Share this post on:

Prolog

Penerjemah: Sakamiyo

Sialan. Jantungku berdetak terlalu kencang.

Kenapa aku setegang ini!?

Padahal aku sudah berkali-kali berada di situasi ini bersama Natsumi, bahkan aku sampai sudah membaca banyak artikel tidak jelas di internet tentang bagaimana cara mengatasi situasi ini.

Tanganku masih tak tertahan keringatnya. Bukannya justru hari ini katanya yang terdingin di musim dingin ini? Aku malah kelihatan payah begini!

Tenang.

Aku harus tenang.

Mana mungkin berjalan mulus kalau begini.

Oke, pertama, tarik nafas dalam-dalam. Aku mengisi paru-paruku dengan udara dingin musim dingin, deliriumku pun pasti akan mereda.

“Hei, hei, Riichi.”

Tanpa acuh pada kondisiku yang lagi kacau balau, Natsumi memanggilku dengan riangnya.

Mantel merah dan rok mini yang dia kenakan berputar ketika berbalik untuk melihatku. Headphone besar yang menjadi ciri khas darinya berada di leher seperti biasa; tetapi, mungkin karena dia terlihat walau dengan seragam yang biasa kulihat, dia tampak lebih imut hari ini.

“Y-Ya, ada apa?”

“Lihat. Indah, lo!”

“Y-Ya.”

Waduh, parah banget itu, ‘kan!?

Ayolah, aku! Lihat pemandangan dari atap sini.

Seluruh kota bersinar terang seperti Pohon Natal yang berada di depan stasiun. Bahkan Menara Abies, yang telah bersiap untuk dinyalakan dari jam 7 malam, terlihat dengan jelas dari atas sini.

Kota Misono telah didandani untuk perayaan Natal, dan aku kok belum siap dengan jawaban yang lebih pas!?” Apanya yang “Ya”! Memangnya tidak bisa aku bilang sesuatu yang terkesan lebih pas!?

……………….

………….

…….

Sepertinya memang mustahil kali, ya?!

Selama tujuh belas tahun hidupku, aku belum pernah punya pacar, dan tentunya juga aku belum pernah berdua dengan cewek di malam Natal.

Jadi, karena itu, tidak sepatutnya untuk menyuruh orang sepertiku untuk jangan gugup.

Maksudku, lihat saja.

Dia ini imut sekali, mimik riang dia sampai seakan dia yang gugup waktu pertama kami ketemu itu seperti hanya kebohongan, dan bahkan wajah dia sekarang lebih cerah ketika melihat pemandangan yang ada di depan matanya.

“Kamu sudah berubah.”

“Eh, apa? Riichi, kamu bilang apa?”

“Biasanya kamu kelihatan seperti landak.”

“H-Hah!? Maksud kamu apa!?”

“Ya itulah, apa lagi? Benar juga, sekarang lebih mirip tupai, tahu, tidak?”

“T-Tupai katamu, aku tidak seimut itu, kok.”

Aku yang mengatakan semua itu, tapi membuat dia jadi tersipu malu seperti ini malah membuat jantungku berdetak makin kencang, padahal sepertinya dia tidak tahu sama sekali.

“Kamu bilang begitu, tapi kamu sendiri begitu juga, lo, Riichi?”

“Masa?”

“Waktu kita pertama ketemu, kamu tidak mau melihat mataku sama sekali, bisa-bisanya ya kamu yang mengejek aku karena sudah berubah?”

“Berisik! Aku cuma lagi ada masalah.”

“Memangnya kenapa, sih? Tidak keren dan cuma bikin kamu kelihatan pemalunya, tahu.”

“Dasar, kamu, ya!?”

Aku mengejar Natsumi yang kabur dariku dengan senyum jahil yang seakan bertuliskan “pembalasan”.

Tawa kami bergema di atap yang diterangi dengan cahaya rembulan.

Sangat senang dan ramai rasanya, dan dibandingkan dengan musim semi kemarin aku rasa jarak di antara kami telah sedikit memendek, tidak, cukup jauh memendek sebenarnya.

“Hei, tunggu!”

“Tidak bisa~ Tangkap aku, dong.”

“Dasar!”

Malam Natal.

Kami hanya berdua di atap sini.

Ini hari libur sekolah dan tidak mungkin ada orang yang akan datang kemari.

Itu kenapa, sekarang, tempat ini hanya untuk kami berdua.

“Kena kamu.”

“Kyaa~”

Di saat kutangkap tangannya, Natsumi kehilangan keseimbangan dan jatuh padaku. Saat aku memeluk dirinya, jantung kami berdetak seiringan.

Aku tidak tahu apakah itu karena aku yang lagi berbunga-bunga karena berhasil melakukannya atau karena apa yang ingin kulakukan setelah ini.

“…….”

“…….”

Langsung setelah ketenangan sesaat, rasa tegang pun menguasai diriku. Tangan yang memegang tangannya Natsumi juga telah secara spontan menguatkan cengkeramannya. Itu kenapa aku yakin pasti telah dia rasakan juga.

Hal yang akan aku coba lakukan sekarang.

“………”

Dia menatapku dengan nafas tertahan. Terisikan dengan perasaan antisipasi dan rasa gelisah, ketegangan dan rasa gembira. Pipinya merah, matanya berair. Wajah anggunnya memanas seakan dia tengah mengharapkan sesuatu.

“Natsumi.”

Tapi suaraku gentar walau aku telah mempersiapkan diri.

Tenggorokanku kering, dan pipiku memerah.

Sialan.

Jantungku memang berdetak terlalu kencang.

“……Riichi.”

Bahkan suaranya yang memanggilku membawakan perasaan yang tak biasa.

Bibirnya yang tertutup rapat tampak  memilukan, dan meskipun bibirnya hangat dan lembap, entah kenapa rasanya bisa membeku kapan pun.

Tatapan redupnya melihatku seakan menginginkan sesuatu, namun padanya juga terdapat rasa malu.

Dia tampak kikuk dan tersipu, itu kenapa perasaanku meluap:

“Aku mencintaimu, Natsumi!”

Dan aku mengubahnya menjadi kata-kata dan menyampaikannya.

“……”

Dengan mata yang membuka lebar,

“Ya.”

Natsumi mengangguk sekali.

Suara gemetarnya menggaung di dalam hatiku.

“Aku juga.”

Kata-kata yang dia keluarkan membuat hatiku gemetar.

“Aku juga mencintaimu. Aku juga mencintaimu, Riichi!”

“…!”

Aku memeluknya dengan segenap tenaga.

Lagi pula, tidak ada lagi alasan untukku menahan perasaan ini lagi.

“Aku mencintaimu, Natsumi! Aku mencintaimu!”
“Ya. Ya. Aku juga. Aku mencintaimu juga!”

Sialan, apa ini, kenapa aku sangat Bahagia!?

Aku benar-benar tidak mengerti!

Aku tidak tahu kalau ada perasaan nyaman dan penuh gairah yang tak bisa kita hindari.

Hei, kalau… kalau Tuhan memang ada,

“Aku harap waktu bisa berhenti. Natsumi, aku benar-benar bahagia sekarang!”

“Aku juga, aku bahagia juga! Kalau saja waktu memang berhenti.”

Dengan begini, kebahagiaan kami saling bertemu.

Saling berpandangan, hatiku terasa ringan dan geli yang dikarenakan terlalu banyak menerima kebahagiaan.

Kami bertukar senyum,

Kemudian,

“Agh──”

Natsumi memuntahkan darah.

Di depan mataku yang telah terbelalak akibat terkejut hingga tak bisa memahami apa yang telah terjadi, Natsumi mulai tumbang. Di balik rambutnya yang terurai dengan gemerlap yang tampak tidak semestinya, terdapat Menara Abies yang dari sebelumnya bersinar hanya diam melihat kami berdua.

Di saat aku menangkap tubuh Natsumi yang roboh, aku berpikir.

──Begitu, ya, ternyata darah sehangat ini.

Dan dengan begini, pada pukul 18:47, Natsumi menemui kematiannya yang pertama.

Share this post on:
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments