Share this post on:

Bab 2

Mobby-Dick atau Paus

Penerjemah: Asgore

Di bawah langit berawan mendung yang tebal terdapat permukaan laut hitam-kelam. Bebatuan eboni bergerigi bersebaran di pantai penuh karang selagi deru melankolis lautan menghapus jeritan burung laut. Di kejauhan, orang-orang bisa melihat bangkai-bangkai kapal perang ditumpuk-tumpuk selagi berbaris di panorama.

“… kurasa itu lautnya,” ucap Shin, berpaling dari pemandangan laut pertamanya.

“Tidak, Ini bukan laut! Tidak begini!” Frederica berteriak, kakinya menghentak-hentak protes.

Aku mau melihat laut.

Kapan pun pikiran itu terlintas di benaknya, Frederica membayangkan laut biru berkilau dibawahi langit cerah bersinar atau pantai putih serba sisa-sisa karang. Semburan laut memantulkan sinar matahari dan pohon-pohon palem, bunga-bunga indah yang dikelilingi kicau ceria burung camar.

Kebetulan lautnya yang menghitam bukan hanya karena awan gelap. Itu karena batu dan pasir di dasar laut, yang artinya meski cuacanya bagus, air laut di sini tetap hitam. Akan selalu hitam. Ditambah suhu airnya membeku sepanjang tahun, mereka pun tidak bisa berenang di sana.

“Terus bau busuk udara macam apa ini?! Apa maksudnya … bau ini …?!”

“Bukannya harusnya baunya kayak garam? Aku tidak benar-benar tahu, sih.”

Suatu kala Shin pernah baca sesuatu yang kasarnya seperti itu, tapi dia tidak betul-betul yakin. Walaupun dia pernah mengendus bau asin laut, dia takkan kenali.

“… agh. Akhirnya, kita di laut, tapi aku tidak tahu mau melakukan apa …!”

Frederica bicara sambil berlinang air mata selagi tatapan mencelanya diarahkan ke ombak yang mengeluarkan suara keras begitu menghantam bebatuan. Dia merasa ibarat harapannya sepenuhnya hancur, dan dia tak punya pelampiasan untuk emosi terpendamnya itu.

“Kau puas dengan ini?!” dengan marah dia menanyakan Shin. “Bukankah kau katakan ke Vladilena kalau ingin menunjukkannya laut?! Melihatnya bersamanya?! Tentu saja, bukan ini laut yang kau bayangkan!”

“Aku akui ini tak sesuai harapanku—” kata Shin, kemudian berbalik melihat seseorang yang berdiri di kejauhan.

Mereka belum bicara sejak itu.

“Tapi Lena kelihatannya senang sama ini.”

Melihat ke depan, dia dapati Lena terdiam, wajah pucatnya berseri-seri selagi melihat ombak pasang-surut. Menghargai reaksinya lewat pandangan sekilas, Shin cuma bisa tersenyum sendiri.

“Kalian berdua …. Kalian benar-benar ….”

Dari jauh, mereka bisa dengar lagu—bagaikan tiupan seruling tipis keperakan, yang melaju pelan dibawa ombak.

Nyanyian tadi dari salah satu spesimen paling besar. Teriakan kelas lima puluh meter seperti gadis ini. Tidak aneh mendengarnya di Negara-Negara Armada, tapi kau lumayan beruntung bisa mendengarnya di hari pertama di sini.”

Mereka berdiri di lobi pangkalan militer yang orisinilnya sebuah museum yang terhubung dengan universitas angkatan laut. Museum tersebut diambil alih di awal perang dan diubah menjadi pangkalan.

Berdiri di tengah lobi adalah seorang perwira riang, mengenakan seragam biru laut-nila dengan bahan pelapis merah tua. Wajahnya memiliki ukiran tato burung api indah yang membentangkan sayapnya. Tatonya memanjang dari dahi sampai tepi mata kirinya lalu turun hingga tulang pipi.

Suara tenangnya terdengar nyaring di angin laut asin. Kulitnya sawo matang, dan rambut cokelat terangnya nampak bak dipudarkan matahari. Dia mempunyai mata hijau pucat sewarna giok yang barangkali warna dari lahirnya.

Tetapi mata Divisi Penyerang tak tertuju kepadanya. Perhatian mereka teralihkan objek besar yang digantung mencolok—walaupun mungkin sedikit kurang mencolok sebab terlihat sempit—dari langit-langit berbentuk perahu.

Kerangka hewan terlampau besar, jauh kebesaran buat hewan darat di zaman modern.

“Berburu gadis ini adalah pencapaian paling membanggakan Armada Orphan kami—atau begitulah yang mau kubilang, tapi dia mati gara-gara seleksi alam dan hanyut ke darat. Mereka pun menangkap banyak ikan dan memakannya dengan minyak ketika menjemput gadis ini. Secara keseluruhan hari cukup baik untuk mereka. Para cendekiawan sangat-sangat kerepotan mengemas dan mengawetkan kerangka itu.”

Tulang belakang panjangnya memanjang layaknya pohon berusia seribu tahun, menyerupai bentuk naga, mempunyai tulang rusuk cukup lebar sampai-sampai orang bisa tinggal di dalamnya. Leher panjangnya terhubung tengkorak bergeriginya.

Biarpun sudah menjadi kerangka, ukuran dan keagungannya luar biasa. Shin pikir pernah melihat kerangka makhluk serupa sebelumnya. Jauh sebelum dikirim ke kamp konsentrasi, dalam suatu museum. Contoh makhluk besar yang tulangnya pernah dikira tulang naga ….

“Kami meminjamkannya ke museum kerajaan Republik San Magnolia sebelum perang, jadi beberapa dari kalian pernah lihat sebelumnya. Jika sudah, jangan malu-malu untuk mengangkat tangan. Ayo!”

Rupanya tidak cuma mirip. Kerangkanya persis itu. Shin menahan lidahnya, akan tetapi tidak seorang pun mengangkat tangan. Museum yang dimaksud berada di Liberté et Égalité, yang didominasi penduduk Celena. Mayoritas orang-orang di ruangan ini adalah 86, dan keluarga-keluarga mereka takkan pergi ke sana.

Perwira Armada Orphan terlihat heran.

“Duh, itu aneh …. Anak-anak muda biasanya lebih girang melihatnya. Oh yah. Omong-omong namanya Nicole. Silakan panggil dia Nikki. Bahkan leviathan tidak seseram itu kalau kerangka belaka seperti ini, ‘kan?”

 Makhluk ini disebut leviathan. Hewan laut agresif yang berkuasa di laut dalam nan gelap—terutama laut lepas di sekitar pantai benua—sebelum sejarah mencatat. Lebih tepatnya, spesies makhluk laut yang ganas. Sekalipun umat manusia menyebar ke seluruh benua, para leviathan tetap menjadi penguasa tertinggi lautan, menolak mengosongkan takhta berair mereka dengan menghalangi pelayaran ke laut. Tetap berlaku hingga hari ini, ketika manusia datang membawa kerajinan baja yang memuat senjata. Senjata dan platform apa pun yang diproduksi umat manusia adalah target amarah leviathan

Karena itulah umat manusia tidak dapat melewati perairan apa pun yang berada di luar wilayah pesisir. Seluruh jalur perdagangan dan transportasi laut, pengoperasian kapal penangkap ikan, dan pengerahan kapal militer terbatas ke area perairan kecil dekat pantai.

Laut bukanlah dunia manusia. Umat manusia tidak mampu meninggalkan benua. Dan hanya satu negara yang tidak menerima fakta itu—dan masih tidak menerimanya.

“Jadi dengan demikian, aku akan bekerja bersama kalian kali ini. Kapten Stella Maris, kapal pemimpin Armada Orphan dari angkatan laut Pembunuh Raja. Boleh memanggilku Kapten Ishmael, Kolonel Ishmael, atau Paman Ishmael. Jangan Kapten Ahab, ya. Itu nama panggilan kami untuk mendiang ayahku … komandan armada.”

Dan zona itu adalah tempat pengerahan Divisi Penyerang selanjutnya, Negeara-Negara Negara-Negara Armada Pembunuh Raja. Sekelompok negara yang dilahirkan armada kapal perang yang berusaha menaklukkan lautan dan memusnahkan para leviathan.

Di masa lalu, suku pelaut eksis di pinggiran benua. Sebelas suku terakhir membentuk sebelas Negara Armada yang mengembangkan satu-satunya armada di benua yang sanggup dibawa ke laut lepas, dengan kapal induk besar yang dibuat untuk melawan para leviathan.

Shin dan Divisi Penyerang berkumpul di aula ini untuk menerima garis besar operasi mendatang darinya. Di belakangnya berdiri seorang wanita sedikit lebih tua yang membuka bibirnya. Dia pun mengenakan seragam biru laut-nila utuh dan punya tato merah berbentuk sisik di kulit gelapnya.

“Sudah waktunya menyelesaikan obrolan kecilmu, Kak. Anggota Divisi Penyerang nanti pergi kalau kau tidak cepat-cepat.”

“Oh, maaf, maaf. Kukira kita mestinya memperkenalkan Nikki tua yang baik dulu …. Ah, wanita cantik dan tenang ini adalah adik sekaligus wakilku, Letnan Esther. Boleh kau panggil Estie … ups.”

Letnan Esther melotot bisu padanya, membuat Ishmael menunduk.

Seorang perwira muda keturunan campuran L’asile dan Orienta bertato peony2 membawa masuk sebuah papan tulis, diletakkan di belakang mereka lalu pergi tanpa bilang apa-apa.

“Baiklah, kalau begitu ayo berikan garis besarnya. Armada laut terbuka kami akan mengantar kalian ke pangkalan Mirage Spire, jadi kalian harus mengambil alih benteng dan menghancurkan Morpho. Itu saja.”

“…”

Hening tegang … lebih tepatnya perasaan kesal tak terutarakan menghampar 86. Seakan-akan mereka bertanya-tanya orang ini benaran dalam posisi memerintah semua orang atau tidak. Lena menimpali untuk melengkapi penjelasannya.

“Mirage Spire lokasinya di dekat laut lepas, yang berbatasan wilayah leviathan. Baik Federasi maupun Kerajaan Bersatu tidak punya kapal yang sanggup berlayar melalui perairan ini. Maka dari itu, Divisi Penyerang akan mengandalkan kapal induk besar dan armadanya untuk mengangkut dan memberi perlindungan di atas laut.”

Dengan kapal induk besar sebagai bagian inti, armada laut lepas adalah konvoi kapal jelajah jarak jauh seberat total sepuluh ribu ton, kapal anti-leviathan enam ribu ton, kapal pengintai yang dioptimalkan untuk melacak pergerakan leviathan, dan kapal suplai.

Sebelum Perang Legion, masing-masing sebelas Negara Armada punya amadanya sendiri, dan kesebelas armada tersebut menghuni laut utara. Sejak awal perang, armada ini dikerahkan untuk menjaga daratan, karena sudah banyak yang tenggelam dan setiap armada cuma punya sedikit kapal tersisa ….

Karena itulah disebut armada terpadu, pikir Shin saat mengingat perkenalan Ishmael. Tak satu pun dari sebelas armada punya cukup kapal sisaan untuk beroperasi sendiri, sehingga mereka mengumpulkan kapalnya, membentuk armada terpadu besar: Armada Orphan.

Letnan Esther melanjutkan, menggunakan magnet untuk menempelkan peta operasi ke papan tulis. Di bagian bawah peta terdapat garis pantai Negara-Negara Armada. Di tengahnya ada titik merah yang menandai tujuan mereka. Sebagian besar petanya berwarna biru, mensimbolkan lautan.

“Armada Orphan akan menangani perjalanan pulang-pergi kalian, sekaligus membuat pengalihan. Morpho saat ini diperkirakan punya jangkauan empat ratus kilometer. Sebagai perbandingannya, kecepatan jelajah maksimal Armada Orphan adalah tiga puluh knot.”

“Kalau dikonversi ke satuan pengukuran dasar, hasilnya … lima puluh kilometer per jam.”

“Hah. Lelet.”

“Mulut siapa tadi?! Kuhajar kau dasar bodoh. Tahukah kau berapa ton beratnya kapal induk besar itu? Hitungannya lima digit nih. Jangan harap akan secepat Feldreß mini berkaki panjang bapakmu padahal beratnya sepuluh ton pun tidak.”

“Kak, aku paham perasaanmu, tapi kita perlu melanjutkan ini. Tolong mengalahlah,” ucap Letnan Esther.

“Letnan Dua Oriya, itu melampaui batas,” tegur Lena ke Rito.

“Maaf.”

Melihat Ishmael dan Rito sama-sama terdiam, Esther berhenti sejenak seolah mengingat apa yang mau dikatakannya kemudian melanjutkan:

“… ya, jadi kecepatan maksimalnya tiga puluh knot. Dengan kata lain, akan butuh waktu tujuh jam untuk menembus jarak tembak Morpho dengan perjalanan lurus dan mencapai pangkalan Mirage Spire. Selagi dalam perjalanan, dua armada umum angkatan laut terpadu akan berlayar lebih dahulu untuk menarik perhatian tembakan Morpho dari kita dan mencoba mendekati Mirage Spire.”

Esther menaruh sampul transparan di atas peta dan mulai menulis di atasnya. Dua garis lurus dari pantai ke Mirage Spire—mungkin jarak terpendek pelabuhan asal mereka. Berikutnya mengambil pena bewarna berbeda, menggambar garis dari markas armada Orphan ke utara terus mengubah arah ke tenggara, menuju Mirage Spire.

“Sebelum pengalihan dimulai, kita akan berlayar sembunyi-sembunyi. Kita ‘kan belayar ke utara di sepanjang tepi jangkauan pengeboman, berlabuh di kepulauan Flightfeather. Setelah musuh mulai menyerang armada pengalih, kita akan masuk jangkauan pengeboman sembari bersembunyi dalam badai. Yang artinya, kita menunggu kedatangan badai dan memulai operasinya secepatnya.”

“Kebetulan, Legion tak bisa bertempur di laut, jadi tidak usah khawatir melawan Legion lain kecuali Morpho—” tambah Ishmael. “Atau setidaknya, Armada Oprhan belum mendeteksi jenis Legion angkatan laut selama pertempuran satu dekade ini.”

Esther mengangguk.

“Sungguh disayangkan, negara kami kecil. Kami yakin alih-alih berusaha menciptakan senjata efektif untuk melawan kami di utara, Legion memutuskan menenggelamkan sumber daya mereka demi mengembangkan metode efektif untuk melawan Federasi dan Kerajaan Bersatu.”

“Kenyataan menyedihkannya adalah bahkan tanpa memproduksi unit angkatan laut, mereka masih memberikan kita cukup banyak masalah.”

“….”

Candaan yang membuat orang asing seperti Divisi Penyerang tak tahu mesti merespon bagaimana. Bisa jadi itulah alasan tidak adanya tipe Legion laut, akan tetapi … Shin memiringkan kepala sedikit lalu mengajukan pertanyaan,.

“Tapi … ada beberapa kelompok Legion kecil di laut. Berdasarkan pergerakan mereka, kutebak kelompok patroli. Mereka bagaimana?”

“Mm? Oh … begitu. Kaulah yang dirumor-rumorkan.”

Ishmael sepintas menatap Shin yang kebingungan, terus mengangguk sadar.

Rupanya dia pernah mendengarkan kemampuan Shin.

“Itu bukan unit laut; mereka kapal induk besar yang fungsinya meluncurkan unit-unit pengintai garis depan. Morpho memerlukan mereka agar bisa akurat menembak setiap kapal mendekat. Aku yakin kau sudah tahu ini, namun Rabe tidak bisa terus mengudara di atas laut.”

Lena beralih menghadap kaget Shin, namun orangnya mengangguk saja. Alasannya tidak jelas, tapi tidak ada unit Rabe di atas laut. Morpho adalah meriam jarak jauh tanpa panduan apa-apa. Akurasinya tidak tinggi.

Ini bukan serangan skala besar di mana dia dapat melancarkan tembakan serentak ke target jelas, besar, dan tak bergerak yang tidak mampu menghindari tembakan, contohnya pangkalan dan benteng. Kali ini, melawan target bergerak di laut luas nan besar. Bila hendak menembak kapal kecil apa pun tanpa dibantu Rabe, maka perlu unit pengintai garis depan.

“Armada pengalih akan mengurus pengalihan sekaligus menenggelamkan kapal-kapal unit pengintai, jadi jangan cemaskan. Dari awal tidak ada yang perlu diresahkan; kapal induk besar takkan tenggelam apa pun yang terjadi.”

Barangkali Ishmael putuskan tidak ada gunanya menjelaskan manuver laut ke tentara anak-anak yang belum pernah merasakan pertempuran laut. Mungkin semacam kebanggaan, ibaratnya bilang pertempuran laut adalah bidangnya Armada Orphan dan mesti mereka serahkan saja ke Armada tersebut. Shin bahkan membaca sekilas topik transportasi mereka di tengah jalan menuju pangkalan dan tersenyum riang.

“Armada Orphan sangatlah bersyukur memiliki kalian di sini, 86. Oleh sebab itu … kami bersumpah atas nama Stella Maris: Kami akan pulangkan Divisi Penyerang dengan selamat, apa pun yang terjadi.”

Asrama universitas diganti fungsi menjadi barak Divisi Penyerang selama misi berlangsung. Lantai koridornya dilapisi mosaik ubin berdesain kuno yang khas di selatan jauh.

Theo berjalan melewati koridor ini sendirian sesudah lampu padam. Dia menemui Rito yang meninggalkan sebuah ruangan menyerupai kantor dengan membawa seikat buklet kertas tipis di bawah lengannya.

“… sedang apa kau di sini?”

“Ah, Letnan Dua Rikka.”

Mungkin Rito sudah tumbuh lebih tinggi, karena Theo mendapat kesan mata Rito hampir sejajar dengan matanya dari beberapa bulan lalu.

“Yah, kau tahu, kupikir mungkin saja mereka punya sisaan, jadi aku datang meminta, dan betul ada. Kupikir walaupun sekarang tidak berguna, nanti akan berguna waktu peperangan berakhir,” kata Rito, bicara cepat. “Mereka bilang akan merekrut dari luar negeri juga.”

“… Rito, aku tahu ini salahku karena tahu-tahu bertanya, tapi bisa tidak memilah pikiranmu sebelum bicara daripada langsung menyatakan apa yang tiba-tiba terbesit di pikiran?”

“Ah, iya, pak. Aku baru-baru ini sering mendengarnya. Err …. Universitas di sini ada SMA-nya. Ini bahan belajarnya. Kupikir mau bawa pulang ke ruang belajar pangkalan supaya orang-orang yang tidak ikut ke sini bisa membacanya juga.”

Lalu wajah Rito bersinar.

“Tapi kau tidak lihatkah?! Leviathan! Itu luar biasa! Kayak monster benaran!”

Theo ingat bahwa Rito adalah salah satu Prosesor termuda. Kala beberapa petinggi memberikan mereka komik, film, atau kartun, Rito akan menontonnya dengan khusyuk. Film monster ternyata favoritnya.

Theo pikir itu menghangatkan hati. Dan jujur, dirinya dan banyak Prosesor-Prosesor lebih tua lain juga menyukai hiburan semacam itu, mengingat mereka tidak punya akses ke hal semacam itu semenjak kecil.

“Jadi kau mau bekerja di sesuatu yang ada hubungannya sama leviathan? Sesudah perang berakhir.”

“Kupikir mungkin itu keren. Kedengarannya seru.”

“Kau benar-benar mulai memikirkan segala macam hal, bukan?”

Segala macam hal, termasuk menggali fosil di Aliansi dan mau menciptakan sepeda terbang.

“Ah, iya. Maksudku, aku ….” Dia berhenti, seolah tengah berpikir. “Letnan Satu Rikka, kau kenal Ludmilla tidak? Salah satu Sirin. Tinggi, rambut merah?”

“… iya.”

Tinggi, rambut merah ….

Mari, semuanya. Silakan.

Bagaikan penampilan mengerikan akan akhir yang menunggu 86. Mereka berbeda dari para Sirin. Mereka tahu itu. Tapi rasanya, sebagaimana Sirin, kematian mereka mungkin takkan ada balasannya.

“Ada apa sama Ludmilla?”

“Selama operasi Gunung Dragon Fang, aku satu regu dengannya. Waktu itu, aku masih takut sama Sirin, tapi dia mulai bicara padaku.”

Terpikir oleh Theo bahwa Rito suatu ketika betulan berhenti takut dari Sirin.

“Dia menyuruhku berbahagia. Hidup sesuai keinginanku. Dan kurasa … kurasa aku sadar. Para Sirin, mereka … mencemaskan kita dengan cara mereka sendiri.”

Cahaya bola lampu tua menyinari mata emasnya. Mata batu akik, seperti mata binatang polos yang suka berpikir.

“Mereka mengkhawatirkan kita. Di Sektor 86, mereka menyuruh kita mati, tapi di sini keadaannya berbeda. Federasi ingin kita belajar, dan itu menambah-nambah kerjaan saja, tapi itu hanya karena mereka berusaha meminta kita menjalani hidup seingin kita, ‘kan? Jadi kita boleh melakukan apa pun dan pergi ke manapun.”

Pergi ke manapun. Melihat apa pun. Berbuat sesuka hati. Begitu perang berakhir. Atau meskipun tidak, lalu kau keluar dari tentara. Itu ….

“Itu sesuatu yang bisa kita harapkan. Di Sektor 86, kita cuma punya kebanggaan. Tidak ada apa-apa lagi, dan kita tak menginginkan hal lain. Tapi sekarang beda … aku paham itu, jadi aku mau menginginkan segala macam hal.”

Semua hal yang tidak bisa diharapkannya di Sektor 86. Banyaknya hal yang direnggut darinya.

Theo mendengarkan, tercengang. Dia pikir Rito makin tinggi, tapi bukan itu saja. Kadang-kadnag, dia bisa berpikir dan mengatakan hal-hal semacam ini.

Rito … berusaha meninggalkan Sektor 86.

Dan itu membuat Theo terperangah. Dia senang Shin sudah mulai mengharapkan masa depan. Dia lihat Raiden dan Anju berupaya keluar juga dari sana, dia turut bahagia. Tapi bukan hanya mereka. Rito juga. Dan mungkin banyak dari mereka yang mengalami hal sama. Theo tidak sadar saja.

Mereka meninggalkan medan perang.

Rito menatapnya dengan senyum riang, tidak sadar dengan syoknya Theo.

“Jadi sementara waktu, aku ingin memeriksa segala macam opsi …. Operasi kita akan membawa kita ke seluruh benua, jadi sekalian saja bawa seluruh barang-barang menarik buat dilihat semua orang.”

<<… kau berniat mencoba membaca prosesor sentral Gembala untuk mengekspos letak markas rahasia?>>

Shin asumsikan dia punya informasi yang berkaitan operasi tersebut, namun Zelen tidak punya fitur komunikasi apa pun yang dapat digunakan. Jadi Shin angkut kontainer Zelene bersama Divisi Lapis Baja Ke-1, menyamar sebagai kontainer amunisi.

Kontainernya sendiri berada di ruang kargo tersembunyi dalam kendaraan transportasi. Karena apa pun mengenai tindakan penonaktifan harus dirahasiakan dari telinga orang lain, Shin harus menemukan waktu yang tepat untuk menjambanginya.

<<Jadi pada dasarnya, kau bertaruh pada kemungkinan Gembala yang dulunya dari fraksi kekaisaran atau perwira tinggi. Mungkin ada cara lain untuk mencari letaknya. Federasi menggunakan cara dingin rupanya.>>

“Bisakah?”

<<Tentunya ada Gembala yang awalnya bagian fraksi kekaisaran.>>

Perasaan Shin campur aduk soal jawaban tersebut. Suatu perasaan menentang telah membara dalam dirinya sejak Zelene memberitahunya tindakan penonaktifan. Shin tentu ingin perang berakhir. Namun metode yang Zelene beri tahu adalah menemukan markas tersembunyi …. Dia semata-mata merasa ada yang tak beres.

<<Nama dan titik pengerahan mereka adalah—Peringatan. Pelanggaran pasal dilarang—gawat. Tidak bisa kukatakan.>>

Dan itulah alasan sebagian dirinya merasa lega ketika suara Zelene mendadak dingin tanpa emosi, memotong kata-katanya sendiri. Dia tidak ingin mengorbankan Frederica. Bertarung sampai akhir berarti mengandalkan kekuatannya sendiri hingga ujung perang. Artinya bukan memegang teguh keajaiban.

Dan lebih penting dari semuanya … meski mereka barangkali musuh, Shin tak ingin menganggap Gembala—hantu orang-orang yang gugur dalam perang—sebagai bagian mekanis belaka.

<<Bagaimanapun, Legion memang punya informasi yang Federasi cari. Dan perkara membaca informasi dari prosesor sentral mereka … karena itulah, adanya keberadaan kami para Gembala.>.

Ingatan mereka—informasi yang tersimpan dalam otak—dibaca dan dipindahkan ke wadah lain. Seharusnya tidak mustahil, baik secara teori dan teknologi … jika memungkinkan, maka suatu hari kelak …. Ada sesuatu yang Shin rasa mesti pastikan.

<<Akan tetapi, ada cara lain yang tak membuatmu sepenuhnya terpaku mencari Gembala-Gembala fraksi kekaisaran. Contohnya, ada suatu perintah yang dikirimkan ke unit komandan di setiap pangkalan lewat satelit komunikasi. Jikalau satelit tersebut dihancurkan, unit Rabe terdekat akan datang mengambil alih dan menggantikan—>>

“Zelene. Sebelum itu … ada sesuatu yang mau kutanyakan.”

“Mm? Apa itu?>>

Keraguan ini Shin sembunyikan sedari percakapan awalnya bersama Zelene. Dan sebab inilah kemampuannya bisa saja memungkinkannya bicara dengan Gembala. Kebenaran di balik yang mungkin menjadi dosanya.

“Kau bisa dengar suaraku. Dan sebagai Gembala, kau mengerti yang kuucapkan juga. Untuk para Gembala lain termasukkah?”

Rasanya ibarat Zelene hendak memiringkan kepala tapi tidak bisa.

<<Iya. Meski, terlepas dari itu, kedengaran samar. Boleh jadi karena kau tepat berada di depanku, dan tidak ada unit Legion lain di sekitar …. Jadi bukan berarti kehadiranmu mengekspos arah serangan atau tujuan pengerahan unitmu.>>

“Maksudku bukan itu ….”

Dia tak ingin menanyakan pertanyaan tersebut. Dia tak mau, dia pun tidak pengin mendengar jawabannya. Tapi dia harus bertanya.

“Jika mereka bisa mendengar dan memahamiku, dan kami bisa saling pengertian, seperti kita sekarang, dapatkah aku bicara dengan Gembala lain?”

Bertarung, membunuh, dan mengubur. Dia selalu berpikir tak punya pilihan lain selain melakukannya. Tapi bagaimana kalau mereka tidak harus sungguh-sungguh harus membunuh dan saling menyakiti tanpa makna? Bagaimana bila mereka mampu saling berkomunikasi dengan damai dan mencapai pemahaman?

Dulu Shin kira dia dibenci, bahwa mereka takkan pernah saling mengerti. Namun di saat-saat terakhir, tangan ilusi membara kakaknya mengantarkan kata-kata terakhir. Dia mendengar perasaan sejatinya. Bisakah dia menghindari perpisahan terakhir nan kejam itu?

“Bisakah aku bicara … dengan kakakku …?”

Zelene terdiam sejenak.

<<… begitu. Kau punya kakak. Anggota keluarga yang bergabung dengan Legion.>>

Shin mengangguk pelan …. Dia tak kuasa merajut kata untuk memberitahu kejadiannya. Tidak sekarang.

<<Dan kau mengalahkannya. Gembala yang adalah kakak berhargamu.>>

“… ya.”

<<Begitu ….>>

Rasanya seakan-akan merenung tanpa kata. Beberapa saat setelahnya, dia bicara lirih.

<<Sebelum aku menjawab pertanyaan itu, izinkan aku menanyakan sesuatu …. Apakah aku manusia?>>

Giliran Shin yang terdiam.

“Yah—”

Itulah pertanyaan yang pernah Lerche tanyakan. Dan tatkala itu, Shin tidak bisa menjawab. Seandainya ditanya apakah Lerche atau Zelene itu manusia, dia tidak bisa yakin mengiyakan dua-duanya. Kemampuannya mendengar ratapan hantu mereka dengan dingin memastikan fakta itu. Zelene bukan manusia. Dia tidak hidup. Dia hantu—tidak, bahkan lebih parah dari hantu. Dia sisa-sisa hancurnya hantu.

Tetapi Shin tidak sanggup mengatakannya. Dia tak bisa memberitahunya itu, ke depan wajahnya, bahwa dia bukan manusia. Dia hanya tak sanggup.

Zelene tampaknya menyadari konfliknya, dan entah bagaimana dapat merasakan senyumnya.

<<Manis.>>

“….”

<<Kau anak manis. Kalau bisa, aku mau jadi temanmu. Aku sungguh merasa begitu. Tapi tidak aku atau kakakmu bisa berteman denganmu lagi. Dan kau tahu alasannya, bukan? Itu karena ….>>

… mereka Legion.

<<Satu-satunya alasan aku bisa bicara denganmu adalah karena terkekang. Sebab seluruh sensorku disegel. Mengenai sensorku, aku bahkan tidak tahu kau tepat berada di depanku. Andai tahu … andaikan tahu ada manusia yang berdiri di sekitar … aku takkan mampu menjaga kesadaranku untuk menjalin percakapan. Itulah artinya menjadi Gembala. Kau menjadi mesin pembantai. Mungkin kau punya kepribadian manusia, tapi kau masihlah monster, didorong implus destruktif.>>

Di Kerajaan Bersatu, tangan Zelene. Di Sektor 86, tangan kakaknya. Tangan yang terulur benci dan haus darah. Namun momen-momen sebelum dirinya dihancurkan, tangan kakaknya lembut.

<<Itu pun berlaku untukku. Kau itu anak baik, dan aku ingin berteman denganmu. Dan tepatnya karena itulah aku merasa ingin membunuhmu.>>

Di saat itu, suara Zelene memang serba haus darah. Haus darah buatan dan unik Legion. Haus darah tak rasional sebuah mesin pembunuh otonom yang tak perlu alasan atau pembenaran untuk membunuh manusia.

<<Kakakmu pun sama. Sebagai Gembala, kakakmu tidak mampu berbuat apa-apa selain membunuhmu. Instingnya sebagai mesin pembunuh memintanya membunuh manusia siapa pun yang dihadapinya, dan dia tidak bisa melawan. Walaupun kau barangkali dapat menahan Ameise, kau takkan kuat menahan Dinosauria. Jadi biar kuberi tahu ini …. Kau tak melakukan kesalahan.>>

Shin mendongak kaget. Zelene di dalam kontainer alih-alih di depan mata, tapi … Shin pikir bisa merasakan sepasang mata sedang menatapnya.

<<Kau pikir boleh jadi bisa menyelamatkannya, bukan? Maka dari itu menanyakanku. Baiklah. Akan kujawab pertanyaanmu. Kau tidak bisa menyelamatkannya. Keputusan satu-satunya adalah melawan kakakmu. Mustahil kakakmu bertahan hidup dan hidup bersamamu. Fakta itu tak terubah seketika kakakmu menjadi gembala …. Kau tak kehilangannya sebab kesalahan apa pun atau kelalaianmu sendiri.>>

Bukan salahmu.

<<Kala itu tetaplah hal yang benar, dan kebenarannya takkan tergantikan. Cara satu-satunya mengurus Legion … adalah dengan mengalahkanku, dan mengistrirahatkan kami.>>

Grethe mengangguk dalam layar holo, usai menerima laporan Lena.

“Kerja bagus … maaf, Kolonel Milizé. Mesti menyerahkan pengawasan anak-anak bandel itu kepadamu.”

“Tidak sama sekali. Lagi pula, Letnan Kolonel-lah yang bertanggung jawab membangun hubungan dengan tujuan kami selanjutnya, Teokrasi Suci Noiryanaruse.”

Kali ini, Grethe tidak menemani Divisi Lapis Baja Ke-1 ataupun Divisi Lapis Baja Ke-4 yang mana ditugaskan ke front selatan untuk mencoba memulihkan komunikasi dengan negara-negara selatan.

Selagi dua Divisi Lapis Baja Divisi Penyerang sedang bertugas aktif di waktu bersamaan, mereka bisa dikerahkan ke tujuan yang sama atau ke dua daerah berbeda, seperti sekarang.

Yang artinya, keadaannya cukup buruk sampai-sampai mesti mengerahkan semuanya. Lena mengernyitkan alis.

“Dengar-dengar kita mendapat permintaan pengerahan tak henti-henti, tapi tidak kusangka kondisi di semua tempat lain seburuk itu ….”

Lena melihatnya ketika melangkah ke medan perang Negara-Negara Armada. Perimeter pertahanan yang nampak bak di ambang kehancuran akibat serangan gencar. Kekurangan tenaga dan tentara. Pemandangan buruk bangkai-bangkai kapal tenggelam, mengotori kota-kota dan garis pantai.

Masuk akal mereka minta bantuan ketika Federasi berhasil memulihkan komunikasi. Mereka sangat-sangat butuh bantuan, kendatipun bantuannya pasukan berskala Divisi Penyerang ….

“Sudah sepuluh tahun. Tidak banyak negara bisa mempertahankan pertempuran konstan selama itu.”

“….”

Hanya negara-negara besar seperti Kerajaan Bersatu dan Federasi, atau negara-negara yang dilindungi benteng alam seperti Aliansi, punya jarak besar antara lini depan dan depan rumah mereka. Tempat ini lain.

Tapi apa yang membuat Lena keheranan. Sekalipun begitu, kenapa? Negara-Negara Laut dan Teokrasi Suci juga negara lain yang telah memulihkan komunikasi, mereka meminta bantuan militer. Biarpun mereka mampu bertempur sepuluh tahun dan hampir tak melewati serangan skala besar di tahun kemarin. Ibaratnya satu tahun sesudah serangan skala besar, terjadi sesuatu yang membuat situasi peperangan memburuk dengan signifikan ….

Kemudian Grethe batuk kering, seakan menghilangkan keheningan menyesakkan.

“Ngomong-ngomong, Kolonel? Kupikir ada laporan lain yang lupa kau buat.”

“Hah?!”

Lena buru-buru mengaduk-aduk ingatannya, sedangkan Grethe tersenyum.

“Sudah menjawab Kapten Nouzen? Bagaimana?”

Perwira atasannya sendiri juga terus memerhatikannya?!

“A-a-a-a-aku tidak yakin kolonel membicarakan apa!”

“Membuat cowok terus perhatian itu hak istimewa seorang gadis, tapi jika kelamaan membiarkannya gelisah, dia nanti muak denganmu. Kukasih tahu kapten kelihatan amat depresi setelah semua itu.”

Lalu Grethe berhenti, meringis seakan-akan memikirkan ingatan tidak menyenangkan. Lena berdiri di depan layar holo, wajahnya semerah bit. Dia harap bisa mengubur dirinya sendiri.

“Aku jadi teringat …. Melihat wajahnya hampir membuatku merasa kasihan sama belalang pembunuh itu. Ada alasan Willem ikut dalam liburan itu bersama kita. Aku penasaran tujuannya.”

Ψ

“Kau menyebutkan kebocoran informasi lewat Resonansi Sensorik di Kerajaan Bersatu ….”

Karena divisi penelitian tidak berperan dalam misi berikutnya, mereka tinggal di markas Divisi Penyerang, Rüstkammer. Duduk dalam kantornya, Annette bicara, menatap curiga tamunya.

Dia tak terlalu mengenalnya, dan orang itu mendatanginya di luar jam kerja. Tapi lebih penting dari itu ….

“Saya sudah memberikan laporan bahwasanya kebocoran tersebut bukan dari Para-RAID, Kepala Staff Ehrenfriend.”

“Iya, aku ingat. Akan tetapi …. Bagaimana dengan ini, Henrietta Penrose?”

Dia balas menatapnya sambil nyengir tipis, matanya berkilauan layaknya pisau.

Ψ

Operasi penyerangan ke benteng angkatan laut tiga ratus kilometer jauhnya dari lepas pantai mulai muncul di depan mereka. Tiada harapan dukungan sekutu-sekutu mereka, dan itu serangan gegabah menuju lini musuh. Bisa jadi hari-hari terakhir 86.

Namun tidak mereka habiskan dengan renungan. Justru sebaliknya—mereka ke kota bareng-bareng dan main di laut. Kehidupan di Sektor 86 selalu dilewatkan dengan tertatih-tatih di ambang kematian. Medan perang adalah tanah air mereka. Setelah menjalani hidup dalam pertempuran demi pertempuran, mereka sering kali mendambakan kesederhanaan hidup.

Lagian, bagi kebanyakan dari mereka, ini pertama kalinya melihat laut. Bahkan bagi para 86 yang cukup beruntung dilahirkan di tepi laut, ini kali pertama berada di pantai utara. Iya, bagi mereka, peperangan adalah rutinitas sehari-hari. Dan walau menguatkan diri akan kejadian ke depannya, mereka tak membiarkan kegelisahan mengambil kesenangan yang mereka miliki.

Mereka akan mengintip ke dalam air, mengikuti gerakan ikan. Ketika seekor ikan muncul di permukaan, mereka kabur, sadar ikannya lebih besar dari yang diperkirakan. Mereka menakut-nakuti kerumunan burung laut dan mengambil ikan-ikan kecil serta kepiting dari ombak pasang-surut. Mereka tidak tahu orang-orang main di pantai umumnya bagaimana, namun mereka tak perlu tahu banyak untuk bersenang-senang.

Berdiri membelakangi teriakan ceria tersebut, Shin berdiri tanpa kata di atas salah satu bebatuan, menatap laut tanpa batas di hadapannya.

Mau kulihat berapa kali pun, rasanya ….

Raiden yang berdiri di sebelahnya, sama seterpesonanya oleh pemandangan tersebut, tak menyembunyikan takjubnya.

“… ini luar biasa. Benar-benar air semua, sejauh mata memandang.”

Syukurlah, hari itu bersih dari awan, dan matahari sudah terbit. Langit utara yang biru-pucat dan warna lautan tidak sehitam hari sebelumnya. Dari cakrawala berkabut di kejauhan, teriakan burung laut entah bagaimana kedengaran bak kucing mengeong.

Kebetulan, Lena merasa tak enak hati lagi-lagi meninggalkan kucing sungguhannya, TP, jadi dia membawanya di pengerahan ini. TP sekarang ini tengah berkeliaran dalam kamar Lena. Demikian pula Fido yang tidak senang karena ditinggalkan liburan ke Aliansi, mengabaikan perintah langsung Shin yang menyuruhnya berdiam diri dan mengikuti mereka ke pantai. Saat ini sedang membantu Rito dan Marcel yang lagi memancing.

“Dan semua air ini juga rasanya sama. Aku takkan percaya kalau tidak melihatnya secara langsung ….”

“Kau cicipi?” Shin bertanya, mengira Raiden bukan anak-anak.

Tetapi balasannya adalah hening canggung. Rupanya, dia betul-betul jatuh ke rasa penasarannya dan menjilat sebagian airnya.

“Rasanya bagaimana?”

“Kayak garam …. Atau, yah, rasanya mirip-mirip amis. Kau tahu ‘kan produk lokal mereka telur ikan asin? Kayak begitu, tapi tidak seasin itu,” ucap Raiden, kemudian meringis. “Kau betulan berpikir tuh telur enak? Jujur saja menurutku aneh.”

Shin kebingungan oleh pertanyaan itu. telur ikan asin merah itu dibawa ke meja kafetaria pangkalan mereka, disertai selai dan metega. Nyatanya itu makanan tradisional yang diawetkan Negara-Negara Armada. Sebagian besar orang pikir itu aneh dan menolak memakannya, tapi Shin mematuhi rekomendasi staf dan mencobanya.

“Tidak terlalu? Tidak buruk-buruk amat.”

Sekalipun harus akui dia tidak bisa seratus persen menyebutnya enak.

“… lidahmu sekacau dirimu, bung ….”

Frederica yang memungut kerang di dekatnya, menyela pembicaraan mereka.

“Kesampingkan selera kurang Shinei, dalam hal ini kataku, semata-mata masalah preferensi. Contohnya aku, mendapatinya cukup enak.”

“Iya, pas itu makanmu rakus. Kau menaruh banyak krim asam di roti panggangmu.” Angguk Raiden.

“Iya, dan roti panggang bukan satu-satunya yang kau makan,” tambah Shin, ikutan mengangguk.

“Ugh, beraninya membicarakan seorang wanita dengan cara seperti itu!” Frederica membentak mereka, wajahnya merona. “B-benar, berat badanku bertambah, tapi hanya karena aku lagi di puncak masa pertumbuhan!”

Padahal mereka tak bermaksud mengejeknya. Mereka cuma menyatakan fakta.

“Ya, kami tahu. Maksudnya baik. Nafsu makan sehat adalah hal bagus di usiamu, bukan?”

“Kau perlu makan lebih banyak terus tambah berat badan jika mau tumbuh, jadi makan sesukamu.”

Frederica terdiam, dia cemberut, lalu mengangguk dengan ekspresi tajam aneh.

“Memang, aku akan dewasa. Lagi pula aku tidak bisa selamanya jadi anak-anak.”

Ada sesuatu yang membedakan kebangsawanan dan hal tragis di mata merah darahnya.

“Jadi …. Waaa?!” dia berhenti dengan teriakan mendadak, melempar kerang yang barusan diambilnya. “Dia bergerak! Tadi bergerak!”

iya, kau masih anak-anak, simpul Shin dan Raiden.

Selagi Frederica menatpa jijik, Raiden berjongkok untuk melihat sesuatu yang baru dilemparnya.

“Oh, ada sesuatu di dalamnyakah?” tanya Raiden.

“Tidak ….”

Di sisi lain, Shin mengambil cangkang spiral dari pasir dan memeriksanya dengan tenang. Raiden mendekat dengan penasaran, selanjutnya terdiam. Sepasang kaki keras bergeliut menggeliat-geliut dari dalam cangkang.

“… kurasa itu kelomang3 ….”

“Melihatnya bergerak dari dekat, agak aneh ….”

“Karena kau yang kita bicarakan, kau mungkin berpikir tugasmulah sebagai komandan untuk mengutamakan misi, Milizé.”

Lena tengah berada di kantor sementara mereka dalam pangkalan. Dia meminta Ishmael untuk memberikan semua data pertempuran terbaru yang boleh dibuka, dan kini dia sedang memeriksanya. Vika mendesah sambil menatapnya, mata ungu imperialnya tercengang.

“Takkan ada yang menentangmu semisal pergi ke pantai buat cari suasana baru. Alasan aku pergi adalah karena sudah cukup sering melihat laut. Tidak terlalu luar biasa bagiku.”

“Ada hamparan laut luas di luar perbatasan paling utara Kerajaan Bersatu, melewati pegunungan Frost Woe dan puncak utara,” Lerche, yang siap siaga atas panggilan Vika menambahkan seperti biasa. “Di musim dingin, lautnya sepenuhnya tertutup es. Sungguh penampakan yang bagus.”

Sepertinya Shin dan yang lain sudah pergi bermain di pantai, jadi dia oke-oke saja tak ikut.

“Tidak … aku baru melihat laut kemarin, dan akan kulihat waktu operasi nanti. Namun kupikir kali berikutnya aku melihatnya sendiri mestinya ketika perang sudah berakhir.”

Shin memberi tahu Lena bahwa dia ingin menunjukkannya laut, dan dia menerima keinginan itu. Jadi … kendati belum sanggup menjawab ungkapan perasaannya, dia setidaknya ingin mempertahankan keinginan tersebut.

“Kami bilang akan pergi melihat laut saat perang berakhir. Lantas aku mau menepati janji itu.”

Saat Vika mendengus, senyum di bibir Lena menghilang begitu berbalik menghadapnya.

“Tapi lebih pentingnya, Vika. Ada yang mau kutanyakan.”

Lena meminta Ishmael menunjukkannya status perang Negara-Negara Armada setelah serangan skala besar tahun lalu. Dan walaupun sejumlah laporan kekurangan angka persisnya sebab belum satu tahun berlalu, jumlah korban jiwanya tak sesuai skala pertempuran. Banyak yang ditinggalkan dan dianggap hilang dalam medan perang. Pertempurannya sesengit itu, dan kekalutannya terlampau luas.

Dan ada lebih banyak laporan saksi mata Tausendfüßler—yang biasanya dianggap unit pendukung logistik Legion. Dia bertanya ke Grethe yang memastikan ada kasus serupa di Federasi.

“Situasi di Kerajaan Bersatu bagaimana? Bisa beri tahu perubahan taktik Legion yang kolonel ceritakan? Dengan detail.”

Meskipun teman-temannya main-main dengan riang gembira di ujung pandangannya, Theo tenggelam dalam renungnya, tatapannya tertuju ke ombak laut.

Lautan.

Sekitar satu tahun lalu mereka bilang ingin melihatnya suatu hari kelak. Anehnya, waktu itu adalah saat sedang mengejar Morpho. Biarpun mereka tentu mau melihatnya, ada kemungkinan membayang-bayang kalau mereka akan kalah dari Morpho dan mati, terus keinginan mereka takkan terkabul ….

Alhasil beberapa bagian dirinya berpikir tak masalah apabila tidak terwujud. Laut yang mereka inginkan seperti tujuan tidak jelas. Dan sekarang di sinilah mereka, dekat laut. Mereka sampai, kelewat mudah. Hampir antiklimaks.

Tentu saja tatkala itu Theo tidak memikirkan laut utara ini. Tetapi lautan adalah simbol tempat yang belum pernah mereka lihat. Mungkin itulah sebabnya kala melihat laut pertama kalinya, tak ada perasaan pencapaian. Tak ada kegembiraan atau emosi intens tuk dinyatakan.

Dia merasa kosong. Ibarat ada lubang sangat kecil namun masih menganga di suatu tempat dalam kesadarannya. Rasanya seolah tersesat dan hanya berdiri di tempat. Lagian … tidak satu pun tentang dirinya berubah. Tidak satu pun.

Dia berpikir tidak melangkah maju sama sekali, bahwasanya tiada yang berubah sejak meninggalkan Sektor 86. Biar begitu, di sinilah dia, melihat pemandangan baru. Semuanya terasa tak ada arti. Meski berdiam diri, walau tak berubah, sekalipun tidak tahu harus mencita-citakan apa … dia masih akan terjebak arus kehidupan dan dihanyutkan ke tempat baru.

Demikian sama seperti di Kerajaan Bersatu dan Aliansi. Kalau dipikir-pikir, sama-sama saja semenjak mereka dilindungi Federasi dan dibawa ke mansion Ernst.

Lautan di depan matanya kelihatan lebih baik ketimbang hari-hari kemarin; matahari menjadikannya tampak kurang hitam. Tapi warna biru tua masih membuatnya serasa melankolis, angin dingin juga bau busuknya entah bagiamana terasa menyakiti hati dan menghina.

Kendatipun ini pertama kalinya Theo melihat laut … tak terasa indah sama sekali baginya. Kali pertama setelah sekian lama, dia disadarkan hal itu. Semacam persepsi mendarah daging di Sektor 86.

Dunia tidak butuh manusia.

Dunia tak menghiraukan emosi, perasaan, kebutuhan seseorang. Orang-orang bisa mati, dan bintang-bintang di langit akan sama berkilaunya. Orang-orang nyaris tak bertahan dan memegang erat kehidupan, lalu hujan deras turun di hari perayaan mereka. Manusia begitu tak berperasaan kepada umat manusia sampai-sampai hampir dianggap jahat.

Dan rasanya ibarat dia diingatkan fakta itu. Tak mampu diam di tempat, Theo berbalik dan berjalan pulang ke kota.

“Aku selalu beranggapan kota-kota di luar medan perang itu damai, tapi—” Anju bergumam sendiri sambil mendesah.

Salah satu wanita di kafetaria memberitahunya akan datang festival di kota pelabuhan yang terhubung dengan pangkalan ini. Festival Putri Kapal, namanya. Di masa lalu, setiap perkotaan Negara-Negara Armada punya kapal tersendiri, dan kepala kapal yang ini dikatakan menampung roh suci bernama Putri Kapal. Setahun sekali, kota-kota itu mengadakan upacara festival untuk mendewakan para roh ini.

Satu patung seorang gadis berdiri di depan balai kota, dihias bunga tak terhitung jumlahnya yang mengesankan sebuah festival. Bedanya … alun-alun di depan balai kota ini sudah runtuh, orang-orang bisa salah anggap tempat itu asalnya dari Sektor 86.

Awan debu, bangunan rusak, trotoar hancur, dan pohon-pohon layu di pinggir jalan. Bangunan-bangunan tersebut entah bagaimana mempertahankan fungsinya, namun orang-orang telah lama kehabisan waktu, energi, dan dana untuk memperbaikinya. Anak-anak berlarian mengenakan pakaian usang tapi bersih yang penuh lubang-lubang ditambal. Biar festivalnya sedang berlangsung, kios-kiosnya sedikit, menjual permen murah yang disintetis.

Tetapi kontras dengan seberapa kecilnya kota itu, warganya penuh semangat meramaikan jalan-jalan, mengalir keluar dari tempat tinggal prefabrikasi yang didirikan dekat alun-alun serta taman terdekat. Diperuntukkan para pengungsi yang harus evakuasi karena lini depan dipukul mundur sedikit demi sedikit selama satu dekade terakhir, pelan-pelan mendekati depan rumah mereka.

Inilah harga yang harus dibayar perjuangan sepuluh tahun Negara-Negara Armada biarpun ukurannya kecil.

“Kurasa Federasi dan Kerajaan Bersatu adalah pengecualiannya …. Negara-negara lain sudah di ambang batas.”

Sebenarnya mereka telah lama kehilangan kekuatan bertarung mereka, tapi masih berjuang untuk bertahan hidup, bertempur semampu mereka. Dan akhir tak dihindari ‘kan datang saat sepenuhnya melenyapkan seluruh kekuatan mereka, selanjutnya diinjak-injak musuh dan dimusnahkan.

Kenyataan itu kini terurai di hadapannya.

“Tapi meraka masih mengadakan festival,” Michihi yang berdiri di samping Anju, bergumam lirih.

Mereka mendekorasi patung gadis itu, setiap bunganya punya kesederhanaan tersendiri, tetapi seluruh susunannya sangat mengesankan. Mungkin inilah yang paling bisa dikumpulkan penduduk kota. Mereka tertawa, bersorak-sorai, memanggil-manggil pelanggan, dan berteriak. Tapi mencari roti saja sudah sulit. Keadaan kota jelas-jelas menunjukkan seberapa dekat Perang Legion mendesak mereka ke ambang kepunahan.

Namun mereka menggertakkan gigi, memaksa tersenyum dan tertawa-tawa di festival etnis ini. 86 adalah minoritasnya Republik, dan bahkan di antara mereka, Orienta di timur benua bahkan lebih langka. Lalu Michihi bicara, dengan perawakan keturunan tersebut.

“Aku tidak tahu banyak soal festival. Maksudku, tidak ada yang mewariskannya ke kita. Aku tak ingat tanah airku, dan semua keluargaku sudah mati. Jadi melihat ini membuatku kesepian. Tapi lebih dari itu, aku iri. Orang-orang ini punya sesuatu yang begitu penting bagi mereka, mereka tetap lakukan walaupun sulit sekali. Dan aku … iri.”

Sesuatu yang berharga. Sesuatu yang bisa menarik hati, apa pun yang terjadi. Sesuatu yang … membentuk seseorang. Dan 86, yang identitas sematawayangnya adalah desakan untuk bertarung hingga akhir … kekurangan hal berharga tersebut.

Theo meninggalkan pantai dan kembali ke kota, tapi dia tak merasa nyaman di keramaian dan hiruk pikuk jalanan. Bagi kota kecil semacam itu, ada banyak orang, dan sebagian besarnya keturunan Jade, sepertinya. Ras Veridian, yang termasuk para Jade, adalah orang pribuminya pesisir pantai benua selatan. Sebagian mengejar leviathan, bermigrasi ke tanah ini dan mendirikan tujuh dari sebelas Negara-Negara Armada.

Tapi terlepas semua itu, tak sama sekali dia menemukan hubungan darah atau pertemanan apa-apa. Dia tidak kenal festival ini.

Sepertinya beberapa rekan-rekannya juga pergi bermain di pantai sekarang karena tidak merasa nyaman di sekitar festival. Mereka lebih suka berada di luar kota. Di luar dunia manusia. Tempat yang tak diatur pemerintah. Sebagaimana Sektor 86.

Di sana tidak dapat warisan apa-apa. Tak punya akar keluarga tuk dihubungkan. Di sana, mereka takkan diganggu fakta tak adanya sandaran apa pun. Mereka bisa hidup di medan perang, tempat tidak dapat mengandalkan siapa-siapa kecuali diri sendiri dan rekan-rekan.

Dengan kata lain, mereka tidak bisa beralih ke landasan pribadi apa pun kecuali diri sendiri. Tak seperti orang-orang di kota ini, mereka sama sekali tidak lagi memiliki asal di dunia ini. Dan inilah sesuatu yang Theo pikir sudah dia sadari beberapa kali semenjak meninggalkan Sektor 86. Dan tetap saja, entah apa alasannya, terasa menyakitkan.

Mereka dapati ada metode menghentikan Legion. Menghentikan perang bukan lagi upaya tanpa harapan melainkan kemungkinan realistis. Dan barangkali menyadari itu adalah pemicunya. Tapi yang paling krusial … melihat Shin, kemudian Raiden, Rito, dan Anju yang berjuang menuju masa depan nampaknya alasan terbesarnya.

Theo sendiri pernah bilang, suatu kala, Shin akan mencoba lebih menikmati hidup. Bahwa dia takkan merasa dihantui kakak laki-laki dan banyaknya rekan-rekan yang mati mendahuluinya. Jadi Theo sejujurnya lega melihatnya memikirkan masa depan sekali. Dia tahu mesti melepaskannya sekarang ….

… tapi di saat bersamaan membuatnya sangat kesepian.

Karena dia harus berbuat apa sekarang? Dia tak bisa kembali ke awal apa pun, di dunia ini dia tak tinggal di manapun. Shin mungkin menemukan suaka dan bisa menjangkau masa depan, tapi Theo harus bagaimana? Dia tahu betul suaka tidak mudah datang. Lagi pula, mana mungkin dia dapat sesuatu kalau dirinya bahkan tidak tahu arti harapan atau masa depan?

Dia tidak tahu. Dia ketakutan

Setelah terhuyung-huyung kebingungan sementara waktu, bak mencoba kabur dari bayangan yang menempel di kakinya, dia tahu-tahu sudah di pangkalan. Rupanya dia berjalan masuk ke geladak kapal induk besar.

Tinggi geladaknya beberapa lantai dan skalanya jauh lebih besar ketimbang hanggar Juggernaut. Meski demikian, anjungan kapal itu setinggi jembatan4, yang mengutamakan ukurannya. Di hadapannya terdapat kebesaran pangkalan angkatan laut akbar yang dibangun untuk tempat lepas landas pesawat-pesawat terbang ke laut lepas.

Di geladak terdapat pesawat patroli anti-leviathan, dibuat untuk mengintai sekawanan makhluk laut lamban namun tak terhitung—sebanyak Legion—yang menghuni perairan. Dan tentu saja ada pesawat tempur yang bisa dikerahkan.

Demi menemukan leviathan lalu membunuhnya, kapalnya pun dilengkapi sistem sonar untuk berburu ras leviathan terbesar, Musukura. Makhluk-makhluk ini mampu menembakkan sorot cahaya, dan untuk menghabisi mereka, maka perlu dipancing jet tempur terlebih dahulu.

Kapal induk besar dan pesawat yang diangkutnya berada di garis depan perjuangan melawan para leviathan.

Satu orang, yang tengah berdiri di depan kapal sambil mendongak menatap kepala boneka5, berbalik begitu mendengar langkah kaki Theo. Rambut pirang gelap dan mata hijau. Seragam angkatan laut nila serta tato burung api.

Ishmael.
“… hmm. Bocah, bukankah kau dari Divisi Penyerang? Namamu, uh ….”

Terjadi jeda panjang di antara mereka.

“… err.” Ishmael akhirnya menyerah.

“Nama saya Rikka.”

“Oh, maaf. Kami biasanya mengenal satu sama lain dengan tato. Sulit membedakan dengan wajah kami saja, tahu?”

Dengan tato? Theo memandang curiga. Kabarnya, mencap diri dengan tato adalah adat klan Laut Lepas, tetapi semua tatonya kelihatan sama bagi Theo. Rupanya, pola tatonya berbeda tergantung ras atau asal seseorang. Ishmael punya tato burung api, sedangkan Esther titik tunggal.

Orienta tatonya bunga, Topaz pola tanaman merambat, dan Celesta pola geometris. Kaum Jade, Emerod, dan Aventura masing-masingnya punya bentuk tato riak, kilat, dan spiral.

Tapi kalau dipikir-pikir, dia belum menemukan Jade lain dengan tato burung api seperti milik Ishmael.

“Bukannya sepatutnya kau bermain air bersama teman-temanmu? Kudengar Federasi dan Republik tidak bisa mencapai laut sekarang.”

“Saya sudah di sana, tapi … kebosanan.”

“Festival di kota bagaimana?”

“… tidak peduli.”

Entah kenapa, Ishmael memandang dengan senyum pahit.

“Kau ini seorang Jade, bukan? Asalmu dari mana? Di mana tempat tinggal para leluhurmu sebelum bermigrasi ke Republik?”

“Hah …? Sebenarnya, saya pikir mereka datang dari seluruh penjuru benua ….”

“Ah, aku keliru. Maaf. Yang kau katakan berlaku kepada semua orang. Darah murni mutlak hanya dimiliki bangsawan-bangsawan Kerajaan Bersatu dan Kekaisaran. Dan Republik, kurasa …. Oh, bukan berarti aku menjelek-jelekkan kolonel cantikmu, atau komandan operasimu.”

Orang tua Shin berdarah murni, tapi dirinya sendiri adalah anak campuran, jadi dia tak sesuai deskripsi tersebut. Namun itu tak penting.

“Saya dari selatan, di suatu tempat bernama Elektra .. saya rasa itu dari dua ratus tahun lalu,” jawab Theo.

“Ah, kalau begitu asal kita sama. Klanku dari area itu juga. Bermigrasi dari sana sekitar seribu tahun lalu. Tapi tetap saja, kita bisa lebih dari menggantikannya. Selamat datang di rumah, nak.”

Nada suaranya benar-benar riang, dan walau begitu, Theo dikuasai perasaan menyangkal kuat. Orang ini sekadar berwarna sama dengannya. Dia sepenuhnya orang asing. Theo kebetulan saja punya beberapa leluhur jauh yang ada kaitannya sama negara ini. Ini bukan tanah air keluarganya selama dua ratus tahun.

Paling banternya, satu-satunya orang yang dapat Theo sebut sebangsa bahkan tak satu warna dengannya—Mereka kebetulan cuma 86 yang bertarung di medan perang serupa dengannya.

Hanya karena sewarna dengan orang lain bukan berarti Theo ingin dianggap kerabat mereka. Terkhusus dari orang yang asal-usul tanah air dan warisannya bisa dicari—juga komandan armada, yang adalah ayah Ishmael … keluarganya.

Tidak dari seseorang yang punya seluruh kekurangan Theo.

“….”

Selagi Theo terdiam, Ishmael cuma mengangkat bahu tak peduli. Gerakan itu mengingatkan Theo pada seseorang.

“Kau tahu, itu bukan urusanku. Aku hanya mau saja mengusik orang seperti itu. Membuatku ingin bermain-main denganmu. Tidak sekadar berlaku kepadamu. Kalian para 86 punya cara untuk memutuskan siapa temanmu dan menjauhkan orang lain yang bukan.”

Kemudian dia menambahkan, seraya tersenyum gembira, bahwa ada beberapa 86 yang tak demikian. Seperti kapten dan wakilnya, dan bocah yang bilang Stella Maris itu besar dan lambat …. Dengan kata lain, Shin, Raiden, sama Rito.

Orang-orang yang dulunya seperti Theo tapi tanpa dia sadari telah berubah. Kata-kata itu tenggelam ke dalam hatinya, membekukannya. Jika ada yang dianggapnya rekan, maka 86 yang berbagi harga diri dan jalan hidup yang sama. Namun saat ini, bahkan rekan-rekannya itu ….

“Kau tahu, kita … akhir-akhir ini kita semua terpisah.”

“… iya, kita terpisah.”

Theo entah kapan sudah pergi ke suatu tempat. Anju juga pergi, meski dia perginya karena tertarik sama festival. Akan tetapi, Kurena bahkan tidak pengin ikut melihat lautan bersama mereka. Raiden tentunya menyadari ini, begitu pula Shin.

Mereka yang tidak pergi ke pantai karena tidak mau melihat laut, dan mereka yang datang kemari gara-gara tak tahan kemeriahan kota. Mereka yang bersemangat tatkala pertama kali melihat laut, dan mereka yang memutuskan pergi melihat festival asing. Mereka semua berbaur di antara kelompok-kelompok berbeda, tapi di suatu waktu, muncul perpecahan di antara mereka. Sesuatu berubah mengenai pandangan mereka terhadap satu sama lain.

Bertarung hingga titik darah terakhir di medan perang dengan kematian pasti. Mereka tak satu keturunan, tiada warna sama yang mengikat bersama. Harga diri itulah satu-satunya ikatan mereka, dan mempersatukan mereka sebagai 86 …. Tetapi suatu waktu, mereka mulai berpisah.

“Jangan khawatirkan.”

Satu rekannya yang telah terpisah berkata demikian, tanpa meliriknya. Biar begitu, merasakan tatapan merah darah berbalik menghadapnya, Raiden terus bicara, matanya masih dialihkan.

“Bukannya kau meninggalkan seseorang, mengabaikan mereka atau semacamnya, bung. Mereka hanya menentukan pilihan, dengan pase mereka sendiri. Jadi pilihan apa pun yang kau buat, jangan cemaskan sisanya.”

“… aku tahu,” ucap Shin.

Dari nada suaranya, dia betul-betul memahaminya. Namun Raiden juga merasa tidak enak.

“Tapi sekiranya mengatakan itu menyakitimu … kurasa kalian sudah lebih dari cukup menyelamatkanku. Jadi bila saat itu datang ….”

Raiden tak mampu menahan senyum pahit.

Dasar bego. Mana bisa kau bilang begitu? Orang yang selalu menyelamatkan kami di setiap langkahnya adalah ….

“Tidak usah …. Sudah cukup. Bagaimanapun kau ini Pencabut Nyawa kami.”

“Iya, iya. Saya di sini, pak tua.”

Suara Theo lebih bersungut dari niatnya. Dia mengubah paksa topik pembicaraan, merasa kesal. Dia bukan anak kucing ketakutan atau semacamnya. Theo bisa bicara santai.

“Festivalnya tentang apa, sih?” tanya Theo.

“Mm? Oh, Festival Putri Kapal. Itu tradisi Negara-Negara Armada. Merayakan dewa kapal. Kupikir di kota ini, adalah kapal torpedo?”

Dia menyebutkan semacam kategori kapal militer yang dianggap kuno dengan kemajuan teknologi …. Tetapi setelah itu berhenti bingung.

“… atau bukan?” selanjutnya Ishmael bertanya.

“Hah …? Bapak tidak tahu?”

“Yah, maksudku … maksudku, aku bukan penduduk asli kota ini.”

Theo menatap Ishmael yang tak mau membalas tatapannya.

“Kau dengar tidak? Kutebak tidak. Ketika Armada Orpahn dibentuk di awal perang, kami mengevakuasi seluruh negara, mengubahnya menjadi medan perang untuk memukul mundur Legion. Kami tak punya cukup area antara tepi utara dan selatan wilayah kami untuk membuat formasi pertahanan, dan Legion menginvasi kami dari timur. Jadi kami mengevakuasi negara paling timur. Itulah tanah airku. Negara Armada Cleo.”

“… oh.”

Theo pernah mendenganrya. Lena menyebutnya sebelum mereka dikerahkan ke sini. Hanya saja tidak terpikir olehnya. Tak sampai dia mendengar seseorang yang telah kehilangan tanah airnya mengatakan itu. Tidak ada bedanya dengan suatu negara yang dipaksa membuang sebagian besar wilayah dan warga negaranya demi mendirikan medan perang tanpa korban jiwa yang bernama Sektor 86.

Tak beda-beda amat dengan Republik.

Melihat Theo menatapnya, tertegun di tempat, Ishmael melambai tak acuh.

“… jangan melihatku seperti itu. Kami tidak diperlakukan seburuk kalian. Mereka tak memaksa kami berperang dengan senjata menodong punggung kami, mereka pun tak menyita barang-barnag kami. Kami kabur membawa apa pun yang bisa dibawa, dan kami tak benaran didiskriminasi sewaktu menetap di tempat lain. Perumahan yang mereka berikan sifatnya sementara, tapi tempat evakuasi kami sama sulitnya …. Heh, maksudku, bahkan komandan armada harus mengungsikan Stella Maris dan seluruh armada,” katanya seraya bercanda dan tertawa.

Komandan armada tersebut adalah …. Iya. Nama komandan armada yang sudah almarhum. Theo belum pernah melihat seorang pun bertato sama dengan Ishmael, sekalipun markasnya penuh aktivitas selagi siap-siap beroperasi. Ada juga kemungkinan bukan hanya komandan armada; semua orang yang punya tato itu sudah ….

Jadi dia pun tak punya hal-hal itu.

Bahkan dalam keadaannya sekarang Ishmael mirip 86. Bagi mereka yang telah kehilangan keluarga, tanah air, dan kehilangan asal budaya dan tradisi apa pun. Jadi mungkin …. Tidak, dia nyaris pasti meresahkan 86 yang mengalami penderitaan sama sepertinya.

“Maaf …. Dan, er ….”

Kata-kata Rito terbesit lagi di benaknya. Seseorang merisaukan mereka, karena kini sudah di luar Sektor 86. Dan di sini dia menemui orang lain yang posisinya sama seperti mereka …. Seseorang yang penuh harga diri.

“… terima kasih.”

Dia merasa ibarat barusan melihat setitik cahaya di ujung terowongan panjang nan gelap.

Cahaya matahari terbenam terpantul dari permukaan laut, sinar keemasan yang bangkit dari pantulan itu layaknya kumpulan cermin berlapis. Pemandangan memusingkan yang cemerlang. Kapten kapal perusak anti-leviathan, seorang wanita bertato peony memberitahunuya bahwa mercusuar di pinggir kota menawarkan pemandangan bintang bagus berbentuk bulat.

Mercusuarnya terbuka untuk umum sebagai observatorium, dan betul saja, cakrawala terlihat bagaikan busur dari sudut pandang itu. Menyuguhkannya penampakan penuh akan pemandangan berseri-seri sinar samar matahari terbenam yang berkilauan dari permukaan air.

 Laut senja menyinarkan cahaya keemasan mengagumkan yang membara laksana cermin percah. Entah bagaimana, bagi Yuuto kecantikannya persis seperti gambaran penolakan.

Shiden dan Shana di dekatnya; orang lain rupanya memberi tahu mereka tempat ini.

Mereka satu unit, tetapi tidak terlalu dekat untuk bicara bebas. Khususnya karena Yuuto dasarnya pendiam. Lantas mereka hanya berdiri tanpa saling bertatapan atau berbincang, kehangatan tubuh mereka jauh dari satu sama lain. Menyaksikan matahari terbenam asing yang sama.

“Klan Laut Lepas berkumpul membentuk satu angkatan laut. Tidak semegah unit militer sebab kelompok itu lebih mirip semacam marga.

Yuuto mengalihkan pandangannya ke suara baru ini. Esther sudah naik observatorium, dan entah karena alasan apa, Kurena pun bersamanya. Yuuto berasumsi dia tak ada motivasi untuk pergi ke pantai atau kota, jadi berdiam diri saja di pangkalan, di situlah Esther menemukannya dan membawanya. Shiden dan Shana barangkali dalam situasi yang sama.

Rasanya bukan hanya Esther sekaligus orang yang bicara dengan Yuuto yang berpotensi mencari masalah karena mencampuri urusan mereka. Seluruh tentara Armada Orphan dan bahkan orang-orang kota yang getol menunjukkan mereka festival. Kesemuanya memberi kesan sama.

Awalnya, Yuuto pikir mereka cuma berterima kasih kepada unit luar negeri yang dikirim sebagai bantuan, atau terlampau ramah kepada tamu pertama yang mereka dapat dari luar negeri selama sedekade, tapi …. Sekarang rasanya ada yang lebih dari itu.

Negara-Negara Armada telah eksis selama beberapa abad, sementara klan Laut Lepas telah menjelajahi laut selama ribuan tahun, bersaing dengan para leviathan atas penguasaan air. Meskipun dari waktu ke waktu kalah, orang-orang ini tak pernah menyerah. Dan rasanya seolah saat ini, mereka entah apa mengumumkan—mendeklarasikan bahwasanya mereka tak punya apa-apa selain perjuangan teguh ini. Bahwa hanya inilah yang mereka miliki.

‘Kurasa ini semacam simpati …. Kepada kami, 86.”

Esther terus bicara tanpa basa-basi.

“Jadi karenanya, sebagai letnannya Kapten Ishmael, aku lebih suka memanggilnya kakak. Walaupun tidak ada hubungan darah di antara kami.”

“Er ….”

Kurena balas menatap Esther, jelas heran. Kurena bertanya santai belaka, di tengah-tengah percakapan, alasan dirinya memanggil Ishmael kakaknya walaupun lebih muda dan tidak punya hubungan darah.

“… maaf. Saya tidak begitu paham, Bu ….”

Dia menambahkan kata-kata terakhir, sadar dirinya tengah bicara dengan letnan. Untungnya, Esther tampaknya tidak keberatan karena dia cuma menatap linglung Kurena.

“Tidak paham? Kukira kalian 86 punya hubungan sama.”

Kurena berkedip sekali.”

“… maksud Ibu kami?”

“Iya. Contohhnya, kau dan komandan operasimu, Kapten Nouzen. Waktu pertama kali bertemu kalian berdua, kukira kalian mungkin kakak-beradik. Yah, sudah jelas kalian tak punya hubungan darah, sih.”

Mengesampingkan semua fitur wajah berlainan semua orang, warna yang mereka punya sejak lahir sepenuhnya berbeda. Tapi ada yang terasa sama pada cowok-cowok dan cewek-cewek ini. Tatapan di mata mereka, barangkali. Jelas dari pandangan sekilas tak satu pun punya hubungan darah, tapi ….

“Ada yang mirip dari kalian …. Iya, kurasa kau bisa menyebutnya bentuk jiwa. Kalian tinggal di medan perang sama, ditakdirkan berada di kuburan sama, menjalani kehidupan yang sama, dan menjunjung harga diri kalian. Bukan dari ikatan darah, melainkan ikatan kekerabatan jiwa yang merajut hubungan kalian …. Seperti halnya kebanggaan klan Laut Lepas menjalin hubungan kami.”

Kata-kata manis ini mengguncang Kurena. Esther utarakan dengan cepat. Seperti seseorang yang diberikan air di penghujung perjalanan panjang melewati gurun gersang.

“Kekerabatan … jiwa.”

“Benar. Dan melebihi ikatan darah atau persahabatan dari negara yang sama, itulah hubungan yang takkan pernah putus. Apa pun yang terjadi.”

Esther dengan semangatnya bicara selagi disinari cahaya keemasan, seakan-akan menyatakan hal jelas.

“Jadi apa pun yang datang ke depannya, dia akan senantiasa menjadi kakakku. Dan dalam konteks yang sama, Kapten Nouzen akan selalu menjadi kakakmu. Itu takkan berubah.”

Ψ

“Kita hanya punya perkiraan kasar perihal jarak dan jumlah mereka, karena mereka jauh sekali dari kita, tapi mengetahui sebanyak ini mempermudah segalanya. Baik untuk kita dan armada pengalih.”

Ruang pengarahan dipersiapkan di kapal universitas yang cocok. Cahaya disaring kaca kotor tua yang berwarna-warni hingga masuk menyinari meja. Di sana Ishmael berdiri, memeriksa dokumen-dokumen yang disebar di hadapannya sambil tersenyum.

Di antaranya adalah peta angkatan laut, di mana Shin menandai posisi unit pengintai garis depan kapal induk besar.

“Perkenankan aku mengundangmu makan siang saat kita kembali sebagai ucapan terima kasih, Kapten. Makanan laut kering, seperti tradisi.”

“….”

Menyadari Ishmael tak menyebutkan ikan atau kerang tetapi semata-mata tanpa kejelasan mengatakan, makanan laut, Shin terdiam. Theo bicara mewakilinya.

“Kapten, maksudmu wanita cantik yang suka menggoda turis?”

“Bukan, sama sekali bukan itu … hanya saja hewan mentah itu sendiri kelihatan sedikit aneh, itu saja.”

Lena tersenyum, melihat 86 rukun sama Ishmael dan orang-orang Negara-Negara Armada. Tentara Armada Orphan dan penduduk kota semuanya murah hati dan baik. Mungkin itulah sebabnya.

“Ah, nantikan makan malam hari ini, semuanya. Sekarang sedang musim festival, dan kami mensyukuri kedatangan kalian di sini, jadi ibu-ibu tua yang mengelola dapur bersemangat nian memasakkan kalian hidangan besar.”

Ishmael kemudian mengangkat tangan dan melambai, meninggalkan ruang pengarahan. Menghantarkan kepergiannya dengan senyuman, Lena lalu mengamati ruangan, meihat para komandan skuadron Divisi Penyerang dan para perwira staf.

“Baiklah …. Ayo mulai pengarahan kita sendiri.”

Perwira staf intelijen yang sama-sama tersenyum, serta Zashya yang entah kenapa kelihatan tercengnag, langsung memandangnya dengan ekspresi serius. Para 86 tampaknya sedang duduk santai di kursi masing-masing, tidak terlihat gugup. Seperti biasanya. Lena tidak mengindahkan ini dan mengaktifkan layar holonya.

“Pertama-tama, kita punya diagram skematis soal tujuan saat ini, Mirage Spire.”

Tampilan skema tiga dimensi produksi analisis rekaman yang ditangkap kapal pengintai. Bentengnya punya susunan baja jelas, namun entah bagaimana menyerupai mayat makhluk hidup. Dan walau begitu, masih punya skala mengancam sebuah benteng laut.

“Ketinggian menuju puncaknya diperkirakan 120 meter. Terdiri dari tujuh menara, dengan menara pusat yang ditopang enam pilar. Bagian dalamnya dispekulasikan terbagi sekitar sepuluh hingga dua belas lantai. Inti kontrol pangkalan dan Morpho berlokasi di lantai puncak. Untuk menghancurkannya, kita akan mengirim tiga detasemen Juggernaut artileri untuk mengamankan jalan masuk kita.”

Kapasitas beban membuat mereka cuma bisa membawa sebagian pasukan. Kapasitas muat Stella Maris memungkinkan mereka mengangkut seratus lima puluh Juggernaut. Kapal induk besar normalnya membawa helikopter patroli dalam jumlah minimal yang malah dipindahkan ke beberapa kapal perusak lainnya. Walau sudah begitu, jumlah Juggernaut yang dapat diangkut terbatas.

Rencana awalnya adalah pasukan tersisa mereka akan dikirim ke lini depan Negara-Negara Armada, dengan sejumlah kapal menetap di belakang di sisi aman, tapi ….

“Letnan Dua Rito Oriya dan Reki Michihi. Unit kalian wajib tak boleh ke luar daratan, di sana kalian ditempatkan di belakang lini depan ketiga detasemen Juggernaut artileri sebagai kekuatan pertahanan bergerak.”

Rito mengerjap kaget beberapa kali.

“Michihi dan aku bukan bagian pasukan penyerang? Dan apa maksudmu pertahanan bergerak.”

“Kekuatan utama Angkatan Laur Armada Oprhan akan menarik perhatian Mirage Spire. Seketika pertempuran di pangkalan dimulai, ada kemungkinan unit darat Legion akan balas menyerang. Maka dari itu, kalian perlu tetap tinggal bersama sisa pasukan.”

 Michihi dan Rito bertukar pandangan kemudian mengangguk, bibir mereka mengerucut. Jika begitu ….

“Diterima.”

“Akan kami tangani.”

“Ada juga kemungkinan perubahan komposisi dan formasi musuh. Akan kujelaskan tindakan balasannya nanti, jadi tolong sisihkan waktu.”

Vika meliriknya.

“Jadi itu alasan kau meminta amunisi tambahan dari Federasi …. Kau juga akan menempatkan Alkonost di garis pertahanan, ya? Dengan pengecualian para pengintai yang secara pribadi aku arahkan, aku serahkan komandonya ke Zashya, jadi silakan gunakan.”

Karena keterbatasan berat, Juggernaut—yang seluruh segi kemampuan tempurnya lebih tinggi—lebih diprioritaskan ketimbang Alkonost dalam hal penyerangan pangkalan.

“Tentang para Gembala yang kita kejar,” berikutnya Shin bicara, “sedengarku, ada dua. Morpho, dan karena kita asumsikan ini pangkalan gudang senjata, satunya lagi pasti inti komando Weisel. Mereka jauh sekali, jadi aku cuma tahu jumlah mereka di luar sana, bukan posisinya. Di saat kita mendekat, aku harusnya tahu. Kelompok Lerche akan berperan sebagai pengintai, tapi akan kudahului, biar mereka tidak menghalangi.”

Sesudah mendengar penjelasan aslinya, Lena mengingat serangkaian instruksi tertentu dan mengerutkan alis. Itu instruksi membingungkan dan tidak masuk akal dari militer front barat yang Grethe sampaikan kepadanya.

“Kita diinstruksikan menangkap inti kontrol musuh jika bisa untuk menganalisis tujuan mereka, tapi jangan bertindak berlebihan untuk mencapainya …. Bisa kau anggap prioritas rendah.”

Sesaat, Shin anehnya terdiam. Namun sebelum sempat Lena pikirkan, dia mengangguk sedingin biasanya.

“Diterima.”

“Shinei.”

Jendela kamarnya dalam barak menghadirkan pemandangan laut, karena dia akan tidur terus bangun di jam yang ditentukan untuk persiapan operasi. Hari masih larut malam, terlalu dini untuk disebut pagi.

Di luar kesunyian kota tertidur, dia bisa mendengar suara bas konstan deru laut menggapai telinganya. Bisikan bisu, tak seperti ratapan tiada henti Legion. Bahkan tak mencoba mendengar bunyi itu dan suara di baliknya, Shin mengalihkan pandangannya ke pintu, di sana suara tersebut memanggilnya.

“Kau menonton apa? Ada yang menarik di luar sana?”

“Oh …. Tidak, tidak melihat hal yang menarik.”

“Jadi Legion-kah …. Suara Morpho?”

Jauh dari kota tertidur, melampaui deru ombak, adalah suara hantu … Gembala Mirage Spire. Frederica berjalan mendekatinya dengan langkah ringan, mata merah tua merenungnya menatap ke laut jauh.

“Shinei.”

Bahkan kini, Frederica takkan memanggil nama panggilan Shin. Shin tahu itu, entah bagaimana, rasanya semacam peringatan diri yang dia paksakan ke pribadinya sendiri. Biar tak menyamakannya dengan kesatria Kekaisaran yang mirip dengan dirinya, yang Frederica panggil nama panggilannya—Kiri.

“Shinei. Morpho di benteng musuh ….”

Dia berhenti sepintas. Seolah-olah takut mengatakan sisanya.”

“Kiriya-kah?”

“…? Kau lihat?”

Kemampuan Cenayang Frederica memberikannya kekuatan melihat keadaan terkini orang-orang yang dia kenal, walaupun orang itu hantu. Shin balas bertanya, berpikir Frederica sudah tahu jawabannya tanpa perlu bertanya.

Tapi setelah bertanya, dia sadar: Mungkin dia tak sanggup melihat. Dia takut akan kemungkinan dirinya benar-benar melihat Kiriya lagi.

“Bukan kesatriamu,” tukasnya. “Suara dan kata-katanya berbeda.”

Frederica langsung mengangkat kepala.

“Kurasa dia dari kekaisaran, tapi bukan kesatriamu …. Jadi aku tidak tahu itu sumber informasi yang Ernst sebutkan atau tidak.”

“….”

Frederica selanjutnya menunduk sedih. Dia menggigit bibir, terus menatap memohon kembali tepat ke dirinya.

“Shinei, seandainya datang kesempatan itu, pada akhirnya kau harus menggunakanku. Semakin lama waktu berlalu, makin banyak hidup orang tak bersalah direnggut. Dan tak ada yang tahu kapan kehancuran itu mungkin akan memasuki Federasi. Andai itu terjadi, tak ada yang menjamin keselamatanmu. Tapi aku … aku hanyalah pengorbanan kecil, jadi—”

“Tidak.”

“Shinei!” dia meraihnya.

Fisiknya jauh lebih kecil darinya, tentu saja, Frederica hanya bisa mengguncangnya sedikit. Dia paham perasaannya. Seumpama dia dalam posisi Frederica, dia mungkin mengatakan hal serupa … bahkan bertindak sesuai perkataannya. Selayaknya mengira menjadi umpan akan menyelamatkan teman-temannya dua tahun lalu di akhir Misi Pengintaian Khusus.

Jadi dia pikir memahami ketidaksabaran dan tekadnya. Meski begitu ….

“Satu orang boleh jadi pengorbanan kecil …. Mengorbankan minoritas dibenarkan semisal itu demi menyelamatkan mayoritas. Itulah logika yang mereka lemparkan ke kami di Sektor 86.”

Mata Frederica melebar sedikit. Menunduk menghadapnya, Shin lanjut bicara. Dia mengerti keburu-buruan dan kebulatan hatinya.

“Aku tak berpikir mengorbankanmu adalah hal yang benar … aku tak ingin mengulang kesalahan Republik.”

Catatan Kaki:

  1. Moby-Dick adalah judul novel karya penulis Amerika Serikat Herman Melville yang diambil dari julukan seekor paus yang diceritakan di dalamnya. Novel ini amat terkenal dan dapat dianggap sebagai salah satu novel klasik dunia. Karya ini bercerita tentang petualangan sang tokoh (bernama Ishmael) dalam mengikuti pelayaran kapal pemburu paus yang dipimpin oleh seorang kapten obsesif bernama Kapten Ahab. Sang kapten hanya memiliki satu kaki akibat kecelakaan di kala memburu seekor paus yang dijulukinya Moby-Dick. Ia sangat bernafsu melampiaskan dendamnya kepada sang hewan hingga tidak peduli akan keselamatan diri maupun anak buahnya. Cerita berakhir dengan tragedi.
  2. Peony (Paeonia) adalah genus tunggal untuk tanaman hias yang tergolong keluarga Paeoniaceae. Tanaman peony merupakan tanaman rempah yang tergolong tumbuhan tahunan (perenial). Tinggi mulai dari 50 cm hingga 1,5 meter. Tinggi tanaman yang merupakan tumbuhan semak dapat mencapai 2-3 meter. Tanaman berbunga di akhir musim semi sampai awal musim panas. Bunga peony ada yang berbau harum, warnanya bisa merah, merah tua, putih, merah jambu, kuning, atau ungu.
  3. Kelomang atau umang-umang, atau ada pula yang menerjemahkannya sebagai ketam pertapa atau kepiting pertapa, adalah krustasea dekapod dari superfamilia Paguroidea. Sebagian besar dari sekitar 1.100 spesies anggota Paguroidea memiliki perut asimetris, yang tersembunyi dalam cangkang siput laut yang telah kosong yang dibawa-bawa oleh hewan ini. Sebutannya dalam bahasa Inggris, hermit crab (ketam pertapa) konon diperoleh karena perilakunya yang gemar mengembara dan kebiasaannya hidup sendiri di ‘rumah’nya.
  4. Catwalk adalah jembatan yang menghubungkan dermaga untuk menuju dolphin/mooring dolphin dari dermaga. Catwalk digunakan petugas kepil untuk menuju bolder yang terletak di dolphin pada saat kapal akan sandar dan pada saat kapal mulai berlayar. Kalau dermaga digunakan sepanjang hari (24 jam), catwalk dilengkapi dengan lampu penerangan, pagar pengaman untuk melindungi petugas kepil tidak terjatuh ke laut pada saat menuju dolphin.
  5. Kepala boneka (figurehead) merupakan ukiran yang terbuat dari kayu biasanya berbentuk ornamen patung wanita atau binatang. Ornamen ini ditemukan pada bagian ujung kapal pada abad 16 sampai dnegan abad 19. Pembuatan Figurehead dimulai pada Galeon (kapal perang) di abad 16 meskipun pada kapal-kapal sebelumnya telah ditemukan juga ornamentasi lainnya. Figurehead diukir dari kayu yang keras dan diletakan diujung kapal yang dipercaya dapat meningkatkan kualitas pelayaran. Pada abad 17 Figurehead yang dibuat semakin kecil dan semakin ringan. Di German, Belgia dan Belanda sangat diyakini bahwa semangat dalam berlayar tersirat pada Figurehead. Semangat tersebut akan melindungi kapal dari penyakit, karang, badai dan ombak yang berbahaya.

Share this post on:
Subscribe
Notify of
guest
2 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Rangga

Kasihan frederica

Lekmaa

Hmmn..