kata-katanya.

Emilia tidak takut Subaru akan marah padanya.

Gadis itu takut pada Subaru yang tidak mencela tindakan egoisnya.

Karena―

“Kenapa kau tidak marah ….? Kau tidak marah … sebab tidak pernah mengharapkan aku melakukan ini, kan? Kau lihat seberapa gagalnya aku, tapi tetap saja masih baik padaku … karena kau tidak kecewa padaku, kan? Karena kau mengira aku takkan pernah berhasil dalam Ujian ini … kan?”

“―”

Barangkali itulah rasa takut yang Emilia senantiasa pendam, tetapi tidak pernah dia suarakan, bak kegelapan yang sudah berkubang dalam lubuk hatinya.

Berapa kali dia menantang Ujian, dan lagi-lagi kembali dalam semangatnya yang hancur?

Emilia membenci dirinya sendiri karena itu, dan orang-orang lain kecewa terhadap kegagalannya, tapi ada juga di antara mereka yang tidak pernah menyalahkannya, seperti Subaru dan Puck.

Meskipun Emilia merasa terselamatkan oleh Subaru dan kehadiran Puck, gadis itu selalu melawan kegelisahan tak bergeming ini.

Kekecewaan pada yang dikecewakan berarti menaruh harapan pada yang mengecewakan.

Emilia membenci dirinya sendiri karena muak tidak bisa melancarkan perlawanan.

Dan selagi dihibur lembut-lembut terlepas gagal menenangkan hatinya, upaya itu hanya menambah minyak dalam api.

Bagi Emilia yang selalu diselimuti kebaikan Subaru dan Puck.

“Tidak, Emilia. Bukan itu yang aku pikirkan ….”

Terlambat menyadari besarnya gelombang yang melonjak di hati Emilia, Subaru angkat bicara.

Bilamana Subaru tidak menemui Emilia di sini, sesuatu yang buruk akan terjadi. Jikalau Emilia terus menolaknya seperti ini, walaupun lelaki itu terus mengejarnya, dia takkan pernah lagi menangkapnya.

Jadi, tanpa mempertimbangkan kata-katanya lagi, si laki-laki bersuara.

“Aku tidak bisa marah padamu, tapi bukan karena hal seperti itu ….”

“Kalau benar, terus ….! Kenapa! Kenapa … kau tidak menepati janjimu ….?”

Ugh!”

Setelah reaksi spontan Subaru tertolak, perubahan topik itu membuat wajahnya kaku.

Janji yang dibahas Emilia adalah yang Subaru buat padanya malam kemarin. Soal terpenuhi atau tidak―

“Aku memintamu untuk menggenggam tanganku sampai pagi! Dan kau berjanji untuk melakukannya … kenapa kau melepaskan tanganku? Kenapa tidak kau tepati janji itu ….?”

“―”

“K-kalian berdua, kau dan Puck, melanggar … janjimu, lalu menghilang. Kau meninggalkanku, lalu pergi … dasar pembohong, dasar Subaru pembohong. Puck pembohong … dasar kalian pembohong, pembohong … pembohong ….”

Berbicara sambil meneteskan air mata, mengecam janji mereka yang hancur.

Wajahnya tertunduk dan air mata mengalir turun, Emilia menidurkan kepalanya ke bahu Subaru kemudian memukul-mukul dadanya. Meski pelan, rasanya sakit seolah-olah dirinya dipukul beneran.

Pukulan itu merupakan akumulasi dari semua rasa sakit yang Subaru abaikan, rasa sakit yang ditahan Emilia.

Dan saat-saat Subaru serta Puck yang sangat tak berperasaan merusak janjinya.

“J-janji itu penting … sudah kubilang, sudah kubilang, bukan! Bagi seorang Spiritualis sepertiku, janji itu penting … jadi aku ingin kau menepatinya … tapi saat kau meminta maaf kepadaku karena tidak menepatinya … kau, lagi-lagi melanggar janji lain ….” kata Emilia.

“… Emilia.”

“Jangan pernah melanggar janji … jangan pernah berbohong … janji harus selalu ditepati … karena apabila tidak … karena bila tidak, maka … Ibu dan Geuse ….”

Wajahnya masih menempel di bahu Subaru, emosi Emilia berkeliaran, tanpa tujuan, menuju kehampaan. Gejolak emosi Emilia dan kesedihan karena pengkhianatan Subaru telah mengoyak otak Emilia menjadi ribuan potongan.

Ucapannya yang tidak jelas makin kacau, sampai Emilia terisak-isak seperti anak bocah.

“Jangan pernah berbohong … jangan pernah ….”

Mendengarkan suaranya yang berguncang karena sedih, Subaru merasa dadanya sakit.

Janji―adalah tutur yang resonansi maknanya berbeda bagi Subaru dan Emilia. Suatu kala, Subaru telah menganggap remeh janji mereka dan melukainya, membuka retakan besar di antara mereka.

Setelah reuni, mereka kembali menegaskan pentingnya janji, dan menyegel satu janji dalam bentuk ikatan.

Meski demikian, Janji bukanlah kata biasa, melainkan beban berat yang mengikat mereka berdua.

Lebih dari apa pun, setiap kali membicarakan Janji, Emilia akan kelihatan berbeda dari biasanya. Seakan-akan, bagian terfundamental Emilia telah mengikat janji itu.

“―”

Kepalanya terkubur di antara kedua lututnya, Emilia menangis.

Setiap detik yang dihabiskan Subaru memperhatikannya kian memotong luka penyesalan dalam hatinya.

Isak tangis Emilia bergema di telinga si pria, merasa panik hendak berkata apa.

Haruskah dia meminta maaf? Haruskah dia pura-pura mengerti? Haruskah dia mencoba menghiburnya lagi? Berapa peluang pertimbangan ini akan sukses?

Kepala Subaru berputar-putar selagi berpikir, tidak bisa menemukan solusi apa pun.

Mesti apa, dia bisa apa, mesti melakukan apa, dan apa tindakan terbaiknya?

“―”

Berpikirlah, berpikirlah, berpikirlah, Subaru menutup matanya, di tengah pusaran pemikirannya, dia mencapai―

Subaru merasa telah menemukan hal yang harus dia lakukan :

“Emilia―aku mencintaimu.”

“―”

Kata-kata itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan situasi ini.

“…Hah?”

Mendengarnya, Emilia merintih singkat kemudian melihat ke atas.

Mata ungunya yang berlinang air mata membelalak saat menangkap pandangan Subaru. Melihat wajah Subaru tercermin dalam tetes air matanya―dia hanya bisa menenangkan dirinya sendiri agar hatinya baik-baik saja.

Lagian, Subaru tidak ragu lagi pada apa yang mau dia katakan.

“Malam demi malam … kau kembali menantang Ujian terus. Ujian itu apa sih? Yaelah cuma masa lalu doang, betul? Jangan mengingat masa-masa yang sudah kau lalui!”

“… Ah, hg.”

“Dan sewaktu aku pikir melakukan semua ini demi dirimu, kau bilang mesti melakukannya sendiri dan dengan sombongnya bisa lulus. Tidak apa-apa deh kalau membantumu melewati masa lalu itu, tapi kalau membuatmu terjebak pada hasil yang sama, maka perkataanmu omong kosong, benarkan? Bagaimana sekiranya memikirkan perasaanku, kudu melihatmu gagal lagi-lagi-lagi dan lagi?”

“S … Subaru ….”

“Dan hanya karena penjaga hewanmu itu menghilang, kau langsung lemes? Membuat ulah dan menangis sendirian, membuat semua orang mengkhawatirkanmu, lalu melalaikan tanggung jawab dan merajuk di tempat tidur. Wah enak yah, tapi cukup sudah, aku sudah enek!”

Mata Emilia melebar tak percaya saat mendengarkan omelan Subaru. Matanya yang basah melupakan air-airnya karena syok, sedangkan bibirnya bergetar lemah, tidak kuasa mengutarakan sesuatu.

Tidak salah lagi, lebih dari yang sebelumnya, hati Emilia terluka parah.

Dihadapkan dengan cemooh dan penghinaan Natsuki Subaru yang tak pernah sekali pun diarahkan padanya, hati Emilia hancur berkeping-keping.

Wajah Emilia mengkerut.

Bukan pilu air mata, bukanlah amukan kemarahan, bukanlah kehampaan mengalah dan kekalahan perdebatan ini.

Ditembak berbagai umpatan-umpatan yang belum pernah dia dengar sebelumnya, raut wajah Emilia berubah. Bukan emosi yang cocok untuk waktu-waktu ini, tapi sesuatu yang berbeda penuh.

―Di bibir Emilia tumbuh senyum mengerikan.

“Itu … benar, bukan. T-tentu saja … kau juga menganggapku seperti ini, Subaru ….”

“―”

“Tidak mungkin tidak begitu, Betul deh … aku buruk. Sejak saat menjambangi Sanctuary … tidak, bahkan jauh sebelum saat ini … yang aku lakukan hanya membuat masalah … jadi, aku ….”

“Memang. Jujur saja kau belum pernah berbuat satu hal baik pun sejak datang ke Sanctuary. Aku tahu tidak berhak berkata begini, tapi sudah terlampau parah. Aku sudah tidak tahan lagi.” keluh Subaru.

Subaru mempertegas negasi diri Emilia.

Mendengarnya, erangan di tenggorokan Emilia tercekat. Terisak-isak, atau mirip hal itu, senyum sedih masih tampak di wajahnya.

“Karena itulah … kalian berdua, kau dan Puck … m-mengabaikanku, tentu saja.”

“Betul itu. Omonganmu tidak berarti apa-apa, kagak ada perkembangannya. Alih-alih mencari solusi terhadap permasalahan ini, satu-satunya kesimpulan alami adalah bahwa kau tidak punya harapan, tidak peduli apa yang terjadi.”

Emilia berusaha menanggapi omelan Subaru.

Tapi pria itu menyambar langsung tanggapannya dan dihantam kembali dengan kritik tanpa ampun.

“―Tapi.”

Tepat sebelum hinggap di akhir, kecaman Subaru berhenti.

Emilia menatap Subaru. Di matanya terbit emosi yang cuma bisa dipahami laki-laki itu.

―Karena emosi serupa itu pernah menghujam dirinya sendiri.

“Aku mencintaimu―Emilia.”

Menggunakan kata-kata yang tak terbantahkan, Subaru memblokir dalih Emilia.


Bulu mata panjang yang membatasi matanya bergetar hebat ketika tutur Subaru merenggut kesadaran Emilia.

Melihat si gadis membeku di sana, bahkan pikirannya pun terhenti, pipi Subaru agak melembut.

Bukan lega, dan tentu saja bukan pula ejekan. Seseorang menyebutnya, perasaan nostalgia.

Kelewat bernostalgia sampai-sampai Subaru mau meneriakkan semua isi hatinya, bersama semua yang telah didengar Emilia.

“Aku mencintaimu. Aku mencintaimu, aku mencintaimu, aku mencintaimu, sungguh-sungguh hingga aku hanya bisa mencintaimu saja.”

“A-apaan, sih … tiba-tiba ngomong gitu ….”

“Aku suka rambut perakmu yang super indah, aku suka mata kecubungmu dan bagaimana pupilnya terlihat bak perhiasan saat basah, aku suka suara hebatmu dan bagaimana terngiang-ngiangnya aku kala mendengarnya, juga kaki panjang ramping serta kulit putih pucatmu, tinggi ideal kita sangat berbeda, dan kenyataan dengan bersamamu membuat jantungku berdegup cepat, semua itu kian membuatku jatuh cinta padamu.”

“―”

“Aku menyukai sikap agak begomu itu, lucu sih melihat dirimu berusaha keras dalam segala halnya, aku mengagumi betapa semangatnya dirimu demi kepentingan orang lain, dan caramu tidak menggubris kepentingan sendiri membuatku merasa, tidak bisa meninggalkanmu sendirian, dan tidak ada lagi yang lebih membahagiakan ketimbang melihat semua ekspresi dan emosimu dari sini, di sisimu … itulah semua perasaanku.”

“Ini bukan waktunya untuk … berhenti mempermainkanku!”

Semua perasaannya pada Emilia mengalir keluar dari mulutnya seperti luapan air.

Namun Emilia menampik jauh-jauh tukas Subaru dengan jeritan.

Bahunya terengah-engah, alisnya terangkat, Emilia marah pada Subaru yang tingkahnya seolah-lah tidak mengatakan hal-hal menyakitkan lagi padanya.

“Kenapa kau tiba-tiba bilang begitu! Bukan ini yang kita bicarakan! S-Subaru … kau baru saja bilang aku ini sungguhan tidak berguna, bahwa aku benar-benar penuh kekurangan, itukan maksudmu! Kau muak denganku, kau tidak tahan lagi melihatku … k-kau bilang, bahwa, aku ….”

“Ya, memang begitu. Setelah semua kesia-siaan dan pembicaraan tak berfaedah yang mesti aku hadapi semata-mata untuk melihat hasil yang sama, mengingat betapa tidak sabarannya aku, seharusnya aku berhenti mencintaimu sejak lama. Dan pasti sudah aku hentikan, jika bukan dirimu yang kucintai, Emilia.”

“Tapi kenapa!!!”

Selagi mengakui rekor tidak berharga Emilia, Subaru menunda penilaian terpentingnya.

Tidak dapat menerima ini, tidak berkenan membiarkan kelalaian demikian, Emilia menjerit.

“Semua ketidakbergunaan dan keputusasaan itu, itulah gambaran diriku sebenarnya, kan!? Bisa-bisanya kau melupakan itu? Mengapa kau memaafkanku? Apa alasannya ….”

“Semisal itu yang kau tanyakan, jawabannya sudah kunyatakan berkali-kali! ITU KARENA AKU MENCINTAIMU!”

Ugh”

Bertemu protes Emilia yang berlinangan air mata, Subaru mendekatkan wajahnya ke wajah Emilia dan berteriak.

Panik karena Subaru mendadak maju, Emilia tersentak mundur, tetapi setiap inchi langkah mundurnya, Subaru maju beberapa inchi juga. Fakta mereka saling bertatapan, cukup dekat hingga merasakan nafas masing-masing, tidak berubah.

“Aku mencintaimu. Jadi, tidak peduli betapa mengecewakannya dirimu, akan kuanggap sebagai sisi lain dirimu, dan meskipun kau tidak cukup kuat, aku akan terus mendukungmu karena kau terus berusaha yang terbaik, entah seberapa rendah kau anggap dirimu, aku takkan membencimu.”

“―”

“Sekalipun kau membenci betapa lemahnya dan menyedihkan dirimu, khawatir nantinya semua orang menyerah padamu … aku akan terus mengharapkan hal-hal darimu, tidak akan pernah meninggalkanmu, tidak peduli selemah apa dirimu.”

“―”

Mata Emilia goyah.

Tatapan yang tertuju pada Subaru―dipenuhi kelemahan yang memanggil-manggil umpatan Subaru, sebagai bukti betapa pasrahnya Emilia, tenggelam dalam kumpulan kesedihan dan kesengsaraan.

Emilia ingin dikutuk. Barangkali karena ketika semua orang menyerah padamu, dan tatkala kau tahu sudah benar-benar tidak terselamatkan, itulah, untuk pertama kalinya, kau sungguh-sungguh diselamatkan.

Subaru tahu perasaan ini, dia juga tahu seperti apa rasanya dibimbing.

Karena Natsuki Subaru pernah sekali mencoba meninggalkan dirinya, namun ujung-ujungnya gagal membuat semua orang meninggalkannya.

“Aku sudah tergila-gila padamu. Semua hal baik tentangmu bersinar cemerlang bagiku. Tentu saja tidak semua hal mengenaimu bagus. Kau … kau bukan malaikat, bukan pula dewi, hanya gadis biasa. Penderitaan dan cobaan membuatmu menangis, dan kau ingin menghindari hal-hal yang tidak kau sukai, dan, kalau mungkin, kau lebih memilih jalan yang lebih muda nan menyenangkan.”

“―”

“Terlepas dari kelemahan itu, atau bahkan bagian-bagian jelek itu, aku mencintai keseluruhan jiwa Emilia ini. Dan … bahkan kini, aku sama sekali tidak kecewa kepadamu.”

“―Itu! Itu! Bukannya itu terlalu egois!?”

Bibir Subaru menganyam kerinduannya menjadi kata-kata.

Mendengarkan ucapan-ucapan Subaru secara berurutan, Emilia tidak kuasa menekan emosinya, dan akhirnya keberatan.

“Kau baru saja mengutukku, dan berkali-kali bilang aku ini tidak berguna, dan sekarang kau bilang mencintaiku … bisa-bisanya kau berharap aku percaya itu! Subaru, kenapa keyakinanmu padaku sampai segitunya … sama sekali tak masuk akal!”

“Salah! Kau salah! Bukan karena kepercayaankulah aku mencintaimu! Namun sebaliknya! Begitu cara kerjanya!”

“Cinta bukanlah alasan percaya kepada seseorang!”

Gh! Seumpama cinta bukan alasan untuk percaya pada seseorang, lalu siapa yang bersedia susah-payah seperti ini hanya untuk membantu wanita riweh sepertimu!?”

Suara Subaru mengeras, emosi kedua insan itu menghantam satu sama lain.

Subaru menekan tangannya ke dinding dan berdiri, Emilia pun berdiri untuk menghadapinya juga.

Cukup dekat sampai kepala mereka saling menyundul, kedua alis mereka terangkat, Subaru dan Emilia mengungkapkan emosi mereka.

Meludah, wajah memerah, meneriakkan, “Tidak, kau yang salah!” mereka berdua tidak pernah berteriak kepada satu sama lain sebelumnya.

“Aku mencintaimu! Aku mencintaimu sampai-sampai membuatku sinting, kelewat cinta sampai membuatku bersedia mati demi dirimu. Karena itulah aku menahan seluruh pahit dan tragedi ini, adalah alasan diriku berdiri di sini kendati aku mau muntah!”

“Aku tidak pernah memintanya! Mengatakan hal-hal egois sesukamu … kaulah orang yang tak pernah memikirkan perasaanku, Subaru! Tepat seperti saat ini … ketika kau mempertaruhkan nyawa dan selalu saja terluka karena aku … tahukah kau perasaanku bagaimana!?” tanya Emilia.

“Kau kira aku tahu perasaanmu dari mana, padahal tidak pernah kupikirkan! Yang aku pikirkan selama ini adalah bagaimana agar kelihatan keren di depanmu! Apa yang membuatmu menganggap diriku ini yang terbaik, apa yang membuatmu senang … sewaktu aku berusaha gigih, bagaimana kalau kau memasang wajah imut sekali saja!”

“Jangan perlakukan aku seperti boneka! Seumpama keinginanmu adalah membahagiakanku … t-terus, kenapa melanggar janjinya! Yang perlu kau lakukan hanyalah menemaniku sebagaimana janji! Kenapa tidak kau lakukan! Aku bertaruh kau pasti sungguhan membenciku, bukan!”

“Aku mencintaimu!”

“Dasar pembohong!”

Subaru habis-habisan memuntahkan semua emosinya, dan dibalas teriakan Emilia.

Sudah berapa kali dia mati semata-mata demi menyampaikan perasaan paling tulus ini? Berapa banyak kendala yang mesti Subaru hadapai cuma untuk memaparkan perasaan demikian?

Pernyataan cinta ini, yang sangat-sangat banyak disampaikan sampai-sampai mulai terasa seperti kata-kata murahan, semua itu adalah perasaan sejati Subaru, bersatu dengan seluruh jiwa dan raganya, meresap ke dalam seluruh nyawanya.

“Aku tidak bohong! Aku mencintaimu! Bagaimana kalau beritahu aku bagaimana perasaanmu padaku, sekali saja! Kau hanya ngasih kode doang! Tahukah kau bagaimana syoknya hatiku setiap kali melihat wajah manis itu, seakan memberikanku harapan!? Berhenti mempermainkanku!”

“A-aku tidak mempermainkanmu! Aku bertindak seperti biasa aja, berhenti mengatakan hal-hal aneh! Ada banyak hal yang sedang kupikirkan sekarang, aku lagi menghadapi masalah serius, dan kau bertanya perasaanku kepadamu …. Aku tidak bisa memikirkan hal-hal itu! Berhenti! Berhenti membuliku!”

“Siapa juga yang membulimu! Kaulah! Kaulah yang membuliku!”

“Kau yang membuliku! Subaru.”

Tanpa logika sedikit pun, emosi mereka saling berbenturan.

Seperti dua anak bocah yang salah-salahan, saling menghina, Subaru dan Emilia mendeklarasikan perasaan masing-masing.

Suara mereka menggema di Makam sempit, menghancurkan keheningan panjang yang telah ada sejak tempat ini didirikan. Intensitas argument mereka praktis membangunkan Makam yang tertidur ini, dua orang itu megap-megap selagi menyimpulkan pertengkaran ini.

“Aku tidak percaya lagi perkataanmu! Kau tuh pembohong! Kau melanggar janjimu, kemudian datang lagi di depanku seakan tidak terjadi apa-apa … k-kau pikir aku tidak tahu, hah! Aku memperhatikanmu! Memperhatikan apakah kau menepati janji atau tidak!”

“Yah, brengsek banget sih! Kau tidak malu yah membeberkannya, berpura-pura lemah agar kau bisa menguji orang!”

“Seharusnya aku tidak mendengarkan ocehan pembohong perusak janji!”

“Aku yang melanggar janji tidak ada hubungannya dengan semua ini!”

Pipi Emilia memerah karena marah karena Subaru berusaha menghindari masalah itu.

Terlampau terbebani emosi sehingga dia bahkan tidak bisa bicara, Emilia menarik nafas panjang sebelum melanjutkan argumentasi ….

“Kenapa … kenapa kau melanggar janjimu?”

“Maaf telah melanggar janji, iya benar. Aku ingin menggenggam tanganmu, dan bersamamu sampai pagi, sungguh aku ingin melakukannya.

“Bukan itu yang aku tanyakan―Kenapa kau melanggar janjimu?”

“… Tidak bisa aku beritahu.”

Menggertakkan gigi, Subaru mejawab pertanyaan Emilia dengan erangan sedih.

Melihat Subaru menghindari pertanyaan itu sampai sekarang, Emilia mendesah panjang.

“Kau tidak menepati janjimu. Kau bahkan tidak bilang-bilang mengapa melanggarnya. Terus mau bilang apa lagi? Mau bilang mencintaiku … yasudah coba buktikan! Kalau tidak, aku … tidak akan, percaya padamu ….”

“Emilia.”

“Seandainya kau menepati janji dan tinggal bersamaku sampai pagi! Lantas aku pasti akan benar-benar percaya pdamu! Aku akan percaya padamu, mempercayakan semuanya padamu! Tapi kau melanggar janji … jadi, aku tidak bisa lagi percaya padamu … mau itu kau atau Puck, kalian berdua meninggalkanku ….”

Meringis, Emilia menyusuri rambut peraknya dengan jari dan menundukkan wajah.

Panas dari kemurkaannya berubah dan berganti selagi Emilia mendekap dirinya sendiri.

“Karena Puck telah pergi, kejadian-kejadian itu menembus kepalaku. Padahal sebelumnya tidak pernah, kejadian yang tak pernah kulihat sebelumnya, percakapan yang tidak aku ingat, terus mengalir ….”

“―”

“Aku selalu mengira mengingat semuanya, tapi ingatan itu sebenarnya tidak pernah ada … tapi, itu benar-benar ingatanku … dan setiap kali aku mengingatnya, kapan pun sesuatu yang dimaksudkan berada di sana, yang aku lupakan, mendadak muncul, aku jadi takut ….”

Kenangan yang Emilia bicarakan―yang mana Puck mengorbankan ikatannya untuk membuka segel, semuanya adalah kenangan asli yang pernah dia coba lupakan.

Ketika kontraknya bersama Puck berakhir, ingatan tak terbuka itu kembali tumpah ruah, memori sejati menelan bagian dalam kepala Emilia.

Namun perubahan dramastis ini mampu mengubah keseluruhan dirinya.

“Aku akhirnya tahu sudah kelamaan mengandalkan Puck sembari melarikan diri dari semuanya … aku yakin Puck meninggalkanku sebagai penyampaian hal ini. Tapi aku takut. Aku takut. Puck pergi dan ingatanku yang sebenarnya muncul … dan aku, aku merasa berangsur-angsur kehilangan diriku.”

“―”

“Kala semua memoriku kembali … aku tahu menjadi diriku yang sama lagi. Aku di masa kini terbentuk oleh masa lalu yang tidak benar … tapi, saat ingat dari mana aku memulai semuanya … aku tahu diriku yang sudah hidup sampai sekarang akan berakhir ….”

Semua tekad dan kebulatan hati Emilia didasarkan pada ingatan palsu.

Jadi, begitu dirinya mendapatkan kembali ingatan sebenarnya, begitu asal usulnya berubah, apa yang akan terjadi pada ketetapan determinasi Emilia saat ini, dan terhadap jalan yang dia tempuh sampai kini?

―yang terpenting bukanlah awal atau tengah-tengahnya, melainkan akhirnya.

“―”

Mendadak, sebuah suara bergema di benak Subaru.

Suara akrab namun jauh ini terasa sangat dekat dengan Subaru, meski milik seseorang yang barangkali tidak akan dilihatnya lagi.

Di akhir perpisahan mereka, dia mengujar imbuh itu sebagai PR Subaru.

Ahh, benar juga―pikirnya.

Entah awalnya bagaimana, mau jalan apa yang kau tempuh, siapa yang berhak bilang mengatakan semuanya salah atau tidak?

“Tidak peduli kau ingat apa, takkan ada yang berubah, aku mencintaimu. Dan aku akan selalu mencintaimu.”

Ah. Aku tidak percaya padamu. Aku yang ini, Aku yang kau cintai … s-saat dia menghilang, akankah kau ….”

“Kuulangi. Tidak peduli apa yang terjadi, kau tidak akan kemana-mana. Dan aku akan terus mencintaimu.”

“… Dasar pembohong. Apa buktinya, kau ingin aku … percaya padamu ….”

“―Baiklah, akan kubuat kau percaya.”

Suaranya yang serak dan matanya yang terguncang, Emilia berusaha menolak Subaru. Kata-kata pria itu tak mampu meraihnya. Permohonannya pun tidak kuasa meyakinkannya. Kalau begini, satu-satunya cara untuk menyalurkan perasaannya adalah melalui tindakan.

Jadi ….

“Subar ….”

“Misalkan tidak mau, hindari yah.”

Dalam waktu kurang lebih sehembusan nafas―lebih tepatnya, sangat dekat sampai-sampai nafas pun tidak memisahkan mereka―

Subaru memegang bahu Emilia, dan mendekatkan wajahnya. Melihat Subaru yang mendekat, Emilia bingung dan tubuhnya menegang.

Selama satu detik, Subaru menunggu.

Apabila Emilia hendak mendorongnya, inilah saatnya.

“―”

Tapi Emilia memejamkan mata.

Entah dirinya menyerah, atau ragu-ragu, Subaru tidak tahu.

Mmh.”

Nnnhh”

Nafas mereka tumpang tindih, Emilia menahan tarikan udara, alis Subaru berkerut sakit.

Suara lirih tersalur dari gigi mereka yang saling bersentuhan. Awalnya sakit biasa, tapi tiba-tiba menghilang dari celah-celah pikiran mereka, tenggelam oleh intensitas panas itu.

Bibir lembut. Ciuman, lebih dari sekadar bersentuhan.

Bagi Emilia, ciuman itu adalah kali pertama, bagi Subaru, itu adalah kali kedua dia mengecupnya.

Tidak seperti kali pertama, terselimuti rasa dingin Kematian. Ciuman kedua adalah Kehidupan yang membara berapi-api.

Ah”

Bibir mereka sama-sama berpisah, tidak ada yang saling mendahului.

Saling menjauhkan wajah satu sama lain, mereka berdua lupa bernafas dan saling menatap.

Merona. Mata berair. Orang yang tergambar dalam pupil Emilia kelihatan sangat terpikat.

Ekspresi menyedihkan itu membuat Subaru kembali hidup, akhirnya ingat cara bernafas.

“… Aku mencintaimu.”

“―”

“Betapa tidak bergunanya kau yang kulihat saat ini, entah pertarungan macam apa yang ‘kan kita tantang, aku takkan berhenti mencintaimu, Emilia. Takkan pernah berubah, selalu sama―jadi aku akan mempercayaimu. Dan misal kau bertanya alasannya, itu ….”

“Karena, kau mencintaiku ….”

Menyelesaikan akhir kalimat Subaru seolah-olah sudah tahu, Emilia menyentuh bibir. Jemarinya melewati seluruh bibirnya, seakan memastikan kelembutan sentuhan yang masih tersisa, air turun jatuh dari matanya.

Tetesan demi tetes kecil menyusuri pipi putih pucat, berkilau layaknya tetesan bulan.

“Wajar saja merasa khawatir saat ingatan tak dikenal mulai muncul kembali. Dan aku paham betul rasanya takut menjadi orang asing. Tapi bukan berarti jalan yang kau lalui akan lenyap, atau perasaanmu akan berubah.”

“Bagaimana bisa kau … mengatakannya seyakin itu ….?”

“Yang terpenting bukanlah awal atau tengah-tengahnya, melainkan akhirnya―Seorang wanita yang aku hormati di seluruh jagad raya ini memberitahuku hal demikian.”

Ibunya barangkali orang paling santai di dunia, tapi entah bagaimana, dia berhasil mengajarkan satu-satunya pelajaran terpenting di dunia itu.

Walau tidak yakin apakah Subaru bisa memahaminya dengan benar, namun Subaru tetap mencobanya.

Karena ada seorang gadis tepat di hadapannya, bersama orang yang ingin Subaru ajak untuk melewati semuanya bersama-sama.

Melihat Emilia berdiri diam di sana, diberatkan oleh rasa cemas, Subaru mengangkat bahu ringan.

Seakan mengatakan pada gadis itu bukan masalah besar, dan untuk menghilangkan kekhawatirannya.

“Tidak apa-apa, Emilia. Aku tidak tahu kau memikirkan apa, aku akan senantiasa berada di sisimu. Pergilah dan ingat kembali kenangan yang kau lupakan. Dan andaikan masih takut, maka cari sendiri.”

“Cari … cari apa ….?”

“Persis sebagaimana perasaan yang membuat diriku menerjang maju tanpa takut apa-apa, kau juga harus menemukan perasaan paling berharga yang ‘kan membuatmu menembus ke depan tanpa merisaukan semua hal di sekitarmu.”

Emilia tidak pernah ragu mengorbankan dirinya demi orang lain.

Caranya mengutamakan orang lain memang mulia dan indah, Subaru menyukainya, tapi―

―Kata-kata Demi orang lain, terdengar baik namun menyedihkan. Karena perasaan yang seseorang pegang untuk orang asing tak dikenal, tentunya tidak akan menyaingi perasaan yang seseorang pegang untuk orang tersayang dan terdekatnya.

“Aku agak mendambakan perasaan berharga itu ditujukan padaku.”

“Perasaan … yang aku hargai ….”

Barangkali dia tidak mendengarkan Subaru, karena Emilia mengangkat tangannya ke dada dan menurunkan pandangannya. Jemari menyentuh tempat kristal dimana Puck tersimpan. Ikatan mereka telah hancur, tidak ada lagi yang bisa disentuhnya. Ujung jarinya mengikis udara kosong. Tapi Emilia mengepalkan tangan ….

“Saat semua ingatanku pulih … mungkin di sana akan ada, perasaan berhargaku.”

“Yah. Pasti ada di sana. Alasanmu untuk terus maju.”

“―Mmh.”

Wajahnya tidak meragukan sesuatu, tidak pula menerima. Setelah melihat Emilia mengangguk sedikit, Subaru memejamkan mata dan memalingkan muka ke langit-langit.

Ucapan yang dulu menyemangatinya, kini terasa lebih kuat dari sebelum-sebelumnya.

Rasanya suam-suam lebih ramah, mengikat, dan kuat, kata-kata itu telah menyelamatkannya.

―Apakah Subaru betul-betul akan menjadi kekuatan Emilia?

“―”

Akan teramat timpang untuk menanyakannya sekarang.

Subaru mendesah, begitu dia melepaskan kekuatannya, rasa mual yang terlupakan menyentaknya sampai ke dalam-dalam. Secara naluriah menyentuh dinding, dia hampir saja muntah.

“Subaru?”

“Tidak apa-apa … yah, padahal aku pengen berpura-pura menjadi laki-laki sejati dan bilang, tidak apa-apa. Kondisiku lagi sangat buruk sekarang. Ngomong-ngomong, kalau kau masih ingin berdebat atau bertarung, akan kita lakukan di luar nanti.”

“Aduh … bukan itu yang aku mau.”

Di depan Subaru yang berwajah pucat, Emilia tersenyum tipis.

Tapi dia terlalu lemah untuk terus menampakkan sosok penuh tekadnya. Emilia belum mendapatkan jawaban jelas. Gundah-gulananya belum hilang betul.

Tangan Subaru menyentuh dinding, dia mulai berjalan keluar Makam. Di belakang langkah goyah Subaru, Emilia mengulurkan tangan, tapi ragu-ragu, ragu hendak menyentuhnya atau tidak. Kecupan mereka yang barusan pasti sangat mempengaruhinya.

Cuma memikirkan kembali ciuman itu membuat wajah Subaru merona, kurang ajar sekali dia.

Tapi sentimen-sentimen tersebut mesti dia lupakan.

“―”

Untuk membuktikan Emilia bahwa Subaru di sisinya, bersedia melakukan apa pun demi dirinya―

Demi memenuhi peran yang dia pilih sendiri, untuk melindunginya, dan untuk melindungi semua persaan yang tersimpan kepadanya―

“Aku harus melewati semuanya hingga akhir.”

Mereka keluar Makam.

Sinar mentari cerah menyapa mereka saat melangkah keluar dari kegelapan.

Dan …

“―Yogs, maaf membuatmu menunggu.” panggil Subaru.

“Cih.”

Orang itu mendecakkan lidahnya karena kesal ketika Subaru melambai padanya.

“―Gua kagak nungguin lu.”

Share this post on:
Subscribe
Notify of
guest
18 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Ryuu M

Ditunggu lanjutannya gan!

Unknown H

“Aku agak mendambakan perasaan berharga itu adalah aku.”

Ini typo ya? :v atau gw yang bego? Wkwkwk

Unknown H

Oke sip mantap :v thanks gan

Skuld

Sipp

RizHell

Best chapter :v

LoneStar

Subaru brengsek. Ciuman emilia-tan diambil (lagi)

Syaybanj

Yang berkata “yang terpenting bukan awal atau tengah tengah tetapi adalah akhirnya” itu bukan Rem bngsd ? itu ibunya Subaru

~Bukan Rem ( ̄(エ) ̄)ノ

Syaybani

Bukan Rem yang bilang begitu, tapi Ibu nya Subaru pada salah kaprah

Roswaal

Ini momen romantis subaru sama emilia, tapi yang kebayang” di kepala w rem :”( subaru bener” belajar banyak dari rem

Botolgas_Romane_Kontol

Ahh..~~ apa apaan dengan pertengkaran kecil suami istri ini..?? Bodoh sekali…but,best lah….Ahh..~~ Kontolku bergetar..~~

吸血鬼ー様

Akwoakaoak kok bisa ke ktl ???

LordN

Amnjay jalan ceritanya mirip love is war

LagiBingungMikirMasaDepan

Wih gila pertengakaran suami istri dengan unsur komedi romantis dipadukan ciuman cinta tulus , akhirnya saling membagi perasaan yang selama ini di pendam dan saling memahami so sweet kali ,btw pas ciuman agak kepikiran sama Rem?

LagiBingungMikirMasaDepan

LETS F☆CKING GOO!!!

IhsanWeeb

14 januari 2021

hari ini aku baru nonton chapter ini yang udah jadi Anime
Re: Zero Kara Hajimeru Isekai Seikatsu Season 2 eps 15

siapa yang sama?