Share this post on:

Bab 2

“Kenapa kamu tolak?”

Astaga, aku sama sekali tidak mengerti.

Kenapa bisa begini?

Di hadapanku berdiri Natsumi dengan cemberut sambil makan bento porsi kecilnya. Mau itu karena lagi kosongnya ruangan ini, atau keberadaannya itu sendiri, aku merasa begitu yakin kalau ini bukan cuma kebetulan.

Bukan hanya itu.

Pagi ini, sebelum datang ke sekolah, di dalam kelas, saat makan siang dan di waktu-waktu lainnya aku terus menerus diserang oleh perasaan Déjàvu hingga aku sangat bingung. Aku cuma merasa pusing karena sensasi itu, seakan lembaran-lembaran ingatanku terus dibalikkan dengan kecepatan yang gila cepatnya.

“Ya tidak apa-apa, dong? Lagian aku dapat peringkat pertama karena kebetulan, toh, itu pun cuma hobiku.”

Bahkan kata-kata yang aku lontarkan seakan aku sedang membacakannya dari naskah, meski tidak bisa aku yakinkan ini, tapi rasanya seakan bukan aku yang mengatakannya.

Sebenarnya apa ini?

“Ayo, dong, kenapa kamu bilang begitu, sih, Riichi? Padahal kamu ‘tuh berbakat, tahu. Terus, ‘kan, aku, um… t-tahu tidak, a-aku suka foto yang kamu ambil itu…?”

“Kalau kamu saja malu bilangnya mending kamu tidak usah bilang. Aku juga jadi ikut malu sekarang.”

“Hah?! Aku sudah susah-susah, lo, memuji kamu! Jangan buang muka!”

Meski merasa bingung percakapan kami masih terus berlanjut. Yang barusan pun aneh rasanya, seperti aku sedang menonton kembali Film yang pernah aku tonton dulu.

Entah kenapa aku tahu apa yang akan Natsumi katakan setelah ini, aku bahkan tahu apa jawaban yang akan aku beri. Tapi, aneh, dong? Ini dunia nyata, ‘kan, kita bukan sedang memeriksa jawaban dari buku paket yang sudah aku selesaikan berkali-kali, ‘kan? Ada apa ini? Kenapa bisa begini…

“Berisik! Dibilang kamu tidak mengerti soal perasaan orang.”

Ya, setelah ini saja misalnya. Natsumi akan menyodorkan kepalanya padaku, tapi aku terlalu malu untuk ‘nurut dengan keinginannya dan hanya menjahilinya dengan menyentil dahinya.

“……Ya sudah, sekarang puk-puk kepalaku.”

‘Kan. Sesuai prediksiku.

“Ihh kamu ngapain!”

“Pfft, wajahmu aneh sekali.”

“Jahat!”

Ah sial. Mengikuti ingatanku seperti ini membuatku kesal, jadi bukannya aku menyentil dahinya, kini aku justru mencubit pipinya.

“Natsumi.”

“Kita sudahan.”

“Maaf, aku yang salah.”

“Hmf!”

Sambil bibirnya dimanyunkan dia memalingkan muka, namun kelihatan jelas dalam air mukanya kalau dia menginginkan sesuatu.

“Aku bilang maaf, ‘kan.”

“Ah.”

Akhirnya, aku menyerah dan mengelus-elus kepalanya.

Ini juga ada di dalam ingatanku, tapi melihat wajahnya yang merasa begitu puas, aku jadi merasa yang tadi oke saja aku lakukan. Lagi, rambutnya seperti biasa terasa begitu nyaman untukku pegang.

“Kenapa berhenti?”

“Eh, masih perlu aku teruskan? Sudah tiga menit, lo, aku mengelus kepalamu.”

“W-Waktu tidak penting, tahu, untuk hal ini. Yang penting aku bahagia, pokoknya…”

Ya ampun. Yang imut memanglah imut, meski dari awal kamu memang sudah menyadarinya.

“Hari ini cukup dulu. Lagi pula, besok, ‘kan, Hari Natal.”

Langsung terjadi di saat aku mengatakannya.

Dejavu paling kuat yang pernah menyerangku.

Rasanya seperti sebuah kotak dengan ribuan foto dibalikkan secara paksa. Beberapanya, yang dipilih tanpa kehendakku, mengarah pada akhir yang tidak aku inginkan.

“Agh—”

Ya. Darah segar ini terlalu merah dan menyisakan perasaan licin nan hangat pada pipiku.

“Panas—!!!”

Api-api itu menyala, membara dengan terangnya hingga mataku tak terelakkan untuk dibakarnya.

—Duar!

“Riichi……?”

Natsumi menengadahkan kepalanya saat aku tiba-tiba berdiri. Tapi aku tidak kuasa untuk menjawab kegundahan di matanya.

Apalagi… Apalagi, kalau yang aku lihat bukanlah sekedar Dejavu, melainkan sesuatu yang benar-benar terjadi, akankah Natsumi mati… lagi…?

“Ha… Haha.”

Aku tidak bisa membantah kemungkinan tersebut.

Keraguan ini menggentarkan hatiku dengan begitu kuatnya karena memberitahukanku satu buah fakta.

Fakta bahwa Natsumi telah mati beberapa kali.

Fakta bahwa aku sudah melihatnya terjadi beberapa kali, tapi setiap kali itu juga aku meyakinkan diriku bahwa itu hanyalah mimpi.

“Hei, kamu kenapa, Riichi. Kamu pucat banget, lo.”

Dia begitu khawatir padaku, namun tidak mungkin aku bisa mengatakan semuanya begitu saja. Aku merinding namun bukan karena dinginnya musim dingin, atau pun karena tubuhku merasa lemas.

Perempuan ini, yang tangannya mendekap tanganku dengan lembutnya akan tiada. Yang terjadi karena kenaifanku terhadap masa depan yang tidak pasti.

“Natsumi.”

“Kenapa?”

“Soal Malam Natal nanti, kamu pokoknya kamu ingin lihat cahaya dari Tower Abies, ‘kan?”

“Kamu kenapa tiba-tiba tanya?”

“Tolong, jawab saja.”

“Itu, ya, aku pengin. Tapi kenapa tiba-tiba tanya?”

“Tidak, bukan apa-apa.”

Aku duduk dengan agak kasar dan mendekatkan tanganku pada bola nasi yang ada di hadapanku. Saat aku mengunyahnya dengan rusuh untuk mengenyahkan rasa cemasku, asam dari Umeboshi menstimulasi lidahku. Dengan itu, isi kepalaku sudah membaik. Sejauh ini kami selalu bernatal di luar. Kalau begitu.

“Soal Malam Natal, kamu mau tidak ke tempatku?”

“A-Apa? Kok tiba-tiba sekali.”

“Kita juga bisa lihat Tower Abies dari balkon tempatku, kok. Jadi, mau, ya?”

Ya, harusnya aman kalau di dalam rumah. Pohon tidak akan sampai tumbang ke sana, jadi harusnya itu tempat paling aman.

“Riichi, memang, sih, kamu mengundangku, tapi memangnya harus begini? Aku bukan tidak suka kamu yang memaksa. Cuma, um… bagaimana bilangnya, ya, aku juga ingin ada saatnya tersendiri…”

…Dia ini bilang apa? Kenapa wajahnya jadi begitu merah? Aku hanya bilang padanya untuk melewati Malam Natal bersama di rumahku— Ah… jadi itu maksudnya.

“Maaf, Natsumi. Tunggu dulu. Apa, ya, kamu salah paham.”

“Saslah paham katamu? Tapi kalau kamu mengundangku bermalam Natal bersama.. Artinya itu, ‘kan?”

Bukan begitu… memang harusnya begitu, sih, ya?! Tapi sekarang bukan saatnya, ‘kan?! Ya, pokoknya, bukan itu yang ada dalam pikiranku.

“B-Bukan cuma itu tujuanku.”

“…Masa?”

Bagaimana aku bisa membalas kalau matanya memelas begini. Kenapa, sih, justru sekarang tidak ada lagi Dejavu padahal lagi butuh-butuhnya, lo!? …Mungkin sesuatu yang seperti ini belum pernah terjadi pada kami berdua.

“Ya, pokoknya, kamu yakin soal menghabiskan Malam Natalnya di rumah?”

“Ya…”

Tolong suaranya jangan lembut-lembut. Aku jadi semakin tergugah.

Aku bisa sampai begitu tenang untuk saat itu karena jauh di lubuk hatiku, aku merasa kalau semua akan baik-baik saja.

Jauh di lubuk hatiku, aku berpikir optimis. Adegan kematian Natsumi yang aku saksikan untuk ketiga kalinya, dan pengulangan waktu di antara tiap-tiap kejadian itu terasa sangat tidak nyata, jadi pasti semua itu hanyalah mimpi.

Sungguh, betapa bodohnya aku.

Padahal kenyataan begitu sadis, dan tak kenal rasa ampun.

“Riichi, aku malu… matikan lampunya.”

“Y-Ya. Kamu benar.”

Bersamaan dengan suara tombol lampu yang ditekan, pencahayaan di kamar pun mati. Hanya cahaya rembulan dan  gemerlapnya distrik perbelanjaan yang menembus gorden yang  menghindarkan kami dari kegelapan yang tiba-tiba. Bukannya bersantai, aku justru tegang di dalam kamar yang harusnya sudah biasa aku tempati, yang aku yakini karena gemeresik baju yang sampai ke telingaku.

Suasana naik turun ini tidak hanya sampai di telinga, namun juga di hati, sehingga aku tidak bisa bersantai. Tenggorokanku mengeluarkan suara yang agresif, dan jantungku tidak bisa tenang mau seberapa pun aku menghela napas panjang.

“Riichi, sekarang boleh lihat.”

Suaranya terdengar penuh dengan keberanian yang baru dikumpulkan hingga membuat aku terkejut.

“…Jangan lihat…lama-lama.”

Waktu aku berbalik, Natsumi berdiri di sana, dalam kegelapan, dengan hanya dirinya dan pakaian dalam.

“J-Jangan lihat terus…”

“M-Maaf.”

Perawakannya yang rapuh membuatku memalingkan muka karena malu. Tapi di sana tergeletak sweterku yang baru aku lepas, dan ini membuatku menjadi semakin malu tidak karuan.

“……”

“……”

Kami berdiri di sana tanpa berkata-kata, kamar ini penuh dengan nafsu yang membara.

Terdengar suara menelan ludah, tapi aku tidak tahu siapa yang membuat suara itu.

Meski begitu, setidaknya aku tahu kalau kami berdua sama tegangnya.

Aku menghela napas pendek. Aku melihatnya setelah membulatkan tekad, dan di sana Natsumi berdiri sambil memeluk dirinya sendiri tampak lemah.

Pakaian dalamnya yang putih terlalu suci, apalagi jika dibandingkan dengan gelapnya gairahku. Tapi sepasang dada nan berlimpah yang mengisinya memancarkan daya tarik seksual dan  terasa begitu memikat.

“……”

……Sialan, aku tidak tahu harus apa.

Kejadian-kejadian sebelumnya membawaku ke dalam situasi ini, tapi sekarang aku harus apa? Bukan, serius. Aku benar-benar tidak tahu. Aku memutuskan untuk mengambil selangkah ke depan, dan Natsumi pun  menahan napasnya. Ekspresi tegangnya semakin menarik keluar rasa sabarku.

“Riichi.”

Matanya yang berkaca-kaca tertuju padaku. Melihat sayu wajahnya membuatku semakin berdebar kencang.

“N-Natsumi.”

“……Ya.”

“Aku mencintaimu!”

Pernyataan cintaku yang tiba-tiba ini menggema di dalam kamar. Aku baru saja menembaknya pas habis kami buka baju, ‘kan? Bukannya terlalu tiba-tiba kalau begitu? Kebodohanku membuatku sampai ingin menangis.

“Natsumi, aku mencintaimu.”

Walau begitu, ini merupakan hal yang perlu aku sampaikan padanya, entah mau secanggung apa pun atau sepayah apa pun itu jadinya.

“…Riichi.”

Natsumi jadi malu akibat bahagianya ini meski berasal dari ungkapan perasaan yang sebenarnya begitu kikuk.

“Aku mencintaimu. Aku mencintaimu, Riichi.”

Terjadilah di saat dia katakan hal-hal tersebut.

Rasa kejut yang menggema di sekujur tubuhku.

“Ahh!?”

“Apa!?”

Gempa! Di saat itu terbersit di dalam pikiran, rak buku yang ada di kamarku jatuh, seakan mengarah langsung pada Natsumi…

“Natsumi!”

—Gedebuk!

Sampai-sampai mengeluarkan suara yang keras.

Dan di hadapan mataku, Natsumi memancarkan darah dari kepalanya.

“Eh?”

Keluar suara heran dariku saat melihat darah yang terus menerus menyebar di karpet, dan kesadaranku berhenti di sana.

“—!?”

Sekali lagi, aku bangun dengan kasar dan memeriksa telepon pintarku.

22 Desember.

“Kh!”

Dengan dipenuhi rasa kesal, aku melemparnya dan setelah memantul di lantai, ia melayang hingga ke sudut ruangan.

“Bajingan!”

Sekarang, aku sudah tidak tahu lagi untuk apa aku marah. Meski begitu, situasi yang tidak biasa ini memaksaku untuk berkata-kata atau aku justru tidak bisa lebih tenang.

“Apa-apaan ini. Sebenarnya apa yang terjadi?”

Bahkan keluhan kerasku menghilang bersamaan dengan heningnya kamar, tidak ada siapa-siapa yang mendengar kata-kataku.

Hanyalah kesendirian dan kekosongan yang mulai menyerangku. Dari dinginnya kamarku, jantungku juga mulai ingin untuk diselimuti rasa dingin.

“Sebenarnya… kenapa…”

Ini sudah keempat kalinya ini terjadi, jika kudasarkan dari ingatanku… di mana aku melihat Natsumi mati. Dan ini kali kelima ku untuk bangun di pagi hari di 22 Desember.

Aku tidak tahu apa lagi yang nyata dan mimpi. Aku tidak mengerti apa yang terjadi di sini… atau kenapa ini terjadi padaku.

Kenapa dia tiba-tiba saja mati, bahkan di kamarku. Padahal dia di sana, ‘kan? Tadi dia di sana dan bermandikan darah…”

“Uh!”

Ketika pemandangan itu mengisi pikiranku, perasaan mual yang begitu kuat timbul dari dalam diriku. Aku segera lari ke kamar mandi dan menaruh kepalaku di wastafel dan mulai memuntahkan semua yang aku makan semalam.

“Wuek, haah, haah… Keparat.”

Aku terkesiap, mulutku merasakan muntahnya saat aku jatuh ke atas lututku. Kepalaku berdenyut-denyut kesakitan hingga mataku semakin buram. Apa ini? Apa aku sudah tidak berdaya lagi setelah aku terjebak dalam pengulangan ini… jeruji waktu ini? Rasa takut pun mengisi sekujur tubuhku.

“Tolong, siapa pun itu… setidaknya beritahu aku alasannya kenapa…”

Namun nihil, siapa yang mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan itu? Siapa yang mau menjawabku, yang lagi sendirian di dalam toilet sempit ini…

“Aku muak.”

Mungkin karena aku terus-menerus muntah, aku jadi merasakan sesuatu yang tak bisa aku jelaskan bergejolak di dalam diri. Emosi yang bergemuruh dengan dahsyat itu menimpa rasa cemas yang sebelumnya menyerang pikiranku.

Rupanya, aku marah.

Emosi ini sama seperti di saat aku bangun.

Ini adalah amarah yang ditujukan pada keadaan yang tidak masuk akal ini.

Apa penyebabnya?

Apa yang menjadi pemicu dan bagaimana cara kerjanya?

Aku melamunkannya selagi meminum air yang aku ambil dari kulkas.

Kenapa aku terjebak di dalam sini, kenapa aku menderita seperti ini?

Tapi informasi yang aku miliki sekarang terlalu sedikit. Aku hanya cukup tahu kalau aku mengulangi waktu di antara 22 Desember dan 24 Desember.

“Apa dari kematiannya Natsumi?”

Aku tidak punya bukti. Tapi aku yakin kalau aku hilang kesadaran tepat di saat melihat kematiannya.

Yah, aku tidak tahu siapa juga yang menyebabkan semua ini, tapi…

“Paling tidak tunjukkan wajahmu.”

Karena aku tidak bisa melihatnya, aku tidak bisa menganggap semua ini masuk akal.

Tapi mungkin, aku sedikit mendapat pencerahan. Ini memang situasi yang irasional, tapi aku harus menganggapnya rasional.

Situasi apa ini, apa penyebabnya, dan apa yang harus aku lakukan untuk lepas dari kondisi ini. Untuk mengetahuinya, aku harus mengambil tindakan.

“Untungnya, aku punya petunjuk.”

Kemudian, aku pun duduk di depan komputerku.

Untuk apa? Tentu saja, untuk menonton film.

Sekarang ini, aku terjebak di dalam sesuatu yang orang biasa sebut dengan memutarbalikkan waktu, mengembalikan dan pengulangan waktu. Begitu, sih, kalau aku memang tidak lagi mimpi atau gila.

Tapi kalau aku benar, maka bukan masalah. Bahkan orang yang pengetahuannya rendah dalam hal ini sepertiku akan tahu beberapa film dengan tema itu. Kalau aku menontonnya, aku mungkin bisa dapat petunjuk.

“Tapi setidaknya, aku ingin Natsumi tahu.”

“Aku lagi sakit, tidak akan masuk dulu.”

Bahkan waktu aku mengirim pesan ini pun, aku jadi lemas kala mengingat saat kematiannya. Aku merasa bertanggung jawab: aku harus mengambil tindakan agar Natsumi tidak mati lagi.

Saat menyalakan komputer, aku mencari judul-judul film yang bisa aku ingat dan menonton langsung semuanya dalam sekali duduk. Pengulangan-pengulangan yang si pemeran utama hadapi. Jalan pikir mereka, imajinasi mereka, tindakan mereka. Itu adalah semua hal yang perlu aku ketahui. Makanya aku terus menontonnya, berharap aku bisa mendapat suatu petunjuk yang bisa membantuku.

“Riichi, kamu benaran tidak kenapa-napa?”

“Sudah aku bilang iya. Kamu ini khawatir banget, Natsumi.”

Tibalah 23 Desember. Kali ini, aku serius untuk mengikuti kegiatan sekolah dan berpartisipasi dalam agenda bersih-bersih sekolah. Soalnya, kalau sampai dua hari tidak masuk, Natsumi mungkin akan khawatir ada apa-apa denganku.

“Aku juga tidak tahu, tapi kamu masih kelihatan tidak sehat, lo?”

Ya, wajar saja. Aku dari pagi sampai malam suntuk hingga tiba lagi fajar terus menonton film, memikirkan cara untuk keluar dari lingkaran ini.

Karenanya, aku jadi kurang tidur. Cuma karena ini juga alasan kemarin jadi semakin meyakinkan, jadi aku tidak tahu harus bagaimana.

“Tenang. Kalau aku tidur semalaman pasti bakal sembuh, kok.”

“Yakin?”

Natsumi mengamatiku dengan wajah penuh rasa khawatir. Karena aku sudah datang ke sekolah, dia terus saja menanyakan kondisiku setiap kali dia ingat.

“Justru harusnya aku yang tanya, kamu kemarin tidak kenapa-napa? Tidak ada yang mengajakmu mengobrol, ‘kan, kalau aku tidak di sini?”

“A-Aku baik-baik saja!”

“Kedengarannya tidak.”

“Ih, berisik, Riichi bodoh!”

“Aduh, tunggu. Pelan-pelan nanti malah kamu yang sakit.”

Dia mengabaikan peringatanku dan bergerak dengan cepat. Walau tetap aku yang membawa paling banyak, tetap hebat saja dia bisa lari ke atas tangga sini dengan sampah-sampah itu di tangannya.

Di saat aku mengejar rambutnya yang mengibas-ngibas, kami tiba juga di atap. Langit biru yang bersih menyebar di atas kepala kami, tapi angin yang berhembus terasa dingin, dan suhunya tidak cocok bagi orang yang Cuma berbajukan seragam olahraga.

“Dingin.”

“Hei. Pokoknya kita buang in dan kembali, ya?”

Dia segera membuang sampah-sampahnya di saat dia berkata begitu, membuat tumpukan sampahnya semakin membesar.

“Bukannya ini malah jadi kebesaran?’

“Habis, banyak acara, sih, kemarin-kemarin, misalnya saja festival budaya dan olahraga.”

Buktinya, pada tumpukan sampahnya terdapat hal-hal seperti “Yakisoba”, “Rumah Berhantu”, “Tim Merah”, “Papan Skor” dan beberapa tulisan lainnya.

Sudah lebih dari setengah tahun sejak awal aku bertemu dengan Natsumi. Bahkan aku merasa tumpukan-tumpukan ini membawa ingatan-ingatan kami pada waktu ini.

“Kamu bisa melihat Menara Abies dari sini.”

“Ya, kamu benar.”

Alasan aku membawanya kemari di pengulangan kedua adalah karena itu. Aku tahu kalau kami bisa melihat Menara Abies tanpa ada yang menghalangi.

“Semoga besok akan cerah juga.”

“Harusnya. Katanya justru akan buruk cuacanya di hari besoknya.”

“Semoga mereka tidak salah. Ramalan cuaca, ‘kan, tidak selalu akurat.”

“Ini saja sudah dingin. Tidak aneh kalau pun nanti tiba-tiba hujan.”

“Makanya. Mungkin aku harusnya minta Tuan Santa. ‘aku tidak butuh hadiahmu, cukup beri aku cuaca yang cerah besok’, pokoknya begitu.”

“Kenapa kamu ingin minta itu. Bukannya minta hadiah jauh lebih baik?”

“Eh, aku tidak apa-apa, sih. Lagian aku bisa jadi sama kamu, ‘kan?”

Untuk sesaat kata-kata ini membuatku tidak bisa berkata-kata. Dia pasti sudah berubah banyak, karena dia sekarang bisa mengekspresikan perasaannya seperti ini.

“Kamu, kok, jadi kelihatan melankolis begitu?”

“Oh, tidak. Cuma merasa kalau Natsumi si landak sekarang sudah berubah banyak.”

“S-Siapa kamu sebut landak.”

“Memang iya, ‘kan?”

“Tidak, lah!”

Dia menjulurkan lidah, kemudian segera berbalik dan pergi. Ketika aku mengejar punggungnya, sekali lagi aku melihat pada Menara Abies.

Aku tidak akan lagi membiarkan Natsumi mati.

Tibalah 24 Desember. Seperti saat sebelumnya, aku menunggu Natsumi, di tempat bertemu kami di distrik perbelanjaan. Aku ada di dalam pengulangan. Setelah aku sadari itu, aku jadi tidak yakin harus apa dan semua tekanan yang aku rasakan dari janjiku dengannya tidak terasa lagi.

Jauh dari itu malah, aku justru melihat dan mengamati sekitar dengan tenang.

Mungkin ada sesuatu di suatu tempat? Mungkin kalau aku bisa menemukan suatu perubahan yang tidak aku sadari sebelumnya, bisa saja akan jadi petunjuk untuk membuatku keluar dari pengulangan ini.

Rasanya seperti sedang permainan mencari perbedaan gambar.

Tapi film yang aku tonton memberikanku pengetahuan akan betapa pentingnya hal ini supaya aku bisa lepas dari pengulangan ini.

Meski banyak sekali film dengan tema pengulangan waktu, hanya beberapa saja yang menjadi referensi. Kebanyakan ceritanya tentang protagonis yang menghindari takdir petaka sang heroine, mulai dari seutas benang yang kemudian ia terus tarik, membawakannya pada rute yang benar. Wah ia sudah kayak detektif saja! Sinisku, tapi justru itu cara mengatasinya.

“Kamu kok serius begitu?”

“Wuah!?”

Aku melamun sampai-sampai suara yang datang dari sampingku membuatku kejang karena kaget.

“Kamu kagetnya berlebihan, tidak, sih?”

Yang menjawab dengan respons mengejek ini adalah si orang yang hari ini datang terlambat, Natsumi.

“Maaf. Kamu menunggu lama, ya?”

“Tidak juga. Omong-omong, bajunya cocok, lo, buat kamu.”

“M-Masa? Ehehe, terima kasih.”

Tanpa aku sadari, aku jadi bisa mengatakan kata-kata ini tanpa ragu. Kemudian, kami pun melangkah menuju jalanan, bersama melewati distrik perbelanjaan yang padat oleh orang-orang.

Selagi menghabiskan waktu-waktu menyenangkan begini, aku pastikan satu hal yang tercatat dalam pikiranku.

Yaitu untuk menghindari “Aku cinta kamu” darinya.

Tempo hari, setelah aku beres menonton film-filmnya, aku memaksakan diri untuk merenung. Apa yang perlu aku lakukan untuk bisa lepas dari pengulangan ini? Apa yang jadi penyebabnya? Kenapa aku?

Namun sayang, aku tidak tahu apa asal muasal-nya atau pun sebabnya, tapi untuk bisa lepas, aku menemukan satu petunjuk yang aku yakini.

Awalnya, aku mengira kematian Natsumi itu sendirilah penyebabnya. Akan tetapi, kalau aku pikirkan lagi, aku jadi sadar kalau bukan karena itu.

Agh—“

Ketika Natsumi tumbang saat memuntahkan darah.

“Kebakaran—!”

Ketika dia terbakar oleh api.

Dan bahkan di saat terakhir kali, ketika dia tumbang di kamarku, dia mati tepat setelah berkata “Aku mencintaimu,” diikuti oleh aku yang hilang kesadaran dan mengulang.

“Aku mencintaimu. Aku mencintaimu, Riichi.”

Kalau kata-kata yang begitu memikat ini adalah penyebabnya, rasanya begitu menyedihkan. Akan tetapi, jika dengan mengatakan itu Natsumi akan mati dan terjadi pengulangan waktu, maka aku harus menghindarinya.

“Riichi, lihat! Imut, tidak, sih?”

“Iya, imut.”

“Kamu lagi melamun lagi, ya?”

“Tidak, perasaan kamu saja, kali.”

“Bohong. Kamu tadi pasti habis melamun. Sudah, ih, jangan galau terus.”

Melihat Natsumi yang memanyunkan bibir, aku jadi berpikir.

Apa aku memang harus menghindari “Aku mencintaimu”?

Padahal aku begitu mencintainya?

“Tidak, malah sebaliknya, ya…”  gumamku dengan suara pelan supaya Natsumi yang ada di sampingku tidak bisa mendengar.

Aku harus menghindari kata-kata itu karena aku begitu mencintainya. Kalau aku tidak ingin tubuhnya yang tidak bernyawa lagi, aku harus menghindarinya. Betapa pun itu akan membawa kesedihan bagiku.

Lalu, hari pun menjadi gelap setelah kami menghabiskan waktu kami berjalan-jalan.

“Natsumi, kita naik kereta sebentar, yuk.”

“? Mau ke mana?”

“Ke satu tempat bagus.”

“Kok begitu jawabnya,” Natsumi terkikih mendengarnya saat kami menuju ke kereta. Perjalanannya melalui dataran tinggi sehingga kami bisa melihat gemerlapnya Malam Natal dari jendela.

Kereta yang tak berhenti bergoyang-goyang menggemercikkan rasa cemas dalam dadaku.

Sebelum jam 19.

Aku tidak tahu kapan waktunya, tapi, waktu di waktu inilah biasanya terjadi pengulangan. Kalau aku berhasil melewatinya, aku harusnya bisa lepas dari situasi gila ini juga.

Tapi untuk itu, ada satu hal yang pokoknya harus aku lakukan,

“Hei, Riichi. Dingin tidak, sih?”

Saat pintu terbuka, hempasan angin membuat Natsumi lebih menempel denganku. Aku pun mendekap tangannya dan memasukkannya ke dalam saku pakaianku. Jantungku berdebar dengan begitu kencang. Jemarinya yang menjalin jari-jariku seakan dia membutuhkan aku memberikanku sebuah keberanian yang begitu aku butuh.

Tangannya inilah. Untuk melindungi tangannya ini, aku harus menguatkan tekadku.

Tubuh kami yang dipantulkan oleh jendela yang gelap justru sangat berbanding terbalik, justru mengisiku dengan kesedihan. Kenapa, ya? Kenapa, padahal Natsumi terlihat begitu imut dan bahagia, aku melihat kaca jendela ini dengan ekspresi kosong?

Di antara jalinan jari jemari kami dan ekspresi yang kontras, aku kehilangan sesuatu yang harusnya adalah perasaanku yang sesungguhnya.

“Oh, pemberhentian selanjutnya dekat dengan rumahmu, Riichi… Kita mau turun di sana?’

“…”

Tanpa mengeluarkan sepatah kata pun aku menggenggam tangannya yang ada di dalam saku.

Dengan perlahan supaya tidak remuk.

Berharap agar perasaanku akan tersampaikan padanya.

Maaf, Natsumi.

Tapi aku tahu yang akan aku lakukan ini justru adalah suatu pengkhianatan.

Aku akan meminta maaf padanya nanti.

Aku sungguh akan menggantikannya dengan yang lebih baik, dan jika masih belum cukup untuk membuatmu merasa cukup, kamu boleh marah padaku.

Maaf. Aku… benar-benar minta maaf.

Keretanya berlalu hingga di peron dan pintu pun membuka. Beberapa penumpang melewati kami.

“Natsumi.”

“Kenapa, Riichi?”

Suara pengumuman keberangkatan terdengar.

“Hari ini cukup sampai di sini saja.”

Segera aku melepas jalinan tangan kami. Dan di saat pintunya akan menutup, aku turun ke peron. Tanpa menariknya bersamaku, aku meninggalkan Natsumi di kereta. Jari-jarinya, yang bergelayutan di udara dan gemetar dengan penuh rasa sakit, menyatakan apa yang ingin ekspresinya sampaikan.

“Eh?”

Dia kehilangan kata-kata. Mendengar keterkejutannya sangat menusuk hatiku, tapi punggungku masih menghadapnya.

Aku berusaha dengan segenap tenaga untuk menahan diri saat keretanya bersiap untuk berangkat, kakiku yang berusaha untuk kembali padanya aku tahan dengan segenap tenaga. Kalau aku kembali sekarang, semuanya akan sia-sia. Jangan lupa alasanmu turun dari kereta ini.

Kamu mencintainya, ‘kan?

Kamu tidak ingin melihatnya mati lagi, ‘kan?

Kalau iya, gertakkan gigimu dan berdirilah dengan tabah, Riichi.

Dan ketika hari esok tiba, kamu bisa lari ke sampingnya lagi.

Lalu, aku akan bersujud di hadapannya dan meminta maaf dengan sepenuh hati, bilang kalau aku berbuat salah… dan… dan, mungkin dia tidak akan percaya, tapi aku akan coba untuk menjelaskan situasi ini padanya, dan-

“—“

Rasa syok tanpa suara keluar dari mulutku. Kenapa? Aku sudah memastikan untuk turun di saat dia tidak akan bisa lagi mengejarku.

“Pengumuman: tombol pemberhentian darurat telah ditekan, kereta akan berangkat setelah keamanan penumpang sudah terjamin. Kami ulangi: tombol pemberhentian darurat telah ditekan, kereta akan berangkat setelah keamanan penumpang sudah terjamin.”

Mendengar pengulangan dari pengumuman ini, aku melihat ke arah pelantang yang terletak di langit-langit dengan syok.

Kehangatan yang aku rasa di punggung merangkulku dengan lebih erat lagi. Kedua tangannya yang tadi aku tinggalkan untuk mengayun-ayun sendiri jadi melekap pada pinggangku seakan tidak akan pernah melepasku lagi.

“Kenapa!?”

“—“

Mendengar pilunya hampir membuat hatiku hancur berkeping-keping.

“Riichi, bilang padaku. Aku salah apa? Aku membuatmu marah? Kalau iya, aku minta maaf. Maaf. Maafkan aku, Riichi.”

Tidak. Bukan karena itu, Natsumi. Justru aku yang harusnya minta maaf, kamu tidak berbuat salah…jadi…jadi…

“Jangan bikin suara yang sedih begitu.”

Ah, ini mustahil.

Aku tidak bisa membiarkannya tersakiti seperti ini.

“Riichi, kamu jahat.”

“Terus?”

Tanpa aku sadari, aku telah berbalik dan memeluknya dengan begitu erat. Ini kulakukan demi menyembuhkan hatiku yang sakit…demi menghilangkan kesedihan yang aku sebabkan padanya, meski sementara.

Tapi…

“Hei, Riichi. Begini, aku ingin bilang sesuatu.”

“Apa?”

Tapi harusnya aku tidak melakukan ini. Karena… aku akan gagal lagi.

“Aku mencintaimu. Aku mencintaimu, Riichi.”

Karena ini akan berakhir dengan Natsumi yang mengutarakan perasaannya. Dan aku akan berakhir mendengar ungkapan perasaannya ini.

Dan ketika saat itu berlalu, aku mendapatkan kepastianku.

Bahwa ungkapan perasaannya,  kata-kata “aku mencintaimu” yang ditujukan padaku, adalah penyebab kematiannya.

Dan tentunya, kenyataan ini tidak akan berubah.

“Keamanan telah terjamin, kereta akan berangkat sekarang. Harap berdiri di belakang garis kuning.”

Karena kalau tidak, ini justru tidak masuk akal, ‘kan? Kenapa bisa kereta yang  baru saja berakselerasi tiba-tiba anjlok? Kenapa membawa Natsumi yang harusnya ada dalam dekapanku ke dalam sebuah kecelakaan, seakan dia dicuri dariku!?

Tidak masuk akal!

Kenapa ini!?

Kenapa Natsumi…kenapa hanya dia?!

“AAAAAAAAAAAHHHHHHH!!!”

Teriakan putus asaku lenyap di langit.

Kesadaranku pun terhenti.

^

Lalu aku bangun di pagi hari di 22 Desember untuk yang keenam kalinya.

Perlahan aku bangun, dan bukannya mengambil kamera seperti biasa, aku secara tanpa sadar mengayunkan tinjuku ke meja. Rasa sakitnya perlahan menyebar di sekujur tanganku.

KENAPA!?

KENAPA, SIH!?

KENAPA INI SEMUA TERJADI, SIH!!!

Gebuk! Gebuk! Gebuk!

Seiring dengan tinjunya, amarahku pun semakin menguat.

Gebuk! Gebuk! Gebuk!

Gebuk! Gebuk! Gebuk!

Gebuk! Gebuk…

Gebuk…

Ketika aku menurunkan tinjuku, kepalaku menjadi dingin seakan semua darahnya jatuh.

Setelah amarahku aku lampiaskan, yang tersisa jadi hanyalah kepala dingin. Sekarang aku sudah menemukan jawaban yang tidak akan aku ulangi lagi.

“Sekali lagi. Kali ini, tidak akan aku biarkan dia sampai mengungkapkan perasaannya.”

Janjiku ini kontradiktif sampai-sampai lucu jadinya. Soalnya, aku, ‘kan, berusaha menghindari perempuan yang aku cintai supaya dia tidak mengungkapkan perasaannya. Mau dipikir bagaimana pun, tidak ada kata lain selain bodoh, ‘kan, untuk sikapku?

Share this post on:
Subscribe
Notify of
guest
1 Comment
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
andi~fathir

dark benner storynya….jadi sedih liatnya