Share this post on:

Menara (Terbalik)

Penerjemah: Aerith

“… ah.”

Sejenak, Theo tak bisa berkata-kata. Apa yang terjadi? Sebagian dirinya merasa harus tahu. Laughing Fox menatap Undertaker kala semuanya terjadi, jadi dia telah melihat semua kejadiannya.

“… Shin.”

Tidak ada respon. Para-RAID telah dimatikan. Sama seperti saat itu. Ketika mereka meninggalkan kapten lama Theo sampai mati. Keheningan serupa setelah dirinya mematikan radio.

Theo lupa. Kaptennya …. Kapten yang kendati seorang Alba, kembali ke medan perang atas kemauannya sendiri. Meninggalkan istri tercinta dan anaknya yang baru lahir. Seorang pria yang kematiannya akan membuat orang-orang berduka. Seseorang yang punya masa depan cerah, bisa mendapat kegembiraan andai saja terus hidup ….

Terlepas dari itu, dia mati. Tidak meninggalkan apa-apa selain Tanda Pribadi rubah tertawa. Dan gantinya, Theo selamat …. Theo yang tak punya masa depan maupun seseorang untuk menjalani masa depan bersama-sama. Takkan ada yang berduka atas kematiannya. Tiada keluarga atau rumah tempatnya berpulang. Bukan berarti dia mau mati, namun … dia pikir jika salah satu dari mereka harus selamat, maka seharusnya kaptennya.

Dan Shin pun sama. Akhirnya menemukan seseorang yang bisa diajak hidup berdampingan. Masa depan bahagia yang dapat diinginkan. Juga punya rekan-rekan yang kesemuanya berharap agar dia meraih kegembiraan tersebut.

Theo sekali lagi ditinggalkan. Masih tak bisa mengharapkan apa pun.

Sepertinya sejauh ini dia sudah lupa. Kini dia ingat, seluruhnya terlalu jelas. Tak peduli seberapa berharganya hidup seseorang. Jumlah orang yang dia tinggalkan, banyaknya air mata yang ditumpahkan atas kepergian mereka …. Tak ada yang berarti. Sebuah kehidupan bisa dicabut tanpa mengindahkannya.

Yang ada, nyatanya orang-orang yang punya banyak alasan hidup—yang kematiannya paling diduka—adalah yang pergi duluan.

Memang begitulah kenyataan dunia ini.

“Ah ….”

Melihatnya juga membekukan Lena. Undertaker jatuh sambil menyebarkan pecahan-pecahan kecil. Lena menyaksikannya jatuh dalam gerakan lambat, tetapi semuanya berakhir dalam sesaat. Pilar percikan air naik begitu jatuh ke laut. Seperti itulah, tanpa daya tenggelam ke kedalaman bayangan.

“Aah …. Aaaah ….”

Dia bisa dengar, ibarat dari jauh, suara kursi Frederica jatuh dan langkah kaki mundur setelah gadis itu melompat berdiri. Dia bisa mendengarnya berlari panik, dan di tengah langkahnya, dia berteriak, “Kirim perahu penyelamat! Kekuatanku bisa melihat orang yang jatuh, jadi cepat selamatkan! Cepatlah!”

Namun meskipun mendengarnya, Lena tertegun. Undertaker …. Shin terjatuh. Tapi dia baik-baik saja. Harusnya begitu. Dia harus percaya itu. Dia jatuh dari ketinggian yang cukup berpengaruh, tapi jatuhnya ke air. Reginleif dibuat untuk bertarung dengan kecepatan tinggi, dan dilengkapi peredam kejut kuat. Terlebih, Undertaker menembakkan jangkar kawatnya di tengah jalan, jadi pasti sepintas melingkari baloknya. Harusnya menahan kecepatan jatuhnya dan memungkinkannya memperbaiki posturnya. Dia tidak jatuh kepala duluan, jadi baik-baik saja. Mestinya begitu.

Stella Maris sudah dahulu mengerahkan perahu penyelamat di sekitar Mirage Spire, memperhitungkan kemungkinan seseorang jatuh. Perahu kecil bertujuan memulihkan pesawat tempur yang jatuh sebelum sempat mencapai kapal induknya. Juggernaut bahkan lebih ringan dari pesawat tempur, jadi mengangkatnya kembali seharusnya tidak sukar.

Tapi benarkah pendaratannya akan selunak itu karena jatuh di air?  Bukannya kawatnya meleset sebelum bisa mengurangi kecepatan jatuhnya? Sekuat apa pun peredam kejutnya, tetap tidak bisa meniadakan dampaknya. Dari awal, bukankah penghancuran diri Phönix merusak Undertaker?

Lebih pentingnya, umpamanya di baik-baik saja, terus kenapa? Kenapa Para-RAID tidak bisa menghubunginya? Lena tepat di sana, tetapi kenapa dia tak meminta bantuannya …?!

“Tidak …!”

Shin bilang dia akan kembali. Di medan perang bersalju itu, mereka saling berjanji akan kembali hidup-hidup. Dia bilang ingin hidup bersama-sama. Percakapan sebelum operasi ini terbesit di benaknya. Kala itu, Shin-lah yang mencuri ciuman. Ciuman merajuk, menggigit … tapi manis.

Kata-kata yang dikatakannya.

Kapan pun kau siap menjawabnya … beri tahu saja aku.

Lena masih belum menjawabnya. Masih belum membalas perasaan yang sepantasnya dia berikan ribuan tahun lalu. Walaupun begitu ….

Merasakan segenap kekuatan tubuhnya dikuras, dia jatuh ke lantai. Tekanan darahnya turun, ibaratnya mendadak diserang anemia. Kabut putih tebal menutupi bidang penglihatannya.

Dia komandan anjungan kapal, di depan kedua bawahannya dan prajurit-prajurit negara lain. Pikiran melenceng yang menyuruhnya untuk menjaga penampilan sebagai Reina Berdarah, seperti harga diri, melintasi benaknya.

Namun semuanya kini serasa jauh. Lututnya tidak sanggup menopang berat badannya. Dia habiskan seluruh hidupnya berdiri dengan dua kaki, namun saat ini pikiran dan tubuhnya tak ingat cara melakukannya. Sosok rampingnya goyah. Marcel berdiri, merasakan bahaya.

Tetapi suara yang sudah lama dia tidak dengar menggelegar di Resonansi.

“Tenangkan dirimu, Baginda!”

Lena tersadar. Seakan-akan panggilannya menampar wajahnya. Entah bagaimana kekuatan kembali ke kakinya. Suara itu ….

“Shiden …” gumam letih Lena pada dirinya sendiri, ibarat baru saja tersadar dari mimpi.

Shiden mendesah lega setelah mendengarnya. Sebab Resonansi mengomunikasikan suara-suara yang terjadi pada masing-masing indra, tingkat sinkronisasi disetel ke pengaturan minimal. Biar Resonansi minimal pun, emosi diekspresikan seolah saling berhadapan langsung, dan Lena bisa merasakan kegelisahan menekan dan panik yang Shiden hampir tak mampu redam.

Setiap kali dia menghadapi Shin, keduanya akan selalu bertarung. Rasanya mereka berdua sama sekali tidak cocok dari tingkat paling dasarnya kepribadian mereka. Namun Shiden mengakui Shin dengan caranya sendiri, jadi dia mengkhawatirkannya.

“Dia akan baik-baik saja. Dia bilang akan kembali ke sisimu, bukan? Maka tugasmu adalah percaya padanya. Dia akan kembali. Dia selamat dari misi Pengintaian Khusus, ‘kan?”

Lena terkesiap. Medan perang Sektor 86 dengan kematian pasti. Tempat pembuangan akhir 86 yang hidup lebih lama dari masa pengabdian mereka, seperti unit pertahanan pertama front timur, skuadron Spearhead. Mars kematian menuju wilayah musuh. Misi dengan tingkat kelangsungan hidup 0 persen. Walaupun jadi perpisahan terakhir, mereka berhasil menipu kematian.

“Kau sudah tahu ini. Kami adalah 86, kami ini gigih dan memegang teguh kehidupan, tidak peduli selicik apa cara yang harus kami gunakan. Mereka melempar kami ke Sektor 86 dan menyuruh kami mati, namun di sinilah kami. Dan dialah yang paling kuat. Mana mungkin bukan dia yang paling teguh dari kami.”

Mustahil dia tidak kembali hanya gara-gara ini.

Lena mengangguk putus asa. Dia terus mengangguk.

“Kau benar. Kau pasti benar ….”

Lena memperbaiki postur tubuhnya dan mengangkat kepala. Mata prihatin Marcel memerhatikannya, dan dari tempat Lena berdiri, dia bisa melihat Ishmael yang mengalihkan pandangannya agar tak melihat saat-saat memalukan ini. Lena mengangguk dan meninggikan suaranya.

“Vanadis kepada semua unit! Komando atas skuadron Spearhead dipindahkan ke Raiden. Tujuan operasi akan berubah.”

Seragam Federasi Lena mengepak ketika bergerak, dan tanpa sadar mengepalkan tinjunya.

“Misi Divisi Penyerang adalah menghilangkan ancaman Legion dari pantai Negara-Negara Armada. Tipe Legion baru yang muncul, Noctiluca, adalah ancaman yang harus dieliminasi. Jika meriam jarak jauh unit ini dibiarkan bergerak bebas di laut, tidak hanya akan membahayakan Negara-Negara Armada, melainkan semua negara. Maka dari itu ….”

Lena melotot ke bayangan besar yang ditampilkan monitornya.

“… tujuan utama baru kita adalah menghancurkan Noctiluca. Arahkan seluruh upaya kalian untuk memusnahkan target!”

Munculnya kapal musuh ditambah dua railgun sebagai persenjataan utamanya, kelewat mengejutkan bagi awak Armada Orphan. Namun dibandingkan 86 yang menjadi sasaran serangan mendadak peluru 800 mm dan kehilangan komandan operasi, mereka jauh lebih tenang.

Faktor lain yang membuat mereka tetap berpikir jernih adalah sebagai bagian dari tujuan awal, mereka sudah membuat garis pertahanan yang melingkari Mirage Spire, bersiap-siap melanjutkan pengeboman Morpho.

“Stella Maris kepada semua kapal! Target kita adalah Noctiluca. Tembak begitu menyesuaikan bidikan kalian!”

Karena itulah, perihal pertempuran laut, Armada Orphan yang menembak lebih dulu. Dua kapal penjelajah mengarahkan senjata mereka ke target, kemudian kapal induk memfokuskan empat senjatanya sendiri. Dengan kata lain, turet utamanya, sepasang dudukan senjata 40 cm, meraung sembari mengepulkan api. Setiap selongsongnya yang seberat satu ton menembus angin laut tatkala bergegas menuju Noctiluca.

Namun senjata Armada Orphan biasanya ditujukan untuk menembak dan menyebarkan peledak kedalaman ke jarak jauh. Kini diluncurkan di atas laut, yang berarti kurang efektif, ditambah lagi senjata-senjata mereka tidak akurat terhadap sasaran bergerak. Senjata berpemandu itu mahal, dan Negara-Negara Armada hanya punya sedikit, lantas selongsong mereka persis mendarat di arah bidikannya.

Tetapi Noctiluca lebih cepat dari perkiraan seseorang akan kapal laut. Dengan karakteristik kecepatan serta kelincahan tak wajar Legion, ia cepat mengubah arah, bergerak secepat kilat di sepanjang lautan dan dengan tangkasnya menghindar memanfaatkan lamanya waktu selongsong 40 cm mencapainya.

Kapalnya berputar, dua pasang sayap di turet utamanya membentang kala sensor optik biru di haluannya berkilauan selagi memelototi Stella Maris. Tak lama setelahnya kedua railgun 800 mm berputar untuk membidik kapal musuh.

Kapal induk besar tak pernah dibangun untuk mengantisipasi pertempuran laut terbuka antara dirinya dan kapal lain, juga tidak sanggup menghindari tembakan senjata musuh dengan radius rotasi sangat luas.

“Takkan kami biarkan …!”

Tapi saat itu, Denebola selesai menembak dan mulai bergerak secepat mungkin ke Noctiluca, bersiap menabrak sisi sampingnya. Manuver seruduk mirip kapal dayung tua.

Haluan Denebola menabrak sisi samping yang berlapis baja berat. Percikan api beterbangan, dan lambung kapal penjelajah melepaskan jeritan logam sewaktu meluncur ke Noctiluca dan menembakkan seluruh kawat tambatnya. Begitu jangkar di ujungnya masuk ke tipe Kapal Perang Elektromagnetik, tenaga penggerak Denebola meraung saat mulai bergerak mundur. Dia mencoba menarik Noctiluca—yang beratnya lebih dari seratus ribu ton—dengan segenap tenaga penggeraknya.

“Stella Maris, Kakak! Selagi masih punya waktu, kalian—”

Ishmael tak akan pernah mendengar akhir kalimatnya. Dua railgun berbalik ke Denebola. Listrik berderak-derak mengalir di satu set rel, kemudian … menembak.

Ledakan meriam yang menggelegar dari jarak dekat terlampau kuat sampai-sampai terdengar hening alih-alih bising. Anjungan Denebola kena serangan langsung dan hancur total. Suara intens ledakan tersebut menutupi semua suara lain di medan perang.

Tetapi Denebola terus bergerak. Mesinnya masih hidup, membalikkan kapal, menarik jauh Noctiluca. Tentu saja beratnya dua kali lipat Denebola, jadi tak mampu memutar kapalnya. Namun kekuatan gerakannya cukup menghentikan kapal besar tersebut … mengekspos sisi kirinya ke tiga kapal lain yang tersisa.

Posisi Denebola menempatkan Noctiluca ke posisi tidak menguntungkan. Sebab Noctiluca adalah kapal besar yang bahkan mengerdilkan Stella Maris, berdiri tepat di sebelah kanannya sama saja berdiri di arah tembakan railgun, namun walaupun railgun­­­-nya sudah ditarik ke sudut terbawah,  hanya anjungan kapal yang bisa dibidiknya. Sebuah mesin kapal punya baling-baling yang ditempatkan di bagian bawah lambung kapal—di bawah air. Denebola yang berada tepat di depannya secara efektif menyegel persenjataan terkuat Noctiluca, menjadikannya penghalang yang tidak gampang dienyahkan atau dilenyapkan.

Semuanya dikalkulasikan begitu Denebola menabraknya. Sesaat sebelum anjungannya diledakkan, suara kapten Denebola kedengaran melalui radio.

“Jayalah Armada Orphan …!

Kata-kata itu tidak khusus ditujukan pada siapa pun. Semata-mata pilihan kalimat terakhir sang kapten. Dia bisa saja menyuarakan dendam atau penyesalan, dan takkan ada yang menyalahkannya. Namun dia memuja negaranya, tanah airnya—sejarah yang membawa dirinya menjadi pribadi yang sekarang.

Keberanian itu membuat Ishmael menggertakkan giginya. Operasi ini harus berhasil—meskipun artinya kehilangan seluruh angkatan laut mereka, biarpun Armada Orphan disapu bersih karenanya.

Menelan seluruh rasa sakit dan amarah, dia mengangkat kepala.

“Lanjutkan pengeboman! Kita sudah menyematkannya. Selanjutnya, tembakan kita kena! Jatuhkan sampai ke dasar laut!”

“Skuadron artileri, bersiap menembak! Muat bom pembakar! Kita harus menonaktifkan kamuflase optik musuh terlebih dahulu!”

Atas perintah Lena, tembakan diluncurkan dari dek Stella Maris. Langit biru yang barusan cerah setelah badai berlalu, beralih gelap lagi ketika misil-misilnya melesat ke Noctiluca. Bom pembakarnya cepat mencapai puncak Noctiluca, menyemperot dan memicu napalm yang dikandungnya. Pengeboman hebat yang mendatangkan hujan api gelap ke kapal perang logam kendatipun laras Stella Maris kepanasan.

Nyala api menari-nari di atas geladak lapis baja, menyebar ke turet senjata yang seperti benteng, merayap di tengah laras-laras railgun. Sayap logam terbakar, menjadi abu-abu keperakan yang ditiup angin hingga masuk laut. Mengekspos sekelompok bayangan tinggi-rendah bewarna perak.

Lena menatapnya, matanya menyipit. Musuh terdeteksi. Sungguhan mereka.

Lena sudah memperkirakan sebelum operasi ini bahwasanya Legion barangkali berniat memproduksi massal Phönix dan mungkin sekaranglah mereka memperkenalkannya. Itulah alasan dia memastikan untuk menambahkan bom pembakar ke gudang senjata dan menambahkan jumlah Juggernaut dengan persenjataan yang bisa melawan mereka dengan baik.

Situasi perang Negara-Negara Armada dan sekitarnya yang tiba-tiba memburuk. Perubahan strategi Legion sebab kegagalan serangan skala besar. Peningkatan jumlah dan performa.

Waktu Vika melihat Phönix di Pangkalan Benteng Revich, dia bertanya-tanya fungsinya. Pahlawan yang membangga-banggakan pedang, melesat di medan perang layaknya pasukan satu orang, tidaklah efektif di peperangan modern. Berlaku kepada umat manusia namun ide itu makin tidak berguna bagi Legion.

Tetapi Legion mengubah taktik mereka. Jumlah dan performa mereka meninggi. Menghancurkan Republik, menjadikan warga negaranya sebagai rampasan perang. Mereka ganti Domba Hitam, melalui jaringan saraf otak yang rusak akibat perang, mereka menciptakan Anjing Gembala yang masih mempertahankan kecerdasan tetapi menghilangkan kepribadian dan ingatan.

Mereka mengumpulkan banyak sekali kepala untuk digunakan prajurit-prajurit biasa mereka. Lantas perkembangan alami menunjukkan langkah sesudahnya adalah mengumpulkan kepala-kepala elit.

Peperangan modern tak punya tempat untuk pahlawan.

Namun legion berbeda. Mereka butuh pahlawan. Pergantian strategi mereka mengharuskannya. Dan berhasil. Legion yang mencari-cari bintang bersinar di antara manusia rapuh, kepala pahlawan yang tak efisien namun kuat. Mereka membuat unit yang ‘kan beraksi sebagai pahlawan untuk memburu kepala para pahlawan.

Sebuah unit yang akan melampaui bahkan prajurit manusia paling cakap tetapi takkan merusak mayat-mayat mereka—otak-otak mereka—dengan pasukan artileri. Tentara berbilah jarak dekat. Sebuah ide yang dibuang peperangan modern.

“Untuk memburu kepala, demi memperluas performa Legion. Untuk melakukannya, mereka mesti memproduksi massal Phönix.”

Walaupun sudah memprediksinya ….

Beresonansi dengan Shin dan mendengarkan ratapan tak terhitung jumlahnya juga membuat Vika tertekan, dan ratapannya Noctiluca sangat-sangat menyulitkan, karena jeritannya adalah campuran mengerikan banyak otak. Ironisnya, setelah Shin terputus dan jeritannya hilang, Vika akhirnya tersadar dia bisa memahami sebagian jeritan yang coba disampaikan jeritan-jeritan tersebut.

Awalnya, dia kira itu hanya ratapan. Namun kini dia menyadari sebagian kata-katanya merangkai kalimat bermakna. Itulah kalimat yang dia dengar pada sebuah ritual saat dirinya masih kecil, sebelum Perang Legion dimulai.

Kata-kata itu tidak ada di bahasa utama benua barat. Antara Federasi dan negara-negara di benua timur dan meluas hingga gurun hammada, rute perdagangannya diatur Federasi Perdagangan Rin-Liu. Ritual dan ratapan Legion tersebut adalah bahasa negara itu dan suku-suku sekitarnya.

Para perwira negara-negara itu mengucapkannya, mempersembahkannya sebagai doa kepada dewata perang mereka—kepada dewi perang.

Vika menyipitkan mata ungu imperialnya seraya berpikir.

“Jadi salah satu dari mereka adalah jenderal timur …. Begitu rupanya. Legion bertujuan meningkatkan fitur mereka ….”

Anjing Gembala didasarkan pada warga Republik yang tak pernah mengenal perang dan tidak punya ilmu pertempuran, lantas mereka berusaha mengoptimalkannya. 86 tidak tahu strategi, lantas mereka berusaha meningkatkan Gembala menjadi unit komandan lebih efisien dengan keahlian komando lebih unggul.

Untuk melakukannya, Legion dengan sengaja akan mencari-cari para prajurit. Komandan-komandan berpangkat besar, sangat terlatih, dan berpendidikan tinggi—komandan yang dilindungi dan jarang-jarang ada di lini depan. Lantas mereka memilih negara-negara kecil di mana lini pertahanannya mudah ditembus, sebagai tempat perburuan mereka. Begitu menembusnya, mereka bisa mengambil kepala perwira berpangkat tinggi yang memberikan komando dari pangkalan.

Contohnya, Negara-Negara Armada. Negara-Negara yang meminta pengarahan Divisi Penyerangan. Federasi dan Kerajaan Bersatu tak tahu ini sebab gangguan elektronik Eintagsfliege, tetapi sejumlah negara kemungkinan telah dibinasakan Legion.

Jeritan mengganggu Noctiluca, teriakan terakhir puluhan orang itu—bisa saja hasil dari banyaknya jaringan saraf yang disatukan. Kemungkinan besar Noctiluca adalah Gembala yang tidak bisa berfungsi sebagai komandan jadi ditambahkan struktur otak jenderal-jenderal serta perwira-perwira lapangan.

“… merepotkan banget.”

Stella Maris memasuki pertempuran artileri melawan Noctiluca, memaksanya bermanuver mengelak sampai Denebola menabraknya. Akibatnya, dia menjauh dari Mirage Spire, meninggalkan benteng laut yang telah disusupi Reginleif.

Sayangnya Noctiluca sudah berada terlalu jauh jadi turet tank tak bisa mencapainya. Di sisi lain, unit-unit Phönix yang menaiki geladak Noctiluca mengguncang abu Eintagsfliege dan mulai memanjat ke turet kapal induk mereka secara berkelompok. Mereka naik ke atas kapal, puluhan meter di atas permukaan laut kemudian melompat jatuh, meraih dinding luar Mirage Spire dan memanjat secepat kilat.

Raiden mengabaikan pemandangan dari tingkat teratas Mirage Spire, Carla Tiga. Menyerahkan pertempuran laut ke kapal induk mereka, nampaknya unit-unit Phönix memutuskan mendarat. Tujuan mereka adalah merebut kembali benteng. Atau mungkin saja perburuan kepala, sesuai prediksi Lena.

Yang manapun, tidak jadi soal.

“—Yuuto! Kita pukul mundur Phönix di sini. Pinjamkan aku pasukanmu di Tingkat Carla!”

Kejadiannya tepat sesudah mereka semua berpencar untuk berlindung, tanpa memedulikan skuadron atau peleton, di enam lantai berbeda. Mereka tak sempat berkumpul kembali ke unit masing-masing.

Duduk dalam unitnya, Verethragna, di Tingkat Bertha, Yuuto sekilas memandangnya terus mengangguk singkat. Bertukar anggota di antara unit-unit mereka sudah lumrah.

Di Sektor 86 semua orang bisa mati kapan saja, jadi unit-unit harus diatur ulang dan diseimbangkan. Sebagai komandan atau wakilnya, mereka sering kali diminta untuk menangani perubahan tersebut.

“Silakan. Semua unit di Tingkat Bertha, dengan ini kalian semua di bawah komandoku. Unit pencegah tembakan dan penekan area, tetap pasang mata pada Phönix dan lindungi garda depan yang dilengkapi turet tank juga senapan runduk. Garda depan dan penembak runduk, fokus hancurkan turet Noctiluca. Kita akan mendukung pertempuran Armada Orphan.”

Sebab Noctiluca tidak bisa ke mana-mana karena Denebola, Stella Maris dan dua kapal penjelajah terus membombardir. Mereka memutar turet-turetnya agar tak menyerang unit pendamping atau Mirage Spire dan terus menembak.

Sekecil bagaimanapun akurasinya, tembakan lurus mereka masih tetap akan mengenai target tak bergerak. Selongsong 40 mm mereka memenuhi Noctiluca dalam jalur linier.

Kemudian semuanya dibelokkan.

“Apa …?!”

“Tebal amat …!”

Lapis bajanya tebal. Karena tidak perlu memperhitungkan beban tambahan awak kapal, Legion bsia menginvestasikan seluruh bobotnya ke lapis baja tebal. Dan dikarenakan kapal Armada Orphan harus mewaspadai tembak cepat railgun, mereka mesti menjaga jarak. Artinya tembakan mereka kurang daya rusak untuk menembus lapis bajanya.

Basilicus memutar kemudi untuk menembak dari dekat, namun kala itulah Noctiluca balas menembak. Sisi samping kapal raksasa itu memiliki senjata tembak cepat 155 mm, diarahkan ke Armada Orphan. Senjata-senjata itu mulai memuntahkan tembakan.

Memang punya titik lemah, haluannya yang terekspos pada musuh. Tapi ganjarannya adalah banyak senjatanya menghadap armada musuh, memungkinkannya melancarkan daya tembak maksimal. Rentetan peluru tebal nan cepat terbang di udara, ditembakkan lebih cepat melebihi artileri. Memaksa Basilicus memutar kemudi dengan tergesa-gesa dan melarikan diri.

Sebagaimana persenjataan utamanya, senjata tembak cepat adalah railgun. Mereka tak bisa mendekatinya seperti ini.

Mengawasi pertempuran dari Tingkat Bertha, gigi Theo menggemeletuk.

Dia kini di bawah komando Yuuto. Noctiluca adalah satu-satunya kapal musuh di atas air yang pergerakannya ditahan. Namun pertempuran antara Noctiluca dan Armada Orphan terlalu sepihak. Seperti halnya sekawanan tikus mencoba memburu harimau.

Noctiluca punya lebih banyak senjata ketimbang semua kapal tersisa Armada Orphan dan sanggup menembak cepat mereka semua dengan railgun­nya. Dilengkapi 24 senjata tembak cepat 155 mm beserta turet 800 mm yang berfungsi bersamaan, ia mampu memberondong tembakan mimpi buruk tiada henti.

Kelompok Theo dikerahkan di Tingkat Bertha Mirage Spire, di sanalah para Juggernaut yang dipersenjatai turet 88 mm membidik senjata tembak cepatnya. Mereka berusaha menembak senjata itu berulang-ulang, tetapi kapal itu pun mempunyai lima puluh senjata antipesawat 40 mm.

Membidik Morpho jadi sulit karena dicecar serangan, apalagi menautnya di tempat jauh lebih sulit. Dan senjata-senjata antiudara untuk mempertahankan dua railgun utamanya serta senjata tembak cepat 155 mm.

Mau dari manapun mereka membidik senjata tembak cepat musuh, mereka pun akan senantiasa dalam jangkauan tembakan senjata antipesawat. Tembakan acak berhasil mengenai senjata tembak cepat musuh, namun pelat-pelat lapis baja yang mempertahankannya terlalu tebal. Mereka tak mampu menembusnya dari jarak ini.

Jika ada satu cara untuk benar-benar menghancurkannya ….

“Kita harus mendekat. Kita mesti naik kapalnya.”

Noctiluca sedikit di luar jangkauan lompatan Reginleif. Mereka tak bisa melompat ke atasnya. Melihat-lihat ke sekitar, Theo mencari-cari sesuatu yang dapat digunakan.

Di sana.

“Laughing Fox kepada semua unit. Aku menaiki musuh! Lindungi aku!”

Dia mendorong maju tuas kendalinya. Laughing Fox melesat layaknya panah. Alih-alih melompat ke bawah, dia melompat ke bagian luar Mirage Spire, menggunakan gerakan tiga dimensinya untuk bergerak lebih cepat lagi. Dia tembakkan jangkarnya ke depan untuk menstabilkan unitnya, lalu bergerak vertikal ke bawah menara.

Transmisi dari Raiden segera masuk telinganya.

“Jangan gila, Theo! Jangan biarkan panik menguasaimu!”

“Tidak apa. Aku tidak panik.”

Itu bohong. Dia ketakutan, dan dia tahu itu. Tak bisa meniadakan gumpalan emosi yang membara di hatinya, alhasil meliputinya dan mengambil alih akal sehatnya.

Shin harusnya menemukan suakanya. Theo bisa melihat masa depannya …. Dia bisa saja berbahagia, dan Theo tersesat.

Tanpa ampun. Semuanya terlalu mudah. Terlalu cepat. Cuma inilah kesetaraan di dunia ini. Jika begitu ….

Kami yang tak bisa diselamatkan mungkin akan semakin ditelan tanpa belas kasih. Kami betul-betul akan mati.

“Tapi …. Mana bisa aku tidak beraksi gila di sini.”

Semisal Theo mau menahan kehendaknya untuk meneriakkan gumpalan yang membara dalam hatinya, dia harus melakukan ini.

Dia terus berlari ke bawah hingga menemukan sesuatu yang kelihatan mirip papan lompat, diposisikan diagonal di atas laut. Kemungkinan semacam perancah yang bagian tengahnya telah ditekuk oleh balok-balok jatuh.

“Pergilah …!”

Theo mendarat pas di atasnya, tanpa merusak momentum dia berlari ke tepi dan melompat dari ujungnya.

“Skuadron artileri, ganti amunisi ke peluru sebar antipersonel. Langsung tembak begitu selesai dimuat!”

Melihat Laughing Fox terjun, Lena langsung memberikan perintah. Sebagaimana bom pembakar, dia membawa amunisi tersebut untuk melawan kamuflase optik. Peluru ini tak mampu menembus geladak Noctiluca yang bahkan kuat menahan pengeboman, namun nyala apinya bisa membutakan sensornya.

Theo tak bisa menghindar ketika sedang melompat, jadi Lena memberi perintah demikian agar dia tak ditembak. Di kejauhan, Noctiluca ditutupi kabut api dan asap menggumpal. Butuh waktu beberapa saat hingga suara ledakan mencapai mereka.

“Terus menembak! Pertahankan rentetan tembakan sampai perintah lebih lanjut!”

Teriakan Theo kalau dirinya akan menaiki musuh dan perintah Lena untuk memberinya tembakan perlindungan mencapai Kurena melalui Resonansi. Dia masih berdiri membeku di Tingkat Carla, di sana dia dievakuasi untuk menghindari pengeboman railgun. Sebagian pikirannya mengatakan dia semestinya membantu melindungi Theo, tetapi dia tertegun.

Penglihatannya berbayang dan tak fokus. Layar yang dipasang di kepala mengikuti gerakan matanya, palang teleskopnya berputar-putar di tempat. Melihatnya membuatnya pening. Tangan kanannya gemetaran, dan tidak bisa dia cengkeram. Bahkan dia tidak dapat merasakan tuas kendali yang dipegangnya.

Karena … Shin tiada. Satu-satunya orang yang dia pikir takkan pernah meninggalkannya. Sebagaimana banyaknya rekan-rekan yang dia temui sebelum dan setelah menemuinya. Seperti Kaie, Haruto, Kujo, dan Kino dua tahun lalu di Sektor 86. Seperti orang tuanya yang dipukul sampai mati oleh tentara dengan alasan bercanda …. Seperti kakaknya yang dia sayangi lebih dari apa pun namun tak pernah kembali.

Shin seorang yang selalu kembali. Yang tak pernah meninggalkannya. Yang takkan pernah mencampakkannya …!

“Tidak … tidak, jangan … jangan tinggalkan aku …!”

Dia berdiri diam. Otot-ototnya terdiam, dan seluruh pikirannya kosong. Dia tak bisa bergerak. Namun tangannya sendiri tak mau berhenti gemetaran, matanya terus jelalatan, tak bisa fokus. Rasanya satu selongsong pun takkan mengenai target walau sudah berusaha.

Karena satu-satunya tempatnya adalah di sisi Shin. Dia tak punya apa-apa lagi. Meskipun kehilangan harga dirinya, mereka masihlah rekan-rekannya. Itu tidak berubah. Dan itu saja sudah cukup membuatnya tetap bertahan.

Sesuatu berlari ke Gunslinger. Bayangan putih gading, layaknya tulang dipoles. Seekor laba-laba kerangka yang berkeliaran di medan perang mencari-cari kepala hilangnya. Reginleif.

… mencari-cari kepalanya yang hilang. Mencari-cari kepala kakaknya yang dicuri. Namun dia tak sanggup berkeliaran di medan perang mencarinya sendiri seperti Shin …. Kurena tidak bisa menemukan keberadaan Shin yang hilang.

Sensor optik merah Reginleif berbalik menghadapnya. Merah, mirip mata seseorang. Matanya punya Tanda Pribadi seorang gadis bersayap dan bersisik. Melusine, Reginleif-nya Shana. Kelihatannya, skuadron Brísingamen mendapati mereka tidak punya cukup pasukan di geladak untuk mengurus Phönix jadi bergabung bersama di Tingkat Carla.

Kurena mendengar suara dingin Shana terhubung ke Resonansi dan bicara dengannya.

“Kurena, kau sedang apa? Kita harus membantu—”

Tetapi saat dia bicara, Shana sadar alasan Kurena tak berbuat apa-apa. Dia bahkan tak berusaha menutupi kekesalannya, mendecakkan lidah dan hanya meninggalkan satu komentar lewat Resonansi.

“Kalau kau tidak menembak, turun dari sini. Kau cuma menghalangi.”

Kata-kata itu memukulnya lebih kuat dari apa pun. Iya, itu benar.

Dia jadi tidak berguna.

Berat sepuluh ton Laughing Fox bergerak melengkung ketika membumbung melewati jurang biru. Ketika mencapai puncak lompatannya, ia mulai jatuh di tengah udara tanpa ada tempat pendaratan. Sedikit lagi sampai geladak Noctiluca.

Theo menembakkan jangkar kawat yang melingkari tiang radar, kemudian ditarik kembali untuk mencapai jarak yang tidak digapainya. Melihat laju serampangannya, senjata antipesawat memfiksasikan pandangannya ke Theo. Namun sesaat arah tembakan beralih ke dirinya, selongsong terbang masuk dan meledak satu per satu. Api serta gelombang kejutnya mengaburkan arah tembakan, menyembunyikan Laughing Fox dari Noctiluca.

Theo mengambil jangkar kawat yang dia lilitkan di sekitar kapal musuh, lalu menembakkan jangkar kawat lain di arah berlawanan. Menempel di sisi samping kapal sementara jangkar satunya tengah kembali ke peluncur dengan berisik. Tolak balik sekaligus gravitasi menghindari Laughing Fox dari jangkauan senjata antipesawat.

Jangkar kawat yang ditembakkan tetap menggantungnya di udara selagi bergerak menurun menuju air. Menggulung kembali jangkarnya, dia memanjat dan melompat ke geladak Noctiluca.

Senjata antipesawat ditembakkan untuk mengejar-ngejar Laughing Fox, pelurunya menabrak geladak. Laughing Fox menghindari tembakan mereka, sembunyi di balik tumpukan balok yang tergeletak di geladak—kemungkinan besar potongan-potongan perancah Mirage Spire.

Sepertinya Morpho tidak berminat menghancurkan lantai-lantai pangkalan karena kapalnya tepat berada di bawahnya.

Tak lama kemudian, yang lainnya mengikuti jejaknya, menggunakan jangkar mereka untuk naik ke kapal. Chaika-nya Lerche, Verethragna-nya Yuuto, dan sisa-sisa Alkonost. Tembakan sebar antipersonel membentuk tabir asap yang menyembunyikan mereka dari senjata antipesawat, setelah itu mereka segera berlindung di tempat sama dengan Theo.

Theo melihat balok-balok yang dijadikan sprung weight2 telah bengkok karena menahan beban mereka terus menggelinding keras. Chaika yang bersembunyi paling dekat dengan Laughing Fox, memberi tatapan mencela.

“Anda semestinya tidak bertindak gegebah begitu, Tuan Rubah …! Jika berkenan, serahkan tindakan nekat semacam ini kepada Tuan Pencabut Nyawa!!”

“Simpan kicau marahmu buat nanti, burung …. Kau tahu sekarang kita harus melakukan apa, ‘kan? Kita hancurkan railgun-nya. Dengan begitu kapal penjelajah dan kapal induk besar bisa mendekat terus menenggelamkan kapal ini sama meriam-meriam mereka.”

Walaupun posisinya terpencar di sekitar tiga ratus meter lebar Notciluca dan ditambah lagi gara-gara pengeboman, meriam 88 mm Juggernaut sudah seperti penembak runduk melawan kapal besar ini. Jika ingin mengaramkan kapal Legion ini, mereka kudu menghancurkan inti kendalinya, dan satu-satunya senjata yang bisa melakukannya adalah tembakan jarak dekat dari turet berkaliber besar.

Sekalipun begitu, menembus lapis baja railgun akan susah. Para Juggernaut wajib menembakkan turet 88 mm mereka dari dekat, untuk melakukannya, mereka harus mengalahkan musuh yang menjaganya.

“Jadi pertama-tama, kita singkirkan senjata tembak cepat menyebalkan itu ….”

“Lebih penting menyingkirkan senjata antipesawat, Rikka,” ucap Yuuto tenang. “Cuma unit kita yang di atas Noctiluca. Jangan harapkan bala bantuan apa pun, berusaha menghancurkan senjata tembak cepat dengan jumlah segini sama saja bunuh diri.”

Theo mendesau. Yuuto benar. Batu loncatan mereka tidak ada, lagian, satu-satunya orang yang bisa beraksi seperti tadi untuk menaiki kapalnya adalah garda depan yang terampil dengan akrobatik. Bicara sama Yuuto selalu terasa seperti bicara dengan robot, namun sikap tenangnya berguna di saat-saat seperti ini.

“Aku suruh orang-orang di benteng untuk fokus menembak senjata antipesawat juga, tapi tidak bisa kita serahkan ke meraka. Akan lebih efisien untuk menghapuskan senjatanya.”

“Dan juga aku yakin kita bisa biarkan armada mengurus senjata tembak cepat. Tapi tembakan dari jarak dekat pun bisa sasja tidak cukup buat mengandaskan kapal ini, kecuali bila diarahkan langsung ke inti kendali ….”

Bagaimanapun kapal ini tiga ratus meter panjangnya. Bahkan senjata 40 cm Stella Maris dan kapal penjelajah cuma kuat membuat lubang kecil. Ini kapal perang, dan bisa jadi punya sistem kontrol kerusakan yang sesuai ukuran juga statusnya. Dengan kata lain, biarpun lambungnya dibobol, masih punya mekanisme yang dimaksudkan untuk meminimalkan jumlah air masuk.

Berdasarkan perkataan Ishmael, kapal bertenaga nuklir semacam Stella Maris telah melapisi mesin mereka dengan lapis baja. Tebal sekali lapisannya sampai-sampai kendati pesawat menabraknya—yang kekuatannya setara pukulan langsung torpedo—takkan merusak reaktornya.

Dikarenakan Noctiluca tak punya cerobong asap atau corong, tampaknya juga menggunakan tenaga nuklir. Jadi biarpun mereka mengincar mesinnya, maka takkan menimbulkan banyak kerusakan. Prosesor sentral adalah kelemahan tunggal monster mekanis ini. Satu-satunya hal yang pasti ‘kan membungkamnya, walau takkan bisa ditebak posisinya jika sekadar melihat bagian luarnya.

Vika terhubung melalui Resonansi Sensorik. Dia dari tadi mungkin mendengarkan lewat Lerche.

“Aku tangani penyelidikan dan analisisnya. Sekarang Phönix sudah keluar, bahkan sesuatu berukuran Sirin bisa menyusup.”

Kokpit Alkonost terbuka, sekelompok kecil boneka mekanis berwujud gadis turun ke geladak.

“Aku ragu ada koridor atau lubang yang mengarah ke prosesor sentralnya, namun masuk ke dalam bisa memberikan kita penglihatan yang tidak kita tahu dari luar …. Ini mungkin saja unit Legion, tetapi misal tata letaknya mengikuti logika manapun, fasilitas internalnya kurang lebih pasti sama seperti kapal perang yang sudah ada. Sekiranya kita asumsikan Legion ini untuk kapal perang atau kapal penyerang amfibi, bisalah ditebak-tebak tata letaknya.”

Theo sama sekali tidak tahu kapal penyerang amfibi itu apa.

“… aku tidak terlalu paham, tapi seandainya bisa kau lakukan, kami mengandalkanmu, Pangeran.”

“Aku bayangkan cuma aku yang bisa melakukannya. Milizé sama ajudan pengaturnya lagi sibuk, jadi tersisa aku yang punya waktu luang buat melakukannya.”

Awalnya nada bicaranya datar tetapi kata-kata tambahannya ada sedikit rasa kesalnya:

“Andai saja Nouzen di sini, kita tak perlu repot-repot mencari tahu inti kendalinya di mana.”

“….”

Pukulan jab seenaknya dan lancang membuat Theo menggertakkan gigi. Vika berkali-kali menyebut dirinya sendiri Ular Pembelenggu tanpa hati, sekarang Theo tahu alasannya.

“Ya, mau gimana. Dia tidak di sini sekarang …. Jadi harus kita cari tahu sendiri.”

Dia mengintip dari balik tempat berlindungnya. Di balik senjata antipesawat dan tembak cepat, di sanalah senjata yang menembak jatuh Undertaker—pembunuhnya, railgun.

Dan untuk melenyapkannya ….

“Pertama-tama, kita urus senjata antipewasat.”

“Ya,” kata Yuuto. “Penginnya tidak ditembak dari belakang, jadi ayo sikat senjata di haluan dulu.”

Bentengnya terbuat dari balok-balok yang memberikan Phönix  banyak pijakan. Mereka melompat-lompat dalam gerakan tiga dimensi, berbelok-belok secara horizontal-vertikal buat menyerang. Untuk memancing keluar para Phönix, beberapa Juggernaut berlari ke depan, bertindak sebagai umpan. Dipersenjatai turet tank yang menekankan kekuatan penetrasi, satu-satunya persenjataan yang mampu bergeak dari jauh adalah senapan mesin berat yang dilekatkan ke lengan penggenggam mereka. Itu tak cocok untuk melawan Phönix yang fungsinya memburu garda depan yang bermobilitas tinggi.

Sedari awal, Phönix mengungguli mobilitas Reginleif. Model diproduksi massal bentuknya lebih besar dan tampangnya ibarat berat mereka lebhi tinggi juga, namun kelincahannya sama seperti Phönix orisinil. Rangka mereka punya lapis baja lebih baik, dan keluarannya nampaknya telah ditambahkan untuk menyeimbangkannya.

Biar peluru turet 88 mm bergerak dengan kecepatan tinggi, pelurunya dirancang untuk memusatkan kekuatan di satu titik pada ujungnya, jadi tak bisa mengenainya dengan tepat. Alhasil ….

“Raiden, maju sana!”

“Ok!”

Begitu Juggernaut umpan melewatinya, Raiden dan peleton sementaranya bangkit berdiri, menembakkan meriam otomatis dan senapan mesin ganda mereka. Peleton sementara Juggernaut ini mempunyai meriam otomatis 40 mm yang dimuat di lengan pemegang senjata.

Hujan baja menutupi seluruh jangkauan area yang mereka prediksi akan jadi rute kaburnya Phönix. Setelah ditarik mangsa mereka ke jangkauan pengeboman, Phönix ditembak langsung deretan peluru.

Turet tank tidak cocok untuk mengurus mereka. Dan sebab Juggernaut lebih lamban dari Phönix, jika mereka dikejar, maka takkan bisa kabur. Jadi mereka manfaatkan saja pengejaran mereka—mereka gunakan untuk memancingnya ke zona tembak.

Inilah taktik yang mereka susun. Sesudah memperkirakan Phönix yang diproduksi massal barangkali akan disertakan dalam operasi ini, Lena menambah jumlah personel yang punya senjata lebih pas untuk menangani mereka. Selain meriam otomatis, tiap-tiap unit dibantu para Juggernaut yang punya konfigurasi meriam berpeluru sebar.

Peluncur roket banyak unit penekan area telah mendaftarkan Phönix dalam data pelacakan target mereka. Tak hanya itu, semua komputer Juggernaut diperbarui dengan perhitungan kecepatan dan pola mobilitas Phönix orisinil.

Jadi sekelompok Phönix orisinil berlari ke jalur tembakan, di situlah mereka terkoyak-koyak peluru. Tentu saja dengan absennya Shin mereka tak dapat memastikan suaranya sudah mati atau belum … berarti mereka berpaling dari rongsokan-rongsokan Phönix begitu yakin tak ada yang pura-pura mati.

—selanjutnya.

Raiden menyeka keringat alis lalu menghembuskan napas. Dia sadar sedang bernapas cepat sepanjang pertempuran. Mereka bisa melakukan perlawanan sebab sudah punya cara untuk mengatasinya, namun mau bagaimanapun ini bukanlah pertempuran mudah.

Biar demikian, fakta mereka punya cara untuk melawan artinya lebih baik daripada kelompok Theo yang menaiki Noctiluca. Mereka harus berhadapan monster raksasa itu serta railgun-nya.

Meskipun begitu ….

“Anju, Dustin, serahkan tempat ini ke kami.”

“Apa?” jawab Anju, tampak bingung.

“Raiden, Phönix-nya masih—”

“Turunlah. Beri tembakan perlindungan pada Theo …. Bantu dia, tolong.”

Anju menelan napas kaget. Baru menyadari Theo tidak ada, sensor optik Snow Witch menatap Noctiluca juga bentuk-bentuk putih yang bertarung di atasnya sambil terperangah.

“… diterima. Ya Allah, Theo, sedang apa kau di sana …?!”

“Shuga, Emma, kita bantu mereka dari sini. Tapi cepatlah.”

Beberapa Prosesor yang mendengarkan, melangkah maju bersama Snow Witch dan Sagittarius kemudian pergi. Di kepergian mereka, Raiden melihat skuadron Brísingamen Shiden sedang memburu Phönix seperti serigala kelaparan, mengepung dan menghajar mereka.

Tetapi wakil kapten skuadron, Shana, tidak bersama mereka. Unitnya, Melusine, saat ini berada di lantai teratas Mirage Spire, Carla Tiga. Dia menembaki senjata antiudara. Awalnya ini peran Gunslinger tapi keadaan mentalnya sedang sangat tidak karuan hingga tak bisa bertarung.

… Raiden tak dapat menyalahkannya. Kondisi Kurena dan Theo seakan sedang dalam penglihatan terowongan1. Lena saat ini masih berperan, tetapi begitu Shin jatuh dia betul-betul panik dan Raiden sendiri terguncang. Dia jelas mengetahuinya.

Karena dia tidak lagi mendengarnya.

Setelah sekian lama, jeritan menjengkelkan hantu-hantu itu bagaikan suara latar konstan. Dan yang paling menonjol adalah suara-suara aneh Noctiluca. Bertahun-tahun lamanya, Pencabut Nyawa bermata merah itu memimpin mereka ….

… dasar bego kepala tolol.

Dan dirinya sendiri wakil kapten si bego kepala tolol malang itu. Raiden menyipitkan mata hitam kemerahannya. Yang mengisi kekosongan atas ketidakhadiran Shin adalah dirinya.

Para Juggernaut berkali-kali menembak dari Mirage Spire berupaya untuk mengurangi senjata antipesawat dan tembak cepat, juga beberapa unit mereka yang naik ke Noctiluca. Sementara itu, pengeboman Armada Orphan secara bertahap merusak senjata tembak cepat pula.

Akan tetapi, satu-satunya hal yang sanggup menghancurkan inti kendali dari jarak dekat adalah senjata kaliber besar. Armada tak boleh lagi kehilangan kapal, sehingga mereka harus menjaga jarak untuk menghindari selongsong apa pun diluncurkan ke arah mereka. Mereka terus berganti-ganti arah agar tak dibidik selagi menembak.

Meski demikian, tembakan berlanjut sampai senjata-senjata mereka hampir kepanasan, ditambah lagi mau kehabisan selongsong yang ngotot mereka bawa banyak untuk mengantisipasi pertempuran dengan Morpho. Mereka memilih tidak membawa torpedo—yang ironisnya, akan sungguh efektif melawan Noctiluca—demi menambah lebih banyak selongsong, tetapi tetap saja sedikit lagi mau habis.

Dua kapal lebih lambat dan kapal penyelamat akhirnya menyusul armada yang lain. Mereka menjemput beberapa orang yang selamat dari Denebola dan berdasarkan pernyataan kru-kru Denebola, mendapati bahwa Negara-Negara Armada akan mengirim armada bala bantuan.

Noctiluca pun tak lolos dari pertempuran tanpa kerusakan. Logam cair dalam salah satu turet bak tombak railgun 800 mm-nya—bagian yang membentuk medan elektromagnetik—telah diledakkan tolak balik pengeboman.

Larasnya sudah aus.

Terak perak menetes dari railgun layaknya salju terbakar, tenggelam ke hamparan laut tanpa batas. Dan tampaknya meskipun pasukan yang menaikinya lebih sedikit dari satu skuadron, Noctiluca menyimpulkan tak boleh membiarkan mereka bergerak bebas. Ia menarik mundur beberapa Phönix yang telah dikerahkan ke Mirage Spire.

Sejelas apa pun keputusannya, Theo mendecakkan lidah. Seberapa lama lagi kapal ini akan menghalangi mereka? Semua Juggernaut yang menaiki Noctiluca adalah unit garda depan yang dilengkapi turet 88 mm. Karena mereka adalah tipe 86 yang mahir pertempuran mobilitas tinggi sampai-sampai sanggup saja melompat ke sana meski pijakannya sedikit. Tetapi artinya juga mereka dilengkapi konfigurasi terburuk untuk melawan Phönix.

Unit artileri yang dikomandoi Lena tengah melancarkan tembakan perlindungan, dan para Juggernaut yang menembak dari atas Mirage Spire menggunakan tembakan sebar antilapis baja ringan. Bantuannya sangatlah diterima untuk menghempaskan lapis baja cair yang dimiliki Phönix, sambil menghentikan mereka.

Asap dan api pengeboman telah menghilang, Phönix yang baru kembali melompat ke puncak turet railgun. Sensor optik Laughing Fox berganti target selagi melompat ke bawah untuk melawan Phönix.

“…!”

Theo barusan menyadari kehadirannya. Peringatan kedekatan meraung-raung. Dia tak mendengar ratapan hantu mekanik. Dia tidak tahu mereka bersembunyi di mana. Karena Shin tak di sana. Hingga sekarang, dia senantiasa mendengar tempat persembunyian Legion, kendati tak dengar pun, fakta dirinya meminjam kemampuan Shin lewat Resonansi artinya dia selalu tahu jumlah musuh di lingkungannya.

Namun kini Shin tak ada. Sudah berapa tahun Theo berdiri di medan perang tanpanya? Theo sekarang baru sadar, teramat terlambat masuk permainan, sampai-sampai tak ingat cara bertarung sebelum itu.

Dia kelamaan mengandalkannya.

Theo melompat menjauh, menggunakan performa penuh Reginleif-nya. Kala Phönix mendarat dengan tabrakan, Theo mengarahkan bidikan senapan mesin berat di lengan penggenggam Laughing Fox lalu menembak. Namun memamerkan kecepatan reaksi abnormal unik mesin pembunuh ini, Phönix dengan gesitnya melompat menjauh dan kabur dari jalur tembakannya, mendarat di atara sekelompok bayangan perak mengancam.

Dan di kaki mereka adalah ….

… sebilah frekuensi tinggi.

Itu bilahnya Undertaker …!

Ketika berbentrokan dengan Phönix, Shin menusuk Phönix dengan bilah ini, dan mungkin saja patah. Di seluruh Divisi Penyerang, Shin seorang yang dilengkapi bilah frekuensi tinggi di lengan penggenggamnya. Di medan perang di mana senjata mesin berat serta turet tank berjangkauan beberapa kilometer berkuasa, hanya segelintir orang terpilih yang menggunakan senjata jarak dekat di Sektor 86.

Dan sekarang hanya pencabut nyawa tanpa kepala merekalah yang masih menggunakannya.

Phönix melangkahi bilahnya. Shin dan Undertaker yang jatuh ke laut, mungkin inilah serpihan terakhir yang tersisa dari unitnya. Mesin-mesin pembunuh tiada emosi itu akan menginjaknya dengan kejam dan tanpa perasaan.

Kala itulah emosi yang berkobar di diri Theo tak bisa disebut kemarahan. Melainkan kebulatan hati dan tekad.

“…!”

Memutar turet 88 mm miliknya, dia mulai menembak cepat. Phönix melompat menghindar, lalu Theo mengusir mereka dengan pengeboman susulan ke posisi mereka. Theo kini berada di tengah-tengah kawanan binatang perak ini.

“—Fido!”

Mengaktifkan pengeras suara eksternalnya, dia berteriak. Scavenger setianya yang bekerja dengan rajin di bagian terbawah Mirage Spire sambil mengkhawatirkan nasib Shin, berbalik. Dia langsung menanggapi panggilannya, berguling ke ujung Mirage Spire, Theo cepat-cepat menendang bilahnya ke Fido.

Panggilannya mungkin terlalu samar sebagai perintah untuk Scavenger, namun Fido nampaknya paham-paham saja. Dia berdiri diam sejenak, kemudian bergerak ke perkiraan titik pendaratan bilahnya. Benar-benar melacak lintasan jatuhnya dengan sensor optik, dia tangkap dengan kontainer di punggungnya.

“Jaga baik-baik! Bawa pulang apa pun yang terjadi!”

Sensor optik Fido naik-turun, seakan-akan mengangguk, persis ketika itulah Theo menyadari kerumunan musuh mendekatinya. Dia selalu mengandalkan Shin. Terus mengandalkan dirinya dan kemampuannya yang bisa mendengar jeritan-jeritan Legion sekaligus menunjukkan posisi mereka.

Shin yang mengingat semua rekan-rekan gugurnya dan berjanji akan membawa ingatan mereka di hatinya sampai saat terakhir. Dia yang memikul peran garda depan, yang menembus lini musuh dan menghadang kemajuan mereka.

Dan yang paling utama, dia yang menembus hujan peluru serta bersilangan bilah jarak dekat melawan musuh walaupun terus-menerus mendengar teriakan memekakkan telinga mereka. Semuanya demi mempertahankan rekan-rekannya.

Inilah satu-satunya hal yang bisa Theo perbuat untuk mewarisi kehendaknya.

Selagi berdiri dikepung monster-monster logam, dia melihat beberapanya bergerak menghalangi jalan pelariannya. Dia masih berusaha menjaga suaranya tetap tenang.

“Laughing Fox kepada semua unit. Aku akan mengalihkan perhatian Phönix. Akan kutembus barisan mereka terus kubuat sibuk. Gunakan kesempatan itu untuk melenyapkan target.

Kubuka lebar kesempatan itu untuk kalian. Akan kuwarisi peran itu.

Tak repot-repot mendengarkan reaksi pasukannya, dia mendorong maju tuas kendalinya. Tidak peduli sedang dikepung, dia melangkah maju untuk menghadapi Phönix. Menyerbu barisan mereka, menganggu gerakan mereka, dan mengalihkan seluruh jalur tembakan ke dirinya sendiri. Dengan mengekspos dirinya ke bahaya, sekutunya mendapatkan celah.

Sebagaimana Pencabut Nyawa mereka … seperti Shin. Menembakkan meriam berpeluru sebar untuk memencar mereka. Shiden berlari di sepanjang Tingkat Carla seraya berusaha memotong pelarian cepat unit Phönix. Suara bermartabat dan entah bagaimana agak ganas Lena mencapainya lewat Resonansi.

“Semua unit, muat selongsong tabung! Tembak!”

Dengan hujan peluru sebar di jalur Phönix terakhir, dia melompat menghindarinya, tapi seketika itu—

“Titik E12, perintah siaga dicabut! Tembak!”

Satu Juggernaut yang tadinya menunggu telah bangkit dari tempat persembunyiannya dan melepaskan tembakan senapan mesin ke Phönix. Mendengarkan suara memerintahnya, Shiden mendesau lega.

Kau sudah tenang, Lena.

Baginya pribadi, dari awal Shiden pikir pria seperti Shin tak layak segitunya dipikirkan Lena sampai-sampai kehilangan ketenangan. Itu menjengkelkannya. Dia layak memegang gelar Pencabut Nyawa mengingat kemampuannya dan orangnya sendiri bersedia menyandangnya. Shiden menghormati itu.

Tapi ya ampun, dia benar-benar orang idiot spesies langka.

Serius deh. Setelah semua yang mereka lalui, dia tiada kayak begitu?!

“Kalau kau betulan mati di sana, akan kukejar sampai neraka terus kubunuh lagi, Penakluk Wanita.”

Setelah semua Phönix di atas Mirage Spire dibersihkan, para Juggernaut lanjut membantu baku tembak melawan Noctiluca. Begitu menerima laporan ini, Lena mendesah panjang nan tajam. Pertempurannya belum berakhir. Noctiluca masih berdiri.

Sekalipun punya enam tahun pengalaman di medan perang, Theo tidak biasa menghadapi Legion di pertarungan jarak dekat. Terutama kalau musuhnya Phönix. Tingkat stresnya lebih tinggi dari pertempuran lain yang pernah dia alami sebelumnya.

Phönix lain menerjangnya. Dia tidak bisa menghitung lagi jumlahnya. Begitu mereka saling bertempur, Theo menembakkan senjata mesin beratnya seakan ayunan bilah. Masih belum cukup untuk mengalahkannya. Laughing Fox melompat ke geladak Noctiluca yang berlapis baja, menyeret kakinya seraya berlari menjauh.

Theo dikelilingi musuh. Begitu dia berhenti, mereka akan menyusulnya. Dan jika mereka menyusulnya, maka selesai sudah dirinya. Dia selalu mengira sudah terbiasa sama bahaya mematikan, namun kini dia merasakannya lebih jelas dari sebelum-sebelumnya. Bertarung di jarak sedekat ini, maut bernapas di lehernya, melingkari sekujur tubuhnya dan menolak melepaskannya.

Naluri bertahan hidupnya, impuls yang paling primitif, tengah menjerit-jerit dalam dirinya. Aku tak ingin mati. Setiap indranya, tiap-tiap kesadarannya menegang, membentuk untaian fokus dan konsentrasi yang terjalin keras nan erat.

Benar, dia tidak mau mati. Pikirannya menolak kematian sekuat tenaga. Dia tidak boleh mati di sini. Karena mati di sini takkan sebanding kematian Shin. Bukan kematian yang dapat dia sebut adil atau memuaskan. Shin akan mati sia-sia.

Tak ada yang menebus dosa kapten lamanya. Theo yang sekarang, dia belum melakukan apa-apa untuk membayar pengorbanannya.

… belum cukup. Tidak bisa kuterima.

Dia ditembaki musuh. Tak mengindahkan laras kepanasan mereka, senjata-senjata antipesawat mulai menembak Laughing Fox. Tetapi sepintas setelahnya, misil-misil yang diluncurkan Juggernaut meledak di atas senjata, menyebarkan peluru sebar penembus lapis baja.

Dunia ini barangkali serba kedengkian, tetapi mengakui kenyataan itu sama saja tunduk dan pasrah pada kehendak buruk tersebut. Mengakui dirinya tidak lebih dari seseorang yang pantas dicuri. Seseorang yang tak bisa meraih apa-apa, seseorang yang perannya dalam kehidupan adalah diinjak-injak.

Tak ada bedanya dengan mengakui bahwa dirinya, dan rekan-rekannya, serta klan-klan Laut Lepas, juga Shin, sekaligus kapten lamanya, pantas untuk mati—pantas harga diri mereka direnggut. Dan Theo tak menginginkan itu. Takkan dia akui. Takkan pernah.

Haluan Noctiluca telah diamankan para Juggernaut lain, jangkar kawat melesat dari perancah Mirage Spire. Dua jangkar menempel di geladak, dan Juggernaut-Juggernaut baru naik ke kapal, menghentak lantai begitu mendarat.

Wehrwolf Raiden, Snow Witch Anju, dan Sagittarius Dustin. Rupanya, beberapa kapal penyelamat menarik sejumlah balok jatuh dari tembakan meleset Noctiluca, menahannya di sepanjang dinding. Sejumlah panel kebetulan tak jatuh, memungkinkan balok-balok tersebut menjadi pijakan unit lain untuk naik ke kapal.

Pijakannya terjatuh ke air sesudah berulang kali mesti menopang berat lebih dari sepuluh ton. Kapal penyelamat buru-buru melepaskan baloknya dan pergi jauh, sehingga tidak ikut terseret.

Saat mendarat, Snow Witch memberondong roket dari peluncurnya. Wehrwolf ikutan menembak. Peluru sebar penembus lapis baja dan tembakan meriam otomatis meluncur di udara, memaksa unit-unit yang mendekati Laughing Fox untuk berpencar.

“Maaf kami kelamaan, Theo,” seru Anju.

“Serahkan sisa Phönix-nya kepada kami …. Dan jangan lagi beraksi gila. Tak perlu meniru bagian dirinya juga.”

“… iya.”

Napasnya masih megap-megap. Theo menghembus napas berat. Ketika hujan baja beterbangan di udara, dia menatap dua railgun.

Dia teringat kata-kata yang didengarnya sebelum pertempuran.

Selama kau hidup, kau senantiasa bisa menemukan sesuatu yang sama berharganya.

Pasti bohong. Ishmael mungkin tak bermaksud berbohong saat mengatakannya, tapi bohong ya bohong. Kalaupun tidak, tetap saja tidak bisa dianggap benar.

Untuk terus hidup, seseorang harus menemukan sesuatu yang memberikan mereka tujuan. Biarpun kehilangannya, mereka mesti menemukan sesuatu yang membentuk mereka. Kendati seluruhnya telah diambil, mereka wajib terus maju bila ingin selamat. Jika tidak, mereka akan dikalahkan. Mereka akan mati dan hal itu direnggut dari mereka.

Seseorang harus menemukannya. Tak peduli seberapa banyak diambil dari mereka atau sesering apa mereka dirampas. Mereka mesti menegakkan kepala, walaupun artinya membohongi diri sendiri.

Aku tak ingin hidup dengan merasa malu pada diriku yang sebenarnya.

Benarkan, Shin? Aku juga tidak mau malu. Tidak malu pada diriku sendiri, tidak kau atau kapten. Akan kubalaskan dendam kalian berdua, biar tidak hidup dengan rasa malu ….

Sebuah mesin pemeliharaan menemukan dan membuang Sirin terakhir yang tersisa dari pasukan yang menyusup ke bagian dalam Noctiluca.

“Cih ….” Vika mengklik kesal giginya.

Dia bisa mempersempit posisi inti kendalinya, tapi masih belum jelas. Rasanya dia sangat dekat, tetapi karena sudah tak ada cara untuk mengumpulkan intel, dia tidak dapat mengharapkan hasil sempurna.

Lagian, Stella Maris mau kehabisan selongsong. Vika terhubung ke anjungan gabungan lewat Para-RAID kemudian membuka bibirnya hendak bicara.

“Milizé, Kapten, akan kukirimkan perkiraanku saat ini tentang posisi inti kendali. Aku persempit ke tiga titik memungkinkan, tetapi tidak bisa kuselidiki lebih dari itu. Maaf yang kukirimkan adalah hasil tidak lengkap, tapi ….”

Meriam kaliber besar yang tujuannya adalah pertempuran laut mempunyai jangkauan lebih jauh ketimbang turet tank. Meriam 120 mm Gadyuka juga belum cukup bagus untuk tugas itu. Tapi dari seberapa dekatnya target, mungkin bisa berguna.

Vika bicara, mengirimkan data dengan satu tangan dan satunya meninju perintah manuver pertempuran ….

… tapi tangannya berhenti seketika di ujung matanya, dia melihat kilatan biru baja di ujung hanggar.

Pengeboman dari Mirage Spire meledakkan senjata antipesawat terakhir. Phönix tersisa terakhir di Noctiluca telah didesak sampai geladak, seolah-olah balas dendam pada Shin. Saat laporan-laporan tersebut diteriakkan lewat radio, tembakan terakhir Benetnasch bersinggungan dengan lintasan meriam 800 mm.

Selongsong 40 cm melepaskan lapisan luarnya di atas Noctiluca, memencar bom-bom yang menjadi sisa-sisa terakhir sepasang senjata tembak cepat 155 mm di sisi kiri kemudian meledak. Sementara itu, selongsong 800 mm masuk haluan Benetnasch. Buritannya dengan mudahnya terkoyak-koyak. Baling-balingnya pun rusak. Membuatnya kehilangan kecepatan dan berhenti di tempat.

Benetnasch tak bisa bergerak.

Selagi Ishmael melihatnya dari layar, dia membuka bibir, Dengan ini persenjataan Noctiluca tersisa lima senjata tembak cepat yang dipasang di sisi kanan—arah berlawanan. Tentu saja masih ada senjata paling mengancam, dua turet utama.

Tetapi terlepas dari itu, Benetnasch dianggap tidak bergerak, dan kedua senjata utama Basilicus rusak. Stella Maris juga kehabisan selongsong, hanya gudang amnuisi cadangan tersisa di gudang senjatanya. Semisal mereka menghabiskan itu, Ishmael bersedia menenggelamkan musuh dengan menabraknya bila perlu. Tetapi sebelum itu ….

“Kami bersiap menembak senjata anti-leviathan. Kapten Milizé.”

Gadis yang fokus memerintah para Juggernaut beralih menghadapnya.

“Bawa pasukan kalian dan siap-siaplah evakuasi dari kapal. Kapal penyelamat akan menjemput kalian, jadi naik kapalnya untuk kembali. Termasuk 86 di dalam Mirage Spire juga. Kapal-kapal penyelamat pasti sedang menempel di bagian terbawah pangkalan. Kalian harus meninggalkan Reginleif, tapi ada ruangan untuk anak-anak.”

Para jenderal yang merencanakan operasi ini bersikukuh menambah dua kapal penyelamat untuk tujuan eksplisit tersebut. Jadi bila mana kemungkinan terburuk terjadi, di mana Stella Maris tak bergerak, tentara anak-anak masih akan dipulangkan.

“Divisi Penyerang telah menyelesaikan tujuannya. Kalian mengambil alih pangkalan musuh dan menumbangkan Morpho. Jadi sudah cukup. Tidak usah lagi terlibat dalam perangnya Negara-Negara Armada dan Armada Orphan.”

Namun Lena menggeleng tegas.

“Tidak.”

Ini tanggung jawab Ishmael, tekad, dan harga dirinya. Tetapi 86 memiliki harga diri sendiri yang dipatuhi di situasi ini, dan sebagai ratu mereka, dia bertanggung jawab menyaksikan seluruhnya.

“Meninggalkan kapten dan melarikan diri akan meninggalkan kesan buruk di hidup mereka. Dan akan melukai harga diriku juga. Asalkan mereka terus bertarung. Aku pun harus berada di medan perang yang sama dengan mereka. Aku takkan bersiap melarikan diri.”

Sebuah lift mengangkut helikopter patroli di geladak atas Benetnasch yang memiring. Mereka menghidupkan mesin helikopternya sampai lepas landas, walau naiknya goyah. Itu karena menempelkan selongsong meriam ke bagian tanpa pylon, membuat helikopternya melebihi kapasitas berat normalnya. Sekilas melihatnya sudah jelas bahwa helikopternya dipersenjatai untuk penghancuran diri, sama saja menjadi misil yang jatuh mengincar Noctiluca.

Dilatarbelakangi pemandangan tersebut, kedua penguasa saling melotot. Pemimpin terakhir klan-klan yang melawan monster-monster di sepanjang laut tanpa kenal kasih, dan ratu yang memimpin 86 para penyintas kengerian Sektor 86.

“… seumpama situasi jadi tidak menentu, aku gunakan wewenang kaptenku untuk memaksamu evakuasi. Oke?”

Serbuan bunuh diri helikopter berada persis di depan Noctiluca. Mereka bisa melihat senjata tembak cepat di sisi kanan berputar untuk menembakinya dan bagaimana helikopternya ditembak jatuh sebelum mencapai tugasnya.

Helikopter tersebut jatuh, jadi sebongkah logam yang bahkan tak mirip bentuk orisinilnya. Selongsong yang dibawanya tersulut api dan meledak. Dalam sekejap mata, lautan dilanda api.

Kapal penjelajah digerakkan tenaga nuklir, namun helikopter patroli digerakkan mesin turbin gas. Kapal-kapal tersebut punya bahan bakar jet untuk keperluan pengisian bahan bakar, namun bahan bakar Benetnasch dan Denebola mengalami kebocoran, alhasil menyebar ke permukaan air. Api-api kemerahan merayap di permukaan laut.

Medan perang biru di laut diwarnai merah.

Diterangi api, Noctiluca terus menembaki Denebola yang menahan gerakannya. Selongsongnya akhirnya mengenai ruangan mesin kapal. Senjata tembak cepat 155 mm merobek sebagian besar lambung, menampakkan bagian dalamnya dan menusuk mekanisme interior kapal.

Tak satu pun operator kapal selamat. Denebola sama saja cangkang mati yang rusak, hanya saja hampir tidak digerakkan mesinnya. Akhirnya baling-balingnya berhenti. Meski demikian, tali penahan tetap menempel di Noctiluca. Ibaratnya tangan hantu kru tenggelam terus menahannya di tempat.

Noctiluca mendorong ke depan seakan-akan berusaha melepaskannya, berbalik selaagi bergerak. Sebagian besar tali jangkarnya robek, namun beberapanya tetap utuh, sehingga Noctiluca menarik puing-puing kapal seiring gerakannya.

Mesin Noctiluca meraung layaknya meriam sedangkan sensor optiknya beralih ke kapal utama musuh—Stella Maris.

Kapal besar itu bergerak. Mengubah arah tiba-tiba sekali sampai-sampai haluannya memiring nyaris terbalik. Seketika geladaknya amat kuat meluncur ke depan hingga bisa melihat jelas air di bawah, para Juggernaut dan Phönix tergelincir dari geladak dan tercebur ke air.

“Sial …!”

Raiden refleks menembakkan jangkar, menghentikan Wehrwolf.

Sialan. Kapalnya bergerak. Baru kelar mengurus senjata antipesawat sama Phönix, tapi masih ada senjata tembak cepat.

Haluan kapalnya sejajar dengan Stella Mari dan tatkala melewatinya, Noctiluca membelokkan sisi kanan menghadap Stella Maris. Turet utama tak tersentuhnya juga lima senjata tersisa berbelok untuk membidik kapal induk besar. Posisi sempurna buat melepaskan daya tembak penuh ke kapal musuh.

Raiden melihat Stella Maris buru-buru berbalik di kejauhan. Kedua turet 800 mm utama bergerak mengikutinya, laksana mengejek upaya kaburnya.

Takkan kubiarkan.

Shin telah menembak hancur kakaknya, dan itulah satu-satunya harapan yang terwujud, dia ditakdirkan mati tanpa mendapatkan apa-apa. Namun dia masih hidup, menunjukkan mereka jalan dengan memilih hidup berdampingan bersama yang lain.

Kendati sebagian besar warga Republik tewas di serangan skala besar, nenek yang melindunginya dan pendeta yang merawat Shin telah selamat dan bersatu kembali.

Suaka dan pemulihan memang ada di dunia ini.

Bak rasanya selalu mereka disajikan secercah cahaya harapan. Namun dunia ini membuktikan ia bisa jadi cukup kejam hingga merenggut semuanya sehabis menumbuhkan harapan itu kepada diri mereka. Dan jika begitu, yang paling tidak ingin Raiden lakukan adalah diam tak berkutik di hadapan keputusasaan sengaja dan diperhitungkan ini.

Kapalnya sangat memiring, mustahil Juggernaut-nya mampu berdiri tegak. Semisal dia benar-benar mencoba menembak selagi tergantung di jangkar kawat, dia takkan memperkirakan tembakannya akan sepenuhnya akurat.

“Kalau begitu harus kuguncang, terus …. Kustabilkan benda ini.”

Pemilihan persenjataan, ganti.

Lautan terbakar, dan kala gelombang berapi dipotong haluannya, Noctiluca menoleh. Snow Witch membuang landasan misilnya yang kini kosong, gantinya menembakkan senjata mesin berat. Para Juggernaut lain di geladak juga menstabilkan mereka dengan jangkar kawat. Kemiringan geladaknya jadi curam nian, kaki Snow Witch menggantung di udara saat Anju menstabilkan unitnya.

Dia bisa lihat salah satu turet 800 mm Noctiluca berputar, namun dia tak punya persenjataan apa pun yang sanggup menyerangnya. Senapan mesin berat, sepenghancur bagaimanapun senjata itu, tak bisa memberi kerusakan signifikan ke turet sebesar itu.

… Lena di kapal itu. Frederica juga, kami harus melakukan apa …?

Anju menggertakkan gigi. Saat itulah dia melihat sesuatu di depannya. Sepotong perancah logam tergelincir ke bawah geladak miring dan tak bergerak lagi di sana, terus yang terjerat di perancah itu adalah satu Alkonost tanpa Sirin-nya. Para Alkonost dilengkapi bahan peledak tinggi untuk tujuan penghancuran diri, agar mencegah Legion mengakses informasi rahasia apa pun di dalamnya.

Sagittarius menggantung di dekatnya. Mereka membentuk tim dadakan beranggotakan dua orang, saling melindungi satu sama lain selagi menyapu Phönix … dan dua-duanya kehabisan amunisi di waktu bersamaan.

Snow Witch tak cukup dekat dengan Alkonost. Sagittarius lebih dekat, namun sebab Dustin jauh lebih sedikit pengalamannya tentang mengemudikan Reginleif, tak mungkin dia bisa melakukan aksi semacam ini.

“… Anju.”

“Aku tahu.”

Namun tidak ada pilihan lain.

“Tapi … sebaiknya jangan lupa.”

Shin adalah garda depan mereka. Dia selalu menerjang maju, melawan semua yang menghalanginya, bahkan menunjukkan mereka jalan hidupnya dan memberikan harapan. Dia memperlihatkan kebahagiaan ketika menantikan masa depan dan mengharapkan lebih. Baik kepada Anju, dan kepada Dustin.

Meskipun dia kalah dalam pertempuran ini.

“Tentu saja tidak. Mana bisa kulupakan?”

Anju merasakan senyuman Dustin lewat Resonansi.

“Aku takkan mati dan meninggalkanmu.”

Pemilihan persenjataan, ganti. Pemancang penembus lapis baja. Keempat-empatnya, dipicu berbarengan.

Empat pemancang elektromagnetik 57 mm Wehrwolf menusuk geladak lapis baja, menambat Reginleif di tempat. Tolak baliknya melepaskan jangkar selagi kawatnya membusur di udara. Setelah itu Raiden lekas mengembalikan pemilihan persenjataannya ke turet utama. Meriam otomatis 40 mm Reginleif diatur ke lengan pemegang senjata yang bisa berputar meski terbatas.

Sekali lagi dia menekan pelatuk.

“Bagaimana … kau suka ini?!”

Menelusuri bidang penglihatannya, bidikan goyahnya menyesuaikan diri pas meriam otomatis meraung bagaikan hewan, melancarkan rentetan selongsong ke udara.

Seluruh pemancang Sagittarius digerakkan, menautkan unitnya di tempat.

“Sekarang, Anju! Pergilah!”

Setelah berteriak, Snow Witch menghentak keras geladak memiringnya, dan melompat. Memanfaatkan Sagittarius sebagai pijakan kedua, dia melompat lebih jauh, mendarat di perancah. Perancahnya membengkok lebih cepat dikarenakan berat Snow Witch, Anju menendang Alkonost itu sekuat tenaga.

“Tolong! Sampailah!”

Mendongak seakan-akan berdoa, dia menembakkan senapan mesin berat gandanya.

Tembakan meriam otomatis Wehrwolf mencapai dekat meriam 800 mm di buritan kapal, menembus logam cair yang bertugas membentuk medan elektromagnetik di dalamnya.

Meriam otomatisnya barangkali takkan kuat menghancurkan turet itu sendiri, tetapi dampak besar tembakannya lebih dari cukup untuk menghancurkan logam cair seolah menghancurkan kaca.

Di sisi lain, di sisi haluan kapal, Alkonost-nya jatuh ke moncong meriam 800 mm. Tembakan senapan mesin Snow Witch merobek-robeknya, memicu dan mencetuskan bahan peledak di dalamnya. Ledakannya melaju secepat delapan ribu meter per detik, menghamburkan logam cair Legion.

Saat berikutnya, turet Legion menembakkan selongsong 800 mm, lintasannya sedikit diganggu medan elektromagnetik. Sedangkan kedua kapal terkunci pertempuran laut di jarak yang sangat dekat, lintasannya dialihkan sekitar sepuluh kilometer, hasilnya meleset.

Kedua tembakan kuat railgun meleset jauh dari Stella Maris, menyasar ke laut di samping mereka. Gelombang pasang raksasa hampir menyapu geladak penerbangan Stella Maris. Tetapi kapal perang terbesar umat manusia dengan berat sepuluh ribu ton, takkan mudah terbalik.

Para Juggernaut di geladak penerbangan juga berhasil menghindar walau dihanyutkan ombak. Akan tetapi, bayarannya adalah kapal induk besar mereka aman ….

Tolak balik tembakannya mengakibatkan tekanan lebih besar dari yang sanggup ditangani pemancang, membuat Juggernaut-Juggernaut ikut terhempas. Perancah berderit di bawah beban sepuluh ton Reginleif, berguling berisik.

Wehrwolf, Snow Witch, bersama Sagittarius telah menyelinap pergi dari geladak miring. Mereka semua mencoba menembakkan jangkar kawat, namun tak ada yang berhasil tepat waktu.

Tiga pilar air memercik sisi Noctiluca.

Mereka hanya mampu menggagalkan dua tembakan destruktif meriam 800 mm. Tembakan kelima meriam otomatis masih bebas beterbangan ke Stella Maris. Deretan tembakannya melaju dalam formasi kipas ganas, jadi mau Stella Maris menghindar ke kanan atau ke kiri pasti tetap akan tertembak.

Stella Maris tidak memilih bergerak ke keduanya. Ia berbelok pelan, menghadapi Noctiluca secara langsung, dan beberapa detik sebelum dampak, kapalnya mengasumsikan posisi yang bagian terluarnya akan paling minimal kena tembakan. Badai barangkali berlalu, tetapi angin masih cukup kencang, dan ironisnya, gelombang pasang hasil peluru 800 mm menghantam Stella Maris sedetik sebelum selongsong 155 mm, semakin mendorong kapal induk besar keluar lintasan serangan tembak cepat.

Terhalang angin kencang dan tersingkir dari tujuan oleh ombak, selongsong tembak cepat yang mestinya mengenai haluan Stella Maris malah salah sasaran, meluncur di sisi kiri kapal terus mendarat di laut.

Di situlah keberuntungan mereka habis.

“Baling-baling nomor dua kena dampak?! Sepertinya tidak bisa diperbaiki!”

Begitu laporan itu sampai di telinganya, Ishmael mendecakkan lidah.

“Selongsongnya mengenai kita di bawah air. Baru saja membicarakan nasib buruk ….”

Ketika selongsongnya memasuki air di sudut tertentu, hambatan air bisa menyebabkannya bergerak lurus. Salah satu tembakan yang mengenai Stella Maris tak sengaja terus melesat lurus, mengenai baling-baling.

Empat baling-balik mendorong maju kapal raksasa tersebut. Stella Maris sedari awal sudah lebih lambat dari Noctiluca, malah jadi lebih lamban lagi gara-gara salah satu baling-balingnya rusak, kapal induk besar fatalnya mengalami penurunan kecepatan dan mobilitas.

“Raiden?! Anju!”

Marasa Raiden, Anju, dan Dustin terputus dari Resonansi, Theo berteriak panik. Tak menghiraukan para Juggernaut yang jatuh dari geladaknya, Noctiluca dengan tenang memutar kemudi. Kapalnya perlahan-lahan kembali dari posisi miring ke posisi horizontal.

“…!”

Ini kesempatan menyerang. Bagaimanapun, kedua railgun nyaris tak punya pertahanan. Stella Maris macet; barangkali gagal menghindari selongsong tembak cepatnya. Dan posisinya tepat berada di depan Noctiluca!

Ibarat didesak maju melihat pengorbanan rekan-rekannya, Theo menerjang maju Laughing Fox. Namun dua Feldreß menghalangi ketika mengetahui isi hatinya. Satunya adalah Alkonost yang kelihatan bak patung dipahat dari es, dan satunya adalah Reginleif gading, tepat seperti miliknya. Chaika Lerche dan Verethragna Yuuto.

Dua Feldreß sematawayang dari unit-unit yang menaiki Noctiluca bersamanya.

“Ada dua meriam musuh, Tuan Rubah. Anda tak bisa mengalahkannya sendirian.”

“Musuh pintar …. Mereka masih punya kartu as.”

Dinginnya gadis tak manusiawi serta suara tanpa emosi rekannya bagaikan percikan air dingin di saraf panasnya. Menyadari sekali lagi mengalami penglihatan terowongan, dia bernapas panjang.

“Maaf …. Terima kasih.”

Verethragna melihat sekilas.

“Kau urus senjata utama, Rikka …. Kau lancarkan serangan terakhir.”

Noctiluca selesai berputar, kembali ke keadaan semula. Geladaknya sekali lagi bergeser secara horizontal dan memiring ke arah berlawanan. Noctiluca memutar kemudinya ke arah lain, memutar haluannya ke arah Stella Maris yang mendadak kehilangan kecepatan. Ia mendekati kapal musuh, menunjukkan niat penuh membunuhnya.

Bahkan Reginleif tak mampu begerak ketika geladaknya benar-benar miring. Inilah saat satu-satunya mereka bisa mendekati railgun, dan Yuuto tak berniat melepaskan kesempatan tersebut. Matanya sedingin dan setanpa perasaan sensor optik Verethragna, diarahkan ke railgun seraya mengatakan:

“Verethragna kepada semua unit dalam benteng. Aku berusaha menghancurkan senjata utama musuh. Aku namakan senjata di sisi depan sebagai Frieda dan senjata di sisi belakang sebagai Gisela. Aku mulai dengan Frieda … aku andalkan kalian untuk mengeliminasi senjata tembak cepat di sisi kanan.”

Dia tak sempat memprioritaskan senjata tembak cepat dan tidak punya waktu buat menunggu bala bantuan.

Geladaknya dimiringkan, miringnya sampai-sampai berjalan di sepanjangnya jadi tak mungkin.

“… Lerche.”

“Siap selalu,” tanggapnya dengan anggukan, suaranya seperti kicau burung.

“—ayo.”

Mereka menyerang. Chaika memimpin tak jauh di depan. Geladak Noctiluca memiring curam di tengah, dan dari posisi mereka di haluan rasanya seolah-olah geladaknya melengkung di atas mereka. Melaju melintasi permukaan terbakar, cepat-cepat menuju sisi haluan yang laksana merajai mereka di atas.

Segera melompat ke kanan-kiri, menghindari bidikan senjata musuh dengan lari cepat mengikuti insting hewani mereka, berbelok tajam yang takkan mampu dilakukan manusia biasa. Masih ada sejumlah senjata tembak cepat aktif. Beberapanya berputar dari jarak dekat, beralih sasaran ke Chaika. Namun sewaktu ingin menembak, unit-unit pendamping di Mirage Spire menembak senjata-senjata tersebut.

Berondong selongsong PLBTSLS 88 mm terkonsentrasi menghantam kepala senjata tanpa lapis baja, menembus dan meledakkannya. Seketika ledakan langsung menghancurkan turet-turetnya hingga berkeping-keping, Chaika tanpa kenal takut berlari menembus puing-puing.

Dua turet 800 mm adalah persenjataan utama Noctiluca. Legion itu takkan membiarkan segelintir Feldreß menghancurkannya. Dengan siulan angin berat dan pertanda buruk, Frieda di sisi depan dan Gisela di sisi belakang berputar di waktu bersamaan. Turet kaliber 800 mm sepanjang tiga puluh meter berbalik menghadap dua Feldreß yang terlalu kecil jika dibandingkan.

Mereka dibidik, tanpa henti ….

“—Yuuto! Serahkan Gisela kepada kami!”

Setelahnya, tatkala kedua railgun—bahkan Gisela di sisi belakang—beralih ke haluan kapal untuk membidik Chaika, satu skaudron baru melompat ke sisi belakang kapal. Jarak antara Mirage Spire dan Noctiluca sekarang keterlaluan jauh untuk dilompati Reginleif. Tetapi mereka bisa sampai melewati bangkai kapal Denebola—kapal yang telah mengorbankan dirinya sendiri untuk menahan Noctiluca.

Noctiluca menyeret rongsokan baja tak bernyawa itu setelah bisa bergerak, dan menjadi batu loncatan antara Mirage Spire serta Legion besar itu. Sebab tak bisa melompat cukup jauh, mereka menggunakan jangkar kawat untuk memotong jarak dan mencapai geladak.

Cyclops Shiden memimpin serangan, diikuti seluruh skuadron Brísingamen, kecuali kelima unit mereka yang telah dirusak dalam pertempuran, dan Melusine yang tetap tinggal di puncak benteng.

Sebagaimana bajak laut yang menaiki kapal musuh, gadis-gadis yang mendarat di geladak segera berpegangan pada turet di hadapan mereka. Kelima puluh senjata antipesawat dan 24 senjata tembak cepat sudah hancur. Turet-turet lain menjadi struktur besar bak tangga yang mengarah ke turet utama.

Menembakkan jangkar mereka lagi sebagai dukungan, Reginleif menggunakan ujung kaki mereka untuk memanjat pijakan kecil yang mereka punya. Para gadis yang mengerumuni bagian belakang laras tiga puluh meternya, Gisela tidak bisa menembak. Dan karena Gisela berada dalam jalur tembakan, Frieda pun tak bisa membidik.

Tak punya pilihan lain, Gisela mengayunkan laras panjangnya, angin bersiul seiring gerakannya. Larasnya sendiri adalah massa raksasa seberat beberapa ratus ton, menabrak satu unit malang yang tak lengah. Reginleif itu membengkok dan jatuh ke laut. Tetapi para Juggernaut terus memanjat dan tak sempat memanggil nama rekan mereka.

Turet Gisela meliuk-liuk seperti kuda melompat-lompat, menjatuhkan beberapa unit lain seolah-olah tengah memukul lalat. Namun akhirnya …. Chaika sampai tepat di railgun bagian depan kapal, Frieda.

Cyclops memanjat naik ke railgun bagian belakang kapal, Gisela.

Di atas masing-masing turet, sayap keperakan yang bertujuan menghilangkan panas telah dibentangkan, menggantung di atasnya bak bilah guillotine. Sayap-sayapnya berhamburan ibarat salju, menjadi kabel konduktif untuk pertempuran jarak dekat. Inilah senjata pertahanan diri terakhir yang Morpho miliki ketika melawan Shin di lantai teratas Mirage Spire. Masih punya kartu truf terakhir kalau-kalau musuh berhasil mendekat.

Chika dan Cyclops berada terlalu dekat kabel konduktifnya, berarti menyingkirkan kabelnya menggunakan bom pembakar sesuai taktik Lena tak cocok digunakan melawan Morpho. Akan tetapi ….

“—dikira bisa memutus bantuan kami dengan taktik berlebihan itu, dasar monster logam?”

Chaika berhenti di tempat lalu menembak. Suara melengking terdengar dari kakinya yang menggeret lecet geladak ketika menginjak rem mendadak, tembakannya mengincar kabel konduktif yang diayunkan ke arahnya. Sekring waktunya diatur akan terpicu pada jeda waktu paling minimal di tengah udara. Menghabiskan semua pelurunya, ledakan itu menamengi Chaika dari kabel-kabel sekaligus merobek-robeknya.

Tetapi Chaika pun terperangkap ledakannya sendiri. Selongsongnya punya jarak picu minimal untuk memastikan unit yang menembaknya tak terjebak dalam radius ledakan. Akan tetapi Lerche mematikan pengaturannya. Sebab ledakannya hampir tepat di depannya, tidak ada jaminan dirinya lolos tanpa kerusakan.

Dihujani pecahan tembakan jarak dekatnya sendiri, Chika telah dicabik-cabik bak boneka kain kemudian tak sadarkan diri dan tak bergerak. Namun laksana bangkit dari bayangannya, Verethragna Yuuto menyelinap melalui badai kabel konduktif juga pecahan selongsong.

Jarak menuju turet hanya dua puluh meter lagi. Dia cukup dekat dengan laras sepanjang tiga puluh meter untuk berada di titik butanya. Namun ….

Benar dugaanku. Kurang selangkah ….

… Sudut mata Yuuto bisa melihat turetnya berayun ke arahnya. Yang tadinya hendak memukul Chaika kini berbalik akan memukulnya. Yuuto seedikit lagi sampai di belakang turetnya, tempat inti kendalinya kemungkinan berada. Ujung laras mirip tombak mendekatinya dengan sabetan menyamping.

Karena konsentrasinya tegang, waktu terasa berjalan lambat. Namun begitu menabraknya, Juggernaut-nya takkan mampu menahan tabrakan senjata seberat dan sebesar itu.

Tetapi dia sudah membuang rasa takut atau ngeri semacam itu bertahun-tahun lalu. Rekan-rekan bergugurannya serasa laksana akhir yang luput. Sebelum dia bergabung Divisi Penyerang, fakta tak seorang pun dari mereka akan bertahan rasanya sudah jelas.

Laras mendekat, beberapa saat hingga memukulnya. Tetapi entah kenapa, Yuuto teringat akan percakapannya dengan Theo di Mirage Spire. Menara yang mana kian tinggi kau naiki, maka semakin lenyap emosi, hasrat, dan penderitaanmu. Tempat pembersihan, tempat seseorang naik menuju kematian.

Berada di Sektor 86 terasa seperti terus-terusan menaiki menara itu. Namun dia tak lagi naik. Mereka tidak lagi berada di kekangan mematikan Sektor 86, jadi hidupnya tidak boleh seperti bergegas menerjang kematian.

Dalam hal ini, barangkali mereka tak mesti membuang emosi dan keinginan—pada dasarnya, semua hal selain harga diri—juga.

Turet Frieda ingin memukulnya seakan senjata tumpul dengan gerakan menyapu. Tetapi Rito tak bisa menghancurkan ataupun bertahan dari serangannya. Jadi dia biarkan saja, memfokuskan matanya ke target berbeda. Kabel konduktif yang harus dibungkam jika ingin menghancurkan Frieda. Dia tembakkan turet tank 88 mm-nya ke bagian bawah sayap kupu-kupu yang dilebarkan.

“—Shiden, aku tangani kabelnya.”

Kala seluruh unit pendampingnya dievakuasi ke lantai lebih rendah, dia menetap di lantai teratas Mirage Spire, Carla Tiga. Salah satu sektor lantai yang perencahnya memiring ke luar, mirip kelopak bunga patah. Melusine menyelinap ke ujung tempat itu, mencoba menutup jarak dengan Noctiluca.

Biarpun bukan keahliannya, Shana hati-hati membidik selagi bersiap-siap menembak dari jauh. Dia terlalu tinggi naik menara jadi tidak bisa melompat ke kapal musuh, dan lebih parahnya, tidak hanya anginnya terlalu kencang hingga menghalangi tembakan akurat, namun pijakannya pun tak stabil. Sebab dia tidak terbiasa dengan penembakan semacam ini, satu langkah salah berakibat pijakannya kolaps, atau terpeleset jatuh dan tamatlah dirinya.

Tetapi dia harus menghadapi bahaya ini dan lebih mendekat. Seberisiko apa pun itu, kalau tidak, mereka akan kalah lalu mati.

Dunia ini tidak perlu umat manusia. Dunia ini dan orang-orangnya penuh kedengkian serta kekejaman. Kurena telah melihatnya sendiri barusan, namun Shana tak perlu kehilangan seseorang lebih dulu untuk menyadari ini.

Dunia ini bengis. Ia menikam jantung seseorang dengan pisau sembari menyeringai jahat, ibaratnya bilang lebih baik semua umat manusia mati. Dan tepatnya sebab itulah dia menolak mati. Dia takkan pernah bisa mencintai dunia ini, lantas takkan dia turuti kata-katanya.

Dia mencoba menembak bagian belakang Gisela secara diagonal dari atas. Shana membidik bagian terbawah turet, sumber kabel-kabelnya di celah lapis baja. Dia akan tembak dari posisinya di Mirage Spire yang hampir tidak terlihat Noctiluca, secara akurat mengenai selongsong PLBTSLS ke bagian sana.

Kabel-kabelnya tumpah ruah, menggeliat-geliat seperti halnya ular sekarat. Cyclops berlari melintasinya, menggelincir ke bagian belakang turet dan menembakkan peluru sebar ke inti kendali railgun.

“Matilah, dasar keparat besar.”

Klik.

Peluru 88 mm terbang di udara, menusuk dan menembus bagian belakang turet Gisela. Alih-alih teriakan yang keluar malah cairan. Selagi diam di tempat, railgun 800 mm di buritan tampaknya membengkok ke belakang saat api mengepul dari sana, dan akhirnya hancur di tempat.

Sementara itu, di haluan, kabel-kabel konduktif Frieda terputus dari intinya. Kabel konduktifnya terbakar sebab ditembak selongsong hulu ledak antitank berdaya ledak tinggi, akibatnya kehilangan kendali selanjutnya jatuh tanpa daya ke tanah.

Walaupun kehilangan kabel, Frieda sendiri masih berfungsi. Untuk membasmi unit musuh yang mendekat, ia mengayun cepat turet raksasanya.

“Aku sudah menyingkirkan senjata pertahanan dirinya …. Kau urus sisanya,” kata Yuuto selagi Verethragna melompat menjauh ke samping.

Tetapi usaha penghindarannya gagal, dan laras Frieda langsung menyusulnya, menggetok Juggernaut sepuluh ton bak kerikil.

Para-RAID Yuuto mati.

Tanpa berteriak, Yuuto dan Verethragna-nya jatuh ke laut di bawah mereka. Dan gantinya konklusi sengit tersebut ….

“—iya. Serahkan saja padaku, Yuuto. Kau juga, Lerche.”

Menembus api yang masih berkobar di udara, Laughing Fox muncul di atas Frieda. Selagi Chaika merayap di permukaan dan Verethragna menjadi umpannya, Laughing Fox bersembunyi di balik api untuk naik ke atas Frieda menggunakan jangkar kawatnya.

Baik turet serta sensor optiknya terfokus ke geladak di bawah, koordinasi tiga dimensi ini mengejutkan Frieda. Dan kini persenjataan pertahanan dirinya telah dienyahkan.

Akan tetapi Frieda-nya sendiri—railgun—belum menembak. Turet seperti tombaknya diputar, mengunci Laughing Fox. Sulur-sulur listrik mengalir di larasnya dengan dengungan, dan selanjutnya, ledakan menggelegar mengguncang udara.

Sensor optik Laughing Fox memandangnya dari atas, mencerminkan moncong kaliber 800 mm yang memelototinya. Walaupun bukan meriam raksasa, itu masihlah Legion. Kecepatan reaksinya cepat bukan main. Demi menghancurkan inti kendali meriamnya, Theo harus ke belakang turet.

Tidak ada pilihan lain.

Sebuah bukaan besar, cukup besar untuk dimasuki seseorang. Memuat selongsong 800 mm yang siap ditembakkan. Theo menguncinya.

Klik.

Senjata laras halus Reginleif menembak, berdering seakan-akan baru saja mengenai pelat logam. Meski targetnya turet senjata, tetapi lubangnya sebesar 800 mm. Celah laras seperti tombak itu sudah cukup besar hingga muat selongsong berukuran sedang.

Tetapi tepat sebelum menembak, dia sedikit menyesuaikan bidikannya. Arahnya sedikit melenceng. Selongsong 88 mm setengah jalan menuju lintasan masuk yang ditempuh selongsong 800 mm. Namun di tengah lintasan laras, selongsong 88 mm menyentuh cairan yang membentuk medan elektromagnetik, merobek selongsongnya di sana.

Sekringnya terpicu dan meledak.

Sebagian cairan yang membuat medan elektromagnetiknya terciprat. Turet ini beratnya ratusan ton, dan sekalipun selongsong 88 mm meledak di dalamnya, tetap takkan hancur. Tetapi jika cairan di dalamnya yang diledakkan, maka akan menyebabkan arus pendek terus aliran listriknya mengamuk. Dan sialnya Frieda adalah sekring bagian luar selongsong 800 mm yang dimuatnya untuk meledakkan serangga yang berkeliaran di depannya telah mengalami malfungsi dan mengakibatkan suatu pemicu di tengah-tengah rel railgun-nya.

Kejadian ini malah semakin memperbesar ledakan, menghasilkan ledakan yang memekakkan telinga. Selongsongnya meledak sebelum sempat dimuat dan diakselerasi dengan energi kinetik, jadi tak berisi kekuatan penuh yang mampu meluluhlantakkan benteng. Namun energi besar yang akan melepaskan sejumlah besar pecahan meluru meledak di dalam Frieda. Sekukuh apa pun relnya, tetap tak sanggup menahan gelombang kejut tersebut.

Sebagaimana pohon besar yang terbelah kilat, relnya membengkok ke arah berlawanan begitu larasnya terbuka. Relnya yang berfungsi untuk mendorong selongsong railgun telah dibengkokkan hingga tak berguna sepenuhnya.

Railgun-nya musnah dengan cara tak layak—sebagiannya karena kebetulan saja. Tapi hasilnya tetap sama.

“Frieda, dieliminasi.”

Namun sewaktu Theo mulai mempertimbangkan tujuan tersisa, gelombang kejut mengguncang udara.

“Theo?!”

Ledakan langsung menerbangkan Laughing Fox ke haluan kapal. Melihatnya, Shiden yang berdiri di atas turet hancur Gisela, berteriak terkejut. Setelah berguling dua kali, Laughing Fox terhuyung-huyung berdiri. Bicara lewat Resonansi, Theo mengerang pusing.

“A-duh …. Ah, aku baik-baik saja. Tidak apa-apa.”

“Duh …. Hari ini kau nyaris mati lebih dari biasanya ….”

Tapi dengan ini, mereka telah mematikan kedua railgun 800 mm tersebut. Sisanya adalah menghancurkan senjata tembak cepat, namun ketika pikiran itu terlintas di benak mereka …

… baru saat itulah menyadari Noctiluca mulai bergerak hingga sisi kirinya menghadap Stella Maris rusak.

Noctiluca menutup jarak antara dirinya dan Stella Maris, takkan lama hingga mendekati dan menembak kapal induk besar. Jika mereka ingin menghancurkan senjata tembak cepat, maka harus cepat-cepat.

Tapi setelahnya Theo menyadari sesuatu dan berteriak tegang.

“Ah …! Shiden! Kumpulkan skuadron Brísingamen dan menjauhlah dari sana! Itu—”

Suara seraknya meneriakkan peringatan lewat Resonansi. Suara itu mengingatkan Shiden akan pemandangan yang hampir dilupakannya—sosok pertempuran melawan railgun satu tahun lalu. Bagaimana dirinya tak memedulikan konklusi pertempuran mengerikan di saat fajar, antara Morpho melawan Undertaker—meskipun dia tidak tahu dia itu Undertaker—dari atas Gran Mule. Dan akhir pertempuran itu.

Agar informasi rahasia tidak diambil atau barangkali membawa mati unit-unit musuh, mesin-mesin pembunuh mewujudkan kegilaan dalam diri mereka.

“Morpho punya perangkat penghancur diri di dalamnya!”

Namun peringatan dan ingatan keduanya datang terlambat sesaat. Tanpa adanya Shin yang bisa memastikan Legion-nya benar-benar mati atau belum, mereka tak sempat bereaksi.

Kilat sunyi yang diikuti ledakan.

Gelombang kejut serta cahaya menyebar, dan sesudahnya, Gisela … pecahan peluru railgun seberat seribu ton terbang ke segala arah.

Lena menyaksikan Gisela menghancurkan diri, unit-unit skuadron Brísingamen yang berada di atas dan sekitarnya termakan ledakan. Pecahan pelurunya menusuk para Juggernaut, membuyarkan mereka sampai berguling-guling tanpa kekuatan di geladak Noctiluca.

“…!”

Shiden hampir menjerit tetapi sempat menahannya.

Tidak. Shiden baru saja menyuruh Lena menenangkan diri. Kehilangan ketenangannya sekarang sama saja pengkhianatan.

Dia mendengar Esther meneriakkan perintah untuk mengirim perahu-perahu penyelamat.

“Nomor lima dan tujuh, pergi dari sini. Nomor dua belas, bersiagalah setelah mengangkut mereka. Nomor lima belas, kau hampir mogok; kembalilah untuk mengisi bahan bakar.”

Perahu penyelamat Armada Orphan bergerak melintasi lautan terbakar tanpa henti, mencoba menyelamatkan sebanyak mungkin nyawa. Lena yakin salah satunya pasti akan menjemput mereka.

Penyelamatan di laut layaknya berpacu dengan waktu, dan untuk meningkatkan peluang keberhasilan biarpun sedikit, Frederica konstan menggunakan kemampuannya. Tetapi selagi bicara sambil terisak-isak, suara seseorang memanggilnya dari radio.

“Sudah cukup, nona. Hentikan, sungguh. Kami akan merawat luka-luka mereka. Kami sudah menjalani pelatihan sortir. Jangan memaksakan diri!”

Tapi Frederica masih terisak, menggeleng kepala menyangkal kuat-kuat.

“Tidak, masih belum … tanggung jawabku belum usai. Masih ada yang jatuh dan menunggu penyelamatan. Aku tidak mau berdiri diam terus hidup dengan penyesalan. Aku masih kuat.”

“… iya,” gumam Lena sendiri, mengangkat kepala.

Kami belum boleh berhenti. Noctiluca-nya sendiri masih hidup.

Namun setelah itu sesuatu semacam bel alarm berbunyi di benaknya.

masih belum mati?

Kalau begitu, railgun-nya sudah tak berfungsikah? Kenapa mereka berasumsi demikian? Konfirmasinya bagaimana? Kok bisa memastikan begitu padahal tidak ada orang yang bisa mendengar berhentinya jeritan para hantu …?

Sesuatu menarik pandangannya. Dia melihat bentuk perak berputar-putar di atas Noctiluca. Sebuah kaleidoskop kupu-kupu, membelokkan cahaya dengan kepakan sayap tanpa suara. Prosesor sentral Legion yang berbentuk kupu-kupu mekanis.

Mesin Mikro Cair.

Kemungkinan besar yang mengontrol tembakan Gisela. Tetesan keperakan yang menetes ke Mirage Spire setelah kehancuran Morpho ….

Semestinya saat itu kusadari ….

Seperti Phönix sebelumnya, Noctiluca adalah unit komandan yang pada dasarnya abadi. Menghancurkan badan pesawat nirawaknya saja belum cukup untuk mengasumsikan mereka telah menghancurkannya sepenuhnya. Dan akan sangat mungkin berlaku hal sama kepada para Gembala yang mereka hadapi ke depannya—barangkali bahkan pasukan Legion paling umum.

Kupu-kupu beterbangan seperti salju. Melipat sayap mereka, menyerupai cahaya bulan mengancam seiring turunnya. Mereka menuju railgun yang Theo hancurkan. Frieda. Mendarat di atasnya, terus menyelinap ke celah di lapis bajanya.

Larasnya meledak dari dalam, relnya bengkok dan terbelah. Railgun ini seharusnya tidak bisa lagi menembak. Lena merasa panik membara menguasainya.

“Semua Prosesor, evakuasi dari garis tembakan Frieda …! Theo, lari!”

Seraya bicara, dia menyadarinya. Sia-sia saja; mereka takkan kesampaian. Dia terlalu lama menyadarinya. Mereka sepatutnya menembak kupu-kupu itu ketika sedang berkumpul. Percik-percik keperakan yang ditumpahkan railgun setiap kali menembak sebetulnya adalah Mesin Mikro Cair. Erosi larasnya berarti Mesin Mikro cair yang memproduksi medan elektromagnetik tengah dikikis.

Gisela hancur total, jadi tidak bisa digunakan lagi. Namun Frieda, mereka hanya sukses menghancurkan larasnya. Mereka menganggap tidak berguna rel-rel yang bertugas mengakselerasi selongsongnya dan mengira telah menghancurkannya.

Tetapi bila untuk menghasilkan medan elektromagnetik cuma memerlukan Mesin Mikro Cair … maka pasokannya sudah banyak dari unit-unit pendampingnya yang hancur.

“Frieda akan menembak! Mesin Mikro Cairnya akan mereformasi laras! Frieda akan diperbaiki!”

Partikel tak terhitung jumlahnya mengendap di sisi haluan Noctiluca, menutupi laras membengkok tatkala diserap ke Frieda. Hanya perlu beberapa detik saja, bagaikan pasir kering menyedot air.

Sensor optik birunya menyala. Laras tiga puluh meter milik Frieda yang menurun tanpa daya, sekali lagi berayun menembus angin laut dan naik ke posisi horizontal. Rel-rel membengkoknya bak tanduk benteng, mirip hiasan di helm gaya ketimuran. Dan dari dalam, cahaya perak tersaring.

Cahaya perak itu adalah Mesin Mikro Cair yang menciptakan medan elektromagnetik. Ruang yang ditempatinya lebih besar secara signifikan ketimbang lubang asli, tapi cairan peraknya menyembur bebas, seolah-olah mewujudkan kristal es.

Mesin mikro cair yang membentuk sitem kontrol Gisela yang kini rusak telah diintegrasikan ke Frieda, harfiahnya mengisi celah-celahnya. Jeritan gemuruh dan sulur-sulur listrik memenuhi udara. Medan elektromagnetik berderak hidup. Garis-garis kecil listrik menari-nari di setiap bagian tubuh logam Frieda, menyerang geladak sekitarnya dan menghancurkan meriam.

Frieda mengangkat larasnya secara horizontal, lalu sudutnya digerakkan mengikuti arah diagonal. Membidik Mirage Spire. Lebih spesifiknya para Juggernaut di atasnya.

Railgun 800 mm meraung.

Ledakan 800 mm menggetarkan udara, seakan guntur menyambar dari dekat. Gelombang kejut destruktif yang dihasilkan dengan mendorong selongsong besar secepat itu mengguncang geladaknya.

Laughing Fox dijatuhkan ke sisi haluan Noctiluca. Theo sempat menggunakan jangkar kawatnya untuk mendarat dan menghindari gelombang kejutnya. Dia sekali lagi menembakkan jangkar, memanjat ke geladak Noctiluca, di sanalah dia menyaksikan pemandangan kehancuran.

“… ah—”

Suara kehancuran yang bergemuruh tak seperti apa pun yang pernah didengarnya. Pangkalan Mirage Spire tertembak langsung dari jarak dekat oleh selongsong 800 mm dan kini berederit, seolah-olah tak kuat menopang beratnya sendiri.

Tingkat Carla, keseluruhannya, telah tertembak.

Selongsong besar dengan kecepatan tinggi membawa serta kekuatan penghancur besar telah tanpa ampun menghancurkan menara baja. Balok-balok kokoh yang menopang gedung bertingkat itu telah patah dan hancur, sekarang seluruh strukturnya melepaskan derit logam.

“K-Kurena bagaimana? Dan yang lain?!”

Layar optiknya menampilkan bangkai-bangkai Juggernaut terbang di udara dan beberapa unit terperangkap dalam perancah terkoyak. Untungnya, tidak banyak dari mereka berada di sana, karena sudah mulai evakuasi … faktanya, sekalipun ada, sangat sedikit yang terdampak keruntuhannya. Yang lainnya pasti sudah terhempas atau jatuh … atau, kemungkinan terburuknya, kena tembakan langsung dan diledakkan berkeping-keping.

Unit-unit pendamping buru-buru mendatangi unit terdampar, membuka kokpitnya untuk mengeluarkan rekan-rekan mereka di dalam. Menyeret orang-orang yang untungnya masih hidup ke kokpit mereka dan bergegas mengevakuasi diri dari Mirage Spire.

Mirage Spire berderit. Tak sanggup menyangga berat masifnya, salah satu dari keenam pilar yang menunjangnya runtuh. Tiap-tiap pilar seukuran sebuah bangunan. Awalnya keruntuhannya kelihatan perlahan-lahan, tapi lambat-laun gravitasi semakin mempercepatnya.

Seolah-olah saraf atau pembuluh darahnya robek, balok-balok bajanya antara terbang ke luar menara atau jatuh ke bawah menjadi tombak logam. Juggernaut-Juggernaut yang masih hidup di bawahnya menambah kecepatan, lekas pergi ke tempat aman.

Di sisi lain, percikan-percikan Mesin Mikro Cair berceceran dari Frieda bak darah begitu selesai menembak. Memanfaatkan Mesin Mikro Cair untuk menembak menggantikan laras adalah usaha besar bahkan bagi Legion. Sebagian besar cairan yang membentuk larasnya telah terkelupas seperti pecahan kristal.

Tersebar dari kapal, memantulkan cahaya dan menetes ke laut. Beberapanya yang lebih besar mengubah diri menjadi kupu-kupu sebelum menyentuh air, mengendarai angin dengan sayap setipis kertas mereka. Kemudian bersarang kembali ke celah-celah di laras yang bahkan lebih bengkok dan patah dari saat sebelum menembak ….

Tentu saja jumlahnya terlalu sedikit untuk mengisi celah-celahnya lagi, namun lebih banyak Mesin Mikro Cair merembes ke luar Frieda, massa perak menyatu bagaikan es. Freida bahkan menggunakan mesin mikro cair yang mengontrolnya untuk bersiap-siap menembak lagi.

Kemungkinan besar bagi Frieda—dan Noctiluca—ini adalah tembakan terakhirnya.

Tetapi tampak siap mengerahkan segalanya ….

Raungan gemuruh lain. Derak listriknya adalah bukti mengerikan bahwasanya meriamnya siap sekali lagi. Turet berputar, memekik keras ibarat ada sesuatu yang menghalangi mekanisme internalnya.

“… Stella Maris.”

Tidak ada Juggernaut lain yang sanggup bergerak kecuali Laughing Fox-nya. Raiden, Anju, Dustin, Yuuto, dan Shiden sudah jatuh semua. Juggernaut-Juggernaut di Mirage Spire, Kurena contohnya, berusaha menyelamatkan diri di pangkalan menara sebelum seluruh bangunan di sekitar mereka runtuh. Salah satu baling-baling Stella Maris rusak dan juga telah dipancing untuk mendekati Noctiluca. Tidak bisa menghindar tepat waktu.

Jadi ….

Pikirannya terasa amat tenang dan jernih sewaktu fakta-fakta tersebut muncul di benaknya. Dunia hanya tersisa dirinya dan railgun di depannya. Tak ada seorang pun selain dirinya mampu memecah kebuntuan ini. Dia tidak boleh membiarkannya menenggelamkan Stella Maris. Mereka tak boleh kehilangan kapal itu. Jangan sampai kehilangan Lena. Atau Frederica, Vika, Marcel, maupun kru kontrol lainnya.

Ishmael juga anggota-anggota lain Klan Laut Lepas masih dalam bahaya. Sampai mereka melihat semua orang kembali dengan selamat ke rumah, misi mereka belum selesai. Mencap diri dengan rasa malu karena berani pulang dengan mengorbankan rekan-rekan mereka. Menyaksikan tugas mereka sampai akhir adalah fakta kebanggaan dan kewajiban terakhir mereka.

Namun yang paling pentingnya, Stella Maris adalah jalan pulang mereka. Semua orang di sini harus kembali pulang.

Begitu juga dirinya.

“… aku harus pulang.”

Biarpun tak ada tempat yang bisa disebut rumah, dia akan mencarinya. Kendatipun artinya harus membuatnya sendiri.

Menara runtuh itu jatuh ke laut tepat saat Noctiluca melewatinya. Seiring runtuhnya, sebagian besar bobot berada di atasnya dan Noctiluca.

Seterlalu berlebihan bagaimanapun dia menggunakannya, jangkar kawat Theo dibuat tangguh untuk mendukung pertempuran mobilitas tinggi. Laughing Fox menembakkan jangkar kirinya ke atas, melingkarkannya di sekitar salah satu balok Noctiluca. Menara runtuhnya sekarang hampir tegak lurus ke laut. Saat menembakkan jangkarnya, Laughing Fox melompat. Menggulung kawatnya, Theo bergerak lebih cepat dari kesanggupan kakinya, dia berayun ke atas railgun.

Iya, dunia memang kejam. Kejam, jahat, dan tidak masuk akal. Orang-orang dengan alasan hidup yang mulia telah binasa, dan yang selamat, masih belum tentu. Memang begitulah kenyataan dunia ini, tidak peduli segigih apa pun orang-orang berharap tidak demikian. Jadi yang selamat berkewajiban hidup.

Yang sudah meninggal dunia … yang telah tiada dan di luar jangkauan … Theo akan mengingat mereka.

Dia menolak menjalani hidupnya dengan memalukan. Dia dia harus bahagia. Walaupun dia sendirian, meskipun takut memikirkan masa depan, dia harus hidup.

Kapten.

Tolong. Jangan pernah memaafkanku.

Kaptennya mengatakannya bukan karena ingin mengutuk kematiannya sendiri. Bahkan di detik-detik terakhirnya, dia masih memikirkan orang lain. Dia hidup mulia, sampai akhir.

Tapi aku masih membutuhkan kutukan itu. Aku tidak bisa hidup tanpa dihantui kutukanmu. Aku harus menembus kematianmu dengan jalan hidupku. Kapten mati tanpa ada yang membalaskan kematian atau menghormati kapten, dan akulah satu-satunya yang selamat yang mengetahuinya.

Aku harus hidup bahagia. Karena jika tidak, kematian kapten akan benar-benar tana arti.

Itulah alasanku.

Kapten …. Yang kapten lakukan itu bego banget. Tanya semua orang, mereka pasti memanggil kapten idiot. Tapi … apa pun yang diucapkan orang lain, kapten itu benar.

Jadi harus aku buktikan ke dunia ini yang memanggil kapten bego … dan karenanya, aku harus selamat. Biar tidak punya apa-apa … meski kehilangan semuanuya, aku … aku harus menemukan kebahagiaan. Akan kuwarisi kutukan hidup bahagia … menggantikan kapten.

Tujuannya adalah bagian belakang railgun, inti kendali di balik lapis baja. Serangan Shiden menunjukkannya tempatnya—salah satu titik lemah yang dapat membungkam railgun dalam sekali tembak. Laughing Fox melayang di udara, gerakannya melengkung selagi membidik langsung titik itu.

Ini dia.

Targetnya tepat di bawahnya. Bersalto di tengah udara, dia membidik turetnya langsung ke bawah. Refleks melepaskan napas tertahannya dalam satu hembusan pendek nan tajam. Sedikit lagi hingga bidikannya sejajar …!

Sayangnya Juggernaut tak bisa terbang. Paling-paling berakrobat di udara. Lintasan yang kelewat mudah diprediksi. Dari sudut matanya, dia melihat senjata tembak cepat yang tersisa beralih membidiknya. Dia tak harus menghindar. Bidikannya disejajarkan, sesudah itu mulai menekan pelatuknya ….

Dia tidak tahu prosedur membidik senjata kapal perang, jadi dia sekadar menyampaikan informasi yang didengarnya.

“120 meter dari haluan, tepat di atas garis air—”

Andaikata dia menyentuh tanah, tak mungkin dia akan selamat. Sistem penyangga presisi tinggi Reginleif berusaha sebaik mungkin melindungi pilot, tapi luka-lukanya akan cukup parah sampai-sampai dokter militer akan tegas menyuruhnya beristrirahat dan memulihkan diri.

Walaupun begitu, dia tahu dibutuhkan, jadi menghentikan perawatannya dan datang ke jembatan gabungan. Dia masih hidup. Rekan-rekannya masih berjuang di luar sana. Dan masih ada yang bisa dilakukannya.

Tahu semua itu, dia tidak boleh istrirahat.

Vika memapahnya, bergumam sambil tersenyum sinis kalau analisisnya tak berguna. Melihat-lihat sekitar, dia menatap Ishmael yang menginstruksikan perwira pengatur tembakan untuk menyesuaikan bidikan mereka sebagaimana instruksinya.

Saat ini, dia mengalihkan pandangan dari mata melebar dan membeku yang menatapnya …. Dengan kondisi demikian, dia bicara dengan napas terengah-engahnya, menginstruksikan mereka ke posisi tersebut.

“Di situlah inti kendalinya. Kebanyakan suara-suaranya berkumpul di sana …. Bidik ke sana!”

Geladak penerbangan kapal induk besar, Stella Maris. Empat senjata 40 cm mulai berputar berisik. Geladaknya dipenuhi angin dan hujan badai, sekaligus jelaga serta bekas-bekas pertempuran ini. Bahkan di pelayaran terakhirnya, sang ratu kapal perang menampakkan luka-lukanya dengan bangga, berdiri tegak dan agung.

Seusai persiapan di geladaknya selesai, personel ketapel3 dievakuasi ke anjungan setelah memperbaiki bidikan mereka sesuai instruksi dan menatap meriamnya dengan emosi meluap-luap. Kemungkinan besar inilah tembakan terakhir turet utama Stella Maris. Fakta mereka butuh seseorang yang bukan bagian Armada Orphan, atau bahkan bagian Negara-Negara Armada, adalah hal yang—biarpun berterima kasih—tidak disukai.

“Tembak!”

Senjatanya menembak, mengeluarkan ledakan besar yang melepaskan gelombang kejut bergetar. Semua sisi amunisi kapal terlempar ke udara, menyisakan kabut asap senjata … dan keheningan. Keheningan abadi.

Saat berikutnya—

“Kalian pasti senang, Stella Maris,” salah satu personel ketapel berbisik. “Ibu hebat sekilas dan terakhir kita. Di pertempuran terakhir kalian, harus menembakkan senjata anti-leviathan.”

Mereka menerima perintah menembak dari kakak hebat mereka, Ishmael.

“Pertahankan bidikan kalian. Senjata anti-leviathan, tembak!”

Uap panjang ketapel menutupi landasan. Mengangkat jejak uap putih, pelontar4 ketapel menunggu saat-saat picunya, yang segera datang.

Kekuatan intens dari dua reaktor nuklir menendang pelontarnya ke udara. Kapal induk mampu mendorong pesawat tempur seberat tiga puluh ton ke kecepatan lepas landas. Ketapelnya kapal induk besar ini memanfaatkan sejarah tersebut.

Tetapi, pelontarnya yang biasanya menarik pesawat terbang, malah menyeret rantai solid dan panjang. Di sisi lainnya terdapat jangkar kuat Stella Maris seberat lima belas ton. Pelontarnya menarik rantainya kemudian didorong melintasi landasan pacu geladak penerbangan sepanjang sembilan puluh meter dalam waktu kurang dari satu detik.

Disebut ketapel karena terinspirasi dari senjata pengepungan yang menggunakan tekanan atau sekrup pegas untuk menembak suatu massa bulat. Ketapel sekarang digunakan sebagai perangkat tambahan untuk membantu meluncurkan pesawat, dan teknisnya lebih mendekati ballista5.

Pelontarnya mencapai ujung landasan, lalu berhenti dengan bunyi brak keras. Kawatnya melayang ke atas dengan momentum penuh, melepaskan jangkar di puncak lengkungannya. Memberikan kecepatan tiga ratus kilometer per jam, jangkar besar seberat lima belas ton diluncurkan bak mata panah raksasa.

Senjata anti-leviathan. Senjata terakhir kapal induk besar untuk membunuh Musukura sewaktu-waktu amunisinya sungguhan habis.

Jangkarnya melayang di udara, mengikuti selongsong meriam 40 cm seberat satu ton. Proyektilnya dilempar menggunakan metode penembakan tak mulus yang primitif,  tidak berbeda dengan ballista. Kontras sekali dengan railgun futuristik mutakhir yang tidak bisa diterapkan negara manusia pada pertempuran nyata. Dan dalam sekejap mata, lintasan proyektil mereka saling bersilangan.

Dia merasa mendengar deru meriam di kejauhan. Tapi itu mustahil. Suara tembakannya lebih lambat dari selongsongnya. Peperangan modern menggunakan senjata jarak jauh yang pelurunya ditembakkan lebih cepat dari kecepatan suara. Lebih cepat selongsong yang mengenai targetnya alih-alih suara raungan meriam mencapai telinga manusia.

Tapi seakan didesak suara tembakan meriam, Theo menarik pelatuknya, tembakan senjata tembak cepat 155 mm dilancarkan di saat bersamaan, namun ledakannya tak sampai telinganya. Selongsong PLBTSLS 88 mm yang dijatuhkan tepat di atasnya menembus inti kendali Frieda.

Meskipun tahu itu tidak mungkin, Theo kira dia mendengar jeritan hantu mekanis untuk terakhir kalinya.

Dibombardir dari atas, laras Frieda nampaknya melengkung ke atas, seolah-olah dibelah dua sampai inti kendalinya. Sirkuit aliran tenaga elektromagnetik yang terkonsentrasi di larasnya telah dipotong, alhasil mengalir mundur. Sulur-sulur petir menyembur dari tubuh railgun bak darah di kehancurannya. Detik berikutnya sistem penghancur diri terpicu.

Selongsong 800 mm yang ditembakkannya diluncurkan ke arah acak, ditembakkan ke laut tanpa menghancurkan apa-apa. Saat setelahnya, pengeboman Stella Maris menghantam Noctiluca.  Kemudian ada dampak lain.

Sekokoh bagaimanapun lapis baja Noctiluca, Stella Maris menutup jarak antara keduanya. Ditambah lagi, Noctiluca sendiri sudah mendekati kapal induk besarnya. Sama saja membuang perisai jarak yang membatasi kecepatan selongsong.

Rentetan selongsong 40 cm menembak satu titik di sisi kapal dengan ketepatan mematikan. Setelah beberapa ledakan, Salah satunya akhirnya menembus lapis bajanya. Selongsong selanjutnya menembus bagian dalam lapis baja yang ditembus.

Ledakan dalam modul lapis baja akhirnya menciptakan lubang besar di sisi lebar Noctiluca. Lalu panah tradisional raksasa terbang masuk ke lubang, menembus jantungnya seolah-olah membunuhnya dengan pasti.

Semburan besar Mesin Mikro Cair memuncrat bagaikan cipratan darah.

Raungan gemuruh … Theo bisa mendengarnya dari Resonansi, lolongan Noctiluca. Ratapan kemarahan. Atau barangkali kebencian.

Kapal baja besar tersebut meyongsong ke samping, seolah-olah dikalahkan dampak proyektil. Ia mengaduk laut layaknya tsunami saat ditenggelamkan ombak. Mengarahkan tatapan dengki terakhir kepada kapal induk besar.

Maka kapal perang besar seberat seratus ribu ton tersebut menghilang dimakan ombak. Terlalu cepat.

Masih terhubung Resonansi, Lena mendengar ratapan Noctiluca belum usai. Matanya menyipit tajam. Legion-nya masih hidup. Belum tenggelam. Hanya saja menyelam ke bawah air. Lagi pula seluruh pertempuran ini dimulai tatkala Noctiluca muncul dari bawah laut. Jadi kendatipun mungkin tidak mampu bertarung di bawah air, mungkin saja sanggup bernavigasi di bawah air.

Jarak mereka tak cukup dekat. Sebagian besar amunisi tersisa mereka telah dihabiskan untuk menghancurkan lapis bajanya. Tak punya cukup kekuatan untuk menghancurkan inti kendali.

Lolongan Noctiluca menjauh selagi terus mundur, bak ikan terluka yang berenang menjauh. Mendengar ini, Lena berbalik menghadap Ishmael.

“Kapten, harus kita kejar. Noctiluca-nya belum mati—”

Namun tepat setelah mengatakannya, Lena tiba-tiba terdiam, seakan-akan lidahnya menempel di langit-langit mulutnya. Dia berdiri membeku, pikirannya berkecamuk.

Layar holo yang menampilkan pemandangan luar … sepenuhnya tertutup bola mata raksasa yang sedang memandang rendah mereka. Satunya di tengah. Dua lagi di sebelahnya. Setiap bola matanya lebih besar ketimbang manusia dewasa. Besar sekali sampai-sampai kala pemangsanya mengunci mata dengan mangsa, rasanya mereka tak saling menatap.

Seperti pengingat kejam betapa kecil dan rapuhnya manusia sebagai spesies.

Pupilnya berwarna hitam dan dikelilingi iris, biarpun tidak punya kelopak mata, bagian putih matanya hampir tidak terlihat. Pupilnya yang sedikit transparan membuktikan bahwa struktur matanya pada dasarnya tidak berbeda dari manusia.

Tetapi pupil-pupilnya tidak bulat melainkan berbentuk berlian bersudut. Irisnya mempunyai semacam kilau pelangi hampir metalik, menyerupai bulu burung merak. Bisa jadi semacam lapisan minyak yang memantulkan cahaya.

Mata yang sepenuhnya asing dan tidak manusiawi.

Beberapa puluh kilometer jauhnya dari Mirage Spire, di mana lautan telah berubah warna, merupakan celah yang membatasi wilayah umat manusia dari yang berada di baliknya. Tetapi makhluk ini tidak di sana. Tidak. Satu leviathan telah melewati batas tersebut dan kini melayang persis di depan Stella Maris.

Lehernya panjang serta berliku dan punya kepala memanjang yang tajam. Setiap inci tubuhnya dilapisi sisik, namun teksturnya nampak aneh dan tidak bisa dijelaskan. Lapisan sisik yang menutupi lapisan sisik lain punya binar perak samar, setajam pisau, setransparan kristal, juga selembut dan setembus pandang tubuh ubur-ubur. Organ-organ mirip siring punggung berbentuk gugusan kristal memanjang di sepanjang punggungnya, dari atas kepala hingga ujung ekornya.

Sisik keras dan rahang tajamnya membuat penampilannya nampak mirip reptil, tetapi siluetnya yang mulus dan nyaris licin seperti makhluk siput lautnya moluska.

Panjang totalnya diperkirakan 330 meter. Spesies leviathan terbesar, spesimen kelas tiga ratus meter—seekor Musukura—ada di sana.

Salah satu penguasa laut lepas menatap Stella Maris, tenang namun arogan. Dan entah bagaimana, ia ahu. Tahu sekali tentang mamalia kecil yang tinggal di daratan tengah menggeliat-geliat dalam kapal. Matanya yang tidak punya kelopak menatap Lena dan pasukan lain di dalam kapal tanpa berkedip.

Dihadapkan kapal manusia yang rusak berat dan berederit ini, ia memandang mereka dengan mata yang seratus persen berbeda dari mata manusia dan monster mekanik buatan manusia. Tatapan nyaris asing yang tidak menuturkan apa pun.

Apabila Tuhan itu ada, kemungkinan tatapannya ke dunia ini akan seperti itu.

Di depan mata mereka, Musukura tiba-tiba membuka mulut, memperlihatkan sebuah tonjolan bak kristal yang bersinar. Beberapa bagian dari pikiran lumpuh Lena nyaris tidak sadar bahwa inilah organ yang menembakkan laser yang sebelumnya membakar langit. Kemudian Musukura melolong.

“————————————”

Lolongannya adalah pekikan frekuensi tinggi yang menggetarkan lambung Stella Maris. Menyerang mereka di frekuensi yang hampir tidak terdengar telinga manusia. Bukannya suara namun lebih ke gelombang kejut.

Dia tidak mengatakan apa-apa. Para leviathan tidak bisa bicara seperti manusia, dan masih misteri apakah mereka punya bahasa sesama atau tidak. Tapi tanpa kata-kata pun, peringatan di suaranya sudah jelas.

Jiwa-raga Lena dibekukan rasa takut yang begitu mendalam. Manusia adalah ras makhluk paling tak berdaya yang merangkak di sepanjang bumi. Mereka tak punya urusan menghadapi kekuatan alam semacam itu, seekor tirani absolut dunia alam. Satu saja sudah cukup untuk menerobos mesin-mesin pembunuh yang dibuat ilmu pengetahuan manusia.

Menutup mulutnya semendadak membukanya, Musukura balik badan. Makhluk sungguh-sungguh raksasa ini bergerak dengan percaya diri dan kebanggaan yang menunjukkan dirinya tidak takut siapa pun dan tak menganggap sepadan apa pun dengan panjang tiga ratus meter luar biasanya. Kepalanya masuk ke dalam ombak hingga moncongnya, namun dirinya baru menghilang sepenuhnya ketika berenang sampai ufuk, tidak satu pun manusia di sana bisa bergerak.

Menyusut di tempat dan bernapas sesedikit mungkin, meereka melewatkan waktu sebagaimana binatang kecil menunggu badai berlalu. Orang pertama yang menghembuskan napas dan mulai bergerak adalah Shin … biarpun bukan karena seinginnya. Dia menolak perawatan medis untuk pergi ke anjungan, dan rupanya upayanya akhirnya mendesaknya sampai batas. Dia jatuh tersungkur ke lantai.

“Shin?!” Lena buru-buru menghampirinya.

Vika yang memapahnya, berlutut untuk membantunya tapi tidak mendekat lagi.

“Ya Tuhan, bung …. Kau kusuruh jangan memaksakan diri karena ini …!”

“Tugasku berakhir saat kau kembali, jadi aku membawamu ke sini sesuai permintaanmu …” ucap Vika. “Tapi sekarang sudah baik-baik saja. Kembalilah dan biarkan para dokter merawatmu. Marcel, bantu kami.”

“Iya, aku akan istrirahat. Begitu pertempuran selesai. Tunggu sedikit lagi saja.”

Shin berpaling dari Lena yang sepertinya mau menangis. Mengabaikan desahan Vika, serta Marcel yang melihat langit-langit, Shin menyesuaikan Perangkat RAID-nya. Selama perawatan alatnya dilepaskan dari dirinya, dan dia pakai asal-asalan di perjalanan ke sini.

Tentu saja, target Resonansinya adalah ….

“Kurena, Theo. Maaf aku membuat kalian cemas. Yang lainnya masih dijemput, jadi belum kuperiksa, tapi—”

Dia mendengar Kurena menarik napas panjang dan tajam. Lalu mengeluarkannya dalam satu hembusan lama, ibaratnya menahan air mata.

“…! Shin …!”

“Anu, mereka menjemputku juga. Entah bagaimana, aku masih hidup.” Suara Raiden bergabung dengan Resonansi dari ruang operasi atau ruang rawat. “Anju sama Dustin dijemput bareng-bareng.”

Yang tidak bilang apa-apa hanya Theo. Menyeka air matanya, Lena bicara.

“Terima kasih, Theo. Kau menyelamatkan kami. Kalau kau tidak menghancurkan railgun-nya, kami semua sudah tamat.”

Tapi, tetap tidak datang jawaban. Namun seketika Shin khawatir, akhirnya ….

“Itu … bagus, Lena. Shin, Raiden, kalian juga …. Syukurlah …. Syukurlah kalian … selamat.”

Suaranya ganjil. Seolah-olah sedang membendung sesuatu. Seakan-akan lagi menahan sesuatu … seperti rasa sakit.

“… Theo?”

Suara Shin tanpa sadar menegang. Dia terluka. Shin merasa tensinya meremas tenggorokannya. Suara Theo barusan. Rasanya lemah, dipaksakan, dan tidak natural, tenangnya tak wajar. Sesuatu di nada suaranya hampir … serasa pasrah.

Dia tak sekadar menanggung rasa sakit luka-luka.

Shin melontarkan pertanyaan itu, ibarat sedang terbatuk.

“Kau terlukakah …? Misalkan tidak bisa kembali sendiri, kami bisa—”

Theo memotongnya. Bisa jadi sudah tidak bisa bicara lagi. Stimulusnya kuat sekali sampai-sampai indranya mati rasa, dan kini tak sanggup merasakan apa pun. Namun sesaat indranya kembali, dia mungkin takkan bisa bicara.

“Iya …. Maaf.”

Selongsong 155 mm yang ditembakkan di saat bersamaan ketika dirinya menembak, di momen-momen terakhir. Tembakan peluru sebar, mungkin tak sempat mengatur sekringnya, tetapi berpapasan di sisi samping Laughing Fox dan hancur sendiri. Bukan tembakan langsung. Hanya saja meledak dan menyebar, dan sebagian besar pecahannya menabrak bagian belakang meriam.

Kecuali ….

Laughing Fox duduk di bangkai kapal Denebola, kapal penjelajah yang menghentikan Noctiluca. Duduk dalam kokpitnya, Theo melihat lukanya. Seseorang biasanya takkan dapat melihat apa pun di bagian dalam kokpit gelap, tetapi Laughing Fox rusak, memperlihatkan blok kokpitnya.

Pecahan selongsong yang menyerbunya dari belakang merobek sepenuhnya kedua kaki kiri unit, rangka lapis baja, dan sebagian kokpit.

Dari dalam lubang menganga di rangka Juggernaut, Theo melihat warna biru. Warna biru langit. Lautan ultramarin. Kendati rusak, geladak kapal penjelajah masih berada di atas permukaan laut, jadi dia memiliki pemandangan laut seluruhnya hingga kejauhan—ke perairan biru laut lepas, tepatnya warna yang seseorang kaitkan dengan lautan.

Di atas permukaan air adalah tempat yang tidak bisa ditinggali siapa-siapa. Tak ada manusia, hewan, burung, atau serangga dapat bertahan hidup sekalipun udaranya bersih. Sesudah badai lewat, langitnya cerah dan bebas awan—hamparan biru luas. Cakrawalanya berdiri laksana memisahkan langit dan lautan. Di bawahnya adalah perairan laut lepas, dan di atasnya ada matahari, cahayanya berkilauan di sepanjang tepian ombak, menganugerahkan lautan dengan cahaya berkilauan.

Rasanya salah satunya adalah cerminan dari salah satunya. Mungkin keduanya sama-sama cermin, dihadapkan satu sama lain. Nuansa biru masing-masingnya membentang sejauh mata memandang; keduanya sejajar, tetapi tiap-tiapnya mempunyai kegelapan luas yang selamanya takkan tertembus.

Birunya semata-mata lapisan tipis yang menggantung di atas kegelapan abadi. Lapisan permukaan jurang maut.

Terus kenapa, oh kenapa, sangat, teramat indah …?

Theo tak pernah menyukai medan perang. Dia tidak suka bertarung. Di Sektor 86, dia dipaksa bertarung sebagai komponen drone dan diperintahkan mati sampai akhir. Theo membencinya sampai saat ini.

Dia tak pernah ingin bertarung; hanya karena inilah satu-satunya jalan di depannya. Satu-satunya cara untuk bertahan hidup, mempertahankan harga dirinya.

Dan terlepas itu ….

Kenapa …?

… air mata tumpah.

“Aku tidak bisa … bertarung bersama kalian lagi.”

Pecahan selongsong telah menghujaninya dari belakang, merobek kokpit kuat dengan kekuatan besar. Sebagian besar pecahan dan dampaknya mengenai bagian belakang meriam. Namun gelombang kejutnya menembusnya, merobek bagian dalam dan isi-isinya, memencarnya ke udara terbuka.

Dan salah satunya melewati tangan kirinya yang kini hilang … menyobeknya dari siku sampai pergelangan tangan.

Catatan Kaki:

  1. Secara bahasa, arti tunnel vision adalah “penglihatan terowongan. Istilah ini sebenarnya datang dari dunia medis yaitu kondisi di mana penglihatan seseorang menyempit dan hanya melihat hanya di satu titik tertentu. Bayangkan kamu melihat sesuatu melalui teropong atau kacamata selam di mana kamu tidak bisa melihat apa-apa di sekitarmu. Seperti itulah penggambaran tunnel vision.

https://metaco.gg/kamus-serba-serbi-esports/kamus-metaco-arti-tunnel-vision

  1. Sprung Weight: berat komponen-komponen mobil yang ditopang oleh pegas suspensi. Contohnya: bodi kendaraan, mesin, pintu, kursi dan lain-lain.

https://www.lksotomotif.com/2019/09/jenis-jenis-gerakan-oskilasi-pada-mobil.html

  1. Ketapel di kapal induk adalah mekanisme yang membantu peluncuran pesawat terbang. Untuk lebih jelasnya silakan nonton ini:

https://youtu.be/Jcq17FTVI2s

  1. Pelontar yang dimaksud adalah bagian dari mekanisme ketapel dan berada di sepanjang geladak penerbangan, pesawat terbang dipasangkan di pelontarnya kemudian diluncurkan ketapel untuk membantu lepas landasnya.

  1. Ballista adalah senjata misil kuno yang mampu melontarkan proyektil yang besar sampai jarak yang jauh. Ballista berasal dari bahasa Yunani: βάλλω (ballō, “melempar”). Ballista dikembangkan dari senjata Yunani yang lebih awal. Ballista bekerja berdasarkan beberapa mekanisme berbeda, mempergunakan dua pengungkit dengan pegas torsi, alih-alih lecutan, pegasnya terdiri dari beberapa putaran unting yang terbelit. Versi awalnya melontarkan proyektil berupa anak panah atau batu bulat dalam berbagai ukuran. Ballista terutama digunakan dalam peperangan pengepungan. Ballista berkembang menjadi senjata yang lebih kecil, yaitu sniper, Scorpio, dan mungkin polybolos.

https://id.wikipedia.org/wiki/Ballista

Share this post on:
Subscribe
Notify of
guest
1 Comment
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Lekmaa

Waduh…