Share this post on:

TP

Penerjemah: KainE.

“Dia lagi mendengkur di gedung yang diledakkan Löwe, terus kami saling bertatapan saat aku menatapnya. Bahkan lewat sensor, hati kami terhubung~.”

Daiya membicarakan tragedi murahan ini dengan melodramastis, dan yang dipeluk seragamnya adalah kucing hitam dengan jari kaki putih. Telinga segitiga serta kumis perak bergerak-gerak tanpa henti, dengkurannya melengking khas.

“Kurasa orang tuanya diratakan reruntuhan atau semacamnya. Dia masih muda banget. Mana mungkin bisa hidup sendiri.”

Shin, teralihkan perhatiannya dari mengisi dokumen permintaan persediaan, melirik pernyataan kurang ajar ini, mata merah beku lumrahnya menuturkan hinaan.

Walaupun tidak ada aktivitas Legion di sekitar mereka, Daiya membuka kanopi sebelum pertempuran berakhir, dan Shin bertanya-tanya tentang perbuatannya.

Jadi Shin mulai paham, selagi mencari-cari objek apa pun yang keras dan berat yang bisa digunakan dekat mejanya.

“Aku akan merawatmu, kecil. Jadi … kami boleh membesarkannya, kan, mama?”

Begitu Shin mendengarnya, dia mengambil belati paling berat (pisau serba guna) juga sarungnya, kemudian dilempar. Daiya menduganya, dia menunduk dengan memiringkan kepala ke samping … tetapi gulungan kertas berikutnya menabrak keningnya, merobohkannya.

Anak kucing itu melompat keluar dari pelukan Daiya, lalu Anju yang menyaksikan seluruh situasi ini, menggendong kucingnya dan angkat bicara meski tidak terlihat tergerak …

“Balasan bagus buat kebodohannya, Shin.”

“Anju … paling tidak prihatinlah padaku …”

Prihatin itu apa. Begitulah yang nampaknya Anju utarakan selagi si anak kucing terus mendengkur di tangannya.

“Aku mau memandikan si kecil ini. Bukannya kau bilang ada kain lap, Shin? Aku pakai itu.”

“Hnn.”

Jadi Anju pergi sambil membawa anak kucing, dan Daiya yang entah bagaimana caranya sudah pulih, bangkit berdiri seakan tidak terjadi apa-apa.

Dia mendapati Shin meraih buku tua yang sampulnya berkulit tebal dan pinggirannya metalik, lalu mengulang perkataannya sembari membenarkan muka begonya.

“Boleh kami besarkan?”

“Tidak juga boleh.”

Jawab Shin tidak peduli, kemudian Daiya menaruh tangan ke kepalanya, dengan lebaynya menggeleng.

“Ah, bukan, bukan itu! Taruh kembali, Shin! Itu lempengan logam, kan?”

“…”

“Begini, aku hampir menangis waktu melihatnya, lantas aku janji akan menjaganya sampai akhir selagi menjatuhkan air mata, bung. Sekarang aku sudah tidak punya pilihan! Boleh kubesarkan? Kumohon.”

“Tidak ada gunanya mengatakan itu sekarang. Kusuruh kembalikan, jadi lakukan. Tanpa mempilot Juggernaut.”

Butuh waktu berjam-jam mencapai medan pertempuran ini dengan jalan kaki. Meskipun kelihatannya ada ranjau swagerak dan Ameise yang berkeliaran, itu bukan urusan Shin.

Daiya merasakan keseriusan nada Shin, dan tetap diam dengan tangan terbuka lebar. Shin mendesah panjang.

Masya Allah.

Share this post on:
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments