Share this post on:

Kala Peniup Seruling Bergerak Maju, Tikus dan Anak-Anak Mengikuti

Penerjemah: Tidus Taylor

“Tidak … mustahil …!”

Tak seorang pun dapat menyalahkan Michihi ketika unitnya, Hualien, mundur selangkah. Tatkala itu juga, semua Juggernaut menghentikan pertempuran. Para Reginleif punya fitur tautan data. Selama mereka saling berdekatan, mereka bisa berbagi data bahkan dalam gangguan elektromagnetik. Jadi anggota-anggota batalionnya yang berkumpul di sebelahnya, serta batalion Rito sendiri yang bertarung di dekatnya, semuanya menerima rekaman tersebut.

Rekaman mayat seorang gadis muda dalam Lyano-Shu yang Hualien baru saja hancurkan.

Mereka beranggapan kalau Lyano-Shu adalah drone ekstensi yang terhubung ke Feldreß utama Teokrasi. Ukurannya kecil sekali sampai-sampai takkan ada yang percaya manusia bisa hidup di dalamnya. Tapi gadis itu kemungkinan seorang pilot. Mereka bahkan hampir tak tahu dia manusia sebab kondisi tubuhnya yang kini mengerikan. Di atas kepalanya yang sebagian terpenggal, ada dua kepang pirang.

Tentu saja pemandangan mengerikan ini bukan sesuatu yang sama sekali mereka tak kenal. Para Juggernaut yang mereka gunakan untuk melawan Legion dulu pada dasarnya adalah alumunium berjalan, lantas semua 86 sudah melihat tubuh rekan-rekan mereka diledakkan selongsong tank, hangus oleh rudal antitank, atau dihancurkan tembakan senapan mesin berat.

Karena sebegitu seringnya melihat tragedi semacam itu, pemandangan tersebut jadi hal yang melegakan jika tak pernah melihatnya lagi.

Lantas yang membekukan mereka bukanlah keadaan mayat yang menyeramkan ini. Namun fakta tubuh gadis itu yang mengingatkan mereka pada tubuh mereka sendiri.

Walaupun merekalah yang melukiskan gambar ini, 86 membeku.

Tautan data baru saja berhasil mengatasi gangguan dan ikut mentransmisikan rekaman itu ke Vanadis.

“… ya Tuhan.”

Lena tertegun. Keterlaluan. Karena hal ini persis seperti perlakuan Republik kepada 86 membuat Lena jadi sulit memercayainya.

Senjata yang disebut-sebut drone otonom faktanya dipilot manusia. Oleh anak-anak.

Ada yang lebih tidak masuk akal lagi dari ini?

Satu-satunya negara yang sukses mengembangkan mesin tempur otonom penuh setahu Lena adalah Kekaisaran Giad lama. Bahkan Kerajaan Bersatu—asal Model Mariana, basis kecerdasan buatan Legion—menggunakan Barushka Matushka.

Teokrasi secara teknologi lebih rendah dibandingkan kedua negara itu, lantas mereka tak mungkin mengembangkan drone berfungsi dalam sebelas tahun terakhir.

Tapi tetap saja, Lyano-Shu panjangnya cuma seratus dua puluh sentimeter. Bahkan lebih pendek dari Frederica. Jadi Lena yakin tak seorang pun muat di dalamnya.

Tetapi apabila pilotnya adalah seorang anak yang lebih muda dari Frederica, yang masih remaja awal, atau bahkan Svenja yang mendekati umur sepuluh tahun ….

“…!”

Ukuran Lyano-Shu kecil karena Feldreß itu dibuat dadakan dengan terbirit-birit.

“Mereka membuatnya kecil sebab dari awal berencana memasukkan anak-anak ke dalamnya …! Mengurangi bagian luar unit dan menghemat bahan mentah! Ini … buruk! Mereka menggunakan manusia—anak-anak—layaknya suku cadang drone …!”

Hilnå mengangkat bahu tak peduli terhadap dakwaan Lena.

“Kami tak pernah bilang Lyano-Shu adalah drone nirawak. Dan seorang prajurit Republik, dirimu, yang memaksa 86 menjadi suku cadang, tidak berhak mengkritik kami.”

“Terus?! Bukan berarti kau boleh begitu saja—Kau memasukkan anak-anak ke Feldreß, demi Tuhan …!”

“Kami tak punya pilihan …. Nyaris tidak ada lagi tentara dewasa di Teokrasi.”

Semua bawahannya. Para perwira staf korps. Komandan-komandan seluruh divisi, resimen, dan batalionnya. Juga para pilot sedikitnya unit yang tersisa dari Feldreß sah mereka, Fah-Maras tipe 5. Semua orang selain mereka ….

“Tentara negara kami—tombak dewa kami, Teshat, panggilan kami kepada mereka—semuanya hampir habis karena perang sebelas tahun.”

Frederica mengerutkan alis selagi duduk dalam ruang kendali kaki Trauerschwan yang sempit.

“Aku tak memberitahumu karena kau tidak bertanya, Vladilena. Tidak juga aku beri tahu 86, Bernholdt dan Vargus. Menurutku akan jadi pengungkapan paling tak menyenangkan untuk kalian semua.”

Zashya menggeleng kepala dengan pahit, mata ungu Tyrian-nya diselimuti kebencian. Dia tengah duduk dalam kokpit lapis baja tipis Alkonost-nya, bersembunyi dalam puncak menara bangunan keagamaan di reruntuhan kota.

“Benar …. Pangeran Viktor dengan tegas memerintahkan saya untuk jangan mengatakannya jika tak perlu … faktanya, sebab negara ini teramat-amat berbedalah Paduka tidak bisa datang ke sini.”

“Noirya melarang pertumpahan darah,” tutur Frederica. “Memukul sesama manusia dan menumpahkan darah mereka dianggap sebagai dosa yang takkan pernah bisa diampuni. Tidak hanya berlaku pada Shekha, penganut kepercayaan Noirya, namun juga Aurata dan rakyat Teokrasi. Seseorang tidak boleh membunuh orang-orang kafir, orang-orang berbeda etnis, dan orang-orang dari negara lain. Siapa pun dan semua orang berada di bawah perlindungan suci Noirya. Sekalipun orang itu—siapa pun dirinya—menghunuskan pedang mereka ke Teokrasi Suci, seorang Shekha tidak boleh balas menyerang balik.

“Tetapi semua negara perlu pasukan untuk menjaga keamanan warganya. Awalnya, mereka menyewa tentara dari negara-negara barat, namun mereka adalah bagian negara lain. Mereka mengutamakan tanah air sendiri alih-alih Teokrasi dan tidak bisa dipercaya.

“Jadi Teokrasi sadar pentingnya mengorganisir tentara dari rakyatnya. Tetapi Noirya adalah agama nasional. Seluruh rakyatnya mematuhi ajarannya, sehingga tidak ada warga Teokrasi yang diizinkan membunuh manusia lain. Alhasil untuk menyelesaikan kontradiksi ini, mereka memutuskan tentara yang akan mempertahankan Teokrasi dianggap bukan warganya. Mereka dianggap senjata bergerak dan hidup yang dikirim oleh dewi bumi untuk mempertahankan Shekha.”

Maka dari itu, tombak Tuhan: Teshat. Mereka tak dianggap manusia, melainkan senjata ilahi. Jadi walaupun lahir di Teokrasi, aturannya tak berlaku kepada mereka. Mereka bukan Shekha, jadi mereka dibolehkan dengan keras melawan penjajah manapun tanpa menodai keyakinan Teokrasi.

“Teokrasi menganggap dirinya sebagai tanah suci. Tanah yang tidak boleh menodai tangan Tuhan dengan darah. Itulah alasannya baik Kerajaan Bersatu dan Kekaisaran lama pernah menyebut Teokrasi sebagai negara gila.”

“Kekaisaran Giad, Kerajaan Bersatu Roa Gracia, dan negara-negara lain seluruhnya militeristik, mengangkat kecakapan bela diri sebagai simbol kebanggaan. Mereka kemungkinan besar tak menerima ajaran Teokrasi yang menganggap kepemilikan pasukan sebagai dosa. Republik San Magnolia membanggakan dirinya pada demokrasi, di mana pertahanan nasional merupakan tugas rakyatnya dan disamakan dengan simbol patriotisme. Mereka pun mungkin menganggap praktik Teokrasi tak wajar. Negara kami tak berpandangan sama tentang peperangan, yang karenanya membuat kami terlihat layaknya orang asing.” Ucap Hilnå.

Negara gila, Noiryanaruse. Hilnå hanya pernah mendengar desas-desus anggapan tentang negaranya. Seingat dia, barat jauh diputus dari negara lain karena pasukan Legion dan gangguan Eintagsfliege. Karenanya, budaya negara lainlah, alih-alih Teokrasi, yang Hilnå anggap aneh.

“Namun bagi orang-orang di tanah ini … hukum ini sepenuhnya lazim. Bagi Teokrasi, keluarga yang melahirkanmu memutuskan masa depan profesimu, prospek pernikahanmu, dan sisa hidupmu. Takdir seseorang ditentukan dari lahir. Itulah sebabnya anak-anak yang lahir di bengkel Teshat menganggap lumrah takdir yang menjadikan mereka tombak dewi.”

Rezim Teokrasi mengikat garis keturunan yang memiliki atribut fisik tertentu dengan profesi yang paling cocok untuk mereka. Alhasil untuk menjaga kekuatan pasukan mereka, orang-orang yang punya ciri dan kualitas paling cocok untuk menjadi tentara akan dipasok secara berkala ke bengkel, di sanalah banyak wanita Teshat menjadi penempa senjata. Tapi tidak ada perbedaan rumah tangga Shekha dan bengkel Teshat. Aturan yang agak berbeda.

“Kami tak bertindak sebagaimana Republik saat mencap 86 sebagai ternak dalam bentuk manusia. Teshat barangkali tidak dipandang manusia, tetapi dianggap sebagai utusan ilahi. Mereka diperlakukan dengan hormat dan sanjungan di kehidupan sehari-hari. Mereka yang menjadi perwira harus menangani diplomasi dan diberikan pendidikan tinggi untuk melaksanakannya. Shekha tak punya kekuatan militer sendiri, jadi bila kami, Teshat, tidak puas dengan perlakuan mereka, kami sudah memberontak dan menggulingkan Teokrasi dari lama …. Tapi baik kami maupun leluhur-leluhur kami tak merasa demikian. Tidak selama berabad-abad ….”

Teokrasi tak membolehkan seseorang suka-suka mengejar profesi mereka. Konsep itu tidak eksis di negara ini. Jadi tak ada perbedaan mendasar antara warga sipil dan kelas pejuang Teshat. Bagi negara lain, ini dianggap sangat tak biasa, tapi Shekha dan Teshat sendiri tidak menganggap buruk hukum yang mengatur mereka.

Dari semua pertimbangan itu, inilah hasil edukasi mereka. Dan di satu sisi edukasi bisa disebut cuci otak.

Jadi mereka tidak merasa tak puas.

Setelah sepuluh tahun pertarungan, kebanyakan Shekha dewasa telah mati di Perang Legion, bahkan tetua-tetua mereka yang dianggap cadangan, telah dimusnahkan. Membuat Teokrasi ke keadaan tak punya pilihan lain selain mengirim Shekha yang normalnya masih dalam pelatihan tempur mereka ke lini depan. Bahkan kini, Shekha tidak menyesali takdir mereka sekarang.

“… hingga doktrin itu dibalikkan.”

Menurut Korps Angkatan Darat ke-3 Shekha, kata-kata Hilnå dan api yang membara dalam diri mereka dianggap sebagai pengkhianatan. Terutama bagi para perwira pengendali, staf, dan pilot-pilot Fah-Maras yang lebih tua dari dirinya. Sebagian besar pasukan Teokrasi adalah pilot Lyano-Shu, anak-anak yang lebih muda dari sepuluh tahun. Tapi yang memegang komando masih muda semua, sebesar-besarnya adalah pertengahan remaja atau dua puluh tahunan. Kelewat sedikit orang di keseluruhan korps lebih tua dari itu, dan yang lainnya sudah mati. Sebelas tahun pertempuran melawan Legion telah mengikis mereka sampai hampir habis.

Dan mereka diberi tahu itulah takdir mereka. Untuk melindungi orang-orang terpilih yang suci dan tak ternoda serta mematuhi santo yang menjadi jenderal mereka. Jadi begitulah jalan hidup mereka. Setelah diberi tahu demikianlah takdirnya, mereka dengan patuh dan penuh hormat menurutinya.

Bersama santo muda yang memimpin mereka, sebab takdirnya adalah menjadi pemimpin.

Namun doktrin itu ….

Disebabkan serangan skala besar tahun lalu, satu-satunya anugerah yang selamat adalah para bayi. Dan ini memperjelas masa nyawa Teokrasi dalam hitungan jari. Para santo berdiskusi untuk membahas solusinya, kemudian mereka putuskan untuk membuang doktrin. Mereka memilih untuk menerapkan wajib militer kepada Shekha yang sampai sekarang tak pernah bertarung karena agama mereka.”

… digulingkan oleh Teokrasi itu sendiri.

Ucap Hilnå, mata emasnya laksana bintang, terbakar amarah surgawi, dan tatapannya bagaikan api pijar. Dia hampir refleks menyabet tangannya ke udara, membunyikan lonceng kaca di tongkatnya dan lengan baju sutranya berdesir.

“Bersikeras bahwasanya inilah takdir Teshat, mereka nyaris membinasakan kami. Tetapi saat tiba waktunya orang lain melangkah ke meja bantalan memotong, mereka mengklaim bukan takdir yang mengantarkan mereka ke sana. Setelah berkata bahwa peran yang diberikan dewi adalah untuk hidup di medan perang dan menjadikannya dalih tuk mencuri segalanya dari kami, mereka bahkan berani mengambil takdir itu! Menghinakannya!”

 Takdir itu merenggut segalanya dari Hilnå. Surat takdir yang mendorong generasi Shekha selama berabad-abad untuk mengotori diri mereka dengan darah dan menyambut pedang musuh menggantikan rekan senegaranya.

Yang tersisa dari mereka hanyalah takdir hidup di medan perang. Dan takdir adalah kata yang berat. Bebannya cukup berat sampai-sampai segala sesuatu yang telah diambil dari mereka rasanya sepele jika disandingkan.

Namun Teokrasi membalikkan takdir itu. Mereka mencemoohnya, menyebutnya tak berguna, dan memperlakukannya sebagai sesuatu yang bisa dienyahkan dengan remeh. Mereka begitu menghargai nyawa mereka sendiri sampai-sampai tak hanya menolak apa pun tentang Hilnå dan Shekha, mereka sekali lagi merampas segalanya dari mereka.

“Itu tak bisa dimaafkan. Kami takkan menerimanya. Bukan kami yang mencuri segalanya atas nama perang. Takdir kami adalah bertarung sampai akhir, satu-satunya hal yang kami miliki. Seandainya mereka bahkan berhasil merebut itu dari kami … maka kami akan sungguh-sungguh kehilangan semuanya.”

Jadi, jika gantinya adalah kehilangan semua kepunyaan mereka ….

“Biarkan Teokrasi hancur. Biarkan semuanya hilang. Apabila mereka sangat menghargai nyawa mereka, biarkan mereka binasa. Biarkan perang berkecamuk selamanya.”

Biarkan kehancuran seluruh harapan untuk bertahan hidup.

Biarkan terputusnya tangan keselamatan yang terulur.

Biarkan segalanya dan semua orang hilang selamanya.

“Kali ini, kamilah yang merampas.”

Untuk melindungi satu-satunya hal yang mereka punyai—tugas mereka sebagai tentara—kendatipun telah terlepas dari genggaman bersama mereka. Inilah cara mereka membayar negara yang telah membesarkan mereka dengan hidup dan bernapas di perang lalu membuang mereka.

Bunuh diri massal.

Cermin itu pecah.

Kurena merinding.

“Bukan itu ….”

Harga diri untuk terus bertarung. Harga diri yang dipegang erat 86 bahkan saat kehilangan semuanya. Perasaan itu hampir sama.

Mereka kehilangan semuanya di medan perang, jadi mereka hanya harus memberi bentuk, tujuan, dan identitas harga diri yang mempertahankan hidup mereka di neraka itu. Ujung-ujungnya, mereka tak diperkenankan mengharapkan hal lain.

Identik dengan hasrat gelap, samar, dan tak terucapkan yang menginginkan perang tanpa akhir.

Tetapi seidentik bagaimanapun itu, tetap saja lain.

“Membiarkan segalanya dan semua orang mati—bukan itu yang aku …!”

Bukan itu yang diinginkan Kurena. Tapi mungkin saja ada kalanya dia merasa begitu.

Santo muda itu punya khayalan obsesif yang dilahirkan harga diri di medan perang, tak memegang apa-apa lagi. Sampai akhir, membuang segalanya dan seluruhnya. Seperti itulah Kurena andaikan sungguh-sungguh mendambakan medan perang.

Dengan kata lain, Hilnå adalah Kurena yang sebenarnya. Dan kesadaran itu membuat Kurena bergidik.

Kurena menyadari—dan dengan demikian tidak bisa menyangkal—keinginannya sendiri. Menghendaki masa depan itu, walau menghancurkan masa depan yang Shin inginkan.

“… tidak.”

Dia menggeleng kepala dengan cepat. Tidak. Dia tidak mau itu. Meski pernah menginginkannya, saat ini, dia tidak mau segalanya dihancurkan.

Dia tak mau mengharapkan itu.

“Kami … kami tak pernah menginginkan itu …!”

“Bukannya saya tak iba dengan Anda, tapi apa hubungannya dengan perbuatan Anda sekarang?”

Gilwiese memotong perbincangan Hilnå dan Lena dengan desahan.

Tingkat keegoisan ini tidak kuat dia dengarkan. Kalau saja Hilnå bukan anak-anak, dia takkan bersimpati padanya. Hilnå pastinya seorang anak yang terluka dan menyedihkan. Tapi apa gunanya menjeritkannya dengan lebay dan menggenggamnya erat-erat seolah suatu pembenaran?

“Bagi kami, militer Federasi, semua hal yang baru saja Anda katakan sejujurnya bukan urusan kami. Jikalau Anda menginginkan pertikaian internal Teokrasi, maka silakan saja, cabik-cabik satu sama lain. Anda bilang sendiri tadi. Anda bisa saja menyatukan Teshat dan memimpin pemberontakan pada negara Anda sendiri.”

Jika mereka sebegitu butuh tentara sampai-sampai mesti mengirim anak kecil ke medan perang, Teokrasi takkan sanggup melawan korps pasukan yang berbalik melawan mereka. Faktanya, mereka bahkan tak perlu sampai memberontak. Mereka biarkan saja Legion menerobos dan mengobrak-abrik Teokrasi hingga menjadi abu.

Tapi Hilnå tak melakukannya.

“Kenapa Anda melibatkan tentara Federasi? Kenapa melibatkan 86—yang diperlakukan sama seperti Anda? Kenapa tadi menggagalkan pertunjukkan itu, meminta kami membelot dan membuatnya seakan-akan Teokrasi mengkhianati kami?”

Hilnå tanggapi dengan rasa penasaran. Mayor Günter, ya? Komandan Resimen Bebas Myrmecoleo …. Kok bisa seorang komandan setidak peka ini?

“Kubilang semua orang dan segalanya, bukan?”

Segalanya. Tentu saja Gilwiese tak berpikir gadis itu hanya bermaksud mengambil nyawa Teokrasi.

“Bila kami meruntuhkan negara kami karena tak ingin peperangan kami direnggut … kami sama saja bodoh jika alasannya begitu. Takkan ada yang akan menangisi kami. Tapi semua orang bersimpati kepada 86. Semua orang mengasihani mereka, dan di kematian mereka, semua orang akan menumpahkan air mata penghormatan, benar?”

Dia dengar itulah yang terjadi di negara-negara lain seketika kekejaman Sektor 86 terungkap. Republik yang memaksakan tragedi tersebut ke 86 telah ditandai stigma yang takkan pernah dapat dihapuskan.

“Mereka tentara anak-anak yang semua orang begitu kasihani dan yang ingin membantu Teokrasi berdasarkan kebaikan hati mereka. Tapi Teokrasi mengkhianati mereka, mengeksekusi mereka sebab melawan balik. Nanti akan meninggalkan kesan buruk ke dirimu, bukan? Semua orang nantinya akan terbakar amarah, meneteskan air mata pahit, dan menyalahkan Teokrasi selamanya. Tragedi ideal yang sungguh menyenangkan, betul?”

“Jadi kau melakukan ini untuk menodai nama Teokrasi.”

“Iya. Juga ….”

Biarkan Teokrasi dibenci semua orang.

Biarkan kehormatan dan martabat mereka terbakar menjadi abu.

Biarkan mereka dicap sebagai pengkhianat.

Biarkan hilang kepercayaan dan keyakinan apa pun yang mereka peluk.

Semoga mereka takkan menemukan bantuan.

Semoga Legion melahap mereka semua.

Semoga semua orang merasakan pengkhianatan mereka.

Dan … semoga Federasi kehilangan kepercayaan rakyatnya.

“… bila warga Federasi menyalahkan rezimnya atas pengorbanan tentara anak-anak itu, pemerintah negaramu akan kian waspada terhadap pengkhianatan lalu ragu-ragu untuk menegakkan keadilan …. Negara-negara lain akan kehilangan kekuatan untuk mempertahankan diri dan jatuh satu per satu.”

Hilnå mengucapkan kata-kata itu dengan penuh harapan. Seakan tengah melamun. Bagai seorang gadis yang berusaha mewujudkan masa depan yang diinginkannya.

“Dan kalau itu terjadi, semuanya bisa berakhir …. Semua umat manusia akan punah.”

Sesudah terdiam lama, Gilwiese mendesau.

“—harapan tak dewasa. Bahkan kekanakan.”

“Yah, karena Lena sudah memecahkannya, mereka bisa periksa rekaman komunikasinya nanti, yang mungkin saja membersihkan nama baik Teokrasi,” Hilnå mengakui.

Bicara dengan kata-kata yang memungkinkan Reginleif dan Vánagandr Federasi untuk merekam semua hal yang bisa jadi bumerang Hilnå. Dia memang mengaku berusaha mengibaratkan Teokrasi mencoba merampas tentara Federasi. Sekiranya yang dia inginkan adalah memaksimalkan jumlah korban jiwa, dia harusnya tak mengasihani Lena dan perwira-perwira pengendali lain di pusat komando.

“Tapi bagaimanapun juga, selama seseorang dikorbankan, ya sama-sama saja … kalau banyak 86 yang mati, dan Federasi akan menemukan rekaman ini, kau semestinya amat berharap mereka meyakininya. Karena bagiku ….”

Hilnå cekikikan.

“… kedengarannya kayak alasan lemah.”

Keinginan Hilnå sangat kekanakan sampai-sampai Lena mengejeknya. Layaknya dewi jahat anpa belas kasih yang memegang pedang penghakiman dan penghukuman.

“Hilnå. Kau beranggapan setelah melenyapkan Brigade Ekspedisi, Federasi tetap mau mendengarkan apa pun perkataanmu.”

Suara Hilnå bimbang karena salah paham.

“Komunikasi nirkabel di medan perang ini diblokir gangguan.”

“Iya. Sebagaimana Republik yang tertutup dari segala arah.”

Dan setelah melihatnya, Frederica angkat bicara. Dia, yang memanfaatkan kemampuannya untuk mengintip masa lalu dan masa kini orang-orang yang dia ajak bicara, telah menggunakan kekuatannya untuk mengamati Korps Angkatan Darat ke-2 Teokrasi.

“Sepertinya mereka datang, Vladilena. Kavaleri yang kau tunggu-tunggu hampir sampai.”

Selanjutnya suara seseorang bergema di seluruh medan perang. Suara keras itu bukan dari radio yang masih diganggu, melainkan dari pengeras suara. Suaranya dikotori kebisingan sebab bagian dalamnya kemasukan abu dan debu, tetapi ada warnanada-warnanadanya. Bak suara air yang menetes ke pot tanah.

“Di sini komandan Korps Angkatan Darat ke-2—I Thafaca—dan jenderal suci pertama, Totoka.”

Kelompok ini seharusnya masih jauh. Dia menyiarkannya lewat pengeras suara keluaran besar milik unit pengintai—pengeras suara luar yang tujuannya untuk perang psikologis.

“Kami telah mendengar dan menerima deklarasi Federasi. Kami memandang baik kecerdikan dan niat baik Anda, ratu bijak Divisi Penyerang.”

Hilnå tersentak kaget.

“Mana mungkin …?! Bisa-bisanya reaksi Federasi cepat sekali?!”

Hilnå hanya mngganggu komunikasi radio. Tapi Federasi tak pernah memberi tahu Teokrasi tentang teknologi itu. Dan sebab Federasi bersikukuh dan tegas sekali merahasiakan informasi tersebut, Lena asumsikan mereka tengah was-was pada suatu hal. Makanya, dia tak memberi tahu Hilnå apa-apa, kendati memperlakukan mereka dengan baik.

Mereka juga dilarang mengungkap kemampuan Shin dan eksistensi Sirin. Vika, pangeran Kerajaan Bersatu, tidak berpartisipasi dan mengirim Zashya menggantikannya. Dan akihrnya, Zelene, yang tak ragu mereka bawa ke Negara-Negara Armada, tidak diseret ke Teokrasi sini. Mengetahui semua itu sangat memperjelas kalau Lena tak boleh percaya pada komandan-komandan negara ini.

Dia tahu Hilnå  dan Teshat menghormati mereka, tapi walau demikian—Lena pertama dan terutama adalah komandan taktis Divisi Penyerang. Ratu Bersimnbah Darah mereka. 86 adalah rekan-rekan dan bawahannya, menjaga keamanan mereka adalah prioritas pertamanya.

“Kami punya teknologi bernama Para-RAID yang tak pernah kami ceritakan kepada kalian. Alat komunikasi yang mampu menembus gangguan Eintagsfliege. Federasi telah mengawasi seluruh situasi ini sejak awal.”

Dan terbukti berguna dengan cara yang tak mereka antisipasi; Federasi dapat menghubungi pemerintah Teokrasi dan menekan mereka, jadi biar pertempuran tak berlarut-larut dan mencegah korban jiwa lain. Selain itu, biar transmisi Federasi bisa menembus wilayah Legion, komunikasinya harus disampaikan lewat Kerajaan Bersatu. Artinya Roa Gracia telah menerima kabar kejadian ini juga.

Secara diplomatis, biarpun pertarungannya berhenti di sana, nama Teokrasi belum bersih karena memperkenankan salah satu jenderalnya melakukan hal setakhormat ini. Tapi dikarenakan Federasi mengerti betul keadaannya, Teokrasi kemungkinan takkan dijatuhkan sanksi apa pun.

“Plotmu sudah ketahuan sepenuhnya, Hilnå. Kau kalah. Teokrasi tak akan jatuh. Kau takkan memanfaatkan Federasi sebagai garda depan ambisi kekanakanmu.”

“….”

“Perintahkan tentaramu untuk menyerah. Tolong. Tidak ada gunanya bertarung lebih lama lagi.”

Komandan Korps Angkatan Darat ke-2 melanjutkan. Suaranya terdengar amat muda.

“Menyerahlah, Rèze. Patuhi sekarang, maka hukumanmu takkan seberat itu …. Teokrasi melarang pertumpahan darah. Kita tak ingin melihat adanya hal keji menimpa warga negara Teokrasi.”

Tapi Hilnå tahu-tahu tersenyum dengan cibiran terang-terangan.

“Setelah semua ini kau baru bilang sekarang …? Kalau kau mau ini berhenti, tinggalkan ajaranmu di sini sekarang ini. Meskipun besok juga bisa.”

Hening menghampar mereka berdua, setelah itu komandan Korps Angkatan Darat ke-2 mendesau sekali.

“Baiklah …. Jenderal Suci Kedua Himmelnåde Rèze, komandan Korps Angkatan Darat ke-3, Shiga Toura, dan seluruh bawahanmu. Agama Noirya dan Teokrasi Suci Noiryanaruse dengan ini mengakui kalian sebagai pemberontak. Berikutnya kami ‘kan memberi hukuman atas kejahatan kalian. Dengan demikian kalian akan dijatuhi hukuman mati.”

“…!”

Lena menggertakkan gigi. Komandan korps itu melanjutkan dengan dingin, barangkali tak mengetahui perasaannya atau semata-mata mengabaikannya saja.

“Semua unit Federasi dan Brigade Ekspedisi—kalian diperbolehkan melawan mereka. Federasi tak akan bertanggung jawab atas perbuatan kalian yang mungkin mengakibatkan adanya korban jiwa .”

Tanggapan Gilwiese dingin, ibarat menyimpulkan dirinya sudah tahu takkan disalahkan tanpa persetujuannya.

“Diterima. Biarkan kami pamer dengan menekan pemberontak bahkan sebelum kalian tiba.”

Tapi Lena, sebaliknya, tak memberikan perintah kepada 86 untuk menghancurkan mereka, sekalipun jenderal suci pertama telah menurunkan izin. Benarkah cuma ini satu-satunya cara? Mereka mungkin musuh, tapi mereka tetaplah manusia.

Anak-anak.

Meski harus bertarung, jika mereka bisa menawan Hilnå saja, mungkin dapat mengurangi korban jiwa—

“Jangan menyusahkan diri,” kata Hilnå sambil mencibir, seakan-akan mengetahui niatnya. “Teshat hanya mematuhi suara seorang santo.”

Suaranya kedengaran putus asa, seperti halnya suara wanita tua yang sudah kalah. Walau gaung tawa dan suaranya terdengar unik, seperti suara percikan tetes air. Tak berbeda dengan suara jenderal suci pertama. Kualitas suara unik yang para santo miliki itulah yang pastinya dipatuhi Teshat.

Lena mengepalkan tinjunya. Kalau begitu, seumpama mereka bisa berkumpul kembali dengan Korps Angkatan Darat ke-2 dan jenderal mereka, suara jenderal suci pertama bisa saja menghentikan mereka. Di tak memberi perintah untuk menghentikan pertarungan lebih awal, tetapi mustahil dia seorang yang bisa menghentikannya.

Karena andai demikian, jika seorang komandan korps mati di medan perang, maka tidak akan ada yang mengambil alih posisi mereka. Dengan pemikiran itu, tak mungkin Hilnå satu-satunya yang selamat dari keluarganya. Teokrasi mustahil mengambil risiko itu. Bahwa perintah gencatan senjata belum datang barangkali hanya karena kualitas suara transmisi yang buruk sebab pengeras suaranya rusak, sampai-sampai suara jenderal suci pertama tidak cukup jelas untuk menghentikan mereka.

Tetapi bila mana mereka menggunakan sistem komunikasi nirkabel yang Teokrasi senantiasa gunakan ….

Lena harus mengonfirmasi ini dengan Korps Angkatan Darat ke-2, dan untuk melakukannya, dia mesti berkumpul kembali.

“Vanadis kepada semua unit. Tembus blokade. Kita harus bekerja sama dengan Korps Angkatan Darat ke-2—”

Tapi tiba-tiba, suara seseorang membalasnya. Suaranya dari Para-RAID. Suara seorang 86 …. Tidak, mungkin suara perwakilan semua 86.”

“Tidak.”

Suara yang asal dikatakan, panik, ketakutan … dan tidak dewasa.

“Tidak. Jangan tembak aku.”

Kebalikannya, Jangan buat aku menembak mereka.

Lena terperanjat, lalu mengatupkan gigi keras-keras.

Itu benar. Artinya, Jangan tembak aku. 86 telah dikirim ke kamp konsentrasi saat masih semuda pilot-pilot Lyano-Shu, atau malah lebih muda. Di umur semuda itu, mereka mengalami kekerasan dan pelecehan verbal serta diperlakukan bak tawanan atau binatang ternak. Orang-orang di tanah air mereka yang berseragam biru Prusia menodongkan senjata ke mereka sewaktu masih sekecil itu.

Iya, pendeta itu memberitahunya. Anak-anak, umur tujuh sampai delapan tahun, dihadapkan kekerasan luar biasa sampai-sampai tak bisa melawan. Pastinya pengalaman yang traumatis. Beberapa dari mereka melihat keluarga dan teman sendiri dibantai lalu menyaksikan orang tua mereka jatuh terkapar di depan mata.

86 mau tak mau menyamakan pemandangan itu dengan dirinya sendiri dan kengerian yang telah diukir dalam-dalam ke jiwa mereka sekaligus tentara pelaku di hadapan mereka. Mereka tak mampu menarik pelatuk.

Mereka tak sanggup mendengarnya. Tangisan diri mereka yang lebih muda, memohon-mohon untuk jangan ditembak.

“Tidak … meski begitu ….”

Shin pun yakin dia tidak akan tega menembak mereka, mau itu tentara dewasa atau anak-anak seusianya. Dia masih bisa menjaga ketenangan karena dirinya dan batalion lintas udara bertarung melawan Halcyon dan tak menghadapi musuh manusia manapun. Tapi dia tidak pernah membayangkannya. Melawan manusia di medan perang—membunuh sesama manusia dalam perang.

Menembak orang lain bukan konsep asing bagi Shin. Jumlah rekan-rekan yang dia tembak sudah tak terhitung jari, rekan-rekan yang terbaring dengan luka parah tapi masih hidup. Dia membebaskan mereka lewat kematian. Ada waktunya dia melakukan itu di medan perang Sektor 86, dan memang, bahkan di Federasi juga sama, kapan pun diperlukan.

Tetapi dia tak pernah membunuh manusia karena benci—seseorang yang dia anggap sebagai musuh. Membayangkannya membuatnya merinding. Kali pertama dia menembak 86 lain sampai mati, dia ketakutan. Tindakan menodongkan alat membunuh ke orang lain memuakkannya.

Jadi diharuskan melakukannya, tanpa berniat memberikan orang itu kedamaian kematian atau mencegah mereka dibawa Legion, tak terpikirkan.

Bertarung sampai akhir. Mereka berkali-kali telah mengucapkan kata-kata itu, tanpa sedikit pun kekhawatiran atau rasa bersalah. Namun kini Shin sadar mereka mampu melakukannya karena selama ini Legion lawannya—hantu-hantu mekanis tanpa nyawa.

“Kita tidak bisa menembak orang lain. Tidak bisa melawan … orang lain.”

Selagi para Reginleif berdiri diam, pertempuran Resimen Myrmecoleo melawan Divisi ke-8 dari Korps Angkatan Darat ke-3 dan resimen penyergapan makin mengintens. Faktanya, kelihatannya mulai memihak Myrmecoleo.

“Biarpun sudah menyergap dan memblokade, sekalipun Feldreß-nya dioptimalkan untuk medan perang abu ini, cuma sebesar ini perlawanan mereka.”

Pertempuran ini sepihak sekali sampai-sampai Gilwiese tak menahan lidahnya berkomentar buruk demikian. Myrmecoleo menggilas mereka. Suatu pembantaian.

Vánagandr tak dapat menandingi fidelitas teramat tinggi Löwe atau Dinosauria, tetapi masih dianugerahi kehormatan sebagai senjata lapis baja utama Federasi, pewaris kekuatan militer negara adidaya dunia saat ini.

Vánagandr dilengkapi turet 120 mm dan pelat baja tebal 600 mm. Keluaran besarnya memungkinkan bobot penuhnya mencapai lima puluh ton dan kecepatan jelajahnya mendekati seratus km per jam. Dalam banyak hal, barangkali itu senjata lapis baja paling kuatnya umat manusia.

Teokrasi enggan berperang, alhasil mereka mengembangkan Fah-Maras semata-mata untuk pertahanan diri. Unit pertahanan semacam itu dan senjata mendadak yang adalah Lyano-Shu bukanlah tandingan Vánagandrs.

Selagi berusaha membenarkan postur, Fah-Maras menggelepar di atas abu seperti ikan terdampak. Vánagandrs mendekat bak serigala kelaparan, meledakkan mereka dengan tembakan tepat sasaran. Sesudah laras mereka uas, Lyano-Shu tak berdaya karena terekspos raungan senjata meriam laras halus 120 mm, lengkingan senapan mesin putar 12.7 mm, dan berondong senapan serbu berat.

“Musuh ditekan. Mereka mati kutu sekali sampai rasanya bukan ancaman lagi, Mock Turtle.”

“Mereka punya keunggulan lingkungan dan jumlah, tapi tidak digunakan. Tak ada koordinasi, dan keahlian mereka kurang.”

“Mereka kayak sekelompok tikus mainan. Cuma lari berputar-puter di tempat, sama sekali tidak berpikir.”

“Remehkan tikus, nanti mereka menggigit kalian. Jangan lengah, terutama di sekitar Fah-Maras. Senjata utama mereka cukup kuat sampai bisa menembus Vánagandr jika mengenai sisi samping atau belakangmu.”

Tak banyak Fah-Maras yang dikerahkan, jadi mereka tak terlalu berbahaya. Tapi tetap saja, berbeda dengan Lyano-Shu yang kecil sekali sampai-sampai bisa dipilot seorang anak, Fah-Maras adalah senjata lapis baja bonafide yang sudah digunakan sebelum Perang Legion. Fah-Maras itu dipilot Teshat lebih tua—walau, dari perkataan Hilnå, kebanyakan dari mereka di remaja akhir. Dan karena mereka lebih tua, pengalaman bertarung mereka ada banyak, ditambah mereka adalah pasukan lapis baja musuh berdaya tembak terkuat dan komandannya Lyano-Shu.

Poin-poin itu membuat Vánagandr mengincar dan memfokuskan tembakan ke mereka. Dan benar saja, Gilwiese bicara sebagai Mock Turtle seraya menghadapi satu Fah-Maras yang telah ia tembak. Fah-Maras itu tergeletak loyo di tanah, asap hitam mengepul naik dari blok kokpit yang sisi sampingnya diledakkan.

Sekelompok Lyano-Shu berkerumun di sekitar Mock Turtle ketika formasi mereka berantakan. Mereka tak buru-buru melancarkan serangan balik cepat, tidak juga lari mencari tempat berlindung, takut selanjutnya mereka yang dicecar.

Mereka begitu kewalahan sampai-sampai terdiam di tempat, atau bisa jadi menghancurkan formasi karena takut. Beberapa Lyano-Shu bahkan balik badan sembarangan, melongo melihat unit musuh yang telah mengalahkan komandan mereka. Bak anak kecil bermata bulat yang melihat-lihat ke sekeliling kemudian menyadari kakak mereka hilang entah ke mana.

Oh, Gilwiese menyadarinya dengan pahit. Jadi itu alasannya.

Inilah salah satu alasan dia dan 86 awalnya mengira Lyano-Shu sebagai drone. Tak hanya kekecilan untuk dipilot rata-rata manusia, tapi semua gerakannya kelewat lambat dan kaku. Rasanya semua hal yang mereka perbuat dari bergerak maju hingga menembak, ada jeda waktunya. Ibarat setiap tindakan perlu instruksi eksplisit. Kurangnya fleksibilitas yang tak seseorang perkirakan dari seorang prajurit terlatih.

Seperti halnya tikus mekanik bertenaga pegas, tak bisa berpikir sendiri.

Dalam senjata antitank tak enak dipandang itu ada anak kecil, bayi—tentara numpang nama.

“Kepada semua unit. Fah-Maras adalah otaknya unit musuh, dan Lyano-Shu tidak lebih dari tikus yang mengekor nada seruling mereka. Mereka tak bisa bergerak tanpa ada yang memberi perintah. Fokus kalahkan Fah-Maras lalu habisi Lyano-Shu.”

“Diterima.”

Tidak lama kemudian, unit-unit sinabar berkumpul di sekitar burung abu-abu mutiara yang lebih besar. Sesuai prediksi Gilwiese, para Lyano-Shu panik-bingung dan tertegun tanpa komandan mereka. Jeritan meletus dari pengeras suara luar mereka. Resimennya Myrmecoleo tak paham mereka bilang apa, tapi jelas dari teriakan muda itu mereka jadi anak-anak kelimpungan, kebingungan, dan ketakutan.

Bantu aku. Selamatkan aku. Kakak. Jangan tinggalkan aku. Aku tidak mau sendirian.

Sejenak, Gilwiese tersentak. Tanpa melihatnya pun, dia merasa Svenja meringkuk di belakangnya. Menahan emosi itu, dia mengulang perintahnya.

“Sikat mereka.”

Perintah itu jadi kompetisi kecepatan untuk anggota kompi dan batalion Resimen Myrmecoleo. Mereka memperebutkan gelar yang paling cepat maju dan menekan musuh. Medan perang menjadi tempat berburu, di sana semua orang bersaing memperebutkan mangsa dan kemuliaan. Sorak-sorai dan tawa memenuhi front berabu.

Rentetan peluru PLBTSLS 120 mm terbang di udara dengan kecepatan 1.650 meter per detik, sanggup merobek pelat baja lapis baja 600 mm. Peluru itu sama saja sebuah gumpalan energi kinetik yang bergerak. Meskipun gagal menembus lapis baja Feldreß itu sendiri, tenaganya pasti tetap akan merobek tubuh manusia rapuh di dalamnya hingga hancur lebur. Bahkan tak akan menyisakan mayat setelah ledakan, para penyerangnya lantas takkan menyaksikan mayat anak-anak itu.

Melihat 86 menunjukkan kelemahan dan menghindari pertarungan malah makin memotivasi pasukan Resimen Myrmecoleo.

Kalian lihat? 86 sebenarnya bukan pejuang. Mereka pengecut tanpa tekad sedikit pun. Pewaris sejati kebanggaan dan darah bangsawan Kekaisaran, pahlawan-pahlawan pemberani yang menghadirkan kehormatan ke keluarga kami.

Mereka tertawa terbahak-bahak, bersaing mencari klaim jumlah membunuh terbanyak setelah itu mendeklarasikan nama mereka dengan teriakan lewat pengeras suara eksternal kepada para pemimpin musuh di Fah-Maras.

Bagaikan bangsawan yang sedang dalam olahraga berburu, atau para kesatria tua yang bergegas melintasi medan tempur.

Haus darah gila telah turun ke medan perang.

Melihatnya, 86 berdiri diam. Bukan karena takut akan pembantaian para kesatria ini, tetapi teror terhadap peristiwa traumatis yang terjadi di depan mereka. Ini bukan pertempuran lagi. Ini pembantaian. Pembantaian sepihak.

Sebuah pengulangan jelas akan momen luka pribadi yang telah diukir ke daging hingga jiwa mereka.

Saat 86 dikirim ke kamp konsentrasi, mereka ditodong senjata tepat seperti itu. Waktu itu mereka tak menyadarinya, tapi yang menodongnya adalah tentara negara sendiri—orang-orang yang normalnya ditugaskan untuk membela mereka.

Tiba-tiba, tentara yang persis sama itu menyakiti mereka dengan fisik maupun verbal, mengarahkan senjata ke mereka dengan cemooh dan kebencian.

Mereka membunuh orang-orang untuk memaksa dan menakut-nakuti mereka agar tunduk. Beberapa 86 melihat mereka menembak orang hidup yang masih bernapas untuk hiburan jahat atau humor buruk. Korbannya bisa saja orang tua atau kakak mereka, barangkali teman atau tetangga. Dan mereka tak bisa melawan kekerasan absurd tersebut. Mereka hanya bisa menerima seluruh penghinaan itu.

“… tidak. Bukan ini. Jangan!”

86 tak bisa melawan mereka. Tidak manusia—tidak anak-anak. Mereka tak dapat membunuh diri masa lalu mereka. Dan lebih pentingnya ….

“… kita harus menghentikan ini.”

Mereka harus mengakhiri kekejaman ini. Mereka tak tahan melihat gambaran masa lalu mereka diinjak-injak sampai mati seperti ini.

Mereka mesti menghentikannya. Kali ini, mereka harus hentikan.

Pembantaian sinabar berlanjut. Bangsawan-bangsawan Pyrope bersorak gembira, bersemangat, dan mabuk kegembiraan. Seperti anak laki-laki yang berlari melintasi ladang musim semi yang tenang. Harus mereka lakukan, kalau tidak takkan bisa bertahan. Itu peran mereka. Peran pertama yang dilimpahkan ke bangsawan berdarah campuran yang keliru seperti mereka serta, kesempatan terakhir untuk menembus diri sendiri.

Seingat mereka, mereka dianggap tidak berharga. Semuanya sebuah kesalahan. Kendatipun kelahiran mereka sangat diusahakan, dari reproduksi selektif beberapa generasi, mereka tetaplah blasteran.

Mereka dibenci dan dilecehkan sebab membuat seluruh upaya itu sia-sia. Takdir mereka adalah hidup lebih rendah dari bangsawan Kekaisaran dan kepatuhan mereka kepada darah murni. Hidup di bawah orang-orang yang meremehkan, mengejek mereka, atau darah campuran mereka. Para bangsawan berdarah murni memanggil mereka tak bermanfaat. Parasit. Anjing kampung manusia yang bahkan lebih rendah dari anjing pemburu.

Tak punya martabat, kasih sayang, atau masa depan. Sebagai anak-anak berdarah campuran, keluarga mereka takkan pernah mengakui diri mereka, tidak seorang pun memberikan bantuan atau perlindungan dari kesalahan reproduksi selektif. Mereka dipandang aib yang tidak ditunjukkan ke publik dan dilarang meninggalkan rumah mereka, biar tidak ketahuan dunia.

Mereka cuma punya separuh darah Pyrope di nadi dan impian bahwasanya mereka layak memiliki darah itu. Bahwa mereka adalah pewaris layak dari garis keturunan pejuang Pyrope yang pernah menguasai benua. Bahwa mereka adalah pejuang berani, kuat, dan mulia. Memimpikan diri tak berguna mereka suatu hari kelak akan dimuliakan sebagai para pahlawan.

Lalu tibalah waktu mereka diberi tahu akan diberi kesempatan untuk merealisasikannya. Kesempatan terakhir tuk menunjukkan bahwa mereka adalah para Pyrope yang agung.

Itulah Resimen Bebas Myrmecoleo. Kesempatan pertama dan satu-satunya yang mereka dapatkan untuk memvalidasi eksistensi mereka.

Lantas harus mereka buktikan. Buktikan bahwa mereka adalah pejuang yang layak menyandang gelar pahlawan. Mesti dibuktikan kepada dunia dan lebih pentingnya, pada diri mereka sendiri.

Harus membuktikan impian, idealisme dan sesuatu yang memberikan mereka petunjuk. Mereka membanggakan keturunan pejuang. Gagal menjadi pahlawan adalah pengkhianatan pada identitas itu. Mereka tak boleh membiarkannya terjadi.

Jadi mereka harus menjadi pemenangnya. Kemenangan sederhana takkan cukup. Mereka harus menang dengan kemenangan besar nan mengesankan yang akan seluruh dunia ketahui.

Maka para kesatria berteriak-teriak gila selagi berlari melintasi medan perang untuk mencari mangsa.

Svenja duduk di tengah-tengah medan perang mengerikan ini, tidak diizinkan menarik pelatuk senjata lapis baja dan di waktu bersamaan, tidak dapat bersuka cita atas kegembiraan pertempuran ini. Baginya, terlihat mengerikan. Tetapi tidak bisa memalingkan pandangan. Sebagai anak perempuan Archduchess Brantolote, dia tidak boleh berpaling dari pertempuran.

“Putri! Anda melihat ini, Putri?! Pertempuran kami bagaimana bagi Anda?!”

“T-tentu saja aku lihat!” dia mengangguk dengan mata berair. “Tusukan lembing pertama di parit itu, ya? Tilda, Siegfried!”

Dia menyebutkan nama wakil komandan dan pilotnya selagi mereka bersorak sorai bangga. Dia melihat Vánagandr lima puluh ton dengan bengis menghancurkan Lyano-Shu, gampangnya menghancurkan blok kokpit musuh. Svenja melihat cairan merah dari rongsokan itu.

“Ambroise, Oscar, kerja bagus membunuh mereka satu demi satu. Jadi delapan komandan musuh, ya? Kalian luar biasa juga, Ludwig, Leonhart ….”

“Putri, sudah cukup.”

Melihat upaya beraninya untuk memuji kesatria-kesatrianya meski menahan air mata dan mual, Gilwiese bicara.

“Walau Putri tidak bilang apa-apa, hati Putri sudah bersama mereka …. Tidak usah memaksakan diri untuk berbuat lebih dari itu.”

“T-tapi, Kak, itu peran yang Ayah berikan kepadaku.”

Gilwiese mendecakkan lidah dengan kasar.

“Kenapa Putri begitu terobsesi dengan peran itu …? Tidak ada bedanya sama kerah budak. Mereka memaksakan harapan tuk menjadi pahlawan ini ke kita, ibarat menjadikannya inilah yang kita inginkan.”

Para kesatria dan pahlawan dinyanyikan puisi epik, mengangkat cita-cita luhur akan kebangsawanan dan keadilan. Idealisme yang tak punya tempat di dunia nyata. Mereka dibesarkan untuk mendambakannya dan semata-mata itu …. Benar memang telah menjadi satu-satunya aspirasi mereka.

Hening buruk menyelimuti mereka berdua, bak momen-momen menakutkan sebelum pecahnya kaca. Gilwiese berbalik kaget, menatap Svenja dengan mata membelalak. Wajah cantiknya kehilangan ekspresi, dan suara yang meninggalkan bibirnya seperti suara wanita tua.

“… kenapa Kakak bilang begitu?”

Mata emasnya kosong, hanya memantulkan cahaya, bak cermin yang menampilkan bulan purnama tak eksis.

Ayah sudah bicara. Dan lagi pula, ini peran kita satu-satunya. Jika bahkan kita tak bisa melakukan ini, nanti kita sungguh-sungguh takkan punya apa-apa lagi. Itu peran yang krusial, penting, dan mulia!”

“… Svenja.”

“Kakak juga mestinya sama! Mestinya! Kita semua, tanpa terkecuali, mesti menyelesaikan peran ini! Cuma itu yang kita punyai. Aku, Kakak, semuanya—tidak ada apa-apa lagi dari nama kita. Kenapa bilang kita mesti berhenti?!”

“Karena—”

“Jangan ambil ini dariku! Dan jangan membuang peranmu sendiri, Kak! Karena melakukannya sama saja meninggalkan kami. Yang kita miliki hanyalah peran ini dan satu sama lain. Itu alasan kita selalu bersama, bukan? Kau pun merasa begitu, bukan, Kak? Itulah kita. Anjing liar yang tak punya apa-apa selain rekan-rekan dengan luka sama dan tinggal di satu kandang!”

“…”

Melihat tangisannya membuatnya menguatkan gigi.

Tidak, Svenja, dia … dia juga tidak punya kekuatan untuk menentangnya lagi. Sudah dijejalkan ke dalam dirinya, ke kami, sejak kami terlampau kecil dan muda. Kami tidak sanggup lagi.

Sesuai kata-katanya. Satu-satunya jalan adalah jalan yang memenuhi peran mereka. Resimen Bebas Myrmecoleo tak lebih dari pion perebutan kekuasaan Archduchess Brantolote. Dan bila mana mereka tidak terbukti berguna, sekali lagi mereka akan dipaksa hidup sebagai anjing liar tanpa fungsi.

Jadi biar Svenja dan rekan-rekannya tidak dipaksa kembali ke kandang babi, Gilwiese kudu membantu mereka menjadi pedang yang ‘kan membawa kemuliaan ke keluarga mereka.

… dasar rubah betina menjijikkan.

“Jatuh-jatuhnya, jalan satu-satunya kami … adalah membiarkan kutukan ini mengikat dan memacu kami.”

“Anu, Mayor Günter ….”

Kurena takut-takut membuka mulut. Yang bertanggung jawab menggerakkan senjata raksasa yang dibangun terburu-buru ini sedang tidak dalam kondisi mendengarkan transmisi apa pun yang tak ditujukan ke dirinya, namun Kurena, si penembak, sementara ini tidak banyak pekerjaan.

“Aku mendengarnya. Si gadis Maskot …. Svenja, ‘kan? Dia membiarkan radionya menyala.”

Svenja telah berkomunikasi berkali-kali dengan Frederica dan tim pengendali Trauerschwan dari radio dan nampaknya tak mengubah frekuensi radionya, tidak sengaja dia nyalakan.

Kurena mendengar Gilwiese kehilangan kata-kata. Dia buru-buru mematikan transmisi dan sesudahnya menghubungkan kembali.

“Letnan Dua Kukumila, maaf, tapi bisakah Anda melupakan apa pun yang baru saja didengar? Jika yang lain tahu saya bertengkar dengan Tuan Putri padahal usia saya sebesar ini atau bertindak lemah seperti itu, maka akan berdampak buruk kepada saya.”

“Iya, tidak akan aku kasih tahu siapa-siapa ….” Katanya, tak berusaha memanfaatkannya, mengangguk seolah-olah jadi isyarat hal ini tak penting. “Tapi ….”

“Tapi?”

“Hanya saja, hmmm. Maaf.”

Gilwiese tampaknya terperangah.

“… Anda meminta maaf atas apa, tepatnya?”

“Misalkan aku bawahan Mayor terus mendengar itu, aku akan meminta maaf. Dan … ada orang lain yang harus kumintai maaf karena alasan yang sama.”

“….”

“Aku tak ingin mereka meninggalkanku. Tapi tidak juga mau mengikat mereka denganku. Aku tidak mau mengutuk mereka seperti itu. Tapi … saya yakin sudah bertindak sama seperti Svenja tadi.”

Seakan-akan Svenja memberikan semacam kutukan untuk mengikat Gilwiese padanya, sebagaimana tentara Myrmecoleo mengutuk Svenja sehingga dia tetap terikat kepada mereka. Mereka rekanan, saudara yang membawa luka sama, jadi luka-luka itu telah menjadi hubungan mereka. Kutukan dalam bentuk harga diri, dalam bentuk luka sesama.

Sama seperti ….

Kurena memberi tahu Shin dia tak perlu berubah, tapi sebetulnya, dia hanya memohon padanya untuk jangan berubah. 86 bangga berjuang sampai akhir. Namun di tengah jalan, mereka lupa bahwa harga diri ini bukanlah satu-satunya tujuan hidup—bahwa mereka punya lebih dari satu.

Pertama kalinya, Kurena sadar dia telah terikat kutukan yang bernama harga diri. Tak hanya itu; suatu waktu, dia mulai mengikat orang lain dengan kutukan itu. Dia ‘kan mengikat rekan-rekannya, mengikat Shin, sehingga mereka takkan meninggalkannya selagi mengejar kebahagiaan pribadi.

“Jadi maaf … maaf aku mencoba mengikat kakimu agar kau tidak pergi. Dan, Svenja?”

Kurena tak direspon, tapi berasumsi suaranya terdengar, dia melanjutkan, “Aku tahu itu sulit, tapi jangan gunakan lukamu untuk menyandera kakakmu …. Tolong.”

Jangan terlalu erat memegangnya sampai tak bisa kabur …. Walau rasanya dia barangkali berusaha meninggalkanmu. Karena dia tak mencoba melakukan itu.

Meski Kurena sedikit merasa pengecut sebab mematikan Perangkat RAID sebelum dapat respon. Bahkan selagi mereka bicara, Shin tengah bertarung, dan anak-anak mati. Dia tak ada waktu untuk bicara dengan Gilwiese di saat seperti ini. Jadi dia menarik napas panjang-panjang.

Jangan berubah. Jangan tinggalkan aku. Iya, aku mengharapkan itu.

Dia menyadari keinginan gelap yang diragi dalam benaknya. Mungin saja takkan pernah menghilang. Tapi ….

Aku mau menunjukkanmu laut.

Shin telah menemukan keinginannya sendiri. Dan dia ikut bahagia. Sebagian dari dirinya, jujur ingin melihatnya terjadi. Mengangkat kepala, dia menggertak gigi, menahan sihir pusing mendadak nan menakutkan yang menyapu dirinya.

Bergerak maju masih menakutinya. Dari kecil dia takut bergerak maju. Karena di balik langkah itu, moncong senjata yang mengambil orang tua dan kakaknya boleh jadi menunggunya pula. Momen ketika kebencian akan muncul kembali bisa saja mengintai setelah langkah tersebut, siap merenggut semua yang dia miliki lagi. Dan kemungkinan sekali lagi dia akan ditolak, terluka, dan tak kuasa berbuat apa-apa tentang itu.

Tapi biar begitu.

“Ayo maju.”

Suara itu melintasi medan perang berabu lewat Resonansi Sensorik. Suara penuh tekad, sekalipun ada sedikit ketakutannya. Michihi memanggil nama itu dengan bingung. Dengan sedikit tak percaya. Sulit percaya suara ini dari gadis yang tak lama sebelumnya begitu terpuruk dan sedih setelah operasi terakhir.

“Kurena.”

“Ayo maju. Kita harus menyelamatkan Shin. Mengalahkan Shana. Dan Lyano-Shu …. Kita juga harus menyelamatkan mereka.”

Kurena pikir sudah tenang kembali, tapi suaranya gemetaran. Dia masih merasa ngeri. Ketakutan melumpuhkannya. Membuat keputusan sepenting itu menyeramkan. Karena nyawa semua orang dipertaruhkan. Bagaimana kalau dia membuat kesalahan? Bagaimana kalau Shin dan batalion lintas udara, Lena, Rito, Michihi, dan pasukan utama brigade—bagaimana kalau mereka semua terbunuh oleh kata-katanya?

Pikiran itu terus-terusan menakutinya.

Terlepas dari itu ….

“Bila orang suci itu atau siapalah bicara pada mereka, harusnya menghentikan anak-anak itu, ‘kan? Kalau begitu minta kehadiran santonya Korps Angkatan Darat ke-2. Kami berangkat ke posisi menembak Trauerschwan, jemput Shin sehabis mengalahkan Shana, dan berkumpul kembali bersama Korps Angkatan Darat ke-2 untuk menghilangkan gangguan elektronik. Jika melakukannya, pertempuran melawan anak-anak itu akan berakhir …. Kita bisa hentikan ini.”

Kami bisa mengakhiri pembantaian berdarah anak-anak yang sama seperti kami.

“Kita … kita tidak boleh membunuh diri kita sendiri lagi. Kita harus hentikan semuanya. Baik pertempuran ini, dan perang bego yang mengekang kita!”

Mendengarnya berteriak, seseorang berbisik. Baginya bukan jawaban sebab bisikan itu mereka arahkan ke diri sendiri, ibaratnya untuk menegaskan ulang sesuatu.

“… itu benar. Ayo.”

Orang lain mengikuti. Atau mungkin, semua orang.

“Ayo.”

Demi teman-teman mereka. Demi rekan-rekan mereka, sejauh manapun. Demi Teshat yang tak bisa pergi. Dan lebih pentingnya—demi diri mereka sendiri. Mereka mungkin takkan mampu menyelamatkan diri muda mereka, tapi bisa menyelamatkan anak-anak di hadapan mereka sekarang.

Seandainya mereka bisa membantu anak-anak itu, biarpun sedikit, meskipun tidak seorang pun menyelamatkan mereka sewaktu masih kecil … maka itu pun sudah termasuk suaka bagi diri mereka sendiri.

“Ayo.”

Demi menyelamatkan rekan-rekan kami. Kami di masa lalu.

“Ayo!”

Mendengar teriakan dan sorakan 86, Lena menyeringai.

Ayo.

Jika begitu, maka perannya untuk membuka jalan.

“Mayor Günter. Kami menuju posisi menebak Trauerschwan. Bantu kami menembus blokade. Saya ingin Mayor melebarkan celah di arah pukul tiga, di arah penghubung Divisi ke-8 Korps Angkatan Darat ke-3 dan resimen penyergapan.”

Andaikata mereka terus maju, pertempuran melawan unit-unit Korps Angkatan Darat ke-3 Teshat dan tentara anak-anak tidak bisa dihindari. Lena tak memaafkan pembunuhan anak-anak, jadi sangat menyakitkan baginya untuk menyerahkan beban pertempuran ke Gilwiese dan Resimen Myrmecoleo. Tapi semisal 86 merasa bahwa garis itu tak dapat mereka lewati, Lena akan menghargainya.

Mereka tidak boleh mengutamakan nyawa anak-anak tentara luar negeri di atas unit Federasinya, sekaligus bawahan sendiri—dan rekan-rekannya.

Gilwiese tersenyum pahit, tentu saja.

“Jadi Anda dengan sopan meminta kami melakukan pekerjaan kotor Anda, Reina Berdarah?”

“Iya,” kata Lena tanpa keraguan. “Saya mengakui ini, dan perintah saya tak berubah, Mayor. Sebagai Ratu yang melayani mereka.”

Bebani dirimu dengan dosa ini, agar 86 tak perlu menanggungnya. Ukir ke dagingmu, jiwamu, agar hati 86 tetap utuh. Aku ‘kan mengemban kejamnya menimbang nyawa rekan-rekanku dengan nyawa orang lain. Takkan kubiarkan 86 memutuskan itu, atau tersiksa olehnya.

“Ini akan berujung masalah, Kolonel Milizé. Sayalah yang dari awal berkata akan melakukannya. Jikalau Anda adalah Ratu sang 86, maka saya kakak laki-laki yang memimpin Resimen Myrmecoleo. Memperkenankan orang luar seperti Anda disalahkan menggantikan adik-adik saya akan  menyakiti harga diri kami …. Akan jadi persoalan seumpama kami membiarkan Anda disalahkan atas pembantaian ini hanya karena Anda kebetulan memerintahkan kami melakukannya.”

“….”

“Kami terima, Ratu Perak. Semuanya, kita dapat perintah, jadi ayo tunaikan. Myrmecoleo, semua unit!”

“Saya mengandalkan Mayor, Kapten Kesatria Sinabar. Semua unit Divisi Penyerang!”

Mereka berdua sama-sama memberi perintah. Kapten Kesatria Sinabar ke barisan singa-semutnya, dan Ratu Perang ke pasukan kerangkanya yang dianugerahi nama Valkyrie.

“Pahatlah jalan awan untuk para Valkyrie ini!”

“Lanjutkan mars Anda dengan kecepatan penuh dan bawa Trauerschwan ke posisi menembaknya!”

Sepertinya pasukan utama telah menembus blokade Korps Angkatan Darat ke-3 dan melanjutkan mars. Shin menyadarinya dari gerakan Legion, sekalipun dia jauh dari lini depan Teokrasi, lagi melawan Halcyon.

Pasukan lini depan Legion telah mundur dari pertempuran mereka melawan Korps Angkatan Darat ke-3 dan sedang menuju reruntuhan kota tempat mereka bertempur.

“Lena, ada unit Legion yang berkumpul dari jalur depan pasukan utama.”

Unit Legion itu lebih kecil dari yang mereka perkirakan. Dikarenakan Korps Angkatan Darat ke-3 menghentikan marsnya, dia duga Legion akan mengirimkan kelompok yang jauh lebih besar untuk mencegat pasukan utama Divisi Penyerang. Barangkali, Korps Angkatan Darat ke-2 telah mengirimkan pasukan yang menahan Legion, atau bisa jadi pertempuran Legion melawan Korps Angkatan Darat ke-3 masih berlanjut. Pokoknya ….

“Dan kurasa mereka pasti akan melawan tiga pasukan. Suruh pasukan utama bersiap-siap.”

Shin mendeteksi posisi Legion dengan kemampuannya, beradasarkan itu, Lena mengkalkulasikan rute yang dipenuhi musuh sesedikit mungkin. Tapi walau sudah begitu, barisan Reginleif yang melindungi Trauerschwan runtuh dengan cepat.

Mereka bertarung di wilayah Legion, dan kendatipun musuhnya lebih sedikit dari perkiraan, formasi abu-abu metalik masih sebesar dan semengancam nama Legion. Mengedepankan penjagaan kecepatan Trauerschwan, setiap skuadron Reginleif berpisah dari tim untuk mengalihkan perhatian pasukan Legion selagi melaju di medan perang berabu.

Mereka bertarung dengan semangat juang lebih besar dari sebelumnya. Beberapa saat yang lalu, banyak 86 kehilangan keberanian atau kekuatan untuk melanjutkan pertarungan, dan sisanya merasa keberatan terhadap perbuatan mereka sendiri.

Namun kini sudah tercerahkan. Keberanian mereka kembali.

Sistem navigasi inersia memberi peringatan, memberi tahu Trauerschwan telah sampai di posisi. Pada saat ini, Hualien Michihi tergelepak, kaki depannya mati. Hualien-nya babak belur dan rusak di seluruh bagian. Sisa Reginleif di sekitar Trauerschwan tak tersentuh tidak sampai satu batalion. Semua orang sudah pergi, mengulur waktu atau menahan musuh. Dari jumlah Resonansi, korban jiwanya tak banyak, tapi pertempuran ini jauh di dalam wilaah Legion. Mereka takkan bertahan lama.

“… karena itulah kita harus … menghentikannya di sini ….”

Pertempuran-pertempuran ini. Pertarungan melawan Halcyon, dan pertempuran sia-sia melawan Korps Angkatan Darat ke-3 Teokrasi. Melihat anak-anak mati di depannya, mengingatkannya akan rasa sakit menyaksikan keluarga, teman-teman, dan rekan-rekannya tiada—semua itu melemahkannya. Kurena benci itu. Rasanya memamerkan luka-lukanya ke seluruh dunia. Ibarat berkata semua orang dan siapa pun bisa terluka, dan itu hal yang wajar. Itu memalukan dan buruk.

Masih bernapas berat, Michihi membuang napas panjang-panjang lalu menarik napas lain, meneriakkan:

“Kurena, kami mengandalkanmu!”

Terlintas suatu pikiran di benak Michihi. Jika perang ini berakhir—operasi ini—usai, suatu hari nanti dia mau mengunjungi tanah air leluhurnya. Tentu saja dia sama sekali tidak punya kerabat atau kenalan di sana. Dia tak betul-betul mengenal tempat itu hingga merindukannya.

Tapi ini adalah keinginannya. Keinginan yang dia temukan dan putuskan sendiri.

Di Sektor 86 dulu, mereka tak punya masa depan, jadi setidaknya mereka harus memutuskan cara hidup dan kematian mereka sendiri. Sama dengan ini. Dia menetapkan suatu keinginan untuk dirinya sendiri. Masa depannya, oleh dirinya sendiri.

Kini, mengharapkan kematian di ujung pertempuran tak bisa lagi dia lakukan. Barangkali, bahkan nama 86 akan kehilangan arti seketika semua pertarungan ini berakhir.

Tapi meski begitu. Meski harga diri mereka, pengorbanan mereka, dan luka yang mereka bawa akan dianggap tanpa arti …. Dia tidak ingin menjadi orang menyedihkan yang tak bisa memutuskan cara hidup mereka sendiri. Keinginan sendiri, atau masa depan.

“Ayo akhiri pertempuran ini!”

Kelima railgun Halcyon mendadak mengabaikan batalion lintas udara dan dialihkan ke arah tak terduga. Turet besar itu berotasi, memekik keras dan menjatuhkan hujan percik api selagi mengarah ke selatan. Membidik Trauerschwan—ia telah mendeteksi kedekatannya.

Trauerschwan itu besar, sebesar Morpho, dan purwarupa pula. Tidak mungkin bisa mengelak. Reginleif mulai membombardir Halcyon bersama-sama, berusaha membuyarkan logam cairnya dan dengan demikian mengganggu penembakannya.

Trauerschwan adalah senjata yang umat manusia perkenalkan ke medan perang begitu kedapatan waktu yang tepat. Sebuah senjata baru yang tak terdaftar di basis data Legion. Tetapi railgun tersebut mengenalnya sebagai ancaman lebih mendesak ketimbang Reginleif dan bergerak untuk menembaknya. Akan tetapi, hulu ledak tinggi yang berulang kali membombardirnya telah menghancurkan elektrodanya, memaksa mundur Halcyon.

Cairan perak terhempas ledakan, besinar termakan api sembari menari-nari di udara bak cipratan darah.

Tetapi para Reginleif kekurangan amunisi. Kalau Trauerschwan dihancurkan, takkan mungkin dapat mengakhiri pertempuran ini. Lantas batalion lintas udara mati-matian menembakinya. Semua orang menahan napas, berpikir barangkali mereka akan berhasil. Namun laksana membaca maksud jeda sementara tersebut, satu railgun mengangkat kepalanya.

Johanna. Railgun yang awalnya berisi Shana. Mesin Mikro Cair yang terciprat dari kelima turet berkumpul ke sela-sela relnya. Menggunakan seluruh cairan ini untuk meregenerasi satu railgun akan lebih cepat daripada setiap tetesnya kembali ke railgun masing-masing dan memperbaiki suku cadang yang hilang dari dalam.

Pilihan Halcyon benar. Menggunakan satu momen itu kala pengebomannya usai, Johanna telah menyelesaikan persiapan untuk menembak. Sulur arus listrik menari-nari dengan jeritan memekakkan telinga ketika mengalir di laras bak tombak.

“Tidak akan kubiarkan!”

Momen berikutnya, Cyclops muncul di depan laras. Dia lebih ingin menghancurkan railgun yang semula menampung Shana alih-alih membiarkan Trauerschwan yang melakukannya. Shiden memanjat naik, sekali lagi mengincar bagian robek di turet.

Dia dipercayakan mengurus Johanna. Dia bilang akan mengurusnya.

Jadi kali ini, dia tepati janjinya.

Lantas Shiden muncul di bidikan Johanna. Memicu dan melepaskan pemancangnya untuk mendorongnya naik, dia mengubah posturnya di tengah udara, mengarahkan bidikan senjata utama Cyclops ke lubang menganga laras 800 mm.

Jadi kaliber 800 mm—meriam jarak jauh, ya? Menembak dari jauh dari awal bukan keahlianmu.

Ngaca sana. Kau juga memakai meriam sebar. Kau pun bukan penembak runduk.

Dia kira bisa mendengar jawaban dengan suara dingin.

Aku selalu membencimu, sejak hari pertama kita bertemu.

Suara dingin Shana yang mengatakannya. Hal pertama yang dia katakan ketika bertemu. Mereka senantiasa bertengkar saat itu. Sekalipun semua orang sudah mati di distrik pertama tempat mereka bertugas di Sektor 86, mereka terus adu mulut.

Lain kali, akan kukuburkan mayatmu.

Saat itu kuburanmu yang akan kugali.

Waktu itu, dia tak suka-suka amat sama Shana. Shiden juga dibenci Shana. Karenanya mereka selalu bertengkar. Apa pun yang terjadi, mereka bersaing terus.

Tetapi jika salah satunya mati, satunya akan menggali kuburannya. Itulah satu-satunya hal yang akan mereka lakukan untuk satu sama lain, pasti.

“Yang akan mengistrirahatkanmu … hanyalah aku.”

Pelatuk.

Turet meriam 88 mm Cyclops meraung sesaat lebih cepat dari tembakan Johanna. Mengenai elektroda yang mengamuk di rel seketika itu juga, menyebabkan sirkuitnya rusak.

Turet Johanna, laras tiga puluh meter panjangnya—dan Cyclops yang tepat di depannya—sama-sama terhempas ledakan dahsyat railgun 800 mm itu.

“… dasar bodoh.”

Shin menonton kejadiannya. Seketika mendapat kabar kedatangan Trauerschwan, Shin sekali lagi mulai memanaskan Halcyon. Dan dia melihatnya terjadi. Para-RAID Shiden … mati. Kerlip Cyclops hilang dari tautan data.

Namun mereka tak sempat memastikan kelangsungan hidupnya. Keempat railgun lain bisa menembak lagi jika diberikan lebih banyak Mesin Mikro Cair. Nanti pengorbanan Shiden takkan berarti.

Menggunakan bilah frekuensi tingginya untuk merobek Halcyon, dia memperluas bukaan yang mereka ukir di dalamnya. Entahlah Halcyon butuh berapa lama untuk mengaktifkan lagi railgun-nya. Ketiga unit penekan, Undertker, Anna Maria, serta enam unit di peleton mereka seluruhnya menembak ke Halcyon bersama-sama.

Hujan tembakan, rudal antilapis baja ringan, dan rudal berhulu ledak antitank berdaya ledak tinggi memenuhi perut sang hewan. Raksasa logam sekali lagi jatuh berlutut.

“Kurena!”

Ayo selesaikan pertarungan ini!

“Iya, aku tahu.” Dia mengangguk sebentar. “Michihi, semuanya.”

Mulai dari sini, waktunya dia bersinar.

“Trauerschwan, dikerahken ke posisi menembak!”

Bunyi sejumlah kunci berat yang dibuka mencapai telinganya tatkala dua peredam tolak balik berbentuk luku dikerahkan ke kedua sisi turet bagai sayap burung. Tubuh besarnya menggali ke dalam tanah, memantapkan posisinya dan menendang debu di sekitarnya sampai mengepul. Membentangkan empat sayap besarnya, dia menerapkan posisi burung air yang sedang menjulurkan lehernya.

Layar dudukan kepala di depannya secara otomatis diturunkan. Maksudnya untuk bidikan akurat dan terkoneksi ke sistem pengatur tembakan Trauerschwan. Laras tipis yang panjang—leher yang identik dengan lehernya unggas air—gemetaran selagi sudut bidikannya disesuaikan dengan teliti.

Kurena terbiasa dengan respon langsung Reginleif, jadi rel horizontal dan penyelarasan vertikalnya terasa sangat lambat. Sistem pendingin menyala. Kapasitor terhubung. Sirkuit primer1 dan sekunder2 beroperasi dengan normal.

<<Peringatan. Paparan radar dari tanda inframerah tak dikenal terdeteksi dari jarak lima belas kilometer jauhnya, NNW2.>>

“Aku tahu itu,” bisiknya dengan serak.

Halcyon adalah unit Legion ber-railgun. Dengan kata lain, penerusnya Morpho. Tentu saja punya sistem radar untuk pertahanan diri—

<<Peringatan diangkat. Gelombang radar dimatikan.>>

“—Kurena!”

Begitu mengalihkan perhatiannya ke peringatan tersebut, suara seseorang memanggilnya. Dan dia langsung tahu identitas orang itu. Dia tak akan salah mengira dirinya dengan orang lain.

Shin.

Railgun Halcyon semuanya mati, dan kami sudah memanaskannya lagi, jadi tidak bisa bergerak! Perkiraan waktu sampai reaktivasi adalah 170 detik …. Maaf, tapi aku mengandalkanmu buat menangani sisanya.”

“Diterima—kau bisa mengandalkanku.” Angguknya, suara sedikit malu.

170 detik. Waktu pengisian ulang Trauerschwan adalah dua ratus detik, artinya dia tak punya waktu untuk menembakkan tembakan kedua. Tapi tidak apa-apa. Satu tembakan sudah cukup. Sekarang, hal-hal seperti konsekuensi jika dia gagal, atau pikiran cemas harus berhasil kali ini—benaknya tidak memikirkan itu.

Batalion lintas udara dipaksa berperang lebih lama dari perhitungan mereka. Tapi walau demikian, mereka habis-habisan mempertaruhkan nyawa untuk mengulur waktu 170 detik tersebut. Gara-gara pengkhianatan Korps Angkatan Darat ke-3, Brigade Ekspedisi adalah satu-satunya penghalangnya untuk mengalahkan Legion. Tapi terlepas dari seluruh kejadian tidak terduga itu, rekan-rekannya masih membuka jalan untuknya hingga sampai ke posisi yang direncanakan.

Semua orang mempertaruhkan nyawa untuk membantu Kurena sampai ke sana—jadi pekerjaannya sekarang hanyalah menembak hancur Halcyon.

Itu saja.

Diterima—kau bisa mengandalkanku.

Kurena tersadar, dengan senyuman, bahwa dia berkali-kali mengatakan kalimat itu kepada Shin dari dulu. Di medan perang Sektor 86, dia sering menjawab demikian. Berkali-kali Shin bergantung padanya, mengandalkannya, dan Kurena telah memenuhi harapan itu.

Dia menembak mati unit komandan Legion. Unit pengamat. Arwah-arwah rekan-rekannya yang dipaksa menjadi hantu mekanik.

Kadang kala, paling tidak di medan perang, dari dulu dia menyelamatkan Shin sepanjang waktu. Atau mungkin Kurena sudah melakukannya dari awal sekali, saat membuka hatinya pada Shin dan mengucapkan terima kasih karena telah menanggung rasa sakit Pencabut Nyawa.

Bip elektronik berbunyi keras. Sistem pengatur tembakan memberitahunya kalau lintasan yang diproyeksikan dari tembakannya telah terkunci ke target. Tapi belum pasti. Masih sedikit melenceng.

Semua yang Kurena miliki telah diambil perang ini. Dan karena itulah dia tak boleh kehilangan apa-apa lagi.

Dia meluruskan pandangannya lalu berbisik, seolah berdoa.

“Ayo akhiri ini. Akhiri perang ini dengan tangan kita sendiri.”

Dia remas pelatuknya.

Trauerschwan—railgun pertama yang umat manusia perkenalkan ke medan perang—meraung-raung. Energi kinetik yang besarnya tak masuk akal, mampu memberikan daya ke seluruh kota, mendorong selongsong yang terbang melintasi bumi, tujuannya adalah untuk menembak jatuh raksasa mekanis itu.

Sebuah lengkungan memutihkan tanah berabu bagai kilat petir. Sayap tergulungnya Trauerschwan dan badan metalik raksasa itu memantulkan cahayanya, menggelap. Sepintas, menjadi hitam gelap—layak menyandang nama Angsa Hitam Kematian.

Suara menulikan telinga yang sampai mampu menghancurkan panel kaca, tengah menembus langit.

Sebab dalam waktu sepersekian detik panasnya gesekan terhadap selongsong yang bergerak secepat 2.300 meter per detik membuat rel Trauerschwan jadi melebur dan meleleh, tolak balik tembakannya menghancurkannya berkeping-keping. Countermass3 mengepul dari belakang Trauerschwan untuk mengimbangi tolak baliknya, tetapi gagal mengekang massa dengan tepat dan tersebar ke tanah abu ditemani pecahan-pecahan relnya.

Tembakannya menembus langit berabu, seperti bunga api warna-warni yang pernah dilihatnya di langit malam medan perang. Pecahan berhamburan menangkap sinar matahari, memantulkan pelangi cahaya prismatik.

Dan sebelum pecahan terakhir tergelepar di tanah, panah halilintar tersebut mencungkil bentuk besar sang raksasa di kejauhan.

“Dampak dikonfirmasi,” kata Frederica.

“Serangan langsung lagi. Mengesankan …. Kurena.”

“Iya.”

Halcyon itu terhuyung-huyung. Retakan meluas di sana, asalnya dari lubang raksasa yang ditinju lurus sampai tembus. Tak mampu menahan bobotnya, ia mulai kehilangan keutuhan struktural. Tak ada bedanya dengan melihat sebuah patung besar hancur, sesudah kehilangan penyambung rapuh itu. Halcyon hancur lebur sekacau monster mistis agung oleh kecepatan pukulan amarah dewa.

Selagi Kurena menontonnya lewat layar dari optiknya, terlintas skelebat pikiran dalam benaknya. Sebenarnya dari dulu sudah seperti ini, tapi dia sampai sekarang baru menyadarinya.

Waktu dirinya anak kecil yang dikirim ke kamp konsentrasi, sewaktu orang tua dan kakaknya mati, dia tak bisa balas melawan. Dia terlalu muda, sangat tidak berdaya, dan amat lemah untuk melawan. Hal tak masuk akal apa pun yang mungkin menimpanya tidak bisa dia lawan.

Tapi sekarang keadaannya berbeda.

Bertahun-tahun telah berlalu. Dia beranjak dewasa dan bukan lagi anak yang lemah. Dia punya kekuatan, alat, dan yang terpenting, tekad untuk melawan balik. Melawan Legion dan keputusasaan yang mereka datangkan. Melawan hal tidak logis apa pun yang mungkin mencoba menimpanya.

Jika dia ingin mengakhiri pembantaian ini, dia bisa saja mengakhirinya.

Jika dia ingin melindungi masa depan yang diinginkannya—masa depan yang didambakannya—dia bisa mempertahankan semua itu dari kejahatan apa pun yang umat manusia mungkin arahkan kepada mereka.

Orang-orang dan dunia itu kejam tanpa perasaan. Jahat dan tidak masuk di akal. Tapi meski begitu, dia akan melawan mereka, apa pun yang terjadi. Dia bahkan akan melindungi masa depan mereka.

Kau duduk diam menyaksikan orang tuamu dibunuh.

Iya. Dan dari detik itu sudah menyiksaku. Aku … sejak itu aku ketakutan.

Tapi sekarang aku bisa melindungi mereka. Ayah, Ibu, dan kakakku … dan aku yang dulu.

Gangguan elektromagnetik yang telah menyegel medan perang telah dicabut. Lyano-Shu yang dilengkapi peralatan gangguan telah dihancurkan atau dilumpuhkan. Tanpa menunggu satu menit ekstra, sisi Federasi mulai mengganggu frekuensi yang Hilnå gunakan untuk memberikan perintah ke Korps Angkatan Darat ke-3.

Tak lama setelah itu, suara santo lain memenuhi medan perang, mengendarai gelombang udara yang kini jernih.

“Dengan menyebut ‘’, nama sesungguhnya sang dewi bumi! Kalian semua sang tombak tak bertuhan dari Korps Angkatan Darat ke-3 hentikan liturgi kalian!”

Kata-kata itu ditanamkan ke semua jiwa Teshat selama pelatihan, dengan tujuan mencegah pemberontakan, lalu memaksa mereka mau tidak mau menghentikan pertempuran. Ini tindakan pengamanan yang tak pernah digunakan, tapi pada akhirnya, telah memenuhi perannya.

Menindaklanjuti itu, komandan kedua unti Federasi bicara, mengantarkan pesan yang takkan mungkin mencapai Divisi Penyerang seandainya Korps Angkatan Darat ke-3 menolak perintah jenderal suci pertama.

“Vanadis kepada semua unit Divisi Penyerang. Setelah batalion lintas udara dijemput dengan aman, mundur ke wilayah Teokrasi.”

“Mock Turtle kepada semua unit Resimen Myrmecoleo. Hentikan semua permusuhan dengan Korps Angkatan Dart ke-3 dan bantu penjemputan batalion lintas udara. Bekerja samalah dengan Korps Angkatan Darat ke-2 untuk mengalahkan Legion, kemudian—”

Suara tenor Gilwiese berkebalikan dengan suara lonceng perak Lena. Hilnå diliputi keputusasaan sampai-sampai jatuh terkulai ke lantai.

Wahai bumi. Engkau sang dewi bumi bersayap tanpa kepala.

“Mengapa engkau meninggalkanku …?”

Barulah kala itu komunikasi dari Lena sampai padanya.

“Hilnå. Kau sudah kalah …. Tolong ambil kesempatan ini dan serahkan dirimu.”

Hilnå mencemooh hina suara tulus, khawatir, dan jelas Lena. Sebesar apa kepura-puraannya untuk berbelas kasih bagi seseorang yang mengaku dirinya sebagai sang Ratu Bersimbah Darah?

“Apakah itu belas kasih, Ratu? Setelah aku menghunuskan pedangku kepadamu dan kesatria-kesatriamu?”

“Tidak.” Suara Lena tenang dan lembut, tapi tetap saja tajam. “Yang kuinginkan adalah agar jangan membebani 86 dengan beratnya harapanmu juga bayang-bayang kematianmu. Mereka bukan pahlawan. Mereka adalah anak-anak yang dilukai perang ini …. Mereka sudah sibuk bertahan hidup …. Sama sepertimu.”

Itu benar. Aku tahu itu. Tapi tetap saja, aku ingin kita mati bersama. Aku juga tak mau penebusan dosa untuk kami berdua. Kalau saja kami bisa melakukannya, aku … dan Teshat akan membuktikan bahwa kami tak mampu melindungi diri kami sendiri. Kecerobohan kami bukan salah kami ….

Setelah jeda sebentar, Lena membuka bibirnya lagi.

“Aku dapati satu divisi Korps Angkatan Darat ke-3 diperintahkan menahan Legion selagi pasukan utama Brigade Ekspedisi maju ke penembakan posisi. Mereka tetap mematuhi tugas, melawan Legion.”

“…? Apa maksudmu—?”

“Mereka terus melakukannya biarpun plotmu terungkap, Hilnå. Para bawahanmu menahan sebagian besar Legion. Dan barangkali mereka melakukannya agar Legion tak menghadang pasukan utama. Biar tak ada korban jiwa di antara 86, jadi beban dosamu takkan bertambah.”

“…?!” Hilnå membelalak terhadap kata-kata tak terduga itu.

“Kau tak mau hal lain diambil darimu, ‘kan? Tentaramu sangat menyayangimu, Hilnå. Jangan benci dirimu padahal mereka peduli sekali padamu. Jangan buang tentaramu yang sangat menyayangimu, dengan mati. Biarkan mereka merasa dihargai karena berhasil melindungimu.”

Transmisi diputus. Dan ibarat itu sinyal mereka, beberapa prajurit berseragam abu-abu mutiara—tentara yang bukan bawahannya—merengsek masuk ke pusat komando. Ban lengan mereka punya lambang burung pemangsa. Teshat-nya Korps Angkatan Darat ke-2. Mereka semua membawa senapan serbu yang mulai ditodongkan ke dirinya.

Tapi sebelum sempat melakukannya, Hilnå  meleas tongkat komandonya dan perlahan berlutut.

Mengapa engkau meninggalkanku, dewi bumi? Mengapa engkau mencampakkan bawahan-bawahanku, tanah airku? Aku tidak peduli lagi ….

“Aku tidak boleh meninggalkan para bawahanku.”

Mereka … hanya mereka yang tak meninggalkanku. Terlepas dari segala yang terjadi, ketika seluruh dunia melawanku, mereka setia.

“Kau susah dibunuh tahu tidak, Shiden? Orang lain bakalan mati misal melakukan aksi itu.”

Itu hal pertama yang kau katakan padaku? Aku lebih pengin tak mendengarnya dari orang yang selamat dari misi—dengan nol persen tingkat keselamatan—Pengintaian Khusus.”

Lidah Shiden setajam biasanya, biarpun kenyataannya dia berlumuran darah. Dia masih berdiri sendiri, jadi bagi orang yang lagi terluka, dia sigap.

Butuh beberapa orang untuk membuka kanopi bengkok Cyclops, tapi ketika terbuka, dia melangkah keluar dengan terluka. Shin mengintip ke dalam, melihat Shiden dengan mata menyipit. Wanita itu memang hoki parah soal menghindari situasi mematikan. Dia hampir merasa kesal pada dirinya sebab hilang ketenangan waktu Cyclops tampaknya diledakkan bersama Shana. Bukan berarti dia akan menyuarakan betapa risaunya dia pada Shiden.

“Jadi, Pencabut Nyawa Kecil, pertempurannya gimana?”

“Sudah usai. Kita menunggu unit penjemput.”

Dengan hancurnya Halcyon, unit Legion yang sebelumnya telah bergegas ke reruntuhan kota untuk menawarkan bantuan tampaknya memutuskan mundur ke wilayah mereka. Unit Legion manapun yang masih tersisa di jalan unit penjemput sedang dibersihkan Resimen Myrmecoleo dan Korps Angkatan Darat ke-2. Mereka pun selesai menyapu bersih semua sisa ranjau swagerak di reruntuhan kota, lantas tak ada lagi unit musuh di sekitar Shin dan batalion lintas udara.

Shiden mengangguk, mulutnya mengisyaratkan, oh ya?, terus menggeliat. Tentu saja karena dia babak belur dan memar-memar di sekujur tubuh, dia mulai berteriak kesakitan di tengah jalan dan berteriak energik ketika pulih dari postur canggungnya.

“Aaah, sial! Aku takkan mau beraksi begitu lagi!”

“Tolong jangan. Sudah cukup aku dengar keluhan seumur hidup tentangmu dari Bernholdt.”

Shiden akhirnya sangat menggila. Selanjutnya Shin sekilas menatapnya.

“… kau tidak apa-apa?”

Shiden dipaksa menembak seseorang yang berharga baginya sampai-sampai kehilangan seluruh ketenangan dan kekangan dirinya. Dia balas menatap mata tulus Shin.

Kau tidak apa-apa, Pencabut Nyawa Kecil? Sejak kapan kau mulai mencemaskanku?”

“… lupakan kata-kataku barusan.”

Sebal, Shin turun dari rongsokan Cyclops. Melihatnya berbalik dengan tampang tak nyaman jelas, Shiden memanggilnya.

“Bagaimana bilangnya, ya? Ada bagian serunya, kurasa,”

Shin berhenti, tanpa berbalik melihatnya.

Medan perang. Di sana, ada tempatku di sana, kurang lebih. Jadi pikirku seumur hidup saja hidup di sana. Entah itu di Sektor 86 maupun Federasi.”

Medan perang. Tempat yang begitu gigih mereka tinggali, apa pun yang terjadi. Mereka datang untuk merangkul dan bahkan menempel ke Sektor 86, asal banyak rasa sakit.

“….”

“Tapi kau tahu? Selama kita terus menetap di medan perang … ini akan terus terjadi. Salah satu teman kita bisa saja mati.”

Aku lebih suka tak kehilangan teman lagi seperti kehilangan Shana.

“Aku takkan pernah mau melakukannya lagi. Aku sudah muak sama perang laknat ini.”

Karena itulah ….

Shin mengalihkan mata merah darahnya untuk menatapnya, kemudian Shiden balas, tersenyum riang dan lega.

“Ayo akhiri perang ini …. Hidup di depan kita masih panjang, ‘kan?”

Gilwiese adalah bagian dari unit penjemput batalion lintas udara. Sebagian dirinya ingin para prajurit 86 kembali dengan aman, tentu saja, tapi lebih pentingnya lagi, dia punya tujuan untuk dicapai.

Reruntuhan kota telah dihancurkan menjadi hamparan tanah kosong luas, dengan bisu menyuarakan intensnya pertarungan. Ibaratnya seorang raksasa telah menghujamkan tinjunya ke tanah tanpa henti. Di sana, mereka berkumpul kembali bersama Shin dan batalion lintas udara.

Gilwiese menunggu hingga wakil kaptennya dan Vánagandr bawahan-bawahannya dijemput. Barulah sesudah itu dia pergi menjaga daerah tersebut, mempilot unitnya ke ujung utara reruntuhan.

Bagian utara Teokrasi—titik terdalamnya sektor kosong dalam wilayah Legion. Tempat terjauh yang bisa ditempati tubuh manusia tanpa pakaian pelindung. Kemampuan Cenayang Svenja jauh berbeda dari yang berdarah murni, lantas jangkauannya jauh lebih kecil. Bila Gilwiese tak membawanya sejauh ini, dia takkan bisa mendeteksinya.

“Ketemu, Kak Gilwiese.”

Mata emas Svenja bersinar saat menatap jauh sekali ke utara. Kemampuan Cenayangnya adalah satu-satunya hal yang bisa dihasilkan reproduksi selektif, walaupun cuma setengah. Dia salah satu sedikitnya peramal Heliodor di Federasi dan Teokrasi, sanggup menemukan ancaman dari jauh.

“Jadi sangat samar, tapi ada jejak-jejak warna yang ditinggalkan para Cenayang Teokrasi saat mereka mendeteksinya. Ancaman yang para peramal mereka temukan bukanlah Halcyon.

“… jadi sungguhan bukan. Para perwira staf Federasi tentunya tahu cara menyelesaikan pekerjaan mereka.”

Tindakan dan pergerakan Halcyon, sejujurnya, sangat tak wajar. Sekalipun ia tahu pengintai Teokrasi telah menemukannya, bukan berarti dia harus maju menyerang. Dia mendekat, ibarat menampakkan diri. Laksana memberi isyarat untuk membuka pertempuran.

Selagi berada di sana, perhatian Teokrasi harus tetap terfokus padanya. Lagi pula, wilayah Legion diblokir permanen oleh Eintagsfliege, dan sektor kosong beserta ancaman berabunya menolak masuk seluruh kehidupan.

Tetapi mereka posisikan di sana agar perhatian umat manusia tak ditujukan ke area itu. Halcyon adalah umpan akbar yang fungsinya mengalihkan pandangan umat manusia dari ancaman sesungguhnya yang bersembunyi jauh dalam wilayah.

“Kita harus bagikan temuan ini dengan Divisi Penyerang. Mungkin mereka juga menemukan sesuatu.”

Peran Zashya di batalion lintas udara adalah bertindak sebagai penyampai komunikasi dan memberikan analisis informasi tinggi. Sekaligus ….

“… kerja bagus, para Sirin. Mulai penghancuran diri.”

Para Sirin yang dikerahkan kemarin. Tak dalam Alkonost, tapi dalam bentuk manusia mereka. Zashya menyuruh mereka menginvestigasi suatu area seratus kilometer ke dalam wilayah Legion. Sekarang Zashya memberikan burung-burung pengirim pesannya perintah ini. Sangat disesalkan, tapi mereka tidak boleh membiarkan Teokrasi, atau yang paling buruk, Legion, menyerang mereka.

Informasi optik apa pun yang Sirin dapatkan telah disampaikan dan disimpan dalam Królik. Mereka semata-mata mengamati dari jauh, sebab tidak boleh ketahuan dan tertangkap, tapi sudah cukup untuk analisis.

Menatap gambar di layar sekundernya, dia membisikkan:

“Mengesankan, Pangeran Viktor. Saya menemukannya. Sesuai dugaan Anda.”

Di hadapannya terdapat gambar perancah menara yang menjulang tinggi … dibangun dalam bentuk prisma heksagonal.

Tampaknya Hilnå tak menyuruh orang-orangnya mengejar kru pemeliharaan yang tetap tinggal di pangkalan. Barangkali tak cukup pasukan. Ada sedikit perjuangan, tapi kru pemeliharaan berhasil menjaga Armée Furieuse.

Seketika mereka berkumpul kembali dengan Lena dan kru pengendali, Korps Angkatan Darat ke-2 telah tiba untuk menjaga mereka kemudian dengan hati-hati mengizinkan Vanadis masuk. Tepat di saat mereka akhirnya merasa cukup aman untuk bersantai sedikit, mereka mendapat kabar bahwa unit penjemput telah berkumpul kembali dengan batalion lintas udara. Segera setelahnya, Para-RAID Lena ditelpon komandan batalion lintas udara, dan sebelum Shin sempat bilang apa-apa, Lena bicara duluan.

“Shin. Kerja bagus.”

“Lena.”

Suara datarnya Shin biasa. Pertempuran melawan Halcyon cukup berat, tapi untungnya, dia sepertinya tak terluka parah. Lena menghembuskan napas lega. Sesaat setelah itu—

“Lena, bisa kirim Fido kemari? Ada sesuatu yang harus kami kumpulkan.”

Sungguh?

Hal pertama yang dia katakan ke Lena adalah Fido?

Benar saja, pekerjaan penjemputan belum kelar, artinya masih di tengah-tengah operasi. Kalau begitu, perilaku Shin bisa dimengerti, tapi antara itu dan semua hal yang menggelisahkan Lena, gadis itu tanggapi dengan cemberut.

Lagian, kondisinya pun cukup sulit. Dia bekerja habis-habisan dan sangat merisaukannya.

Lalu Shin mencibir dari Resonansi.

“Maaf, aku tak tahan …. Tapi aku benaran membutuhkanmu untuk mengirim Fido ke sini.”

“Duuuuhhh …!”

“Kami baik-baik saja. Walau dengar-dengar kalian beraksi gila dan kabur dari Markas Besar musuh.”

Nada suaranya jelas bercanda. Lena menutup bibirnya.

“… berengsek.”

“Yah, yang bilang sesuatu yang amat mengalihkan perhatian tepat sebelum operasi bukan aku.”

Rupanya, pertengkaran kecil sebelum operasi mereka masih berlanjut. Lena memeriksa jam di layar optik yang menunjukkan baru beberapa jam lewat. Tapi rasanya pertengkaran itu sudah dari kemarin-kemarin. Dia menaikkan bibirnya merangkai senyum manis. Terus dia ulangi, kali ini dengan intonasi yang lebih riang, nada suaranya sangat-sangat bahagia.

“Dasar berengsek.”

Shin tak menjawab apa-apa, tapi dia bisa merasakan senyumnya karena Resonansi.

“Dan mungkin terlalu awal, tapi … selamat datang kembali.”

“Iya …. Senang bisa kembali.”

Mungkin mendapati Lena lagi bicara sama Shin, Fido bergoyang-goyang heboh. Melihatnya dari sudut matanya, Lena bertanya. Dia harap mereka bisa bicara sedikit lebih lama lagi, tapi dia tak boleh buang-buang lebih banyak waktu buat adu bacot yang tak ada kaitannya sama operasi.

“Katamu mau mengambil sesuatu?”

“Iya,” Shin sedikit ragu, melihat Halcyon.

Skuadron Spearhead telah manjauh dari Legion itu agar tak terkena tembakan Trauerschwan, lalu mereka berkumpul kembali di sekitar rongsokannya setelah dieliminasi. Dari kemampuannya yang bisa mendengar suara-suara Legion, Shin masih bisa dengar suara Halcyon dalam rongsokan roboh itu meski nyaris mati. Kekuatannya membuatnya dapat mendeteksi letak inti kendali.

“Beberapa sudah hancur lebur, tapi kita perlu mengumpulkan puing-puing lima railgun, dan bagian dari inti kendali Halcyon.”

ᛋᚨᚲᚱᛁᚠᛁᚲᛖ

Untuk membantu kepulangan mereka, Teokrasi menyiapkan kereta khusus mewah dekat perbatasan, yang nantinya mengantar mereka pulang. Inilah cara negara mereka menunjukkan rasa terima kasih serta itikad baik sebab pasukan Federasi terjebak dalam permasalahan mereka.

Daerah itu jauh dari lini depan. Di sini, abu vulkanik hampir tak sampai langit biru. Mobil-mobil lokomotif bergerak pelan di sepanjang dataran musim gugur negara asing ini. Aliran angin yang membawa bunga disertai bau semak-semak asli daerah sana, berhembus masuk melalui jendela terbuka. Bunga-bunga itu kecil, warnanya emas, sering kali digunakan sebagai daun teh di Teokrasi.

Teh yang Lena terbiasa minum selama satu bulan terakhir. Selama pengarahan, atau selama makan sehari-hari di pangkalan … dan selama pertemuan yang Teokrasi adakan sebagai permintaan maaf formal atas insiden Hilnå.

Teshat mungkin tak bisa dianggap bersalah, sebab mereka semata-mata mematuhi perintah. Namun Hilnå telah memberontak dari negaranya. Lena bertanya bagaimana nasibnya setelah ini … tetapi jenderal suci pertama, Totoka, hanya bilang dia tak akan dieksekusi. Agama melarang pertumpahan darah sebab dipandang sebagai kejahatan mutlak, dan Teokrasi-lah yang telah memaksa Teshat menjadi militer negara. Biarpun seorang kriminal, eksekusi sama saja suatu pembunuhan dan pembunuhan berarti dosa. Karena ini, Teokrasi tak mengizinkan hukuman mati.

Ikatan keluarga dan klannya akan diputus, selanjutnya akan dikurung di rumahnya. Itu sudah pasti.

Ketika para santo yang mengerjakan urusan pemerintahan datang menjambangi barak Divisi Penyerang selama ekspedisi mereka, Lena menemui jenderal suci pertama di aula barak. Inilah jawaban pertanyaannya.

Sebagaimana Hilnå, dia jauh lebih muda dari ciri-ciri pangkatnya. Dia kelihatannya sekitar dua puluh tahun, rambutnya emas panjang dikepang. Matanya pun emas.

Secara pribadi, saya ingin dia diampuni dari tahanan rumahnya sesudah perang berakhir …. Tapi saya sepatutnya tidak mengatakan demikian di hadpan Anda. Tidak seusai dia mengancam Anda. Akan tetapi, Anda menolak membunuhnya dan anak-anak kecil kami. Bukankah seharusnya kami memauhi kehendak dewi bumi dan menyelamatkan nyawanya?

Teshat bagaimana? tanya Lena.

Mereka sepenuhnya tidak bersalah. Seorang santo yang memberikan perintah, dan mereka dipaksa patuh. Itu saja. Mereka akan dikembalikan untuk dididik kembali setelah tentara direorganisasi dengan benar …. Tetapi mungkin sudah waktunya kami mempertimbangkan ulang praktik-praktik ini. Barangkali, Legion adalah cara dewi bumi untuk menunjukkan kami kalau tidak boleh seperti ini terus.

Lena paham betul perasaan sang jenderal. Dia berniat melawan praktik yang telah mengatur tanah ini selama ratusan tahun. Mungkin sebagai cara untuk membebaskan Hilnå dari dosa-dosanya. Keluarganya telah dirampas darinya dan peran wanita suci dipaksakan kepadanya oleh peperangan.

Tapi tetap saja … kendati Lena memang berpikir inilah awal perubahan, permulaan satu langkah maju, dia sampai kini bersama 86. Dan beberapa dari mereka tak setuju dengan pemikiran meninggalkan medan perang dan menjalani hidup dalam sebuah sangkar perdamaian. Jadi bisa saja hal yang sama berlaku pada Teshat.

Mungkin Hilnå pun sama, yang menangis dan memohon agar tak ada lagi yang diambil darinya—begitu kukuh sampai-sampai rela membakar tanah airnya demi itu.

“Huu.”

“Eeh!”

Selagi menatap ke luar jendela, tenggelam dalam pikirannya perihal hal-hal yang dapat dia ubah, dia merasakan sesuatu yang dingin menyentuh bagian belakang lehernya. Lena balik badan terkejut, terus mendapati Kurena di sana. Dia memegang dua botol minuman berkarbonasi dan tampaknya menempelkan bagian luar salah satunya yang dingin dan basah ke kulit Lena.

Minuman khasnya Teokrasi berasa madu dan jeruk. Menyerahkan salah satu botolnya ke Lena, dia duduk di seberangnya.

“Kau memikirkan anak-anak militer Teokrasi?” tanya Kurena.

“Iya ….” Lena mendesah, tangannya memegang botol dingin itu.

Kurena mengangkat bahu santai.

“Kau tahu, tak usah mengemban semuanya seperti itu. Nanti malah akan membuatmu letih.”

Merasakan sepasang mata perak menatapnya, Kurena sengaja fokus membuka botol. Kurena tentu merasa tak enak pada mereka, jelas saja. Hilnå dan Teshat dipaksa bertarung dan masa depannya diambil. Mereka laksana cerminan 86. Tapi ….

“Mungkin kalimatku kedengaran dingin, tapi kita berdua tidak bisa berbuat apa-apa lagi kepada mereka. Merekalah yang memutuskan takdir mereka.”

Dulu kala 86 pertama kali diterima Federasi, mereka dikasihani dan diminta memasuki sangkar perdamaian. Federasi bilang itu demi kebahagiaan mereka …. Tapi 86 membencinya. Kurena masih tidak suka itu. Karena bagaimanapun juga kebebasan adalah seratus persen pilihan—dan itu termasuk apa yang membahagiakan seseorang dan cara seseorang menjalani hidupnya.

Jika itulah kebebasan, Kurena ingin memilih untuk dirinya sendiri.

Dan bila anak-anak itu tak diperbolehkan memilih takdir sendiri … mereka boleh jadi takkan pernah bisa lepas dari ingatan banyaknya hal yang telah disabet dari mereka.

“Lagian, bukannya kau sendiri yang bilang, Lena? Kau tidak bisa mengutamakan anak-anak negara lain. Ada orang lain yang harus kau utamakan persis di sampingmu. Jadi sebaiknya perlakukan dia sebagai orang nomor satumu, mengerti?”

“Hmm …. Maksudmu …?”

Tentu saja maksudnya tak usah diperjelas.

Wajah Lena merona, dan mata keperakannya melirik-lirik panik sejenak. Kurena tak melewatkannya. Mata emas bundarnya melotot dengan mengancam. Kurena berhak menanyakan pertanyaan ini. Dia benar-benar, betul-betul punya hak.

“Apa kau … sudah memberi balasan?”

“S … sudah …,” jawab Lena, wajahnya merah padam dan suaranya hampir tak terdengar.

Reaksinya menjelaskan dia tak berbohong. Kebetulan, beberapa gadis lain—Anju, Shiden, Michihi, Mika, sama Zashya—lagi duduk di dekat mereka dan berbalik melihat percakapan seraya pura-pura bodoh. Lena tentunya tahu itu. Makanya dia malu-malu.

Tapi bagaimanapun juga, Kurena mengangguk. Baguslah. Karena kalau dia tak memberi jawaban … Kurena akan kesusahan menentukan tujuan selanjutnya.

“Kalau begitu hal pertama yang harus kau lakukan saat sampai rumah adalah mengajak Shin berkencan. Ini kencan pertamamu sebagai pacarnya. Harus kau jadikan kencan yang senantiasa dikenang.”

Bukannya Kurena tahu banyak soal harus melakukan apa pas pacaran, tapi nampaknya memang begitu lazimnya.

Selanjutnya Anju ikutan. Dia taruh kedua sikunya di sandaran kursi di belakang Lena dan menatap ke bawah.

“Kalau begitu … Lena, Letnan Esther memberikan kita hadiah perpisahan sebelum meninggalkan Negara-Negara Armada. Ini parfum unik asli daerah situ, dibuat dari sesuatu yang disebut ambar. Rupanya, mereka dapat ambar itu dari para leviathan? Aku memakainya sedikit, tapi baunya harum banget. Letnan menyuruh kami memberikannya padamu waktu kau kasih jawaban jelas ke Shin.

“… kenapa Letnan Esther juga tahu ini …?!”

Jawabannya adalah Lena sungguh sibuk kabur-kaburan dari Shin sampai-sampai semua orang kasihan padanya. Jadi Marcel berkonsultasi sama Letnan Esther, Anju komplain, dan Rito tak sengaja membiarkannya. Makanya, Ishmael sama beberapa perwira lain mendengar atau mengkonsultasikannya. Ishmael turut membantu mencarikan parfum ambar untuk mereka.

Tapi selain itu, Anju menyeringai kepadanya.

“Nyatanya, ambar itu feromon yang dikeluarkan para leviathan pas musim kawin mereka. Jadi tradisi klan-klan Laut Lepas adalah memakainya pas pacaran atau di malam pernikahan.”

“Anju?!”

“Juga, tampaknya raja Kerajaan Bersatu dari tiga generasi lalu menyebarkannya ke seluruh ruangan saat malam pertama mereka. Sampai ada warna biru dasar laut dan punya martabat naga atau semacamnya deh. Ngomong-ngomong, mereka bilang baunya istimewa dan enak banget.”

“Hah, jadi tak benar-benar membuat terangsang? Membosankan,” kata Shiden dengan singkat.

“Kalau mau yang lebih romantis, parfum kacapiring atau melati bagaimana?” Michihi menimpali. “Klan keluargaku punya kebiasaan buat menyemperotkannya ke udara di malam pertama. Parfumnya menggunakan bunga-bunga yang punya aroma manis dan seksi dengan efek afrodisiak!”

Selagi tertawa dan mensenyumi percakapan riuh ini, Kurena diam-diam menyelinap pergi.

Beberapa kompartemen kereta ditempati Resimen Myrmecoleo, sisanya dialokasikan untuk Divisi Penyerang. Entah bagaimana caranya, kompartemennya akhirnya dipisah jadi kompartemen pria dan wanita.

Kurena membuka pintu horizontal yang mengarah ke kompartemen anak-anak cowok. Dia sudah memeriksa letak kursinya. Jendela di kompartemen anak cowok juga dibuka, sehingga aroma samar bunga tercium. Di dalamnya ada dua pasang kursi yang saling berhadapan, dia mendapati Shin lagi tidur, bersandar di sandaran punggung.

Dia terluka karena operasi di Negara-Negara Armada dan dikerahkan untuk memimpin operasi lintas udara seketika pulih. Dan misi ini membuatnya kacau-balu. Mungkin dia kelelahan. Buku yang dibacanya terbuka di genggamannya, dia terlihat sangat lengah sampai-sampai tak adanya keberadaan kucing hitam yang duduk di pangkuannya hampir terasa tak biasa.

Dia menatap Raiden yang duduk di depannya dan hanya mengangkat alis bercanda selagi bangkit berdiri. Dia pergi dari kompartemen, menepuk Rito dan beberapa cowok-cowok skuadron Claymore lain yang mengintip penasaran, terus dia bawa bersamanya. Terus mengangguk pada beberapa anggota lain skuadron Spearhead yang duduk di dekatnya, contohnya Claude, Tohru, Dustin, dan memberi isyarat agar mereka juga bangun.

Tak lama setelahnya hanya dia dan Shin dalam kompartemen.

Tidak usah sampai sebegitunya.

Kurena di sini cuma untuk menenangkan perasaannya. Shin sendiri tak perlu mendengarnya. Dia hanya akan menyatakannya dan selesai sudah. Shin boleh saja tidur melewatkannya. Lagian Shin sedang kelelahan, jadi tak membangunkannya lebih bagus.

Tapi setelah itu dia menggeleng kepala. Keengganannya bahkan muncul di saat-saat seperti ini, membisikkan kata-kata menggoda ke telinganya. Tapi tidak. Itu tidak benar. Dia mesti mematikan perasaannya. Menghadapinya secara langsung dan menyelesaikan semuanya. Melarikan diri akan mengkhianati tujuannya.

“Shin,” dia panggil dengan lirih. “Shin, um …. Ada waktu sebentar?”

“… mm.” Sebuah suara keluar dari bibirnya ketika Kurena mengguncangnya sedikit.

Shin membuka kelopak matanya dan berkedip beberapa kali lalu memandang ke Kurena di atas.

Mata merah darahnya. Satu-satunya warna yang menurutnya paling indah sedunia. Dan sebelum sempat menanyakan, Ada apa?, sudah keduluan Kurena.

“Aku mencintaimu, Shin.”

Mata merahnya berkedip sekali. Setelah itu berkerut pahit nan menyakitkan. Karena Shin tahu dia tidak bisa dan tak punya niat untuk menjawab pernyataan Kurena, perasaannya.

… iya. Aku tahu, kau tidak akan menghindari pertanyaan itu. Kau tak akan mengelak atau berbohong kalau kau tidak bisa menjawabnya. Itulah yang kejam darimu.

Kejujuranmu sampai serasa kejam.

“Bahkan sekarang aku mencintaimu … mungkin akan selalu mencintaimu.”

Sekalipun di kemudian hari dia akan mencintai orang lain, dia tetap akan mencintai Shin. Biarpun orang lain itu mencintainya juga. Meskipun dia bahkan tidak bisa membayangkan ini, walaupun memulai sebuah keluarga dengan orang itu ….

… dia akan selalu, selalu mencintai Shin.

Shin-lah penyelamatnya dan teman-temannya di Sektor 86. Seorang rekan. Seorang rekan sehidup-semati. Dan sungguh, dia harap akan memilihnya daripada orang lain. Shin adalah orang yang paling dia sayangi, paling dia andalkan.

Dia mencintainya, seperti seorang kakak.

Pencabut Nyawaku yang baik … dan berharga.

“Karenanya ….”

Kurena ingin jalan rekannya, keluarganya, orang yang paling disayanginya di dunia akan diberkati. Mungkin, itu, adalah harapan paling alami dan jelas yang dapat seseorang miliki untuk orang lain. Terlepas dari keadaan dunia, wajar mengharapkan ini.

“… kau harus bahagia. Kau harus menemukan kebahagiaan,” ucap Kurena seraya tersenyum.

Shin diam sepintas. Dia dilema antara jawaban yang ingin diberikannya dan kata-kata yang dia arahkan pada dirinya sendiri. Sesudah saling diam dan menerima perasaan bertentangan itu, dia akhirnya mengatakan satu hal.

Tidak peduli Shin ingin bilang apa padanya, dia tak bisa menjawab perasaannya, lantas dia mengutarakan suatu hal yang dirinya sendiri izinkan:

“Maaf.”

“Jangan minta maaf. Lagian, sampai sekarang ….”

Bahkan kini. Dan mungkin selalu.

“… aku tak pernah sekali pun menyesal mencintaimu.”

Catatan Kaki:

  1. Males ngejelasin, jadi gua kasih link aje ye.

https://www.championautoparts.com/Technical/Tech-Tips/How-Ignition-Systems-Work.html

https://www.sunpower-uk.com/glossary/what-is-a-primary-circuit/

  1. NNW artinya adalah Neural Network dalam militer, entahlah ini akronim dari U.S.A atau dari mana.

https://acronym24.com/nnw-meaning-in-military/

  1. Buat melawan tolak balik, jadi countermass ini ngeluarin sesuatu kayak gas propelan dari bagian belakang sejata begitu menembak, karena tolak balik ke bagian belakang, nah Counter mass ini ke bagian depan sebab dipasang di belakang dan menghadap terbalik, jadi tabrakan dengan tolak balik dan hasilnya 1-1 = 0, maka gada tolak balik!
Share this post on:
Subscribe
Notify of
guest
1 Comment
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Rangga

Kasian juga si kurena, family zone wkwkwkw