Share this post on:

Awal Sanctuary Juga

Awal Kehancuran

Penerjemah : SekiroShadowDieTwice

“Ingatan itu terpisah-pisah, tapi aku berusaha memilah-milahnya sesuai kronologi kejadian. Pikirku … kurang lebih begitulah masa lalunya ….”

“…”

Subaru yang dihadapkan dengan kata-kata tak pasti Theta membuatnya terdiam.

Karena dia cuma bisa diam. Beban informasi ini terlampau berat, dia mesti mengaturnya sebelum mengatakan sesuatu dulu.

Pembentukan Sanctuary, dan era saat gadis bernama Lewes Meyer masih hidup―adalah empat ratus tahun lalu, ketika mahluk yang dijuluki Penyihir masih berkeliaran bebas.

Dan ketika Penyihir Keserakahan, Echidna, masih berjalan di muka bumi ini.

“Jujur saja, tidak bisa kubayangkan saat-saat Echidna berkelana ke tempat-tempat layaknya orang normal.

“Kehadiran Penyihir-sama pastinya terasa asing bagimu, Su-bo, karena kau belum pernah hidup di era itu. Sebenarnya, bagiku pun, tidak bisa betul-betul bilang telah mengenal beliau walau telah menghabiskan banyak waktu disekeliling beliau.”

“Yah, jika aku memperbincangkan cerita yang baru saja kudengar seolah benar-benar melaluinya, berarti aku ini sudah uzur, tahu. Yah omong-omong … apa Echidna sering menjambangi Sanctuary?”

“Itu bukan ingatan sejatiku, tapi, dinilai dari kejadian yang aku saksikan serta percakapan kami, beliau pasti sering mengunjungi Sanctuary.”

Tidak seperti Theta, yang telah melihat langsung ingatan itu, semuanya masih kurang terasa nyata bagi Subaru, karena dirinya cuma diceritakan.

Dan seandainya terdapat satu hal dalam kisah Theta yang mengganggunya, maka―

“Beatrice dan Roswaal … berada di Sanctuary 400 tahun lalu ….?”

“Beatrice-sama, sebagaimana yang aku katakan, seperti putri Echidna-sama. Soal Ros-bo, Ros-bo dalam ceritaku adalah pendiri Keluarga Mathers … generasi pertama Roswaal yang membangkitkan Keluarga Mathers. Nama belakang Roswaal.”

“… Dekatkah dia dengan Beako?”

“Setahuku, dia punya hubungan yang bagus dengannya.”

Selagi mendengarkan kesimpulan Theta, pikiran Subaru kembali ke Beatrice.

Barangkali gadis itu sama sekali tidak berubah dalam empat ratun tahun ini, dan selalu saja tegas serta tidak jujur pada perasaannya. Bahkan sekarang pun, empat ratus tahun kemudian, sikap itu tetap sama.

Tak membiarkan seorang pun mencampuri dunianya, dia selalu menyembunyikan sesuatu di dalam tubuh kecilnya.

Memikirkan gadis itu mendekam sendirian di Perpustakaan Terlarang, Subaru merasa ada rasa sakit yang menjalar di dadanya.

Menempelkan tangan di putingnya tuk menahan rasa sakit itu, Subaru menggelengkan kepala.

“Aku terkejut Echidna akan membawa Beatrice bersamanya. Dari percakapan kita, menurutku Penyihir itu tidak memberi kasih sayang keibuan pada Beatrice.”

“Aku tidak pernah menemui Penyihir-sama secara langsung. Namun dari kejadian yang aku lihat dari ingatan Lewes Meyer, kurasa ada sisi kemanusiaan pada Penyihir-sama.”

“Entah bagaimana, aku agak setuju kepada pendapatmu yang satu ini.”

Memang sangat berbeda dari kesan Subaru terhadap Echidna. Namun, empat ratus tahun hidup dan mati, berdiri di tengah-tengahnya.

Barangkali tidak aneh bila mana sudut pandangnya pada kehidupan berubah selama berada di Benteng Mimpi.

“Padahal perpisahan kami sudah final … nyatanya diriku masih menaruh harapan padanya, ya ….”

Sekali lagi, Subaru diingatkan kembali oleh keputusasaannya sendiri.

Berbeda dari Rem dan Ram. Echidna paham perasaan serta harapan Subaru, lalu sengaja menginjak-injak semuanya. Mulai sekarang dirinya tak akan lagi mendapatkan bantuannya.

“Ngomong-ngomong, ceritamu sejauh ini hanyalah kenangan indah masa lalu. Tidak kedengaran seperti rahasia buruk yang kau sembunyikan dari semua orang.”

“―”

“Jadi, kumohon beritahu kejadian selanjutnya. Apa yang terjadi di Sanctuary yang tampak sangat indah itu?”

Subaru menurunkan nada suaranya, sedangkan Theta mendekatkan teh yang sudah dingin ke bibirnya.

Dia bergumam, “Rasanya tidak enak ….” Dengan suara lirih, lalu ….

“Apa yang terjadi, ya ….?”

“―”

“Selanjutnya adalah kejatuhan dan kehancuran. Kemudian, aku mengetahui alasan sebenarnya Sanctuary diciptakan.”

“Alasan … sebenarnya ….?”

Subaru tanpa sadar menelan nafas terhadap kata-kata itu, sementara Theta hanya mengangguk saja.

Dan, seolah sekali lagi membuka ingatan tertutupnya, Lewes menyipitkan mata.

“Penyihir-sama juga Roswaal pertama berada di Sanctuary pada satu waktu. Sesuatu yang jahat dan aneh tengah mendekat, dan bukan aku sendiri, namun semua orang di Sanctuary merasakan ini.”


―Suasananya menggantung dan berat, menayangkan ilusi kepada Lewes bahwa tenggorokannya serak.

“Kita harus keluar dari tempat ini, sekarang. Persiapannya belum kelar―Kalau mahluk itu menemukan lokasi Sanctuary, semua rencana kita akan sia-sia.”

“―”

“Sensei! Kita membuang-buang waktu di sini! Mahluk itu … mahluk itu bisa saja di sini!”

Tidak sabaran, akhirnyamembanting tangannya di atas meja kabin kecil itu, pemuda berwajah ramping itu berteriak.

Kekhawatiran yang menjadi-jadi terukir dalam raut wajah pemuda itu, padahal biasanya dia sederhana dan bermartabat.

Mendengar permohonannya, Penyihir Echidna memejamkan mata dalam diam sambil melipat tangan. Menghadapi keheningannya, pemuda itu maju ke depan, menggerak-gerakkan tangannya seraya mengulangi permohonan.

“Tidak boleh ragu! Kekuatan mahluk itu luar biasa! Saya tidak cukup kuat untuk melindungi Anda, Sensei ….! Jika Anda meminta saya menjadi perisai daging, maka dengan senang hati saya akan menjadi perisai itu. Tapi tidak ada gunanya melawan mahluk itu, bahkan jika saya mempertaruhkan nyawa, semuanya akan sia-sia ….”

“Ada jalan lain. ―Aku sudah siap melawannya.”

Memotong kata-kata pemuda itu―kata-kata Roswaal, Echidna membuka mata, menatap potongan-potongan meja kayu.

Mendengarnya, “Gh ….” Roswaal menghembuskan nafas heran sementara Echidna menggelengkan kepala.

“Memperhitungkan pengamatanku berkali-kali tentang Sanctuary, aku yakin kondisinya masih berlaku untuk Penghalang dengan peluang keberhasilan tinggi.”

“K-kalau begitu ….!”

“―Tapi kita kehilangan Nexus untuk mengaktifkan Penghalang ini.”

“―”

Selama sesaat, secercah harapan terpendar di muka Roswaal namun dipadamkan kembali oleh suara kesulitan Echidna.

“Penghalangnya tidak bisa aktif tanpa Nexus. Dan tanpa Penghalang, kita tidak mampu mengusir mahluk itu dari tempat ini. Bilamana tidak bisa mengamankan Sanctuary, kita akan dibantai saat ketahuan.” kata Echidna.

“Kita menghabiskan banyak waktu untuk membangun Sanctuary … sudah sejauh ini, tapi … hanya satu langkah lagi!”

Penuh kesal, Roswaal menghantam tinjunya ke atas meja.

Kaki-kaki meja tua berderit dan darah merembes keluar dari tangan Roswaal.

Kabin kecil itu sunyi. Waktu melambat hingga terhenti kala suasana tegang nan berat meresap ke dalam ruangan.

Dan di sana, seorang gadis mengangkat tangan dengan malu-malu.

“Um, apakah saya berguna … sebagaimana Nexus Penghalang?”

“―”

“Dengar-dengar hal demikian tidak mustahil. Bahwasanya saya memenuhi persyaratan atas Penghalang Anda, Echidna-sama. Dan karenanya Anda menaruh minat khusus pada saya.”

“―Apa Beatrice yang memberitahumu hal itu?”

“Ya.”

Lewes Meyer mengangguk tenang dengan rambut merah jambunya yang melambai-lambai.

Wajah gadis itu kaku karena penuh tekad selagi menatap tajam Echidna yang tanpa ekspresi.

“Beatrice-sama bilang Anda sudah mengonfirmasi bahwa saya sangat cocok. Seluruh ekstraksi mana selama beberapa bulan terakhir adalah demi tujuan ini, bukan?”

Setelah sunyi senyap sebentar, Echidna menarik dagu dan mengangguk terhadap pertanyaan Lewes.

“Betul, kau sangat cocok sebagai konstruksi Penghalang. Tidak mustahil mempertahankan Penghalang mana kala kami membuatmu tetap berada di Sanctuary. Hal itu saja sudah cukup. Hanya perlu waktu sebentar untuk mengadaptasi tanah Sanctuary ke dalam manamu, kita bisa sukses.” ucap Echidna.

“Yang artinya, kini sudah tidak bisa?” tanya Lewes.

“Bukan sekadar Penghalang biasa. Penghalang ini semestinya tidak dapat dihancurkan. Kita perlu melanjutkannya dengan sangat hati-hati dan bijaksana. Upaya bertahun-tahun kita adalah mengumpulkan darah para demihuman ke dalam Sanctuary, demi memenuhi syarat Penghalang. Dan dirimu … adalah penentu utama rencana ini. Tapi ….”

Berhenti di titik itu, Roswaal menggertakkan gigi.

Walau Lewes tidak tahu entah terjadi apa, dia tahu bahkan duo menakutkan, yaitu: Echidna serta Roswaal tidak berdaya menghadapi rintangan ini.

Sungguh-sungguh kehabisan akal?

―Pastinya ada sesuatu, sesuatu yang dikatakan pengalaman hidup singkat Lewes.

“Tidakkah ada sesuatu yang lebih hebat lagi yang bisa kita coba?”

“―”

“… Kalian menyelamatkan saya, Echidna-sama dan Roswaal-sama. Datang ke tanah ini, saya diberikan kehidupan tanpa takut dipersekusi atau diasingkan, dan saya senang atas hal itu. Andai ada sesuatu yang dapat saya lakukan untuk membayar hutang budi tersebut atas waktu-waktu membahagiakan ini, lantas yakin sudah itu tujuan hidup saya.”

Sedikit demi sedikit, dia mengutarakan isi hatinya.

Melihat Lewes meremas tangan putih kecilnya yang bahkan jadi lebih putih seraya berbicara, alis hitam Echidna membeku, kehilangan semua kehangatannya. Sebaliknya, Roswaal yang berdiri menemani gurunya, mendapati dirinya diarungi aliran emosi kompleks.

“S-Sensei ….”

Bukanlah pernyataan berisi permintaan kepada Echidna. Alih-alih, pernyataan bermuatan nuansa yang agak berbeda.

Apa pun itu, bak pemicu.

“―Seumpama kami mengkristalkan Od-mu dan membuatnya menjadi Nexus Sanctuary, kami dapat secara drastis mempersingkat proses tanah beradaptasi dengan manamu. Dan Penghalangnya akan selesai.”

“Sekiranya kita lakukan ini, apakah Sanctuary akan diselamatkan?”

“Tentu akan memberikan kita kesempatan bertahan hidup dari kekejaman ancaman yang hendak datang ini. Apabila dapat mengundur waktu, seharusnya aku bisa mengatur beberapa solusi.” ujar Echidna.

“―”

 Penyihir itu tidak memberikan jawaban baik. Dia tidak membuat-buat perkiraan penuh harapan, atau pun mengucapkan kata-kata yang menenangkan.

Namun semisal Echidna memperkirakan rencana ini akan sukses, pastilah sukses beneran.

Dengan kata lain, bila menawarkan hidupnya di sini, Lewes akan melindungi tempat ini. Mengorbankan dirinya sebagai pelunasan hutang budi, mereka pasti berakhir.

“… Kapan kita mulai?”

“―Aku ingin segera mempersiapkannya, kalau bisa sih. Akan kupersiapkan jangkar untuk proses kristalisasinya dan memasang mantra. Perkara menunda ancaman yang mendekat ….”

“Serahkan saja pada saya. Akan saya kerahkan seluruh kekuatan saya untuk membeli waktu. Dan, Lewes-kun.”

Pemuda itu mengangkat wajah, padat dengan tekad tragis. Tidak sedikit pun tanda kelemahan atau titik-titik keraguan pada wajahnya. Dia cuma menatap mata penuh kebulatan hati Lewes, lalu ….

“Maafkan aku. Tolong bantu Sensei dan lakukan hal yang tidak bisa kulakukan untuknya.”

“Tidak usah berkecil hati, Roswaal-sama, Anda sudah memberi saya kebahagiaan hidup yang tak tergantikan. Karenanya, saya hanya bisa berterima kasih, bagaimana bisa saya membenci Anda?”

Menaruh tangannya di dada, Lewes menggelengkan kepala.

Roswaal menarik nafas pendek, lalu menghembuskannya, lanjut melihat Echidna.

“Saya akan pergi. Tolong buat persiapannya … dan panggil Beatrice ke sini, Sensei.”

“… Mungkin lebih baik Beatrice tidak mengetahui semua ini.” tukas Echidna.

“Andai kata kita tidak memanggilnya ke sini sekarang, dia akan membenci kita selamanya, Sensei. Kendati … dia barangkali masih dapat menerimanya sekalipun kita panggil ke sini.”

“Benarkah itu. Aku mengerti. Nanti akan aku panggil.”

Melihat anggukan Echidna, Roswaal keluar kabin. Di tengah jalan, dia memegang bahu Lewes dan diremas kuat sekali.

Cengkeramannya yang gagah menyampaikan semua penyesalan dan keengganan Roswaal. Dan, merasakan ini, Lewes menutup mata.

“… Beatrice-sama.”

Lewes bergumam lirih.

Saat memikirkan gadis yang tidak hadir di sini menyiksa halus hati Lewes.

Sekali lagi, kejadian berubah.

“―”

―Menyaksikan kekuatan maha kuat itu, emosi yang lebih menakutkan daripada kematian akan segera terkumpul di dada Lewes.

“―Gah, kuh.”

Didampingi batu menyiksa, gumpalan darah keluar dari bibir Roswaal ketika tubuhnya terbang ke tanah.

Melihatnya terhempas dengan bahu menabrak daratan duluan, menyapu awan debu saat ia terjatuh, Lewes hanya bisa berdiri diam di sana, lupa caranya bernafas.

Mempunyai sihir enam warna, Roswaal A. Mathers telah mencapai tingkat tertinggi dari teknik misterius saat usianya masih pertengahan remaja.

Dia mampu mengampelas bumi dengan api membara, membelah tebing-tebing batu dengan angin, melahirkan air tuk memukul mundur gelombang sungai besar, dan memerintahkan segala tanah serta batu untuk mengangkat istana dari tanah.

Namun bahkan dihadapan kekuatan sebesar itu, tidak punya peluang sama sekali untuk melawan eksistensi akbar itu.

“… Masih mau lanjut?” kata orang tak dikenal.

Seorang pemuda berambut pirang dan sikap santai berjalan ke arahnya, menggeleng-gelengkan kepala.

Dia nampak seusia dengan Roswaal. Poni pirang kehitamannya memanjang hingga alis, orang-orang bisa salah kira perawakannya mirip seorang wanita. Mata hitamnya menyipit seolah mengantuk, kemeja putih dan celana hitam membentuk pakaiannya yang sederhana.

―Setiap langkahnya, dia menendang batu kerikil, masing-masing batu melesat ke arah Roswaal, membuat darah dalam tubuhnya tersembur ke luar. Datang kerikil lagi. Kerikil lain lagi.

“Kuh! Argh! Uhuk!”

“Menyebalkan. Merepotkan. Dasar suram. Mengesalkan. Malang. Stress.”

Pemuda itu menggerutu, tetapi setiap umpatan dan langkahnya, teriakan Roswaal semakin kuat dan suara tulang-tulangnya yang retak kedengaran bahkan dari jauh.

Tubuh Roswaal, yang roboh ke tanah, nampak seakan-akan disemat ke dalam bumi oleh udara sendiri. Faktanya, anggota tubuhnya sudah setengah terkubur di tanah, daging-daging isinya berhamburan, mata berdaranya penuh tangis merah.

“Berhenti bisa, gak? Kau lelah. Kau tidak bisa menang melawanku, tapi terus saja mencobanya. Mencoba saja tidak cukup, kan? Tidak peduli seberapa keras kau mencoba, itu sia-sia.”

“Apa … sih yang … kau … bicarakan … aku pasti … akan menghentikanmu di sini …. Buargh! Ugh! Arghhh!!!”

“Hahahaha … kepalaku pening. Rasanya pengen muntah saja. Sungguh-sungguh, menyedihkan.

Mendengar Roswaal yang tidak menyerah, pemuda itu menekuk lutut dan berjongkok. Mengusir tarikan nafas dalam, dia menyentuh tanah seolah mengelus-elusnya. Dan, lewat gerak-gerik ujung jari anak muda itu, anggota tubuh Roswaal berderak sebab suara dagingnya tersobek-sobek dan jeritannya mengerikan.

“Aku tidak ingin ini. Aku berusaha menghindarinya. Aku tidak pernah begitu menghindari sesuatu segigih ini. Rasanya buruk sekali, terburuk dari yang ter-ter-ter-terburuk―Sungguh, menyedihkan.”

“Ugh, aargh―agh!”

Di akhir pidatonya yang putus asa itu, dari ucapan tegasnya, tubuh Roswaal menyerah di bawah tekanan tak tertahankan.

Pusat tubuhnya terkapar, mengirimkan banyak darah yang mengalir keluar dari mulutnya, seolah-olah hendak batuk organ dalam. Mata Roswaal berguling putih karena anggota tubuhnya berguncang. Kehidupan penyihir muda ini kini tergantung pada seutas benang harga diri yang tetap berjuang sampai akhir.

“Aa~, aahh~? Apa nih? Apa~lagi ini? Lihatlah. Lihat saja. Ah~~, aku benar-benar tidak inign melakukan ini, rasanya tidak enak. Aku merasa kasihan. Kepalaku terasa berat. Sangat membuatku depresi. Depresi, depresi, depresi, depresi, depresi―”

Roswaal tidak lagi mengerang, dan yang tersisa hanyalah suara tetesan darah. Melihat sekilas tubuh hancur Roswaal, bocah muda itu terus mengomel murung.

Di sisi lain, Lewes, menyaksikan akhir mengerikan Roswaal dan pemuda luar biasa yang membuatnya jadi begitu―barulah sekarang dia ingat cara bernafas.

“―Hahhh.”

Paru-parunya tegang sampai tidak bisa lebih tegang lagi, berjuang memompa oksigen ke otaknya. Setelah kembali mengisi oksigen dalam tubuh lewat satu tarikan nafas, Lewes sekali lagi memaksa dirinya menutup mulut, takut bahwa gangguan sekecil apa pun dalam saat-saat ini akan menarik perhatian si anak muda.

Meskipun melihat pelindungnya dimutilasi di depan matanya, dia memilih keselamatan hidupnya diri ketimbang balas dendam, biarpun tidak tahu mengapa sangat melekat pada kehidupan tidak berharganya ini.

“Oh~~~? Mungkinkah ada orang di sana?”

“―Ah!”

Seolah membuktikan kekhawatiran Lewes, anak remaja muda itu memiringkan kepala dan melihat ke arahnya.

Tidak jauh dari medan pertempuran, di sisi lain alun-alun desa, Lewes sedang menontonnya dari kabin kecil, mengintip melalui sebuah simpul dari salah satu papan dinding kayu.

Lewes bergidik hanya dengan berpikir apakah pemuda itu melihatnya berada di balik celah kecil yang terlampau jauh. Simpul itu tidak lebih besar dari dahi seekor kucing. Tidaklah mungkin dirinya ketahuan.

Namun, si pembantai berjalan tanpa kepastian apa pun.

“Aku~~~aku bukan orang yang gemar bertarung. Kurasa tidak ada bag~usnya membunuh semua orang. Kalau saja kau tidak membuang waktuku, aku sangat menghargainya.

“… Hk.”

“H~mm. Yah, seharusnya di arah sini … haruskah aku hancurkan saja semuanya? Halah, aku benar-benar ingin meninggalkan semuanya dan pulang saja. Amat memuakkan. Menyedihkan. Depresi sekali.”

Pemuda itu mengulurkan tangannya ke arah kabin kemudian mengimbuh hukuman mati nan mengerikan tersebut.

Lewes langsung merinding ketika rasa sakit menerpa kepalanya seakan tengkoraknya ditusuk jarum. Air mata terurai di sudut matanya saat dengan susah payah menahan jeritan tak tertahankan yang terhambat di tenggorokannya

Kalau begini, beban tak nampak tersebut akan menghancurkan semua tulang di tubuh kecil Lewes―

“AL … GOA!!!”

Secara harfiah memuntahkan darah selagi meraung, seluruh desa terbakar merah oleh letusan api.

Merasakan panasnya memanggang di wajah walau agak jauh, Lewes menyaksikan nyala api keluar dari telapak tangan Roswaal langsung menuju punggung anak muda itu.

“―”

Bahkan lawannya terpaksa berbalik saat merasakan gelombang panas kuat. Namun yang dilihatnya ketika berbalik adalah neraka yang jauh melebihi akal mahluk manusia.

Tanpa menawarkan perlawanan apa pun, orang itu dilahap serbuah api yang menyilaukan―

“Aku benci berkeringat―rasanya stress.”

―Seharusnya demikian yang terjadi, kalau saja pemuda itu tidak menghapus mana konvergen merah persis sesaat sebelum dia ditelan.

Bola api panas itu yang seharusnya membakar lawan Roswaal terhapus dari dunia bahkan tanpa ada semburan api sebagai tanda ketiadaannya, hanya menyusut menjadi bola merah kecil dan jatuh berguling-guling di tanah.

“A … u … ugh ….”

“Masih belum hilang, seberapa besar sih kekuatan yang kau tuangkan ke dalam bola ini? Jangan terus-terusan buat aku menggunakan kekuatanku. Semakin kugunakan, semakin ingin aku mati.”

Pemuda itu mengeluh dan mengepal kuat-kuat tangannya yang terentang. Seolah mematuhi sika si pemuda, bola merah yang telah terkondensasi di tanah hilang sendiri.

Dan, dengan retakan keras yang bertiup di udara panas, energinya menghilang ke kekosongan.

Bahkan sihir api kelas tertinggi, Al-Goa, tidak melukainya.

Roswaal, yang baru saja kembali dari ujung tanduk untuk melancarkan serangan terakhir itu, terdiam seribu bahasa terhadap hasilnya. Perjuangan mati-matiannya sia-sia sudah.

Dan Lewes, yang baru saja bertahan dengan nyawanya, paham betul bahwa semua usaha ini hanya menunda kematiannya dan kematian Roswaal sendiri.

“Dasar … iblis … tidak … Penyihir1 ….!”

TL N : Mohon dibaca baik-baik penjelasannya di paling bawah.

“Aku benci nama itu, suram tahu. Kau kira aku me~nyukai semua ini karena aku menikmatinya?”

“Tidak peduli seberapa peliknya hidupmu … atau seterbatas apa pilihanmu … kau tetaplah orang yang memilihnya. Jadi jangan bermain salah-salahan … Hector si Melankolis!”

“Unch, kebenarannya memang menyakitkan, tahu. Aku ju~jur saja tidak tahu mesti melakukan apa kepadamu.”

Berjalan menghampiri Roswaal yang terbaring jatuh, Hector berjongkok dan mengulurkan tangannya ke kepala Roswaal.

Tanpa menyentuhnya, dia sudah mampu membuat keadaan Roswaal separah ini. Tapi misalkan ujung jari Hector menyentuhnya, kehancuran tak kasat mata itu akan menghancurkan keseluruhan tubuh Roswaal.

“Guh … ukh ….”

“Kau sudah terlambat, tidak akan berhasil, dan aku juga takkan membiarkanmu kabur.”

Melihat Roswaal memusatkan mananya untuk bersiap-siap merapalkan mantra lain, Hector mengucap demikian tanpa perasaan.

Kemudian, ujung jarinya yang abnormal menyentuh Roswaal, mengirimkan kematian tak terhentikan dalam tubuh sekaratnya.

“―Uh, arghhh.”

“Tulang-tulang, remuk. Organ-organ, bergeliut. Hati, hancur berantakan. Ka~u suka?”

Lewat erangan singkat itu, Roswaal berhasil menghembuskan nafas terakhirnya.

Menatap Roswaal yang sama sekali tidak bergerak, anak muda itu menekuk lutut lanjut berdiri. Kemudian, dia berbalik, langsung menghadap Lewes yang amat ketakutan.

Dan kali ini, tanpa peringatan, Hector memanjangkan tangannya dan melepaskan beban tak terlihat.

“―Gh.”

Kabinnya bahkan tidak bertahan sedetik pun.

Tekanan luar biasa yang menerpa dari atas sangat-sangat mudah memusnahkan kabin kecil itu. Jikalau Lewes tidak tepat waktu tiarap ke bawah, dia sudah tersemat di tanah dengan setiap persendian di tubuhnya bergerak sendiri ke arah yang tidak sesuai hasratnya.

“Tanpa perlawanan … jadi bukan Echidna, ya? Kal~au bukan … bodo amatlah.”

“―Agh, hhgg.”

“Hancurlah dan tenggelam ke dalam tanah. Biar aku tidak repot-repot menggali kuburmu―”

Lewes merasakan suatu ilusi yang menarik kulitnya ke atas, lalu menjatuhkannya kembali ke tanah. Dan tatkala dia berpikir ucapan Penyihir tersebut jadi kata-kata terakhir yang pernah dia dengar dalam kehidupan ini, tekanan itu mendadak menghilang.

Terengah-engah sambil bersimbah air mata deras serta air liur yang membasahi wajahnya, Lewes mendongak, merasa bingung. Dan di sana, dari ujung penglihatannya dia melihat ….

“Kiranya aku tidak betul-betul bisa bilang telah datang tepat waktu.”

“Ti~dak. Muridmu sudah berusaha sekuat mungkin untuk menghadangku dan mengulur waktu, sih. Berkatnya, aku benar-benar tidak sesuai jadwal, dan sungguh merusak suasana hati.”

“Kedengarannya kau belum berubah sama sekali. Kau sama persis kala kita terakhir kita berpisah.”

“Kau tahu segalanya belum berubah, aku mengerti. Kenapa kau gigih sekali bersikap ti~dak manis begitu? Kau dulu pernah manis.”

Pemuda itu menggelengkan kepala, meratap menyesal. Di hadapannya, di antara Hector dan Lewes, bediri wanita putih yang berpakaian serba hitam― Echidna. Penyihir itu menatap Roswaal yang roboh dan agak menyipitkan mata.

“Pemandangan menyakitkan ini lebih parah dari yang aku perkirakan …. Aku juga benci pada sesuatu yang menghalangiku meraih hasil objekku.”

“Bocah ini akan kecewa jika kau tidak menunjukkan sejumlah E~mosi kepadanya. Bukannya aku peduli, yah. Tapi semisal kau ingin menangis, bisa kuberikan kau beberapa waktu. Aku tidak sekejam itu lho.”

“Lancang sekali kau berkata begitu?”

Percakapan yang menusuk hati itu membuktikan bahwa mereka saling mengenal, namun hubungan mereka jelas-jelas tidak bersahabat.

Mereka terus memperhatikan jarak selagi saling berhadapan. Lewes tidak meragukan kekuatan Echidna, tetapi rasa percayanya setara dengan kepercayaannya pada Roswaal, dan orang kepercayaannya baru saja dikalahkan oleh kekuatan besar itu.

Karena demikian, didukung Echidna sendiri tidaklah meyakinkan.

“―Berapa lama kau mau berbaring di sana, duduk manis gak melakukan apa-apa?”

“… Hah?”

Tiba-tiba mendengar ini, Lewes melihat ke atas tanah saat sebuah tangan menyentuhnya dari belakang kemudian menariknya berdiri. Diseret oleh kekuatan itu, Lewes menjerit selagi berbalik.

Di belakangnya, ada seorang gadis imut yang memasang wajah masam biasanya.

“Bea … trice-sama ….”

“Bukan waktunya kaget begitu. Ayo cepat keluar dari sini selagi ibu mengundur waktu, kayaknya.”

“T-tapi … Roswaal-sama dan Echidna-sama menyuruh saya menunggu di sini.”

“Berkat orang Roswaal ceroboh pria itu mengendusmu. Cukup sudah, ikuti saja Betty, kayaknya. Ibulah yang menugaskanku menjemputmu.”

“Echidna-sama ….”

Alis Beatrice berkerut kesal, tapi ekspresinya tetap tegang. Bahkan keangkuhannya nampak berkurang di depan Hector aneh ini.

Namun demikian, dia masih jauh lebih kuat dari Lewes, yang sekarang ini tengah meringkuk menjadi bola kecil yang gemetaran.

“Persiapannya sudah siap. Ibu bilang demikian. Dia bilang kau akan mengerti kalau kuberitahukan padamu.”

“―Aku … mengerti.”

Lewes menahan nafas dan mengangguk terhadap pesan Echidna. Beatrice menyipitkan mata, linglung dengan reaksi Lewes, tetapi tidak sempat menelaah lebih jauh.

Semburan mana memuncak di belakang mereka. Bentrokan antara Echidna dan Hector itu tidak berlangsung lama. Tak seorang pun dapat memprediksi bagaimana jalannya pertempuran ini. Dan satu-satunya cara untuk mengamankan kemenangan ini ada pada pilihan Lewes.

“Ayo. Beatrice-sama, dimana persiapan itu?”

“… Di dalam sebuah ruangan batu tua. Aku pindahkan ke sana sebagaimana perintah Ibu. Bahkan lewat Door Crossing Betty, bukan tugas yang mudah, tahu.”

Menyisipkan kebanggaan extra di ujung pernyataan, Beatrice mengantar Lewes sambil berpegangan tangan selagi mereka keluar dari sana.

Mengikuti di belakang kuncir Beatrice yang memantul-mantul, Lewes melihat sekali Echidna kemudian mengalihkan kepalanya yang tertunduk ke depan.

―Tentu saja, mereka tidak pernah berbicara lagi.


Kristal biru itu transparan, amat indah sampai-sampai Lewes terpukau.

“Meskipun kau pikir itu cantik, jangan asal sentuh kayak orang bego. Kau akan ditelan kalau melakukannya dan menjadi bagian dari kristal itu, kayaknya.”

Untuk sesaat, mereka lupa berada di mana, Lewes mendesah kuat-kuat. Di sebelahnya, Beatrice sedang menyilangkan tangan terhadap tingkah kampungan Lewes dan memberi peringatan.

Mendadak tersadar dari terpukauannya, Lewes cepat-cepat menarik kembali jarinya dan meminta maaf dengan, “Ah, m-maaf.”

“Tidak ada yang perlu diminta maaf. Jadi kita sekarang apa nih? Betty cuma disuruh memindahkan kristal dan mengantarmu ke sini. Ibu tidak bilang apa-apa selain itu.”

“Beatrice-sama, bagaimana bisa Anda menempatkan kristalnya di sini ….?”

“Bagi Betty, menggerakkan sesuatu tanpa menyentuhnya bukan apa-apa, kayaknya. Ibu sendiri telah memuji presisi serta jangkauan Door Crossing-ku, tahu.”

Ekspresi Beatrice tidak puas seperti biasa, tapi, merasakan sedikit titik kebanggaan di dalamnya, Lewes melembutkan pipi.

Dia sudah terbiasa berbicara bersama Beatrice seperti ini. Awalnya, Lewes senantiasa menelan cercaan Beatrice dan rasanya ingin pergi saja.

Tetapi dari waktu yang telah mereka habiskan bersama, Lewes mengetahui bahwa gadis yang tampak sombong ini ternyata supel, dan pada kenyataannya, dia sangat menyerupai keimutan sosoknya, dan seseorang yang bisa dijadikan rekan tawa juga senyum.

Alangkah baiknya jika dia bisa terus berbicara dengan Beatrice seperti ini.

Kalau saja Lewes bisa melupakan semua musibah yang menimpa Sanctuary sekaligus takdir yang menantinya―tetapi itu msutahil.

“…? Senyummu terlihat tidak menyenangkan, tahu.”

Beatrice menyebutkannya, barangkali merasakan kesedihan yang dirasakan wajah Lewes.

Fakta bahwa gadis manis itu tahu senyumnya berbeda dari biasanya, adalah bukti bahwasanya Beatrice memperhatikannya. Begitu Lewes menyadarinya, air mata merembes ke luar.

Mata Beatrice membelalak, Lewes menggunakan lengan bajunya untuk menyeka air mata.

“M-maaf … Ada sedikit … debu yang tersisip di mataku ….”

“B-bukannya aku peduli, kayaknya. ―Biarkan saja sih, Betty tahu ini bukan tempat yang tepat untuk berkata jangan khawatir atau semacamnya.”

Walaupun Beatrice salah paham terhadap maksud Lewes, kata-kata itu terdengar penuh kasih sayang.

Perempuan Sanctuary itu merasakan kehangatan di dadanya. Itulah kekuatan yang disalurkan Beatrice padanya, rasanya amat banyak sampai-sampai dia hendak meledak.

“Beatrice-sama.”

“Ada apa sih. Misal masih lama, Betty akan pergi membantu Ibu. Dan Roswaal keparat itu sepertinya mau mati. Kalau tidak kubantu, dia ….”

“Terima kasih, sudah selalu menemani saya―Tapi ini adalah salam perpisahan.”

“―Hah?”

Mendengarkan tukas tidak jelas itu, Beatrice mengedipkan mata, merasa kelesah.

Di dalam ruang batu dingin itu, dua orang gadis―Beatrice bersama Lewes saling bertatapan.

Beatrice berkedip berkali-kali, sorot matanya tertuju tajam-tajam ke Lewes. Pandangan Beatrice intens namun hangat, dan Lewes tidak memalingkan muka.

“Salam perpisahan? Maksudmu apa? Kau mau kabur, ya?”

“Tidak, bukan itu. Apabila saya kabur dan hidup, mungkin suatu hari bisa bertemu dengan Anda lagi. Tapi ini adalah salam perpisahan terakhir kita. Mungkin tidak bisa ngobrol lagi seperti ini.”

“…”

Beatrice mengerutkan bibir dan menatap tajam mata Lewes, mencari naitnya sebenarnya.

Untuk pertama kalinya Beatrice kebingungan, Lewes diam-diam merakit kata.

“Persiapan Echidna-sama adalah demi Penghalang yang ‘kan menutup Sanctuary. Seharusnya perlu banyak waktu lagi sampai Penghalang berakar di tanah Sanctuary … tapi sekarang, kita tidak punya cukup waktu untuk itu.”

“Tidak cukup waktu … lantas Penghalangnya tidak selesai? Bukankah Penghalang adalah satu-satunya cara untuk mengusir orang itu, kayaknya?”

“Betul. Saya melihatnya dengan mata kepala sendiri betapa berbahaya pria itu. Dia sudah terlampau berbahaya. Barulah saya tahu kenapa Echidna-sama mempertaruhkan segalanya untuk mengalahkannya. Dan saya rasa pengorbanan Roswaal-sama sendiri karena dia tahu itulah satu-satunya jalan untuk menyelamatkan Echidna-sama.”

Demikian hebat kekuatan pemuda itu.

Lewes tidak tahu bagaimana aktivasi Penghalang akan membantu Echidna, atau apakah itu akan menghapus eksistensi monster itu.

Namun ada satu hal yang diyakinkan Echidna padanya.

“Echidna-sama menjanjikan saya bahwa mana kala Penghalang aktif, kita bisa melindungi Sanctuary. Jadi … saya bersedia menyerahkan hidup saya demi hal itu.”

“J-jangan ngomongin hal-hal bodoh kayak gitu. Sekalipun kau menyerahkan hidupmu … tanpa latar belakang sihir apa pun, bagiamana bisa ….”

Mata Beatrice panik betul seraya bilang begitu dengan nada gelagapan. Tapi, sepintar-pintarnya, dia sudah menemukan jawaban atas pertanyaannya sendiri di tengah-tengah kalimatnya.

Matanya membeliak kaget sambil berbalik ke kristal biru yang berdiri di samping mereka.

“Jika kau mengikat dirimu dengan inti kristal ini … Od-mu sebagai intinya, menyebarkan Penghalang ke seluruh Sanctuary … kalau begitu tidak perlu lagi menyesuaikan tanah ….”

“Ya. Itulah yang dikatakan Echidna-sama.”

Kesimpulan serupa yang dicapai Echidna serta Roswaal sebelum serangan itu terjadi.

Beatrice berdiri terdiam di sana tanpa sepatah kata pun. Lewes mengelilinginya hingga dia berada di depan pandangan Beatrice, kemudian tersenyum.

“Anda sendiri yang memastikan afinistas saya dengan mana Sanctuary …. Beatrice-sama.”

“―Ugh!”

Wajah Beatrice terkaget-kaget mendengar ucapan Lewes.

Menggigit bibirnya yang berwarna persik sampai darah merembes keluar dari dagingnya.

“T … tidak. Betty … Betty tidak … tunggu, bukan itu, tunggu saja, kayaknya. Tunggu saja di sini. B-Betty akan berbicara dengan ibu, kayaknya. Ibu mungkin bilang begitu, tapi dia benar-benar menyayangi Betty, dia akan mendengarkan kalau aku ….”

“Tidak ada waktu lagi untuk itu. Harus kita tentukan sekarang juga.”

“Kalau begitu, Betty akan membantu ibu saja. Coba ibu dan Betty satu tim, kami dapat dengan mudah menumpas pria itu, kayaknya. Roswaal juga, saat aku menyembuhkannya, kami bertiga ….”

Beatrice menggelengkan kepala bak anak kecil yang tak setuju, namun ujar panjangnya terputus.

Bahkan dia sendiri tahu betapa tidak meyakinkannya kata-katanya.

Beatrice memang jenius. Lewes sungguh-sungguh kagum bagaimana gadis yang seumuran ini dapat menguasai sihir kelas atas, tidak pernah malas dalam pelajaran hariannya.

Dia bisa mendapatkan kasih sayang ibunya, pertengkarannya dengan Roswaal, latihan sihirnya, serta mencuci dan menjahit juga memasak bersama Lewes, semuanya tanpa hambatan.

Beatrice yang sama ini pastinya memahami sejauh mana kemampuannya sendiri, sekaligus kesenjangan tak terbatas antara musuhnya dan dirinya sendiri.

Dia tidak boleh menempatkan nyawa ibunya dalam bahaya cuma karena sesumbar kebanggaan itu.

“―Atau, kita bisa menggunakan Door Crossing Betty untuk memindahkan semua orang dari sini.”

“…”

“Benar? Itu akan cukup, kayaknya. Memang sedikit sukar, tapi Betty bisa melakukannya. Selagi ibu menahannya, kita akan mengumpulkan semua orang di Sanctuary dan kabur ke Mansion ibu bersama, kayaknya. Akan kita jemput Roswaal kalau ada kesempatan dan menutup pintunya kala ibu lewat, larilah kita dari orang itu …. Ya, mestinya itu yang kita lakukan.” kata Beatrice.

“Dan saat kita melarikan diri, bukankah kita akan hidup dalam ketakutan karena dikejar-kejar oleh orang itu selama sisa hidup kita? Bilamana kita mengabaikan tempat ini, tempat dimana orang-orang yang diasingkan dari seluruh dunia dapat hidup aman dan damai … dan pergi ke tempat baru, berapa lama kita bisa bertahan sampai hidup tenteram seperti ini lagi?”

Lewes menggelengkan kepala pada rencana Beatrice, imbuhnya lembut tapi tegas.

Melihat seluruh wajah Beatrice sedih, dada Lewes langsung pedih.

Tapi Lewes kudu menginjak-injak pertimbangan gadis ini dan memaksakan jalannya sendiri.

Bahkan jika keputusan bengis nan egois ini berarti mengkhianati hari-hari bersama mereka.

―Sekaligus mengkhianati semua ingatan yang mereka bagikan.

“Beatrice-sama. Saya sayang Sanctuary. Saya sangat senang sempat tinggal di sini. Dan saya suka melihat senyum semua orang yang tinggal di sini. Jadi saya tak ingin semua itu terhapus.”

“―”

“Waktu-waktu saya di sini menyenangkan. Kelewat menyenangkan sampai-sampai bertanya-tanya apakah seseorang seperti saya, dengan darah kotor yang mengalir di nadi ini, betul-betul layak mendapatkannya. Lantas, saya sudah puas.”

“Bukan itu, kayaknya …. E-entah apa anggapanmu kepada tempat ini, tujuan tempat ini sebenarnya bukan itu yang kau pikirkan ….”

“Ya, aku tahu.”

“―Ah.”

Lewes mengangguk, sedangkan Beatrice nampak seolah menyesal atas apa yang dia katakan.

Lewes tau tujuan sebenarnya Sanctuary.

Paling tidak, dia tahu alasan Echidna dan Roswaal mengumpulkan orang-orang yang terdzalimi di sini bukanlah cuma-cuma dan atas nama kebaikan semata.

Surga dimana orang-orang yang dijauhi serta dihina dapat hidup dengan bangga―berdiri bukan untuk mereka, namun, jauh di dalam hati, semua orang masih ingin mempercayainya.

Dan sekarang, tidak mungkin lagi melihat fasad cerah Sanctuary. Lewes paham betul, walau sungguh menyakitkan.

“Tujuan sebenarnya tempat ini adalah untuk berurusan dengan orang-orang yang mengejar Echidna-sama, bukan?”

“…”

“Karena itulah tempat ini ada, dan alasan kami dibawa ke sini, saya sudah mengerti itu sekarang.”

 “Kalau begitu … kalau kau sudah tahu, terus kenapa ….”

“Tidak mengerti, Beatrice menggelengkan kepala.

Sambil memperlihatkan mata memohon pada Beatrice, bibir Lewes melembut.

“Saya tidak keberatan. Dari awal pun, tujuannya memang itu. Namun hari-hari yang kami habiskan di sini bukan sekadar bagian rencana Echidna-sama belaka. Waktu-waktu yang saya jalani di sini, dan semua perbincangan yang kita lakukan, semua itu bukanlah bagian dari sebuah rencana.”

“―”

“Awal tidaklah penting. Justru akhirnya, dan apa yang kita rasakan kala menuju akhir itu.”

“―”

“Saya sungguh bahagia berada di sini. Jadi saya ‘kan melakukan apa pun untuk melindungi kebahagiaan ini. Tolong izinkan saya mengungkapkan terima kasih sebesar-besarnya atas segala hal yang telah Anda perbuat, Beatrice-sama.”

Sebuah ledakan bergema jauh dari ruang batu.

Tanah berguncang dan suasana mencekam dalam pertarungan antara Echidna serta pemuda di tengah-tengah Sanctuary.

Fakta bahwa pertarungan sengit itu kerap mendekat, memperjelas Echidna yang tidak bisa menang.

“―”

Memejamkan mata, Lewes dengan tenang mengutarakan tekadnya. Di hadapan Lewes, bahu Beatrice naik-turun sembari memeras otaknya, berusaha mengatakan sesuatu.

Kata-kata ajaib yang mampu menghalangi Lewes dari niatnya, membatalkan tekadnya, serta mengubah jalan pemikirannya.

Tapi tidak ada sihir seefektif itu di dunia ini.

“Beatrice-sama.”

“… Ada apa.”

“Tolong jangan makan terlalu banyak manisan.”

“―”

Selama waktu ngeteh, Beatrice akan terus memakan manisan. Akan memalukan jika penampilan imutnya hancur karena badannya gendut. Dia juga harus merawat giginya.

Walau jarang-jarang menunjukkannya, Beatrice betul-betul manis saat tersenyum.

Berbalik, Lewes tanpa kata-kata mendekati kristal biru itu.

Barang tersebut memancarkan cahaya memikat. Jika dia menyentuhnya, benar-benar akan ditelan oleh cahaya itu.

Apakan sakit, apakah memilukan?

Meskipun sudah siap untuk hari-H, Lewes tidak tahu dia akan jadi apa.

Sederhananya, emosi itu adalah rasa takut.

Kala dia ditelan cahaya, Lewes akan menjadikan daerah ini sebagai Sanctuary sebenar-benarnya.

Andaikan ada tempat di dunia ini dimana semua orang bisa hidup bahagia dalam kedamaian.

Coba saja Echidna serta Beatrice terus menjaga Sanctuary ini untuknya.

“―”

Tiba-tiba, lengan bajunya ditarik.

Lewes berbalik dan mendapati Beatrice berdiri persis di sebelahnya.

Dia menatap Lewes dengan ekspresi yang belum pernah dilihatnya sebelumnya, ujung jari si gadis manis menempel di lengan baju Lewes.

Kekuatan jemari yang melekat itu lemah, bahkan Beatrice pun tidak tahu maksud sentuhan ini. Beatrice menariknya saja tanpa berpikir, kemudian, bagi orang yang tak pernah jujur terhadap emosinya, mungkin ini satu-satunya cara dia mengungkapkan perasaan sebenarnya.

“―”

Dengan lembutnya, Lewes meraih jari-jari yang memegang lengan bajunya.

Merasakan kehangatan pada masing-masing jari mereka yang saling bersentuhan, Lewes tersenyum.

Lalu ….

“Terima kasih―Selamat tinggal, Betty.”

―Setelah mengecap kata-kata terakhir itu, kesadaran Lewes ditelan ke dalam cahaya biru.

Kemudian menghilang.

Catatan Kaki :

Hector gelarnya itu “Warlock” berbeda dengan para Penyihir lain yang dipanggil “Witch/Witches” (Penyihir / Para Penyihir), namun artinya sama, “Penyihir”. Bedanya apa min? Warlock = Cowok, Witch = Cewek. Sederhana, masih gk ngerti? Kontak FT DarkLegiun.

Share this post on:
Subscribe
Notify of
guest
6 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Unknown H

Masih nunggu kapan puck yang selaku kakaknya beatrice nongol ‘-‘ kabarnya sih puck benci sama echidna, but yea gw baru baca ampe sini jadi pengetahuan gw terbatas :v

RizHell

Wizard juga cowok kan?

wipwip

uhuuuyyyy up mimin ?

Steven

Oh brti kalau kalau dia termasuk sin warlock, selain hektor ada lagi 6 lainya? Hampir sama juga kah seperti witch? warlock kemalasan, kecemburuan, kerakusan, kebanggaan/kesombongan, nafsu, dst.

Selain di arc 4 bab ini d mana lagi kah warlock muncul?