Share this post on:

Festival Pertaubatan

Penerjemah: Kaine

Lapisan salju tipis berjatuhan di atas ibu kota Republik, Liberté et Égalité, mendekorasi toko-toko di alun-alun revolusi. Festival pertaubatan nampak sangat berkilauan di bawah sinar mentari musim dingin samar.

Sejak zaman kuno, ada festival api pertaubatan selama musim dingin sebelum musim semi. Seiring berjalannya waktu, suasana tenang festivalnya pun perlahan-lahan menghilang, dan menjadi kegiatan sederhana.

Suara kerumunan orang terdengar bising sebab suasana pesta sedang sangat bagus. Lena berumur 12 tahun tiba-tiba berhenti.

Orang-orang lewat adalah keluarga, teman, atau kekasih, tapi Lena sendirian. Dia tak punya gebetan, dan ayahnya sudah lama meninggal. Ibunya pun tidak mau datang berkunjung, sebab tempat itu tak cocok dengan statusnya. Lena yang berkali-kalo lompat kelas, hanya punya satu teman yang sama umurnya, maka dari itu, wajar jika dia sendirian.

Aku mau jadi tentara secepat mungkin. Karenanya, Lena terus bekerja keras demi hari dirinya bisa sepenuh hati membalas budi pria yang membantunya.

Dia tidak menyesalinya … pada saat ini, andai saja dia bisa bekerja sedikit lebih keras.

Suatu hari, dia akan mampu melihat langit musim dingin cerah di kejauhan, yang sudah lama semenjak kali terakhir dia melihatnya di negeri itu.

Apakah orang yang menyelamatkanku itu masih bertarung di bawah langit sana?

Dia ingin menemuinya lagi, karena dia bilang akan kembali ke adiknya. Akankah hari itu datang?

Dia bisa terus memandang langit biru karena keyakinan itu. Gumam Lena, bibirnya diterpa angin membeku.

Dia berada di kota terlantar yang telah lama ditinggalkan, dan di sana tidak mungkin ada sekop di depannya.

Tulang putih yang kehilangan semua darah serta dagingnya tidak berat-berat amat, dan dengan keadaannya yang seperti ini, bahkan hewan liar sepenuhnya hilang minat pada mayat itu. Menggali kuburan di tanah membeku dengan pisau tempur adalah tugas menyulitkan, terlebih bagi Shin yang baru dua belas tahun dan belum melewati masa pubertas.

Tugasnya akan memakan waktu seharian penuh bila tidak dibantu Fido. Paling tidak, dia berhasil mengisi parit yang tak rata dengan tanah sebelum malam tiba, lalu bersandar ke Fido yang melindunginya dari hawa dingin, meminum sup putih salju yang direbusnya sendirian.

Para 86 tidak diperkenankan menandai kuburan. Lagi pula tidak perlu menandainya dengan bunga, karena reruntuhannya tertutup salju. Kemarin turun salju, dan langitnya biru cerah, bagaikan kehidupan besar. Tiada tanda-tanda kehidupan di tanah, dan kata-kata yang ingin dituturkannya ke sang kakak, telah lama musnah dan dijadikan tulang, sirna tanpa jejak.

Yang dia kubur adalah sisa-sisa tulang, alih-alih jiwa kakaknya.

Tanah membeku sekuat logam, dan pisau yang dia gunakan untuk mengiris selama setengah hari sudah lama rusak. Pelat lapis baja Juggernaut kakaknya dipotong Fido, dan menutupi cahaya matahari redup.

Lapis baja alumunium paduan tipis yang tidak bisa menahan tembakan senapan mesin berat, memiliki tanda pribadi penunggang kuda tanpa kepala.

Jiwa yang kepalanya dipenggal, namun tidak bisa mati.

Sekarang ini, Shin tidak tahu alasan kakaknya punya tanda pribadi tersebut di lapis bajanya.

Dia menyandarkan diri ke kontainer, dan tidak bergerak. Sensor optik Fido beralih menghadapnya, dan kamera bundar berkedip-kedip.

“… pi.

“Hm? Ahh … bukan apa-apa. Meski tidak kembali pun kepala mekanik tidak akan mencemaskanku. Dia benci aku.”

Shin meringis ketika memikirkan kepala mekanik muda, seorang mantan tentara Republik, ditugaskan ke pasukannya.

Shin tidak menganggap dirinya orang jahat, tapi dia hanya mengkhawatirkan para Prosesor remaja, sebab dia takkan membiarkan mereka mati gara-gara Pencabut Nyawa.

Dan kapten regu yang umurnya sama dengan kepala mekanik, benar-benar merawat Shin, orang paling muda dalam regu, tapi sayangnya dia gugur dalam pertempuran malam kemarin.

Semua orang di regunya …

“Sama semua.”

Tidak ada orang yang menunggu kepulangannya. Dari awal tidak seorang pun mengharapkan kembalinya.

Walau begitu, aku harus tetap hidup, biarpun hari itu terus mendekat.

Shin berpaling dari sisa-sisa kakaknya, selanjutnya menatap langit, bergumam kendatipun tidak ada yang betul-betul mendengarkan.

Liberté et Égalité, ratusan kilometer jauhnya dari medan perang, dan di sana ada Gran Mule, ladang ranjau, serta gangguan radar yang memisahkan mereka. Tidak ada yang bisa disampaikan di antara keduanya.

Terlepas itu.

Di sudut jalan berisik nan ramai yang merayakan festival, tanpa disadari siapa-siapa, seseorang menatap langit di atas medan perang timur.

“… dingin.”

Di sudut medan perang tercampakkan, reruntuhan kosong yang terbungkus salju, seseorang menatap langit dengan matahari terbenam.

“… dingin.”

Tidak keduanya sadar kalau napas putih mereka, dan kata-kata memudar mereka saling bersilangan.

Share this post on:
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments