Share this post on:

Keputusan Nekat

Penerjemah: Kaine

Sumber gambar: AceOS

“Wah!”

Cengkeramannya pada cambuknya terlepas tepat sesaat merasakan dampak keras di tangan kanannya.

Subaru langsung menahan sakit, mengalirkan kekuatan ke tangannya, tetapi tidak sebanding kekuatan yang merenggut cambuknya. Terlebih dia terjerumus ke depan lalu jatuh terbalik ke tanah dengan suara, Abeshi1!

“Aduh …”

“Satu-satunya cara untuk berkembang adalah mendedikasikan diri Anda tuk berusaha sebaik mungkin setiap harinya. Sepertinya porsi pelatihanya tidak mencukupi. Malang sekali.”

“Soal itu tidak bisa kusangkal …”

Subaru jatuh ke tanah kosong, meringis ketika kurang keahliannya dengan kasar ditunjukkan kepadanya. Dia pelan-pelan berdiri, menatap pria tampan yang cerdas itu.

Tatapan di mata pria itu tajam sampai mengingatkan Subaru akan reptil, rambutnya biru tua yang dipotong dan disisir rata. Sebagaimana kesan pribadinya, mengenakan pakaian pelayan dan kacamata satu lesa di salah satu matanya, dia seorang profesional yang cerdas, sopan, dan elegan.

Namanya adalah—

“—Clind! Bisa-bisanya kau bersikap tak sopan begitu ke Subaru-sama!”

“…”

Pria muda itu, namanya Clind, tanpa kata melirik ke samping. Setelahnya, sosok seorang wanita tinggi tertatih-tatih menghampiri mereka, melompat masuk ke penglihatannya.

Wanita itu cantik dan penuh gaya dengan mata hijau indah, rambut pirang panjangnya tergerai-gerai. Memakai pakaian pelayan yang warna utamanya hitam, dia melewati Clind dan mendatangi Subaru yang masih di tanah, kemudian mengulurkan handuk putih ke dirinya.

“Kau tidak apa-apa, Subaru-sama? Selihatku, kau jatuh lalu wajahmu mendarat lebih dulu …”

“Iya, aku tidak apa-apa, Frederica. Pakaianku berlumpur sedikit, tapi itu sering terjadi.”

Wanita cantik itu—Frederica, menatap khawatir Subaru selagi berdiri di tempat dan membalas, “Tapi …” sementara Subaru menerima handuknya dengan penuh syukur, dia gunakan untuk menyeka wajahnya.

Namun Clind mengangkat bahu jengkel kepada perkataan Frederica.

“Sebagaimana Subaru-sama sendiri bilang, ini kejadian normal selama pelatihan. Malah, bukannya kau sendiri yang memperlakukan beliau dengan membesar-besarkannya? Mengganggu.”

“Apa!”

Wajah Frederica merona mendengar kata-kata Clind, Frederica melotot padanya, gigi tajamnya diperlihatkan.

Terperangkap di antara dua orang yang saling melotot itu, Subaru rasanya mau memegangi kepalanya, menggumamkan, “Mulai lagi …”

—Clind dan Frederica.

Masing-masingnya memakai pakaian kepala pelayan dan pelayan biasa, dua-duanya posisi pelayan keluarga Mathers. Meskipun Subaru dengar mereka sudah lama saling kenal, hubungan mereka tak baik-baik amat.

Biasanya, dua orang itu adalah pelayan cakap yang sopan sekaligus penuh perhatian, tetapi seketika mereka saling kontak seperti ini, pertengkaran akan langsung pecah begitu ada pencetus sekecil apa pun.

Jikalau pertengkaran mereka isinya saling tukar-menukar pendapat tentang urusan politik Roswaal, perbuatan yang cukup tinggi bagi para pelayan, maka perselisihan sepele mereka adalah hal sesederhana berjalan di lorong.

Singkatnya, mereka kelihatan tidak cocok satu sama lain, tapi—

“Frederica, aku senang kau mencemaskanku, tapi aku baik-baik saja, sungguh.”

“Tidak, spesifiknya aku tidak mengkhawatirkanmu. Hanya saja ekspresi dan sikap tenang pria ini, serta ucapan tidak pengertiannya, sangatlah menyebalkan …!”

“Oh, ternyata kau tidak mengkhawatirkanku! Jadi malu!”

“Ah, bukan itu …! Bukannya tidak khawatir! Tentu saja, aku meresahkan keadaanmu, Subaru-sama. Bukan cuma aku, tapi Petra juga.”

Frederica tampaknya tidak sengaja melontarkan pikiran jujrnya, dan Subaru hanya bisa nyengir-nyengir sambil menggaruk pipi, mendengar nama Petra disebut dari mulut Frederica.

Dia membuat para wanita di mansion, kecuali Ram, merisaukannya—apalagi Petra.

Mengenai situasi terkini, yang terjadi adalah Frederica diminta memeriksa Subaru mewakili Petra yang sibuk.

“Tapi akulah yang memintanya. Aku sudah siap bakalan jadi sespartan ini …. Apa pun yang terjadi, aku harus berubah sebelum dia balik ke tempat Annerose.”

”—Anda kelewat bertekad. Membuat saya lebih bersemangat mengajar Anda. Terinspirasi.”

Mendengar jawaban Subaru, Clind mengayunkan lengannya, cambuk berwarna gading di tangannya melengkung seraya menciptakan suara yang mengingatkannya akan udara pecah.

Menggunakan senjata sama, Clind membantu Subaru belajar cambuk. Sebab dia menghormati teknik dan posisi Clind, Subaru memanggilnya, Guru.

“Benar-benar, belajar sendiri cuma akan membawaku sejauh ini, aku pasti sudah sampai batas misalkan tidak dibimbing orang lain. Enak rasanya ada orang yang bisa menggunakan cambuk di dekatmu. Makasih atas bantuannya.”

“Saya merasa terhormat bisa membantu. Senang. Akan tetapi, perihal orang yang bisa menggunakan cambuk selain saya, ada orang lain. Calon.”

“Eh, orang lain bisa pakai cambuk? Bukan Ram ‘kan soal menggunakan cambuk kata-kata?”

“Subaru-sama, pemikiran Anda itu … tidak, saya tidak bisa bantah bila itulah pendapat Anda tentang Ram.”

Muka tak gembira tampak di wajah Frederica ketika Subaru bercanda, mengambil cambuk di tempat dia menjatuhkannya, lalu dibawa tangannya. Clind melihat wajah mereka berdua, membandingkan perilaku keduanya kemudian menutup mata monokelnya.

“Tidak sulit. Saya merujuk Tuan. Banyak keahlian.”

“Baiklah, aku sama sekali tidak mau diajari olehnya!”

Seraya bicara, Subaru menginjak opsi tanpa manfaat itu ke tanah, lalu mencambuknya.

Cambuknya melaju dengan kecepatan tinggi, kecepatannya berpotensi melebihi kecepatan suara misalkan Subaru serius melakukannya. Ujung cambuk tersebut mengeluarkan suara hampa mendalam selagi mengincar Clind—sebenarnya, bukan dia, melainkan potongan kayu yang diletakkan di atas tunggul pohon antara dirinya dan Subaru.

Menjerat dan menangkap kayu yang ditempatkan di atas tunggul bundar dengan cambuknya.

Itulah tugas yang Clind berikan kepada Subaru, dan rintangan itu cukup sulit sampai-sampai sekali pun belum berhasil hari ini.

Bukan semata-mata karena anak muda itu tidak mampu menangkap kayu dengan cambuknya karena tekniknya kurang pengalaman dan keterampilan.

“Bidikan Anda teramat jelas. Mengganggu.”

“Guh …!”

Dengan ketepatan mengerikan, cambuk Clind menangkis ujung runcing serangan cambuk Subaru.

Persyaratan menyelesaikan tugas ini adalah mengatasi rintangan ini, dan menarik potongan kayu ke tangannya dengan cambuknya sendiri. Karena inilah Subaru tidak sanggup melewati rintangannya sekali saja.

“Menyerang bagian yang Anda incar, menjerat entitas yang mau Anda incar, lalu menunjukkan hasil yang Anda incar. Alih-alih mengandalkan pedang atau tombak, bila Anda tidak dapat mengisi alasan Anda memilih cambuk …. Tidak ada gunanya.”

“Bla! Bla! Bla! Sial! Kau menghalangiku memakai cambuk seolah bukan hal besar! Aku tahu, tidak usah dikasih tahu! Inilah satu-satunya jalan yang kupunya untuk memanfaatkan pikiran lici … k, agh!?”

Subaru mencoba menarik kembali cambuk yang dihempas, tetapi ujungnya ditangkis Clind sekali lagi.

Subaru terlambat menyadarinya. Saat setelahnya, keseimbangannya terganggu, dan Subaru mudahnya ditarik jatuh oleh Clind yang bahkan tidak memasukkan banyak kekuatan ke senjatanya.

“Aduh! Pilar Suara2!”

“Jatuh Anda agak menarik. Melunakkan kejatuhan Anda juga penting. Peringatan.”

“Su-Subaru-sama!”

Subaru jatuh dari depan dan roboh lagi ke tanah, lalu Frederica buru-buru mendatanginya. Kali ini, wajah Subaru yang pertama membentur tanah, dan darah menetes dari hidungnya.

Frederica buru-buru menahannya dengan handuk, selanjutnya …

“Clind! Mau bagaimanapun, ini kelewatan!”

“Tidak bisa dihindari, mempertimbangkan posisi Subaru-sama. Penting. Kau pun semestinya jangan teramat menghalangi kebangkitan seorang pria untuk berubah. Pemahaman.”

“Kebangkitan seorang pria untuk berubah …?”

Wajah Frederica terlihat seakan-akan bilang, Mana bisa kupercaya, namun Clind menggeleng kepala padanya. Setelah itu, mata tajam Clind menyorot Subaru yang tengah menyeka mimisannya.

“Subaru-sama, saya sangatlah menghargai tindakan Anda yang meminta tuntutan. Terpuji. Selama Anda berdiri di sisi Emilia-sama sebagai kesatria beliau, Anda perlu kekuatan. Kekuatan untuk melindungi Emilia-sama dan diri Anda sendiri hingga akhir. Sangat diperlukan.”

“… iya, aku tahu. Maka dari itu aku bersyukur kau sekeras ini padaku.”

Walaupun Subaru mendengus dan suaranya menciut, semangat juang Subaru tidak retak.

Melihatnya, Frederica menggigit bibir.

“Kalian berdua sama tololnya kayak Garf …”

“Bakalan sangat berguna kalau kekuatanku juga sama sepertinya alih-alih cuma ketololanku, tapi sepertinya itu tidak mungkin, jadi …”

Memegang hidungnya yang menyemburkan darah dari kedua hidungnya, Subaru menghentikan paksa mimisannya.

Saat Subaru berdiri sehabis melakukannya, Clind menatapnya, mengangkat dagun terus menegakkan posturnya.

“Menghadap ke depan dan menolak berhenti …. Sikap Anda sungguh-sungguh bagus. Sudah lama ditunggu-tunggu.”

“Makasih banyak … misalkan keahlian cambukku kian bagus, nantinya semakin banyak pilihan yang bisa kupilih. Jika pilihannya semakin banyak, maka orang-orang di sekitarku juga akan makin maju, bukan cuma aku.”

“Ya. Akan tetapi, tolong jangan terlalu percaya diri akan hal itu. Saya yakin tak banyak kesempatan di mana Anda perlu berjuang sendirian. Dukungan.”

Clind menyentakkan dagu, menunjuk Frederica.

Dimulai dirinya, Subaru punya orang-orang seperti Garfiel dan Otto di sekelilingnya, dan Beatrice-lah yang paling dekat dengannya melebihi siapa pun. Seandainya pertarungan itu untuk melindungi, maka tentu saja Emilia berdiri berdampingan dengan mereka pula.

Karenanya pernyataan Clind benar.

Dalam pertarungan Subaru, bukan berarti Subaru akan meraih kemenangan yang susah didapatkan. Pertarungannya bisa membuahkan hasil dengan menggunakan kemampuan orang lain sebaik-baiknya.

“Omong-omong, bagaimana kalau situasinya hanya ada aku seorang?”

“Anda harus lari. Kecepatan penuh.”

“…”

Subaru menanyakannya, niatnya setengah bercanda, tetapi Clind tidak tersenyum mendengarnya.

Situasi yang sangat tidak mungkin terjadi, tapi bukannya tak mungkin. Dalam situasi dirinya dikejar-kejar dan dipojokkan, saran Clind langsung masuk intinya.

“Anda harus lari, Subaru-sama. Kerahkan seluruh upaya Anda untuk kabur, secepat larinya kaki Anda, dengan memalukan dan jangan repot-repot memikirkan penampilan Anda. Inilah tindakan paling bijaksana. Satu-satunya pilihan.”

“Misal kalimat akhirmu begitu, kedengarannya seolah aku tidak punya pilihan lain dan kabur jadi pilihan terbaik.”

Clind tidak menjawab, ekspresinya sama ketika mendengar perkataan Subaru.

Tidak perlu menjawab. Apakah kebisuannya adalah bukti bahwa kesimpulan Subaru tepat sasaran?”

“Duh, mentorku benar-benar tidak berbelas kasih!”

“Orang itu memang begitu dari dulu. Keras sama orang yang terlihat menjanjikan kemudian melatih mereka … tapi, dia berhenti dan tak lagi menghiraukannya saat minatnya hilang. Dingin nan kejam.”

“Derica-san? Uh, suaramu agak dingin?”

Merasakan hal mematikan dalam suaranya, ibarat andai disentuh akan langsung mengirisnya, Subaru segan-segan bertanya ke Frederica yang berpaling dengan suasana hati cemberut seraya menggumam, “Jangan tanya aku!”

“Sudah kuputuskan. Aku pun akan mendukung kesuksesan pelatihanmu. Tolong permalukan Clind, buat dirinya mengubah wajah tidak pedulian itu dan menangis.”

“Permintaannya cukup sulit …!”

“Oh, orang yang meminta dan menginginkan Emilia-sama menjadi Raja bilang begitu?

Pelayan cakap memang hebat, bahkan ejekannya paling mantap, meskipun Subaru yang memprovokasinya.

Subaru membelalak mendengarnya, kemudian mengangguk sambil tersenyum jahat, menjawab, “Kau benar.” setelah itu, dia memasang kuda-kuda garang sambil memegang cambuk.

“Kehormatanku sebagai pria akan disakiti apabila tidak bisa kucapai, apa pun kata orang! Perhatikan aku, akan kulakukan!”

Bersama teriakan beraninya, Subaru mengayunkan cambuk, sekuat tenaga melakukannya.

Membuat litasan tajam, ujungnya melesat di udara sesaat mengarah lurus ke tunggul pohon—

“Antusias Anda mengagumkan, namun keahlian Anda buruk. Tidak cukup.”

“Guh, aaaaaaaaaaaghhh—!!”

“Su-Subaru-sama—!!”

Lagi-lagi, Subaru ditarik ke bawah lalu dibanting ke tanah dengan wajahnya menabrak duluan.


Pohon raksasanya terbelah dua di atas kepala mereka, gelombang kejut yang dihasilkannya menghantam seluruh tubuh Subaru. Punggungnya yang dihajar gelombang tersebut membuatnya memuntahkan darah cokelat kekuningan yang telah terkumpul dalam mulutnya.

“…”

Tubuh hangat dan lembut Rem dipeluk lengannya.

Tangan-kaki Subaru sendiri masih utuh, kelihatannya pun dia berhasil menghindari panahnya. Seketika dia menyadarinya, momen ini adalah tanda dirinya berhasil.

“N-ngapain mendadak …”

“Bacot! Diam atau nanti lidahmu kegigit sendiri!”

Reaksi Rem lamban karena semua halnya berjalan begitu tiba-tiba; namun Subaru tidak menggubris komplainnya. Setelah membangkitkan tubuh Rem yang jatuh menjorok ke depan, Subaru lalu menjatuhkan diri ke belakang, berguling sejauh mungkin sambil mendekap Rem.

Dibungkus pelukannya, dia bisa merasakan Rem menahan desakan tuk berteriak; tetapi desakan itu diganggu suara yang jauh lebih keras—Yakni, deru pohon raksasa terbelah yang runtuh.

Tempat Subaru dan Rem terbaring sesaat lalu telah rata, pohon-pohon lain yang tertimpa kejatuhannya menyebar penggundulan hutan di sekitarnya.

Sebagai seseorang yang cukup mengerti alam, hatinya jadi sedikit sakit, tapi …

“… sekarang, diri kami lebih penting!”

Memanfaatkan debu yang mengepul oleh tumbangnya pohon sebagai pengalih, Subaru tidak berhenti berguling. Rem melakukan perlawanan, tapi terlepas dari itu, Subaru membiarkan adrenalinnya menguasai dan menarik Rem dekat-dekat sekuat tenaga.

Mereka terus berguling, berguling dan berguling, hingga tanah di depan mereka tahu-tahu menghilang.

“Uwaaaah!”

“Kyaa!?”

Sejenak, rasanya mereka bak melayang, namun setelahnya tanah menghentikan kejatuhan mereka.

Sebuah lubang besar penuh pohon tumbang ditambah tumpukan tanah dan pasir—Yaitu, lubang yang Rem buat untuk menjebak Subaru. Sendirinya berguling masuk, dia lepas dari pandangan lawannya.

Meski begitu, bukan berarti tidak ada ganjarannya.

Ugh, agh …. Sial, oh tidak …!

Lengan kirinya panik melingkari Rem, dan sejumlah jari lengan yang terus dipegang Rem, telah patah. Jari tengahnya, manis, kelingking; semuanya patah, kecuali jempol dan jari telunjuk.

Jatuh ke lubang yang sama dengan Subaru, Rem merangkak menjauh, menjaga jarak darinya. Pemuda itu kesakitan, mencoba berusaha sebaik-baiknya untuk tak melihat jari-jarinya yang menunjuk ke arah aneh.

“Kau memperkirakan apa! Pas melakukan itu …. Apa yang terjadi!?”

“… aku lupa mengatakannya, tapi asal tahu saja, ada pemburu berbahaya yang berkeliaran di hutan ini. Sekalipun, ini cukup menghilangkan kemungkinan mereka sedang berburu dan kehilangan target mereka …. Gaah.”

Selagi keringat dingin mengalir di dahinya, Subaru meluruskan ketiga jari patahnya. Sementara waktu ini, Subaru membenarkannya dengan cabang pohon menggantikan handuk.

Masi untung jari yang dipatahkannya di tangan kiri. Andai di tangan kanan, di tangan dominannya yang memegang cambuk, lantas kemampuan beraksinya akan menurun hingga setara kemampuan anak SD.

“Pemburu berbahaya …. Mereka bukan kawanmu?

“Memangnya kawan akan memberi tembakan perlindungan sekuat ini? Dan lazimnya, kenapa juga mereka ngasih tembakan perlindungan …. Aaah!?”

Satu pohon meledak di depan matanya ketika hati-hati menjulurkan keluar kepalanya dari lubang untuk mencoba melihat sekilas situasi di luar.

Nampaknya pemburu mulai mengutamakan bersih-bersih bidang pandangan mereka dahulu, biar dia bisa membidik dan memanah Subaru serta Rem. Dia pasti tahu mereka tak mampu menyerang dari jauh.

“Teorinya penembak runduk biasanya mengganti posisi mereka bila mana keberadaan mereka ketahuan …. Sial, dia meremehkan kita. Tidak bisa membalas apa-apa juga, sih.”

“—ini kekuatan busur dan panah? Tidak bisa kupercaya. Ini tidak normal.”

“Mhm, aku setuju! Ibarat jika kepanah maka seratus persen dadamu ada lubang di akhir riwayatmu!”

Faktanya, perulangan terakhir, Subaru ditusuk salah satu panah pemburu itu dan mati layaknya serangga terperangkap yang disematkan ke pohon. Akan tetapi, masih ada poin aneh mengenainya—Kali terakhir, Subaru pergi ke seberang hutan.

“Kenapa kau ke sini …?” tanya Subaru.

Rasa sakit yang mengalir dari jemari patahnya teramat mengganggu pikirannya. Subaru menggertakkan gigi belakangnya, nyaris patah karena penderitaan, dan dengan panik jatuh dalam renungan.

Sukar membayangkan pemburu ini dan pemburu yang membunuh Subaru adalah dua orang berbeda. Keduanya sama-sama menyerang Subaru, ditambah lagi senjata mereka busur serupa. Lantas pertanyaannya apakah serangan mereka disengaja atau tidak.

Apa pun itu, jumlah pertanyaan perihal alasan Subaru ditargetkan sekarang ini tiada habisnya. Subaru dan Rem saling berhadapan, dan walau benar Subaru tertegun oleh penolakan Rem, Subaru tak benar-benar berpikir dia akan lebih mudah dibidik dari sebelumnya.

Selanjutnya, jikalau sang pemburu terus menargetkannya, lantas makin mungkin mereka diikuti.

Apa yang menimpa mereka masihlah kabur, tetapi yang di luar jangkauan mereka adalah bagaimana mereka dilempar jauh dari Menara Pengawas Pleiades. Senantiasa ada kemungkinan bahwa, mungkin saja, mereka terbang ke langit bak bintang jatuh kemudian jatuh ke padang rumput.

Tentu saja bila demikian masalahnya, kendait mengabaikan Rem, tak ada penjelasan tubuh lemah Subaru tidak buyar berpotong-potong; jadi asumsi masuk akalnya adalah kejadian lain menimpa mereka.

“Mereka mengincar buruan kabur yang jatuh ke bawah sini atau semacamnyalah …”

Atau barangkali ini lahan pribadi, jadi mereka mencoba mengusir siapa pun yang masuk tanpa izin dengan cara ekstrem. Bertentangan dengan keakuratan busurnya, haruskah mereka anggap pemburu itu tidak ahli main santai?

“Kalau begitu, tidak bisakah aku bicara baik-baik sama dia! Hei! Aku tidak bermaksud buruk! Hanya saja kami kebetulan ada di hutan ini, jadi …”

“Tunggu sebentar! Waktu kau bilang kami, kau menghitungku dan gadis itu juga? Aku tidak mau kami disamakan denganmu!”

“Sekarang bukan waktunya bilang hal-hal kayak gitu—Uaagh!?”

Satu panah yang menancap ke tanah adalah jawaban seruan gencatan senjata Subaru. Kekuatan magis ini yang bahkan sanggup memadamkan pertengkarannya dengan Rem boleh jadi gampang menuntaskan seluruh hambatan yang dilihat pemburu itu lalu mengarahkan taringnya ke Subaru dan Rem yang berada dalam lubang besar.

“Sepertinya dia bukan tipe orang yang bisa kau ajak bicara …”

“Saat kau menghadap anak panah, harus kau duga ada kemungkinan panahnya dapat menusukmu dengan tembakan melengkung …. Misalkan dia bisa menahan posisi selama berjam-jam, seperti pekerjaannya penembak runduk …. Tidak, mengingat kita lagi membicarakan busur sama anak panah di sini, maka jelas berbeda dari melihat dunia lewat bidikan. Jadi … mungkinkah mustahil mempertahankannya lama-lama?”

Dalam film-film dan komik, kau sering kali mendapati adegan seperti penembak runduk menunggu berjam-jam sambil menatap mangsanya dengan senapan runduk mereka. Namun dengan busur dan anak panah, situasi buruknya berbeda penuh.

Tak seperti senapan yang hanya harus menekan pelatuk untuk menembak, panah harus disambungkan dulu ke busurnya. Ada suatu pembatas meski penggunanya memiliki kekuatan supernatural di dunia berbeda.

Lantas, dengan musuh pemburu yang membidik mereka, ini pun …

“… pertempuran jangka pendek.”

Memprediksi lawan mereka akan segera bergerak, Subaru menetapkan batas waktu untuk dirinya sendiri, mengingat dirinya tidak bisa berpikir lama-lama di sini.

Mereka takkan bisa menghindari pertarungan selama musuh tidak setuju berdiskusi. Dan meskipun mereka tidak dapat menghindarinya, kartu as yang mereka punya terlalu sedikit.

“Persis kata mentorku, jalan satu-satunya adalah kabur.”

Alhamdulillahnya, musuh mereka tidak bisa melihat posisi Subaru dan Rem karena keduanya melompat ke lubang besar ini. Bila mana mereka memanjat keluar dari sisi berlawanan lalu kabur sembari tetap dekat-dekat tanah, mereka mungkin bisa kabur ke semak-semak.

Atau mungkin …

“…”

“…? Kenapa mendadak kau terdiam? Bukannya barusan kau kedapatan rencana kabur?

“… kita di sini beneran dalam masalah besar, ditambah lagi, kau akhirnya mendengarkan kata-kataku, ya.”

“Ugh.”

Rem mengerutkan alis teraturnya selagi duduk di tanah, ekspresi tak puas terpampang di wajahnya. Tapi tampaknya dia paham kalau dia tidak bisa berdebat dengan Subaru selama dia tidak tiba-tiba menyerangnya.

Waktu mereka akan terhemat banyak jika Rem bisa mengendalikan perseteruannya sebentar, dan menyerukan gencatan senjata sementara.

“Dengarkan aku, Rem. Aku akan melompat keluar dan menarik perhatiannya. Selagi kulakukan, panjat sisi lain lubang terus kabur cari tempat berlindung.”

“Apa …?

“Kendatipun kekuatan panahnya menakutkan bukan main, kau takkan bisa memilih tempat berlindung di kehijauan alam karena saking banyaknya. Jadi entah bagaimana aku akan berusaha sekeras mungkin mengulur waktu biar kau bisa kabur.”

Antara membawa rem bersamanya terus kabur, atau membiarkan Rem kabur duluan.

Subaru pikir opsi yang peluang suksesnya paling besar adalah opsi terakhir. Tidak peduli sejago apa musuh mereka menggunakan busur, mereka berada di hutan serba pepohonan. Lantas Subaru telah memainkan kartunya, mempertimbangkan kemungkinan anak panah terbang menuju mereka. Panah-panahnya mungkin takkan mudah menembus semua itu.

“Aku juga akan kabur, setelah cukup mengulur waktu. Tapi, aku tidak mau terpisah darimu, sewaktu kabur, kalau bisa, tolong tinggalkan beberapa jejak. Meski kau sulit memahami ini, di tanah airku kami punya semacam simbol yang namanya tanda arah, fungsinya memberi petunjuk arah secara umum …”

“… bisa berhenti menyemburkan apa pun sesukamu.”

“Rem?”

Subaru buru-buru memberi tahu Rem rencana kaburnya, namun Rem memotong penjelasannya dan melotot amat tajam.

Napasnya tersedak melihat betapa tajam ekspresinya, Subaru bingung sama kondisinya. Dan Rem kelihatan makin kesal oleh kebingungannya.

“Kau putuskan semuanya, betulan segalanya, sendirian …. Dan sesudah semua itu, kau menyuruhku kabur? Beri tahu aku, siapa yang marah padamu karena kau mencoba meninggalkan seorang anak?”

Rem menolak usul Subaru dengan alasan sama sebagaimana dia menolak Subaru di awal-awal.

Kelewat masuk akal. Kau mungkin bisa bilang jawaban itu asalnya dari menjadi manusia baik. Tetapi Subaru tidak menyangka Rem memutuskan takkan meninggalkan mereka dalam situasi inii.

“Tapi … yah, aku …”

“Persetan dengan alasannya. Tidak ada waktu buat itu. Tapi, soal instruksimu yang menyuruhku, dan cuma aku, untuk kabur, aku menolaknya. Dari awal aku tidak tega meninggalkan anak itu.”

Mengalihkan pandangan dari Subaru yang tak kuasa menyembunyikan keterkejutannya, Rem memalingkan perhatiannya ke luar lubang.

Rem memindahkan perhatiannya ke pohon raksasa yang dihancurkan panah pertama—selanjutnya, ke pohon besar lain yang sedikit lebih jauh.

“Baru sekarang kupikir dia tidak di sini; apa dia sembunyi di sana? Kok bisa dia diam banget padahal segaduh ini …”

“… menyusahkan membawanya, jadi aku buat dia pingsan saja. Kurasa sementara waktu ini dia takkan bangun.”

“Kau …”

Bahkan kini, Louis membebani pelarian Subaru dan Rem. Kebencian yang mulai tumbuh karenanya telah hancur begitu mendengar jawaban khas Rem.

Subaru gambarkan keputusan sekejap agak ekstrem itu sungguh-sungguh tipikalnya Rem.

“… aku tahu itu pun bukan langkah bagus.”

“Tidak, kuterka itu langkah bagus mengingat keadaannya—Hanya di antara kita, kau takkan meninggalkannya terus kabur bersama denganku, kan?”

“Sekalipun tidak tahu siapa diriku, lebih baik kugigit lidahku sendiri lalu mati ketimbang melakukannya.”

Subaru ragu Rem akan betul-betul mati karena sesuatu semacam itu, namun tentunya dia tidak ingin Rem melakukan hal tersebut, meskipun Rem cuma mengetes.

Jujur, pilihan terbaik Subaru adalah meninggalkan Louis di sini kemudian lari bersama Rem, tetapi Rem sendiri takkan membiarkannya.

“Matilah aku, gara-gara sudah menunjukkan sisi baikku sebelum kami ditelan bayangan …”

Subaru tak hanya membawa tubuh Rem, namun Louis pula tatkala Ruang Hijau ditelan bayangan. Dan itu mendatangkan situasi ini. Walaupun latarnya tak bisa dia ulang lagi, Subaru bisa bilang jelas-jelas bahwa waktu itu pilihannya salah.

“Jadi kau akan melakukan apa?”

“… kulakukan. Aku bawa dia. Pohon di sana, kan?”

“—benar. Dia tertidur lelap dalam lubang pohon. Ada peluang kau bisa mencapainya?”

“Yah, mentorku menyuruhku kabur tanpa membuang waktu sedetik pun kala menghadapi musuh kuat.”

Subaru tak membicarakan pengukuran perbedaan kekuatan kedua belah pihak, dan lain-lainnya.

Lagi pula, di dunia ini, sebagian besar musuh Subaru lebih kuat darinya. Maka, cara optimal untuk bertahan adalah berasumsi lebih dulu bahwa semua orang yang ditemuinya pastilah lebih baik tingkatannya.

Justru gara-gara alasan itulah Subaru memprioritaskan kabur. Tapi di kasus dirinya tak bisa lari …

“Akan kugunakan semua yang bisa kugunakan. Rem, kau barangkali tidak bersedia, tapi tolong bantu aku.”

”—kalau itu demi membantu si gadis kecil.”

Rem menatap tangan yang diulurkan ke dirinya, tetepi tak dia raih.

Rem semata-mata mengangguk enggan kepada Subaru enggan, sebab Subaru telah menyusun rencana tindakan.


Subaru mengayunkan lengan kirinya kuat-kuat, memeriksa kondisi ketiga jarinya yang patah.

Jarinya terluka. Lantas sambil merasakan sakit ini yang takkan hilang apa pun yang terjadi, seolah-olah cakarnya menggali pikirannya, Subaru menguatkan diri biar tak menghalanginya.

Lalu …

“… hiyaaaa!”

Mengerahkan otonya, dia mendorong pohon tumbang kecil dari lubang besar ke tanah di atas.

Tepat saat berikutnya, sebuah panah yang mendatangi mereka amat cepat menembus pohon tumbang yang Subaru dorong ke atas. Dampaknya mementalkan pohon tersebut dan menghempas paksa Subaru ke belakang.

“Uwaaaah!!”

Dilihat sudut matanya, Subaru merangkak keluar dari lubang besar dan kuat-kuat menginjak tanah kasar. Secepat-cepatnya seorang pemburu menembak panah mereka pasti ada batasnya. Tak seperti senjata api, kau mesti memasang anak panah, menarik tali busur, kemudian membidik.

Jeda waktu ini memberi Subaru secercah harapan untuk bertahan hidup …

“… panahnya datang lebih cepat!!”

Kata Rem seketika Subaru merangkak keluar dari lubang besar dan menghentak langkah pertamanya.

Dari segi waktu, cuma dua detik berlalu semenjak panah pertama meledakkan pohon tumbang yang dia gunakan sebagai umpan—biar begitu, bagi seorang pemburu piawai, dua detik itu cukup untuk menembak panah berikutnya.

“… ah.”

Tanah di belakang Subaru langsung meledak sesudah mendengar suara Rem.

Subaru menegang di tempat dan tidak memasang kuda-kuda bertahan ketika mendengar panggilan Rem adalah tindakan tepat. Terkhusus, sarafnya tak cukup selaras untuk sempat-sempatnya menanggapi panggilannya; namun hasilnya tidak ada masalah.

Seperti itulah, satu per satu panah beterbangan ke Subaru selagi dia lari ke pohon—setiap tembakan panahnya kurang dari dua detik.

Andaikata salah satunya saja berhasil menusuknya, dia akan dijadikan landak sekejap mata.

Akan tetapi …

“Takkan kubiarkan—!” teriak Rem.

Serangan pemburu berikutnya diganggu gumpalan tanah yang dilempar Rem disertai teriakan gagah beraninya.

Sembari memunggungi lereng lubang besar, sesuatu itu dilempar Rem—Bukan, sesuatu itu adalah serangan ganas yang kau sebut bombardir, terbuat dari batu besar yang diliputi tanah.

“Kendati bakalan lebih bagus lagi misalkan dia tahu cara menggunakan sihirnya …”

Di saat mereka memastikan tingkatan kekuatan bertarung Rem, gadis itu tidak setuju menggunakan kekuatan tanduk Oni-nya, sihir dan semacamnya. Lebih tepatnya, dia sejujurnya tidak ingat cara menggunakannya.

Terlepas dari itu, mereka tidak boleh buang-buang waktu berusaha membuatnya mengingat teknik-teknik itu. Oleh sebab itu, Subaru lebih menyarankan dirinya menggunakan kekuatan fisik yang masih dia miliki, meskipun dia tidak punya teknik …

Merintangi pemburunya dengan keganasan primitif, menggunakan fisik lahiriah Suku Oni; serangan itu menghujam pemburu yang tengah mempertahankan posisinya, tidak lagi menganggap lemah Subaru dan Rem.

“Kau tahu ada pepatah, jangan bangunkan harimau yang tertidur! Makan, tuh!!”

Subaru melompati gelombang kejut yang dihasilkan panah persis di bawah kakinya seraya berteriak. Di sisi lain, dalam pandangannya, satu batu besar yang Rem lempar terbang ke arah pemburu melepaskan panahnya.

“GRHAAAAAAA—!!”

Kala berhadap-hadapan musuh, Rem tidak bisa santai. Dan itu bukan sifat terbaiknya Rem.

Rem mengumpulkan batu-batu tersebut untuk jaga-jaga saja yang dengan cepatnya menjadi senjata berbahaya bukan kepalang cuma bermodal dilempar lengan kurusnya.

“Yah, selagi Rem mengulur waktu, aku akan—!”

Selagi Rem menghancukan tembakan penembak runduk menggunakan bombardirnya, memanfaatkan persenjataan tepatnya, Subaru berhasil mencapai pohon yang dituju.

Sementara pertempuran berkecamuk, Subaru berjalan ke belakang pohon besar. Di sana dia melihat Louis, tengah tertidur di ranjang rambut emasnya sendiri dalam lubang hancur.

“…”

Dia mendapati pipi kemerahannya sekaligus dadanya kembang-kempis pelan, memastikan dia masih hidup dan baik-baik saja.

Alhasil, sewaktu mencoba merangkul tubuhnya, Subaru merasakan suatu penolakan dalam dirinya. Walaupun aksinya tidak dari perasaan pribadi, jiwanya alih-alih pikirannya, menolak Louis.

Dia ini Uskup Agung Dosa Besar, meskipun menunjukkan wajah tidur polos. Dia adalah pengkhianat tak termaafkan …

“Tolong berhenti berlama-lama!!”

“—agh!”

Keragu-raguannya dihancurkan desakan Rem.

Sesaat mendengarnya, Subaru entah bagaimana mengurangi perasaan penolakannya dan mengangkat louis. Lalu sembari memegang badan ringannya, dia melompat keluar dari lubang pohon dan mulai kembali ke sisi Rem.

“… hah?”

Tiba-tiba itu, bayangan hitam menghalangi jalannya, persis melompat ke depan matanya.

Rencananya Subaru menempuh jalan sama untuk kembali ke lubang besar. Dia tidak membayangkan sesuatu seperti ini akan menghalanginya; Subaru menatap bayangan yang mendadak muncul—Kemudian kehabisan kata-kata.

“—ϡϡ!!”

Bayangan raksasa menyelinap dari hutan, tidak mengeluarkan suara, kini lagi memblok jalan Subaru. Bayangan itu ular besar, barangkali panjangnya sekitar sepuluh meter. Seluruh tubuhnya tertutup sisik hijau rapat dan matanya kuning. Melihat tanduk putih membengkok di dahi penyusup seketika mereka, Subaru menyadari identitasnya.

“Monster Iblis—!”

Dihadapkan perwujudan sangat besarnya yang begitu dekat, Subaru menyesali kesalahan bodohnya.

Subaru sendiri semestinya memperhitungkan ini; akan fakta dirinya sekarang yang melepaskan bau penyihir paling pekat sepanjang sejarah dirinya dipanggi ke dunia ini.

Jadi wajarlah Subaru menarik Monster Iblis padanya, seperti halnya di Bukit Pasir Augria dan sebagaimana yang terjadi di banyak tepat hingga sekarang.

Dia semestinya tahu bagian dalam hutan suram seperti ini yang sedikit sekali orang keluar-masuk, pastinya adalah tempat tinggal ideal mereka.

“—ϡϡ!!”

Ular besar itu membuka mulut mengaga lebarnya, sasarannya mengarah ke Subaru.

Mulut menganganya kelihatan cukup besar sampai-sampai tidak cuma mampu menelan Subaru seorang, tapi Louis pula yang sedang dia gendong. Melihatnya mendekat, persepsi waktu Subaru terhenti.

… oh, gawat.

Subaru merasa ibarat merasakan perasaan ini sebagai orang lain sepenuhnya.

Melihat dunia berkedip terlampau lamban nan lesu mirip waktu-waktu dirimu sedang kilas balik masa lalu kehidupanmu. Perihal topik ini, ada teori yang mengatakan bahwa itulah cara pikiran mencari solusi menggunakan hal-hal yang telah dialami hidup sampai masa ini, tatkala kematian mendekat.

Tapi bagi Subaru, sekeras bagaimanapun dia memeras pikirannya, dia tidak menemukan solusi apa-apa yang mencegahnya dimangsa seekor ular besar. Sekiranya dipaksa, waktu-waktu yang dia temukan adalah kawanan kelinci; tetapi ingatan itu inginnya dia tolak, biarpun kondisinya sedang kilas balik kehidupan.

Usai menyia-nyiakan momen sejenak untuk pemikiran tanpa faedah itu, bahu Subaru lalu merosot.

Seraya mengutuk tubuhnya sebab bertindak cepat nian untuk melindungi Louis, mereka hendak ditelan, kepala dahulu, masuk ke mulut menganga ular besar—

“—ϡϡ!?”

“Wah?”

Subaru refleks menutup mata, ketika sesuatu yang rasanya cair menetes di atas kepalanya. Pikiran tidak menyenangkan melintas di benaknya, pasti jenis yang menyemprotkan cairan pencernaannya sebelum makan. Namun tidak demikian. Yang menyelimuti seluruh tubuh Subaru adalah darah kehitaman yang muncrat ke mana-mana.

Jumlah besar darah yang ular besar itu muntahkan dari rahangnya, seusai tubuhnya ditusuk sebuah panah tajam.

Catatan Kaki:

  1. Referensi Fist of the North Star!
  2. Referensi pilarnya KaEnYe.
Share this post on:
Subscribe
Notify of
guest
3 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
renren

mantap minn lanjutkannn…

Subarem

gak lanjut kaga rem

dikaici

bang