Share this post on:

Cermin, Cermin di Dinding, Apakah yang Ditunjukkan Cermin Biasa?

Penerjemah: The Finger Maiden

Di depan bangkai Weisel yang berasap, suara seorang manusia—kehadiran tak lumrah di wilayah Legion—terdengar dengan teriakan kemenangan.

Teriakan itu datangnya dari Siri yang duduk di kokpit unitnya, kokpit Baldanders. Ditransmisikan melalui Para-RAID, radio, serta pengeras suara eksternal unitnya, teriakan kemenangannya menggema di seluruh medan perang.

Mereka berada di ujung terutara front barat Federasi, di kaki gunung pegunungan Dragon Corpse, yang mana sekaligus perbatasan Kekaisaran lama dengan Kerajaan Bersatu. Zona operasinya Divisi Lapis Baja ke-2 Divisi Penyerang.

Seorang komandan Resimen Bebas yang kini sedang merebut markas terdekat, menjawab sambil tersenyum sinis. Sebab mereka berada di zona tempur yang berdekatan, Siri dan dirinya saling Beresonansi agar tak menembak sesama.

“Suara yang bagus, Letnan Satu. Suara bariton yang indah—mengingatkanku akan seorang penyanyi opera yang pernah aku dengar.”

“Wah, terima kasih. Dan, anu … maaf. Aku lupa masih Beresonansi denganmu.”

Dia memang lupa. Menggaruk pipi dengan canggung, dia memotong Resonansi. Tapi tetap saja pertempuran ini cukup kacau sampai-sampai meneriakkan kemenangan sekuat tenaga. Pertempurannya menjengkelkan dan melelahkan.

Sebelum musuh siap-siap bertempur, Reginleif harus menyerangnya dengan menyerbu masuk menggunakan Armée Furieuse kemudian menguasai situasi. Rencana Federasi tepat; mereka hanya menemui sedikit unit Legion yang kemungkinan fungsinya menjaga langsung Weisel.

Strategi Siri untuk mengurus Legion tipe besar seperti Noctiluca—membombardir pendingin mereka—terbukti berhasil. Akan tetapi, pendingin Weisel lebih besar, cukup tebal, dan tahan lama, juga punya banyak lapisan. Bahkan punya sejumlah pendingin cadangan dalam tubuhnya, dan setelah sepertinya merusaknya, pendingnnya hidup lagi. Mereka tak memperhitungkannya.

Target Resonansi baru terhubung ke Siri. Kali ini, Canaan yang menghubungi, dia berada di perbatasan utara wilayah Republik lama.

“Kerja bagus. Omong-omong Divisi Lapis Baja ke-3 telah menetralkan targetnya tiga pulu menit lalu.”

Laporan itu disampaikan dengan suara serius, padahal mah sebenarnya pamer. Siri mendecakkan lidah ke suara serius itu.

“Itu masuknya kesalahan yang bisa diterima, memang dasar.”

“Yah, yang paling cepat adalah beberapa tentara Resimen Bebas di front utara, jadi kau benar. Batasan metodeku juga diperjelas. Jika kita tak bisa secara akurat memprediksi inti kendalinya, kita asal tembak saja. Lagian, lubang pengerahan dan corongnya penuh ranjau dan sekat lapis baja. Kelamaan buat menembusnya.”

“Iya ….”

Masuk ke dalam lewat lubang pengerahan biasanya dihindari, tetapi kalau Weisel, itu terbukti efektif.

“Kali ini, kami mengumpulkan informasi struktur internal mereka dengan serangan simultan ini, jadi mungkin saja prediksi kami selanjutnya akan akurat. Tapi kayaknya kita jangan coba-coba masuk lewat lubang pengerahan.”

“Metode kami juga efektif, kurang lebih, tapi meledakkan semua pendingin tuh terlalu lama. Lebih keras dari yang kau pikirkan, dan musuhnya juga sangat besar. Membidiknya dengan turet tank di ketinggian itu susah. Kali ini tak masalah karena kita bertarung di darat, tapi misalkan pertempurannya di laut saat seperti melawan Noctiluca, kurasa takkan ada masalah sama pendinginannya.

Siri kemudian menyebutkan bisa jadi ada manfaatnya memelajari cara kerja sistem itu, walaupun hanya karena penasaran.

“Orang-orang dari Divisi Lapis Baja ke-1 menggunakan pisau buat memotong lapis baja dan menembakkan rudal ke bagian dalam tubuh. Itu ide gila yang dibuat Nouzen sama gerombolan gembiranya, kurasa. Tapi rencana itu kemungkinan yang paling efektif.

“Asalkan bisa melubangi lapis baja mereka, seburuk-buruknya, kau tidak perlu mematikan sistem pendingin mereka. Masih mungkin untuk menghancurkan inti kendali atau reaktor daya mereka …. Selain itu, Nouzen sama kelompoknya masih bertempur.”

Mm? Siri mengangkat alis.

“Bentar, mereka bertarung bersama Resimen Bebas Myrmecoleo, purwarupa railgun itu, dan Nouzen yang bisa mendeteksi inti kendali musuh … sudah begitupun masih belum kelar?”

“Yah, mereka melawan unit Halcyon. Weisel yang punya railgun. Mereka kudu menyerbu monster burung itu sambil menghancurkan railgun-nya. Kubayangkan perlu waktu lama.”

“… tidak, sebenarnya kelihatannya semuanya berjalan lancar sampai ke bagian mereka menghentikan Halcyon,” Suiu yang lagi berlatih di Federasi, mendadak memotong pembicaraan.

Suaranya kedengaran cukup tegang.

“—ada apa?” tanya Siri.

“Ada yang salahtah?” Canaan nampaknya khawatir.

“Iya. Kolonel Grethe sudah bergerak, dan semua anggota Divisi Lapis Baja ke-4—deputi perwira dan di bawahnya—beserta perwira-perwira staf semestinya merekamnya. Kalau ada waktu, kalian dengarkan penjelasannya.”

ᚠᚱᛖᚤᚨ

Halcyon-nya jatuh ke tanah, mengakibatkan gempa yang membuat Reginleif seberat sepuluh ton lompat, lalu meniupkan lapisan abu tebal ke udara seolah desahan lelah. Shin mendesau, meskipun masih was-was, dia angkat bicara.

Membakarnya sesaat dari dalam belum cukup untuk membunuhnya. Semua inti kendali Halcyon terkecuali inti kendali railgun, masih utuh. Shin masih bisa mendengarkan lolongan mereka.

“Vanadis. Penghentian sementara Halcyon sukses. Terus amankan area tempur hingga Trauerschwan dan pasukan utama brigade mengambil posisi menembak.”

“Diterima. Kerja bagus, semua udara lintas udara.” Jawab Lena, mendengar para Prosesor batalion lintas udara bersorak dari Resonansi.

“Cyclops, tolong jangan sembarangan lagi.”

Kontras dengan operasi mereka di Negara-Negara Armada, di mana posisi mereka dibatasi dinding, solusi yang mereka dapatkan sendiri terbukti efektif dan ada hasilnya. Mereka jadi semakin merasa berhasil.

Shiden, yang ditegurnya, semata-mata memberi respon samar dan langsung menerjang Shin.

“Iya, Bu …. Oh, ngomong-ngomong, Pencabut Nyawa Kecil? Hei, Pencabut Nyawa Keciiiiil. Aku bicara denganmu, Pencabut Nyawa!”

“Duh, apa maumu?” Shin merespon dengan suara kesal jelas.

“Kau tahu pasti mauku. Aku mempertaruhkan nyawa untuk mengalihkan perhatian railgun itu—tidak adakah yang mau kau sampaikan?”

“Kau sendiri yang mengajukan diri. Aku tak perlu mendengar keluhanmu.”

“Aku tidak mengeluh, ‘kan? Aku cuma bilang ada yang harus kau katakan kepadaku.”

Shin menanggapi dengan lidah mendecak sebal.

Bernholdt bersama skuadron Nordlicht tampak tercengang, sementara Anju menahan tawa. Raiden, Claude, dan Tohru tertawa terbahak-bahak. Lena tersenyum saja seraya memberikan perintah berikutnya; rasanya sudah terlampau lama semenjak dia mendengar Shin dan Shiden bertengkar seperti itu.

“Undertaker, Cyclops, sudahi itu. Batalion lintas udara, awasi baik-baik area pertempuran. Pasukan utama, kita harus cepat-cepat menempatkan Trauerschwan ke posisi ….”

Seketika itulah Hilnå mengatakan sesuatu. Tidak dalam bahasa umum Republik ataupun Federasi, namun dalam bahasa Teokrasi yang Lena maupun 86 tidak pahami.

Kemudian dalam layar holo besar yang diproyeksikan ke pusat komando ….

… semua prajurit dengan unit bersimbol kuda abu-abu belang-belang—tentaranya Shiga Toura, Korps Angkatan Darat ke-3 Teokrasi di bawah komandonya langsung—tiba-tiba berhenti.

Lena, perwira staf, dan personel pengendali seperti Marcel, seluruhnya terkejut. Tentu saja sebab unit pengalih tak dijadwalkan berhenti bergerak maju.

“… Hilnå, apa yang kau—?” Lena berbalik menghadapnya.

Kali ini, Hilnå bicara dengan bahasa umum Republik dan Federasi. Dengan senyum kerubik serta, suara selembut dan seluwes pasir silika subur.

“Reina Berdarah. 86. Maukah kalian membelot ke negara kami?”

“…?!”

Rito menelan ludah gugup ketika kerlip-kerlip tak terhitung jumlahnya mendadak memenuhi layar radarnya. Tepat di depan arah yang mereka tuju, area yang bersih dari pasukan garda depannya Legion. IKL (Identifikasi Kawan-Lawan) tak menanggapi unit-unit itu; tanda inframerah1 mereka tidak dikenal. Dan mereka tersebar dalam formasi kipas—posisi khusus penyergapan.

“Berpencar!”

Saat itu, dia meneriakkan perintah tersebut kepada unit-unit pendampingnya, Milan-nya sudah bergerak menjauh. Rito adalah seorang 86 yang indra pejuangnya diasah peliknya perang. Dia sama sekali tak optimis untuk menggunakan taktik menunggu dan mengamati ketika disergap unit tidak dikenal.

Gemuruh menggelegar tembakan meriam kaliber tinggi meraung dari depan mereka. Tatkala Rito menahan akselerasi ekstrem dari manuver mengelaknya, dia memelototi layar optik dengan mata berwarna batu akiknya. Selongsong aerodinamis barusan meluncur di sebelah Milan. Asap abu besar muncul dari sumber tembakan tersebut.

Kecepatan menembaknya tinggi. Dan terlebih lagi, senjata itu sanggup melepaskan ledakan khusus yang kuat di belakangnya.

Senjata tanpa tolak balik.

“Sialan, artinya tembakan lain berdatangan! Terus menghindar!”

Meriamnya meraung keras lagi, selongsong hulu ledak antitank berdaya ledak tinggi sekali lagi menghujani mereka. Lebih banyak asap debu mengepul naik, memenuhi udara dan membutakan penglihatan mereka.

Senjata tanpa tolak balik adalah senjata antilapis baja yang meniadakan tolak balik penembakan selongsong besar dengan mengeluarkan gelombang kejut di belakangnya. Dengan metode ini, bahkan Feldreß berbobot ringan bisa membawa senjata kaliber besar, tapi punya kekurangan akbar.

Sebagian besar energi kinetik bubuk mesiu dikhususkan untuk mengurangi tolak balik, membuat selongsongnya lebih lambat, dan ledakan ke belakang yang intens menendang pasir serta sedimen, mengungkap posisi penembak. Karena alasan inilah unit-unit yang menggunakan senjata tanpa tolak balik tidak membawa satu laras, melainkan enam. Tembakan pertama akan mengekspos posisi seseorang, tetapi jikalau gagal menghancurkan musuh, ia dapat segera menembakkan tembakan kedua hingga ketiganya.

Rito langsung diajarkan ini sebelum menjalankan operasi. Yang artinya bukan Reginleif atau Juggernaut—Legion yang jadi lawan mereka—menggunakan senjata tanpa tolak balik ini. Artinya ….

Lewat tiupan angin, membawa serta beberapa abu yang simpang siur di medan perang layaknya tabir. Dan di sisi lain muncullah sekelompok kecil bayangan abu-abu mutiara.

Abu-abu mutiara.

Unit-unit inilah yang mengorbankan mobilitas murni agar tetap berada di atas abu yang menutupi tanah ini. Bayangan itu punya empat kaki lebar yang terlihat mekanis. Tubuhnya sangat menyentuh tanah dan menyerupai sayap burung. Walau mengikuti bentuk kaki mereka yang tampak merangkak di tanah, batang tubuhnya tak lebih tinggi dari Frederica. Yang memanjang dari masing-masing sisinya adalah tiga pasang senjata tanpa tolak balik 106 mm yang besar, direntangkan bagaikan sayap.

Kelihatannya dibuat dengan terburu-buru saat perang berlangsung. Sulit dilihat. Penampilan mereka rasanya biadab, laksana melihat burung kecil terluka yang tengah menyeret sayap rusak mereka di tanah.

Tipe 7 berlapis baja, Lyano-Shu.

Drone yang menemani Feldreß resmi militer Teokrasi, Fah-Maras tipe 5 berlapis baja. Banyak Fah-Maras telah dihancurkan selama satu dekade pertempuran, jadi drone tipe 7 diproduksi dalam jumlah besar untuk mengimbanginya.

“… kenapa?”

Unit-unit Fah-Maras menampakkan diri di belakang Lyano-Shu. Gerakan mereka adalah gerakan spesifiknya Feldreß Teokrasi, gerakan mirip bayi merangkak, sebagaimana seekor hewan yang menyeret anggota tubuhnya yang hancur. Fah-Maras pun punya delapan kaki bak sayap, tapi dikarenakan unit itu tidak nirawak, dan situasi perang yang menekan mengharuskan nyawa pilot untuk dinomorsatukan, lapis baja depan yang tebal nan beratnya ditutupi pelat-pelat lapis baja tambahan. Bahkan mesin dan peluru meriam senapan 120 mm-nya ditaruh di depan kokpit untuk melindungi pilot, menghasilkan desain yang khas.

Tidak salah lagi. Militer Teokrasi—yang sampai kini adalah sekutu mereka—telah mengarahkan senjata mereka ke 86 dan Divisi Penyerang 86 Federasi, sebagai musuh. Dihadapkan tatapan kaget Lena, Hilnå menyeringai.

Selagi berbalik membelakangi layar utama, perwira staf dan pengendali Teokrasi tetap menujukan mata mereka ke konsol, seakan-akan tidak ada yang tak lazim. Mereka tidak curiga atau kebingungan terhadap komandan korps dan pasukan lapangan yang mendadak berhenti di tengah jalan. Mereka tetap diam dan tak responsif, ibarat seluruhnya berjalan sesuai rencana.

Perubahan satu-satunya adalah wajah mereka yang tersembunyi di balik tudung, memiring sedikit saat saling berpandangan dan berbisik satu sama lain.

Lena menahan diri untuk berdecak. Tidak hanya unit lini depan yang terlibat. Perwira staf juga. Malahan seluruh Korps Angkatan Darat ke-3, Shiga Toura, adalah musuh mereka.

Namun selain itu dia pun menyadari ada yang mengganjal: suara perwira-perwira staf Teokrasi dan garis rahang mereka yang kelihatan sedikit di balik tudung. Mereka kelihatan jauh lebih muda dari bayangan Lena. Setua-tuanya mereka masihlah seumuran Shin dan Lena, yang lainnya satu-dua tahun lebih muda.

Tentu saja perwira remaja tidaklah asing di zaman sekarang. Federasi punya perwira khususnya dan Lena tentu terbiasa berbaur dengan 86. Tetapi ini pusat komando korps. Sekalipun jumlah prajurit mereka makin berkurang, orang paling tua di tentara Teokrasi baru dua puluhan.

Aneh. Seakan-akan semuanya mengimplikasikan Teokrasi terdiri dari remaja dan orang dewasa muda …. Memang, Lena tak ingat pernah melihat satu pun tentara tua semenjak kedatangannya di Teokrasi. Para perwira staf, para penerjemah, tentara anak-anak yang datang bermain—muda-muda semua.

Lantas Hilnå melihat Lena yang berdiri terdiam seribu bahasa dengan mata tak acuh. Dia mengalihkan pandangan ke perwira-perwira Federasi yang memakai seragam hitam keabuan mereka, kala ekspresi mereka berganti dari kecurigaan menjadi waspada lalu dilema, selanjutnya Hilnå mengulang pertanyaan.

“Maukah kalian membelot ke negara kami? 86, Reina Berdarah, dan perwira staf sekalian. Hadiahkan kesuksesan dan pencapaian heorik kalian—diri kalian—sebagai persembahan untuk kami.”

ᛋᚨᚲᚱᛁᚠᛁᚲᛖ

Dalam hal rantai komando, Batalion ke-3 tak ada hubungan hierarki dengan Divisi Penyerang, jadi Shin tidak perlu terkoneksi dengan Hilnå lewat radio. Tapi biar begitu, suara Hilnå mencapai telinganya dengan jelas.

Suaranya ditransmisikan melalui perangkat yang volumenya dimaksimalkan. Terang-terangan disalurkan ke mereka agar ikut mendengarkan.

“Maukah kalian membelot ke negara kami? 86, Reina Berdarah, dan perwira staf sekalian. Hadiahkan kesuksesan dan pencapaian heorik kalian—diri kalian—sebagai persembahan untuk kami.”

“… apa yang dipikirkan kepalanya?”

Operasi masih di tengah jalan, dan dari awal mereka tak pernah meminta untuk membelot. Namun ini jelas bukan pertanyaan atau undangan. Ini ….

“Kalian harus menikmati hasrat untuk menyelamatkan orang lain, wahai para pahlawan. Lalu begitu mengetahui situasi negara kami jauh lebih mengerikan ketimbang Federasi. Prioritaskan kami alih-alih Federasi dan negara-negara lain, sebab tiada lagi yang lebih menyedihkan dan lemah daripada kami.”

… sebuah ancaman.

Mereka ingin mengambil informasi yang dipunyai Divisi Penyerang. Atau bisa jadi mau mendapatkan tentara 86—sebagaimana sisa-sisa Republik, para Pemutih.

Nampaknya pengerahan Eintagsfliege saat ini sudah sedikit. Suara statis yang mengotori transmisi radio kala tawa lembut gadis itu berlalu lalang di gelombang udara sudah minim.

“Jika menolak, maka kalian akan binasa di medan perang ini.”

Meski begitu, 86 tidak paham kejadian ini. Mereka tahu bahwa tentara Teokrasi yang hingga sekarang adalah sekutu, tiba-tiba mengarahkan moncongnya ke mereka. Mereka paham tentara Teokrasi kini musuh. Namun kenapa? Sebenarnya apa yang terjadi?

Yang meresponnya adalah Resimen Myrmecoleo. Satu-satunya dari kelima divisi yang tinggal sebagai penjaga belakang alih-alih menjadi pasukan penyerang, mereka tetap tinggal di belakang pasukan utama—Divisi ke-8. Saat musuh menyelinap di belakang mereka, unit berwarna sinabar segera balik badan dan melepaskan tembakan.

Para Reginleif terlambat bereaksi. Mereka tak terkena tembakan pertama dengan memalukan, namun ketika Gilwiese melihat divisi yang tepat berada di belakangnya bergerak dengan cara yang tak mengantisipasi serangan kejutan, dia menahan keinginan hati untuk mendecak lidahnya.

Mereka kemungkinan bahkan tak mengira Teokrasi akan berkhianat. Mereka tak menyangka suatu pengkhianatan di medan perang negara lain manapun yang mereka datangi, atau di wilayah Federasi, terlepas dari tanah air itu bukan milik mereka.

“Kalian terlalu naif, 86! Orang-orang dan semua negara bisa mengkhianati kalian; tidakkah kalian tahu itu?!”

Padahal Federasi dan Teokrasi sama-sama memaksa mereka menjadi pasukan garda depan dan unit lintas udara, yang mana adalah peran paling berbahaya dalam operasi ini!

Namun terlepas dari itu, mereka tak pernah berpikir untuk berkhianat. Tentara anak-anak ini yang dipaksa masuk ke Sektor 86 mematikan, yang bertarung dan memegang teguh nyawa mereka, tak pernah menyerah pada keputusasaan. Mereka tidak sadar kalau setelah semua yang berlalu, perang hanyalah metode mengerikan dan jelek yang orang-orang gunakan untuk menyelesaikan perselisihan di antara mereka.

“Gilwiese kepada semua kapten! Mulai saat ini, Resimen Bebas Myrmecoleo dengan pilihan sendiri telah menghentikan misi dukungannya untuk militer Teokrasi!”

Perintahnya tak diterima dengan keraguan atau kebingungan. Sejak mereka dikerahkan, Gilwiese curiga kepada Teokrasi dan bahkan Divisi Penyerang, bak pedang di bibirnya. Dia kapan pun siap menghadapi pengkhianatan, dia tak lengah.

“Unit lapis baja Teokrasi di arah jarum jam 12 akan diatur menjadi unit musuh tak dikenal. Demi melindungi Brigade Ekspedisi Federasi—”

Lagi pula, Resimen Bebas Myrmecoleo didirikan sebagai alat untuk digunakan pada konflik. Jadi kaum bangsawan dapat menggunakan mereka untuk mencuri hak militer dari warga sipil. Sehingga bangsawan merah tua para Pyrope mampu mendapatkan kembali gelar pahlawan lewat keturunan campuran Onyx. Agar mereka bisa memastikan kepada orang-orang berdarah Pyrope namun menodainya dengan menjadi perwira biasa, masih diizinkan menjadi bagian militer sembari menjaga kehormatannya sebagai seorang prajurit.

“—dengan ini kami menyatakan perang kepada Divisi ke-8 Korps Angkatan Darat ke-3 Teokrasi, sekaligus unit tak dikenal musuh. Kita tunjukkan kepada mereka!”

Tunjukkan kepada anak-anak itu yang mungkin telah mengetahui kedengkian dan tidak logisnya medan perang penuh Legion tetapi masih asing dan polos dari kegelapan serta suramnya dunia umat manusia.

“… biarpun mereka dikhianati tanah air sendiri dan seluruhnya telah direnggut, anak-anak ini belum kehilangan kemanusiaan dasar mereka untuk meyakini sesuatu.”

Gilwiese iri pada hal itu. Namun sewaktu kata-katanya keluar dari bibir, deru paket daya Vánagandr menenggelamkannya dan tidak sampai ke telinga Svenja.

“Jika menolak, maka kalian akan binasa di medan perang ini.”

Kurena mendengarkan kalimat itu dengan terheran-heran. Gadis cantik, lembut, dan berbudi luhur yang persis dia temui sebelumnya, gadis sama yang mendoakan keberhasilan mereka dalam pertempuran sebelum menjalankan misi. Dia meminta mereka untuk menyelamatkan negerinya, dan Divisi Penyerang merespon kata-kata itu.

Tetapi setelahnya emosi gelap melonjak dari lubuk hatinya seperti stalagmit. Kurena mengepalkan jari kakinya dengan getir. Sikap manis gadis itu, senyumnya, kebaikan yang dia tunjukkan kepada mereka.

Semuanya dusta.

“… berani-beraninya.”

Kenapa juga Kurena percaya padanya? Bantu kami, katanya, seolah-olah mengucapkan, bertarunglah atas nama kami. Dia membuai ego kaumnya sendiri, memanggil 86 pahlawan, padahal sejatinya mereka cuma ingin menggunakan 86 sebagai senjata. Dan itu tak ada bedanya dengan perkataan babi-babi putih Republik.

Sungguh, babi putih tidak hanya ada di Republik. Ada banyak babi seperti mereka di mana-mana. Teokrasi salah satunya saja. Semua negara dapat melakukannya. Mereka akan goda dengan kata-kata manis dan senyum lembut dengan membicarakan harapan tak terwujud seperti impian dan masa depan.

Begitulah cara semua orang mencoba memanfaatkan dirinya dan teman-temannya.

Di mana-mana sama. Selalu sama.

Semua orang selain rekan-rekannya senantiasa memanfaatkan mereka, kemudian dengan kejam dan tanpa belas kasih, mereka mengambil semuanya.

Demikianlah 86 diberlakukan. Di Sektor 86, dengan cara kematian di medan perang. Di tempat yang lebih damai, dengan cara ekspresi belas kasih. Dan di sini, Terokasi, dengan cara memaksakan jubah pahlawan kepada mereka.

Selalu dilakukan dengan terbuka, ibarat memanfaatkan dan dimanfaatkan adalah cara kerja dunia.

Rasanya seakan-akan tirai gelap menutupi bidang penglihatannya.

Iya. Pada akhirnya, itulah sejatinya orang-orang—sejatinya dunia. Dingin, kejam, tidak berperasaan, dan hina. Tempat di mana makin banyak harapanmu, makin besar kemungkinan kehilanganmu.

Seperti mereka yang merenggut orang tuanya. Seperti mereka yang merenggut kakak perempuannya. Seperti mereka yang merenggut harga diri Theo, kendati yang dia inginkan hanya bertarung sampai akhir.

Kurena takkan percaya sama apa pun lagi. Satu-satunya yang bisa dia percayai adalah rekan-rekannya. Dan yang bukan rekan-rekannya adalah musuh atau orang-orang tak berarti yang semata-mata belum berpaling dari mereka.

Kurena tak akan percaya pada orang. Dunia, atau masa depan. Atau akhir perang.

ᛋᚨᚲᚱᛁᚠᛁᚲᛖ

<<Pendinginan sistem penggerak selesai. Plan Ferdinand, menyalakan ulang.>>

<<Peringatan. Inti kendali railgun nomor satu sampai lima telah dieliminasi. Memulai perbaikan menggunakan inti nomor satu sebagai basis reproduksi.>>

<<Melusine Dua, memulai reproduksi. Melusine Tiga, memulai reproduksi. Melusine Empat, memulai reproduksi—>>

<<Melusine Enam, reproduksi selesai.>>

<<Railgun nomor satu sampai lima—mulai ulang.>>

ᛋᚨᚲᚱᛁᚠᛁᚲᛖ

Tiba-tiba, gemetarnya raksasa yang meringkuk mulai stabil tak seperti serangga yang sekarat. Suara sistem pengerak kuat Halcyon yang dimulai ulang. Telah dibangun untuk menopang bobot besarnya dan ia harusan pulih dari pematian sementara karena kepanasan.

Raksasa logam itu mengangkat tubuh besarnya, menggetarkan bumi di bawah beratnya.

<<Dingin banget.>>

Dan seketika Halcyon-nya bangkit, rasa sakit gadis-gadis itu yang telah dibungkam, sekali lagi keluar dari tubuh akbarnya. Gembala yang mengendalikan railgun …. Hantu mekanis Shana. Ratapannya bergema di sekitar mereka dalam jarak dekat dari tiap-tiap kelima turet di saat bersamaan.

<<Dingin banget.>> <<Dinginbanget.>>

<<DINGINbangET.>><<Ngt>><<DINGIN>><<BANGET>><<DinginDINGinBANGET>><<Dingiiiiiiiiiiinnnn …!>>

“Ngh?!”

“Aah …!”

Operasi ini adalah pertama kalinya Olivia dan Zashya Beresonansi dengan Shin di pertempuran langsung. Mereka berdua belum terbiasa dengan kemampuannya, jadi mereka langsung memutus tautan Para-RAID dan meninggalkan jaringan komunikasi.

Penderitaan—kegilaan mekanis itu begitu dahsyat.

Railgun yang diaktifkan kembali mulai berputar, mengarah ke langit. Kilat cahaya yang melambung naik melintasi langit kelabu seraya melontarkan berondong tembakan panjang tiada hentinya.

Unit batalion lintas udara menghindari hujan peluru yang beratnya beberapa ton, setelah itu buru-buru menjauh dari Halcyon untuk keluar dari jangkauan pengeboman pecahan peluru. Sesudah mengusir serangga yang berdengung di sekitar mereka dan mendapatkan kembali jangkauan minimal tembakan, kelima railgun digerakkan ke tingkat ketinggian yang sama—searah horizontal. Ratapan Shana sekali lagi semakin berisik.

“…!”

“Sial, jangan lagi …!”

“Mendengarnya dari jarak sedekat ini …. Betulan menyusahkan …!”

Beratnya teriakan itu mencakar hati semua orang. Bahkan bagi Raiden dan anggota-anggota skuadron Spearhead yang bertahun-tahun bertempur bersama Shin dan terbiasa oleh kemampuannya. Claude dan para Prosesor batalion lintas udara yang pernah melakukan beberapa operasi bersamanya tidak terkecuali.

“Shin! Kau baik-baik saja?!”

“Iya. Sedikit sulit misalkan benar-benar dekat, tapi di jarak sejauh ini, aku tak apa.”

Fakta kelima railgun sanggup hidup lagi tanpa menggunakan kupu-kupu cair seperti Noctiluca memang mengagetkan …. Tapi dikarenakan Halcyon awalnya adalah Weisel, ia bisa membuat Mesin Mikro Cair dari dalam tubuhnya untuk mengimbangi kerusakan yang ditimbulkan, dan bisa pula menggunakannya tanpa harus memaparkannya ke luar.

Olivia langsung terhubung ke Resonansi, dan sejenak kemudian, Zashya juga. Giginya sedikit bergemeletuk, tapi dia bicara dengan berani.

“C-cuma butuh dua ratus detik untuk hidup kembali. Pemulihannya lebih cepat dari yang diperkirakan, Kapten Nouzen! Dan ditambah masalah laju Trauerschwan yang terhambat, jika kita mencoba memanaskannya setiap kali aktif, kita takkan bertahan cukup lama karena kehabisan selongsong!”

Usainya Anju masuk ke percakapan.

“Shin, di antara kita semua hanya ada tujuh peluncur rudal. Skuadron artileri ingin menghemat amunisi hanya untuk mencegah tembakan Trauerschwan dicegat. Benar katanya: Kita tidak bisa terus-terusan menjatuhkannya.

“Tidak banyak juga sisa peluru tank sama meriam otomatis. Kita tidak bisa menyertakan Fido ke penerbangan kecil menyenangkan kita.”

“Iya. Jadi seburuk-buruknya, kalaupun tidak bisa lumpuhkan, setidaknya pastikan tidak menembak Trauerschwan. Kita telah mengonfirmasi pila berbilah itu efektif; kita hanya harus menghancurkan Halcyon, dan selesai sudah tujuan kita.”

Bagaimanapun caranya, mereka mesti mengalahkan ancaman Federasi ini. Dan jika bisa, mereka perlu mengumpulkan informasi atau suku cadang dari rongsokannya. Dan yang terpenting, mereka semua harus kembali hidup-hidup. Jadi demi semua tujuan itu ….

“Królik, aku berikan rekaman optik bagian dalam Halcyon. Bisa temukan mana pipa sistem pendinginnya?”

“Diterima; itu penanggulangannya seumpama kita kehabisan roket, ‘kan? Akan saya temukan.”

“Shiden, bisa aku andalkan dirimu untuk mengurus Shana lagi?” tanya Shin ke Shiden yang tetap diam semenjak teriakannya berlanjut.

Dia tahu ini pertanyaan yang tak berperasaan. Shiden memutuskan untuk mengistrirahatkannya dengan kedua belah tangannya sendiri dan bahkan menerimanya, balasannya adalah Shana kembali hidup bak meludahinya. Meminta Shiden membunuhnya lagi kelewat kejam.

Tapi responnya ternyata sangatlah tenang.

“Iya, akan kuurus. Dan jangan bicara dengan suara cemas begitu, Pencabut Nyawa Kecil.”

Shiden bahkan nyengir, cukup tak terduga.

“Akan aku tinju dia sampai jatuh ke bawah tanah, sampai tidak bisa naik lagi. Tak ada yang boleh menguburnya selain aku.”

Membawa senjata api dilarang keras di ruang kendali Teokrasi. Sebelum masuk, Lena dan kawan-kawan sudah diminta meninggalkan senjata, dan mereka mematuhi instruksi tersebut. Laras senapan serbu terlalu panjang untuk disembunyikan. Lantas Lena tak dapat mempertahankan diri, apalagi keluar dari sana.

“Tidak,” kata Lena dari belakang Hilnå. “Kami menolak.”

Setelah itu, perwira pengendali yang duduk di sebelah Lena menendang kursinya sendiri dan bangkit berdiri. Dia memakai seragam berwarna biru-baja, untuk mengelabui Teokrasi dengan mengira dirinya adalah bagian dari personel pengendali. Dan sekilas, dia kelihatan sepenuhnya manusia. Satu-satunya sesuatu yang membedakannya adalah warna rambut cerah serta mata berkaca-kacanya. Dan tentu saja, kristal saraf kuasi di dahi.

Seorang Sirin.

“Situasi yang diperkirakan, Delapan Merah. Memulai pertempuran.”

Dia mengangkat telapak tangannya ke staf yang menjaga pintu, mendadak staf itu menyemburkan darah lalu terhuyung mundur. Sirin itu mungkin model modifikasi yang punya senjata api putar tersembunyi di antara mekanisme tangannya.

Membawa senjata api dilarang keras di ruang kendali Teokrasi. Sebelum masuk, Lena dan yang lain diminta meninggalkan senjata, kemudian mereka menurutinya. Dan sebab inilah kemungkinan seorang Sirin yang menyembunyikan senjata api di tubuhnya, tidak bisa Hilnå beserta para penjaganya perkirakan.

“—lari!”

Di saat yang sama, seorang perwira staf suplai yang bertubuh kekar mengangkat Lena ke bahunya dan lari ke pintu keluar. Para perwira pengendali laki-laki dan perwira intelijen mengikuti, menendang penjaga yang berlutut di tanah memegangi bahu terlukanya, kemudian menekan tombol yang mengoperasikan mekanisme pintu.

Perwira suplai menyelinap masuk, melindungi Lena. Para perwira pengendali, staf, dan satu Sirin yang menyusup masuk sebagai perwira juga mengikuti. Syukurnya tak ada tanda-tanda tentara Teokrasi di koridor panjang. Mereka berlari menyusuri lorong, tetapi jalannya masih berbahaya untuk dilalui. Jalan lurus tanpa tempat berlindung apa pun.

Melihat Marcel mengernyit, seorang perwira yang berlari di sebelahnya melambat dan bertanya:

“Letnan Dua Marcel, Anda tidak apa-apa?”

“Kalau jaraknya dekat, lari saya masih lebih jago ketimbang anak punk jalanan manapun.”

Marcel awalnya adalah Operator Vánagandr tapi berganti profesi menjadi perwira pengendali setelah kakinya terluka. Kakinya tak bisa bereaksi secepat persyaratan seorang Operator, namun dia masih mampu berlari dengan sempurna.

“… tapi kalau jaraknya jauh mungkin berbahaya. Tapi jangan khawatir; tinggalkan saya semisal keadaan memburuk.”

“Anda tahu kita tidak bisa begitu,” kata si perwira.

“Ya, menjadi penjaga belakang adalah tugasnya Sirin,” gadis mekanis itu memotong percakapan mereka.

Ketika mereka berbelok di tikungan, mereka menggunakan dinding sebagai tempat berlindung dan berhenti sejenak. Sirin kemudian meminta maaf dan menggulung celana seragam yang menutupi lutut rampingnya. Ternyata, ada celah di dalam kulit buatannya.

Marcel memalingkan wajah, tetapi perwira staf satunya tersentak. Di balik kaki gadis buatan yang berbentuk manusia ini cuma ada tulang logam keperakan. Tubuhnya didukung dan digerakkan oleh akuator linier silinder. Bahkan tak ada pengganti buatan bagian yang semestinya jadi otot, tapi sejumlah pistol mesin tersembunyi di dalam celah kosong kakinya.

“Paduka Pangeran menyiapkannya untuk keadaan darurat. Pistol mesin ini menggunakan peluru runcing putar berkecepatan tinggi, dibuat untuk target antipersonel. Harusnya berguna untuk mengeluarkan kita dari sini.”

Kecepatan awalnya tinggi, dan pelurunya seharusnya mampu menembus pelat tubuh. Terlebih lagi, pelurunya berputar dalam tubuh, menyebabkan kerusakan jaringan tubuh tanpa membuang energi kinetik. Bagi Vika, Teokrasi—lebih tepatnya, manusia pada umumnya—mutlak bisa berkhianat, alhasil dia tentunya mempersiapkan itu.

Jelasnya kondisi tersebut membuat Lena dan Marcel mengernyitkan alis. Para perwira staf, sebaliknya, tak ragu-ragu menerima gagang pistolnya.

“—rongsokan besi tua itu memang berbahaya, tapi ini bukan jenis mainan yang boleh sembarang dibidik ke orang,” tutur seorang perwira staf operasi ke dirinya sendiri.

Gadis Sirin itu mengangguk.

“Kuserahkan sisanya pada kalian, teman-teman manusia …. Saya tidak kuat lari lebih lama lagi, jadi saya akan bertahan di sini dan mengulur waktu.”

Dia telah melepas otot buatannya dan cuma bergerak secara minimal dengan akuator liniernya. Dia masih kuat berjalan, tapi tidak bisa lama-lama. Sirin tersebut tersenyum kepada mereka dan pergi, tak lama seusainya, mereka mendengar ledakan keras mengguncang pusat komando yang baru saja mereka tinggalkan. Dinding abu-abu mutiara yang wangi itu bergetar.

Korps Angkatan Darat ke-3 Teokrasi yang menjadi pengalih, telah berhenti di tempat, tetapi tetap dihajar Legion yang saat ini mereka lawan. Sebagian unit Legion berbalik dan cepat-cepat melindungi Halcyon, namun banyak Legion masih tetap tinggal untuk menghabisi musuh. Artinya adalah pasukan Teokrasi yang fungsinya adalah menyibukkan Legion, malah ditahan di tempat oleh Legion yang mereka ingin alihkan perhatiannya.

Sedari awal, seluruh divisi yang berjumlah sepuluh ribu, adalah unit yang besar nian jadi tidak bisa semudah itu berbelok atau berhenti. Terutama tatkala musuh di depan mereka berusaha mencegah mereka melakukan apa pun. Dan dikarenakan Korps Angkatan Darat ke-2 berada di sebelahnya, mereka dihalangi ukuran besar mereka sendiri sekaligus gerombolan Legion yang melawan mereka.

Meskipun seluruh militer Teokrasi telah berbalik menyerang mereka, satu-satunya satuan yang melawan Brigade Ekspedisi Federasi secara langsung adalah resimen penyergap di hadapan mereka sekaligus Divisi ke-8 yang menyerang dari samping.

Dan sekalipun kedua divisi adalah pasukan yang jauh lebih besar dari mereka, Reginleif-Reginleif Divisi Penyerang dan Vánagandr-nya Resimen Bebas Myrmecoleo adalah Feldreß jebolan Federasi—model mutakhir yang dikembangkan salah satu kekuatan militer terbesar di benua dan diasah medan perang. Kendatipun kalah jumlah. Brigade Ekspedisi Federasi sukses mencegat serangan pasukan musuh.

Akan tetapi ….

… Fah-Maras merupakan unit berawak, Rito dan rekan-rekannya tidak dapat menggunakan mereka sebagai pijakan kaki selayaknya Legion. Meskipun mereka tahu unit ini bukan peti mati rapuh berjalan seperti Juggernaut, mereka pun tetap tidak tega melakukannya biarpun setebal dan sekokoh Vánagandr maupun Löwe.

Semua itu tidak jadi masalah. Di dalamnya ada orang.

“Kenapa …?!”

Dia mengingat-ingat satu orang anak laki-laki yang suka makan kulit lemon. Satunya lagi pandai bergulat lengan. Satu lagi anak laki-laki lebih tua yang menyajikannya teh bercampur bumbu pedas saat pertama kali sampai di Teokrasi.

Mereka tak berpura-pura—itu jelas—tapi jika begitu, terus kenapa?

Alarm berbunyi.

Setipis bagaimanapun lapis baja Reginleif, tapi tetap menangkal peluru 12.7 mm, namun peringatannya akan aktif misal diserang. Satu senapan penunjuk posisi2 barangkali menembaknya. Gara-gara abunya menghalangi bidikan laser, senapan ini digunakan eksklusif untuk memfokuskan bidikan senjata seseorang di medan perang sektor kosong.

Dan seandainya senapan penunjuk posisi telah ditembakkan, maka pasti dilanjutkan tembakan meriam.

Rito menghindar, refleks mengarahkan moncong senjata 88 mm-nya ke musuh. Tetapi bidikannya tertuju ke Fah-Maras. Dan di dalamnya, bisa saja ada seseorang yang pernah makan manisan bareng dengannya, bergelut dengannya, atau bermain dengannya.

Rito goyah di detik-detik terakhir. Tetapi Fah-Maras itu menembakinya tanpa ragu. Dia bisa mendengar suara seseorang dari pengeras suara eksternalnya. Suara seorang gadis, atau mungkin anak laki-laki yang suaranya belum memberat. Rito tak mengerti bahasanya, tapi cara bicara mereka menjelaskan niat mereka.

Maaf.

Jika mereka sampai bilang begitu … maka apa alasannya?

“…!”

Rito beruntung sudah menghindar. Selongsong tank Fah-Maras sedikit menyerempet Milan, terbang melewatinya lalu meledak. Pecahan selongsong menghujani unitnya dari jarak dekat, menghancurkan layar optiknya. Pecahan tajam layar itu menghujani kepalanya.

“Rito?!”

“Aku baik-baik saja, cuma tergores sedikit. Maaf, aku bisa memegang komando, tapi bertarung sekarang mungkin sedikit sulit.”

Pecahan layar optik sekadar menggoresnya. Tetapi lukanya ada di dahi, tepat di atas mata kanannya. Mata dominannya tertutup rapat oleh darah, dan waktu dia sentuh, dia tahu luka ini takkan cepat menutup sendiri. Dia berusaha menyeka darahnya meski tahu tidak berguna.

“Kenapa …?!”

“Orang-orang Kekaisaran memang tergila-gila oleh perang ….”

Hanya satu tentara Federasi yang melawan semua orang di pangkalan, kemudian pada akhirnya meledakkan diri. Dia menyembunyikan semacam perangkat berdaya ledak tinggi yang bahkan ada bantalan bola tersembunyi di dalamnya sebagai pecahan peluru. Dinding abu-abu mutiara yang steril kini berlumuran darah, bau busuknya mencekik bau kayu gaharu pusat komando.

Hilnå membuang napas. Ledakan bahan peledak sudah mematikan, tapi ditambahkan bola logam sebagai tembakan sebar, meningkatkan letalitas dan jangkauannya. Ide yang mirip dengan ranjau sebar. Gadis itu punya pistol yang entah bagaimana berhasil disembunyikan, tetapi begitu kehabisan peluru, dia menolak menyerah. Andai saja para perwira pengendali tak mengetahui perlawanannya lalu merengkuh tentara Federasi, tak satu pun manusia di pusat komando akan selamat.

Kedua perwira yang menahannya telah dicabik-cabik tembakan sebar, dan tentara perempuan yang meledakkan dirinya sendiri telah musnah. Tiga orang utuh sekaligus pecahan logam tak terhitung jumlahnya menyebarkan cipratan darah di seluruh pusat komando. Perwira yang menahan Hilnå ke lantai berlumuran darah orang lain dan dia sendiri sedikit berdarah.

Hilnå, akan tetapi, tetap aman oleh perlindungannya dan pengorbanan dua perwira lain. Dia tak tergores apa-apa. Hanya setetes darah yang jatuh ke pipi putihnya yang gagal ditangkis pedang setianya.

“Anda tidak apa-apa, Putri?!” perwira yang melindunginya bertanya.

“Aku tidak apa-apa. Terima kasih, begitu juga mereka berdua yang sudah mengorbankan diri.”

Tubuh manusia bisa menjadi perisai efektif terhadap peluru dan tembakan sebar. Sejak awal militer modern, ada banyak cerita tentara yang menghadang granat tangan untuk menyelamatkan rekan-rekan mereka.

Dan demikianlah cara kami melindungi negara kami: dengan mengorbankan banyak nyawa.

Hilnå mengusap tetesan darah di bawah matanya, melukiskan garis merah darah di kulitnya yang seputih salju, seakan riasan.

“Mematuhi takdirmu dan gugur di medan perang sepantasnya panggilan takdir. Betapa beruntungnya … dan membuat iri.”

Vánagandr berwarna sinabar melindungi Reginleif yang gagal menghindar, berdiri di jalur tembakan dan memblokir selongsong hulu ledak antitank berdaya ledak tinggi dengan lapis baja depannya yang tangguh. Pelat solid mencegah logam hitam legam menyerang bagian dalam Vánagandr, sementara PLBTLS 120 mm yang menjadi tembakan balasan telah menghancurkan Lyano-Shu sampai berkeping-keping.

“Kau tidak apa-apa, bocah?”

“T-terima kasih ….”

“Tidak masalah. Melindungi wanita dan anak-anak dari bahaya adalah kehormatan kami.”

Mendengarkan percakapan ini lewat radio dan hampir membayangkan senyum lebar pilot Vánagandr, Frederica merasa agak segan. Tapi setelah melihatnya sendiri, dia membuka bibir mengucapkan terima kasih.

Dia lagi duduk di dalam ruang kontrol kaki Trauerschwan, yang disembunyikan di belakang formasi Reginleif. Kelompok Lena masih melarikan diri, dan penggantinya, komandan regu, sedang di tengah-tengah pertempuran. Se-Maskot bagaimanapun dan sekurang apa pun wewenangnya, paling tidak dia mesti berterima kasih menggantikan mereka.

Lapis baja depan Vánagandr bahkan mampu menahan selongsong tank 120 mm, walau rasanya ingin memberi tahu mereka agar tak gegabah, dia pun tahu itu tak pantas.

Tapi Svenja yang kemungkinan besar telah melihat apa yang dilihat Frederica, menyela transmisi sebelum Frederica sempat memperingatkan. Caranya pun tidak sopan.

“Kalian tadi lihat tidak, 86?! Para Vánagandr Resimen Myrmecoleo akan melindungi kalian, jadi tetaplah sembunyi di barisan belakang! Kuda merah kami takkan meloloskan panah siluman apa pun—”

Frederica balas berteriak. Berani-beraninya Maskot unit lain bilang begitu?!

“Lapis baja frontalmu, itu dia! Vánagandr lamban dan lambatmu barangkali bagusnya buat tembok. Dan terlepas dari itu, kau tak punya wewenang apa pun atas unitmu, apalagi memerintah-merintah unit lain. Terus tundukkan kepalamu dan tutup mulut, dasar ornamen kecil!”

“Eeh?!”

Biarpun Frederica meneriakinya sekuat tenaga tanpa ragu sedikit pun, suaranya masihlah suara gadis muda yang baru menginjak usia remaja. Cukup membuat Svenja tersentak dan meringkuk ketakutan sampai-sampai Frederica mendengarnnya dari radio. Saat Frederica mengangkat alis, target panggilan beralih ke Gilwiese.

“Anda benar. Mohon maaf jika kami mengacaukan rantai komando. Namun saya akan hargai bila Anda menahan diri untuk tidak berteriak kepada Putri kami. Beliau cukup sensitif pada teriakan.”

“Yah, kurasa tak jadi masalah, karena tidak ada Prosesor yang mendengarkan.”

Lagi pula, 86 seharusnya terbiasa dengan para Handler Republik yang kadang-kadang mengoceceh di Resonansi Sensorik dan radio. Mereka tak hanya mengabaikan kata-kata Maskot tidak dikenal; dari awal takkan mereka hiraukan.

Setelah itu, Frederica mengerutkan alis matanya. Tidak menyebabkan masalah apa pun pada nirkabelnya, tapi ….

“Tapi Anda menyuruh saya untuk tidak berteriak, namun tanggung jawab Andalah untuk mendidiknya dasar-dasar perilaku di medan perang. Perhatikan itu. Dan jangan minta saya menahan diri untuk memarahinya tentang itu. Anda mengaku sebagai sosok kakaknya, bukan?”

“… saya mohon maaf.” Kata Gilwiese.

“… saya mengerti mengapa beliau adik perempuannya Kapten Nouzen. Beliau punya kepala yang bagus di pundaknya, Putri.”

Sehabis mematikan radio dengan senyum sinis, Gilwiese berbalik dengan susah payah, menghadap kursi penembak. Mereka berada dalam kokpit dua kursi berbentuk vertikalnya Mock Turtle. Kursinya terlalu sempit buat orang dewasa, tapi kebesaran untuk sosok mungil Svenja.

Terutama sekarang, selagi dia duduk meringkuk dan merinding. Gilwiese bicara dengan tenang.

“Bukan archduchess yang meneriaki Anda. Bukan Archduchess yang memarahi Anda. Tak apa. Janganlah takut.”

“I-iya …,” gumamnya, takut-takut mengangkat kepala.

Jejak air mata dan panik masih terlihat jelas di mata emasnya.

Gadis Maskot itu selalu menemani Shin, jadi Gilwiese kira dia gadis yang ada kaitannya sama Keluarga Nouzen. Atau mungkin berhubungan dengan ayah angkat Shin—presiden sementara, Ernst. Presiden sekarang adalah seorang prajurit sebelum revolusi, dan para prajurit adalah bangsawan atau rakyat jelata yang berafiliasi dengan resimen mereka. Terlepas dari itu, mereka di bawah komando penguasa. Shin dijadikan anak angkat supaya bisa dipercayakan tugas mengasuh seorang anak haram. Itu tidak masuk akal.

Pokoknya, mungkin gadis itu punya campuran darah prajurit Onyx dan Pyrope yang mengalir di nadinya.

Sekalipun Frederica adalah seorang blasteran Pyrope seperti Svenja, Svenja tetap tak paham mengapa merasa takut dimarahi. Padahal dia berani mendebat orang dewasa seperti Gilwiese tanpa takut sedikit pun.

“… gawat. Aku merasa …. Apa kata tepatnya? Marah, kurasa.”

Gilwiese tidak bisa menyalahkan si gadis Maskot karena tumbuh tanpa pernah tahu rasanya dicambuk. Kaum Onyx tak perlu melakukan perkawinan selektif, jadi mereka tidak punya anak-anak yang jadi produk gagal. Sebuah usaha sia-sia tak diinginkan yang harus hidup sembari menahan teriakan serta sumpah serakah gara-gara menjadi parasit tak berharga.

“K-Kak. Benar juga, kita mesti melapor ke Ayah, kalau begitu. Apabila kita memberi tahu Ayah kalau teokrasi rendahan ini telah mengkhianati kita, aku yakin Ayah akan membalas—”

“Asumsikan kita bisa memberi tahu Ayah. Putri …. Eintagsfliege sedang mengganggu komunikasi kita. Kita tak dapat mengontak Federasi saat ini.”

“… ah.”

Berdiri di tengah mereka dan Federasi adalah Teokrasi, Republik, serta negara-negara barat jauh, sekaligus zona dan wilayah yang dipenuhi Legion. Eintagsfliege terus-menerus dikerahkan ke wilayah mereka, gangguan elektromagnetik menghalangi komunikasi nirkabel.

Dengan kata lain, apa pun yang terjadi kepada Brigade Ekspedisi di Teokrasi, wilayah utama Federasi takkan tahu. Mereka tak punya cara untuk meminta Federasi menyelamatkan mereka dari situasi ini ataupun menekan Teokrasi.

Divisi Penyerang, dan orisinilnya dari Republik, telah mempergunakan Resonansi Sensorik. Penciptaan ulang kemampuan Marquess Maika dalam bentuk mekanis. Mereka gagal sepenuhnya membuat ulang kemampuan itu tentunya, tapi alat tersebut memungkinkan komunikasi yang mengabaikan jarak dan gangguan Eintagsfliege.

Tapi mau bagaimanapun kesanggupannya, tetap saja sebuah mesin. Seseorang di Federasi mesti punya Perangkat RAID untuk berkomunikasi dengan Divisi Lapis Baja ke-1, dan dia kudu memakainya tepat di momen ini. Dan sekalipun Gilwiese juga Svenja memberi tahu seseorang di Federasi, maka butuh waktu hingga bantuan tiba.

Dan di iklim saat ini, kemungkinan kecil Federasi, meskipun menjadi pewaris Kekaisaran Giad yang agung pun, berkenan berperang melawan Teokrasi. Secara realistis, mereka hanya kehilangan dua resimen. Mereka takkan memulai perang hanya untuk merebut kembali mereka. Terkhusus tidak 86 yang dari lahir bukan warga Federasi atau punya keluarga apa pun yang menginginkan kepulangan mereka.

Mereka akan dipuji sebagai pahlawan tragis, dan warga sipil akan koar-koar perihal nasib mereka sementara waktu, tetapi begitu Federasi mengumumkan akan menghentikan dukungan ke Teokrasi atau membuat sangsi lain, tak lama sesudahnya cerita itu akan dilupakan.

Tidak ada yang peduli jika satu unit atau rakyat jelata mati. Pada akhirnya, Resimen Myrmecoleo tak lebih dari pion yang tergantikan, baik bagi Federasi sekaligus tuan mereka. Ketiadaan mereka takkan menyebabkan rasa sakit yang lama bagi siapa pun.

“… dan karena inilah jadi unit menonjol tak ada manfaatnya.”

“Tapi … apa gunannya?” gumam Shin ke dirinya sendiri.

Bukan sesuatu yang semestinya dia pikirkan dalam situasi ini, tapi tidak masuk akal saja. Yang terjadi barangkali takkan menyebabkan peperangan dengan Federasi, namun akan mengakibatkan antagonisme dan memperburuk posisi Teokrasi.

Hubungan Teokrasi dengan Federasi, Kerajaan Bersatu, beserta Aliansi akan memburuk, lalu mereka akan kehilangan dukungan masa depan apa pun yang mereka harap akan dapatkan. Walaupun takkan sejelek Republik, mereka tetap akan dicap para paria karena memaksa tentara anak-anak pergi ke medan perang …. Kemudian imbalannya adalah dua resimen lapis baja.

 Federasi saja tidak kehilangan dua resimen itu.

Tidak, bahkan sebelum mempertimbangkan pengkhianatan, dari awal ….

“… kenapa mereka melakukan ini sekarang?”

Bagian inilah yang membekas di diri Lena. Bagaimanapun juga, Halcyon cuma dihentikan paksa sebab kepanasan. Senjata besar nan mengancam yang membidik Teokrasi itu; menghapusnya dari ancaman sepatutnya prioritas utama mereka. Dan Halcyon tidak hanya masih tangguh, namun pasukan mereka sendiri masih bertarung melawan pasukan lini depan Legion.

Lantas mengapa mereka mengkhianati Brigade Ekspedisi Federasi dan mengambil risiko bertempur di dua front—biarpun salah satu pasukan yang akan mereka lawan jauh lebih lemah? Kenapa berkhianat sekarang? Tidak ada gunanya berbalik melawan mereka di sini.

Hilnå menyebutkan pencapaian dan informasi, tetapi Brigade Ekspedisi Federasi belum merebut inti kendali Legion, apalagi menghilangkan Halcyon yang mana tujuan awal mereka. Masih belum terlambat untuk menyerang mereka setelahnya; faktanya, andaikan Teokrasi sebegitu ingin mengkhianati mereka, harusnya dilakukan seusai misi—ketika mengalahkan ancaman Halcyon dan kemungkinan mendapatkan informasi rahasia atau rongsokan railgun.

Setelah operasi selesai, Brigade Ekspedisi akan kelelahan dan tanpa pertahanan. Jikalau Teokrasi menyerang mereka malam ini, sewaktu tak dalam Reginleif mereka, bahkan 86 akan ditangkap tanpa banyak perlawanan. Iya, bahkan dari pemikiran merebut 86 sendiri, beralih mengkhianati mereka sehabis operasi selesai akan jauh mengurangi korban jiwa Teokrasi dengan usaha yang jauh lebih minim.

Kalau begitu kenapa? Mengapa melakukannya sekarang dan mati-matian saling merugikan satu sama lain padahal tak ada gunanya?

Semua koridor yang mereka lewati tak ada tentara atau penjaga. Mereka sampai di hanggar pangkalan. Pistol mesin yang diberikan ke mereka tiap-tiapnya punya peluru terbatas sebab keberadaannya wajib dirahasiakan, tetapi mereka bisa sampai tanpa menembakkan satu pun pistol.

Mereka memandang ke luar dan melihat udara terbuka masuk lewat pintu hanggar. Mereka tak bisa menyeberangi medan itu tanpa pakaian pelindung.

“Masuk ke Vanadis!”

Barulah ketika itu Lena menerima transmisi melalui Para-RAID. Dari kapten skuadron penjaga markas besar yang mereka tinggalkan sebagai unit cadangan.

“Kami memutuskan menjemput kalian sebelum dipanggil! Beri transmisi begitu kalian sudah masuk semua; kita menerobos pintu hanggar!”

“Iya, terima kasih.”

Seorang wakil pengemudi memanjat naik ke kursi Vanadis dan menyalakan mesin. Bahkan tak memeriksa semua orang sudah memegang sesuatu atau belum, dia tanpa ragu menginjak pedal.

“Letnan Dua Nana!”

“Baik, Bu!”

Dua senapan mesin berat mengeluarkan pekikan bernada tinggi seperti suara gergaji listrik. Pelurunya menembus pintu hanggar logam dalam hitungan detik. Beberapa detik kemudian tembakan berhenti, lalu Vanadis menabrak lubang pintu hanggar dengan suara bruk keras dan nyaring.

Pecahan-pecahan logam terbang ke udara. Dalam hanggar, para Reginleif menyambut kereta ratu mereka, membentuk formasi pertahanan di sekitarnya dalam sekejap mata.

Pemandangan sosok berseragam membawa senapan serbu yang akhirnya meramaikan hanggar telah memenuhi monitor Vanadis.

Kurena bisa melihat penampakan unit Mika, Bluebell, terhempas tepat di bawahnya lewat sensor optik Trauerschwan.

“Mika!”

Bukan serangan langsung ke kokpit. Unitnya tidak rusak parah juga. Tapi Mika pasti terluka. Karena sisi kirinya terkoyak, Bluebell terdiam di tempat, kemudian unit pendamping mendekat bersama Juggernaut untuk mengeretnya menjauh. Meskipun sudah begitu, unit-unit abu-abu mutiara mendekat.

Transmisi baru saja masuk, memberi tahu Rito juga terluka dan harus mundur ke barisan belakang. Kurena cuma bisa duduk manis, mengepalkan tinjunya dalam kokpit Gunslinger yang kaki depan dan belakangnya ditempelkan ke blok kokpit railgun raksasa.

“… kenapa?”

Mereka melakukan ini demi para keparat yang akan menipu dan memanfaatkan mereka. Kepada orang-orang mengerikan yang mencoba memaksakan kesulitan dan rasa sakit pertempuran ke orang lain dan pura-pura tak terjadi apa-apa.

Kenapa selalu kami?

Dia mendadak sadar gumpalan emosi yang diemban dalam hatinya adalah kemarahan. Tidak mendidih di dadanya, tidak pula dalam ulu hatinya. Kemarahan itu dingin dan keras, seolah-olah benda asing telah tersangkut dalam dirinya dan tidak mau keluar. Bagai gumpalan racun membeku yang mencantol ke dirinya dari dalam.

Kemarahan yang telah membara sejak dan sepanjang waktu dirinya berada di Sektor 86.

“Kenapa kami … yang harus selalu bertarung …?!”

Dilindungi oleh satu skuadron Reginleif, Vanadis kabur dari pusat komando korps dan bergerak ke tanah kosong kelabu. Vanadis bukannya tanpa alat pertahanan diri, tapi senapan rantai 120 mm-nya dan senapan mesin berat kekurangan tenaga. Mobilitasnya pun jauh dari kemampuan Reginleif. Maka dari itu, kendaraan komando bukan untuk pertempuran, dan mereka perlu menghindari kontak apa pun.

Skuadron penjaga pun sama, yang ditinggalkan sebagai cadangan minimal kalau-kalau terjadi keadaan darurat. Mereka berlari melintasi medan kelabu, bersembunyi di belakang bukit manapun yang dapat mereka temukan untuk menghindari pertempuran melawan militer Teokrasi. Mereka mesti mencari suatu cara untuk menembus kepungan korps dan berusaha berkumpul kembali dengan sisa pasukan.

Mereka berhasil melarikan diri dari pangkalan musuh, tapi seandainya Lena dan yang lainnya ditangkap lagi, mereka bisa jadi tawanan untuk menekan 86. Mereka juga kudu menjemput teknisi Armée Furieuse serta kru pemeliharaan yang lokasinya lima belas kilometer. Lena hanya bisa berdoa agar mereka tidak kenapa-kenapa.

“Letnan Dua Oriya, Letnan Dua Michihi! Status kalian bagaimana?!” Lena bertanya dari Para-RAID.

“Kami terkepung sepenuhnya, Kolonel!”

“Arah jarum jam 3 Divisi ke-3 dan barisan resimen penyergap jumlahnya sedikit! Kami berusaha menerobos dari sana!”

Selanjutnya Frederica menimpali dengan laporan lain.

“Korps Angkatan Darat ke-2 Teokrasi juga mulai bergerak ke arah kami. Akan tetapi mereka masih menghadapi Legion, jadi tak bisa ikut mengepung …. Berjalan-jalan di sekitar para perwira dan tentara Teokrasi sambil pura-pura jadi anak polos terbukti berguna.”

Komentar terakhir itu membuat Lena mengerjap beberapa kali karena tidak patut dikatakan di situasi tegang ini.

“Frederica …. Kau mengerti bahasa Teokrasi?”

Kemampuannya mengizinkannya melihat masa lalu dan masa kini orang-orang yang dia kenal, tetapi setahu Lena, dia setidak-tidaknya mengetahui nama dan berbincang dengan mereka.

“Cukup baik sampai bisa percakapan dasar. Aku bicara sama mereka, tapi bicaraku kubuat seakan-akan tak terlalu memahami mereka. Seperti yang kubilang, aku pura-pura jadi anak polos, nyengir-nyengir seperti gadis tak kenal dosa di tanah asing. Aku ulangi namaku kayak bayi sampai mereka menyadari niatku dan memperkenalkan nama mereka, dan itu sudah cukup untuk membuat kemampuanku bekerja …. Lagian tanah ini terlalu jauh dari Republik dan Federasi. Kurasa tidak ada salahnya untuk, anu, berhati-hati.”

Frederica boleh jadi tak mengharapkan pengkhianatan langsung, namun dia memang berasumsi semacam kesalahpahaman atau miskomunikasi dapat menyebabkan situasi tak terduga.

“Sudah cukupkah pembuktian kalau diriku berguna, Vladilena?”

“Tentu saja, Frederica …. Terima kasih. Kau sangat membantu.”

Dia bisa merasakan Frederica mengangguk puas. Meski begitu, Lena mempertimbangkan informasinya dengan teliti. Korps Angkatan Darat ke-2 sedang bergerak. Dua resimen tentunya tak mampu menahan seluruh pasukan negara. Dalam hal waktu yang terbuang dan penat batalion lintas udara serta sisa peluru, mereka tidak boleh membiarkannya lama-lama ….

“—tapi, Kolonel, tunggu.”

Seseorang menyela. Dia Mitsuda, salah satu komandan batalion Reginleif artileri. Suaranya punya sedikit ketidakpuasan yang tidak dia coba-coba sembunyikan, meski tak ditujukan ke Lena. Setelah itu dia melanjutkan, suaranya lebih tenang dan ayem.

“Katakan saja kelompok Shin mundur dari Halcyon. Bisakah kita kembali sesudahnya?”

Lena menegang dan menelan ludah gugup. Mitsuda melanjutkan.

“Maksudku, kelompok Shin sementara menghentikan Halcyon, tetapi masih utuh. Jika kita tinggalkan saja di sana, bukannya orang-orang Teokrasi akan sibuk menanganinya? Bagaimanapun juga mereka memanggil bantuan Federasi karena terlalu sulit dihadapi. Jadi selagi mereka sibuk mengalahkannya sendiri, kita bisa pulang.

Jadinya mereka tak usah bertarung tanpa arti melawan Teokrasi dan mencegah mereka mengalami kerugian tak perlu di pertempuran itu.

“Yah ….”

Bisakah? Bisa. Butuh usaha, tapi mereka dapat membantu Shin serta batalion lintas udara untuk melarikan diri, mengevakuasi lini depan dari kekacauan yang akan terjadi, terus tinggalkan Teokrasi. Mereka harus meledakkan Armée Furieuse dan Trauerschwan untuk menghilangkannya dan tidak membiarkan musuh merebutnya. Alih-alih pertempuran tanpa harapan melawan negara musuh, akan ada banyak nyawa yang diselamatkan.

Setelah itu Mitsuda bicara dengan nada datar, tak menyembunyikan perasaan jijik dan dendam yang dirasakannya.

“Benar, kami bangga berjuang sampai akhir. Dan tentu saja andaikata Federasi mau memanfaatkan tekad bertahan kami, yasudah, selama mereka membantu kami melakukannya …. Tapi bukannya kami membiarkan mereka dengan remehnya menggunakan kami, memaksa kami menjadi martir untuk mereka.”

Begitu mendengar kata-kata tersebut, Michihi merinding seperti orang yang pikirannya baru saja dibaca keras-keras. Dan Kurena menyetujuinya begitu saja dari dalam hati.

Keraguan, frustasi, dan amarah serupa yang membara di hati masing-masing 86 telah dibangunkan oleh kata-kata itu. Lagian memangnya mereka wajib bertempur demi orang-orang seperti ini? Atau sepaling-palingnya demi orang-orang seperti ini juga? Hanya karena bertarung sampai akhir adalah sifat dasar mereka, karena bangga melakukannya, bukan berarti mereka setuju dan nurut-nurut saja. Saat seseorang menipu 86, mengarahkan senjatanya ke 86, dan menuntut 86 untuk berjuang di perang mereka demi mereka, 86 berhak menolak.

Sebelum semua itu, mereka tak bertarung untuk melindungi siapa pun atau menyelamatkan apa pun. Itu berlaku di Sektor 86 dan di luarnya. Mereka tak bertarung demi babi-babi putih Republik. Mereka melakukannya untuk harga diri dan rekan-rekan mereka.

Mereka takkan melarikan diri, dan tidak akan menyerah. Mereka akan bertarung sampai akhir, ke tarikan napas penghabisan di momen final mereka—mematuhi harga diri sebagai 86. Dan bila di tengah-tengahnya melindungi para babi putih, yah, mereka takkan suka tapi mereka harus menjalankan tugas.

Federasi memanfaatkan mereka sebagai ujung tombak untuk menghancurkan posisi penting Legion, sebagai alat diplomatik sekaligus bahan propaganda. Mereka tahu itu. Warga sipil Federasi hanya melihat 86 dari media dan berita kemudian berpikir mereka adalah para pahlawan tragis yang dimuliakan. Namun di sisi lain, sebagai gantinya Federasi memberikan banyak hal, lantas mereka terima dengan enggan.

Namun mereka tak ingin menjadi alat atau bahan propaganda, mereka tentunya tidak ingin dianggap sebagai pahlawan. Mereka cuma bertarung demi diri mereka sendiri. Demi harga diri mereka, demi pribadi yang mereka jadikan aspirasi serta yang mereka percayai. Bukan demi orang lain.

Karena itulah, mereka yang kini telah meninggalkan Sektor 86, mereka takkan bertarung untuk orang-orang seperti ini. Tidak sekarang dan selamanya. Jadi jika mereka tak bertarung di sini … bila mereka abaikan saja orang-orang yang membiarkan mereka menyongsong takdir itu … maka tidak salah … ‘kan?

Namun keraguan sesaat yang mengombang-ambingkan 86 itu disobek. Layaknya tebasan mutlak bilah setajam silet.

“Undertaker ke Vanadis.”

Suara jernih dan tenangnya sampai ke telinga mereka—

“Unit lintas udara akan melanjutkan misi, sesuai rencana awal. Kami akan mengontrol zona perang sampai Trauerschwan berada di posisinya.”

—mendeklarasikan mereka takkan membatalkan operasi.

Lena, Kurena, dan tentara anak-anak membisikkan namanya, seolah-olah tersadar dari mimpi. Mereka semua menyimpan perasaan berbeda padanya, tetapi sama-sama menyuarakan nama sang Pencabut Nyawa tanpa kepala yang pernah menguasai medan perang Sektor 86. Dewa perang yang pernah memimpin mereka.

“Shin ….”

Mereka belum melenyapkan Halcyon. Operasinya masih berlangsung.

Hujan tembakan sebar memaksa mereka menjauhi Halcyon, tapi selagi Shin sekali lagi berjuang untuk menutup jarak, dia terus bicara. Beresonansi dengan seluruh divisi lapis baja membuat kepalanya berdenyut, tapi dia bisa menahannya sedikit lebih lama lagi.

Shin tahu perasaan mereka. Dia sama-sama tak menyukainya. Dia tidak mau bertarung demi orang-orang yang tak lebih baik dari babi putih Republik, apalagi mati untuk mereka. Apalagi sekarang, seketika punya hak untuk menolak …. Hak untuk mengatakan mereka tidak ingin mati.

Akan tetapi ….

“Aku paham amarah kalian. Tapi jika kita membiarkan Halcyon, bisa saja selanjutnya muncul di front Federasi. Dan kalau tidak merebut inti kendali unit komandan—informasi rahasia Legion beserta railgun itu sendiri—Federasi takkan punya masa depan. Ini bukan operasi yang bisa dijalani dengan diri kita yang termakan emosi lalu berhenti.”

Mereka tak boleh membuang kesempatan untuk melanjutkan hidup dikarenakan amarah dan murka. Hidup mereka tak lagi sering berubah-ubah dan plin-plan untuk memungkinkannya lagi.

Inti kendali Halcyon bukan perwira Kekaisaran. Tidak pula intinya Noctiluca, juga bukan para Shana yang mengoperasikan railgun. Tak satu pun punya informasi yang paling dibutuhkan Federasi. Tapi walau begitu.

Mitsuda bicara. Bukan sebab tidak puas atau berniat mendebat, tapi seperti anak kecil yang kehilangan alasan untuk tetap keras kepala dan ngotot.

“Tapi, Shin …. Tapi ….”

“Sudah kubilang, Mitsuda. Aku paham amarahmu. Itu tidak salah. Tapi tak layak mempertaruhkan hidup kita demi itu. Semisal keadaannya jadi memburuk, barulah kita pertimbangkan untuk mundur.”

“… diterima.”

Mitsuda mengangguk dari Resonansi, biarpun masih enggan. Sesudah memastikannya, Shin memotong Resonansi dengan seluruh unit. Usainya, dia jelas-jelas bisa merasakan seringai pahit Raiden lewat Resonansi.

“Yah, bukan berarti mundur dari pertempuran itu sesederhana omongannya Mitsuda.”

Unit lintas udara bertempur dengan perkiraan bahwa unit darat akan menangani penghapusan Legion di lini depan.

Melawan Halcyon bisa-bisa saja, tapi melawan Halcyon seraya keluar area sambil ditembaki dari belakang tuh sedikit sulit, apalagi mereka tak dapat mengandalkan bantuan pasukan Teokrasi.

“Iya. Semua unit, kalian dengar aku. Kita lanjutkan operasinya.”

Semua orang di unit lintas udara berpikiran sama seperti Raiden. Tak satu pun suara keluhan, mereka menjaga tensi. Operasinya berlanjut. Namun sekarang siapa yang ingin beri tahu seberapa lama mereka harus menunggu hingga Trauerschwan sampai ke posisi menembaknya?

“Berdasarkan analisis sistem pendingin, kita mungkin tak wajib menunggu Trauerschwan sampai ke posisi untuk menghancurkan Halcyon, dan kalau bisa, akan langsung kita lakukan. Hingga saat itu, cobalah hemat amunisi.”

Di sepanjang medan perang Sektor 86 dan Federasi, dia mengikuti Shin. Dia mendambakannya sampai-sampai seperti mengimani suatu agama. Tapi mendengarnya sekarang, Kurena bereaksi tak percaya.

“Kenapa?”

Kenapa dia terus-terusan bilang perang akan berakhir, bahkan di situasi ini? Kenapa dia bersikeras memegang kepercayaan itu di dunia ini? Di dunia yang tertawa-tawa selagi menembak mati ayah-ibunya tanpa perasaan? Dunia yang akan memutus tangan seorang 86 yang hatinya ditetapkan untuk bertarung sampai napas terakhirnya?

Babi-babi putih juga merenggut keluargamu. Kau melihat Theo kehilangan tangannya sepertiku. Terus kenapa? Kok masih bisa kau melakukannya?

Untuk waktu yang lama, ada jurang pemisah mutlak, sebuah celah, yang memisahkannya dan Shin. Antara 86 seperti dirinya dan 86 seperti Shin. Kini dia melihatnya. Dinding yang berdiri menghalangi orang-orang yang meninggalkan Sektor 86 dan yang tidak bisa—mereka yang telah ditinggalkan.

“Apa kau akan meninggalkan kami? Hei ….”

Pencabut Nyawa Kami. Atau begitulah pikirku ….

Kau akan mencampakkan kami?

Padahal kami dulunya rekanmu?

“Unit lintas udara akan melanjutkan misi, sesuai rencana awal. Kami akan mengontrol zona perang sampai Trauerschwan berada di posisinya.”

Dari segala hal, dia tak pernah menyangkanya.

Mendengarkan kata-kata tegas nan berwibawa kapten 86, Hilnå membelalak dan melongo takjub.

Tak mungkin. Tak mungkin. 86 sendiri yang mengatakannya? Tidak …. Bagaimanapun.

Hilnå tak bisa menghentikan senyum yang terbentuk di bibirnya.

“Lihat? Dewa perang kalian, Pencabut Nyawa kalian juga mengatakannya, 86.”

Tidak Lena atau 86 bisa melihat senyum itu, tapi senyumnya amat melengkung … dan entah bagaimana seperti menghujat dirinya sendiri.

“Itu peran kalian. Demikianlah kehendak dewi bumi dan takdir yang dilimpahkan kepada kalian di dunia ini. Kalian semua semata-mata mengenal konflik. Kalian tak bisa hidup di manapun. Kalian akan tinggal di medan perang, dan di sanalah, kalian juga akan mati. Itulah satu-satunya takdir yang disiapkan untuk kalian.”

Persis seperti kami.

Kata-kata Shin dari Resonansi adalah sesuatu yang mereka pikirkan tapi tak disuarakan. Shin tidak sempat mendebatkan persoalan ini karena pertempuran melawan Halcyon akan berlanjut, jadi Lena bicara menggantikannya.

“Semua unit. Jangan anggap ini menyelamatkan Teokrasi. Kalian bukan pahlawan. Kalian boleh dan harus bertarung demi alasan masing-masing.”

Membuat keputusan itu adalah tugasnya komandan. Dan Lena tak ingin kata-kata yang Shin katakan akan jadi senjata makan tuan.

“Sekalipun harga diri kalian adalah bertarung sampai napas terakhir, bukan berarti satu-satunya tujuan kalian adalah bertarung. Kalian bukan drone, bukan juga senjata. Jangan pula membiarkan omong kosong itu menyesatkan kalian! Akan tetapi, kita akan menyelesaikan operasi ini. Kita akan menghancurkan Halcyon!”

Sekiranya mereka tak puas atau tak senang, maka biarkan itu diarahkan ke dirinya alih-alih Shin. Dia adalah ratu yang hidup melayani 86. Sebagai ganti tak pernah menumpahkan darahnya sendiri di medan perang, dia mesti lebih tenang dari bawahan-bawahannya.

“Dan demi tujuan itu, kita pertama-tama harus menerobos blokade ini! Bekerja sama dengan Resimen Myrmecoleo lalu membuka celah di pengepungan musuh!!”

Tetapi begitu dia mengatakan ini, dia sadar ada yang absurd dari rencana ini. Menembus blokade. Pengepungan penuh.

Kenapa?
Sebuah pasukan akan melemah ketika terpencar-pencar. Pasukan yang kalah sebagian besar kerugiannya adalah saat mundur. Karenanya, aturan umumnya adalah seseorang tidak menerapkan formasi yang tak mengizinkan musuh mundur sama sekali. Ketika dipukul mundur, orang-orang akan cenderung panik dan gagal melarikan diri baknya hewan.

Namun seumpama jalan keluar mereka diputus dan kematian sudah menyorot wajah, para prajurit akan berjuang sampai tarikan napas terakhir. Sebagaimana status paling berbahayanya hewan adalah kala terdesak, tentara menunjukkan keganasan luar biasa sesudah dibebaskan dari belenggu kekangan dan akal sehat.

Memaksa musuh ke posisi seperti itu akan menghasilkan lebih banyak korban jiwa bagi pihak penyerang.

Itulah sebabnya pengepungan dipandang rendah. Kecuali seseorang ingin menyapu bersih musuh, meninggalkan jalan keluar hukumnya penting. Seandainya Teokrasi betul-betul berniat menyerap 86 ke pasukan mereka, memblokir Kurena, Michihi, Rito, dan pasukan utama Brigade Ekspedisi dengan pengepungan penuh tak masuk di akal.

Selain itu, ada pula pengaturan waktu yang aneh dari serangan mendadak dan fakta kelompok Lena belum menemui satu pun tentara musuh sampai mereka kabur. Mereka tak menyandera Lena dan perwira-perwira pengendali. Dan titik teranehnya adalah mereka repot-repot melakukan ini cuma untuk menjadikan musuh negara-negara besar seperti Federasi dan Kerajaan Bersatu, demi mencuri dua resimen.

Bagaimana jika tujuan Hilnå adalah tidak membuat 86 menyerah? Barangkali di situasi ini, sepenuh apa pun kontradiksi dan inkonsistensi, bukanlah kehendak tentara Teokrasi, melainkan ….

“Aku tahu kau memanfaatkan radio ini, Hilnå,” kata Lena dengan suara lirih, mengganti transmisi radio ke panjang gelombang pusat komando Teokrasi.

Suaranya mirip amarah yang ditekan, ibarat tak puas semisal tak mengutarakan komentar terakhir ini.

“Kau dengar kata-kataku, ‘kan? Kau salah, Hilnå. 86 menetap di medan perang karena harga diri mereka—bukan karena takdir. Mereka bertarung bukan karena percaya kalau konflik adalah jalan mereka satu-satunya. Mereka bertarung untuk mengakhiri perang ini!”

“Tidak. Kami tidak begitu,” sembur Kurena dengan pahit.

Karena Lena yang bicara, dia tak jadi sesebal itu. Tetapi andai orang lain yang mengucapkannya, dia akan sangat-sangat marah.

Mereka tidak bertarung untuk mengakhiri perang. Tak semua 86 berpikiran sama dengan Shin. Lena bilang begitu karena senantiasa berada di sekitar Shin. Shin ingin mengakhiri perang, dan Lena lebih dulu dan paling mencontohnya.

Tentu saja Kurena pikir akhir perang terkutuk ini adalah hal yang baik pula. Dia mau melihat mimpi Shin jadi nyata—melihat peperangan usai. Tapi jika begitu, nantinya dia tak punya tempat di sisinya, dan tidak akan bisa membantunya lagi.

Tapi ….

Kurena kebingungan oleh pikiran berputar-putarnya. Dia mau melakukan apa sesungguhnya? Jawabannya cukup sederhana. Dia ingin seluruhnya tetap seperti apa adanya. Membantu Shin dan semua rekan-rekannya, di medan perang sini. Paling tidak di sini, dia tahu di mana tempatnya … tempat berdirinya. Shin jauh lebih nyaman sekarang ketimbang di Sektor 86, dan menghabiskan hari-hari bersama rekan-rekan jauh lebih menyenangkan. Dan untuk itu ….

Kurena mengingat kata-kata Theo dulu.

Kedengarannya seolah kau tidak ingin perang berakhir.

Tatkala itu, dia bilang bukan itu maksudnya. Tapi itu tak benar.

Maksud sebenarnya adalah persis itu.

“Apakah perang harus berakhir …?”

Aku ….

Tetapi sewaktu kata-kata itu terbesit di benaknya, sesuatu mencapai telinganya bagaikan gemuruh guntur yang mengikuti kilatan petir menyilaukan. Sesaat kilat merobek malam, gemuruh ini mengguncang cakrawala.

“Tidak!”

Sesuatu itu adalah suara Hilnå.

“Mana mungkin! Aku takkan percaya kata-kata warga Republik, bagian kaumnya para perenggut itu, berani bilang begitu!”

Teriak Hilnå, seakan-akan mengepulkan api kebenaran kepada ratu perak ini yang berani bicara seolah-olah mengetahui segalanya.

Kau tidak mengerti. Kau tak pernah mengerti perasaan orang-orang yang telah direnggut dari mereka—fiksasi total yang mereka pegang adalah satu-satunya hal yang mereka miliki.

“Takdirlah yang mendorong 86! Lagi pula, tidakkah mereka diusir dari tanah air mereka, Republik, kemudian dipaksa hidup di medan perang? Bila medan perang mengambil semuanya dan segalanya, jika mereka hanya punya luka dari direnggutnya nama mereka … maka mereka tak boleh melepaskan takdir itu! Mereka tak sanggup menyembuhkan luka-luka itu!”

Tanpa sadar, Hilnå memegang erat tongkat komandonnya. Rasanya ibarat mimpi buruk lama itu hidup kembali tepat di depan matanya.

Meskipun sudah berlalu sepuluh tahun, dia masih ingat kekejaman yang menimpa keluarganya dengan sangat jelas.

“Karena aku pun sama! Hal sama terjadi kepadaku! Takkan kulupakan para santo yang mengekangku untuk menjadi sosok pemimpin tragis! Takkan kulupakan perbuatan Terokasi, bagaimana mereka menjadikanku santo perang tuk memastikan persatuan rakyat di hadapan bencana!”

“Apa yang kau bicarakan—?”

“Keluargaku, Keluarga Rèze, semuanya dibantai Legion di awal perang.”

Dia bisa mendengar napas Lena tertahan di tenggorokannya.

Keluarga Rèze—adalah keturunannya para santo. Kapan pun perang pecah, sudah tugas anggota-anggota Keluarga Rèze untuk menjadi komandan korps atau divisi. Namun komandan-komandan tersebut tak mungkin secepat itu dibunuh setelah perang dimulai.

“Seorang santo muda yang seluruh keluarganya dimusnahkan Legion laknat. Walaupun seorang gadis remaja yang rapuh, dia akan memberi penghakiman kepada Legion. Simbol Teokrasi, bertarung dengan mulia bersama amarah di hatinya. Mereka mencoba menjadikanku seseorang seperti itu, dan untuk melakukannya … pasukan Teokrasi meninggalkan keluargaku.”

Pusat komando korps diserang Legion. Unit penjaga pangkalan kebetulan ditarik mundur dari pusat komando waktu itu sebab kesalahan perintah, dan unit penyelamat kebetulan dihentikan penyergapan tak terduga Legion, gagal tiba tepat waktu.

Kala itu, Hilnå muda sedang bicara pada keluarganya lewat transmisi. Neneknya—komandan korps—ibunya, ayahnya, kakeknya, dan kakak-kakaknya—komandan divisi serta perwira staf—pamannya juga bibinya.

Biarpun hanya dari transmisi, dia harus melihat seluruh keluarganya dibunuh dengan brutal.

Hari itu santo-santo lain lebih dahulu memanggil Hilnå. Dia terlalu muda untuk pergi ke pusat komando terintegrasi tanpa ditemani siapa-siapa, lalu memulai transmisi agar bisa bicara sekali saja dengan ibunya. Selanjutnya para santo ini berdiri di sebelahnya, menyaksikan saat-saat dirinya menjadi saksi pembunuhan keluarganya.

Dia takkan melupakannya. Mimpi buruk itu. Yang disaksikannya. Wajah-wajah keji dan tak berperasaan orang-orang sebangsanya.

“Ayahku, ibuku, nenekku, pamanku, dan kakak-kakakku dicabik-cabik oleh Legion. Dan para santo yang membiarkannya terjadi … berkata mereka membuat keputusan menyakitkan dan pengorbanan besar, hanya untuk mengatasi cobaan menyiksa ini. Mereka meneteskan air mata bahagia sambil mabuk keagungan diri mereka sendiri.”

“Tanah airku merenggut keluargaku, jadi aku takkan mencintai negeri ini lagi. Aku cuma punya takdirku sebagai santo perang dan bekas luka yang digoreskan ke diriku adalah sesuatu yang takkan kubiarkan siapa pun mengambilnya. Tidak akan kulepaskan!”

Kurena merasa laksana hal-hal yang baru saja dikatakan Hilnå sedang diteriakkan ke dirinya oleh bayangannya di cermin. Gadis yang dipikirnya serupa dengan babi-babi putih, perwujudan segenap hal keliru di dunia ini, nyatanya sama seperti mereka. Cerminan 86.

Seorang anak yang ditolak keluarga dan tempat kelahirannya. Seorang gadis yang dipaksa menanggung upaya perang3. Seorang bayi yang hanya memiliki takdir ini—harga diri untuk hidup di medan perang.

Ibaratnya Hilnå barusan membuka sumbat semua hal yang dia simpan dalam botol, mata emasnya menyala-nyala.

Iya, itu benar. Hilnå benar.

Setelah segala hal diambil darinya, Kurena tak boleh melepaskan setunggal hal yang memberikannya identitas. Sekalipun hal itu adalah luka-lukanya.

Apalagi tidak karena ….

“Jangan bilang kau tak memahaminya. Harusnya kaulah orang yang paling tidak mungkin mengambil ini dariku.”

Shin semestinya memanggul luka yang sama. Dan dia tahu Kurena tak ingin kehilangan itu, untuk jangan mengambilnya.

Kau tahu aku tidak bisa mengharapkan masa depan, jadi … aku tak ingin perang berakhir.

Jangan ambil itu dariku.

Keberadaanku hanya ada di medan perang. Jangan paksa aku meninggalkan tempatku satu-satunya.

Teriakan Hilnå layaknya jeritan. Jeritan bayi tak berdaya yang akhirnya menemukan solidaritas anak hilang lain. Kini dia memegang teguh sekutu itu, menangis dan menolak melepaskannya.

“Aku yakin kalian dari semua orang akan tahu ini! Tentara anak-anak yang dipaksa menjadi hantu hidup, berkelana di medan perang dan memakan peperangan! Dan kau, sang Pencabut Nyawa Tanpa Kepala yang dipaksa menyuguhkan suaka di medan perang yang ditinggalkan para dewata! Kau tahu menjunjung panji-panji kebajikan seperti halnya keadilan dan kebenaran tidak ada artinya!”

Shin melihat ke bawah. Ada kalanya dia merasa sama. Keadilan dan kebenaran tak ada artinya. Dia merasa demikian di Sektor 86 lampau, di barak skuadron Spearhead, tempat dirinya ditakdirkan mati tanpa makna enam bulan setelahnya.

Waku itu, Shin tak meragukannya. Dia kira tak sekadar kemungkinan, melainkan memang kebenarannya dunia.

Dan inilah Hilnå, sekarang mengatakan hal sama. Dia sebagaimana 86—seorang anak yang diusir ke medan perang oleh kebencian umat manusia. Kini mengangkat kebenaran Sektor 86 sebagai panjinya.

Berdiri diam dan menolak bergerak. Terjebak dalam kurungan medan perang. Membiarkan luka-lukanya menguasainya, alih-alih menyembuhkannya.

Dan Lena, berdiri syok sambil membelalak. Dia yakin. Yang baru saja Hilnå katakan adalah ….

Kerlip baru muncul di salah satu layar sekunder Vanadis yang menampilkan peta area. Sistem radar Reginleif yang sekarang ini dikelilingi musuh telah mengidentifikasi unit baru, dan mereka entah bagaimana berhasil mengirimkannya ke Vanadis, terlepas dari gangguan elektromagnetik.

Mengirimkan tanda IKL (Identifikasi Kawan-Lawan). Kerlip-kerlip yang tadinya tadinya peleton pengintai Korps Angkatan Darat ke-2 Teokrasi, I Thafaca. Begitu melihatnya, Lena memanggil unit yang akan mereka hubungi—salah satu unit skuadron Scimitar.

“Gremlin!”

Pengkhianatan tak terduga Teokrasi, campur tangan abu di tengah udara, dan informasi batalion lintas udara terisolasi di belakang lini musuh. Semua itu disatukan mmbentuk kebingungan dan kepanikan, meluap-luap dalam diri Prosesor Gremlin. Karena itu peringatan kedekatan meraung di kokpitnya, mereka hanya bisa terkesiap kaget.

Mereka menendang Lyano-Shu yang merayap mendekat, tapi setelah memalingkan muka, mereka tiba-tiba melihat siluet besar dan tebal Fah-Maras di belakang tirai abu. Kanopinya terbuka, dan sosok seorang manusia melompat keluar. Lambang mereka adalah burung pemangsa bersayap enam—Korps Angkatan Darat ke-2 Teokrasi.

Mereka sedekat ini?!

Kepanikan Prosesor membuat pikiran mereka mendidih. Refleks mengarahkan senapan mesin mereka ke prajurit yang mengenakan pakaian pelindung abu-abu mutiara yang entah kenapa cepat-cepat melambaikan tangan ke udara.

“Gremlin!” Lena meneriaki dirinya dari Resonansi Sensorik.

“Jangan tembak!”

“?!”

Refleks menggerakkan moncongnya, melompat menjauh biar tidak tertembak lebih dulu dan mencari jarak di antara mereka. Selanjutnya barulah dia sadar prajurit itu sudah turun dari unitnya, meninggalkan alat untuk menyerang mereka. Prajurit itu berkali-kali menunjuk wajah dirinya yang tak berbentuk, bertopeng, dan tertutup kacamata google, lalu Prosesor itu memahami niat mereka kemudian berganti frekuensi ke gelombang Teokrasi.

Gangguan elektronik yang terjadi di sekitar Korps Angkatan Darat ke-3 gagal mencapai tempat ini. Radionya berderak keras dengan suara statis, dan suara seorang pemuda—tidak jauh-jauh amat dari umur Prosesor—bicara kepada mereka, tergagap dalam bahasa Republik.

“Kami bukan musuh kalian! Dengarkan kami, 86!”

Setelah mendengarnya dari Resonansi, Lena memastikan kebenaran kecurigaannya.

Jadi sebetulnya hanya ….

“Hilnå. Seluruh tipu daya ini …. Kau seorang dalangnya, bukan?”

Ini bukan Teokrasi yang memutuskan mengkhianati Federasi. Hilnå melakukannya atas keinginan sendiri.

Pertempuran mereka melawan Divisi ke-8 Teokrasi dan resimen penyergapan terus berlanjut, tapi Michihi masih dilanda kebingungan dan keraguan. Kian lama pertempurannya, makin-makin berasa konflik batinnya.

Barangkali karena dia mendengar percakapan Lena mengenai masa lalu Hilnå. Rasanya cerita gadis itu satu frekuensi dengan dirinya. Absurditas sama yang menghancurkan hidup 86. Sepuluh tahun lalu, ketika Perang Legion terjadi, Michihi bersama rekan-rekannya masih muda. Mereka mendadak diusir ke kamp konsentrasi, di sanalah mereka dipisahkan dari orang tua, kakek-nenek, dan saudara-saudari mereka. Dijatuhi hukuman bertempur sebagai bagian drone dan dipaksa bertarung sampai mati agar Alba Republik dapat menuai keuntungannya.

Mereka semua dengan jahat telah dirampas tempat tinggal dan keluarga-keluarganya, dirampas sifat polos yang memimpikan masa depan.

Terjadi juga di sini. Di negara yang jauh di barat sini. Dan mungkin terjadi di mana-mana.

Aku sebenarnya bertarung untuk apa?

Keraguan itu membuat tangan Michihi keram. Dia sadar tak menggerakkan kontrol atau menarik pelatuk secepat biasanya, tetapi dia tidak bisa menahan getarannya. Rasanya seperti melawan bayangan cerminnya sendiri, bahkan seorang prajurit 86 berpengalaman seperti dirinya ragu-ragu.

Aku tidak boleh memikirkan itu. Aku harus fokus menembus blokade ini dan kabur.

Dia menggeleng kepala, entah bagaimana menelan letusan perasaan tak berdaya kekanakan yang membutnya ingin menangis.

Para Fah-Maras yang dipimpin unit komandan musuh ditemani sepasukan drone-drone Lyano-Shu. Jika dia menghancurkan Fah-Maras yang mengomandoinya, Lyano-Shu akan langsung dihentikan, lantas cara tercepat untuk mengakhirinya adalah mengincar Fah-Maras.

Tapi baik Michihi dan rekan-rekannya malah berkonsentrasi menghancurkan Lyano-Shu. Alih-alih mengincar unit berawak, mereka malah fokus menembak ekstensi yang dikendalikan dari jauh. Mereka tidak mau membunuh orang lain. Bertarung hingga akhir mungkin saja harga diri mereka, tapi bukan berarti mereka bersedia membunuh orang lain.

Sesudah menghabiskan hidup mereka berperang melawan Legion, inilah pertempuran pertama 86 melawan sesama manusia. Bukan pertarungan yang mereka inginkan.

Mereka tak ingin sampai membunuh.

Lyano-Shu lain membidiknya. Jika dia melompat menyingkir seperti biasa, kakinya akan tersangkut abu. Terpaksa mengencangkan cengkeraman kakunya ke tuas kendali, dia putuskan berdiri tegak dan memutar moncong meriam otomatisnya.

Turet senjata Reginleif punya tingktan ketinggian terbatas, tapi bisa diputar. Gerakannya lebih cepat daripada unit Teokrasi yang harus memutar seluruh tubuhnya dengan turetnya.

Michihi menekan pelatuk.

Selongsongnya menabrak target, fokus ke sendi kaki depannya terlebih dulu. Begitu unit musuh kehilangan pijakannya, ia roboh, terus Michihi habisi dengan rentetan tembakan tambahan. Membidik kaki lebih dulu adalah gaya bertarung normalnya Michihi, ditempa dengan pertarungan melawan Legion yang jauh lebih gesit ketimbang Juggernaut.

Walaupun tembakan meriam otomatis 40 mm kuat, tetapi kurang daya hancurnya selongsong tank 88 mm. Tembakan meriam otomatis merobek Lyano-Shu, tapi bentuknya masih utuh. Namun setelah itu lapis bajanya yang seperti kanopi kokpit terbuka. Dan dari dalam terkapar satu tangan kecil, bak lengan boneka yang robek.

Hah …?!

Mata Michihi membeliak ngeri.

Tangan kecil seorang anak. Ini … ranjau swagerak? tapi apa yang dilakukan unit Legion dalam Lyano-Shu?

Michihi bingung bukan main. Pikiran membanjiri benaknya yang dalam keadaan kekacauan tak terkendali. Kenyataan dari yang baru saja dilihatnya tidak salah dan tidak perlu kepastian lebih lanjut, namun dia tetap menolak memercayai matanya. Instingnya mendesaknya untuk menentang realisasi itu—menjerit-jerit padanya untuk menyangkal kebenarannya.

Lapis baja depan Lyano-Shu—tidak, kanopinya—terlepas. Dan di dalamnya, terbaring di kokpit yang telah dikoyak tembakan meriam otomatis ….

… adalah mayat seorang gadis kecil, yang bahkan belum berusia sepuluh tahun.

 

Catatan Kaki:

  1. Kalau di novelnya adalah Heat Signature,tapi HS sendiri adalah istilah lainnya Infrared Signature (Tanda inframerah), yakni untuk menggambarkan penampilan objek pada penderita inframerah.

https://ms.wikipedia.org/wiki/Tanda_inframerah

https://en.wikipedia.org/wiki/Heat_signature

  1. Senapan penunjuk posisi adalah senapan kaliber kecil sebagai alat bidikan untuk artileri.
  2. Upaya perang dalam politik dan perencanaan operasi militer, mengacu pada mobilisasi sumber daya masyarakat yang terkoordinasi — baik industri maupun sumber daya manusia — untuk mendukung kekuatan militer. Tergantung pada budaya militerisme, ukuran relatif dari angkatan bersenjata dan masyarakat yang mendukungnya, gaya pemerintahan serta dukungan rakyat untuk tujuan militer, upaya perang semacam itu mulai dari bentuk industri kecil hingga memimpin masyarakat.

https://id.wikipedia.org/wiki/Upaya_perang

Share this post on:
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments