Share this post on:

Bab 1

Senapan di Kastel Tinggi

 

Penerjemah: Mettaton

Konon katanya pelatihan takkan pernah bisa dibandingkan pengalaman tempur langsung. Meskipun ada benarnya, sebuah unit yang khusus dilibatkan pertempuran nyata akan mendapati kinerjanya berkurang dalam jangka panjang. Seorang prajurit tak mampu menunjukkan keahlian penuh mereka di medan perang tanpa latihan. Edukasi dan pelatihan tepat sangat penting demi kesuksesan, entah itu keahlian perorangan atau taktik unit.

Lantas Divisi Penyerang 86 mendapati diri mereka berada di tempat latihan pangkalan Rüstkammer. Landasan manuver ini secara akurat dibangun berbentuk front barat Federasi; campuran daerah berhutan dan area perkotaan. Daerah berhutannya adalah hutan asli. Area perkotaannya dibangun di atas daerah digunduli dan dimodelkan sebagaimana kota benteng militer Kekaisaran lama.

Di salah satu bagian landasan manuver ini adalah perancah logam sebuah bangunan yang baru didirikan, yang mana menjadi medan perang berikutnya Divisi Penyerang Divisi Lapis Baja Ke-1. Balok logam tersebut cukup lebar untuk menopang ukuran dan berat Juggernaut. Diatur dengan pola geometris teratur.

Dua senjata lapis baja polipedal berlari melintasi jala balok vertikal dan horizontal ini. Tanda Pribadi mereka adalah kerangka tanpa kepala memanggul sekop serta dua senapan bersilangan—Undertaker-nya Shin dan Anna Maria-nya Olivia. Olivia dikerahkan ke Divisi Penyerang sebagai instruktur latihan dari Aliansi Wald.

Kedua unit bersaing mencari posisi menguntungkan dan saling menjatuhkan kapan pun setiap kali ada yang unggul. Pertempuran terlampau cepat yang keduanya saling mendorong elemen-elemen unit mereka—yang mana masing-masing unitnya dikembangkan untuk pertempuran mobilitas tinggi—hingga batas maksimal kinerja.

Latih tanding satu lawan satu, dengan Olivia yang berperan sebagai lawan dugaan. Kokpit Feldreß biasanya menekankan kemampuan bertahan alih-alih kenyamanan, menjadikannya cukup sempit. Tetapi perihal Stollenwurm, ciri ini mencolok. Eksoskeleton pribadi memakan banyak ruang kecil di dalam kokpit. Kokpitnya tak punya layar optik, sehingga memproyeksikan informasi optiknya langsung ke retina pilot.

Namun Olivia tidak mengejar Undertaker dengan penglihatan fisiknya melainkan penglihatan masa depan.

Penglihatan masa depan. Keluarga kerajaan yang menyatukan wilayah pegunungan dan para bangsawan wilayah-wilayah kecil yang membangun domainnya seluruhnya gagal menjaga kemurnian garis keturunan mereka, hanya satu klan di Aliansi Wald yang mempertahankan kekuatan ekstrasensorik ini.

Soal Olivia, dia bisa melihat banter-banternya tiga detik masa depan langsung dirinya. Cakupan kekuatannya tergantung fenomena masa depan, tetapi bisa meluas hingga beberapa puluh meter. Dia hanya bisa melihat masa depan ketika mengaktifkan kekuatannya—klannya gambarkan sebagai membuka mata seseorang—dan kemampuannya takkan otomatis aktif meski dalam ancaman.

Ini bukan sesuatu yang Olivia dapat bagikan dengan orang luar klan, tetapi kenyataannya kekuatan ekstrasensorik ini tak semembantu kata orang. Menggunakannya terus-menerus sangat melelahkannya, dan dia tidak mampu membuka matanya sepanjang waktu selama operasi.

Tetap saja, entah melawan manusia atau Legion, Olivia jarang kalah. Setidaknya, begitulah yang dia pikirkan. Tiga detik pandangan menuju masa depan ….

Mengetahui apa yang ‘kan dilakukan unit musuh tiga detik ke depan adalah keuntungan taktis luar biasa.

Tapi Shin sanggup mengimbanginya dengan pandangan masa depan alam bawah sadar yang diberikan pengalaman tempur luas serta kecepatan reaksi manusia supernya. Ibaratnya dia bisa mencium bau darah sebelum ditumpahkan. Dia punya kesadaran akan intuisi tak terjelaskan, layaknya indra keenam yang sedang aktif.

Satu tebasan menuju Olivia. Karena ini sesi latihan, bilah frekuensi tinggi tak disetel gemetar, tapi jika ini pertempuran nyata, Olivia takkan bisa menahannya dengan bilah lain. Sebab tidak disetel, dia tangkis dengan pukulan horizontal lanset frekuensi tinggi tak aktifnya. Dia tidak bisa menutup matanya. Bila tidak konstan melihat masa depan, dia bukan tandingan Shin.

Menggunakan momentum serangan dibelokkannya, Shin mengubah lintasan pedangnya menjadi tebasan diagonal. Melihat Anna Maria bermaksud melompat menjauh, Shin paksa kaki kanan depan unitnya melangkah ekstra, memperluas jangkauan serangan.

Olivia batalkan lompatan mundurnya yang ternyata cuma tipuan, lalu menghindar ke samping. Memanfaatkan kakinya sebagai poros, Undertaker berputar, menambah panjang tebasan horizontalnya. Seluruh gerakan ini intensnya sasmpai-sampai membuat Reginleif yang dibuat untuk manuver mobilitas tinggi, memekik protes. Keahlian Shin memungkinkan gerakan transenden seperti itu.

Akan tetapi ….

Mereka berbentrokan berpuluh-puluh kali, berdiri cukup dekat hingga merasakan napas satu sama lain. Setelah lama sekali bertarung dengan konsentrasi tinggi yang menghabiskan persepsi waktu seseorang, Undertaker-lah yang pertama berhenti. Momen tunggal singkat yang seseorang lewatkan sewaktu mengisi paru-paru dengan udara segar.

Itulah pembukaan yang Olivia tunggu-tunggu.

Anna Maria menyerbu maju, menabrak Undertaker dari jarak dekat. Kedua unit tersebut terlempar di antara balok perancah, jatuh ke bawah. Umur Shin delapan belas tahun muda; dia masih remaja, meski mendekati akhir masanya. Tubuhnya belum matang sepenuhnya. Dalam hal kekuatan fisik dan stamina, seorang pria dewasa seperti Olivia punya keunggulan.

Kedua Feldreß mereka jatuh satu lantai, anggota badan mereka saling menjerat. Mereka jatuh ke tanah sebagaimana dua hewan saling mengiggit. Dikarenakan Olivia memainkan peran musuh dugaan, dia tak terhubung dengan Shin lewat radio atau Para-RAID. Namun seketika dampak serangannya mengeluarkan seluruh udara dari paru-paru pilotnya, Undertaker nampak kaku kesakitan.

Tetapi segera setelah itu dia mengayunkan kaki panjangnya bak hendak menyerang lawan, mendesak Anna Maria untuk mengelak dengan melompat mundur. Kaki Reginleif dilengkapi pemancang sebagai persenjataan tetap. Olivia perkirakan jika kokpitnya kena serangan langsung pemancang tersebut maka unitnya akan mati di tempat.

Undertaker melompat menjaga jarak, menggunakan keempat kakinya untuk melompat mundur. Shin barangkali ingin menciptakan ruang antara dirinya dan Olivia sementara kerusakan serangan itu masih memengaruhi unitnya, lebih memilih bertarung dari jauh menggunakan meriam 88 mm-nya. Tapi ….

“—takkan kubiarkan.”

Gerakan Shin lambat. Bagaimanapun, dia masih terpengaruh dampak serangan Anna Maria.

Lompatan Undertaker lamban, Shin yang keahlian dan intensitasnya berkurang membuat Olivia mudah menangkapnya dalam pandangan.

Pelatuk.

Meriam 105 mm Anna Maria meraung bagaikan hewan buas seketika melepaskan laser tak terlihat. Sebab ini bukan latihan langsung, meriamnya menembak laser pelacakan udara dan artileri, tetapi tembakan yang dilepaskan dan suara meriamnya dibuat mensimulasikan tembakan meriam asli. Tembakannya memenuhi bidang pandang Anna Maria, dan gemuruh meriam menenggelamkan suara mesin unit musuh.

Olivia mengalihkan perhatiannya ke layar radar, kemudian mendapati kerlip Undertaker tidak ada. Rupanya, tembakan itu cuma mengenai kaki ….

Olivia membuka matanya, memastikan posisi Undertaker tiga detik ke depan dan mengarahkan meriam Anna Maria ke posisi itu. Nyala api menghilang, dan sewaktu dia mengembalikan tatapannya ke masa kini, bayangan putih unit musuh berada di tengah pandangannya.

Kaki kanan depan Undertaker rusak dan tak bergerak. Kendatipun sebagian mobilitasnya hilang, meriam 88 mm-nya masih difokuskan ke Anna Maria … dan kanopi unitnya tetap terbuka. Shin tidak di dalam.

… dia kabur.

Olivia melihat sekeliling, menemukan dirinya bersembunyi di balik struktur batu yang sudah runtuh gara-gara sesi pelatihan berbulan-bulan. Satu lutunya ditempelkan ke tanah, dengan senapan serbu diarahkan ke Anna Maria. Larasnya diwarnai biru—penanda senjata tanpa peluru di latihan manuver.

Karena Olivia memainkan peran lawan dugaan dalam skenario ini, dia pada dasarnya menjadi Legion. Dan sebab Legion tak mengambil tahanan, Shin membuang unit rusaknya tetapi membuat keputusan benar dengan tak menyerah.

Tapi karena ini latihan, tidak usah melanjutkan pertempuran setelah ini. Lebih tepatnya, bertarung lebih lama hanya akan menghasilkan luka tak perlu. Olivia menutup matanya dan bersiap-siap mengumumkan situasinya telah selesai.

Tapi sebelum sempat melakukannya, Shin menembak.

Tentu saja, senjatanya kosong, dan senapan serbu tak efektif melawan sebagian besar tipe Legion. Sensor di lapis baja depan Anna Maria mendeteksi laser pelacak yang mengenai unit namun menilai unitnya tidak rusak.

Tetapi detik berikutnya, sebuah alarm memberi tahu bahwa unitnya tengah dibidik … oleh Undertaker?!

“Apa …?!”

Prekognisi Olivia dinonaktifkan, lantas dia tak mampu lagi melihat masa depan. Kejadian kelanjutan ini sangat mengejutkannya. Walaupun kokpitnya kosong, turet tank 88 mm Undertaker memancarkan laser pengenal balistiknya. Lapis baja samping Anna Maria mendeteksi selongsong PLBTSLS (penembus lapis baja terstabilkan sirip lepas-sabot) menabrak.

Pertama kali dalam duelnya melawan Shin, sebuah notifikasi memenuhi gambar yang diproyeksikan ke retina Olivia yang memberi tahu kalau unitnya mengalami kerusakan melumpuhkan.

“Itu sedikit …. Tidak, itu sangat tidak adil, tapi ….”

Tempat manuver ini disiapkan terburu-buru untuk misi berikutnya, jadi tidak besar-besar amat. Mereka mengosongkan halaman demi digunakan unit selanjutnya dan pindah ke tenda untuk pembekalan. Begitu masuk tenda, Olivia bicara demikian ke Shin.

“Akhirnya aku menemukan cara mengecoh kemampuanmu, Kapten,” kata Shin.

“Kau sudah mati betulan jika ini pertempuran nyata.” Olivia menggeleng kepala, menatap Shin. “Kau tahu aku akan berhenti meskipun kau masih hidup karena ini latihan ….”

Shin meninggalkan kesan tenang dan datar yang teramat kontras akan semangat pantang menyerah kekanakannya.

“Kau benaran pecundang emosian, ya? Kau masih dendam sama kejadian sesi pelatihan pertama di Aliansi?” tanya Olivia.

“Kau waktu itu tidak serius, Kapten. Kau mengenakan seragam lapangan alih-alih setelan penerbang lapis bajamu … aku akui tidak merasa cocok dengan itu.”

“Oh …. Yah, waktu itu, Nenek tahu-tahu datang dan menyuruhku berduel sama Feldreß Federasi.”

Nenek itu adalah Letnan Jenderal Bel Aegis, komandan tentara pertahanan utara Aliansi Wald.

“Yah, karena kau telah membalasku, bagaimana kalau mengungkap trikmu?” lanjut Olivia. “Tentu saja, akan berbeda seumpama menjawab takkan kau ungkapkan kecuali kalah dariku dan mati.”

Shin mengangkat bahu sambil tersenyum paksa.

“Sayangnya, itu … salah satu mode penembakan baterai utama. Mode itu menggunakan rekaman suara eksternal sebuah tembakan yang dilancarkan begitu pelatuk senjatanya ditarik. Mendapati suara yang terdaftar adalah suara tembakan pistol dan senapan mesin, kurasa dirancang mengikuti situasi di mana pilotnya terpaksa meninggalkan Feldreß mereka dan mengandalkan senjata api biasa.”

“Feldreß-nya Federasi dilengkapi fitur semacam itu? Tidak ….”

Olviia berhenti lalu menggeleng kepala. Pengaturan mode penembakan suara eksternal tersebut kemungkinanya ditambahkan karena ….

“Bisa jadi Reginleif saja. Pengaturan itu tak berguna di pertempuran normal.”

Pertempuran Feldreß adalah sesuatu yang memekakkan telinga. Menyertakan deru tembakan meriam, bahan peledak tinggi, lolongan paket daya, juga suara tembakan senapan mesin berat infanteri lapis baja dan teriakan-teriakan. Suara tembakan senapan mesin menggelegar dibandingkan suara manusia, namun di medan perang semacam itu, akan mudah disenyapkan.

Bahkan dalam sesi latihan seperti ini, fitur itu takkan punya banyak faedah terkecuali dipenuhinya sejumlah syarat sangat khusus.

“Ditambahkan sebab aku pernah berada di situasi serupa … tetapi aku tak pernah benar-benar menggunakan fitur itu sebelumnya. Tidak saat latihan atau pertempuran langsung.”

“Kubayangkan tak kau gunakan. Meski begitu, kau membawa fitur yang sulit digunakan begitu cuma untuk mengungguliku. Kau ini pecundang emosian, tahu?”

“Aku asumsikan kemampuanmu tak berfungsi jika tidak secara aktif mencoba melihat masa depan, jadi aku mencoba memanfaatkannya.”

Senyum Olivia mendadak menghilang. Fakta dirinya tidak dapat melihat masa depan semisal tidak aktif melakukannya adalah sesuatu yang tak dia beri tahu orang luar klan. Berlaku kepada Shin dan 86 lain pula, biarpun mereka rekan-rekan di unit yang sama.

“… apa dasar pemikiranmu?”

“Tidak ada yang lebih ahli darimu selama pelatihan, aku termasuk. Tapi saat waktu istrirahat, kau tersentak saat TP menerkammu dan nyaris menabrak Frederica di lorong sekali …. Membuatku berpikir kau tidak senantiasa melihat masa depan, bahkan sebelum kau kedapatan masalah.”

Olivia mengangkat tangan tanpa bicara.

“Tidak bisa bilang banyak, tapi …. Pendapat yang bagus. Kendati begitu ….” Kemudian dia nyengir. “Kalau saja kau bisa seberani dan sejeli itu soal Kolonel Milizé.”

Shin menegang kaget.

“… aku tidak yakin maksudmu apa.”

“Oh, kalau begitu boleh kujelaskan?” kata Olivia, senyumnya makin-makin. “Malam itu, kau kelihatan depresi.”

Shin menelan ludah gugup terhadap topik pembicaraan yang tak henti-henti menghantuinya. Malam itu. Shin menyatakan perasaannya ke Lena yang membalasnya dengan kecupan, kemudian entah apa alasannya, dia lari. Shin waktu itu amat bingung, dan depresi datang setelahnya.

Dia pikir Lena merasa sama. Dia mau menjelaskan bagaimana kecupan tersebut? Tapi Shin tidak menjamin ini bukan hanya angan-angannya sendiri, dan misalkan dia merasa sama, lantas kenapa kabur? Tetapi jika tak punya perasaan sama, kenapa juga Lena mengecupnya …?

Alhasil, pikirannya berputar-putar, dan dia terus murung malam itu. Semua orang menyadari penurunan suasana hatinya tentu saja. Raiden, Theo, Vika, Dustin, Marcel … dan tentu saja, Olivia. Lebih tepatnya, mereka semua membawanya ke bar yang dibangun di halaman hotel selanjutnya mencoba memulihkannya dari syok.

Kebetulan setelah melarikan diri, Lena lari ke Annette sambil menangis-nangis. Annette yang merasa jengkel, akhirnya meninggalkannya di bar. Gadis-gadis lain pun melihatnya—Anju, Kurena, Shiden, Grethe, bahkan kepala staf. Rito dan Frederica terlalu muda buat masuk bar, jadi mereka Beresonansi sama semua orang sembari mengkritik Lena dengan sarkasme.

Yang artinya, semua kenalan mereka tahu.

Keesokan harinya, mereka berdua entah bagaimana menenangkan diri. Shin sadar Lena lari karena bingung oleh pernyataan mendadaknya, dan dia putuskan menunggu responnya.

Peliknya … sementara paham Lena sibuk oleh tugasnya sebagai komandan taktis sebab libur mereka berakhir … Shin bisa jadi, kemungkinannya, merasa kesal gara-gara satu bulan berlalu namun Lena masih belum menyelesaikan urusan itu.

Memangnya sekarang waktu yang tepat untuk menggalaukannya …?

Melihat Shin yang tak sadar dia sudah kelewat galau, Olivia tersenyum paksa.

“Aku masih perlu menangani pelatihan Divisi Lapis Baja Ke-2, jadi aku tidak bisa bergabung denganmu di pengerahan selanjutnya. Tapi demi Tuhan, tangani ini saat kau kembali.”

“Jika Anda memperkenankan, Kapten? Tutup mulut,” ludah Shin, matanya menyipit.

“Yah, maaf soal itu, Kapten Nouzen.”

Ucap Olivia, menyeringai tenang.

Latih tanding antar Feldreß dilangsungkan di lahan manuver. Derit keras paket daya, dentang kaki logam yang menggali tanah, beserta gemuruh turet 88 mm memenuhi tempat tersebut.

Tempat sempurna untuk percakapan rahasia.

Tidak mengajak Shin yang keberadaannya menarik perhatian orang-orang yang entah berpengaruh baik atau buruk padanya, dalam tenda, Raiden dengan tiga orang lain berkumpul di tempat berbeda.

“… peperangan mungkin berakhir,” kata Anju, sembari mendekatkan sebotol air minum ke bibirnya.

“Jujur, aku tak pernah percaya akan tiba hari kita bisa mengatakannya,” tutur Raiden.

Akhir Perang Legion. Apabila mereka dapat informasi yang dibutuhkan dan menemukan eksistensi markas besar tersembunyi, bisa saja berakhir. Dihadapkan fakta yang disuguhkan di depannya, Raiden diselimuti perasaan tak percaya memusingkan.

Perang sudah ada semenjak dia masih bayi. Bagian hidupnya yang tidak berubah sebagaimana udara yang dihirupnya dan matahari yang menyinarinya. Dan mungkin saja akan … berakhir?

“Kita harus melakukan apa misalkan berakhir?” Anju bertanya-tanya dengan sedikit keceriaan di suaranya. “Menurutmu nasib kita bagaimana?”

“Mm. Seriusan, siapa yang tahu?” Theo memiringkan kepala bingung. “Aku tidak bisa benar-benar bayangkan. Tapi hei, bagus buat Shin, ‘kan? Dia bilang mau menunjukkan Lena laut, dan sekarang itu akan terjadi.”

“Aku ingin menunjukkanmu laut.” Kurena menutup mata sambil tersenyum lembut ketika mengucapkannya seakan-akan bait suatu puisi agung. “Iya. Kuharap itu terjadi.”

Satu bulan lalu di bar, Raiden mendengar Shin keceplosan kalau dirinya akan mengungkapkan perasaannya ke Lena di bawah kembang api. Raiden menyampaikannya ke Kurena, Theo, dan Anju.

“… iya.”

Lena berakhir mengacaukan segalanya waktu itu, tapi, yah … Shin akan baik-baik saja sekarang. Kecuali ….

“Aku tidak suka ini sama seperti Shin,” tukas Raiden. “aku tidak mau menyuruh Frederica bila tak perlu.”

Membuatnya memikul takdir Federasi … takdir umat manusia. Memegang teguh keajaiban yang muncul entah dari mana …. Bagaimana bisa mereka berkata telah bertarung sampai titik darah terakhir jika inilah cara yang mereka pilih untuk mengakhiri perang?

Sekalipun demikian, mengabaikan rentetan nonaktif dan mencoba memusnahkan Legion dengan serangan paksa bukan ide yang tepat pula. Hanya menghasilkan kematian tak terhitung yang tidak terhindari.

“Betul. Kita tidak boleh membiarkan Frederica melakukan ini sendirian—” bisik Kurena. “Tapi bukan berarti aku mau dengan sintingnya menyerbu barisan musuh padahal nyaris tidak kuat menghancurkan pangkalan mereka. Aku sudah muak bersusah-susah. Masa bodoh dengan kematian semacam itu. Tapi … akankah ini sungguh-sungguh mengakhiri perang?”

Sebuah mukjizat barusan turun secara tak terduga …. Nada suara Kurena terdengar ragu. Bagaimana kalau semua itu suatu trik akbar?

“Mungkin kita takkan menemukan markas tersembunyi itu. Bisa saja Legion takkan mendengarkan perintah Frederica. Boleh jadi semua ini adalah jebakan yang dibuat tuh Zeene untuk … err, membodohi Shin. Jadi kurasa maksudku adalah, siapa yang tahu ini akan betul-betul berjalan baik atau tidak …?”

Raiden mengerutkan alis. Kurena baru saja menyebutkan semua keraguannya. Tapi tetap saja, Shin, Ernst, dan para petinggi Federasi pastinya juga telah mempertimbangkan itu. Namun cara Kurena mengatakannya ….

Theo membuka bibir, nyengir seolah-olah bilang mereka tak punya pilihan.

“Kurena … kedengarannya hampir kayak kau tidak mau peperangan berakhir.”

Kurena tak ingin menatapnya, terlihat setidak berdaya anak tersesat.

“… bukan itu.”

Kembali setelah satu bulan di pusat pelatihan dekat Sankt Jeder alih-alih pangkalan Rüstkammer, Lena melewati pintu masuk seraya membawa koper bermodel tua.

Selagi Shin dan Divisi Lapis Baja Ke-1 Divisi Penyerang tengah menjalani masa pelatihan mereka selama sebulan terakhir, Lena mengenyam kurikulum Federasi sebagai komandan taktis mereka. Kembali ke pangkalannya terasa bagaikan pulang ke rumah, tetapi masih merupakan pangkalan milik unit khusus terlampau rahasia.

Dia tunjukkan Kartu Pengenalnya di gerbang yang kemudian terbuka. Dia percayakan barang bawaannya ke Fido yang ternyata menjadi porter di sana, lalu mulai melihat sekeliling dengan gugup.

Sudah satu bulan sejak malam pesta dansa Aliansi … ketika Shin mengakui perasaannya di bawah kembang api … dan dia masih belum memberikan jawaban. Terlepas semua waktu itu, dia masih teramat-amat takut mengatakannya.

Sesungguhnya dia habiskan sepanjang perjalanan pulang dari Aliansi dengan kabur darinya, tak berani menghadapnya. Sekiranya hanya itu, masih bisa diterima. Namun dirinya yang lekas mengambil kurikulum komandan begitu kembali ke pangkalan? Mungkin itu sangat buruk.

Dikarenakan kesalahan komunikasi, Lena menyadari—dengan sangat terlambat—bahwa dirinya akan mengikuti kurikulum yang dimulai di pagi dua hari setelah kembalinya. Cuma punya sedikit waktu untuk bicara dengan Shin, ditambah pusat pelatihan jauh sekali dari pangkalan jika ingin bicara di Rüstkammer.

Maka dari itu, dia belum menjawab selama lebih dari sebulan. Bahkan harus dia akui tiada dalih di seantero dunia yang bisa mempertahankannya dalam situasi ini.

Dia mendengar langkah kaki di halaman—persisnya, semak belukar hutan gundul—mendekatinya kemudian berhenti.

“Selamat datang kembali, Lena.”

“Senang bertemu denganmu, Baginda.”

“Halo, Annette. Shiden …. Anu.”

Annette muncul selagi mengenakan jas lab, dan Shiden memakai setelan penerbang, ibaratnya baru selesai berlatih. Lena melihat sekitar dengan gelisah …. Hanya mereka berdua. Shin tak ada.

Kendatipun Lena barusan memeriksa dia ada atau tidak …. Biarpun sebagian dirinya lega tidak harus melihatnya … fakta Shin tak datang menemuinya masih meresahkannya.

“Shin sedang apa sekarang …?”

“Aku tidak peduliiiii,” kata Annette, dengangalak memandang ke arah lain.

“Annette …?!”

“Padahal persiapannya sudah sebesar itu. Setelah begitu lama melarikan diri kayak ayam, Shin akhirnya nembak. Dan kau tidak menjawab. Kau kabur terus sembunyi. Jadi. Bodo. Amat.” Annette menekankan kata-katanya, cemberut mirip anak kecil.

“Dengar, aku sangat-sangat minta maaf soal itu. Jadi tolong jangan bilang begitu …!”

Annette tak bersedia mendengar, jadi Lena beralih menghadap Shiden mencari bantuan.

“Shiden.”

“Lihat ‘kan, sudah kukasih tahu. Kau harusnya menyelinap ke kamar Pencabut Nyawa malam itu dan menerkamnya. Atau bisa kau lakukan saat balik ke pangkalan. Sebetulnya, akan lebih mudah di sini. Shin punya kamar sendiri.”

“A-aku tidak bisa melakukannya …!”

“Bukannya itu keterlaluan gegabah?” timpal Annette. “Maksudku, hotel sih boleh, tapi di sini dindingnya tipis. Para Prosesor di sebelah takkan bisa tidur.”

“Dindingnya malah lebih tipis di barak Sektor 86. Jadi sekarang takkan ada yang peduli.”

“Oh … jadi begitu.” Annette melemaskan bahu lelah.

Sehabis itu mengajukan pertanyaan lanjutan, ibarat menyadari sesuatu. Sekarang takkan ada yang peduli?

“Apa itu artinya …?”

“Mm?”

“… lupakan.”

Kalau Annette mendengar kebenarannya, dia barangkali terlalu sibuk dengan kebisingan lantai bawah.

“J-jadi haruskah aku ke kamarnya?” tanya Lena, ekspresinya tersiksa.

“… kalau punya nyali, sekalian saja jawab pernyataan cintanya.”

“Dan kalau mau kau jawab, cepat-cepat sana. Pencabut Nyawa Kecil lagi sibuk antara menyambut staf baru dan pertemuan regulernya sama Zelene. Baru-baru ini dia sering pergi ke markas besar terpadu. Sesuatu perkara petinggi angkatan darat yang bekerja sama untuk mengontrol kemampuannya …. Ngomong-ngomong, kau mau ikut? Transportasinya cukup berisik, tapi kau bisa jawab di sana.”

“Y-yah, aku, uh … belum siap ….”

Annette dan Shiden mendesah putus asa. Fido yang berdiri di dekat mereka, mengeluarkan suara bip-bip yang barangkali upayanya untuk menghibur atau menyemangati.

 

Ψ

 

Suatu ketika, pikiran tentang superioritas rasial merajalela, menyebabkan kaum 86 dikurung dalam kamp-kamp konsentrasi. Tapi di Republik pun, di tempat diskriminasi ditegaskan sebagai hal positif, ada orang-orang yang menolak mematuhi idealisme keliru itu.

Beberapa melindungi Colorata di rumah mereka. Ada yang tetap tinggal di Sektor 86. Memang, ada Alba yang mencoba menyelamatkan 86 semampu mereka. Kebanyakan 86 dikhianati pihak berwenang atau mati di medan perang, sebagian besarnya menemui ajal di Sektor 86. Tambah lagi mayoritas warga Republik dibantai di serangan skala besar.

Reuni antara 86 dan sedikit Alba yang mencoba melindungi mereka semestinya jarang-jarang. Namun ….

“Raiden …! Ooh, aku bersyukur sekali kau masih hidup …!”

“Hei, Nek,” Raiden menyapa wanita tua tersebut. “Senang melihat Nenek masih hidup.”

Aula masuk markas besar front barat Federasi punya desain interior yang tak berguna. Melihat wanita tua itu memeluknya sambil menangis-nangis dengan latar tempat ini, Raiden tersenyum masam.

Kepala nenek itu lebih rendah dari ingatannya. Dia makin tua, tapi tetap nenek yang diingatnya. Meski kamp konsentrasi didirikan, nenek ini adalah guru sekolah yang melindungi Raiden serta teman-teman Coloratanya.

Tatkala militer Federasi tiba untuk membantu Republik, Raiden sudah memberi tahu mereka mengenainya dan meminta apakah bisa mencarikannya. Namun karena keadaan kacau negara sebab pada dasarnya dihancurkan, mereka tidak bisa menemukannya secepat itu. Butuh waktu lebih dari satu tahun untuk mengetahui keberadaannya.

Barangkali tentara Federasi sendiri perlu waktu untuk memulihkan diri dari dampak besar serangan skala besar, lantas mencari orang hilang tak termasuk daftar prioritas.

Tetapi Raiden yang segan mengakuinya, seluruh pikiran ini cuma pelarian. Karena tidak jauh dari reuni menyentuh itu, ada ….

“Shin …! Oh, syukurlah, kau masih hidup …!”

“P-Pendeta …. Nanti hancur. Tulang rusuk sama tulang belakangku, nanti pendeta hancurkan ….”

Seorang pria berambut putih dengan pakaian pendeta memeluk erat-erat Shin. Dia seorang pria beruang raksasa, otot-otot menonjolnya memenuhi jubahnya. Dia peluk erat-erat Shin. Pemandangan cukup mengejutkan itu menjadikan Raiden tak dapat fokus pada nostalgia reuninya sendiri.

Raiden asumsikan dialah pendeta Alba yang menjaga Shin dan kakaknya di kamp konsentrasi. Jelas saja, ini bukan yang seperti Raiden bayangkan. Dia menerka-nerka pendeta itu seorang pria tua kurus dan suci, bukan seseorang yang kelihatannya bisa menghajar Ameise sampai mampus. Contohnya, menggunakan sekop.

Raiden tidak mau mengganggu reuni mereka. Atau tepatnya, takut melakukannya. Atas desakan insting pertahanan dirinya, Raiden mengalihkan pandangan dari mereka berdua.

“Ya ampun, aku senang sekali dengan Letnan Satu Shuga dan Kapten Nouzen.”

“Kedua tamu akan menjadi bagian pangkalan ini sebagai pendeta militer juga staf pengajar tambahan, sehingga mereka bisa menemui keduanya kapan pun seingin mereka …. Tapi sungguh, mereka terlihat sangat bahagia.”

“… kau bermaksud bilang padaku kalau kata-kata tadi tulus kau katakan di momen-momen seperti ini …?!”

Seketika Bernholdt mengangguk berlebihan dan Grethe pura-pura menyeka air mata dengan sapu tangan, Frederica menyaksikan reuni dengan mata ngeri. Mereka berdua mengabaikan reaksinya dan terus pura-pura seakan tengah mengawasi situasi.

Para penonton tidak ingin terlibat.

“Meski tak mendapat pelatihan tepat, kapten selalu berpengetahuan baik bagi seorang 86 dan tahu cara menggunakan pistol serta senapan sebru. Aku selalu bertanya-tanya alasannya, tapi kalau walinya pendeta sepertinya, kurasa mengerti.”

“Rupanya pendeta tua itu dulunya seorang prajurit dari tentara nasional Republik.”

Diduga, pendeta itu menyadari bahwa kekejaman mungkin cara membela diri, tetapi bukan cara untuk menyelamatkan siapa pun, jadi dia tinggalkan kehidupan militernya dan beralih ke jalan Tuhan.

“Ah, begitu.” Bernholdt mengangguk sungguh-sungguh walau tak mengerti sama sekali.

“… itu menjelaskan beberapa hal tentang Shin.”

Menyadari bagaimana Shin sanggup mengalahkan Raiden dan merobohkan Daiya terlepas fisik lebih besar mereka, Anju melihat reuni lucu … lebih tepatnya, menghangatkan hati dengan pendeta.

“Kurasa Shin punya darah kekaisaran, jadi hidup di kamp konsentrasi teramat-amat sulit baginya. Dia harus belajar cara membela diri ….”

Cepat atau lambat 86 ditakdirkan direkrut, dan orang-orang keturunan keluarga bangsawan Kekaisaran Giad sangat didiskriminasi oleh sesama 86. Mengajari Shin cara bertarung kemungkinan besar cara pendeta itu membesarkan Shin dengan kasih sayang.

Shiden berdiri di sebelah Anju, memerhatikan Shin dan pendeta itu dengan mata syok.

“Iya, tapi mengajarinya cara membunuh orang? Apa sih yang ada di kepala tuh pendeta …? Kalau aku kurang beruntung, Pencabut Nyawa Kecil bakalan membunuhku saat pertama kali bertarung.”

“Tapi dia tidak lakukan, jadi tak apa. Percaya atau tidak, dia masih menahan diri.”

“Kurasa ….” Shiden mengangguk.

Anju menatap sekilas. Shiden dan Shin berhubungan baik seperti halnya kucing-anjing, tapi kendati begitu, Shin takkan sekuat tenaga melawan seorang wanita. Shiden mengetahui ini, namun dia takkan berlindung di balik jenis kelaminnya. Anju merenungkan kalau ini mungkin semacam kesepakatan terhormat tak terucapkan antara mereka berdua. Mereka pada dasarnya tidak terlalu membenci satu sama lain.

“Lagian, jika kau mati, dia tak lagi merisaukan seranganmu lagi. Itu pertahanan terbaiknya, bukan?”

“Kau pikir itu masalahnya …? Oh.”

“Ah, Shin kelihatannya mau pingsan.”

Frederica yang setengah menangis bergegas mendekat bersama Grethe yang akhirnya memutuskan sudah waktunya mereka campur tangan. Dua orang itu memisahkan pendeta tua dari Shin yang nampaknya akan pingsan.

Selagi entah bagaimana melihatnya, Shiden tiba-tiba menoleh ke Anju dengan mata keperakannya yang seputih salju.

“Bukannya kau punya orang tua juga, Anju? Di Republik?”

“Ayahku barangkali masih hidup, tapi ….” Anju terdiam, terus mengangkat bahu. Sikapnya tenang biasa tapi entah apa membuat Theo terlihat lega.

“Aku tidak terlalu ingin menemuinya …. Atau, yah, kurasa tidak jadi soal bertemu dirinya atau tidak. Entah hidup atau mati, begitu.”

Anju tidak sungguh-sungguh ingin dia hidup, tidak pula mengharapkan kematiannya. Dan bukan juga karena Anju tak mau mengingatnya. Dia tak benci atau bukannya tak terlalu suka membicarakan ayahnya, plus bukan topik sensitif yang orang-orang kira. Dia semata-mata menganggapnya orang asing.

Menurutmu kami kekurangan faktor apa biar bisa menjadi seperti kalian?

Pertanyaan yang Anju ajukan pada Dustin di Kerajaan Bersatu. Kala Dustin tidak seterguncang orang-orang lain terhadap pemandangan kematian para Sirin, ketika dia tak mempertanyakan cara hidupnya.

Kilas balik, bukan berarti Anju kekurangan sesuatu. Lebih ke ….

Anju tersenyum tipis, bergumam sendiri. Walau tahu ini, persoalannya masih rumit. Tapi ….

“… aku harus memakai gaun dengan punggung terbuka. Atau bikini.”

“… begitu. Jadi kau mengubur Rei.”

“Iya.”

Bicara dengan walinya, pendeta, Shin merasa seolah dia kembali jadi anak kecil lagi. Selain dirinya dan Lena, pendeta adalah satu-satunya orang yang kenal Rei pas dia masih hidup. Dia pun mengetahui dosa kakaknya … yang tak diketahui Lena dan Shin tidak berniat memberitahunya.

“Tidak banyak yang bisa kujadikan bukti, tapi … rasanya dia menyelamatkanku untuk yang terakhir kalinya di akhir-akhir.”

Di saat Shin sepenuhnya pingsan di wilayah Legion, Dinosauria telah menangkap dirinya dan teman-temannya, berkeliaran di jalur patrol Federasi, di tempat dia ditembak mati.

Dia mungkin menyelamatkan adiknya … biarpun mati dua kali. Dia mati ketiga kalinya untuk mengantarkan Shin dan rekan-rekannya ke perbatasan Federasi. Kemungkinan besar siap dihancurkan di tengah perjuangannya.

“Itu … hal terbaik yang pernah kudengar. Aku mengerti … akhirnya kau memaafkannnya.”

Itulah kata-kata yang tidak Shin harapkan, tapi selepas mendengarnya, rasa-rasanya pendeta itu benar. Shin ingin memaafkannya, kendatipun dia tahu tidak bersalah apa-apa, dia mau membunuh hantu kakaknya. Namun betapapun inginnya dia melakukan itu … dia juga pengin memaafkan Rei.

“… iya.”

“Baguslah …. Kau betulan dewasa. Dan aku tidak cuma membicarakan tinggi badanmu.”

Shin kembali melihat pendeta tua itu yang tersenyum bangga.

“Sewaktu aku mengirimmu pergi, aku kira kau takkan kembali.”

Pendeta itu jelas mengingatnya, bahkan sampai kini. Tidak pernah dia lupakan. Anak kecil yang kehilangan orang tuanya, yang hampir dibunuh kakaknya, memutuskan melangkah ke medan perang. Anak laki-laki yang saat itu, tidak hanya lupa caranya tertawa—bahkan tidak tahu caranya meneteskan air mata.

“Dulu, kau dihantui … dihantui Rei, yang telah mati. Orang mati tinggal di kegelapan Hades. Bagiku jika kau berpikir hendak mengejarnya, kau akan menginjak jurang yang sama.”

“….”

Mungkin pendeta itu benar. Itu sangat mungkin terjadi. Shin tidak pernah memikirkan kejadian selanjutnya …. Tidak, dia tak pernah berharap melihat apa yang terjadi berikutnya. Dia cuma ingin membunuh kakaknya kemudian patah selayaknya bilah baja dingin. Barangkali dia merasa demikian sejak medan perang bersalju dua bulan silam.

“Tapi kelihatan baik-baik saja sekarang. Kau benar-benar telah tumbuh.”

“… mendengarnya dari Pendeta, rasanya tidak nyata.”

Bicara dengannya membuat Shin merasa bak anak kecil lagi …. Dan pendetanya besar banget, tidak terasa jarak di antara mereka telah menyusut.

“Bagiku, kau selamanya tetap anak kecil …. Jadi misalkan kau merasa bermasalah atau butuh seseorang untuk diajak bicara, kau boleh selalu mendatangiku. Lagi pula aku ini pendeta militermu.”

Pendeta itu mengangkat alis bercanda, dilanjutkan senyum paksa Shin. Tetapi itu membuatnya berpikir. Bermasalah, butuh seseorang untuk diajak bicara …. Dia tentu punya dilema itu saat ini. Urusannya dengan Lena, itu dia.

“… kalau begitu, bisa dengar aku, Pendeta?”

“Tentu saja.”

Shin berhenti, memikirkan cara menyimpulkan masalahnya … selanjutnya mempertimbangkan ulang.

“… sebetulnya, tidak jadi.”

Kejadian belakangan ini mengajarinya bahwa membawa masalah yang tak dapat dia tuntaskan sendirian tidak ada gunanya. Lebih akuratnya, ide buruk apabila membebankan orang lain. Namun permasalahan ini, Shin merasa mengandalkan orang lain bukanlah hal benar untuk dilakukan.

“Nah, ada apa? Masalah hati, nak?”

“… kok bisa tahu?”

Pendeta itu tertawa terbahak-bahak.

“Jika mengenai beban seorang remaja laki-laki, maka cuma ada satu hal …. Tapi aduhai … kau benaran mulai berpikir seperti anak-anak seusiamu … membuatku tenang.”

Dia dengar Federasi menemukan keluarga pria itu.

Saat diantar ke ruangan lain, Theo sadar ini bukan reuni seperti Shin dan Raiden, reuni di mana dia mengizinkan orang lain menemuinya. Dia paham alasannya diberi tahu demikian sekalipun orang yang dicarinya telah ditemukan, mereka takkan diperkenankan menemuinya bila Theo sendiri tidak ingin.

Tapi seketika Theo melihatnya di ruangan tersebut, Theo terkejut.

“… mereka bilang kau kenal Ayah.”

Warga negara Republik yang tercela, seorang Alba. Seorang anak laki-laki yang nampaknya berusia sebelah atau dua belas tahun.

Kapten skuadron pertama tempat Theo bertugas di Sektor 86. Seorang pria yang tinggal dan gugur supaya bawahannya bisa melarikan diri. Warga negara Republik—orang Alba—yang pindah ke Sektor 86 karena keyakinan bahwasanya memaksa 86 bertarung sendirian adalah hal salah.

Theo meminta tentara Federasi untuk mencarikan keluarganya. Dia pikir hal benarnya adalah memberi tahu mereka bahwa kaptennya telah bertarung hingga akhir. Tetapi ….

Bibir Theo gemetar sedikit. Pria itu punya istri … dan anak. Seorang wanita yang dia pilih untuk menemani hidupnya, serta seorang putra tempat harapannya bertumpu. Tak pernah dia bayangkan kaptennya telah meninggalkan semua itu demi pergi ke Sektor 86.

“Mana ibumu?” dia berhasil bertanya.

“Serangan skala besar—” datang jawaban singkat nan samar anak itu.

“… begitu.”

Anak itu menunduk, matanya tertuju ke pola bunga di karpet.

“Ibu bilang Ayah mati karena melakukan hal yang benar. Bahwa aku harusnya bangga kepadanya …. Tapi Kakek dan ibu-ibu tetangga, semua temanku, dan ibu mereka …. Semuanya bilang Ayah melakukan hal yang salah.”

Bagi seorang anak di usia itu, sama saja seperti seluruh dunia mengatakannya.

“Mereka bilang Ayah adalah orang bodoh yang membuang tanah airnya, kebanggaannya sebagai warga Republik, dan keluarganya, semuanya demi 86. Terus dia mati demi itu. Semuanya … terus menyebut Ayah bodoh.”

Mata perak yang bersalju itu nyaris putus asa menatapnya. Warna matanya sama sebagaimana babi putih tercela dari Republik. Warna sama persis dengan mata kaptennya …. Dan mengingat tatapan itu membuat hati Theo sakit. Seperti halnya luka lama.

“Tapi Ayah tidak bodoh, ‘kan? Ayah melakukan hal benar. 86 mungkin saja beda warna dari kita, tapi mereka masih orang. Jadi Ayah menolong orang lain … dan perbuatannya bukan hal bodoh, ‘kan?”

“… tentu saja tidak,” sembur Theo.

Dia tak mencoba menjauhkan anak itu; suara Theo penuh kemarahan Karena mereka sama sekali tak tahu. Tidak tahu seberapa kuat dan riangnya dia. Tidak tahu kata-kata terakhir yang ditinggalkan mantan penyandang Tanda Pribadi Theo. Itulah alasan satu-satunya mereka teganya berkata demikian tentang ayah anak ini.

Anak itu umurnya sebelas tahun, dua belas paling mentok. Dia bayi baru lahir saat perang dimulai sebelas tahun lalu. Mana mungkin dia mengingat wajah ayahnya. Dia tak seperti Theo yang pernah kenal wajah orang tuanya namun telah lama dilupakan. Bocah ini bahkan tidak sempat kenal kapten.

“Dia melawan Legion bersama kami dan gugur berusaha membantu kami. Tak seorang pun berhak mengejeknya. Kapten sebenar perkataan ibumu ….”

Tapi selanjutnya Theo terdiam. Apakah kapten … benar? Iyakah dia hidup dengan benar? Betulkah dia … mati dengan benar? Dia buang keluarganya dan datang ke medan perang, tahu bisa jadi takkan melihat putranya lagi. Dan di sana, dia mati, dengan anaknya yang tidak tahu bagaimana dia bertarung atau kematiannya.

Dapatkah itu disebut kebenaran? Apakah kebenaran itu ada ganjarannya?

Dia kesampingkan kebahagiannya sekarang ini dan membuang prospek kebahagiaan masa depan apa pun yang dimilikinya. Lalu balasannya adalah kematian. Dia ditolak 86 lain, Theo termasuk, dan tidak seorang pun memuji namanya.

Bisakah itu disebut kematian yang bodoh?

Tolong. Jangan pernah memaafkanku.

Karenanya, sampai akhir, dia tinggalkan kata-kata itu di kematiannya.

“… ngomong-ngomong … apa pun yang dikatakan orang lain, percayalah dengan ayahmu.”

Biarpun dia berkata demikian, sesuatu dalam benaknya berbisik dingin, mencaci kemunafikannya.

Shin, Raiden, Anju, dan yang lainnya menyambut pendeta militer baru mereka sekaligus staf pengajar tambahan anyar. Mereka dari Republik, sih, jadi Kurena tetap tinggal di markas, perasaannya campur aduk melihat mereka.

Dia tahu ada beberapa Alba baik—pendeta yang membesarkan Shin dan nenek yang melindungi Raiden misalnya. Selain itu ada Lena, Annette, dan Dustin.

Kurena sendiri tak pernah melupakan perwira Alba yang mencoba menyelamatkan orang tuanya. Terlepas dari itu, dia masih terlalu muda untuk mengingat namanya, jadi dia tidak bisa meminta Federasi mencarinya.

Pendeta militer dan guru tambahan ini mungkin saja bukan orang mengerikan. Tapi dia masih takut menemui mereka untuk pertama kalinya. Dia takut …. Iya, takut. Hingga detik ini, dia tak henti-hentinya takut. Hanya ada satu orang yang bisa dipercaya anggota-anggota skuadron Spearhead, dan dialah Shin. Kiranya bukan dia, mereka masih bisa percaya satu sama lain.

Kurena meringkuk, membenamkan wajahnya. Bagaimanapun, percaya pada orang lain akan berakhir sama. Orang tuanya yang ditembak mati oleh para prajurit karena mengejek dan mencemooh mereka. Kakaknya yang tak pernah kembali dari medan perang. Awalnya, dia sungguh sendirian, dilempar ke medan perang mematikan Sektor 86.

Itu akan terjadi lagi.

Alba, orang-orang, dunia ini sendiri …. Mereka semua kelewat keji. Mereka mengkhianatinya tanpa ragu-ragu. Jadi Kurena tidak bisa percaya siapa-siapa. Takkan. Oleh sebabnya tiada masa depan yang dinantikan. Tidak ada impian yang bisa digenggamnya.

Mengharapkan masa depan cerah itu sesia-sia dan sehambar berharap seseorang dapat bermimpi indah malam ini. Andaikan terwujud, dia ingin melihatnya. Kalau tidak pun … maka tak apa-apa. Begitulah yang dirasakannya.

“Jadi peperangan ….”

Mungkin juga takkan berakhir ….

Jauh di dalam markas Divisi Penyerang dan dekat markas besar terpadu terdapat laboratorium tersembunyi yang dibuat untuk mengurung Zelene. Tempat itu juga didirikan dengan mempertimbangkan Shin yang terus-menerus terpapar ratapan Legion.

Setelah menyelesaikan urusannya dengan markas besar terpadu, Shin mengunjungi Zelene malam-malam, di sana dirinya menemui sesuatu yang belum pernah dirasakannya dengan Legion.

Gelak tawa.

“… teruskan ini, nanti akan marah, Zelene.”

<<T-tidak, maksudku, aku memang merasa tidak enak karena sudah tertawa, tapi …. Ahahahahaha!>>

Zelene sekarang ini ditempatkan dalam sebuah kontainer berlapis pelindung dan kedap udara yang menghambat dan mengganggu seluruh fungsinya, menghalangi kemampuan komunikasi. Cara komunikasi satu-satunya adalah lewat kamera sensitivitas rendah, mikrofon, dan pengeras suara yang dihubungkan kabel ke bagian dalam kontainer.

… bedanya keseluruhan set itu dipasang di dalam kotak lain yang digambar wajah asli menggunakan spidol permanen. Rasanya seolah Shin tengah bicara dengan semacam boneka aneh.

“Kayaknya mau kembali ke kamar.”

<<Ah, sebentar, sebentar. Maaf. Aku salah, jadi ayo bicara sedikit …. Hehehe.>>

Tawa elektronik bak tengah berguling-guling lagi-lagi keluar dari pengeras suara. Jengkel oleh perilaku Zelene, Shin menatap biang keladi masalah ini. Zelene sepatutnya tidak mengetahui hubungan susahnya dengan Lena. Fakta dirinya tahu berarti seseorang memberitahunya, dan cuma ada satu orang yang bisa melakukannya.

“Nanti kubalas, Vika.”

“Kalau kau kira bisa membalasku, mau dong melihat percobaanmu,” ejek Vika, sepenuhnya geli.

<<Kembali ke permasalahan—>> ucap Zelene, suaranya masih menahan tawa.

“… tidak, kurasa pembicaraan kita sudah selesai.”

<<Ayolah, jangan cemberut. Kita harus mendiskusikan masalah ini …. Karena itulah kau bicara denganku, bukan?>>

Suara Zelene jadi agak dingin, laksana sejumlah tombol telah diputar dalam pikiran mekanisnya.

<<Kau datang untuk menanyakanku serangan skala besar.>>

Di Federasi, 86 diperlakukan sebagaimana perwira khusus—mereka menyelesaikan edukasi lebih tinggi yang seorang perwira biasanya mesti tuntaskan sebelum direkrut selama pengabdian mereka. Menghabiskan masa kecil di kamp-kamp konsentrasi, mereka hampir tidak pernah menghabiskan waktu di sekolah, jadi kekurangan banyak perkembangan dan edukasi yang sebagian besar taruna perwira khusus miliki seusia mereka.

Mereka disediakan masa sekolah yang digandakan liburan dari pengabdian militer mereka. Tapi di luar waktu-waktu itu pun, mereka diharapkan menghadiri pengajaran dan belajar mandiri, bahkan di tengah-tengah pengerahan. Itulah alasan ruang belajar dibangun di pangkalan Rüstkammer.

Lena berhenti sesaat melewati sebuah ruangan yang penuh orang-orang. Belum lama ini, satu-satunya orang yang belajar di sini adalah kapten setiap skuadron dan wakil-wakil mereka. Jabatan kapten memerlukan wewenang dan tanggung jawab yang tidak dimiliki atau bisa diberikan perwira kompi biasa. Maka dari itu, para kapten serta wakil mereka wajib menyelesaikan pelatihan perwira khusus secepat mungkin dan melanjutkan ke kurikulum setelahnya.

Mereka tentu saja punya lebih banyak pekerjaan rumah ketimbang para Prosesor lain, dan jikalau mereka tak belajar mandiri di jeda antar misi, mereka takkan pernah mampu mengimbangi. Jadi Lena sangka dia hanya akan menemui sekelompok kecil orang di ruangan tersebut. Tetapi yang mengagetkannya, banyak Prosesor duduk di meja, mendengarkan ajaran guru tambahan.

Perbandingan Prosesor dan non-Prosesor agak tinggi, terutama mengingat saat ini sekitar akhir waktu makan malam. Artinya beberapa orang wajarnya masih akan sedang makan, tetapi ada sejumlah Prosesor yang mendengarkan pelajaran.

“Kalau kau mencari Shin, dia masih belum kembali dari markas besar terpadu sehabis menyapa pendeta.”

Dia mendengar suara sepatu bot berat menderap lantai kemudian berbalik dan mendapati Raiden.

“Masa …? Ah, err, aku lagi tidak mencari Shin.” Lena menggeleng kepala, gugup pada Raiden yang setengah benar menebak niatnya. “Aku cuma berpikir ada banyak orang di pengajaran ini ….”

“Iya.” Raiden mengangguk satai, seolah-olah tidak terganggu reaksi aneh Lena.

“Sudah seperti ini sedari kami pulang liburan …. Kebanyakan orang sebelumnya tidak suka ruangan ini.”

Kata Raiden sambil melihat ruang belajar yang sekarang ini lebih dari separuh kursinya terisi. Dasi Raiden yang normalnya longgar, diikat di kerahnya dengan benar. Dia menggenggam terminal informasi yang berfungsi ganda sebagai buku teks sekaligus buku catatan.

“Mereka bilang rasanya ruangan ini secara tersirat menyuruh mereka berhenti jadi 86.”

“….”

Ada guru-guru yang ditugaskan permanen di pangkalan, dan rak ruang belajarnya sendiri diisi bahan ajar. Para instruktur pun menawarkan konseling karir dan memiliki silabus yang telah dipersiapkan lembaga pendidikan tinggi Federasi, sekaligus magang dan panduan karir untuk anak-anak dan siswa-siswi.

Ruang belajar terasa seakan-akan dibuat untuk mendesak keluar mereka dari dunia yang hanya menghadirkan medan perang.

Tentunya guru-guru atau perwira militer Republik yang membangun ruangan ini tak pernah mengatakan itu. Mereka cuma ingin 86 menelaah masa depan praperang dan kemungkinannya …. Tapi sekadar mendatangi ruangan ini, 86 masih terlalu cepat mendengarkan keinginan itu.

Namun sedikit demi sedikit, beberapa mencoba mencari tahu maksud mereka. Melihatnya membuat Lena tenang.

“Kau mau ke kelas juga, Raiden?”

“Kurasa. Waktunya memikirkan masa depan setelah perang …. Lagian, kau dengar tidak soal guru baru?”

“Iya,” ucap Lena, dia potong dengan senyum lembut. “Dengar-dengar dia guru lamamu.”

Pantas saja dasi dan kerahnya begitu. Dia berusaha kelihatan sopan dan layak.

“Dia dengar aku bolos beberapa mata pelajaran, jadi sedang di tengah jalan ke kelas tambahan. Tuh nenek tua, tidak bisa berhenti bicara ….”

Dia mendesah, bibirnya melengkung sedikit. Guru tua ini nampaknya meendengarnya dan beralih memandangnya, membuat Raiden mengalihkan pandangan tak nyaman seolah anak kecil yang lagi memegang toples kue.

“… kenapa kau tidak ikut saja, Lena? Theo dan Kurena tidak sering-sering ke sini, pilihan Anju ada di hari berbeda, dan Shin hari ini lagi pergi. Kau tahu, aku … aku lebih ingin tidak berurusan sama kelelawar tua itu sendirian ….”

Mendengarnya berkata demikian seperti anak kecil walau jauh lebih besar dari wanita tua itu membuat Lena tertawa terbahak-bahak. Seketika melihatnya memberengut layaknya anak kecil, Lena bertanya sembari tersenyum, “Raiden … adakah yang mau kau lakukan? Sesudah perang berakhir, maksudku.”

Dua tahun lalu, sewaktu mereka masih di Sektor 86, Lena menanyakan Shin pertanyaan yang sama. Dulu, mereka cuma kenal satu sama lain lewat Para-RAID … kala Lena tidak mengetahui masa depan 86 waktu itu.

Dia menanyakan Raiden perasaannya saat ini. Sekiranya dia bahagia telah selamat hidup-hidup … Bila dia dapat menimbang masa depan sekarang.

Sejenak, Raiden terdiam. Bukan karena tak pengin ditanya atau merasa ibarat tidak bisa menjawab … lebih ke mengingat ingatan hangat.

“… kau tahu, saat kau menanyakan Shin pertanyaan itu dua tahun lalu ….”

Tidak bisa bilang aku sangat memikirkannya sejak itu.

“… pas itu, dia betul-betul tidak menginginkan apa-apa. Dan alasannya tak hanya saat itu adalah waktu kematiannya. Sebab dia masih dihantui kakaknya yang sudah mati. Menguburkan kakaknya adalah satu-satunya hal yang dia miliki sepanjang hidup.”

“….”

“Fakta Shin bilang dia mau menunjukkanmu laut, fakta dia bisa mengharapkan itu? Itu kayak keajaiban, Lena. Butuh banyak tekad buat mengatakannya. Dan jujur, aku benar-benar mau kau memberi jalan keberanian itu.”

Lena merasa heran. Apa ini? Dia mau kabur. Kalua bisa, di sudah menggali lubang di tempatnya berdiri lalu mengubur dirinya sendiri.

“Kok kau tahu itu …?”

Raiden memandang Lena laksana dirinya adalah sesuatu paling menyedihkan di dunia.

“Entah bagaimana cara mengatakannya, Lena, tapi … kurasa semua orang sudah tahu sekarang.”

“Militer Federasi menemukan senjata yang kau gambarkan. Mereka kira itu pertanda serangan skala besar kedua akan datnag.”

Jikalau mereka membuka sinyal penonaktifan Legion ke publik, Federasi … bahkan umat manusia sendiri kemungkinan terburuknya akan pecah ke berbagai golongan. Alhasil Vika dan Shin putuskan merahasiakannya dan meminta Zelene memberi informasi yang dapat mereka ungkapkan. Yang Zelene berikan adalah informasi mengenai serangan skala besar yang Legion rencanakan.

<<Aku bayangkan begitu. Karena mereka dilarang menggunakan senjata udara, Komandan Tertinggi mengembangkan senjata tersebut sebagai substitusi. Mereka tidak bisa mencabut larangan tersebut, alhasil memutuskan mengenalkannya menggantikan pengeboman udara. Kubayangkan rekonstruksinya sedang berjalan. Aku bisa prediksi itu.>>

Shin berkedip penasaran. Zelene adalah salah satu unit Komandan Tertinggi. Shin terka dia tahu.

“Itu bukan informasi pasti? Kau hanya memprediksi mereka membuatnya?”

<<Penelitian dan pengembangan adalah yurisdiksinya prosesor sentralku, tetapi masalah kerahasiaannya tidak. Jadi aku tidak tahu spesifiknya … erm … tentang penelitian berdasarkan sampel otak yang dikumpulkan dari Republik.>>

“Anjing Gembala?” tanya Vika.

Tampaknya nama tersebut susah diuraikan Legion seperti Zelene. Vika yang menggangguk tenang soal itu terlihat agak aneh. Bukan berarti keanehan Vika sekarang masih mengejutkan.

<<Dan tipe Mobilitas Tinggi …. Tidak, Phönix. Kemampuan penamaan kalian sangat menarik, kuakui.>>

“Sebentar.” Vika mengernyitkan kening. “Unit itu dikembangkan di bawah yurisdiksimu? Sebagai penelitian prosesor sentral?”

<<Iya. Dari situ aku bisa meninggalkan pesan di dalamnya.>>

“…?”

Vika curiga merenungkan perkataannya barusan. Melihat Vika takkan menanyakan pertanyaan lain, Shin mulai bicara lagi.

“Mereka meningkatkan peringkatnya kali ini? Kami belum mendapat laporan tentang itu.”

Untuk memastikan keabsahan informasi Zelene perihal serangan skala besar kedua, setiap negara mulai mengumpulkan informasi pasukan Legion yang mereka hadapi dengan kekuatan baru. Federasi beberapa kali meminta bantuan Shin perkara upaya pengintaian mereka, namun dia tak mendeteksi adanya peningkatan nyata dalam jumlah Legion.

Dia anggap mungkin jaraknya yang jadi masalah, tapi apabila tidak ada negara yang mendeteksi bala bantuan Legion di front depan mereka, situasinya berbeda.

<<Tidak. Walaupun meningkatkan jumlah mereka, Legion gagal mencapai tujuan operasi dalam serangan skala besar. Maka dari itu, mereka putuskan tentang serangan skala besar kedua, mereka memperkuat kekuatan perang dengan meningkatkan unit dan meninggikan performa.>>

Seperti kamuflase optik dan manipulasi cuaca Eintagsfliege. Sebagaimana menukar Domba Hitam yang menjadi pasukan penyergap mereka dengan Anjing Gembala lebih efisien.

<<Namun tidak seperti negara yang punya sedikit sumber daya, Legion tak mencoba mengimbangi jumlah kecuali dengan kualitas. Sedih mengatakannya. Serangan skala besar tidak hanya pertempuran gagal bagi Legion …. Kebetulannya ….>>

Zelene kelihatan lebih tenang sekarang.

<<… sesuai dugaanku. Kau bisa tahu jumlah dan posisi Legion, tapi tak dapat melihat Legion secara langsung dari jauh, bukan?>>

Shin mengangkat kepala kaget. Sekooperatif bagaimanapun dirinya, Zelene adalah Legion. Shin tidak boleh membiarkannya memegang informasi apa pun dari yang betul-betul diperkenankan. Saat ini, Shin sedang menghadap sebuah kamera, mikrofon, dan pengeras suara. Itu antarmuka komunikasi sederhana yang bahkan tidak membiarkannya bergerak.

Vika menyebutkan Lena dalam obrolannya, tapi tak menyebutkan nama. Dan tentu saja tak satu pun memberi rincian kekuatan Shin.

<<Legion telah mengakui keberadaanmu, elemen musuh khusus, Báleygr. Báleygr punya beberapa cara tak diketahui yang sanggup melakukan pengintaian jarak jauh dengan tingkat keakuratan tinggi, meskipun dia tidak bisa membedakan unit berbeda. Dia juga sepertinya tidak sanggup mendeteksi unit yang dalam mode stasis …. Legion telah menduga ini. Lagian, kau tidak melihat perangkapku di pertempruan Pangkalan Benteng Revich.>>

Selama operasi pertama di Gunung Dragon Fang, Shin gagal mengenali pasukan lini depan Legion telah bertukar tempat dengan kekuatan lapis baja Dinosauria yang kemudian membantai pasukan umpan mereka. Sesuai kata-kata Zelene, Shin mampu mendengar jumlah dan posisi Legion, tetapi dia cuma bisa menebak tipenya. Membentuk bagian cacat pada kemampuannya.

Fakta kami tak membaca perangkapmu adalah kesalahan besarku, semenyakitkan mengakuinya,” ucap Vika. “Tapi jangan bilang Legion mengubah taktik mereka hanya karena mewaspadai kemampuan Nouzen?”

<<Bukan itu satu-satunya alasan mereka mengubah taktik, tapi benar itu salah satunya. Serangan skala besar telah direncanakan bertahun-tahun, namun kau bisa mengantisipasinya, menyiapkan serangan balik, dan akhirnya sukses melaluinya. Unit-unit komandan Legion memandang tinggi dirimu melebihi yang kau tahu. Jika bisa, mereka ingin mengasimilasimu, tetapi lebih mendesak dari itu, mereka mau kau disingkirkan.>>

Jadi ….

<<Perkara operasi selanjutnya skuadronmu … aku takkan bertanya kau akan pergi ke mana. Tapi di mana pun itu, berhati-hatilah.>>

 

Ψ

 

“Pertama-tama, izinkan aku mengatakan senang bertemu dirimu lagi, Nouzen. Dan Kolonel Milizé juga.”

Dalam persiapan menuju pengerahan selanjutnya, Divisi Lapis Baja Ke-1 bertemu di ruang pengarahan pangkalan Rüstkammer. Komandan skuadron dan wakil-wakilnya berkumpul di sana; Lena—sebagai komandan operasi—serta perwira-perwira stafnya; sekaligus Vika—yang akan menemani mereka—juga perwira-perwira stafnya sendiri.

Dan di antara mereka, hanya ada satu anak laki-laki yang berkaitan dengan Divisi Lapis Baja Ke-2, tersenyum selagi duduk di salah satu sudut meja elips. Letnan Satu Siri Shion. Sementara Divisi Lapis Baja Ke-1 tengah cuti, Divisi Lapis Baja yang lain mengurus kegiatan operasional. Salah satunya adalah Divisi Lapis Baja Ke-2, di mana dia menjabat sebagai komandan umum seluruh peletonnya.

Juga, selama serangan skala besar satu tahun lalu, dia adalah kapten skuadron Razor Edge, Unit pertahanan pertama distrik pertama front selatan. Biarpun Gran Mule ditembus, mereka tak bergabung komando Lena, membentuk posisi bertahan sendiri. Siri Shion adalah pemimpin 86 itu.

“Lama tidak bertemu sejak di Kerajaan Bersatu, bukan? Satu bulan lebih—” kata Shin, memiringkan kepala. “Kupikir Divisi Lapis Baja Ke-2 sedang menjalani masa sekolahnya.”

Siri mengangkat bahu, mengenakan seragam siswa berkerahnya. Fisiknya sedikit lebih tinggi dari Raiden, rambut dan matanya emas tua.

“Hari ini aku datang khusus untuk pengarahan. Kanan dan Divisi lapis Baja Ke-2 sedang beroperasi, jadi kamilah satu-satunya pasukan di pangkalan ini yang bertarung di zona tujuan pengerahanmu selanjutnya—Negara-Negara Armada Regicide.”

Negara-Negara Armada Regicide. Terletak di timur Kerajaan Bersatu dan utaranya Federasi. Sekelompok negara mini berwilayah kecil yang posisinya di tengah pergunungan dan perbukitan yang membentang di perbatasan kedua negara besar tersebut.

Seketika Perang Legion berkobar, mereka diserbu dari daerah perbukitan hingga timur, memaksa mengubah salah satu negara mereka menjadi benteng pertahanan. Dengan gagah berani menahan Legion selama sepuluh tahun, namun terlepas dari semua usaha tersebut, mereka masihlah sekumpulan negara-negara kecil.

Selama serangan skala besar di tahun kemarin, mereka akhirnya sampai batas. Ketika Federasi berhasil menghubungi mereka pertama kalinya sejak satu dekade terakhir, Negara-Negara Armada Regicide mengirim permintaan bantuan. Kejadiannya empat bulan lalu.

Kelompok Siri dikirim untuk membantu mereka dan meluncurkan tiga operasi yang diperuntukkan menghancurkan tiga benteng Legion. Begitu dikerahkan, mereka menemukan dua pangkalan produksi Legion, berhasil merebutnya. Menjelang akhir periode pengerahan, mereka menemukan pangkalan kontrol ketiga.

Mereka berusaha merebutnya, namun …. Sederhananya, mereka gagal menerobos, dan diputuskan akan mundur.

“Divisi Lapis Baja Ke-1 kalian akan menyerang markas ketiga tersebut … kupikir kalian sudah mendengar cerita alasan kami ditarik mundur, tapi kurasa menampilkannya lebih baik ketimbang bercerita.”

Muncul sebuah layar holo, menyajikan rekaman optik kasar. Gambarnya sebagian besar penuh nuansa biru, hamparan besar air beriak menyerupai danau, disinari sinar matahari intens dan diguncang angin kencang. Di balik ombak besar meruncing, bangunan metalik besar menjulang di atas perairan bagaikan benteng.

Target mereka selanjutnya terletak di atas air. Pertempuran laut, pertempuran yang belum pernah Shin alami selama tujuh tahun pengalaman tempurnya. Tetapi seluruh kesulitan itu terlihat sepele sekarang.

Gambarnya diperbesar di atas benteng angkatan laut. Terdapat lapis baja hitam—tak lumrah di antara Legion yang lazimnya berwarna baja. Sensor optik biru yang bersinar menyerupai kunang-kunang. Dua sayap radiasi yang kelihatannya ditenun benang perak berdiri dengan latar belakang langit biru yang kelewat berbeda dari langitnya Federasi.

Dan yang paling tidak terlupakan, laras berwujud sepasang tombak mirip taring yang mencuat ke langit.

Menyipitkan mata merah darahnya, Shin mengatakannya. Baik Zelene dan Ernst sudah memberitahunya, tapi inilah kali keduanya. Musuh yang takkan pernah ingin dia lawan lagi.

“—railgun.”

Sebuah turet kaliber 800 mm yang kecepatan tembakannya delapan ribu meter per detik dengan jangkauan efektif empat ratus kilometer. Senapan rel besar melebihi seribu ton dan mampu bergerak dengan kecepatan tinggi. Satu-satunya unit Legion yang pernah sendirian mengancam Federasi, Kerajaan Bersatu, Aliansi, serta Republik.

Morpho.

Hening menulikan menyelimuti ruang pengarahan. Shin-lah satu-satunya orang dalam ruangan yang secara langsung melawan Morpho, tetapi 86 yang berada di Republik kala itu tahu betapa mengancamnya. Seperti halnya Vika yang mengomandoi militer Kerajaan Bersatu.

Dua hari belaka, telah menghancurkan empat resimen bertotal dua puluh ribu pasukan sekaligus pangkalan-pangkalannya. Dalam waktu satu malam, menggulingkan Gran Mule. Itulah kartu trufnya Legion dalam serangan skala besar.

Federasi, Kerajaan Bersatu, dan Aliansi telah bersatu untuk menghancurkan satu unit Legion ini dengan serangan penghabisan ke lini musuh. Banyaknya kerusakan yang ditimbulkannya menjadikan ketiga negara meninjau ulang kebijakan mereka, Federasi yang memilih lebih hati-hati bergerak dan Kerajaan Bersatu yang menghentikan serangannya. Memaksa mereka menciptakan Divisi Penyerang, yang menyerang posisi penting.

Satu unit ini sendiri memaksa ketiga negara sepenuhnya mengubah strategi mereka.

“Negara-Negara Armada Regicide memanggil pangkalan ini Mirage Spire. Berlokasi di posisi tiga ratu kilometer dari wilayah Negara Armada Cleo tua, yang kini dikuasai Legion. Kapal patroli yang mengonfirmasi posisi Morpho akan langsung ditembak dan ditenggelamkan. Artinya mereka tahu kita telah menemukan mereka …. Dan semenjak itu, setiap harinya menembaki perairan wilayah Negara-Negara Armada Regicide dan seluruh pangkalan mereka dalam jangkauannya.”

Tanah berbukit Negara-Negara Armada nyaris di bawah permukaan laut, dengan airnya yang mengalur bebas melewati wilayah mereka. Sebagian besar wilayah terdiri dari lahan basah1, medan yang tak cocok untuk memobilisasi Feldreß kelas berat.

Malah, mereka mempertahankan wilayah dengan benteng pertahanan berlapis-lapis, dan membangun formasi artileri di banyak pulau kecil yang menitik-nitik perairan mereka juga menjaga formasi kapal perang.

Dari organisasi mereka sendiri, Negara-Negara Armada mempunyai angkatan laut terlampau kuat. Dengan tembakan pelindung dari formasi artileri mereka yang membanggakan peluncur roket banyak jarak jauh seberat seribu kilogram, kapal-kapal mereka maju hingga pesisir pantai.

Terhalang oleh pertahanan kukuh ini, pasukan Legion tanpa ampun dibombardir dari samping oleh peluncur roket di atas kapal yang menghabisi pasukan mereka. Begitulah cara Armada Orphan melawan Legion selama satu dekade silam ….

Luas tanah mereka sempit di utara dan selatan, dengan umumnya adalah lahan basah. Susah melawan Legion dengan kondisi demikian, oleh karenanya mereka menggunakan cara pengeboman semacam itu. Angkatan laut dan artileri adalah inti pertahanan Negara-Negara Armada, yang mereka pegang selama sepuluh tahun terakhir.

“Formasi artileri angkatan laut mereka dimusnahkan selama satu bulan terakhir. Banyak kapal ditembak hancur saat melintasi perairan yang dikuasai Legion, alhasil mengalami kerugian besar. Bagian terburuknya adalah nyaris separuh lini pertahanan pertama daratan mereka berada dalam jangkauan tembakan railgun. Tak lama setelah kami mundur, Negara-Negara Armada mesti mencampakkan lini pertahanan pertama mereka. Dikehendaki mundur ke lini kedua dan posisi cadangan. Mereka tidak punya banyak daratan, yang artinya sekarang sama saja memegang lini pertahanan terakhir.”

“Dan seumpama Armada Orphan runtuh, kita akan menghadapi serangan skala besar kedua,” ucap Vika tenang. “Dan karena Morpho menetap di medan rawa, di tempat yang baik Legion kelas berat maupun Feldreß tidak bisa dikerahkan, Kerajaan Bersatu dan Federasi tidak bisa menghentikannya.

Negara-Negara Armada berdekatan dengan Kerajaan Bersatu dan Federasi yang masing-masingnya di timur serta utara mereka. Bertetangga dengan Negara-Negara Armada. Jangkauan empat ratus kilometer Morpho sanggup melintasi perbatasan nasional, menghantam front barat dan utara, juga beberapa kota-kotanya.

Rito menunduk.

“… menurut kalian Federasi bakalan mengirim kita lagi karena mereka pikir kita berbahaya …?”

Siri mendesah dan membuka bibir hendak bicara. Di saat serangan skala besar, ketika Siri menolak mematuhi Republik, Rito di bawah komandonya. Karena itulah, mereka berdua saling mengenal.

“Rito, kapan kau akan belajar berpikir dulu sebelum membuka mulut? Kau tidak mau semua orang di sini menyebutmuu cengeng, ‘kan?”

“Hentikan, Siri!”

“Apalagi, aku ingat kau tidak sengaja beberapa kali memanggilku dan Kapten Nouzen Ibu?”

“Kubilang hentikan!”

“… Shion, jangan iseng ke Rito. Kita lagi di tengah-tengah pengarahan.”

Shin menghentikan perbincangan singkat mereka, kemudian Siri balas dengan mengangkat bahu.

“Kurasa sudah memberitahumu di Kerajaan Bersatu, tapi kau boleh panggil aku Siri, Nouzen. Aku benci nama belakangku. Membawa kenangan yang tidak kusuka.”

Dia melengkungkan bibir tipisnya ke senyum pahit.

“Aku punya saudara perempuan. Dia mati di medan perang. Tentu saja mereka tak bisa menguburnya, jadi menggantikan kuburan, aku putuskan mengadopsi gaya bicaranya.”

“Cuma mau kasih tahu, semua cerita tentang saudara perempuannya ini bohongan,” ungkap Rito.

“Ayolah!” Siri menegurnya. “Paling tidak biarkan aku bohongin mereka sedikit lagi!”

Ekspresi Lena melemah ketika mendengar cerita Siri, namun usai mendengar cerita itu dibuat-buat, ekspresinya membeku tidak percaya. Di sisi lain, Siri menatap muak Rito karena bermulut ember.

“Wah …. Kau tahu di Sektor 86, semua orang itu kayak sekawanan anjing? Entah memutuskan siapa kaptennya atau menyelesaikan perselisihan semuanya dengan bergelut? Yah, aku tidak suka.”

Siri meludah pahit. Dia lebih tinggi dari Raiden dan, anggota badannya panjang nan mulus bak cambuk. Kelihatannya dia orang paling kuat di sini, tetapi kata-katanya nampak menyangkal cara biadab itu.

“Kita bukan anjing. Kita orang. Jadi jangan lupa kalau kita tidak boleh memukul orang sembarangan. Itu perasaanku, tapi tubuhku agak terlalu cocok buat bertarung …. Jadi kuputuskan bicara sedikit lebih tenang dan menghindari pertarungan. Sesudah lima tahun bicara seperti itu, aku jadi terbiasa.”

Dia melambai acuh lalu melanjutkan.

“Omong-omong … maaf kalian harus membereskan kekacauan kami. Baik kami ataupun Armada Orphan tidak kuat menyerang meriam berjarak empat ratus kilometer tanpa rencana.”

“Itulah mengapa Armada Orphan belum mendesak Federasi buat mengerahkan ulang Divisi Penyerang sekalipun telah dipukul mundur sampai lini pertahanan terakhir selama satu bulan. Mereka pun perlu bersiap-siap. Mereka menunggu kesempatan tepat.”

Seorang perwira wanita muda berseragam ungu tua mengambil alih percakapan Siri. Dia letnan Vika yang dikirim ke Negara-Negara Armada mewakilinya, memimpin unit Alkonost bersama Divisi Lapis Baja Ke-2 dan Ke-3 Divisi Penyerang.

“Dengan kata lain, mereka bersiap-siap menembus jangkauan empat ratus kilometer Morpho. Tolong lihat ini.”

Saat berdiri dengan satu gerakan terlatih, dia melambaikan tangan, membuka layar holo. Selagi menyajikan data, Siri bicara santai dengannya.

“Silakan, Mayor Zashya.”

Zashya berbalik menghadap Siri bak boneka goyang.

“…! Aku harus minta berapa kali untuk berhenti memanggilku kelinci kecil …?!”

Entah kenapa, dia setengah menangis. Kebetulan Zashya hanya sedikit lebih tinggi dari Frederica dan fisiknya sangat ramping. Rambut cokelat kemerahannya dikuncir, lalu mata ungunya disembunyikan sepasang kacamata bulat. Dia punya warna khasnya keturunan murni Amethysta, tapi kesan dirinya yang amat pemalu hampir terlihat bertentangan dengan nilai-nilai Kerajaan Bersatu bahwasanya bangsawan wajib mengabdi di ketentaraan.

“Tapi semua orang di Kerajaan Bersatu memanggilmu Zashya ….”

“I-iya, tapi itu gara-gara Paduka selalu—”

“Baik nama pertama dan terakhirmu itu kepanjangan dan susah dikatakan, terutama untuk orang asing,” ucap Vika santai. “Kau terima sajalah.”

“Iya, tapi saya berkali-kali meminta Anda memanggil saya Roshya …! Semuanya, tolong panggil aku begitu!”

Zashya melihat sekeliling ruang pengarahan dengan putus asa, lalu semua yang hadir—Shin dan Lena termasuk—mengalihkan pandangan canggung. Sebagaimana kata Vika, nama aslinya terlalu panjang dan susah diucapkan bagi Lena, 86, dan perwira staf Federasi. Mereka asumsikan nama panggilan pendek dan kasual tak terlalu kurang ajar.

“… sesuai kehendak Anda. Kini saya akan menjelaskan situasinya.”

Dia ganti gambar layar holo yang sekarang menunjukkan gambar wilayah pesisir dan laut yang membentang ke utara Negara-Negara Armada. Terdapat titik merah di tengah laut, menandakan pangkalan Mirage Spire, lalu di sekitarnya ….

“Seperti penjelasan Letnan Satu, pangkalan Mirage Spire adalah benteng yang dibangun di atas perairan tiga ratus kilometer lepas pantai dalam wilayah Legion. Armada Orphan menguasai perairan setelah awal-awal perang, lantas diperkirakan sesudah negara-negara pesisir pantai lain yang bukan termasuk Armada Orphan jatuh, Legion menggunakan pelabuhan mereka untuk membangunnya.”

Saat ini, Federasi telah mengonfirmasi situasi negara-negara lain dalam rentang yang teramat kecil, mulai dari wilayah utara-tengah benua hingga barat dan selatan. Komunikasi gagal mencapai negara-negara timur, karena dipisahkan gurun hammada luas serta dinding Eintagsfliege yang jauh lebih tebal melebihi tempat lain yang pernah mereka lihat di benua.

“Sebelum peperangan, Armada Orphan berencana menambang lapisan bijih bawah air. Mirage Spire didirikan di atas situs tersebut. Ada pula gunung berapi bawah laut yang mereka rencanakan untuk manfaatkan sebagai sumber energi panas bumi, Legion pun kemungkinan besar memanfaatkannya untuk tujuan produksi. Sertta ….”

Dia makin mengerutkan alis indah memiringnya di balik kacamata.

“… tepat penjelasan barusan, dan persis yang bisa Anda sekalian lihat … tidak ada apa-apa di sekitar pangkalan itu. Tidak ada bangunan alami atau buatan manusia yang berdiri di atas permukaan laut.”

Selagi mereka memelajari peta, mereka lihat tidak ada satu pulau pun sejauh beberapa kilometer di sekeliling pangkalan Mirage Spire. Satu-satunya sumber daya yang bisa diakses pangkalan adalah lapisan bijih bawah tanah dan gunung volkano—berarti tidak ada apa pun di area itu. Walaupun mereka hendak mendatangi pangkalan sambil dibombardir meriam jarak jauh dengan jangkauan empat ratus kilometer, mereka takkan punya tempat sembunyi.

“Oleh sebab itu Armada Orphan tengah menunggu badai. Karena itulah mereka belum meluncurkan serangan walaupun harus mempertahankan pertahanan hancur mereka selama satu bulan. Di tahun ini, di akhir musim panas, badai besar akan bertiup dari utara. Mereka berharap bisa menembus zona pengeboman Morpho dengan bersembunyi dalam selimut salah satu badai itu.”

Karena lautan terbuka tidak menawarkan tempat sembunyi atau penghalang, mereka mendamba ombak besar, hujan, beserta angin badai akan cukup lama membuat mereka tak terdeteksi. Bersembunyi dalam angin badai akan cukup menghindarkan mereka dari deteksi …. Gampang kalau cuma bilang sembunyi dalam badai …. Memiringkan kepala, Lena bertanya, “Tapi jika kita akan melewati badai—”

“Kapal biasa takkan memadai, bukan. Ombaknya akan berat, khususnya sejauh itu dari pantai. Bahkan jet tempur tidak dijamin mampu terbang melalui badai seberat itu kemudian pulang dengan selamat ke pangkalan. Sama dengan kata-kata saya sebelumnya, mereka menunggu kesempatan dan membuat persiapan. Kesempatan tersebut adalah badai, dan persiapannya adalah apa yang mereka perlukan untuk melewatinya. Dengan kata lain, misalkan kapal biasa takkan kuat, mereka harus menyiapkan kapal perang luar biasa.”

Gambar layar holo berubah lagi. Sekarang menunjukkan siluet kapal induk besar yang tak sesuai dengan deskripsi kapal perang. Anjungannya di sisi kiri kapal berlawanan dengan pusat angkut, menjadikannya sesuatu yang disebut anjungan penghubung pulau. Ada pula geladak penerbangan datar dengan jalan besar serta sebuah pelontar.

Dua pemegang empat turet angkatan laut 40 cm dipasang sedikit lebih jauh dari geladak penerbangan biar tak menghalangi pesawat yang ingin lepas landas. Di bagian teratas anjungan ada patung seorang wanita yang memantulkan sinar matahari samar.

“Sebuah kapal induk besar. Dalam misi ini, Divisi Penyerang akan diangkut kapal perang pemburu leviathan yang dibanggakan Armada Orphan.”

 

Catatan Kaki:

  1. Lahan basah atau wetland (Inggris). Adalah wilayah-wilayah di mana tanahnya jenuh dengan air, baik bersifat permanen (menetap) atau musiman. … Pada sisi yang lain, banyak kawasan lahan basah yang merupakan lahan yang subur, sehingga kerap dibuka, dikeringkan dan dikonversi menjadi lahan-lahan lain.

 

Share this post on:
Subscribe
Notify of
guest
1 Comment
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Lekmaa

Hmmn..