Bab 1
Penerjemah: Sakamiyo
“!?!?”
Tiba-tiba saja aku bangun.
Dengan terheran aku mengamati sekitarku, dan saat aku mengambil ponsel pintarku yang berada di samping Kasur, ditampilkan tanggal ’22 Desember’ oleh layarnya.
Bersamaan dengan rasa lega, tubuhku terasa lelah di ruangan yang sangat kukenal ini.
“Bikin kaget saja.”
Apa itu tadi? Bahkan jadi lelucon pun tidak ada lucu-lucunya.
Kenapa Natsumi mati tepat di saat setelah aku tembak dia? Siapa yang mau begitu, coba?
“Aduh, kenapa, sih, bermimpi begitu pas lagi begini……”
Walau sudah kusentuh pipiku, rasa hangat darahnya sudah tidak terasa lagi.
Akan tetapi, ada perasaan nyata yang masih terasa dan membuatku merasa gelisah. Berkatnya, detak jantungku jadi tak bisa reda dan suara yang seperti bel alarm berbunyi di dalam telingaku. Ditambah tubuhku yang basah akibat keringat hingga aku merasa sangat tidak nyaman sama sekali.
Atau mungkin, monologku bertambah ketimbang ketika pertama kali aku berada di rumah keluargaku.
“Jadi, aku melihat mimpi itu karena ingin merasakan hangat tubuhnya? Ya untuk separuh awalnya mungkin bagus, tapi…”
Kemudian, aku teringat sensasi memeluk Natsumi ketika aku tertidur di Kasur.
Dia sangat lembut dan hangat, dan aku tidak tahu apa itu, tapi dia wangi. Suaranya yang berada di dekat telingaku pun membuatku merasa geli, dan yang paling utamanya,
“Dada dia besar sekali.”
Sebentar, bukan itu. Apalah yang aku pikirkan pagi-pagi ini?
Sudahlah, jangan terlalu terbawa delusi dan cepat-cepat pergi ke sekolah. Yang barusan hanyalah mimpi. Lagian, kenapa mau cepat-cepat kalau belum juga Malam Natal?
Tapi, sedikit berpendapat saja.
Kalau aku menembaknya di Malam Natal dan berjalan mulus, aku yakin pasti bakal seperti mimpiku. Dan kalau itu terjadi, bukan cuma dadanya saja, tapi juga…
“Sudah, jangan dipikirkan lagi! Aku akan ketemu Natsumi hari ini. Aku tidak akan bisa menemuinya kalau kepalaku isinya hanya yang begituan saja.”
Aku membangunkan tubuhku untuk menghilangkan delusi bodoh itu, angin dinginnya membuatku merinding sampai ke tulang.
“Dingin!”
Betul, karena nafasku saja bisa kelihatan di ruangan ini, bisa dibayangkan betapa dinginnya di luar sana. Tapi ini mungkin cocok saja buatku. Aku jadi bisa mendinginkan kepalaku.
Saat memikirkannya, aku mengambil kamera yang berada di atas meja dan menuju ke balkon, tapi rasa dinginnya sudah cukup untuk membuat pundakku terangkat karena refleks dan gemetaran.
Tak aneh bila kamu sampai bersin setelah merasa dinginnya musim dingin pada udara yang sangat menusuk ini.
Mengabaikan rasa dinginnya, aku melihat melalui jendela bidik dan aku rasakan kepalaku langsung lebih dingin.
“──”
Saatku berkonsentrasi, seluruh indraku menajam dan nyaman sekali rasanya.
Sensasi yang keluar setiap kali aku menyiapkan kamera dibarengi dengan udara yang menusuk telah menebarkan rasa tenang dan tenteram pada pikiranku.
Semua pemikiranku yang tidak penting melenyap, dan aku menghadapkan lensanya pada pemandangan di hadapanku.
Pandangan tenangku menangkap cahaya dunia dengan lebih detail.
Banyak lampu jalan ditempatkan di barisan rumah-rumah. Burung pipit bertengger di saluran listrik, dan di depan kawasan perumahan tersebut adalah kawasan bisnis yang sejajar dengan Gedung pencakar langit. Dan di pusatnya berdirilah Menara Abies, yang menembus langit.
Jalan kota Misono kini kembali disinari dengan mentari pagi di musim dingin. Sinarnya melewati kegelapan mutlak dengan suasana tenang, bahkan kerumunan di bawah sana dimandikan warna tenteram.
Pagi biasa dengan suasana khas ditambah dengan kelesuan dan kesibukan.
Banyak orang mengekspresikan diri mereka karena ini adalah saatnya memulai hari baru.
──klik!
Bunyi sekelebat dari rana kamera elektronik menyentuh gendang telingaku.
“Fuh.”
Saat mataku lepas dari jendela bidik dan menghela nafas, rasa tenteram yang kumiliki saat menggunakan kamera telah menghilang. Dari sejak aku punya kamera sebagai hadiah ucapan selamat telah masuk SMA membuatku semakin sering melihat pemandangan indah ini.
Karenanya, melihat pemandangannya berubah setiap hari dan menghadapkan lensa padanya dari lantai empat apartemen ini terasa seperti aku merekam hari-hari yang menarik rasanya.
Itu kenapa, aku mengambil satu gambar setiap hari.
Ini rutinitas dan kebiasaanku.
“Tapi, hari ini jadi semakin dingin.”
Rasanya dingin sekali sampai seakan langit yang masih redup ini bersiap untuk menurunkan salju. Aku yakin Dewa Es di atas sana masih menunggu waktu yang tepat untuk melakukannya.
“Tapi kalau bakal turun salju, akan lebih sempurna lagi kalau turunnya di Malam Natal.”
Kalau keajaiban seperti itu terjadi, pasti Natsumi akan sangat senang. Akan kelihatan memesona waktu dia dengan senang menghentikan jatuhnya salju yang turun perlahan dengan telapak tangannya.
Kalau boleh, aku ingin mengambil foto momen itu…..
“Tapi.”
Sisi lain dari diriku merasa sangat canggung. Lagian, aku mesti bilang apa?
Bilang ‘Tolong jadi modelku’?
Atau mungkin ‘Boleh aku foto kamu’?
Aku langsung canggung memikirkannya. Tapi belum aku katakan juga padanya, sih.
Tapi, kalau itu Natsumi, aku merasa dia akan jawab ‘boleh’ sambal malu-malu, dan pastinya akan kelihatan imut.
“Percuma saja aku khawatir dengan hal ini.”
Aku meninggalkan balkon, menghentikan bunga tidurku. Ruangan yang diisikan dengan dinginnya udara musim dingin terasa lebih menyegarkan daripada ketika aku pertama bangun tidur. Sekarang dengan sekali nafas saja aku sudah bisa menghilangkan perasaan-perasaan tadi.
Begitulah, aku yang mengambil kesempatan untuk mengambil majalah Camera Journal yang ujung-ujungnya sudah rusak dari meja dan aku taruh kamera di atas meja juga bisa dibilang sudah jadi rutinitasku sehari-hari. Sebuah foto ada pada spread yang sudah mengerut sampai halaman tersebut bisa terbuka sendiri, dan di sampingnya adalah sebuah tulisan.
“Juara Pertama – Kuroe Riichi”
“……”
Meskipun itu hanya kata-kata pendek, tetapi ditulisnya dengan huruf-huruf besar di spread-nya sehingga memberikan rasa senang dan sesal.
Foto itu, yang diberi judul “Dunia Si Dia”, adalah sesuatu yang aku foto dan kirimkan sendiri untuk Penghargaan Kiriman Pembaca yang diadakan oleh majalah kamera ini setiap bulannya.
“Aku tidak pernah kira bakal menang.”
Sudah ada lebih dari enam bulan berlalu dari sejak dipublikasikannya, tapi aku masih tidak percaya.
Bahkan ketika dikontak oleh bagian editorial tentang kemenanganku, aku menganggapnya seakan itu justru punya orang lain, dan mau selama apa pun waktu berlalu, rasanya tetap tidak nyata.
Memang, aku senang. Tapi, dibalik kesenangan ini, masih ada perasaan-perasaan bertentangan terhadap Natsumi karenanya.
Soalnya, ini foto yang diambil dari privasi dia, dan aku sama sekali tidak memberitahukannya sama sekali.
“Tetap saja tidak sopan.”
Begitulah, terus kenapa aku senang? Untungnya, sih, menang, tapi tetap saja aku sudah melakukan sesuatu yang tidak pantas ke Natsumi.
Makanya, mau dipuji setinggi apa pun, aku tidak bisa menerimanya. Walaupun itu dari Natsumi sendiri.
▼
“Kenapa kamu tolak?”
Dengan wajah cemberut, Natsumi masih dengan headphone besar khasnya di leher, seperti hari-hari biasanya. Sekarang, saat istirahat makan siang, aku dan Natsumi menghindari pandangan orang-orang dan makan makanan siang kami di kelas yang sepi. Soalnya, malu, ‘kan, kalau kami makan sama-sama di tempat yang banyak dilihat orang?
“Jelas, ‘kan? Aku cuma kebetulan saja menang. Toh, ini sekedar hobi saja.”
Natsumi tidak bisa menerimanya hingga dia memanyunkan bibir.
“Kenapa kamu bicara begitu, sih, Riichi? Padahal kamu memang punya bakat di situ. Lagian, aku, um… Aku a-aku suka foto yang kamu ambil, lo……?”
“Kalau sampai malu begitu lebih baik tidak usah bilang. Aku jadi malu juga.”
“Apa!? Aku sudah susah-susah memujimu! Kamu jangan malah buang muka begitu!!!”
Tentu saja, aku membuang muka karena aku malu. Aku sangat senang dia bilang begitu, tapi kalau seperti ini rasanya… aduh.
“Aku tidak peduli lagi! Riichi bodoh.”
Sementara pundaknya naik karena berkata begitu, Natsumi mengeluarkan kotak makan siangnya yang kecil. Sebagai orang yang sering membeli banyak roti dan onigiri dari kafetaria sekolah, aku tidak paham bagaimana bisa dengan makan sesedikit itu saja sudah cukup. Hebatnya dia bisa memiliki buah yang terkulai dengan makanan begitu saja. Tapi, aku tidak akan bilang bagian tubuhnya yang mana, sih.
“Tapi foto yang kamu ambil dipajang di pamflet untuk siswa baru, ‘kan? Sepertinya guru-guru kita pun menganggap bagus fotomu sampai memintanya begitu. Lagian fotomu ini nomor satu, lo?”
“Aku cuma beruntung. Lagi pula, karena aku mengumpulkannya tanpa memberitahukan dulu padamu sebelumnya, hadiahnya juga jadi tidak bisa diterima, ‘kan?”
“Kamu ini jujurnya aneh-aneh saja, ya. Ceroboh juga. Bukannya lebih baik kamu sedikit lebih meluweskan diri buat hal ini?”
“Aku tidak mau mendengarnya darimu.”
“Nnng. Hum. Memang begitu, aku ini cewek yang tidak ramah, ceroboh, penyendiri dan aneh. Iya, aku mengerti.”
“Ah, hei. Jangan ambil minuman orang begitu!”
“Hum.”
Walau terlihat kesal begitu, telinganya menyala merah. Memang begitu, memang Natsumi banget, dia mungkin khawatir bicara yang bukan-bukan atau semacamnya.
“Tapi, tidak apa, kok. Fotonya memang aku ambil supaya Natsumi sendiri yang melihat. Menangnya di kontes ini betul-betul tidak sengaja.”
Aku juga bicara begitu pada guru, tapi malah ditimpal dengan, “kalau begitu, malah bagus kalau kamu mengambil fotonya”. Mereka ini berharap apa sih padaku?
“Riichi.”
“Apa?”
“Kamu licik juga ya.”
“Maksudnya?”
“Bukan apa-apa! Aku kesal dengan sifat pelupamu. Kamu sadar tidak kalau aku ini harus bersabar melihat tingkahmu?”
Aku tidak mengerti maksudnya. Juga, kenapa dia tiba-tiba marah?
“Anu, aku ada berbuat salah? Kalau iya, tolong beritahu supaya aku bisa minta maaf.”
“Haah. Di saat penting begini kenapa kamu malah jadi serius. Aku merasa bodoh karena cuma aku yang sadar. Riichi, kalau kamu begini terus, suatu saat orang pasti akan menusukmu.”
“Kenapa tiba-tiba bilang hal seram begitu! Dulu waktu kita pertama bertemu, kamu lebih gentle, ‘kan?”
“Berisik kamu, ya…rasain…!”
Aduh! Kok tiba-tiba dia menendangku?
“Masa bodoh. Terserah kamu mau selicik apa. Toh cuma aku saja yang peduli, bodoh.”
Aku tidak mengerti kenapa kamu kelihatan senang walau yang keluar dari mulutnya begitu. Juga, aku juga banyak khawatir pada dirimu juga, lo?
Belakangan ini dia memancarkan aura yang lebih gentle dan lebih imut juga, sampai laki-laki di kelasnya pun banyak membicarakan dia. Bahkan jadi topik panas juga ketika pelajaran olahraga kalau dia punya dada yang paling besar di antara siswi-siswi lain, dan dia bilang aku yang tidak peka. Tapi, kalau Natsumi sendiri tidak peka terhadapnya, aku khawatir malah terjadi hal-hal yang tidak-tidak seperti misalnya dia digoda oleh orang-orang atau semacamnya.
“Tidak apa-apa, ‘kan, sedikit lebih perhatian. Iya. ‘kan?”
“Sedikit itu sesedikit apa?”
“Y-ya, a-anu, misalnya mengelus kepalaku mungkin…”
Bukan main, aku sama sekali tidak mengerti. Jalan pikir dia ini seperti apa, sih?!
“Kamu kok lihat aku seperti ada yang aneh, sih?!!”
“Bukan, bukan begitu! Aku cuma kaget saja dengar kamu yang biasanya diam-diam saja tiba-tiba bilang begitu.”
“Ih berisik! Aku cuma mau bilang kalau kamu tidak peka soal jarak antar orang-orang.”
“Kata-katamu berat juga ya. Memang, ya, Natsumi si penyendiri, keren.”
“Ih, kamu sekarang malah ‘ngajak berantem? Dasar. ……Sudah, cepat elus kepalaku.”
Kenapa aku harus menurut perkataan cewek yang memerintah sambil mukanya merah begitu? Tapi, kalau dia melihatku terus begitu seakan dia ingin meminta sesuatu padaku membuatku merasa aku harus menurutinya. Tapi kenapa, ya?
“Aduh!?”
Tapi ketika dia mendekatkan kepalanya dengan tanpa pikir panjang, sisi jahat yang aku punya ingin menjahilinya sedikit.
“Kenapa dorong jidatku, sih!?”
“Ya, soalnya, rasanya tepat saja kalau ke jidatmu, sih…”
Natsumi yang masih memegangi jidatnya melihatku dengan marah. Matanya jadi berkaca-kaca dan pipinya dikembungkan, sekarang dia bisa menampakkan berbagai macam emosi, ya.
“Maaf.”
“Ih!”
Ini kenapa aku selalu bingung setiap kali dia bersifat ingin dimanja seperti barusan.
Soalnya, ketika aku pertama kenal dengan Natsumi, dia orangnya dingin dan tidak begitu ramah. Dia tidak bisa dekat dengan orang seakan-akan dia punya barier yang mengelilinginya.
Dan sekarang dia malah memintaku mengelus kepalanya sampai-sampai dia senang begini. Manusia memang susah ditebak, ya.
……Walau begitu, rambut dia indah sekali. Panjang, lembut, dan sangat nyaman rasa saat menyentuhnya.
“Kenapa berhenti?
“Eh, masih ingin terus? Aku sudah tiga menit mengelusmu, lo?”
“L-Lama tidaknya tidak penting. Pokoknya bikin aku puas……”
Ahh, sial. Apa ini juga sisi dia yang sulit ditebak juga?
“Natsumi, kamu tidak bilang begini juga ke cowok lain, ‘kan?”
“Hm? Kamu ini bicara apa? Aku mana dekat ke cowok lain selain kamu.”
“──”
Aku tahu. Kamu penyendiri yang tidak punya teman dan kamu pun melabuhkan dirimu dalam kesendirian. Aku tahu semuanya. Jadi, bagaimana bisa kamu berkata begitu langsung di depan wajahku?!
“Kenapa? Kok tiba-tiba buang muka begitu.”
“Berisik kamu.”
“Aneh kamu. Haha.”
Sisi dia yang ini sangat tidak adil. Jelas aku bakal sadar kalau dia tiba-tiba bilang begitu. Tapi, betul juga. Sama seperti yang dikatakan Natsumi sebelumnya, ya?
Ah, aku juga jadi kedengaran kesal.
Soalnya, ya harus bagaimana lagi? Mana bisa kita bertindak normal kalau sedang diserang rasa malu seperti tadi?
“Tapi, sayang, lo.”
“Apanya?”
“Fotonya. Kamu harusnya tetap foto-foto meski tidak akan kamu pampang di pamflet.”
“Sudah aku bilang, aku tidak mau. Bisa jangan dibawa-bawa lagi?”
“Hum. Padahal bakat Riichi ini diakui orang juga, tidak seperti aku.”
Dia berkata begitu dengan santainya, tapi karena aku tahu perasaan yang dia miliki untuk mengeluarkan kata-kata itu bukan sesuatu yang bisa aku abaikan begitu saja. Jadi,
“Aduh!? Jangan dorong jidat aku lagi!”
“Soalnya yang kamu bilang itu bodoh.”
“Apanya yang bodoh? Kenyataannya begitu, ‘kan? Soalnya orang-orang tidak melihat apa yang aku lihat. Kamu juga tidak, Riichi. Aku jadi penyendiri karena hal itu.”
“Tapi sekarang bukannya sudah berbeda? Tapi, kamu betul berpikir begitu? Kamu lihat sendiri kan foto yang aku ambil?”
Ketika aku bertanya begitu, Natsumi tampak terkejut dan pipinya memerah, kemudian tampak senyum kecil pada wajahnya.
“Kamu memang licik, ya.”
Kata-katanya masih tak mengenakan seperti biasa.
“Kamu mungkin tidak akan percaya, tapi aku sangat bersyukur, lo. Makanya aku tidak apa-apa selama Riichi mengerti aku. Meski aku tidak dimengerti orang lain pun, aku tidak masalah.”
Berbanding terbalik dengan kata-kata yang diutarakannya, ekspresi wajahnya terasa penuh dengan rasa hangat.
Rasa sakit yang menggenggam hatiku adalah pengingat bagi diriku bahwa dia hidup di dunia yang sedikit berbeda dari orang lain.
Dia tidak bisa melihat apa yang orang-orang bisa lihat dan melihat apa yang orang-orang tidak bisa lihat.
Natsumi punya sedikit perbedaan di situ.
Dan karenanya, dia dirundung saat masih SMP.
Itu kenapa Natsumi selalu sendiri dan tidak pandai bergaul, tapi karena itu juga dia cerewet, manja, dan suka banyak berekspresi lain.
Tetapi sekarang aku senang.
“Riichi, kamu belum makan? Istirahat makan siangnya sebentar lagi selesai, lo.”
“Hm, ah, betul juga.”
Rasa sedih tadi menghilang dan aku kembali ke waktu istirahat makan siang bersama dengan suara bising dari kejauhan. Natsumi membuka bento kecilnya sementara aku mengeluarkan roti dan nasi kepal.
Ini adalah waktu hening.
Dalam ruangan yang tenang.
Tampak ada sesuatu yang sangat penting di sini.
“Omong-omong, soal yang tempo hari, kamu tidak ada masalah, ‘kan…?”
Mendengar kata-katanya yang seperti ingin tidak ketahuan membuatku membuang nafas panjang.
“K-Kok reaksimu seperti itu!?”
“Soalnya…sudah jelas, ‘kan. Sudah berapa kali kamu tanya soal ini, coba?”
“Ya tidak apa-apa, dong? Habis, aku cemas. S-soalnya aku belum pernah ada rencana kencan dengan cowok sebelumnya.”
“──!”
Natsumi, tolong hentikan. Kalau kamu bilang begitu sambil malu-malu, jelas aku juga jadi ikut malu. Aduh, harus apalah aku kalau perasaanku kacau begini?!
“Tidak apa-apa, ‘kan? Kamu betul-betul janji padaku, ‘kan?”
“Tenang saja. Semuanya aman, jadi aku akan tunggu kamu di depan stasiun jam sebelas.”
“Begitu ya. ……Syukurlah.”
Kenapa rasanya aku ingin lari dari sini? Aku ingin segera kembali ke ruang kelas. Terus aku akan membuka jendela yang mana saja dan aku mau teriak ke langit sana walau tidak jelas.
“Ah, jangan lupa, ya, Riichi. Aku sangat ingin melihat hiasan cahaya Menara Abies.”
“Siap. Aku pasti ingat.”
“Bagus deh.”
Natsumi tersenyum puas. Wajahnya tampak sangat cerah. Melihat perkembangan dia yang dulunya seperti landak waktu pertama bertemu membuatku jadi emosional.
Dia jadi manis sekarang, pikirku. Tapi terlalu memalukan jadi aku tidak katakan langsung padanya.
“Malam Natal nanti pasti seru. Nanti pokoknya kita nikmati waktu itu.”
Malam Natal.
Berbeda dengan Natsumi yang sedang ceria, aku justru merasa gelisah.
“…..?”
Aku merasa tegang. Sebelum aku bisa memikirkan perasaan yang ada pada hatiku ini, aku teringat kalau perasaan itu mungkin ada karena mimpi yang aku lihat pagi tadi.
“Aku juga mencintaimu. Aku juga mencintaimu, Riichi!”
Natsumi jatuh saat mengucapkan kata-kata itu. Warna merah darah yang mengalir dari sela-sela bibir dan merah gelap dari dadanya membuat dadaku berat.
Tampak terlalu nyatanya pemandangan itu membuatku menutup mulut dan perlahan menelan kembali rasa mual yang merayap dari dalam, dan keringat dingin yang membuatku tidak nyaman terasa bercucuran melewati punggung.
Ini merinding yang bukan berasal dari dinginnya musim dingin.
Rasa yang nyata akibat kematian Natsumi tiba-tiba saja kurasakan kembali.
“────”
Aku menghela nafas panjang dan berusaha menenangkan diriku. Tenang, lihat baik-baik. Natsumi masih di sini dan masih sehat.
Dia masih hidup. Dia memang ada di depan mataku, ‘kan?”
“Riichi……?”
“Ah, bukan apa-apa. Maaf. Aku cuma melamun.”
“Ada masalah?”
“Bukan, bukan apa-apa.”
Kata-kata kosong tadi justru memperlihatkan aku yang sedang bimbang. Tapi, apa lagi yang bisa aku katakan? Masa iya aku harus langsung bilang padanya kalau “Aku lihat kamu mati dalam mimpi aku”?
Tidak begitu, dong.
Hal tersebut tidak ada sangkut pautnya dengan dia yang di dunia nyata, jadi kenapa aku harus mengatakan sesuatu yang justru membuatnya jadi gelisah juga?
“……Bukan hal yang bisa kamu bicarakan denganku?”
“Tidak usah pikirkan hal-hal remeh.”
“B-Berisik. Memangnya tidak boleh aku khawatir padamu?”
Kalau aku menghargai kebaikannya, maka aku tidak sebaiknya mengganggu dia karena mimpi burukku.
Lalu, aku juga mana bisa bilang “Aku cuma sedikit mual”. Justru malah membuat waktu yang aku habiskan ini jadi sia-sia?
“Serius, bukan apa-apa, kok.”
“Ya sudah kalau begitu.”
“Ya. Aku cuma lagi memikirkan soal hari besok.”
“Iya? ……Hmm, aku juga menanti hari itu.”
Lihat, Natsumi memberiku senyum secerah ini. Mending untuk aku melupakan mimpi aneh itu.
▼
“Langit ini diserang oleh musuh.”
Kalau ada orang yang menyebut Shiranamise Natsumi, orang-orang akan langsung teringat pada orang terkenal di media sosial sebagai si “Cantik tapi Gila” yang mengunggah foto dengan caption begitu.
Ada juga yang dengan caption “Aku melihat kalian”. “Aku mencari identitas asli musuh” atau “Apa tidak ada orang lain juga yang lihat?”, dan aku juga pernah dengan tentangnya sewaktu kelas 1 SMA sampai aku melihat langsung posting-an tersebut.
Walau memang dia ini orangnya agak aneh, tapi aku justru sangat tertarik padanya. Aku penasaran apa yang dia pikirkan sampai mengunggah gambar-gambar absurd begitu, dan dia pun tidak malu mengumbarnya ke orang-orang sekitarnya.
Dan ketika aku melihat Natsumi secara langsung, ternyata dia lebih imut dari yang aku bayangkan.
Pertama aku bertemu dengannya dengan langsung adalah ketika aku naik kelas ke kelas 2 SMA. Sementara orang-orang di kelasku saling berkelompok dan membicarakan hal-hal yang akan datang setelah naik kelas, Shiranamise justru duduk sendiri dan memainkan ponsel pintar miliknya sembari mendengarkan musik dari headphone besarnya.
Dia punya aura ‘tolong jangan bicara padaku’ yang aku sendiri rasakan.
Aura ini menyebabkan adanya jarak untuk bisa dekat padanya, dan pada kelas itu pun hanya tempat itu saja yang seakan seperti sebuah mata badai.
Baik lelaki maupun perempuan tidak ada yang bisa berbicara lama-lama dengannya. Meski begitu, terkadang orang-orang curi-curi mata pada dia karena dia terlihat cantik saat berdiam sendiri begitu. Aku rasa yang menarik perhatian memang rasa tidak tertarik untuk berinteraksi dengan orang lainnya itulah, rasa ingin untuk diam sendiri sementara teman sekelasnya saling mengobrol satu sama lain untuk menghabiskan waktu.
Orang yang jelas-jelas cantik justru menyendiri.
Dan ya, akhirnya aku tahu bahwa semua sikapnya ini hanya supaya orang-orang tidak tahu kalau dia gugup karena ketidakmampuan dirinya untuk bergaul dengan orang-orang.
Karena itulah, karena keanehan dan kesendiriannya di kelas, Shiranamise justru naik kelas tanpa ada seorang pun yang berbicara dengannya.
Tetapi kesanku terhadapnya ini berakhir saat aku mendapat kesempatan untuk masuk ke dalam dunianya.
Pada hari itu, karena ada perbaikan, pintu untuk ke atap bangunan sekolah terbuka. Karena aku penasaran untuk ke tempat yang tidak biasanya aku masuki ini, aku mencuri-curi waktu dan ke atap sana sendiri.
Aku tidak mengira kalau akan ada seseorang di sana, aku hanya penasaran saja. Pikirku aku mungkin bisa mendapat foto yang menarik kalau aku coba pergi ke tempat yang tidak biasa aku kunjungi.
“──!”
Tapi, aku masih bersyukur karena tingkahku waktu itu.
Ketika aku sampai di atap, aku melihat setumpuk kayu bekas dan langit yang mengisyaratkan kalau waktu sudah pada pukul 4 sore.
Pada saat ini, di awal bulan April, siang hari menjadi lebih lama dan langit mulai sedikit berubah warnanya. Di sana, di saat cahaya matahari yang bersinar cerah jatuh dari langit – dia berdiri sendiri.
Shiranamise sedang melihat ke langit dengan ponsel pintar di tangan.
Dia berdiri di atas kayu-kayu bekas tanpa berkata-kata, matanya yang tampak sangat terfokus, lebih fokus dari yang pernah aku lihat di kelas, tengah melihat langit biru.
“────”
Hanya sekejap. Aku sama sekali tidak memikirkannya.
Fokus mataku terlabuh padanya seakan aku ditarik olehnya.
Aku biasa melihat dia di kelas. Aku berpura-pura tidak tertarik padanya sama sekali. Memang, begitulah kalau kamu siswa SMA dan di kelasmu ada teman sekelas yang cantik.
Tapi Shiranamise pada saat itu berbeda dari dirinya di waktu-waktu lain.
Pada saat itu semua tampak emosional. Tergerak olehnya, mataku melihat dari jendela bidik. Tidak ada alasan untuk aku hanya diam saja dan tidak menekan tombol shutter-nya.
Terdapat seorang Shiranamise sendiri menatap langit dengan trenyuh di dalam sebuah layar persegi.
Aku tidak tahu perasaan apa yang dia rasakan. Atau apa yang sedang dia pikirkan. Tetapi, keberadaannya di sini yang tampak sedang membawa rasa pahit dan manis menusuk hatiku.
Apa yang berada di depan mataku adalah dunia miliknya seorang.
Kelas, lorong, gimnasium dan kafetaria.
Dunia itu merupakan tempat yang sedikit berbeda dari tempat sehari-hari itu.
Dengan pemandangan yang lepas dari ‘Sekolah’.
──Klik!
Seketika itu juga jariku menekan tombol shutter.
Tetapi, dunia Shiranamise menghilang serentak dengan bunyi yang terlepas ke udara. Karena pada saat ini, sudah bukan dunianya sendiri lagi. Dunia indah dan semasa itu telah hilang oleh aku si penyusup yang tidak tahu diri.
Memang aku yang melakukannya tapi aku menyesali perbuatanku. Aku ingin tetap diam dan melihat dia sedikit lebih lama lagi, tapi sudah tidak bisa lagi sekarang.
“Siapa kamu!?”
Suara sopran yang dimilikinya seakan membelah suasana di sini.
“Ah, uhh. Hai.”
Akibat bersutan ditambah dengan suara marahnya, aku hanya bisa menjawab dengan gagap. Aku sadar kalau aku memang tampak mencurigakan, apalagi dengan semakin parahnya rasa takutku sehingga mataku bergerak ke sana kemari.
Tetapi tidak seperti kekhawatiranku, entah kenapa, Shiranamise memeluk ponsel pintar pada dadanya dengan tampak seperti ingin meminta maaf.
Aku masih ingat betul kalau waktu itu entah kenapa tiba-tiba aku berpikir “dia tampak kesepian” waktu melihat dia berusaha menyembunyikan sesuatu seakan dia baru saja melakukan hal buruk.
“Apa itu salah satu foto yang kamu ambil? Yang suka kamu unggah ke internet.”
Itu kenapa aku berkata begitu tanpa pikir panjang. Soalnya kalau aku tidak melakukan itu, rasanya oleh angin pun dia akan terhempas.
“K-Kok kamu tahu!? Adu, Ahh!?”
“Hei!?”
“Aku tidak apa-apa.”
Suara bernada tinggi yang dia miliki kembali keluar. Kakiku yang mengambil satu langkah ke depan jadi terhenti.
“Aku tidak apa, aman.”
Posisi dia sedang berbahaya karena seperti bisa jatuh kapan saja karena hilang keseimbangan. Belum lagi dia masih dengan bandelnya menyuruh aku jangan mendekat karena merasa baik-baik saja malah bikin dia semakin kelihatan ceroboh, yang mana sangat berbeda dengan yang biasa tampak di kelas.
“Kalau berdiri di tempat seperti itu jelas bahaya. Sini, tanganmu.”
“A-Aku bilang tidak apa, aahh!”
“Shiranamise!!”
Pasti luar biasa bagus kalau aku berhasil menangkapnya saat dia hilang keseimbangan, tetapi sedihnya, aku tidak bisa menahan jatuhnya dia sehingga jatuh dengan punggungku terlebih dahulu ke tanah.
“K-Kamu──”
“Kamu kenapa naik ke atas sana, sih!?”
“…”
“Kamu bisa luka, tahu!?”
“A-Ah, um, Maaf…”
Shiranamise menjatuhkan pundaknya pada tanganku dan duduk seakan tubuhnya Shiranamise menyerah untuk bangkit. Tapi yang terpenting adalah sepertinya tidak ada luka serius, jadi aku merasa tenang.
“Jadi, kamu mau kasih caption apa nanti?”
“Hah?”
“Foto yang baru kamu ambil tadi. Itu mau diunggah ke media sosial kan?”
“I-Iya. Iya mau.”
Melihatnya lagi, memang, dia cantik sekali. Hidungnya mancung dan matanya besar. Kalau saja dia tidak punya aura ‘jangan bicara padaku’, aku yakin dia akan populer.
“K-Kenapa kamu lihat-lihat aku begitu?”
Tapi malah orangnya tidak sadar soal itu, karena dia sendiri tidak menyembunyikan kehati-hatiannya. Memang aku yang datang sendiri menghampirinya, tapi memang iya aura berdurinya membuatku hampir mundur juga.
Hanya saja ketika itu, angin yang berhembus membawa harum musim semi yang membawaku dalam keadaan tenang. Sangat tenang sampai-sampai bersutannya yang berduri seperti landak bisa aku terima begitu saja.
“Aku tidak melakukan apa-apa, kok.”
Ketika aku berkata begitu, kehati-hatian Shiranamise masih tampak belum meredup. Masih dengan mata yang menatapku, dia membalikkan badan seakan sebisa mungkin berusaha menjauhkan diri dariku. Rasanya seperti aku diserang oleh jarum.
Tajam dan perih.
“K-Kamu bohong.”
“Hm?”
“Soalnya, ‘kan, kamu pegang-pegang badan aku.”
“Tapi itu, ‘kan, gara-gara aku menyelamatkan kamu! Jadi ya mau bagaimana lagi, ‘kan?”
“Iya tapi tetap saja kamu pegang-pegang. Lagian aku tidak meminta bantuanmu, juga……”
Cewek ini canggung sekali.
“Kamu. Tidak lucu, tahu, sikap seperti itu.”
“Kenapa kamu jadi sok tahu begitu? Tahu apa kamu soal aku?”
“Aku tidak tahu apa-apa. Lagian kamu bahkan tidak pernah bicara di kelas. Jadi mustahil, dong, untuk aku tahu apa-apa?”
Dia membuat posting-an aneh di sosial media.
Dia memakai headphone dan main dengan smartphone sendirian di kelas.
Hanya itu saja yang aku ketahui dari Shiranamise. Tidak salah kalau dia bilang aku tidak tahu apa-apa tentang dia.
“Terus, kamu siapa?”
“……Siapa? Kuroe Riichi, teman sekelasmu.”
“Oh. Terus mau apa teman sekelasku di sini? Atap ini, ‘kan, kawasan yang tidak boleh dimasuki.”
“Ya kamu juga sama. Aku tidak sedang apa-apa di sini. Tapi bisa dibilang… aku cuma berpikir kalau cuaca sedang bagus, jadi aku bisa ambil foto bagus dari sini.”
Berkata begitu aku mengangkat kameraku untuk menunjukkannya. Tapi, ini rusak, ya? Habis, aku jatuh cukup keras waktu menyelamatkan Shiranamise barusan.
“M-Mesum!!”
“Haah?”
“Kamu ambil foto aku pakai itu, ‘kan, tadi!? Mesum kamu!”
Kalau diingat-ingat, waktu itu dia menendang dan memukulku juga.
“Sudah jangan pukul lagi!”
“Lepaskan aku!!”
“Kalau begitu nanti aku kena pukul kamu! Tolong tenang sedikit.”
Sepertinya bukan landak, tapi yang aku lagi coba tenangkan justru anjing liar. Taringnya yang tampak ditujukan padaku mirip seperti anjing.
“Lihat, aku tidak ambil foto aneh.”
Aku menunjukkan padanya foto yang aku ambil dengan perasaan lega karena kameranya tidak rusak. Layar kecilnya menampilkan sosok sedih Shiranamise yang berdiri di atas tumpukkan kayu bekas dengan ponsel pintar yang diarahkan ke langit.
“Fotonya bagus……”
“’Kan? Momen seperti itu mana bisa aku lewatkan begitu saja kalau kamera sedang ada di tanganku.”
“Apa sih kamu, sok iya begitu? Lagian ini foto lagi mengintip, ‘kan?”
“Kata-katamu sudah tidak berlaku lagi karena kamu sendiri tadi bilang ‘fotonya bagus’. Jadi sekarang giliranmu.”
“Eh?”
“Fotomu. Soalnya kamu barusan ambil foto, ‘kan? Kasih lihat.”
Aku merasa rasa perasaan bingung dan takut timbul di wajahnya saatku memintanya. Dia memegang erat ponsel pintar miliknya seakan dia sedang menahan sesuatu.
“Kalau jelek pun aku tidak akan tertawakan, kok.”
“Bukan begitu.”
Terus apa? Aku tidak bisa berkata begitu dengan langsung karena dia masih kelihatan sangat cemas dan bingung. Tetapi, jika ada sesuatu yang membuatnya gelisah,
“Sebaiknya kamu berterus terang saja,”
“Kenapa kamu sok iya begitu, sih?”
“Aku bukan sok iya atau bagaimana. Aku cuma merasa begitu saja. Soalnya kamu terlihat kesulitan. Kalau aku perlu mendengar ceritamu, aku akan dengarkan.”
“Tapi……”
Tapi Shiranamise masih khawatir. Aku tidak mengerti apa yang membuatnya berkeras kepala, tapi, meski begitu, aku tidak mau turun dari sini tanpa ada kejelasan.
“Aku saja punya masalah yang tidak bisa aku ceritakan. Misalnya, aku ingin punya lensa baru dan aku diam-diam kerja di sekolah. Jadi, bagaimana ya bilangnya? Kamu tidak perlu menutup diri terus?”
“……Kamu orangnya aneh.”
“Masa?”
“Iya. Orang lain tidak mau ikut campur urusan orang.”
“Tapi kamu sendiri kesulitan, ‘kan?”
“Tidak usah ikut campur.”
Aku selalu merasa tidak sreg jika ada orang bilang begitu padaku. Kali ini aku tidak punya maksud begitu dan aku bertanya karena Shiranamise memang terlihat kesulitan, jadi menurutku wajar saja aku bertanya.
“Menurutmu langit ini berwarna apa?”
Pertanyaan tiba-tiba yang keluar dari mulutnya sampai ke telingaku dengan gema tanpa suara. Ada keseriusan yang sungguh pada nada suara yang keluar dari yang berbeda dari saat ketika dia disuruh untuk membaca buku pelajaran dengan keras di kelas.
Tetapi, karena ini juga, aku tahu kalau pertanyaan ini bukan pertanyaan remeh-remeh.
“Langitnya biru. Ya, mungkin berbeda kalau sudah malam.”
“Begitu, ya. Kalau normalnya, memang. Langitnya biru. Sudah ketentuannya begitu.”
“Cara bicaramu suram sekali. Terus, kamu? Apa warna langit yang kamu lihat?”
“Merah dadu.”
“……”
“Terus terkadang berubah juga jadi warna ungu.”
Aku bingung harus sarankan dia untuk mengunjungi oftalmologis atau tidak. Aku belum mengerti apa yang Shiranamise katakan.
Merah dadu katanya? Kenapa bisa?
Memang, langit bisa terlihat begitu kalau sedang terbitnya matahari atau saat terbenam, tergantung situasinya. Tapi yang dikatakan Shiranamise, aku yakin bukan begitu.
“Terus? Apa foto yang kamu ambil juga begitu kelihatannya menurutmu?”
“I-Iya. Tapi kelihatan biru, normal jika di foto.”
Kalau dipikir-pikir lagi, tidak aneh jika rumor-rumor tentangnya bertebaran. Kalau ada orang bilang begitu, orang-orang di sekitarnya mana mungkin mengerti.
“Kamu tidak mengerti, ‘kan?”
“Iya, sih. Tapi, tunggu dulu.”
Saat itu aku mengarahkan lensanya ke langit.
“Kamu sedang apa?”
“Bisa tolong jelaskan merah dadu ini seperti apa?”
Aku mengisyaratkan Shiranamise untuk menghampiriku. Kemudian, di saat kami melihat layar kameranya bersama, aku mengoperasikan kameranya dan mengubah hue dari foto yang akan kuambil secara perlahan.
“Wah, keren. Kamu sedang apa……?”
“Aku sedang memainkan warna putihnya. Mudah dipahami kalau kamu bayangkan pelangi, tetapi tiap-tiap cahayanya memiliki banyak warna. Jadi ini untuk mengatur supaya tone dari fotonya bisa sesuai dengan warna-warna tersebut. Dan ya, ini awalnya memang fungsi yang ditemukan waktu mencari tahu cara mengambil warna putih yang benar-benar putih.”
Sementara aku memamerkan wawasanku yang luas dengan bangga, aku mengoperasikan kamera di depan Shiranamise yang tampak terheran dan mengatur warna langit yang ditampilkan di layar. Aku mengubah temperatur dan juga mengatur koreksi mendetailnya. Pada setiap kali tombol ditekan, warna langit yang ditampilkan di layar berubah warnanya.
Langit yang tadinya berwarna oranye tua yang perlahan diwarnai oleh warna merah kemudian diubah nilai koreksinya ke warna yang lebih biru, sehingga mulai terlihat terdapat perubahan ke warna yang bisa dibilang bukan ungu bukan juga merah muda.
“Yang ini!!”
Kami pun menemukan warna yang dilihat oleh Shiranamise.
Dan sementara layarnya masih dipenuhi dengan warna mauve, Shiranamise menunjukkan salah satu titik di layar. Bagian itu memang warnanya pucat dan bisa dibilang memiliki warna merah dadu.
“Jadi ini langit yang dilihat Shiranamise?”
Aku menekan tombol shutter-nya pada saat itu.
“Tapi masih sedikit berbeda. Yang aku lihat seluruh langitnya berubah jadi merah dadu seperti ini.”
Suara darinya yang merasa takjub dari sisiku sampai pada telinga. Karena Shiranamise sangat asyik melihat layar, suaranya yang tak lebih dari sebuah bisikan terdengar dengan sangat jelas karena dekatnya dia denganku.
“Ah, maaf. Aku minta maaf.”
“Tidak, aku juga.”
Situasi canggung di mana kami sama-sama minta maaf dan saling merasa malu membawakan senyum pada wajahku. Bersamaan dengannya, aku ingat kalau jantungku berdegup kencang yang lebih dari biasanya karena nafas dan suhu tubuhnya yang masih terasa sebelum menghilang dari bahuku.
“Hehe.”
Tapi ketika Shiranamise tertawa bahagia, aku merasa tubuhku menjadi semakin panas. Rasanya sangat memalukan sehingga aku berpura-pura memainkan kamera dan curi-curi pandang padanya. Rambutnya yang disinari mentari dan dihempas oleh angin menyerakkan butir-butir cahaya pada seputarnya.
“……Cantik.”
“Eh?”
“Eh, ah, anu, maksudku, bukan…apa-apa. Maksudku, langitnya. Aku rasa langitnya cantik. Begitu maksudku.”
Aku sangat payah. Kenapa tiba-tiba malu-malu begitu, coba?
Tapi aku tak bisa mungkiri.
Shiranamise cantik, dan itu sahih, ditambah dadanya menyentuh tanganku barusan. Sudah mustahil untuk aku bisa menahan rasa malu.
“Terima kasih, Kuroe-kun.”
Tanpa acuh padaku yang hanya membuat-buat alasan, dia menghadapku dengan senyum lembut. Rona cantiknya tak kenal batas, dan tanpa ku sadari, aku hanya bisa tertegun oleh pesonanya.
“Baru kali ini. Kamu orang pertama yang melihat langit yang sama dengan yang aku lihat.”
Ketika aku tersadar, seluruh tubuhku berubah panas sampai-sampai aku pun terkejut.
“Tidak ada yang pernah mengerti. Makanya aku senang bisa bertemu kamu hari ini.”
Melakukan kontak mata dengannya sangat memalukan, atau tepatnya aku yang merasa malu. Kenapa, kenapa ini……
“Ah……”
Dengan itu keluar dari mulut, Shiranamise berdiri dan bangun meninggalkanku yang merasa gugup, kemudian mengambil langkah demi langkah untuk mencapai tengah-tengah atap sekolah ini.
Rambutnya yang terhempas oleh siliran dan senyum anggun di wajahnya membuatku lupa untuk memanggilnya dan hanya bisa melihat dia dengan rasa kagum.
“Aku dirundung waktu SMP.”
Dia pun mulai bercerita. Aku tidak bisa melihat wajahnya karena sekarang dia telah membalikkan badannya, tetapi terdengar suaranya masih ceria.
“Kamu tahu, ‘kan, selalu ada tugas menggambar di sekolah? Waktu itu aku menggambar pemandangan, tapi langitnya aku warnai merah dadu. Memang, aku tahu kalau orang biasa tidak melihat langit seperti itu. Tapi aku ingin orang-orang tahu apa yang aku lihat. Jadi aku bisa tahu kalau bukan cuma aku yang begitu. Sudah, aku hanya ingin itu, tapi orang-orang malah memanggilku aneh sampai mengejek aku.”
Suaranya yang terdengar jelas dan jernih, yang mungkin tak kita sangka dia sedang bercerita tentang masa lalu kelam, mengarungi angin dan membelai telingaku.
“Terus, kapan pun ada waktunya, mereka pasti mengejekku. Mereka bilang, ‘Langitnya warna apa sekarang?” dan ‘Kamu tahu tidak tentang langit biru?’. Dan ketika aku disuruh membaca dengan keras di kelas, kemudian kata-kata ‘langit biru’ keluar dari mulutku, seisi kelas pasti jadi tertawa. ……Aku jadi sedih.”
Hampa karena tak dimengerti.
Pilu karena penolakan.
Dan sendiri karena dia tak bisa berbagi dengan yang lain.
Shiranamise telah melalui banyak hal tanpa ada seorang pun yang menerima dunianya.
“Jadi, seharusnya aku menolak saja orang-orang seperti itu, ‘kan? Berpikir begitu aku jadi mulai mengabaikan mereka sampai aku lulus dari SMP. Anak-anak yang dulunya aku anggap teman dirundung juga keesokan harinya, dan aku sudah tidak tahan lagi.”
“Jadi itu kenapa kamu tetap begitu di kelas.”
Berkata begitu membuat dia memerah wajahnya. Sepertinya dia malu.
“……terus kenapa?”
“Haha. Mukamu merah sampai ke telinga-telinga.”
“Masa bodoh!”
“Begitu, ya. Makanya kamu suka mengunggah postingan–postingan itu di media sosial. Kamu merasa kalau ada orang lain juga yang seperti kamu.”
“Iya.”
Aku merasa dia tidak perlu terus terang, tapi, mungkin tidak bisa begitu juga. Soalnya, dia sudah selalu sendiri tanpa ada yang mengerti.
“Cuma, aku sedikit berharap. Kalau mungkin di luar sana ada orang yang melihat dunia ini sepertiku. Sayangnya tidak pernah ada, dan aku jadi tersadar kalau ini hanya aku seorang.”
Ketika itu aku menyadarinya.
Semua, entah itu sifatnya yang keras kepala atau sikapnya yang membuat orang-orang sulit berbicara dengannya, adalah akibat dari kesendiriannya.
Shiranamise selalu hidup dalam dunianya sendiri, sehingga dia berlaku seperti ini.
“Makanya, aku ingin bilang padamu. Dengar, ya, aku tidak akan mengulangi ini untuk kedua kalinya. …… Terima kasih.”
Dia tampak sangat malu dengan dia kembali membalikkan badan ketika berkata begitu, walau begitu, ekspresinya tampak lebih lembut dari ekspresi lain yang pernah dia tampakkan. Kedua pipinya diwarnai dengan sedikit merah, bibirnya yang canggung, ditambah dengan mata yang penuh dengan rasa kasih…semuanya kini memiliki warna dan hidup.
Aku merasa jantungku berhenti berdetak sebelum mulai berdetak kencang, detakannya terasa hingga sekujur tubuh dengan ritme yang nyaman.
Ah, ternyata memang mudah, pikirku.
Untukku bisa merasakan dirinya hanya dengan sebuah senyuman.
Tapi mustahil untukku tidak bisa merasakannya. Dia, yang selalu canggung dan tidak membiarkan orang lain mendekatinya kini mau mengutarakan hatinya padaku.
“Besok akan aku bawa fotonya.”
“Eh?”
“Aku kasih sentuhan akhir dulu.”
Aku pun meninggalkan atap, meninggalkan Shiranamise yang terdiam sendiri.
Dia mungkin berpikir kalau aku hanya bersimpati padanya.
Atau mungkin aku hanya mengasihaninya.
Memikirkan perasaannya ketika itu membuatku cemas.
Meski begitu, aku ingin melakukan sesuatu untuknya.
Wajah malunya masih berada di lubuk hatiku tanpa menghilang sedikit pun.
Kata-kata terima kasih yang dia utarakan selalu kembali dan membuat detak jantungku berdebar kencang.
Aku hanya mendengar curhatannya. Tapi jikalau itu saja sudah cukup untuk membuatnya menampakkan berbagai ekspresi padaku, aku akan melakukan apa pun untuknya. Itulah yang aku rasakan.
Aku bergegas pulang dengan perasaan aku bisa melakukan apa pun. Aku memakai komputer semalaman bagai orang stres dan mengerahkan seluruh kemampuanku, hingga akhirnya aku menghasilkan sebuah foto.
Karena aku percaya aku melakukan semua untuk Shiranamise.
Karena aku merasa hanya itu yang bisa aku lakukan untuknya.
Itu kenapa aku membuat sebuah foto.
Itulah foto yang aku ambil seraya mengambil langkah pertamaku di atap.
Di bawah langit merah dadu nan fana namun indah, pada tumpukan kayu bekas yang dia pijak, Menara Abies yang tampak di belakangnya juga pemandangan kota Misono yang semuanya berwarna merah dadu.
Di antara semua itu, hanya Shiranamise yang memiliki warna dan tampak berbeda dari yang lain.
Itu kenapa aku membuat sebuah foto yang membuatmu merasa kalau dia terisolasi dan dia hidup di dalam dunianya sendiri.
“Shiranamise.”
“Kuroe-kun?”
Ketika aku ke sekolah di keesokan harinya, aku langsung menghampirinya di pagi hari. Dia seperti biasa sedang memainkan smartphone miliknya. Bisa jadi hari ini dia sedang membuat posting-an yang biasa dia buat dan mencoba mencari orang lain yang hidup di dunia yang sama dengannya.
Kalau begitu, memang, dia kesepian dan menutupinya dengan sikap keras kepala.
“Ini.”
Terus terang, aku mungkin terlalu tiba-tiba. Karena itu hal yang pertama aku lakukan pagi ini, tanpa aku bilang apa pun, aku memberikan dia sebuah amplop.
Tapi sekarang yang ada di pikiranku adalah aku harus melakukan sesuatu untuknya, dan satu-satunya hal yang menurutku benar untuk dilakukan adalah ini.
“Aku tidak menyangka kamu akan membawanya.”
Tanpa memerhatikan aku yang pikirannya diisi oleh hal-hal tadi, Shiranamise membuka amplopnya dan melihat foto yang baru dia ambil.
“Ini duniaku… Jadi seindah ini, ya.”
Melihat fotonya dielus oleh jemarinya membuatku merasa malu. Aku membuang muka dengan melihat jam, kemudian pada teman sekelasku yang memasuki ruang kelas, kemudian,
“Terima kasih, Kuroe-kun.”
Mataku bertemu dengan mata berkaca-kaca Shiranamise, yang menyatakan terima kasih.
Tanpa aku sadari, perasaan yang menyebar dalam diriku ketika itu hampir membuatku menangis. Aku bisa melakukan sesuatu untuknya. Menyadarinya membuatku merasakan kegembiraan dari lubuk hati.
Kalau memang ada saatnya kamu tiba-tiba jatuh cinta dengan seseorang, aku merasa hal itu timbul oleh hal-hal yang sederhana.
Tapi, mungkin bisa dibilang inilah takdir.
Soalnya, ini hanya inisiatifku saja.
Pada hari itu, aku ke atap karena penasaran dan bertemu dengan Shiranamise yang kemalangan. Ada sesuatu yang bisa aku lakukan untuknya dan dia merasa berterima kasih atasnya.
Hanya itu, tidak lebih.
Tidak ada dramatis-dramatisnya.
Hanya sebuah hubungan antar manusia.
Tetapi, perasaan kecil ini rasanya lebih penting dari apa pun, dan dimulai dari titik ini, aku mulai jatuh cinta padanya, dengan rasa yang kian menguat.
Itulah kenapa aku yakin bahwa ini adalah takdir.
▼
“Jadi kamu bolos di tempat begini.”
“Natsumi?”
“Semuanya sedang bersih-bersih dan kamu malah sendiri malas-malasan di sini. Tidak patut.”
Natsumi yang mengenakan pakaian olahraga dengan rambut yang dikucir ponytail naik tangga menghampiriku. Tengkuk lehernya tampak dingin, aku jadi merasa dingin juga melihatnya.
“Aku tidak lagi bolos. Aku justru lagi istirahat. Lagian sekarang sudah tanggal 23 Desember, ‘kan? Sudah mau datang ke sekolah waktu libur saja sudah sepatutnya diapresiasi.”
“Aku mengerti kamu kurang senang. Tapi mau bagaimana lagi, ‘kan? Murid-murid lain juga ikut beres-beres.”
“Kamu bilang begitu, tapi kamu sendiri duduk juga di sini.”
“Tidak boleh?”
“Tidak. Boleh, kok.”
Lagi pula hasil dari bersih-bersihnya pun tidak akan ada bedanya walau kamu keluarkan seluruh tenaga untuk beres-beres. Karena itu, makanya istirahat sebentar pun tidak jadi masalah.
Hanya ada beberapa orang yang berada di tangga menuju atap. Ketika kami semakin mendekatkan diri kami untuk menghangatkan diri dari angin yang datang dari pintu atap yang terbuka, hangat tubuhnya sampai padaku dari baju olahraganya.
Pintu atap yang biasanya ditutup kini dibuka untuk tempat barang bekas yang tidak bisa dibuang. Barusan aku naik kemari dengan cukup penat hingga perlu menyeka keringat meski di musim dingin seperti ini. Jadi, ya, aku capek setelah bawa barang bekasnya, jadi aku istirahat setelah menaruhnya di atas.
“Natsumi. Kamu tidak dapat bagian di kelas, ya?”
“A-A-Apaan!?”
“Tuh, kamu sendiri kaget.”
“Kamu bilangnya santai begitu, sih, jadi jelas aku kaget!”
Lebih dari setengah tahun telah berlalu sejak hari di musim semi itu, dan Natsumi pun jadi semakin anggun. Tetapi seperti biasa, di setiap saatnya dia sendirian di kelas, dan aku juga hampir tidak pernah dia melihat ke teman sekelasnya yang lain selain aku.
“Kamu sendiri tidak mau ke kelas lagi, makanya kamu ke sini, ‘kan?”
“Oh. Betul. Kalau begitu aku duluan ke kelas, kamu bisa di sini dulu.”
Saat aku mengatakannya ketika berdiri, Natsumi yang berkaca-kaca matanya menarik keliman jaket olahragaku.
“Kamu, kok, begitu, sih. Riichi bodoh, dungu!”
“Kenapa panggil aku dungu, coba……Ya sudah.”
Kalau aku terlalu menggoda dia, biasanya dia memukul-mukul aku. Ini mestinya aku manfaatkan dengan baik.
“Omong-omong, mana headphone-mu?”
Ah, jadi ini kenapa tengkuknya terlihat dingin. Headphone besar yang biasa dia kenakan tidak mengalungi, dan tengkuk putihnya terkena udara dingin.
“Kalau lagi bersih-bersih ya jelas aku lepas. Mengganggu.”
“Padahal kamu tidak kuat sendirian di kelas sampai kabur ke sini, tunggu, aduh!”
Tidak perlu sampai mencubitku keras-keras.
“Tapi kamu tidak apa-apa, ‘kan? Apa sakit kepala?”
“Aku tidak apa-apa. Langitnya pun sedang tenang hari ini.”
“Begitu, ya. Tapi aneh, lo. Sakit kepalamu biasanya hilang kalau pakai headphone.”
“Iya. Aku juga merasa aneh.”
Sambil mengatakannya, Natsumi mendekatiku.
“Ah, hei!”
“Kenapa~?”
“Tidak, tidak apa-apa.”
Ketika dia melakukan hal kekanak-kanakan itu, aku tidak bisa berkata apa pun. Di saat rasa aku merasa hangat di bahu, telingaku mendengar hingar-bingar yang berada jauh. Detakkan jantung ini…kira-kira dari siapa, ya? Mata Natsumi tertutup dengan tenang saatku melihatnya.
“Hei, Riichi.”
Dipanggil namanya saja olehnya membuatku kaget sampai buang muka. Apa mungkin dia sadar kalau tadi aku melihatnya.
“Riichi, dengar, ya?”
“Iya. Kenapa?”
“Aku bersyukur aku bertemu denganmu.”
“H-Hah? Apa, sih, tiba-tiba bilang begitu……”
“Kenapa? Malu?”
“Berisik!”
“Justru kamu.”
“Tutup mulutnya!”
“Hehe, ini pembalasan buat yang sebelum-sebelumnya, ya.”
Aduh, apa aku terlalu banyak iseng padanya? Sampai-sampai dapat pembalasan begini.
Tapi kalau dia senang karenanya, ya, aku rasa tidak apa-apa. Satu lagi, dadanya menyentuhku.
“Pikiranmu lagi kotor, ya?”
“Tidak, lah!”
Dia ini esper kali, ya? Aku jadi panik.
“Hei, Riichi. Kamu ingat, tidak? Waktu kita pertama bertemu.”
“Ya, aku ingat.”
“Waktu itu di tempat ini. Kita bertemu di atap ini.”
Natsumi berkata begitu, aku pun melihat pada arah pundakku.
“Aku merasa aku syok waktu kamu pergi dan tinggalkan aku di sini.”
“Soal itu, aku minta maaf.”
“Tapi, ya, besoknya kamu bawakan fotonya jadi aku memaafkan kamu.”
Tapi, ya, dia membawakannya dengan riang sampai aku jadi bingung harus merasa bagaimana.
“Tapi, aku senang. Riichi yang menemukan aku.”
“Bukan apa-apa, kok. Hanya kebetulan, lo, kebetulan saja.”
“Kamu jangan anggap itu memalukan. Soalnya hal itu membuatku sangat senang.”
Saat dia menatapku dengan senyum cerahnya, aku pun ikut senang.
“Makanya, Riichi, kamu tetap bersamaku, ya?”
“Natsumi. Mukamu memerah, lo, aduh!?”
“Ih, kamu ini kok tidak peka terus sama situasinya, sih? Sudah, kita lanjut. Masih belum selesai bersih-bersih, ‘kan.”
“Iya, iya.”
Kami berdiri lagi dan menuruni tangga.
“Hei, Riichi.”
“Apa?”
“Aku tunggu besok.”
Dengan bengong, aku melihat Natsumi berlari pergi menuruni tangga dengan rambutnya terangin-angin.
Aduh.
Kalau dia sampai bilang begitu, aku harus memastikan kalau besok harus jadi hari terbaik, apa pun caranya. Walau rasa tak sabar ini membuatku kegirangan bahkan pada sekarang ini, aku tetap berada di belakangnya menuruni tangga.
Angin yang berhembus membuat pintu besi itu menyuarakan suara melankolis.
▼
Dari sana, pada malam Natal ini akulah yang pertama tiba di tempat janjian kami untuk bertemu, namun rasanya aku masih belum bisa tenang.
Sejak beberapa hari ini aku selalu merasa lemas. Entah kenapa tanganku sampai berkeringat dengan deras padahal situasinya sedang sedingin ini. Setelah aku memeriksa ponsel pintarku selama setengah menit dan mematikannya, sudah langsung berkeringat.
Pasti ini gara-gara situasinya, sih.
Karena tempat ini memang area bisnis, di mana banyak orang yang saling menunggu orang lainnya, sama sepertiku. Cowok-cowoknya menunggu cewek-ceweknya dengan tidak tenang sambil memainkan ponsel pintarnya; kalau orang lain saja tidak menang waktu menunggu orang lain, aku pun ikut tidak bisa tenang.
“Aku tidak bisa tenang.”
Aah, sialan. Kalau tahu begini aku harusnya bawa kamera. Perasaanku bisa sedikit lebih teratasi kalau bisa ambil-ambil gambar bagus.
“Aku salah, sih.”
“Maksudnya?”
“Ueh!?”
Aku sedang sangat kebingungan, jadi saat tiba-tiba ada yang menjawabku dari samping, aku sampai tidak sengaja mengeluarkan suara aneh.
“Tidak usah terkejut begitu, dong.”
“N-Natsumi.”
“Maaf. Kamu sudah lama menunggu?”
SI orang yang baru datang menurunkan kepalanya, tampak merasa tidak enak.
“Ah, tenang saja. Aku baru sampai.”
Aku kebingungan dan tampak menyedihkan sekali. Kalau sesuai dengan skenario semalam, aku seharusnya menyambut dia dengan lebih elok. Aduh, aku ini bagaimana sih?
“Hehe, terima kasih, ya. Sudah datang lebih awal.”
Sepertinya aku sudah kacau duluan karena tindakkan menyedihkanku barusan, tetapi tidak mungkin aku tidak tersembuhkan olehnya kalau dia menampilkan senyum lembutnya.
“……Sekarang, kamu bukannya mau bilang sesuatu padaku?”
Katanya, dengan tangan yang menggenggam pakaiannya, dan dia tampak memesona dengan pakaian ini.
Aku terlalu malu untuk memujinya, jadi rasa kikuk kalau disuruh untuk memberi pendapat soal pakaiannya membuatku ingin buang muka.
Tentunya, Natsumi tidak mengenakan seragamnya hari ini. Dia memakai korset rajutan yang dengan rapi dan kencang meliputi dadanya ditambah dengan sebuah mantel merah di atasnya. Dia juga menggunakan rok. Anehnya, penampilannya yang tak biasa aku lihat ini justru terasa bukan pertama kalinya aku lihat. Walau begitu, pakaiannya sangat pas untuk hari ini sampai-sampai aku sadar betapa pentingnya hari ini.
“Sangat… cocok untuk kamu..”
Hanya itu yang aku katakan, tapi kenapa aku harus sampai perlu bersusah payah mengeluarkannya? Rasa malu yang aku alami sekarang sudah di luar batas; aku bahkan tidak mampu untuk diam di sini lagi.
“Ayo, kita pergi.”
“Aduh, jangan malu-malu begitu, dong.”
“Berisik!”
Aku berdiri di samping Natsumi yang sedang tertawa canda, dan kami berjalan melewati jalanan di malam Natal seakan mengejar punggung pasangan yang telah mendahului kami sebelumnya.
Tak terhitung berapa banyak pasangan dan keluarga yang kami lewati memberikan perasaan penuh dengan kehidupan. Rasanya kota ini lebih hidup dari biasanya.
Dan pada kota yang dipenuhi rasa gembira ini, Natsumi, yang berjalan di sampingku, tampak lebih menikmati hidupnya daripada biasa. Hanya dengan melihatnya yang berjalan dengan tanpa beban, rasa senang akan berjalan bersamanya hari ini menggugah hatiku.
Ya, aku bahagia.
Aku gugup parah ketika aku mengajaknya, tapi aku senang sekali aku berhasil.
“Riichi, kamu senyum-senyum sendiri.”
“Ap-!? Tidak, kok! Kamu ini sembarangan!”
“Kamu terlihat bingung. Mukamu juga memerah seperti tomat. Sesuatu yang membuatmu senang terjadi padamu, ya?”
Dia ini pasti sengaja! Wajahnya penuh dengan ekspresi jahat!
“Sudah aku bilang bukan apa-apa!”
“Kalau kamu jujur”
Kalau aku bisa, semua masalah yang aku hadapi sekarang sudah tidak akan ada. Tapi, bagaimana kau bilangnya, ya, sudah pasti aku senang sekali bisa bersama Natsumi hari ini. Makanya.
“Ah.”
“Kenapa?”
“Bukan apa-apa, hehe. Yuk?”
Tanpa basa-basi lagi aku menarik tangannya dan lanjut berjalan. Ya, begini. Tidak perlu lagi situasi ini aku ungkapkan lagi dengan kata-kata.
Kemudian, dengan kami yang saling tersipu malu, kami terus beranjak melalui jalanan.
Biasanya, aku akan melompat kegirangan dengan hanya begitu saja, tapi tentu saja hari ini berbeda.
Hari ini malam Natal.
Jalanan penuh oleh dekorasi bertema Natal yang sangat gemerlap dan penuh warna ke mana pun kamu lihat. Dengan dikitari oleh pemandangan itu, aku berjalan bersamanya. Tetapi, menurutku aneh kalau aku bahagia hanya karena ini saja.
“Hei, Riichi, lihat itu! Imut banget, tidak, sih?”
Natsumi tampak sangat imut saat dengan gembira melihat-lihat pakaian yang ada di etalase.
“Natsumi, coba ini. Enak banget, lo.”
Terang-terangan saling menyuapi di depan toko ini membuatku sangat gembira. Hanya untuk hari ini saja kami bisa berduaan. Karenanya rasa bahagia menjadi kehangatan yang menyelimuti hatiku.
Di masa yang akan datang akan banyak momen-momen seperti ini.
Kami bisa mengunjungi kuil bersama saat Tahun Baru, lalu ada juga Valentine di bulan Februari. Kelas pun tak akan ada perubahan saat naik ke kelas tiga, jadi kami akan bersama lagi di tahun depan.
“Riichi, lihat. Matahari terbenam.”
“Wah, sudah jam segini, ya?”
Kami terlalu menikmati perbincangan berdua di kafe ini sampai lupa akan waktunya. Tahu-tahu matahari sudah mulai terbenam dan bayangan pun perlahan semakin memanjang.
“Natsumi. Mau ke sekolah dulu?”
“Kenapa? Ada yang lupa kamu bawa?”
“Bukan itu, kok. Cuma, kamu tertarik, tidak, buat ke sekolah di hari seperti ini?”
Saat aku mengucapkannya, aku merasa jantungku berdetak kencang.
Tiba-tiba mimpi yang aku lihat dua hari yang lalu tampak dalam pikiran, segera aku mengenyahkannya.
“Hmm, boleh juga, tapi memangnya kita bisa masuk?”
“Bisa, kok. Aku tahu jalannya.”
Perasaan apa itu…?
Ada rasa tidak nyaman dari hatiku. Tapi, segera menghilang karena kebahagiaan dan kehangatan dari momen ini.
Karena itu, kami sampai di sekolah dengan perasaan riang.
“Aku tidak tahu kita bisa masuk.”
“Sudah aku bilang aku tahu jalannya. Waktu aku jalan-jalan buat ambil foto di sini, aku lihat ada satu jendela di ruang seni yang kuncinya rusak.”
“Kamu sebelumnya pernah masuk ke sini tanpa izin?”
“Mungkin.”
“Ternyata kamu diam-diam menghanyutkan. Kalau ada apa-apa aku tidak akan ikut-ikutan, ya.”
“Loh, bukannya kalau ada apa-apa kamu bakal bilang “aku akan bantu kamu”, ‘kan?”
“Eh, kalau urusannya sama aturan sekolah, sih, aku tidak ada urusan, dong?”
“Eh, tunggu. Kalau tidak ada aku, kamu jadi penyendiri lagi.”
“Riichi!”
“Hahaha.”
Suara langkah kakiku bergema di dalam heningnya sekolah saatku kabur dari Natsumi yang memerah.
“Jangan lari!!!”
Kami saling bercanda dan Natsumi sepertinya senang juga. Tapi aku mengerti.
Situasi sekolah yang biasanya dipenuhi hiruk-pikuknya siswa dan siswi kini tak ada suara sedikit pun, ruang kelas yang kami coba masuki pun terkunci, dan lampu di lorong juga tak bisa kami nyalakan karena takut ada orang yang menyadari keberadaan kami. Terus, bagaimana bilangnya ya, ada perasaan tidak perlu melakukan hal-hal yang biasa kami lakukan yang justru membuat kami semakin bersemangat.
Cahaya dan suara yang berasal dari luar terasa sangat jauh, dan sensasi kalau hanya ada kami di sini semakin kami rasakan.
Dan entah kenapa rasanya seperti suatu hal yang sangat spesial sedang kami lakukan sekarang.
“Oh, mantap! Tidak dikunci!”
“Wah, iya? Mungkin kemarin lupa dikunci.”
“Bisa jadi.”
Setelah itu, aku membuka pintu besi itu dan seraya angin dingin menyerangku. Lagu-lagu natal yang berasal dari jalanan yang terpisah agak jauh dari sini dibawakan oleh angin hinggap di telinga kami.
Seluruh kota bersinar terang dan selimut kegelapan sudah turun sepenuhnya.
Rasanya sangat misterius.
Atap di saat sore memberikan kami perasaan tenteram, yang jauh berbeda dari bangunan sekolahnya itu sendiri.
Karena sudah lewat pukul 6 sore, matahari sudah terbenam dan malam pun sampai.
“Luar biasa.”
“Bagus, ‘kan?”
Pemandangan yang ada di hadapan kami sangat memikat… aku pun merasa bangga saatku menjawabnya.
Di distrik perbelanjaan yang tadi kami lalui, terdapat sebuah kompleks perkantoran yang terdapat bangunan-bangunan tinggi berdiri bersebelahan. Melihat Misono sampai semenor ini membuatku terkagum-kagum.
“Ini kursi khusus. Dari sini, kita bahkan bisa lihat cahaya dari Abies Tower.”
Memang, dari mana saja bisa kita lihat menara tersebut, akan tetapi, setelah menimbang di mana tempat terbaik untuk melihatnya, tempat ini adalah yang terpikir olehku.
Dulu, saat aku berkesempatan untuk bertemu dengan Natsumi, aku bisa melihat menara besar itu berdiri menjulang di balik latar.
Makanya, aku memilih tempat ini. Terlebih, ini adalah tempat semua bermula.
Pada hari itu di musim semi, kalau tidak satu pun dari kami datang ke atap, maka hari ini pun takkan tiba. Jika itu terjadi, aku yakin kami hanya akan berpapasan saja setiap harinya, sibuk dengan kesibukan sendiri di sekolah.
Tapi, di sinilah kami.
Karena alasan itu juga, tidak bisa di tempat lain, harus di sini.
Di sini, tempatku akan mengutarakan perasaanku padanya.
“Ternyata enak juga rasanya sekolah waktu sepi.”
“Ya, aku senang kita ke sini.”
“He’em.”
Hening pun tiba.
Mengisi kekosongan di antara kami, perlahan-lahan, tanpa bersuara.
“………”
“………”
Saking senangnya kami sampai tidak bisa berkata-kata.
Aku sampai jadi kikuk.
Rasanya bisa aku rasakan tiap detakkan jantungku.
“Aduh!”
“Natsumi?”
Waktu aku melihatnya, Natsumi seperti kesakitan dengan tangan di pelipis.
“Itu, ya?”
“Iya.”
Sering terjadi hal ini. Aku tidak tahu apakah ini karena migrain atau kenapa, tapi terkadang Natsumi mengalami sakit kepala yang cukup parah. Kalau begitu biasanya dia pakai headphone yang jadi ciri khasnya.
Sebetulnya aneh rasanya waktu dia bilang rasa sakitnya hilang waktu dia menggunakannya, tapi memang lebih ampuh dibandingkan dengan obat yang diresepkan oleh dokter, jadi, aku rasa memang tidak adanya headphone ini penyebabnya sekarang.
“Headphone-mu mana?”
“Tidak aku bawa hari ini. Soalnya, ‘kan, malam natal.”
Katanya begitu, tapi dia terlihat sangat kesakitan, sepertinya rasa sakitnya memang parah.
“Oh. Ya sudah kalau begitu. Sini.”
“Riichi? Ah……”
“Aku tutup telingamu.”
Aku pun berpikir kalau ini alasannya receh sekali. Memeluknya cuma untuk menutup telinganya. Tapi tidak apa-apa, ‘kan? Aku sudah tidak kuat lagi, lagian, karena sudah seharian bersamanya hari ini.
Waktu kami bertemu di tempat pertemuan kami, kami berjalan dengan tangan bergandengan, waktu kami menyelinap masuk ke sekolah kosong ini–dari sejak saat itu aku ingin memeluknya.
Dan sepertinya bukan hanya aku yang merasakan itu.
Mulanya tubuh kami tidak saling bersentuhan, tetapi dia semakin erat melekatkan dirinya padaku, semakin menyandarkan tubuhnya padaku.
Kelembutannya, harum manis dari rambutnya, serta engah-engah nafasnya yang menyayat hati–setiap bagian dari tubuhnya telah menggodaku. Setiap rangsangan ini membangkitkan diriku dan menyasar tulang punggungku. Seakan mengejar rangsangan ini, jemari Natsumi menyusuri punggungku.
Sentuhannya ini membuatku berada dalam delusi seakan aku tengah dibelainya, ini membuatku semakin sulit untuk menahan diri.
Aku semakin menginginkannya.
“Riichi, jangan keras-keras!”
“Kenapa?”
“Ah……”
Aku memeluknya dengan agresif dan bergairah. Aku memeluk tubuhnya dengan segenap tenaga seolah seluruh tubuhku mendambakannya.
Harum tubuh dan engah-engah nafasnya yang menyayat hati…semuanya milikku.
Tapi masih belum cukup.
Aku dipenuhi oleh obsesi yang tak tertahankan.
Aku ingin lebih.
Keberadaannya, sentuhannya, hatinya, dan lainnya…
Aku menginginkan yang lebih dari ini.
“Natsumi.”
“……Riichi.”
Tanggapan lemah dan halusnya membekukan sekujur tubuhku dari kepala hingga ke kaki.
Lalu, aku memiringkan kepala.
Untuk bisa lebih dekat padanya.
Dan menyampaikan perasaanku.
“Mmmh”
Ini merupakan ciuman yang penuh dengan rasa cinta, ciuman untuk merasakannya.
Penuh dengan kasih untuknya, sekuat rasa inginku padanya.
Karena aku menginginkannya, aku jadi sangat mengasihinya.
Aku tidak mau menyakitinya.
Yang kedua jauh lebih penuh dengan rasa cinta dibandingkan yang pertama.
“……”
“……”
Baik kepala maupun hatiku dipenuhi oleh Natsumi.
Tak ada lagi ruang untuk hal lainnya.
Pada saat ini, rasanya hanya Natsumi dan aku saja yang ada di dunia ini.
Kami melepas bibir kami dan saling memandang satu sama lain.
Mata lesunya.
Pipinya yang diwarnai oleh perasaan cinta.
Mulutnya yang sedikit terbuka. Semua itu sangat mengundang nafsuku.
Makanya, kata-kata ini keluar dari mulutku secara tak sengaja.
“Aku mencintaimu, Natsumi.”
Seketika, perasaan yang penuh warna cinta dan gairah mengisi diriku.
Sekujur tubuhku gemetar karena perasaan gembira yang timbul bukan dari memeluknya maupun menciumnya.
“Ya.”
Kata-kata dari mulutnya terdengar tersedu.
“Aku juga.”
Perasaan yang tidak mampu dia tahan pun keluar dari setiap kata-kata yang diungkapkannya.
“Aku mencintaimu. Aku mencintaimu juga, Riichi.”
Kemudian, dunia pun kehilangan bentuknya. Hanya ada aku dan Natsumi yang ada dalam pandanganku.
“…!”
Aku menutup mataku, berusaha untuk menyampaikan kebahagiaanku.
Aku merasakan nafas panasnya pada wajahku.
Panasnya membara, membakar, dan menghanguskan…
Gairah mengisi kekosongan di antara kami.
“Agh─”
Kemudian, Natsumi memuntahkan darah.
Bahkan sebelum mataku menyadarinya dan terkejut, dia perlahan sudah mulai tumbang. Dengan tubuhnya yang jatuh dalam rangkulanku, rambutnya terurai, memberikan pesona yang luar biasa hingga tak terasa nyata.
“Astaga…kenapa…… Bukankah ini seperti mimpi itu……?”
▼
“──!”
Lalu aku bangun.
Perasaanku campur aduk saatku mengambil ponsel pintarku dan melihat layarnya. Terpampang jelas kalau tanggalnya ’22 Desember’.
“Haaaaaaah”
Dengan mengeluarkan erangan, aku kembali jatuh ke kasur.
Mimpi apa barusan? Aku rasa aku sebelumnya mengalami mimpi saat Natsumi mati dan bangun, tapi sepertinya itu mimpi juga, dan hasilnya pun masih sama. Tak biasa aku mimpi buruk dalam mimpi buruk lagi, tapi, aku tidak mau mengalami itu lagi. Atau mungkin déjàvu dalam mimpi, dan aku tidak sadar kalau aku sedang bermimpi?
Entahlah.
Tidak seperti di mimpi pertama, kami berciuman di mimpi kedua. Yang berarti, di yang ketiga…
“Kalau begitu, mungkin perlu aku coba sekali lagi. Atau, justru ini yang kali ketiga?”
Kalau begitu, daripada mulai dari tanggal 22 Desember, aku inginnya mimpi itu dimulai dari saat itu di tanggal 24. Aku tidak perlu ada pembukaannya dulu.
“Apa sekarang jangan basa-basi lagi dan langsung pergi saja ke sekolah?”
Mungkin di hari setelah esok aku akan bangun dengan delusi bodoh lagi. Dengan kamera di tangan, aku berjalan ke balkon sampai merinding karena kelewat dingin.
“Dingin!”
Tapi, mengabaikan hal itu, aku melihat melalui jendela bidik dan kepalaku langsung lebih dingin.
“──”
Saatku berkonsentrasi, seluruh indraku menajam dan nyaman sekali rasanya. Rasanya seakan seluruh indraku seperti yang aku telah rasakan tadi, tapi mengabaikan hal itu, aku menghadapkan fokusku pada pemandangan di hadapanku.
Banyak lampu jalan ditempatkan di barisan rumah-rumah. Burung pipit bertengger di saluran listrik, dan di depan kawasan perumahan tersebut adalah kawasan bisnis yang sejajar dengan Gedung pencakar langit. Dan di pusatnya berdirilah Menara Abies yang menembus langit.
Jalan kota Misono kini kembali disinari mentari pagi di musim dingin. Sinarnya melewati kegelapan mutlak dengan suasana tenang, bahkan kerumunan di bawah sana dimandikan warna tenteram.
Pagi biasa dengan suasana khas ditambah dengan kelesuan dan kesibukan.
Banyak orang mengekspresikan diri mereka karena ini memanglah saatnya hari baru dimulai.
──klik!
Bunyi sekelebat dari rana kamera elektronik menyentuh gendang telingaku dan setelah menuntaskan rutinitas harianku, yang perlu aku lakukan tinggal berganti pakaian dan berangkat ke sekolah.
Aku kembali ke kamar dengan berpikir begitu, tetapi setelah aku melihat majalah kamera yang ditinggal di meja, secara spontan mengulurkan tanganku untuk mengambilnya.
“Juara Pertama – Kuroe Riichi”
Kata-kata ini juga diiringi oleh foto Natsumi.
Foto yang aku ambil di atap tempat semua bermula merupakan mahakaryaku. Tetapi alasan aku tidak begitu puas dengan hasil apresiasi tingginya mungkin karena aku merasa berdosa sudah mengikutsertakannya tanpa meminta izin padanya terlebih dahulu.
Aku mengikutsertakan foto ini saat aku masih melindur. Pagi itu pun aku malah bangun terlalu pagi supaya bisa bertemu dengannya secepat mungkin.
“Kalau begini tidak akan ada yang berubah.”
Sadar aku akan telat jika tidak pergi sekarang, aku segera berganti pakaian.
Lalu, datanglah saat makan siang. Kami makan siang di ruang sepi atas permintaan Natsumi yang masih tidak bisa menghilangkan gelar penyendirinya.
“Kenapa kamu tolak?”
Natsumi seperti tidak senang dengan pilihanku yang menolak untuk ditugasi sebagai fotografer untuk pamflet buat murid-murid baru, dia tampak kesal raut wajahnya. Foto-foto yang aku ambil hanya sebatas hobi semata. Harusnya orang-orang juga tahu; lebih baik seorang profesional saja yang mengambil tugas itu.
“Tapi foto yang kamu ambil ini akhirnya dipajang juga di pamflet untuk murid baru, ‘kan? Itu gara-gara gurunya juga pikir kalau fotonya bagus. Apalagi menang juara satu, lo.”
“Itu, ‘kan, kebetulan. Juara satu pun, hadiahnya jadi batal karena aku ikutsertakan fotonya tanpa bilang-bilang kamu dulu, ‘kan?”
“Kamu ini terlalu jujur. Ceroboh juga, jujurnya. Bukannya justru lebih bagus kalau kamu terima saja?”
Waktu dia mengatakannya, rasanya aku pernah mengalami ini.
“Natsumi. Bukannya kita sudah pernah membicarakan soal ini sebelumnya?”
“Eh, masa? Aku tidak ingat, sih.”
“Ah. Berarti aku yang salah paham.”
Kami sudah membicarakan pernah membicarakan soal aku yang dapat juara satu beberapa kali. Mungkin ingatanku tercampur dengan salah satu kejadian itu. Apalagi, entah di musim panas atau gugur pun, kami banyak bersama dari awal bertemu di musim semi.
“Ah, Riichi.”
“Hm?”
“Ada nasi di pipimu.”
Jari-jari yang tadi diulurkannya menyentuh pipiku. Ada sebutir nasi di jari kecilnya dan tanpa pikir panjang, dia masukkan itu ke dalam mulutnya.
“Bilang dulu, dong.”
“Tadi sudah, ‘kan? Ada nasi di pipimu.”
“Jangan begitu bilangnya, dong!”
“Eh? Kamu malu pasti, ya?”
“Berisik!”
Waktu istirahat makan siang pun berakhir dengan tenang oleh percakapan kami soal hal-hal ringan.
“Omong-omong, yang kemarin kata kamu itu sudah oke, ‘kan?”
Keluar helaan nafas secara tak sengaja karena topiknya beralih lagi.
“K-Kenapa begitu!?”
“Pakai tanya…jelas, dong. Sudah berapa kali kamu bawa-bawa masalah ini?”
“Ya tidak apa-apa, dong? Lagian aku khawatir. S-Soalnya aku belum pernah janji untuk k-kencan sama cowok sebelumnya…”
Hm? Bukannya aku pernah lihat Natsumi beraut wajah seperti ini sebelumnya?
“Ih, Riichi, jawab, dong!”
“O-Oh. Maaf. Aman, kok. Jam sebelas di depan stasiun, ‘kan?”
“Ya, betul. Nanti, kita sama-sama lihat hiasan cahaya dari Menara Abies.”
“Iya, tahu. Betul juga, sepertinya aku belum pernah lihat hiasan cahaya waktu Natal.”
Biasanya aku tidak ada keinginan untuk melihatnya, padahal setiap tahun selalu jadi bahan pembicaraan orang; tepatnya, sih, tidak ada gunanya berjalan-jalan waktu Malam Natal, jadi aku tidak pernah keluar.
“A-Aku juga. Makanya tahun ini pokoknya aku ingin kita lihat sama-sama……Oke?”
Waduh, apa ini? Entah kenapa senang rasanya. Ada juga rupanya perempuan yang mau mengeluarkan kata-kata manis ini untukku.
“Malam Natal tahun ini pasti menyenangkan. Kita manfaatkan waktunya baik-baik.”
Malam Natal.
Berbanding terbalik dengan Natsumi yang sedang penuh semangat, aku merasakan perasaan déjàvu yang lebih kuat dari yang telah aku alami sebelumnya.
Apa ini?
Apa yang terjadi?
Aku tidak mengerti, tapi kata-kata ini terasa tidak mengenakkan bagiku.
“Aku mencintaimu. Aku cinta kamu, Riichi!”
Kata-kata yang asalnya dari mimpiku pagi ini terangkai dalam pikiran.
Mengalami déjàvu tentang mimpi buruk… saat sedang dalam mimpi buruk bukanlah sesuatu yang menyenangkan.
“Riichi?”
Suara yang penuh dengan perasaan khawatirnya menyadarkanku kembali.
“Kamu kenapa? Kamu pucat sekali.”
“A-Ah. Aku tidak apa-apa. Cuma ingat mimpi tadi pagi.
“Mimpi?”
“Bukan apa-apa. Waktu bangun cuma kurang enak saja.”
“Oh, iya?”
Raut wajahnya Natsumi tampak memuram, hanya saja bagaimana bisa aku menceritakan mimpi itu padanya? Terlebih, hanya karena aku melihat mimpi itu, bukan berarti akan terjadi juga di dunia nyata. Malah kenyataannya, Natsumi akan terus hidup dan ada di sisiku seperti yang sudah terjadi selama ini.
Makanya, tidak perlu khawatir, ‘kan?
Kian bertambah hari, kian menumpuk mula déjàvu pada saat-saat mengerikan ini, dan seperti yang sudah-sudah, keesokannya pun terjadi lagi untuk yang ketiga kalinya. Karena bimbang, aku sampai mencari tentang hal ini di internet, dan ternyata tidak jarang terjadi, sehingga aku abaikan. Jadi, ini bukan lagi perasaan kalau aku pernah mengalami ini sebelumnya, tak perlu lagi aku hiraukan.
Kemudian, Malam Natal tiba. Akulah yang paling pertama sampai di tempat pertemuan kami, dan sensasi itu kembali menyerangku. Aku pernah melihatnya. Jalan yang telah dihiasi ini, pemandangan ini. Pernah aku lihat sebelumnya, pasti…
“Maaf, Riichi. Lama, ya?”
Lalu, setelah aku lihat cara Natsumi berpakaian, perasaan itu menjadi sebuah keyakinan.
“Kenapa… pakaian ini…”
Dia menggunakan korset rajut putih yang rapi dan kencang meliputi dadanya dan sebuah mantel merah sebagai lapisan terluar. Dia juga mengenakan rok. Sudah jelas. Aku pasti sudah pernah melihat pakaian ini sebelumnya.
“Apa kelihatan…aneh?”
“Ah, bukan. Tidak, kok. Cocok untuk kamu.”
Tapi aku tidak bisa mengungkapkannya padanya.
“Ehehe. Pakaian kamu juga bagus, kok. …Jalan, yuk?”
Aku mengikuti Natsumi dari belakang, yang sudah mulai berjalan dengan semangatnya, kami berjalan menuju distrik perbelanjaan; tapi, pertanyaan-pertanyaan ini terus-menerus terngiang-ngiang dalam pikiran.
Kenapa?
Bagaimana?
Bukannya yang dia pakai sekarang ini yang dia kenakan di mimpi itu? Kenapa sekarang dia pakai juga?
“Riichi, lihat! Imut banget tidak, sih?”
“Yang mana—eh…”
Yang Natsumi tunjuk adalah sebuah manekin yang dipajang di jendela etalase. Tapi, tunggu sebentar. Bukannya aku pernah lihat ini juga sebelumnya? Waktu itu, Natsumi menunjuknya dengan riang.
Aku memastikan kondisi sekelilingku dengan perasaan tak tenang.
Orang-orang datang dan pergi dengan lagu-lagu Natal dari sekeliling kami. Bagiku, orang-orang yang sedang berjalan di sini sangat menakutkan.
“Riichi? Ada apa?”
“Ah, bukan apa-apa. Maaf.”
“Ayolah. Bisa, tidak, jangan dulu mengkhayal yang aneh-aneh untuk hari ini?”
“Y-Ya. Sudah, kok…eh, Natsumi?”
“…boleh?”
Dengan malu dia merangkai tangannya dengan tanganku, kami berjalan bersama dengan riang tanpa melepas genggaman kami. Hanya berjalan pada lingkungan dengan warna-warna Natal seharusnya memberikanku kebahagiaan, tapi entah kenapa aku tidak bisa tenang.
“Riichi, coba makan ini.”
“Y-Ya, enak, ini.”
Karenanya, aku harus sampai memaksa diriku untuk bisa mengeluarkan kata-kata itu saja.
“Hei, masuk kafe ini, yuk.”
“Boleh. Tempatnya nyaman juga.”
Bahkan senyumku bisa dibilang dipaksakan juga.
Dengan kesenangan yang aku sembunyikan, ada rasa gelisah yang tak bisa aku keluarkan. Aku merasa terbebani, seakan ada sesuatu yang tidak bisa aku keluarkan dari hati.
“Riichi, lihat. Matahari terbenamnya indah.”
“Ah, sudah jam segini, ya?”
Hal itu terjadi di saat aku mengatakan kata-kata itu. Seketika, serangan déjàvu terkuat, yang lebih kuat dari tiga hari ke belakang, menerjangku.
Pemandangan ini, kata-kata yang kami lontarkan, dan perasaan yang aku tambun. Semua ini saling bercampur dan mulai saling menderam dalam kepalaku.
Aku tidak kuat lagi. Apa iya aku harusnya tidak hirau pada hal yang membuatku gelisah separah ini…?
“Natsumi, kita pindah.”
“Mau ke mana?”
“Kita cari tempat yang mudah untuk lihat Menara Abies.”
Sebetulnya aku berencana untuk membawanya ke sekolah, untuk melihat Menara Abies menyala dari sana. Akan tetapi, rasanya lebih baik tidak. Soalnya, Natsumi sudah mati dua kali di atap itu, jika mimpi di hari sebelumnya juga aku hitung.
Maka dari itu, meski aku cari tempat lain, ragu aku akan temui toko-toko yang masih buka, apalagi di hari ini.
Dengan ide-ide ini dalam pikiran, aku menghadap ke jalan yang paling mencolok, yang paling banyak orangnya di distrik perbelanjaan.
“Wah! Bagus sekali, Riichi. Indah.”
Seperti yang dikatakan Natsumi dengan semangatnya, pemandangan yang ada di jalan ini di luar ekspektasiku. Sampai-sampai aku lupa dengan kegelisahanku untuk sesaat.
Jalan batuan dari paving block berada mengisi sepanjang jalan. Di kedua sisinya, yang mana jalan ini memiliki lebar sekitar empat lajur jalan, pohon ginkgo yang tadinya dedaunannya masih daun-daun dari musim gugur berjejeran. Setelah musim berganti, setiap pohon-pohon ini memiliki hiasan-hiasan yang berkilauan.
Dan di ujung jalan ini adalah Menara Abies, yang kami tunggu-tunggu, menyembul tinggi.
Pemandangan yang cukup, atau tepatnya sangat indah ini membuat siapa pun yang melihat meninggikan suara mereka untuk mengapresiasi keindahan ini dan berhenti untuk mengambil foto di sini.
“Kita berfoto juga, yuk.”
“Ah, eh. Jangan terburu-buru.”
Natsumi yang masih penuh dengan gairah mendekapku dan mengangkat ponsel pintarnya dan mencoba memosisikan kami ke dalam layar.
“Riichi, lebih ke sini. Aku ingin ambil gambarnya.”
“Iya, iya, jangan tarik-tarik.”
Orang-orang yang melihat kami dari jauh mungkin akan merasa resah, tapi ini Malam Natal. Aku harap mereka mengabaikan kami.
“Lihat, lihat, Riichi, hasilnya bagus, lo.”
“Natsumi, hari ini kamu senang banget, ya. Jangan sampai kamu sakit gara-gara terlalu semangat.”
“Aku ini bukan anak-anak! Aku tidak apa-apa, kok. …Ah.”
“Ah…”
Waktu mau lihat apa yang ada di layar ponsel pintar, tentunya kita perlu mendekatkan wajah pada ponsel pintarnya, dan karena kami berdua, wajah kami jadi sampai saling bersentuhan. Wah, bahkan ada pasangan yang sampai berciuman di samping kami.
“A-aku jadi teringat waktu itu. Waktu kita bertemu di atap sekolah.”
Natsumi juga curi-curi pandang ke pasangan itu sambil memainkan rambutnya.
“Y-ya. Betul juga. Waktu itu juga seperti ini.”
Bukan hanya karena kami sedang dekat. Jantungku berdetak begitu kencang dan pipiku sudah mulai memanas, tapi bukan hanya karena itu saja.
“Natsumi.”
Saatku panggil namanya, yang dikomandokan oleh jantungku yang berdegup seperti bel alarm, aku merasa nada bicaraku berbeda dari biasanya.
“Apa, Riichi?”
Bahkan jawabannya pun memiliki pesona nan beda dari biasanya.
“Aku mencintaimu.”
Aku mengatakannya dengan cara yang bisa dibilang tak sengaja.
“Ya.”
Dia mengangguk dengan suara sendu.
“Aku juga.”
Perasaan yang tak bisa dia tampung lagi meluap-luap di setiap kata-katanya.
“Aku mencintaimu. Aku mencintaimu juga, Riichi!”
Kemudian, dunia pun kehilangan bentuknya. Hanya ada Natsumi yang ada dalam pandanganku.
“…!”
Dengan harap bisa mengutarakan kebahagiaanku, aku menutup mata.
Aku merasakan nafasnya dari balik mataku yang tertutup.
Panasnya membara, membakar, dan menghanguskan…
Gairah mengisi kekosongan di antara kami.
“Hei, lari!”
“Jatuh!”
“Awas!”
Mataku terbuka karena teriakkan-teriakkan dari orang-orang di sekitar kami, saat itu aku melihat pohon yang ada di sisi jalan tumbang.
“Natsumi─!?”
“Riichi─?”
Natsumi pun dilahap olehnya di hadapan mataku.
“Eh?”
Suara dentuman tiba-tiba menyambar telingaku saatku tertegun. Bau terbakar yang tak terbiasa pun mengikuti.
“Terbakar!!!”
Meskipun orang-0rang meneriaki aku, aku tak bisa bergerak. Di sana aku benar-benar tak mampu berpikir karena sangat terpukul. Barulah ketika seseorang menarik tanganku, aku kembali tersadar.
“Ah….Aaaa….Aaaaaaaaaaa!!! Natsumi, Natsumi, Natsumi!!!”
“Berbahaya, cepat menyingkir!!!”
“Awas! Natsumi di sana… Natsumi…!!!”
Setelah mendengar ledakan itu.
Dan setelah melihat pohon ginkgo yang terbakar, akhirnya aku tersadar. Ini bukanlah mimpi. Dan pohon ini memang benar-benar terbakar di depan mataku… dan tadi ada Natsumi di sana.
▼
“─!?”
Lalu, aku terbangun dan memeriksa ponsel pintarku dengan gempar.
Tanggalnya menunjukkan tanggal ’22 Desember’.
“Waktu…kembali lagi…?”
Gumamanku terbawa oleh suasana kosongnya kamarku.
Halo bang
hai
Absolute cinema✋😐🤚