Share this post on:

Theresia van Astrea

Penerjemah: Vholran Igniseri

Ilustrasi:

※ ※ ※ ※ ※ ※ ※ ※ ※ ※ ※ ※ ※

—nanti kau sekaget apa pas tahu, kalau itu sebenarnya cinta pandangan pertama?

※ ※ ※ ※ ※ ※ ※ ※ ※ ※ ※

Theresia van Astrea berumur dua belas tahun ketika menerima Divine Protection of the Sword Saint.

Itu perubahan mendadak tidak terperkirakan yang menyebabkan tekanan besar dalam hidupnya.

Selama kehidupan normalnya sehari-hari, hal itu tiba-tiba menimpanya.

“—? Mungkinkah, aku terpilih?”

Emosinya jujur, dia sambut Divine Protection dengan emosi itu.

Lalu Theresia terus merahasiakan kebenaran ini selama beberapa waktu.

—keahlian keluarga Astrea adalah pedang, dan telah melahirkan Pedang Suci dari generasi ke generasi dan berlanjut.

Berkat pencapaian ratusan tahun lalu oleh generasi pertama Pedang Suci, Reid Astrea, Kerajaan Naga Lugnica mengakui pedang keluarga Astrea sebagai eksistensi dan aset sangat penting.

Tradisi ini telah diturunkan bertahun-tahun, termasuk masa Theresia.

Seterusnya, setiap orang yang lahir dalam keluarga Astrea, entah memiliki Divine Protection of the Sword Saint atau tidak, wajib mengabdikan diri mereka kepada pedang seumur hidup.

Ini pun tentu berlaku kepada ayahnya, kedua kakak laki-lakinya serta adik paling mudanya. Menjadi pendekar pedang atau mendapatkan Divine Protection atau tidak, mereka diharuskan mengenal pedang begitu punya kesadaran pikiran.

Jika kau bertanya bagaimana ceritanya Theresia yang lahir dalam keluarga Astrea yang cara tumbuhnya itu wajar, menjadi dewasa, jawabannya adalah—dia menghabiskan hari-harinya sejalan dengan pedang.

Tentu saja, misalkan kau lahir dalam keluarga Astrea, maka apa pun jenis kelaminnya, kau harus memegang pedang.

Di hari-hari gadis itu dan kakak-kakaknya menjalani pelatihan keras. Hari-hari itu ada memang, namun dia sama sekali tidak punya bakat unggul soal pedang.

Daripada itu, lebih tepatnya mengatakan dia tidak pernah punya keterikatan untuk menghadap pedang.

Seperti halnya banyak gadis lain, Theresia tidak tertarik pada pedang.

Bukannya dia payah soal pedang. Upayanya tanpa motivasi, sikapnya pun suka melawan. Wajar saja semisal orang tuanya akhirnya sadar sia-sia saja menyuruhnya mengayun pedang sekiranya dia terus bertingkah seperti ini.

Divine Protection of the Sword Saint diberikan kepada mereka yang terbukti layak menerima cinta Dewa Pedang.

Generasi bergenerasi menjadi saksi, hanya anggota keluarga Astrea yang mampu menerima warisan Divine Protection of the Sword Saint. Sekurang-kurangnya, itulah keyakinan umumnya, sebab tidak ada detail aktual yang diketahui mengenai warisan Divine Protection.

Hanya saat pendekar pedang menghadap pedang dengan kesungguhan mutlaklah perlindungan itu akan mengenalnya dan memberkahinya.

Melihat kemungkinan dirinya menjadi Pedang Suci turun mengecil hingga sepele, keserakahan Theresia artinya terpenuhi dan dia diberikan kebebasan sesukanya.

Theresia menjauhkan dirinya dari latihan pedang, namun dia pun punya alasan masuk akal di baliknya.

Tentu saja ketidaktertarikannya untuk menjadi Pedang Suci dan kurangnya motivasi menggunakan pedang adalah salah satu faktornya, namun alasan terbesarnya sepenuhnya tidak berhubungan dengan ini.

—Theresia tahu dia dilahirkan dengan Divine Protection of Death God.

Luka yang dia timbulkan pada orang lain akan membuat pendarahan tanpa henti, tidak bisa disembuhkan.

Saat dia sadar keahliannya adalah mencabut nyawa orang lain, yang terlahir di Theresia muda adalah ketakutan akan apa yang diperbuat telapak tangannya.

Sesuatu semacam latihan pedang sempurna buat meningkatkan ketakutannya.

Walaupun itu cuma praktek atau latihan, Divine Protection Theresia yang tidak dapat dia kendalikan, takkan mengindahkan situasinya. Meskipun luka yang diberikannya sekecil goresan, fakta lukannya takkan disembuhkan bukan bahan tertawaan.

Terutama mengingat luka yang barangkali tidak sengaja dia kenai selama praktek pedang terbukti mematikan.

Sejak saat itu, terbebas dari latihan pedang, Theresia tertutup merasa lebih tenang.

Hidup tanpa menyakiti orang di sekitarmu, sebetulnya sulit dilakukan bila kau menjalaninya sembari memikirkan pemikiran itu.

Bila kau memikirkannya, kau akan sadar menyakiti orang lain tanpa maksud apa-apa dan secara tidak sengaja bisa terjadi kelewat mudah. Bagaimana caramu menentukan Divine Protection akan aktif atau tidak, kalau-kalau jarimu tersayat sebab pecahan piring.

Gadis muda bernama Theresia tanpa sadar menghindar berhubungan bersama orang lain.

Jika dia pernah melakukan kontak, seandainya dia tidak pernah dekat-dekat, dia tidak khawatir akan menyakiti orang lain. Karena cenderung menghindari kotak mata, dia mulai menghabiskan lebih banyak waktu bersama bunga.

Diizinkan meninggalkan pedang, dia membuat kebun bunga untuk dirinya sendiri di belakang mansion, dan menumbuhkan bunga musiman di sana, dia mulai mengaguminya.

Saudara-saudaranya terbiasa susah-susah mengayunkan pedang dan berkali-kali mengalami pelatihan sulit nan menyakitkan.

Bukan berarti Theresia tidak tahu-menahu atau kasihan kepada mereka saat melihat sosok mereka. Hanya saja karena dia tidak bisa memberi tahu mereka tentang Divine Protection-nya, bunga-bunga adalah satu-satunya hal yang dapat dia dekati dan ajak curhat dengan penuh keyakinan.

“Aku ingin tahu, apa suatu hari nanti, aku bahkan bisa hidup di sisi seseorang …”

Penderitaannya, keraguannya, satu-satunya hal yang dapat dia curahkan perasaannya semacam itu hanyalah kepada bunganya, seketika kelopak bunganya menarik mengikuti irama angin sepoi-sepoi.

Lagi-lagi sebagaimana banyak orang, seperti halnya keinginan gadis muda bernama Theresia, nutuk mencintai dan dicintai.

Sadar akan kemungkinan dirinya melukai orang lain, bertanya-tanya apakah dia pantas bersama seseorang, sekaligus tidak nurut rencana saudara-saudara serta orang tuanya, hari-hari meragukan diri gadis tersebut berlanjut.

—di tengah-tengah hari itu, cinta sang Dewa Pedang menghujaninya.

“—? Mungkinkah, aku terpilih?”

Tanpa peringatan, kesadaran itu mendatanginya.

Menyadarkannya bak perasaan ganjil alih-alih kesadaran alami seperti menyadari Divine Protection of Death God. Baginya, sadar akan Divine Protection dari lahir adalah hal jelas, layaknya mata yang memberi penglihatan, dan telinga memberi pendengaran.

Sesuatu semacam pas mendapatkan Divine Protection rasanya seperti sayap tumbuh di punggungnya. Dia sambut dengan perasaan asing yang sebelumnya tak ada, juga perluasan cakrawala kemampuannya.

—aku takkan, mengambil pedang.

Begitulah yang dipikirkan Theresia, merasa jijik dan mual pada Divine Protection barunya.

Dia pikirkan kembali waktu-waktu dia dipaksa mengayun pedang. Dia menyadari betapa tidak bergunanya, tanpa arti, tidak masuk akal dan tiada tujuannya tindakan dia kala itu.

Kini dia naluriahnya paham bagaimana mengayun pedang sebaik, seoptimal, seideal, sebagus mungkin.

Keahlian dirinya yang kurang lebih adalah membunuh orang, sekarang sepenuhnya mahir membunuh orang.

“—uhuk.”
Ini teror. Ini keputusasaan. Inilah hari dunia berakhir.

Berlutut, dia sadar dialah dewa kematian yang mewujud sebagai seorang gadis dan bahwa hari-harinya pura-pura menjadi gadis muda telah berakhir.

Theresia tidak memberi tahu siapa-siapa tentang Divine Protection yang diterimanya.

Dia bermaksud menyembunyikan kepemilikan Divine Protection of Death God dan Divine Protection of the Sword Saint selamanya, lalu sembunyikan dalam hatinya bahwa dialah seorang monster yang tujuannya adalah untuk membunuh orang lain.

Mengaku dirinya tidak sehat, dia mengurung diri dalam kamar mansionnya.

Bahkan lupa merawat kebun bunganya, Theresia menyembunyikan dirinya dalam cangkang. Hanya tidur saja, lalu berharap bahwa suatu hari kelak dia akan terbangun dan mendapati bahwa semuanya hanyalah mimpi mudanya, dia menutup diri dalam cangkang.

Namun pada akhirnya sekadar ketidakdewasaan seorang anak, menolak menghadapi yang tidak ingin dihadapinya.

—telah jelas bahwa Theresia telah mewarisi Divine Protection of the Sword Saint.

“Nii-san …. Divine Protection of the Sword Saint selanjutnya adalah putrimu. Anak ini.”

Kepala keluarga Astrea—tempat kelahiran Theresia juga basis garis keturunan Pedang Suci.

Melangkah ke dalam mansion, mengungkap bahwa Theresia yang terbaring di tempat tidur ‘kan menjadi Pedang Suci selanjutnya, dialah pamannya, Pedang Suci sebelumnya.

Divine Protection of the Sword Saint adalah Divine Protection luar biasa yang mampu diwariskan anggota keluarga Astrea semata, dengan cara ini yang berlanjut selama bergenerasi.

Divine Protection diwariskan ke Pedang Suci selanjutnya dari Pedang Suci sebelumnya tanpa kabar dahulu. Dan begitu pewarisannya selesai, Pedang Suci sebelumnya dibebaskan dari tanggung jawabnya dan kehilangan Divine Protection.

Tatkala Pedang Suci saat ini kehilangan Divine Protection-nya, wajar saja identitas Pedang Suci selanjutnya akan dicari secara menyeluruh oleh kerajaan.

Dan Pedang Suci sebelumnya sanggup mengidentifikasi siapa Pedang Suci selanjutnya sekali pandang.

Hari-hari kurungan Theresia berakhir.

“Ambil pedang di tanganmu, Theresia.”

Rambutnya yang berantakan total, Theresia diseret keluar ke taman.

Tanpa alas kaki, memakai pakaian tidur, kesadarannya yang melayang di antara mimpi dan kenyataan, dia masih diseret paksa ke luar oleh pamannya dan didesak memegang pedang kayu.

Jari-jarinya yang kian kurus, dia menunjukkan perlawanan sambil menggeleng kepala beberapa kali.

Namun keluhan dari dirinya yang menentang tidak terdengar. Pamannya secara paksa memberikannya pedang kayu dan menyuruh wajahnya menghadap depan, sesaat dia pegang gagangnya.

Di hadapan Theresia, berdiri kakak laki-laki tertua dari empat bersaudara.

Kakaknya yang perhatian dan lembut, sopan serta bersahabat sama semua orang, berdiri dengan ekspresi kebingungan. Tidak sanggup melihat yang berada di depan matanya, kebingungannya langsung nampak sekali lihat.

—banyak celah.

Berpikir sendiri, Theresia terkejut.

Hatinya yang diserang langsung keheranan, Theresia tanpa mampu berkata-kata terus membuka matanya.

Mengabaikan Theresia juga syaratnya, pamannya memanggil kakak tertuanya dengan suara berat.

Memegang pedang kayu, terus menyerang Theresia dari atas, kata pamannya. Buktikan kemampuan berpedangmu dengan menyerang dan mengalahkan adik perempuanmu, kata pamannya.

Tidak mungkin bisa aku lakukan, panggil kakak tertuanya.

Kakaknya terlalu baik. Dia berlatih keras menggunakan pedang dan tidak meragukan jalan keluarga Astrea, namun dia hanya baik saja kepada adiknya, Theresia.

Dia takut menyakitinya jadi tidak pernah mengontak fisik duluan, tapi Theresia suka memeluk kakaknya dan tubuh besarnya. Dia kakak baik hati.

Kemudian menggemalah suara pamannya, memanggil kakaknya pengecut.

Diejek Pedang Suci, ekspresi kakaknya menunjukkan dia dilukai kata-kata itu. Theresia tahu bahwa kakak tertuanya, kakak keduanya, dan adik laki-lakinya terus mengayun pedang sebab mengagumi pamannya.

Menerima kata-kata kasar darinya, sang kakak tersakiti parah. Dua saudara laki-laki lainnya berdiri di tepi taman yang telah keluar mansion setelah mendengar semua keributannya, masing-masingnya pun wajahnya tersakiti.

Akhirnya, kakak tertua sambil mempertahankan ekspresi tersakitinya, menunjukkan kesiapan ngeri di matanya.

Meluruskan pedang kayu yang dipegang tangannya kemudian mentransfer seluruh energinya ke dalamnya, dia mengarahkan pandangan ke target.

Melihat pedang kakaknya yang gemetaran, dan suatu ketajaman di mata kakak tertuanya, Theresia jadi sadar.

Kakaknya, demi tidak melukai Theresia, harus menjatuhkan Theresia dengan pedang kayu yang digenggamnya. Jelas dari posisinya, bahasa tubuhnya, juga caranya memegang pedang.

Dari tingkat keahlian kakaknya, tentu tidak sukar melakukannya.

Tidak cukup membuktikan kemampuannya sebagai seorang pendekar pedang cuma dengan melepaskan pedang yang digenggam Theresia.

“…”

Dari aba-aba pipi kaku pamannya, dimulailah pertarungan yang kedua belah pihak tak inginkan.

Kakaknya berteriak energik dan menebas pedang kayu tajam yang dipegangnya ke Theresia.

Membatasi gerakan lawan dan mengendalikan gerakan mereka adalah keterampilan lain ilmu pedang. Seandainya pedang kayunya tak diangkat, mudah sekadar menjatuhkan Theresia.

Dasar pertarungan ini sudah keliru.

Theresia pun tidak punya alasan bertarung, tidak juga sang kakak punya alasan melukai adiknya. Kepentingan kedua belah pihak selaras, semestinya tidak ada kesalahan.

Seharusnya tidak, tapi—

“—itu dia.”

Pedang kayu yang diterbangkan, mendarat di tanah suatu titik jauhnya, lalu suaranya bergema.

Sekaligus mendengar suara kaget pamannya, terlihat Theresia menunjuk pedang kayunya ke depan, lalu ujungnya menyentuh tenggorokan kakaknya yang terhuyung-huyung jatuh dan mengerang parau.

—dia ingat menangkis serangan pedang kayu yang mendatanginya dari atas, berikutnya menjatuhkan pedang kayu lawannya.

Setelahnya dia buat ujung pedangnya menyentuh leher lawan, bukti dia bisa membunuhnya kapan pun dengan memperjelas perbedaan kepiawaian mereka.

“Pedang Suci selanjutnya adalah Theresia, memang, tidak salah lagi.”

Menggema suara paman tak terhentikannya, berkata demikian.

“Ah … ah, aah …”

Theresia menjatuhkan pedang kayu yang dia pegang, menatap tangannya kemudian mulai mencabut rambut merahnya dengan tangan serupa. Mencabutnya kasar sekali sampai-sampai beradarah, dan suaranya meninggi seperti binatang, dia menjerit.

Menjerit, kehilangan kewarasannya, menderita, hampir pendarahan, menyesal.

Theresia menjadi Pedang Suci

 

 

Waktu yang dihabiskan saudara-saudara laki-lakinya demi pedang, ilmu pedang Theresia dengan menghina telah menginjak-injak semuanya.

Melawan kekuatan pedang luar biasa, sesuatu semacam waktu dan dedikasi usaha tidak berarti sama sekali.

Di mata Theresia yang telah menjadi Pedang Suci, kekurangan pada pegangan pedang kakaknya sejelas kristal. Sekarang dia, faktanya, terkejut biarpun menghabiskan banyak sekali waktu bersama mereka, dia tidak menyadari kesalahannya lebih awal.

Biar begitu, walaupun perbedaan kekuatan mereka dan Theresia jelas, saudara-saudara laki-lakinya menyedihkannya terus berlatih pedang.

Baik kakak tertuanya atau kakak kedua, maupun adik laki-lakinya tidak punya kegemaran lain selain pedang.

Karena mereka dilahirkan dalam keluarga Astrea, dibesarkan dalam marga yang namanya dihormati sebab pedang mereka, dan telah mengabdikan hidup-takdir mereka kepada pedang, jadi kendati adik perempuan mereka telah merampas tujuan saudara-saudaranya, mereka tidak punya pilihan lain selain melanjutkan.

Meskipun mereka tahu bahwa mereka takkan pernah mencapainya.

—bego banget.

Akhirnya pemikiran itu yang terpikir.

Mereka harusnya melakukan hal yang mereka inginkan. Mereka mestinya tidak memedulikan pedang lagi.

Misalkan mereka takkan pernah bisa memaafkan Theresia, mereka sepatutnya hidup di dunia sendiri sesuai pilihan masing-masing.

“Theresia-sama, persiapannya sudah selesai. Sudah waktunya, kita harus pergi sekarang.”

Saat dia meliaht ke luar jendela kamarnya, ke taman tempat saudara-saudaranya terus berlatih dengan pedang, suara memasuki telinga Theresia.

Ketika berbalik, yang dilihatnya adalah gadis nampak elegan seusianya, rambut pirang indah berpotongan pendek.

Dia Carol Remendis—seorang anggota keluarga Remendis, dikenal akan kesatria-kesatria unggulnya dan karena ilmu pedang luar biasanya sekalipun sama usianya, dia ditunjuk sebagai pelayan pribadi Theresia.

Tidak salah lagi, kemampuannya sebagai pendekar pedang memang luar biasa.

Kendatipun dia tidak ingin mengatakannya kepada siapa-siapa, tetapi keahlian pedangnya sebanding saudara-saudara Theresia.

Kepribadiannya yang serius setiap saat, dengan ilmu pedang tinggi, Theresia merasa tidak nyaman sebagai seorang perempuan lain sebayanya.

“Iya, ayo pergi. Hari ini kita mengajarkan orang-orang di kastil, bukan.”

“Ya. Semua orang di kastil juga tengah menanti-nantikan ajaran Theresia-sama. Tentu saja saya pun merasa sama seperti mereka.”

“… kurasa kau sudah cukup kuat, Carol.”

“Tidak sama sekali. Seseorang seperti saya, bahkan tidak mampu sampai kaki Theresia-sama.”

Seolah-olah merendahkan dirinya sendiri, Carol memberi kesan kemampuannya sendiri.

Theresia agak terguncang oleh evaluasinya. Lagipula, dia tidak pernah mengangkat pedangnya di depan Carol. Tidak, bukan cuma itu.

Terakhir kali tangannya memegang pedang adalah saat dia melawan kakaknya menggunakan pedang kayu.

Selama dua tahun setelahnya, dia bahkan tidak mengontak fisik sekali pun dengan pedang.

Akan tetapi, dia masih memenuhi tanggung jawabnya sebagai Pedang Suci.

Kenyataan dirinya menjadi Pedang Suci sendiri adalah kebenaran yang tidak dapat disembunyikan. Dia tidak bisa sampai menyusahkan seluruh keluarga Astrea, lantas dia bersedia rajin menjalankan tugasnya.

“Memang mudah dimengerti apa yang layak dilihat dan tidak layak dilihat sekali pandang. Sekalipun saya tak berkesempatan melihatnya, jika Theresia-sama mengambil pedang, beliau tentu menjadi kekuatan yang tidak mampu dilawan siapa pun.”

Dia tersenyum masam pada keyakinan Carol.

Bersamanya, Theresia bertugas mengajarkan para prajurit. Bahkan dalam pengajaran pun, ajarannya tidak benar-benar sampai dapat prestasi terpuji dalam hal itu.

Dia cuma bakalan berkeliling dan menyuruh mereka menggunakan pedang lalu berlatih, menunjuk kelemahan bertarung mereka seperti biasa, tak ada yang aneh.

Aspek paling menakutkan Divine Protection of the Sword Saint mungkin adalah bagaimana meningkatkan insting bertarung orang itu hingga sempurna. Tidak hanya terbatas pedang. Entah itu tombak atau kapak, andaikata berhubungan dengan pertarungan, Theresia tahu seluruh petunjuk dan ketidaksempurnaannya.

Theresia merasa bersalah saat diucapkan terima kasih, saat dihormati.

Tepat tatkala dia menderita atas pewarisan Divine Protection of the Sword Saint, dia kini depresi atas situasi dirinya sekarang berada.

Mengurung diri dalam kamar, dia selalu berharap gelombang nasibnya berubah arah.

—boleh jadi ini hukumannya, karena keinginan egois dan sewenang-wenangnya, melarikan diri dari tanggung jawab yang harusnya dia tanggung.

Di Kerajaan Naga Lugnica, konflik luas merebak pada komunitas demi-human.

Sekejap, kumpulan komplain dan ketidakpuasan terpendam demi-human yang menjalar di sekitar bagian-bagian kerajaan, meledak dan apinya memakan kerajaan.

Perang saudara paling intens dan brutal sepanjang sejarah kerajaan, Perang Demi-Human telah pecah.

 

 

Asalnya dari timur kerajaan, perang saudara ini kian harinya memburuk.

Awalnya terlihat semacam pemberontakan kecil komunitas demi-human yang dapat mudah diselesaikan tanpa menimbulkan kerusakan, namun di belakang layar kerajaan benci pengeratan hubungan demi-human.

Selain itu, kelihatannya ada orang-orang yang menjembatani kesenjangan demi-human lewat hubungan-hubungan individu, dan tatkala konfliknya menyebar dari orang ke orang, api perang saudara sekejap meluas radiusnya.

Sewaktu peperangan berapi-api semakin intensif dan tak hentinya menjalar ke seluruh kerajaan, dan sesudah upaya sia-sia satu tahun untuk memadamkan apinya, kerajaan akhirnya mengakui secara publik bahwa situasi ini lebih buruk dari situasi apa pun yang pernah kerajaan hadapi sebelumnya.

“Kabari Pedang Suci saat ini, Theresia van Astrea. Diharapkan mendatangi medan perang, bersama para kesatria dan prajurit yang sekarang ini sedang bertempur untuk mengatasi perang saudara.”

Menyadari situasi yang belum pernah terjadi sebelumnya sebagai ancaman di seluruh kerajaan, para bangsawan senior berniat menyimpan aset Pedang Suci untuk kondisi paling akhir.

Tentu saja Theresia pun menerima pesan mengenai permintaan partisipasi perang.

—Theresia putus asa pada datangnya masa depan tidak terhindari.

Tak seperti hari-hari dirinya dengan egois menolak mengambil pedang.

Yang diharapkan darinya sekarang bukanlah pengetahuan Pedang Suci, melainkan ilmu pedang dan kekuatan sejati sebagai Pedang Suci.

Tidak ada pilihan lain, selain mengambil pedang.

Ini pun pertama kalinya dia diberikan Pedang Naga Reid yang hanya dapat digunakan Pedang Suci.

“Namun pedang itu hanya bisa dihunus ketika pedangnya perlu dihunuskan. Aku yakin kau harus membawa pedang lain yang kau sukai selain pedang itu juga. Kau boleh pilih satu sesuai keinginanmu.”

Pamannya, mantan Pedang Suci, memberi nasihat berdasarkan pengalaman.

Pamannya yang sebelumnya punya Pedang Naga di pinggangnya, paham betapa anehnya pedang tersebut. Mengikuti saran pamannya, pedang panjang yang ayunannya terbaik—pedang yang juga disukai Carol, sesama pengguna pedang, adalah pedang yang dipilih Theresia.

—dalam pertarungan pertamanya, Theresia ditemani Carol, bersama kakak-kakaknya serta sang paman.

Bagi Theresia, dia takkan bilang kumpulan orang-orangnya telah disiapkan untuk babak yang berjalan mulus.

Meski begitu, dia tidak bisa mengalihkan mata sesaat pun. Saat ini juga merupakan kesempatan untuk menunjukkan kekuatan pedang legendaris Astrea kepada warga kerajaan.

Apa pun pikiran dan perasaan Theresia, sekelilingnya berlanjut semaunya.

Siapa pun dan semua orang membebankannya ekspektasi semena-mena, seperti, bagaimana mungkin Pedang Suci kalah.

 Keyakinan tidak terkendali dan tak peka oleh orang-orang di sekitarnya, mengintimidasi Theresia.

Ibaratnya sekarang sudah normal, menyembunyikannya dari semua orang, Theresia hanya gemetar di hadapan kelompok yang menemaninya ke pertempuran pertama.

Dan melihat dirinya dalam kondisi tersebut—

“Kau takut, Theresia?”

Ya, orang yang mengangkat suara lembutnya untuknya adalah satu-satunya kakak paling tuanya.

Theresia, sembari menunggu pertempuran pertamanya dalam tenda, juga kaget mendapati kakaknya bicara padanya, apalagi sebaik itu.

Theresia sengaja menghindar kotak dengan kakaknya.

Tidak, bukan kakak tertuanya saja yang dia hindari. Kakak kedua, adik, sekaligus orang tua juga pamannya, dia hindari kontak mereka semua.

Setelah dua tahun panjang ini, inilah pertama kalinya dia bertukar kata-kata kebaikan bersama kakak laki-laki tercintanya.

Theresia hanya dapat terus melihat ke bawah, kehabisan kata-kata.

Namun demikian, kakaknya duduk di sebelah Theresia yang ekspresinya sedih, kemudian menepuk lembut kepalanya.

Theresia lengah, melihat bagaimana telapak tangan kakaknya masih belum berubah sama sekali.

“Aku tahu, kau punya perasaan hutang budi kepadaku dan saudara-saudara kita yang lain. Bukannya aku tak memikirkan apa-apa saat kalah darimu waktu itu juga. Tapi …”

Memotong kata-katanya di tengah bicara, kakaknya tersenyum sedikit kepadanya.

Senyumnya khas kakak tertuanya, senyum yang Theresia lihat berulang-ulang, berkali-kali.

“Kaulah adik perempuan berhargaku. Seandainya tidak mau, kalau kau ketakutan … aku harus melindungimu. Karena akulah, kakakmu.”

“N … Nii-san …”

Air mata membasahi pipinya. Dia tidak boleh menyuarakan kelemahannya.

Di atas segalanya, satu-satunya kakak yang dia kalahkan, tidak boleh mendengarnya. Begitu yang dipikirnya, namun kakaknya menyangkal pikirannya.

“Setelah kalah darimu, rasanya menyakitkan, kupikir harusnya berhenti saja. Tapi, walau begitu, aku cinta pedang. Aku bersyukur dilahirkan dalam keluarga ini, aku punya adik-adik laki-laki, dan aku punya adik perempuan sepertimu. Aku bersyukur, kepada pedang.”

“…”

“Karenanya, aku senang sudah mengayunkan pedang.”

Thereseia menyadari kebodohannya sendiri, karena menganggap pemikirannya tolol.

Bahkan setelah melihat mereka dikalahkan, melihat kakak-adiknya bertujuan berlatih pedang, dia pikir mereka tidak punya jalan lain selain itu, tak acuh soal semuanya, dia kira mereka mengayun pedang dikarenakan tak ada pilihan lain, namun mereka semata-mata memegang teguh pedang, dipengaruhi kesan itu, dia memandang rendah mereka.

Mengira mereka harusnya melakukan apa pun semau mereka, Theresia sembarangan menempatkan adik-kakaknya dengan skalanya sendiri dan menganggap nilainya.

Dia ejek kakak-adiknya karena merendahkan diri mereka dengan menjadi pendekar pedang belaka yang seharusnya Theresia kagumi, Theresia hormati.

Siapa yang bodoh di sini. Dia yang bodoh di sini. Dan Dewa Pedang yang paling bodoh di sini.

Mengapa dia tidak mengarahkan cintanya kepada manusia yang teramat mencintainya.

Kenapa dia memberkati manusia sepertinya yang selalu berpaling dari pedang.

Saudaranya atau orang-orang seperti saudaranyalah yang pantas diberkati, namun.

“Kau tidak perlu bertarung—Lagian, kau ini gadis baik yang bahkan tidak berani membunuh serangga.”

Takut pada kekuatan Divine Protection of Death God, dia selalu memastikan tidak pernah melukai seorang pun atau apa pun.

Dia salah menilai kakaknya, tetapi kakaknya sangat mengerti adik perempuannya.

Ini teramat-amat memuaskan Theresia, selama dua tahun ini paling menyentuh hatinya.

Dia akhirnya bertingkah seperti anak kecil, akhirnya bergantung kepadanya. Menempel padanya, menangis padanya, dia serahkan semuanya kepadanya.

—pada pertempuran pertama Theresia, kakaknya gugur melindungi markas pasukan mereka.

Tidak sekali pun, Theresia mengayun pedang. Dia tidak sanggup.

Dan sekali lagi, Theresia menolak menyentuh pedang itu selama bertahun-tahun mendatang.

 


 

—sudah lima tahun semenjak Perang Demi-Human dimulai, dan Theresia berusia sembilan belas tahun.

Divine Protection of the Sword Saint tetap tidak berubah, terus bernapas diam dalam dirinya.

Akan tetapi, Theresia yang pentingnya bukan main pada perang semakin harinya memburuk, menyendiri dan dingin, sedang menghabiskan hari-harinya dengan santai.

Pertempuran pertama Theresia di mana dia tidak mampu bertempur.

Pertempuran di mana Pedang Suci diharapkan melepaskan kekuatan ganasnya, malah hancur total dan kakaknya dibunuh di tengah peperangan. Hati Theresia yang menerima serangan fatal atas realita tersebut saat itu tidak kuasa menyentuh pedang lagi.

Kebenaran generasi Pedang Suci sekarang ini mengalami pertempuran pertama tidak terhormat benar-benar disembunyikan dari publik. Eksistensi Pedang Suci juga ada hubungan suci dengan kerajaan. Mereka tak berani mengungkap Theresia menangis pada kakaknya sebeum pertarungan dan dia mengurung diri jauh-jauh begitu kakaknya mati.

Selanjutnya, tanpa membiarkan publik mengetahuinya, aib Theresia dihapuskan dari seluruh catatan.

Dan kakak-adiknya yang juga ikut perang demi melindungi nama keluarga Astrea alih-alih Theresia tertutup yang menolak memenuhi tugasnya sebagai Pedang Suci, juga gugur.

Kakak pertamanya yang penuh kebaikan, yang bersedia mendengar apa pun keinginannya dengan perhatian penuh.

Kakak keduanya yang sedikit jahat, tapi selalu jadi orang pertama yang minta maaf ketika mereka berbaikan.

Adik manisnya, seorang penakut dan cengeng yang selalu jalan di belakangnya, mengikutinya.

Mereka semua kehilangan nyawanya tatkala bertarung menggantikan Theresia yang menolak bertarung.

“—aku memaksamu ke dalam semua ini, kan. Salahku, Theresia.”

Pamannya, mantan Pedang Suci yang menjadi sumber motivasi pasukan mereka, juga gugur dalam pertarungan.

Bertarung tanpa henti, mengabaikan luka-lukanya, dan akhirnya mengusahakan gencatan senjata serta perbaikan hubungan, lalu memerintahkan mundur pasukannya, dia gugur membuat prestasi luar biasa dalam peperangan.

Bukannya dia tidak menyimpan dendam sama pamannya.

Kalau saja bukan karena cepu pamannya, barangkali tak seorang pun bisa tahu Theresia mewarisi Divine Protection of the Sword Saint. Bila tidak pernah ketahuan, kakak-adiknya mungkin takkan siap menjadi martir dalam perang saudara ini, bisa jadi tidak mati sama sekali.

Apabila dia pikirkan semuanya, maka dia tentu menyimpan dendam kepada pamannya. Betul memang, tapi dia juga merasa tidak dendam.

Pamannya pasti sudah lebih tahu bobotnya gelar Pedang Suci daripada orang lain. Sebagai Pedang Suci sebelumnya, dia pun telah melalui hal sama seperti Theresia.

Aksinya pasti sama-sama optimal untuk kerajaan dan Theresia.

Sekalipun itu tidak berhasil, kata-katanya di momen-momen terakhirnya.

Setelah mendengar perkataan itu, Theresia tidak bisa lagi menyimpan dendam padanya.

Lalu semisal dia mencari seseorang untuk menaruh dendamnya, satu-satunya opsi yang tersisa untuk Theresia adalah dirinya sendiri.

Dirinya sendiri yang selalu lemah dan menangis, walaupun mewarisi gelar Pedang Suci.

“Theresia-sama adalah orang yang pasti akan berdiri. Waktunya hanya belum tiba saja.”

Carol, rekannya, tidak pernah sekali pun mencoba meninggalkan Theresia yang telah hancur oleh kematian orang-orang tersayangnya satu per satu.

Membuat pertempuran pertamanya menjadi pemandangan betul-betul tidak menyenangkan, kehilangan kesempatan sebab keegoisannya sendiri dan kini Theresia yang tertutup dan sendirian adalah seseorang yang Carol masih mau percayai.

Bahkan perintah baru-baru ini dari Kastil Kerajaan menitahkan untuk memindahkan Theresia dari tempat terbuka penuh dan langsung.

Terlepas dari itu, meskipun Carol menunjukkannya harapan sekuat itu pada dirinya, Theresia masih tidak kuasa menanggapi perasaannya.

“…”

Suatu kali jauh dari pantauan Carol, Theresia refleks mulai berjalan-jalan di ibu kota.

Seluruh tempatnya tertutupi suasana agak tak menyenangkan, karena perang saudara yang telah berkecamuk selama lima tahun, telah membunuh seluruh semangat kota. Dengan matinya semangat itu, seluruh ekspresi orang-orang juga mati. Jauh dari semua tempat keramaian, dari semua tatapan mata, berdirilah Theresia seorang.

Tempatnya yang baru-baru ini menjadi titik yang sering dijambangi Theresia, adalah sebuah area di perbatasan ibu kota.

Area yang perkembangannya dikesampingkan gara-gara dimulainya perang saudara. Melalui reruntuhan dan celah pilar bangunan, dia pergi ke area di belakang.

Yang sedikit terbuka di belakang sana adalah tempat Theresia sukai, sebuah area yang bahkan tak dapat disebut alun-alun.

Tidak spesial-spesial nian hingga membuat jantungnya berdegup kencang atau semacamnya.

Area kosong dalam reruntuhan hanya akan menenangkan hati dengan mengosongkan semua pikiran.

Merasakan angin pagi yang ironisnya agak sejuk, Theresia menuju bagian belakang area.

Duduk di bongkahan batu, melihat sisi lain, yang dilihatnya adalah hamparan taman bunga, kelopak bunga kuning menari-nari manis tertiup angin.

Sinar matahari bersinar dan tanahnya yang tidak cukup memadai untuk pertumbuhan bunga.

Di latar rahasia ini, Theresia menabur benih-benih bunga ini. Bunga-bunga di mansionnya dulu, dia terlalu tidak kompeten buat merawatnya baik-baik, dan semuanya ujung-ujungnya mati.

Namun dia punya perasaan sama melihat hasil benih yang dia tabur tidak karuan.

“Aku bahkan belum menyirammu … tapi sudah tumbuh sebesar ini.”

Bunga itu kuat.

Bahkan saat Theresia merefleksikan kelemahannya sendiri, bunga-bunga hanya menghadap langit, membuka kelopaknya dan bermekaran indah.

Sebelumnya dia mengagumi keindahannya, namun kini dia memeluk keinginannya demi kekuatan mereka.

Dia merasakan perasaannya melonjak naik, rasanya ibarat hendak menangis.

Dia sambil sakit mencoba menahan air matanya dan jari-jarinya menyentuh sudut matanya yang punya kehangatan tak terduga.

—kala itulah, ketika kehadiran menyengat mendekatinya.

“Ah, maaf.”

Kehadiran berbahaya itu sendiri yang menerobos masuk ke suaka pagi Theresia.

Tepat ketika dia hendak menangis. Theresia sengaja mengucapkan kata maaf berusaha menunjukkan kekuatannya. Lalu, dia melirik orang yang muncul di alun-alun.

Dia melihatnya dan sungguh terpesona.

Rambut cokelat dipangkas, mata anggun tapi galak, tubuh lentur-langsing dan bugar, kulit cerahnya menyilaukan sekali sampai-sampai mengejutkan.

Tetapi yang paling mengherankan Theresia waktu itu bukan sesuatu sedangkal itu.

—bagi Theresia, pemuda itu nampak persis seperti pedang terhunus.

Dia merasa seakan-akan pedang panas, keras, dan tajam itu sendiri sedang menatapnya.

Di depan khayalan tersebut, detak jantungnya jadi kacau. Menaruh tangan ke dadanya, dia merenungkan apa yang terjadi kepadanya.

Tapi satu-satunya hal yang terlintas di benaknya adalah pemuda itu tidak mengerti kacaunya detak jantung Theresia.

Mulai saat itu, untuk menyembunyikannya, Theresia bilang:

“Jadi ada juga orang yang akan datang ke sini sepagi ini. Jauh-jauh ke sini—”

“…”

Barusan, salamnya cukup baik.

Theresia bicara ramah padanya, tetapi pemuda itu menyipitkan mata, dan rasanya seolah-olah bagaikan ujung pedang diarahkan langsung kepadanya. Pedang kelewat stabil dan kuat, sampai-sampai tidak terasa seperti ancaman.

Mungkin dia bermaksud menolak pikiran tak simpatik Theresia.

Seketika, jadi tidak menarik.

Misal dia akan melakukan itu, Theresia pun takkan menahan diri. Dia akan membuatnya mengerti kalau dia telah salah paham tentang pedangnya.

“… ada apa? Wajahmu seram banget.”

Mendengar kata-kata Theresia, anak muda itu raut wajahnya ibarat sudah mengecap hal berat.

 

TL N: Gua ga terlalu yakin sama terjemahan “Hal berat” itu. Bahasa inggrisnya: Under-shoulder swing down.

 

Dia sepertinya menilai Theresia sebagai wanita yang ilmu pedangnya awam, bukan cuma itu, awam seluruhnya terhadap pertarungan. Sebenarnya, dia tidak salah.

Theresia kurang pengalaman bertarung aktual, dia juga tidak punya pengalaman tentang mengayunkan pedang.

Dia adalah seorang wanita awam yang akan menjadi lebih kuat dari semua orang, seandainya dia betul-betul bertarung.

“Apa yang dilakukan seorang wanita sepagi ini di sini.”

Jawab pemuda itu dengan kata-kata kasar dan kejam.

Suara pemuda yang dia dengar petama kali, kedengaran jengkel, tetapi suaranya sederhana dan gampang didengar.

—kemudian sekali lagi, dia merasakan ritme detak jantungnya menyimpang.

Sejak saat itu, Theresia dan si pemuda mulai sering bertemu satu sama lain.

Nampaknya, pemuda tersebut biasanya datang ke alun-alun di hari liibur tertentu.

Tampaknya dia merasa terganggu oleh kehadiran Theresia, namun tidak pernah memaksanya pergi ke tempat lain.

Barangkali dipikirnya orang yang harus dia dekati adalah seorang pengganggu.

Demi melihat taman bunga kuning itu, Theresia biasanya berjalan ke alun-alun.

Kadang kala pemuda itu duluan yang datang, sementara di waktu lain, Theresia duluan yang datang. Selagi Theresia duduk di atas bongkahan beton sambil mengagumi tmana bunga, sedangkan laki-lai itu mengabdikan dirinya untuk berlatih pedang, mengayunnya dengan kecepatan dan teknik luar biasa, lalu aktivitas ini menjadi janji mereka berdua yang biasa menghabiskan waktu di sana.

“…”

Diam-diam melirik, dia melihat tarian pedang pemuda itu.

Tanpa sadar, dia pengen mendesah. Melihat ilmu pedang orang lain dan merasa demikian adalah sesuatu yang sangatlah langkah bagi Theresia—tidak, bisa jadi inilah pertama kalinya.

Pertama-tama, dia ingat rasa jijik yang dirasakan sosok pria itu, memegang pedang.

Dia di sini tidak bersalah, ini karena kepercayaan pribadi Theresia. Setelah dia kabur dari perannya sebagai Pedang Suci, bahkan di tempat kaburnya, dia menemukan seseorang memegang pedang.

Dia pun diusir dari satu-satunya tempat istrirahat yang akhirnya dia temukan. Ketidaknyamanan terlampau menyedihkan itu, dihapuskan begitu melihat ilmu pedang si pemuda.

Ayunan pedangnya, sama sekali tidak ada yang mencolok.

Di mata Theresia yang memiliki Divine Protection of the Sword Saint, mudah menemukan ketidaksempurnaan pula. Melihat kesalahan genggaman pedang orang lain dan merasa muak karenanya, itu kebiasaan buruknya, tapi kalau pada pemuda itu, hasrat kuatnya digunakan untuk menutupi kekurangannya.

Kakak-adik Theresia juga pastinya mengerahkan segalanya untuk pedang.

Bahkan bagi kakak tertua, kedua, atau adik yang pengabdiannya terlampau untuk pedang, bukan seolah-olah Theresia tidak mampu menyembunyikan perasaan negatif.

Tapi tetap saja, mengapa dia tak merasakan hal sama kepada anak muda dan pedangnya itu.

Jawabannya mengherankannya tentu sederhana.

“Bego banget …”

—sama sekali tidak ada keburukan di pedangnya.

Dia telah mempersembahkan segalanya kepada pedang, mendedikasikan segalanya untuk pedang.

Mudah menukasnya dengan kata sederhana dan Theresia pikir saudara-saudaranya melakukan hal serupa hingga sekarang, itu tidak terpikirkan.

Sungguh, pemuda di sini penuh bakti, dia, seseorang yang cuma punya pedang.

Dia tak punya apa-apa selain pedang. Dia hanya mencintai pedang. Dia semata-mata mencintai pedang, itu sudah ditetapkan layaknya ayunan pedang.

“… bego, banget.”

Mengamati ilmu pedangnya dari samping, Theresia merasakan kehangatan memasuki pipinya.

Dia adalah Pedang Suci. Diberkati cinta sang Dewa Pedang, eksistensi yang berdiri di atas semua pendekar pedang.

Keberadaan Theresia pun menghalangi jalan Wilhelm untuk mencapai tujuan menyusahkannya.

Biarpun tidak salah lagi imajinasinya sendiri, dia merasa bak pria itu sendiri yang menanyainya.

Theresia sang Pedang Suci bisa memahami semua hal tentang pedang dengan melihatnya saja.

Dia dapat melihat sifat aslinya, mau jenis pedang berharga macam apa pun, pedang iblis, pedang tahan lama, atau hal paling buruknya, Pedang naga. Dia mampu menggunakannya dengan bebas. Tiada baja yang mampu menyembunyikan rahasianya dari tangan Theresia.

Dialah satu-satunya.

Satu-satunya orang yang takkan bertekuk lutut terhadap kehendak bebas Theresia.

Dia itu pedang, namun batasannya tidak bisa ditentukan dirinya sendiri yang seorang Pedang Suci.

Tidak salah lagi, itulah sebabnya dia jadi begitu memedulikannya.

“Namaku Wilhelm Trias.”

Tiga bulan setelah bertemu dia pertama kali, Theresia bertukar nama dengan dirinya—Wilhelm.

Kendatipun mereka bertemu beberapa kali, tidak sekali pun mereka tahu nama satu sama lain.

Sebetulnya, Theresia menunggu kesempatan menanyakannya, tapi Wilhelm tidak pekanya mengabaikan keinginan perempuan itu. Akhirnya mereka berhasil bertukar nama hanya karena Theresia jadi tidak sabar dan memulainya duluan, Wilhelm cuma memberikan respon sesuai.

“Aku memanggilmu wanita bunga dalam benakku sampai sekarang.”

Mau setidak sopan apa lagi, pria ini.

Ucapan Wilhelm tidak berisi simpati sedikit pun, Theresia sendiri pun tidak keberatan, pikirannya yang sibuk sendiri dan dia terbiasa puas setelah bicara sedikit terus pulang, jadi sekarang hati Theresia berdebar-debar.

“Kau suka bunga?”

“Tidak, aku benci bunga.”

Inilah jawabannya, bahkan sesudah melihat kebesaran taman bunga Theresia berkali-kali.

Pasti, dia tidak bisa merespon untuk mengikuti percakapan pihak lain atau mengangkat semangat mereka.

Bahkan sesudah merasa gelisah karenanya, Theresia terus berpikir, Tapi, tepat karena inilah, dia orangnya seperti pedang

Demi pedang dia takkan tunduk pada keinginan Theresia, Pedang Suci tidak tinggi-tinggi amat, dan Theresia sewaktu itu, gagal menyadari bagaimana dia telah diselamatkan hal itu.

“—kenapa, kau mengayunkan pedang?”

Semenjak mereka bertukar nama, kata-kata yang mereka tukar juga mulai bervariasi.

Mereka biasanya membicarakan bunga dan beberapa topik lain, lalu kembali ke awal lagi. Yang menyebabkan perubahan tersebut hari itu boleh jadi karena rendahnya semangat hari itu.

Usaha untuk mengakhiri perang Demi-Human telah gagal, dan Theresia dengar-dengar mengenai perjuangan medan perang.

Tersebar di seantero kerajaan, para Demi-Human yang menjadi inti di balik penyebab seluruh kehancuran sangatlah kuat, dan di antara mereka ada Penyihir yang memiliki kekuatan supernatural terlampau besar, eksistensinya juga telah dikonfirmasi, itu yang didengarnya.

Dia tiba-tiba gelisah.

Dia dengar dari mulutnya sendiri bahwa Wilhelm bukan prajurit kerajaan. Namun dia adalah seorang pendekar pedang luar biasa. Terlebih, matanya kelihatan telah melihat banyak sekali darah.

Di masa-masa sulit kerajaan, dia pastilah orang yang memenuhi syarat untuk menjadi seorang prajurit—daripada itu, bukan berarti dia tak terkalahkan. Suatu hari kelak, bahkan dia pun juga takkan lagi bisa datang ke alun-alun pagi hari ini.

Gara-gara kecemasan yang diakibatkan hal itu, Theresia menanyakan pertanyaan ini.

Menyelesaikan tarian pedangnya, Wilhelm berkeringat menatap langsung mata Theresia, seriusnya bukan kepalang. Berhenti sebentar, dia memikirkan jawaban, mengangkat bahu, memberi isyarat yang tampaknya dia anggap pertanyaan itu bodoh.

“Karena cuma ini, yang aku miliki.”

Ya, itulah tanggapan bajanya.

Dan bagi Theresia, ini seharusnya yang dia harap-harapkan.

Theresia sadar betul akan perasaan tidak nyaman dan kesendirian dalam dadanya.

“Apa kau sudah suka bunga?”

“Tidak, aku benci bunga.”

“Kenapa kau mengayun pedang?”

Suatu hari, sudah jadi janji di antara mereka untuk hanya mengulang percakapan ini.

Theresia sendiri tidak tahu jawaban apa yang diharapkannya terhadap pertanyaan diulang-ulangnya. Dia tak tahu, jawaban tetapnya tidak jadi masalah atau tidak, atau apakah dia mesti mengharapkan sejumlah variasi pada tanggapan tidak berubahnya.

Tanpa mau tahu membiarkan hal-hal yang tidak dia ketahui apa adanya, itulah diri sejati Theresia.

Sebagaimana dia sekalipun bergelar Pedang Suci, mengirim kakak-adiknya ke kematian dan memaksa menyudutkan Carol yang kini mati-matian memenuhi tugasnya sendiri.

Itulah sebabnya, perubahan selalu datang-berlalu, sembari mengucilkan Theresia dari dirinya sendiri.

 


Orang yang tiba di area itu duluan, biasanya adalah Theresia.

Kunjungan Wilhelm yang sebelum-sebelumnya tidak teratur, sekarang konsisten, dan yang mereka bicarakan satu sama lain juga sepenuhnya disiapkan.

Dia pun akhir-akhir ini juga menyadari betapa tidak dewasanya dia memperlakukan keberadaan pedang.

Berbagi sudut pandang tentang dunia bersama Wilhelm, memandang dirinya yang telah mengabdikan segalanya kepada pedang, Theresia singkatnya bisa melupakan beban di bahunya sebagai Pedang Suci.

Dia telah terpikat oleh Wilhelm karena dirinya adalah Pedang Suci, dirinya yang dipanggil Pedang Suci telah diselamatkan oleh Wilhelm adalah omong kosong.

Antara dia ingin menjadi Pedang Suci atau tidak, keduanya adalah kebohongan Theresia.

Selagi terus menyelam ke air hangat tanpa jawaban, rasa bersalah membasahi dirinya.

Walau keduanya adalah keinginannya, dia mau melupakan keberadaannya.

“—Wilhelm.”

Seperti biasa, Theresia menoleh ke belakang, merasakan kehadiran yang gampang dirasakan.

Berdiri di pintu masuk alun-alun, adalah seorang pemuda berpedang.

Tanpa sadar, bibirnya bergerak dan tersenyum.

“…”

Saat itulah, emosi Theresia hancur.

Mata Wilhelm berpaling, bibirnya gemetaran, jemari gemetar Wilhelm menyentuh wajahnya. Theresia sendiri heran melihat respon dramastisnya dan merasakan dampaknya.

Theresia bergegas menghampiri Wilhelm yang menutup wajahnya, bertanya-tanya dia harus meminta maaf karena apa. Namun wanita itu tidak tahu harus bilang apa.

Sampai sekarang, dia menolak mengontak orang lain jika artinya dia akan menyakiti mereka.

Maka dari itu, saat dia melukai hati seseorang, dia pun tidak tahu cara merawatnya.

Dia putus asa. Kepada dirinya sendiri yang idak tahu caranya dan juga tidak pernah mencari tahu.

Kepada dirinya sendiri yang tak sanggup menutur apa-apa, di depan Wilhelm terluka.

“Wilhelm …”

Tidak tahu harus ngomong apa. Jari-jari Theresia meraih Wilhelm. Sudah berapa lama sejak dia mulai kontak fisik dengan orang.

Takut melukai orang lain, dia menolak menyentuh siapa pun.

Kendati demikian, sekarang ini, dia jauh lebih takut untuk tidak menyentuhnya.

Theresia memeluk jari-jari Wilhelm yang menutupi wajahnya. Selagi dia gemetar tidak berdaya, mereka merasakan panas besar dan Theresia tersadar.

Pedang, baja, seketika disentuh panas luar biasa, malah semakin menguatkan bajanya.

Wilhelm adalah pedang yang senantiasa menyerang dahulu, tapi dia sama sekali belum lengkap.

Dan sekarang Wilhelm menerima panas dan berubah bak baja.

Karenanya, sekarang Theresia harus berperan sebagai baja penyerangnya.

—sekiranya dia berurusan dengan pedang, lantas Pedang Suci mestinya tahu itu.

Perihal orang ini, perkara pedang ini, dia pasti pengen mengetahuinya.

“Apa kau, sudah suka bunga?”

Alami, dia bertanya biasa.

Jikalau ada orang lain di sini selain keduanya, mereka boleh jadi menganggap bodoh kata-katanya, sebab mereka mengharapkan Theresia menuturkan sesuatu menghibur. Namun di antara mereka berdua, ini lebih baik.

“… aku tidak, benci bunga.”

Dan tanggapan berbeda datang pada pertanyaan tak berubahnya.

Itulah yang dipikirkan Theresia kala itu tentang hal ini.

Suatu hari kelak, waktu respon Wilhelm berubah, bukankah perasaan yang ‘kan dirasakan Theresia adalah keputuasaan, kesedihan, dan ketakutan?

Bukan itu persoalannya. Dia hanya suka diri Wilhelm yang berubah.

Itulah yang dipikirkan Theresia tatkala itu.

“Mengapa, kau mengayunkan pedang?”

Karena itu, pastinya, jawaban pertanyaan ini juga berbeda.

Dan kemungkinan, jawaban tersebut adalah yang akan menyelamatkan Theresia—

“Karena inilah … cara yang bisa kupikirkan untuk melindungi.”

Pedanglah satu-satunya cara, itu maksud Wilhelm.

Iya, bagi orang ini, pedanglah satu-satunya cara.

Tak apa, sebab dia orang semacam itu. Tidak apa-apa untuk orang ini.

—itu saja, tidak perlu interaksi teratur antara mereka berdua.

Akan tetapi, bukannya mereka kehilangan kesempatan buat saling berbincang di alun-alun.

Sebaliknya, jika membicarakan pembicaraan, pembicaraannya telah meningkat lebih dari sebelumnya.

Wilhelm yang datang ke alun-alun buat berlatih pedang, mulai memprioritaskan bicara dengan Theresia di atas mengayunkan pedangnya.

Duduk di permukaan tinggi, telinganya mendengarkan seksama perkataan Wilhelm yang selalu mengangkat topik-topik kecil. Topik sangat buruk yang bahkan tidak bisa Theresia akhiri, meski begitu dia merasa senang hanya dari mendengar suaranya.

“Kudengar ada penganugerahan, dan aku akan menjadi seorang kesatria.”

Tatapannya yang terlihat mengandung emosi meluap-luap, dia menyebutkan topik hari itu.

Theresia selalu menjaga jarak dari orang-orang, lantas dia tidak ahli bersosialisasi, tapi dia tidak segoblok itu sampai tak mengerti maksud kata-kata yang Wilhelm utarakan sehabis mengumpulkan keberanian besar.

Seorang rakyat jelata biasa, bekerja keras dan menjadi kesatria berkat usahanya lalu terjun ke medan perang, terlampau mengesankan.

Seberapa besar prestasi Iblis Pedang, Wilhelm Trias, telah capai, itu sesuatu yang teramat-amat disadarinya sebagai Pedang Suci pengecut.

Terlebih lagi dia bertanya-tanya apa alasan Wilhelm mendapat kehormatan seorang kesatria.

“Begitukah, selamat. Kalau begitu kau selangkah lebih dekat ke impianmu.”

Tahu niat sebenarnya soal itu, Theresia merespon dengan sikap positif disengaja.

Dia tidak bisa menahan diri tuk tidak tersipu ketika mengatakannya. Mengerahkan seluruh kekuatannya agar tidak tersipu, Theresia tersenyum kepada Wilhelm yang ekspresinya bertanya-tanya.

“Impian?”

“Kau memegang pedang untuk melindungi, bukan? Seorang kesatria adalah seseorang yang melindungi orang lain.”

Mendengar ucapan Theresia, Wilhelm mengangguk dengan wajah yang mengatakan dia paham maksud perempuan itu.

Walaupun Wilhelm biasanya nantangin, terkadang dia menunjukkan sisi lembut kekanakannya.

—dia cuma ingin menjadi salah satu keberadaan yang ingin laki-laki itu lindungi.

Biarpun dia tidak yakin-yakin amat, dia benci dirinya karena meyakinkan dirinya tentang hal itu.

Sekalipun dia paham betul dan sadar akan perasaannya sendiri, dia mendapati dirinya yang tidak bisa melanjutkan perasaannya, lalu seterusnya sekali lagi, dia membuat kesalahan.

Kalau begini, ketika dia pikirkan, dia akan menyimpulkan dirinya tidak pernah melakukan hal dengan benar sekali saja.

 


Wilhelm melangkah ke medan perang saat kampung halamannya dibakar tiada sisa.

Saat Carol sambil terengah-engah melaporkan Iblis Pedang yang bertarung dengan tangguh, Theresia mulai kehilangan panas tubuhnya dan nyaris jatuh berlutut di tempat itu juga.

Wajah pucat Theresia bisa merasakan ketakutan Carol. Dia bisa merasakannya, namun tubuhnya tidak mampu meningkatkan energinya. Dia tahu itu dan betapa parahnya situasi ini.

“…”

Suara orang asing memasuki telinga Theresia yang matanya tertuju ke bawah.

Bukan suara Carol. Bukan juga suara siapa pun dalam rumah ini. Dia mengenal suaranya karena suara itu adalah suara seseorang yang senantiasa dekat Theresia, makanya dia sadari.

Suara tawa Dewa Pedang, menertawakan cinta sedihnya.

“—aku harus pergi.”

Mendengar tawa Dewa Pedang, Theresia perlahan berdiri.

Bahkan kini, suara mengejeknya terus menggema di telinga Theresia. Namun dia tidak kuat menerima kehilangan segalanya sembari ditertawakan Dewa Pedang seperti ini.

Dia menyerahkan semuanya kepada kakak tertuanya dan membiarkannya mati.

Dia memaksakan tanggung jawabnya pada kakak kedua, adik, dan pamannya, kemudian membiarkan mereka semua mati.

Tapi, hanya dia—hanya Wilhelm yang takkan aku serahkan.

Karena pedang itu, baja itu, orang itu, milikku seorang.

“Carol, siap-siap.”

“Theresia-sama …? Tetapi kondisi tubuh Anda …”

“—siap-siap.”

Carol yang mengkhawatirkan tubuh Theresia, bersikap sempurna pada perintah kedua. Bergerak cepat, dia buru-buru mempersiapkan seluruh keperluan Theresia.

Pakaian perang yang belum pernah dikenakan sejak pertempuran pertama, dan pedang panjang yang tak bercampur darah.

“Kali ini, aku takkan membuat kesalahan.”

Mengepalkan tangan dan bersumpah kepada pedang panjangnya, Theresia berlari bersama Carol dan melompat ke atas kereta.

Jumlah kereta yang datang untuk menyelamatkan Wilhelm jauh lebih banyak dari yang diperkirakan Theresia. Merekalah orang-orang satu unit sepertinya, atau mereka yang dulunya diselamatkan Wilhelm.

Hanya sosok pemuda itu, teguh memegang pedangnya, yang tak terlihat di mana pun.

Sekarang, pemuda itu menjadi pedang berharga, menarik banyak orang dengan kecerdasan dan ketajamannya.

—garis depan kampung halaman Wilhelm telah runtuh.

Jeritan amarah bergema tatkala medan perang tertutup aroma darah serta api membara.

Dada Theresia mual, melihat kejadian mengerikan. Dia membayangkan dirinya berdiri di medan perang berkali-kali, namun kenyataannya jauh lebih menyedihkan dari apa pun yang dia perkirakan.

Di medan perang yang menghasilkan luka-luka, merenggut nyawa, menumpahkan darah, tidak ada gunanya bersiap-siap sebelumnya.

“Apa pun yang terjadi, cari Wilhelm!”

Orang yang mengangkat suaranya adalah yang memimpin kelompok para petarung, Bordeaux Zellgef. Atas perintah penuh amarahnya, kelompoknya mengenakan baju besi berbatu, segera bergerak maju bersama-sama.

“Theresia-sama! Apa yang harus kita …”

Menggema suara Carol meminta instruksi, tapi Theresia tidak bisa mendengarnya.

Kelompok Bordeaux berbentrokan dengan para prajurit lawan yang telah menghancurkan kampung halamannya. Dalam persilangan serangan intens, dia samar-samar merasakannya.

“Theresia-sama!?”

Seketika menyadarinya, kakinya bergerak.

Theresia melesat, tidak menyisakan debu dalam medan perang tempat para petarung berbentrokan. Bahkan tanpa melihat, dia tahu mesti pergi ke mana.

Dia melangkah di tanah, melewati tumpukan mayat, kemudian menuju teriakan amarah serta ratapan kematian saling bercampur.

Dan mencapai titik gelap itu di sisi lain, Theresia melihat.

Di depan Wilhelm yang jatuh, berdiri seorang demi-human hijau berpedang besar terangkat.

Wajah diwarnai merah darah, Wilhelm melihat pedangnya. Bibirnya bergerak. Dengan suara lemah yang rapuh, dia bergumam.

“Aku tidak mau, mati …”

“…”

Tak apa.

Tak apa, kataku.

“…”

Dia tidak bisa lagi medengar apa-apa, apa pun.

Theresia hanya merenungkan ucapan terakhir yang didengarnya, bisikan Wilhelm.

Dia ayunkan pedang panjang di tangannya. Pedangnya ringan.

Pedangnya tidak membuat suara, tidak pula membuat gelombang kejut, mudah memotong leher demi-human.

Dia tendang tubuh besar yang memegang pedang agar tak jatuh menimpa Wilhelm. Di saat yang sama, para demi-human, penuh haus darah, dengan semangat maju menuju Theresia ramping.

Seluruh lintasan itu, dia mampu merasakannya. Dia dapat membacanya. Di kulitnya, bisa dia rasakan.

Menghindarinya, Theresia mengikuti sinar misterius yang bisa dilihat pedangnya.

Tiba-tiba muncul, sinar putih misterius melayang di langit. Lebih misteriusnya, fakta dia harus mengikuti sinarnya dengan pedangnya.

Mengikuti, mengikuti, pedangnya meluncur di atas sinar putih.

Pedangnya meluncur selayaknya angin, selanjutnya menebas tubuh para demi-human.

Memotong anggota tubuh mereka, menusuk tenggorokan mereka, menebas perut mereka, mencabut nyawa mereka.

Divine Protection of the Sword Saint, Divine Protection of Death God, meledak-ledak pada kesempatan yang akhirnya tiba.

Jika dia membelah pergelangan tangan, lukanya takkan sembuh.

Kalau dia mengiris urus mereka, pendarahannya tidak akan berhenti.

Bahkan luka terkecil pun pada akhirnya akan mengikis nyawa mereka.

“…”

Di sudut matanya, dia melihat Wilhelm tengah ditahan.

Orang yang berdiri di sebelahnya adalah Carol serta seorang pemuda membawa perisai. Mereka mencoba meninggalkan medan perang ini, segera setelah menjemput Wilhelm.

Ya, itu benar.

Cepat, bawa pergi Wilhelm dari sini.

“Theresia-sama … ah.”

Carol menggenggam erat liontin yang menggantung di lehernya, melihat Theresia mengayunkan pedang. Sikapnya kelihatan bak berdoa. Theresia menganggapnya sedikit lucu.

Kurasa begitu. Sesuai perkataan Carol, bukan.

Memang, aku lebih kuat dari siapa pun dan lebih baik soal membunuh daripada semua orang.

—seandainya, aku menyadari ini sedikit lebih cepat.

“…”

Para pemuda tergesa-gesa meraih Wilhelm, berusaha keluar dari sini.

Wilhelm yang menampiknya dan melawan, menggunakan seluruh kekuatannya walaupun lukanya dalam, untuk melakukan hal sama.

Kehadirannya memudar. Theresia lega merasakannya.

Selagi merasa lega, dia ambil satu, dua, tiga nyawa. Mudah, ringan.

Menebas, menebas, menyayat, dia terjun ke jeritan amarah dan ratapan kematian.

Dia singkirkan suara keras Dewa Pedang.

Hanya izinkanlah aku mendengar suaranya, dirinya yang sangat-sangat bergantung pada kehidupan.

Mohon ukir alasanku, untuk bertarung seperti ini.

Tolong, biarkan aku percaya, bahwa pedangku bisa menyelamatkan Wilhelm—

 


Konfrontasinya telah berakhir.

Tujuan Theresia memasuki medan perang telah tercapai, Wilhelm telah dijemput.

Akan tetapi, tujuan bertarung Wilhelm, menyelamatkan kampung halamannya, telah gagal.

Kampung halamannya terbakar menjadi abu, dia kehilangan tempat tinggalnya, dan dia sendirian sekarang.

Wilhelm yang mengayunkan pedangnya dengan amarah, telah membunuh tiga ratus.

Bagi seorang pendekar pedang di satu medan perang, itu jumlah tidak terbayangkan dan luar biasa.

—Dilanjutkan ilmu pedang Theresia yang telah mengiris lebih dari seribu leher, itu tidak lazim.

Inilah eksistensi Pedang Suci—

Setelah pertempuran pertamanya yang memalukan ditutup-tutupi, kali ini tercatat dalam sejarah sebagai pertempuran pertama Theresia sebagai Pedang Suci.

Pertempurannya sendiri tidak salah lagi mungkin berakhir kalah, tetapi dia berhasil membuktikan keterampilan pedang kuatnya.

Nama Theresia van Astrea menyebar ke seluruh kerajaan, dan meningkatkan moral para prajurit yang bertarung.

Tentu saja, pasti juga didengar telinga Iblis Pedang.

“Itu memalukan.”

Tiada lagi janji di antara mereka untuk bertemu lagi.

Tetapi mereka merasa bila pergi ke alun-alun, mereka akan bertemu satu sama lain.

Itu benar, menjadi kenyataan.

Wilhelm yang datang ke alun-alun menatap Theresia dan mengayunkan pedangnya.

Dia gerakkan tangannya ke jalan ayunan pedang, dan jari-jarinya menahannya.

Theresia tahu segalanya, mengenai sudut serangan optimal, serta kekuatan menyerang optimal.

Serangan pedangnya dihentikan, Wilhelm kasarnya menggerakkan bibirnya kemudian mengujar kata-kata tulus dalam hati, tidak cocok dengan reuni mereka.

“—begitukah.”

“Apa kau, menertawakanku?”

“…”

“Jawab aku, Theresia … bukan, Pedang Suci!!”

Dia tidak berniat melakukannya.

Dia pun tak punya alasan di balik dalihnya.

Betul memang Theresia terbiasa mengamati tarian pedang Wilhelm. Benar memang dia melihat kekurangannya, dan tak memberitahunya.

Dua-duanya pun tidak berarti, hingga mereka membicarakan kekurangan itu.

“…”

Wilhelm gelisah melangkah maju dan mulai kasar. Dengan ekspresi murka, dia menyerang Theresia, tetapi Theresia menghindar dan balas menyerang.

Tak lama sesudahnya, pertarungan berat sebelah, pedang yang dipegang Wilhelm jatuh ke tangan Theresia. Harfiahnya, Theresia melihat darah mengalir ke lengan Wilhelm dan menebas kuat—menghindari serangannya, wanita itu mengikuti sinar putih dan menggetok perutnya.

Gagang pedang menusuk perutnya dan menjatuhkan Wilhelm yang bernapas megap-megap.

“Aku takkan datang ke sini lagi.

Dengan benci, kasih sayang, dan pikiran negatif murni, Wilehlm tak kuasa melihat apa yang ada di depan matanya.

Theresia memalingkan lehernya dan memilih pilihan yang dia pilih berkali-kali sampai sekarang, kabur.

“Wajahmu, yang seperti itu … kau semestinya tidak, memegang pedang.”

Mulutnya yang penuh penyesalan, wajahnya menempel di tanah, Wilhelm meremas erat perutnya.

Meyakini dan memercayai kecantikan serta keagungan pedang, dia Wilhelm. Punya kemampuan untuk menendang dan menginjak-injak segalanya, dia Theresia.

“Aku, Pedang Suci. Aku tidak pernah mengerti alasannya, namun kini aku mengerti.”

Dia memiliki Divine Protection of Death God yang langka.

Dia dianugerahi Divine Protection of the Sword Saint, biarpun dia tak memintanya.

Kelihatannya akhirnya dia sanggup berbaikan dengan berkah-berkahnya.

“Alasan …”

“Mengayun pedang untuk melindungi seseorang. Kurasa lumayanlah.”

Mengayunkan pedangnya untuk melindungi seseorang.

Dia beharap bisa menyadari sesuatu sesederhana itu lebih awal.

Sekalipun dia barangkali menyadarinya, dia mungkin belum menemukan seseorang untuk dilindungi.

Sekarang, dia menemukannya.

—lindungi, Wilhelm.

Selama dia dapat melindunginya menggunakan kekuatan ini, kekuatan pembantai keji ini, dia ‘kan melindungi Wilhelm.

Melindunginya, melindungi keluarganya, melindungi Carol, melindungi lebih banyak orang lagi, dan akhirnya melindungi sesuatu terlampau besar seperti kerajaan, dan dia akan menjadi Pedang Suci layak.

Karena akulah, yang terkuat. Karena akulah Pedang Suci, adalah yang terkuat.

Aku kemungkinan telah menginjak-injak perasaannya, aku bisa jadi mengkhianati yang dia percayai, namun aku tidak bisa mengabaikan fakta bahwa akulah Pedang Suci.

“Tunggu, saja, Theresia …”

Tiada lagi yang harus dibicarakan.

Suaranya sampai Theresia yang sudah berbalik, berpikir inilah akhirnya.

“…”

Dia mau menghentikan kakinya. Dia habis-habisan menekan emosinya.

Suara Wihelm, bagaimanapun, sampai Theresia yang mati-matian menekan emosinya.

“Aku akan ambil pedang darimu. Aku tak peduli, tentang Divine Protection dan tugas yang diberikan kepadamu … mengayunkan pedang … jangan berani-beraninya kau menganggapnya rendah, keindahan pedang, Pedang Suci!’

“…”

Ibaratnya mencibir pernyataan polos anak muda itu.

Seakan-akan mencibir anak manja yang percaya akan harapan fana.

 


—perlu dua tahun lebih lama untuk mengakhiri perang saudara.

Sejak perpisahannya dengan Wilhelm, Theresia melangkah ke setiap medan perang.

Dan tekad usaha keras terus-menerus, bersama tekadnya, dia berkontribusi melemahkan aliansi demi-human.

Aliansi juga kehilangan manajemen atasnya yang merupakan susunannya, membuat fondasinya mengendur.

Anggap saja mereka tak punya pilihan, selain menanggapi perjanjian damai yang ditawarkan kerajaan.

Sejak saat itu, perang saudara terbesar yang dihadapi kerajaan, Perang Demi-Human telah menjauh dari keburukannya di tengah peperangan dan berakhir secepat dimulainya.

“Sudah … berakhir?”

Dia sepenuhnya siap terjun ke pertempuran berikutnya, mengikuti pertempuran berlanjut hingga tak ada habisnya.

Oleh karenanya, Theresia benar-benar lengah begitu mendengar laporan mendadak.

“Ya, sudah berakhir. Perang saudara sudah berakhir—itu pencapaian Theresia-sama.”

Memeluk tubuh lembut Theresia, Carol berkata polos.

Beberapa tahun terakhir, Carol menunjukkan emosi lembutnya beberapa kali, dan telah mendukung emosi Theresia serta membelai pelan punggungnya beberapa kali.

“Pencapaian katamu …”

Dia tak setuju-setuju amat dengan pernyataannya.

Theresia mengikuti jejak pikiran itu. Dia meyakininya, pada akhirnya untuk melindungi seseorang.

Dia percaya itu, apabila dia dapat melindungi pemuda itu, satu orang setara pasukan yang tidak kelihatan di manapun.

Yang gagal disadari Theresia adalah persis sesuai ucapan Carol, aksinya diakui sebagai kontribusi terbesar kerajaan.

Sebuah upacara diadakan untuknya, mengenakan pakaian formal sambil membawa pedang resmi di tangannya, tak pernah sekali pun Theresia dari awal sampai akhir, merasa dia berada di suatu mimpi.

Tidak, misalkan ini mimpi, maka Theresia selalu bermimpi.

Semenjak dia mengenal keberadaan Dewa Pedang, sejak dia menerima Divine Protection of the Sword Saint, dia berada dalam mimpi.

Itulah alasannya, hal ini pun adalah mimpi. Mimpi yang ditunjukkan cinta Dewa Pedang, di mana tiada matahari bersinar.

Maka dari itu, bila tiba saatnya mimpi ini akan berakhir, lantas—

“…”

Keributan datang dari kerumunan marah dan berapi-api.

Melalui seluruh teriakan memintanya berhenti, eksistensi itu terus memasuki aula.

Di tangannya ada pedang tua berkarat.

Dia mengenakan tunik cokelat dekil, dinodai noda kotor. Tetapi sebelum mendapati penampilan menjijikkannya, ada sesuatu yang disadari insting semua orang.

—kengerian maha besar dipancarkan darinya.

—bukan, dari Iblis Pedang.

“…”

Theresia menyambut keberadaan yang mendekat itu dengan bisu sembari memegang pedang resmi di tangannya.

Para penjaga mengelilingi sang raja dan membentuk lapisan pelindung di sekitar mereka. Theresia berterima kasih atasnya. Dengan ini, tidak ada lagi penghalang.

Tak ada lagi yang akan menghalangi pertemuannya dengan Iblis Pedang di sini.

—tidak ada peringatan apa pun.

Namun ibarat hal biasa, bilah mereka berdua bertabrakan dan membunyikan denting bernada tinggi.

Pedang tumpul membentur pedang suci jelas dari depan, kendatipun tujuan pedang sucinya untuk formalitas saja. Percik-percik api menari bergairah, tebasan-tebasan menyapu angin, dan sepasang bayangan saling bertemu lalu berpisah di atas panggung, bak menari.

“…”

Sembari mengayun pedang, Theresia kagum penuh. Detak jantungnya makin cepat, hatinya berdenyut kian kencang.

Di mata Theresia, seperti biasa, ada sinar putih tempur melayang. Jikalau dia mengikuti sinarnya dan lacak dengan pedang, dia takkan salah lagi akan membunuh lawannya, di matanya itu bantuan sang Dewa Pedang.

Jalan yang menjamin kemenangan dalam pertarungan pedang yang dibangun Dewa Pedang telah dihancurkan pengabdian dan hasrat sinting semata Iblis Pedang.

Sinar putih mengambang senantiasa ditebas ujungnya oleh pedang berkarat.

Menghadang setiap sinar putih tak terhitung jumlahnya, Iblis Pedang meraung dan melangkah menuju kemenangan yang semestinya takkan mampu dia raih.

Jantung Theresia berdebar semakin cepat setiap detiknya. Setiap kali mereka saling bersentuhan.

Setiap saat pedang mereka saling bertemu, setiap kali sinar putih dihadang.

Theresia sedang jatuh cinta dengan Iblis Pedang di depan matanya.

Berkali-kali lagi, sang Pedang Suci jatuh cinta kepada Iblis Pedang.

Dia mencintainya. Dia mencintainya. Dia sungguh mencintainya sampai-sampai tak tertahankan.

—dia mencintai orang ini sampai-sampai tak sanggup ditahan lagi.

“—agh.”

Upacaranya menjadi pusaran keanehan, dalam pandangan begitu banyak orang, ketika Theresia memikirkan apa yang dilakukannya, dia menganggapnya menggelikan tak tertahankan.

Pipinya memanas, Hatinya berdebar-debar cepat. Seiring waktu cintanya kian kuat.

Sebenarnya, aku ingin membuang pedangku dan menggenggam erat dadaku.

Tidak ada yang bisa diambil dariku sekarang. Dulu, waktu pertama kali aku melihatmu, sesaat sosokmu pertama kali terukir dalam ingatanku, aku telah—

“…”

Pilihannya melarikan diri, dirinya yang menolak menghadapinya, telah digagalkan sepenuhnya.

Bukan karena suara teguran Dewa Pedang, melainkan kilat mata iblis yang berada di depannya, segenap batinnya menolak pelarian Theresia.

Kau tidak perlu berhutang budi pada tangan orang lain atau bahkan tanganmu sendiri, aku, dengan tanganku sendiri, ‘kan merenggut pedangmu dari tanganmu menggunakan kekuatanku sendiri.

Kekuatanku sendiri, ketekunanku sendiri, segala hal yang aku abdikan kepada pedang, aku akan ambil wanita ini dari Dewa Pedang.

Sebanyak apa, selama apa.

Seberapa kali, ratusan kali, puluhan ribu kali, ratusan juta kali, dia pikirkan itu kepada dirinya sendiri.

Tebasan pedangnya saling bersentuhan, menekan satu sama lain, ujungnya berkilauan, berpelukan satu sama lain berkali-kali lagi.

Kemudian suara murka Dewa Pedang diiringi tebasan total—

“…”

Pedang berkaratnya patah dan ujungnya terpental ke udara lalu mendarat di peron.

Orang yang mematahkannya tidak salah lagi dari serangan intens Pedang Suci.

Paling pentingnya, lebih penting dari semuanya, kekuatan serangan itu disalurkan oleh Pedang Suci …

Tetapi …

-ku …”

“…”

“Kemenangan … ku.”

Pedang berharga direnggut dari tangannya.

Telapak tangan wanita itu mati rasa gara-gara kejutan serangannya dan pedang berharganya terbang kemudian jatuh di belakang mereka, membuat suara. Selanjutnya pedang berkarat yang separuh retak-retak dan ujungnya patah, diarahkan tepat di sebelah leher putih kurus Theresia.

Pedang Suci yang dihias indah kalah dari Iblis Pedang yang berlatih berat.

Itulah momen seketika pedang tua berkarat menang melawan pedang berharga, lalu fatamorgana yang dikenal sebagai Pedang Suci telah dikalahkan.

“Kau lebih lemah dariku, jadi kau tak punya lagi alasan untuk menggunakan pedang.”

Menggema suara seseorang.

Kalau dipikir-pikir, sudah lama sejak aku mendengar suara beratnya.

Dan tidak kusangka kalimat pertamanya adalah ini.

“Seandainya aku tak memegang pedang … siapa yang akan memegangnya.”

“Aku akan menggantikan alasanmu untuk mengayun pedang. Kau cukup jadi alasanku untuk mengayunkan pedang.”

Alasannya mengayunkan pedang, adalah untuk melindungi sesuatu.

Kau jadilah alasan itu, berkata demikian, dia melepas tudungnya.

Melihat dirinya dipelototi tatapan merendahkan dan suram, Theresia menggeleng kepalanya.

Sekalipun Wilhelm mengatakan hal-hal keren seperti merenggut sesuatu darinya, atau melindunginya, dia masih tetap tidak mampu memahami hati seorang wanita. Dia itu pedang, jadi mau bagaimana lagi.

“Kau ini ga sopan banget. Membuat semua keputusan dan kegigihan orang jadi tidak berguna seperti ini.”

“Aku akan mengambilnya juga. Lupakan saja kau pernah menggunakan pedang dan … benar juga. Kau hidup damai saja di belakangku sambil memelihara bunga atau semacamnya.

Ah, itu, itu—

“Sedangkan aku, dilindungi pedangmu?”

“Itu benar.”

“Kau mau melindungiku?”

“Itu benar.”

Misalkan Theresia menghitung sendiri soal hal-hal yang pengen dia lindungi, maka Wilhelm harus menjawab cintanya.

Theresia tersenyum mendengar perkataan Iblis Pedang, Wilhelm.

Setelahnya, menyentuh pedang di leher, dia melangkah maju sekali.

Menyentuh pedangnya, dia bisa merasakan dua tahun Wilhelm.

Dan memikirkan kemungkinan itu, bila kala itu dia memikirkannya, Theresia merasa dadanya makin hangat.

Munculnya emosi yang tidak mampu dia tahan, mata Theresia penuh air mata. Akhirnya, airnya mengalir turun ke pipi tersenyumnya.

“Apa kau, suka bunga?”

“Aku tidak benci bunga sekarang.”

“Kenapa kau, mengayunkan pedang?”

“Untuk melindungimu.”

Inilah batas kesabarannya.

Semenjak dia kehilangan pedang dari tangannya, dia tidak bisa lagi mendengar suara Dewa Pedang.

Dia hanya melihat Wilhelm.

Dia hanya merasakan Wilhelm.

Dia hanya punya Wilhelm.

Pelan menaruh kepalanya ke dada, dia menoleh sedikit ke atas.

Bibir Theresia yang matanya tertutup, bersentuhan bibir Wilhelm. Dia merasakan cintanya, lembut dan hangat, lalu dunia Theresia berubah cepat.

Pipinya yang merona, dia melihat kekasih di depannya.

Wilhelm membisu, diam menunggu kata-katanya.

Tingkahnya aneh. Theresia-lah yang menunggu. Karena Wilhelm kelihatannya tidak mengerti, lantas sekali lagi, seperti beberapa kali sebelumnya, dia yang mulai …

“Apa kau, jatuh cinta kepadaku?”

“—kau sudah tahu itu.”

Memberi jawaban kasar, dia memalingkan wajahnya.

Seketika, dia berpaling sesudah menjawab pertanyaannya, suara memasuki dunia dua orang tersebut. Para penonton melanjutkan was-was mereka, kemudian para pengawal menghampiri keduanya.

Di sana terlihat, sosok Wilhelm menyadari serbuan mereka dan para pengawal mendatanginya.

“Waduh waduh.”

Melihat muka santai pria itu, orang-orang cemberut.

Biarpun wanitanya berada di depannya, kenapa dia melihat ke tempat lain?

Dia bahkan belum menuturkan ucapan yang ingin pasangannya dengar.

“Ada sesuatu yang aku ingin kau katakan, tahu.”

“Ah.”

Wilhelm memalingkan muka, menggaruk pipi, ibarat mencoba menipunya. Akan tetapi, tidak lama setelahnya, dia melihat wajah Theresia dan berikutnya menurunkan wajah dan mendesau, memeluk pinggang ramping Theresia.

Kemudian dengan lembut memposisikan wajahnya ke sebelah telinga terkejut Theresia …

“Suaru hari nanti, saat aku mau.”

—Theresia frustasi mendengarnya, tetapi di saat bersamaan, dia menantikan hari itu.

Kelemahannya adalah karena terpesona olehnya, dia memaafkan kata-kata orang yang dicintainya.

 


—sesudahnya, bila dibayangkan, banyak hal terjadi.

Menikahinya, Wilhelm, yang telah memotong upacara dengan kegaduhan yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Wilhelm menjadi seorang kesatria Pengawal Kerajaan alih-alih Theresia, dia pensiun dari Pedang Suci mengikuti saran Bordeaux dan orang-orang lain yang hadir di sana.

Menegaskan pengabdian seumur hidupnya untuk Theresia, Carol jatuh cinta kepada salah satu kolega Wilhelm tetapi tidak menikahinya.

Punya beberapa prestasi dari kemampuannya terhadap pertempuran, Bordeaux diberikan kursi di Komite Parlemen, ditugaskan menangani urusan penting kerajaan.

Banyak hal, beneran banyak hal terjadi, hari-hari itu seru.

“Aku jatuh cinta padamu, Wilhelm. Kau bagaimana?”

“…”

Sampai akhir, dia tidak pernah mengucapkan kata-kata yang seharusnya. Dia lebih bertindak ketimbang berbicara, sih.

Orang yang dapat ditipu olehnya antara wanita baik atau wanita yang jatuh cinta kepada pria tersebut—sebab Theresia keduanya, dia terus ditipu.

Waktu yang mereka habiskan sebagai pasangan adalah waktu tenang nan damai, sehingga rasanya keterlaluan damai.

Wilhelm berjanji kepada istrinya dan sejak kala itu tak pernah dia memegang pedang sekali pun. Istrinya pun tak punya keterikatan apa pun pada pedang. Suara Dewa Pedang juga telah lama diam sejak upacara.

Biar demikian, kadang-kadang dia kedapatan Divine Protection of the Sword Saint-nya.

Contoh, pas memasak, kapan pun dia memegang pisau dapur, dia simultan menyadari hal-hal semacam sudut optimal untuk menyerang. Walaupun entah bagaimana bisa dia lewati, sewaktu memelajari prosedur selanjutnya, dia sadar menjadi ibu rumah tangga jauh lebih sulit daripada menjadi pendekar pedang.

“… ah.”

Itulah waktu dia belajar cara mengendalikan Divine Protection of Death god. Dia tak sengaja menyayat jarinya dengan kulit bahan ketika memasak.

Luka sukarela harus dikenai ke Divine Protection apa pun yang terjadi. Seketika luka yang dia kenakan ke dirinya sendiri memucat, dan begitu dia buru-buru menghentikan pendarahannya, pendarahanya langsung berhenti.

—faktanya, Apa segampang ini, itulah reaksi pertamanya.

Dia menerima eksistensi Divine Protection dan mengendalikan kekuatannya.

Gadis kecil yang diberikan gelar Pedang Suci ke bahunya, namun kenyataannya bahkan tidak paham hal-hal yang dimilikinya.

Seandainya saja ini terjadi lebih awal—pemikiran semacam itu memenuhi hatinya disertai bayangan saudara-saudaranya.

“Theresia.”

“—hmm.”

Tatkala itu, dia melihat sosok Wilhelm pulang.

Dia menyerahkan pakaian kusutnya ke istrinya yang menyembunyikan isi pikirannya dalam hati.

Dan dengan begitu, dia akan diselamatkan.

“Apa kau, jatuh cinta kepadaku?”

“…”

Tetapi cuma pertanyaan itu saja yang Wilhelm dengan kukuh tidak jawab.

 


Setelahnya, lagi-lagi, banyak hal terjadi.

Betulan, banyak hal terjadi.

Putra pasangan itu lahir, Heinkel.

Heinkel menemui pasangannya yang nantinya akan menjadi pengantinnya, terus cucu Theresia, Reinhard, lahir.

—sama sekali, bukan salah siapa-siapa.

Hinkel sungguh-sungguh dan rajin bekerja keras dengan pedang setulus hati.

Pengantinnya yang terkena penyakit dikenal sebagai Putri Tidur, merampas kesempatan pemulihan nama baik Heinkel, kemudian meninggalkan Reinhard sendirian.

Reinhard yang diberkahi talenta yang bisa dirasakan sekali pandang juga dijejalkan takdir tak sesuai usia mudanya.

Tidak ada yang salah.

Karenanya, seperti biasa, dialah yang salah.

Heinkel berubah, pengantin wanitanya terkurung dalam mimpi, dan Reinhard berusaha keras, mencoba dicintai orang tua seperti mereka.

Dialah yang pertama kali menyadari hal ini, bodoh sekali dan tidak berguna.

“Ada pertempuran yang namanya Penaklukan Besar … penaklukan untuk membunuh Paus Putih. Di sana, aku akan …”

Seorang kesatria Pengawal Kerajaan numpang nama dan misi beratnya menuliskan namanya.

Ketika suara putranya gemetaran selagi mambawakan rencananya, Theresia dalam diamnya segera mengukuhkan keputusan.

Semenjak terakhir kalinya dia menggunakan pedang panjang, pedangnya telah diurus Carol yang sudah mempertahankan kondisinya hingga sekarang ini.

“Aku tidak setuju. Apa yang kau pikirkan!”

Theresia masih meragukan keputusannya, tapi Wilhelm betul-betul menentangnya.

Dia merasa ditatap tajam.

Wilhelm rambutnya beberapa putih dan suara mudanya sudah hilang, tetapi pendirian Wilhelm belum berubah.

Martabatnya, keseriusannya, kecanggungannya, semuanya terus berlanjut sebagaimana tatkala Theresia mencintai hal-hal itu, dan dia masih cinta.

“Idiot itu … dia benar-benar memalukan … ah.”

“Tidak kau ataupun aku berhak mengatakannya.”

“…”

Wilhelm pun meratapi putra mereka. Wajahnya yang entah bagaimana menahan ekspresi marahnya, Wilhelm menggigit bibirnya.

Sekalipun semangatnya tetap tidak berubah, keseriusannya masih tetap, dia sudah dewasa soal marah dan tenang.

“Aku juga, akan memimpin …”

“Kau punya tugasmu sendiri. Kau harus mempertanggungjawabkannya, Wilhelm—tidak mungkin kau lupa, Ford-sama menangis.”

“…”

Adik laki-laki raja, Ford, putrinya telah diculik seseorang yang menyelundup ke kastil. Sebagai komandan Pengawal Kerajaan, Wilhelm bertugas segera mengembalikannya.

Tidak mungkin sang Iblis Pedang dibawa ke Penaklukan besar.

Sebaliknya, Theresia yang merupakan pewaris Divine Protection of the Sword Saint, diminta bergabung ke medan perang.

Dia tidak bisa menolak. Hari-hari damainya dengan mengabaikan pedang telah dibangun di atas keegoisannya sendiri.

Dia tidak boleh membiarkannya berlanjut lagi.

“Theresia, sesuatu seperti ini …”

“Wilhelm.”

“Apa kau, jatuh cinta kepadaku?”

“Apa … uh.”

Resah—emosi sama seperti sebeumnya.

Seraya tersenyum, pedang Theresia meluncur ke atas bahu Wilhelm. Menebas angin lalu menembus kulitnya.

Berdiri tanpa perlindungan di depan istrinya, Wilhelm gagal bertahan karena kurang fokus, dan luka terbuka baru di bahunya mulai berdarah.

“Theresia …. Apa yang kau lakukan?”

Luka di bahunya dikenai kekuatan Divine Protection of Death God. Lukanya tak dalam, tapi pendarahannya lanjut terus. Lukanya akan tetap sama selama Theresia, si pelaku, tetap dekat dengannya.

“Theresia?”

Dia mendekat lamban ke dadanya.

Selagi merasa bahu yang istrinya pegang terasa kaku, Theresia menempelkan bibirnya ke luka di bahu Wilhelm.

Darah mewarnai bibirnya, begitu mencicipi darah suaminya pertama kali.

“Dengan ini, kau tidak bisa lagi mengejarku. Karena jika kau dekat denganku, lukanya takkan menutup.”

“Melakukan hal sebodoh ini hanya untuk itu … biar aku perjelas, meskipun pendarahannya tidak berhenti, aku tetap akan …”

Seraya tersenyum sedikit, Theresia melepaskan bahunya.

Dan selagi menunjuk luka bahu Wilhelm …

“Aku akan mendiamkan lukanya apa adanya. Agar kau tak mengikutiku. Nanti kututup waktu kedua pekerjaan kita selesai.”

“…”

“Tidak apa, lagian, menurutmu aku ini siapa? Aku ini pendekar pedang terkuat di dunia, kedua setelahmu.”

“Tapi membandingkan tingkatanmu sekarang di umur pertengahan empat puluhan, dengan diri mudamu …”

“Jangan mengatakan hal selebay itu.”

Dia bengisnya membuat Wilhelm menutup mulutnya biar tidak melanjutkan kata-kata songongnya.

Ya ampun, bahkan setelah dua puluh tahun bersama, semua ini masih terus saja.

Bajanya belum berubah. Akan tetapi …

“Aku mencintaimu, Wilhelm.”

“…”

“Iya, benar juga. Jawab itu nanti.”

“Nanti?”

Menghadap Wilhelm yang mengerutkan alis, Theresia mengangguk.

Seraya bersumpah demi luka suaminya untuk bertemu lagi—

“Saat aku kembali, hari itu, tolong biarkan aku mendengar kalimat yang tidak bisa kudengar.”

 

 

Ingatannya, menghilang.

Jarak pandang terganggu badai pasir, bunyi-bunyi serta suara-suara tercerai berai jadi semakin sulit didengar.

“…!”

Raungan murka, jeritan, teriakan seseorang dapat didengar.

Di satu bidang penglihatannya, hanya terlihat warna hijau—tidak, ini di tanah. Warna padang rumput. Seketika dia lihat sekeliling, kabutnya lumayan tebal, semisal tidak salah sepuluh meter di depannya, sepenuhnya mengunci seluruh dunia.

Pasukan penakluk dihancurkan separuh dan pasukannya dalam keadaan kacau.

Melancarkan penyerbuan penghabisan, dan mereka tidak bisa menentukan arah mana mereka harus pergi dalam kabut tebal ini.

Terlepas dari itu, mereka samar-samar merasakan tekanan raksasa dari sisi lain kabut. Lantas wajar seumpama gema suara-suara melarikan diri ke arah berlawanan.

“…”

Tiba-tiba dia tidak bisa menyadari kejadiannya.

Dalam pertempuran hebat dan sengit sulit, pada pertempuran itu mereka harus berusaha keras untuk meraih dominasi pertempuran, Theresia merasa lebih baik sekiranya menggunakan kekuatannya untuk mundur dari garis depan, tepat ketika dia mulai merasa ingin melakukannya—

“…?”

 Berpikir sejauh itu, dia merasa sedikit tidak enak.

Dia melirik telapak tangannya. Sesuatu, tidak nyaman.

Tidak ada masalah sama anggota tubuhnya, matanya, atau kakinya.

Namun dia merasakan sesuatu laksana dia telah kehilangan sayapnya—

Divine Protection-nya …”

Dia meyadarinya.

Dia tidak lagi sanggup merasakan perasaan kepemilikan Divine Protection of the Sword Saint. Dewa Pedang pun rasanya sama, dia yang senantiasa berada di sisinya entah sampai mana interaksinya dengan pedang.

Bahkan cemoohnya sekarang tidak ada lagi di mana-mana.

“Reinhard—!”

Di saat bersamaan, Theresia merasa dia kini tahu siapa yang dirasuki sesuatu yang hilang darinya.

Apakah ini perasaan sama yang pamannya rasakan begitu merasa Theresia adalah pewaris Divine Protection? Jika tidak, mungkin saja Theresia semata-mata menyadari bakat alami tidak terbatas Reinhard.

Apa pun itu, Theresia tidak lagi ragu generasi Pedang Suci selanjutnya pastilah Reinhard.

Perasaan itu mungkin mengkhianati putra aslinya, Heinkel—tetapi tidak ada orang yang akan menyalahkannya, atau sempat pula buat mencari-cari orang tuk disalahkan.

“—oh, seorang wanita kesepian berada di tempat seperti ini, memang cukup berani.”

Suara anggun seorang gadis muda, tidak cocok di waktu dan tempat ini, bergema.

Berbalik, Theresia melihat bayangan kecil dalam kabut tebal.

Pakaian putih, rambut platinum.

Akrab dan serba kasih sayang, tatapan ramah penuh simpati tiada batas yang mendewakan kebersamaan—cintanya yang salah arah hingga serasa merisaukan.

“…”

“Sepertinya aku belum terlalu disukai.”

Mencengkeram pedang, Theresia melangkah maju.

Kalau gadis itu dalam situasi normal, dia barangkali mencemaskannya. Namun di sini adalah dunia kematian dikuasai kabut tebal Paus Putih.

Gadis muda, muncul di sini, tidak salah lagi terlampau misterius.

Kendati dia kehilangan Divine Protection of the Sword Saint, tubuh Theresia masih mempunyai ilmu pedang mantan Pedang Suci. Mendemonstrasikan penuh kemampuannya yang berada di puncak ilmu pedang, dia menebas tubuh mungil gadis muda tersebut—

“—aku ingin, memahamimu.”

Suara gadis muda itu menggelitik gendang telinganya, kemudian kesadarannya nyala-mati.

Suaranya punya sesuatu istimewa.

Dalam kegelapan, kesadarannya mulai menghilang.

Tangan dan kakinya terikat, tubuh Theresia terendam dalam air hangat tanpa dasar.

Masa depan cucunya, putranya, pengantin wanita yang menghubungkan keduanya, kecemasan itu melintas di benaknya.

Dan, hingga akhir …

“Wilhelm.”

 Dia panggil nama kekasihnya, selanjutnya kesadarannya terpecah-pecah sepenuhnya.

Lalu—

 


“Dasar wajah, menyedihkan …”

Berangsur-angsur membuka kelopak matanya, dia melihat wajah kacau.

Kepala Wilhelm sungguh-sungguh pucat pasi, wajahnya dukir garis-garis penuaan, namun dia anggap masih keren.

Mustahil dia salah.

Itu wajah suaminya. Kayaknya telah lama waktu berlalu sejak perpisahan mereka.

“…”

Dia menarik napas dalam-dalam.

Di dekatnya, Heinkel dan Reinhard pun berada di sana. Dia merasakan kehadiran mereka.

Ketiga pria keluarga Astra berkumpul di sini, mungkin cuma untuk menghantarkannya.

Karena semua orang, baik sekali.

“Theresia, aku …”

Wajahnya keriput, Wilhelm terengah-engah.

Dia tidak bisa bilang tak suka itu di depan putra dan cucunya.

Apa dia meninggalkan baginda dan martabatnya? Sebenarnya, jika diingat-ingat, herannya kelemahannya yang itu selalu mencolok.

“Hei, Wilhelm …”

Suaranya parau tapi terdengar muda.

Seolah-olah bukan suaranya—tidak, itu tentu suaranya, tetapi dia harusnya nenek-nenek.

Nampaknya seperti suaranya sewaktu pertama kali jatuh cinta, memalukan banget.

“…”

Saat dia pertama kali jatuh cinta, merasa demikian, dia kian merasa canggung.

Tidak ada banyak waktu tersisa, tapi waktunya sudah banyak disia-siakan hanya dengan melihat mereka satu per satu.

Tapi walau begitu, tak apalah.

Kalimat yang semestinya dikatakan Theresia, dia sampaikan berkali-kali. Wilhelm pun mestinya tahu itu.

Itulah sebabnya, yang memerlukan waktu, kesempatan, dan kata-kata adalah Wilhelm.

Theresia sepatutnya menunggu tenang kata-kata itu.

Meskipun dia harus menunggu, ekspektasinya pasti akan terpenuhi. Seperti itulah Wilhelm Trias.

Seperti itulah Wilhelm van Astrea.

“Ada sesuatu yang harus … aku sampaikan.”

“…”

“A-aku ini pembicara buruk … jadinya tidak bisa mengutarakan isi pikiranku baik-baik, bahkan padamu aku kesulitan … karenanya bahkan selama dua puluh tahun tidak pernah sekali pun aku …”

“…”

“Dua puluh tahun ini mungkin membuatku tidak enak hati. Tapi, aku …”

“—dasar bego.”

Melihatnya berjuang keras buat bicara, dan menampilkan dirinya sebodoh itu, dia tidak tahan melihatnya.

Malah dia yang katakan. Sunguh, apa sih yang pengen dikatakan pria ini?

“Apa kau beneran, tidak pernah menyadarinya?”

Dia dengan sedih mengulurkan tangan ke wajah menangis.

Tubuhnya sendiri sangatlah berat. Nyaris tidak ada kekuatan tersisa dalam dirinya, namun dia kerahkan kekuatannya ke jari-jarinya, dan menyeka air mata yang menetes di wajahnya.

“Kau selalu, mengatakannya.”

“…”

Apa dia berniat menyembunyikannya?

Apa dia yakin bisa sembunyikan andai tak pernah mengucapkannya?

“Ucapanmu, matamu, perilakumu, selalu.”

Segala sesuatu yang Wilhelm arahkan kepada Theresia.

Orang ini, selalu saja, paling utama, jelas-jelas mengungkapkan isi hatinya—

“Aku, kepadamu.”

“Kau, kepadaku.”

Karena itulah, sudah cukup.

“—jatuh cinta.”

 


Dari awal sampai akhir, hidupku tentu penuh berkah.

Aku punya saudara-saudara yang berhubungan baik denganku, aku memiliki teman perempuan yang selalu hangat kepadaku dan lembut merawatku, aku dibantu banyak orang, menemui Wilhelm.

Aku yakin pasti masih ada banyak masalah.

Tapi aku yakin semuanya akan baik-baik saja.

Namun sejatinya, ada satu hal.

Ada satu hal saja yang tersisa di hatiku yang ingin aku tanyakan.

—nanti kau sekaget apa pas tahu, kalau itu sebenarnya cinta pandangan pertama?

 


Inilah terakhir kalinya, mereka saling mengutarakan kata cinta satu sama lain.

Sosok Theresia van Astrea yang tersenyum puas, dipipinya diwarnai warna cinta, dan matanya berkaca-kaca, kehilangan bentuknya dan hancur sekejap mata.

Di pelukan Wilhelm yang berlutut, tidak lagi terlihat sosok wanita berdarah yang menderita, melainkan hanya segumpal abu—abu belaka itu adalah bukti kehadirannya sebelumnya.

“…”

Hidupnya terbakar habis dan berubah menjadi gumpalan abu semata, dia Theresia. Mata Wilhelm membelalak dan diam-diam cuma terus menatap sisa-sisa Theresia.

“… apa kau, puas sekarang?”

Dan bukan Wilhelm terdiam dan tak bergerak, seorang pria berteriak.

Pria paruh baya berambut merah—Heinkel, meninggikan suaranya ke Reinhard yang berdiri di sampingnya, wajah Heinkel penuh kebencian.

Reinhard perlahan menghadap wajahnya dengan matanya sendiri, mendesah.

“Apa maksud, puas?”

“Jangan pura-pura bodoh, sesuai yang kau lihat! Kau sudah puas? Kau pasti sudah puas sekarang! Baik nama dan kenyataan, posisi Pedang Suci sudah resmi milikmu sekarang, selamat! Rumor dirimu mencurinya dengan membunuh generasi sebelumnya kini tidak salah lagi benar juga. Hah, kau puas? Hei!”

“Saya tidak mengerti maksudnya.”

“Tampangmu jangan pura-pura tak tahu! Dasar anak nakal sialan!”

Menghembus napas serak, Heinkel mencoba meraih Reinhard.

Namun Reinhard menghindar dan mengendalikan tubuh ayahnya, menginjak kakinya di bawah.

Pedang Suci generasi ini bahkan tidak terpengaruh sedikit pun setelah menebas Pedang Suci sebelumnya sampai mati. Sebetulnya, lawannya juga tidak.

Seakan-akan mencoba menjejalkan kebenaran itu pada ayahnya, tenggorokan Heinkel gemetar sedikit.

“Jangan meributkan hal ini, Reinhard … agh.”

Semakin parah, mencoba mengelabui hati gentarnya sendiri, Heinkel menunju Reinhard, dan meludahkan ini.

“Mau sebaik dan sebagus apa kau berusaha membuat sesuatu, yang kulihat tidak berubah. Faktanya kau membunuh ibu … Theresia van Astrea. Aku akan mengumumkannya. Akan aku sebarkan rumor ini ke manapun, sampai tidak ada yang mengenalmu lagi sebagai Pedang Suci!”

“…”

“Setenang apa pun wajah yang kau tunjukkan, tidak mungkin kau ‘kan melepaskan wibawamu sebagai Pedang Suci. Kau boleh saja memilikinya sampai sekarang, tapi tidak lagi. Orang yang menebas kerabat sedarahanya sampai mati adalah Pedang Suci? Pedangnya kerajaan? Hah, jangan buat aku tertawa! Dasar pembunuh!”

“Wakil Komandan, berapa kali pun Anda katakan, saya tidak mengerti maksud Anda—Wakil Komandan salah paham saya menebas generasi sebelumnya sampai mati.”

“Haaah …?”

Reinhard melirihkan jawabannya kepada Heinkel yang wajahnya memerah. Heinkel memalingkan pandangannya ketika direspon, tetapi Reinhard tampaknya tidak berniat menipunya atau bertele-tele.

Reinhard tak menyuguhkan opininya, tapi semata-mata mengujar fakta.

“Musuh barusan hanyalah mayat yang digerakkan menggunakan semacam teknik rahasia. Tidaklah mungkin Pedang Suci generasi sebelumnya … nenek. Apakah barangkali ada kesalahpahaman?”

“…”

Ekspresi Heinkel tercengang kepada perkataan Reinhard.

Sesudahnya, dia menaruh tangannya ke rambut merahnya dan digosok-gosok kasar. Sambil tertawa-tawa sedikit, senyum Heinkel abnormal.

“Kalau begitu, akhirnya bagaimana? Saat beliau, bicara kepada ayah!? Sewaktu dia melotot benci padamu dan aku … itu apa, apa kalau bukan ibu!”

“—cukup, hentikan sekarang, Heinkel.”

Menggertakkan giginya sendiri, Heinkel benci membara. Orang yang memadamkan panas Wilhelm yang sampai saat ini diam saja adalah Wilhelm.

Pendekar pedang tua itu, sembari mempertahankan postur jongkoknya, merobek lengan kiri dan merawat luka bahu kanannya—yang dikenakan suatu pedang panjang.

Kemampuan Divine Protection of Death God, sebab lukanya harusnya tak tertutup, kehilangan efeknya begitu Theresia sirna—tidak, bahkan sebelum itu, tatkala kewarasan Theresia kembali di akhir-akhir, efeknya hilang.

Alih-alih itu, yang tersisa adalah rasa sakit di bahu kirinya karena luka yang diukir di sana pada saat-saat perpisahan terakhir mereka.

Theresia waras bertahan di bahu kirinya, dan Theresia mati di kaki kanannya.

Luka yang diukir kemampuan Divine Protection of Death God telah ditiadakan begitu keduanya meninggal.

“Hentikan, katamu … ayah! Apa ayah beneran tidak masalah dengan ini! Dia …!”

“Hentikan, Heinkel …. Hentikan.”

Wilhelm menolak Heinkel dan menghentikannya bicara lebih jauh lagi.

Dia melepas jaket tanpa lengannya dan menggunakan kainya untuk membungkus abu Theresia. Meninggalkannya di angin dingin seperti ini, akan membuatnya kelewat kesepian.

Wilhelm percaya harus menguburkan abunya di kuburan layak, sekurang-kurangnya.

“—ugh.”

Melihat keadaan sang ayah, Heinkel menggertak gigi dan menelan kata-katanya. Kemudian mengambil abunya, pria tua itu berdiri goyah.

Walaupun pendarahannya berhenti, tubuhnya kehilangan cukup banyak darah. Luka di kaki kanannya dalam, jadi berjalan tanpa penyangga itu menggelisahkan. Inisiatif, Reinhard mencoba menopang bahu kakeknya yang gemetaran.

Akan tetapi …

“—menjauhlah!!”

“…”

Jari yang hendak mencapainya menjadi sasaran amukan Wilhelm.

Reinhard menghentikan lengan terangkatnya dan tidak lagi mencoba menopang bahu dan menghadpanya. Tetapi Iblis Pedang, tidak menghadapnya, menghirup udara tanpa bicara.

“Reinhard …”

“—ya.”

Tidak seperti suara gentar Wilhelm, suara Reinhard stabil dan luhur.

Mendengar suaranya, mereka saling menatap dan Wilhelm menuturkan kata-kata di mulutnya.

—kata-kata itu, adalah pertanyaan.

“Apa kau menyesal, kau menebas nenekmu … Theresia, sampai mati?”

“…”

Ada sedikit jeda antara pertanyaan dan responnya.

Atau boleh jadi dia menganggap pertanyaannya tidak berarti, sebagaimana pertanyaannya sebelumnya.

Tetapi tidak lama seusainya, Reinhard merespon.

“Tidak—aku melakukan hal benar. Aku tidak menyesal.”

“… begitukah. Itu benar.”

“…”

“Kau benar. Aku salah—maka dari itu tidak ada lagi yang perlu dibicarakan denganmu lagi.”

Menuturkannya dengan suara lirih, Wilhelm memunggungi Reinhard.

Kakek dan cucu menghentikan pertanyaan-jawaban penentuan, bahkan tanpa berhadapan satu sama lain.

Selanjutnya Wilhelm mengangkat jarinya dan menunjuk tengah kota.

“Saya merisaukan Balai Kota yang dituju Garfiel-dono. Jika bisa, lantas saya memohon Anda memberikan dukungan ke sebelah sana. Reinhard-dono sang Pedang Suci.”

“…”

Terlampau formal dan terlalu dingin, menerima kata-kata sopan tersebut, Reinhard melihat arah yang ditunjuk kakeknya. Dia mengangguk dan akhirnya menatap Heinkel

Heinkel yang masih mengarahkan kebenciannya pada suasana, mata birunya melebar sambil bernapas kasar, tetapi Reinhard mengabaikan kata-kata dengki yang datang sesudahnya …

“Di luar berbahaya. Jika memungkinkan, Wakil Komandan, pergilah ke selter—Bersama Wilhelm-dono.”

“K-kau diam saja! Cepat menghilanglah!”

Dihantam ucapan seorang pecundang, Reinhard memalingkan wajahnya. Kecepatan sama, dia belari menuju kanal seolah-olah menendang permukaannya, dia melompat ke atas bangunan dan menghilang ke arah pusat kota.

Melihat gerakan luar biasanya, Heinkel meludah. Berikutnya dia bergegas menghampiri Wilhelm yang berjalan pelan gara-gara kaki kanan terlukanya. Namun …

“Ayahanda, pergi sendirian itu …”

“Sementara waktu tinggalkan aku, aku tak ingin siapa pun melihat wajahku.”

“Ayah …”

“Tidak usah lagi meresahkanku. Kau harusnya mengkhawatirkan dirimu sendiri. Sembunyilah di gedung atau selter cocok … kau akan baik-baik saja dengan itu.”

Menyatakan isi pikirannya, Wilhelm kemudian meninggalkan Heinkel yang kini sendirian.

Bersama abu istrinya di mantel yang dipegangnya, dia menegakkan punggungnya dan menyeret kakinya.

“…”

Heinkel ditinggalkan, sendirian, tidak kuasa menghentikan ayahnya atau bersamanya.

Wilhelm yang hingga akhirnya menghilang dari pandangan, Heinkel yang ditinggalkan—

“Apa, masalahmu … apa masalahmu, apa masalahmu, apa masalahmu, apa masalahmu, sialanlah, apa sih masalahmu!”

Ditinggalkan senedirian di alun-alun, berdiri di atas batu bulat, melotot trotoar datar, Heinkel mengutuk amarahnya. Menggaruk kasar kepalanya, meraungkan kemurkaannya yang tidak dapat diungkap kata-kata, lalu dia buang pedang di pinggangnya ke tanah.

Pedang indah kesatria bergema bernada tinggi sewaktu terjatuh ke tanah.

“Sialsialsial, terkutuklah semua orang …! Semua orang harusnya mati saja …! Mati sajaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa ~ahhh!!”

Pekik berdarah dan benci Heinkel bergema di alun-alun sepi dalam kesendiriannya.

Jeritan itu, bercampur kesedihan tiada batas, bergema jauh nan luas—

Medan perang kakek, ayah, dan cucu, dengan ini, berakhir.

Seorang wanita, seorang nenek, seorang ibu, seorang istri.

Akhir Theresia van Astrea mengukir luka di hati ketiga orang itu.

—dengan ini, semua medan perang dalam pertempuran memperebutkan Kota Bendungan Pristella telah tuntas.

Share this post on:
Subscribe
Notify of
guest
1 Comment
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Sumilia

Mantap min gaskan