Share this post on:

Jack of All Trades

Kota Dalam Hutan

This image has an empty alt attribute; its file name is 1-2-728x1024.jpg

Penerjemah: Witch of Izalith

“TOLOOOONGG AKUUUUU!”

Berteriak minta bantuan tanpa tahu malu. Aku berteriak sekeras mungkin dan berharap ada orang di dekat pintu masuk kota. Para serigala di belakang dan siap menerkam kapan saja selagi berlari ke gerbang.

Doaku terkabul. Seorang pria tua memegang tombak melompat keluar dari balik gerbang. Orang pertama yang aku temui di dunia ini. Penduduk kota nomor satu!

“Ada apa!? Apa yang terjadi!?”

“Serigala! Serigalaaaaa!”

Aku panik sekali sampai tidak bisa merangkai kalimat. Namun kata itu cukup membuat paham si pria. Cepat-cepat meniup peluit di lehernya. Kala itu, enam pria lain muncul dari sisi lain gerbang. Apa mereka kembar enam? Tidak.

“Sekawanan serigala hutan! Seorang pengelana diserang!”

“Hei kau! Sebelah sini! Masuklah!”

‘Tidak usah meminta dua kali! ‘Aku gemetaran dan mengangguk, lalu berlari secepat mungkin. Rasanya suara serigala kian jauh. Aku mempertahankan kecepatan dan bergegas melewati sekelmpok orang tua sampai jatuh di gerbang.

A-air ….!’ Tenggorokanku kering sekali sampai bernafas saja harus dipaksa kemudian berbalik. Orang-orang tua bersenjata tombak melawan serigalanya … serigala hutan yang berbaris tiga sampai empat. Serigala-serigala itu sama sekali tidak ketakutan, dan mereka menyerbu orang-orang kota. Aku tersentak kaget. Tombak menabrak taring, dan pertarungan dimulai. Meskipun orang-orang itu punya tombak, mereka berjumlah sedikit dan lawannya banyak. Kini aku mengatur nafas, memungut gunting kebun dan hendak bergabung. Tapi sebelum itu, sesuatu menangkap pundakku dan dibanting ke tanah. Hei, siapa sih? Aku sedang sibuk.

“Nah, kau duduk di sini, bocah ayam.”

Aku mendongak dan mendapati seorang lelaki tua yang tampak loyo disertai seringai di wajahnya. Mengenakan zirah kulit dan membawa dua pedang terhunus di tangan. Siapa dia?

“Haha, larimu tadi bagus! Kau kelihatan seperti kelinci yang kabur menyelamatkan diri, hah!”

Sekarang seorang pria berwajah gagah sedikit menantang muncul memegang pedang pendek. Yah, bukan hanya itu kesan pertamanya ….

“Kalian ini kenapa …. Ini penting. Biarkan aku pergi.”

“Daaaaaaaaan aku mau bilang, apa manfaatnya seorang pecundang sepertimu? Kau ingin melakukan apa dengan gunting kebun karatan itu? Heh?”

“Aku pengen pergi dan membantu orang-orang itu melawan serigala!? Tidak lihat berapa banyak jumlah mereka!”

Lelaki kurus dan berotot saling memandang. Kemudian mereka ketawa terbahak-bahak.

“Aaowaowkaowkaowk! Kau, kau! Kau terlalu panik soal serigala-serigala hutan tersebut!”

“Kau ini siapa lagi! Seorang penyair pengembara!? Kau memang membuat kami tertawa!”

Aku tidak mengerti …. Jadi jumlahnya tidak serius bagi mereka? Ataukah sudah normal?

“J-jadi, kenapa kalian berdua mendatangiku ….? Kenapa senjatanya?”

“Kenapa? Tentu saja untuk dirimu.”

Pokoknya, ujung pedangnya tertuju ke tenggorokanku. Dalam sedetik mereka berdua jadi sangat serius.

“Jangan aneh-aneh. Jika ternyata kau orang berbahaya yang berpura-pura lemah layaknya kelinci, maka kami harus membunuhmu.”

“Benar itu. Nah, berkenan menyerahkan gunting kebun kotormu?”

Ah, aku paham. Penjaga gerbang tua itu harus pergi melawan serigala hutan, lantas mereka berdua dikirim untuk mengawasiku.

“Maaf kalau begitu. Ini ambil gunting kebunnya. Aku takkan meninggalkan tempat sekarang. Tolong jangan arahkan itu padaku.”

“Selama kau mengerti. Kau akan diam dan duduk tenang.”

Pria kurus menerima gunting kebun tanpa kata dan memeriksa bilahnya yang terkelupas.

“Hei kau. Kau datang ke hutan cuma bawa ini?”

“Ah, ya. Aku mencurinya dari goblin.”

“Hah? Goblin?”

“Yah, aku tidak punya barnag lain.”

Pria kurus menatap ragu diriku.

“Okelah. Bagaimana, bagaimana bisa kau mencurinya dari goblin?”

“Aku menikamnya dengan tombak yang kubuat dari dahan pohon bercabang. Menusuk perutnya dan membunuhnya ketika dia terjatuh. Lanjut merampas senjatanya.

“Apa kau dari sulu asli atau ….”

Pria luyu yang mendengarkan diam-diam menatapku sambil memasang wajah geram. Wah, aku bisa apalagi! Aku tanpa senjata!

“Masa, kelinci hitam macam apa lagi ini ….”

Kelinci hitam?”

“Rambutmu. Itu hitam, bukan? Dan kau ini kelinci pengecut. Pas sekali! Kelinci hitam!”

Hei, aku ini memang mahluk kecil nan imut, tapi dia jelas bermaksud menghinaku! Kau bercanda.

Sewaktu kami bicara sebentar, sekawanan serigala hutan dibantai habis. Tampaknya mereka benar-benar tidak perlu khawatir. Standar kekuatan pasti cukup tinggi di dunia ini. Atau aku saja yang lemah?

“Ah, sudah lama kita tidak menghadapi satu kawanan penuh. Yang tadi itu sangat-sangat melelahkan.”

“Terima kasih dan maaf atas masalahnya.”

Aku membungkuk di depan penjaga gerbang yang kembali. Aku sungguh-sungguh diselamatkan. Pasti aku sudah mati seandainya orang-orang ini tidak datang. Tenggorokanku sudah terkoyak dan mereka akan menyeret mayatku ke dalam hutan ….

“Bah, bukan apa-apa. Tidak setiap hari kau diserang sekawanan penuh. Pasti mengejutkan bagimu. Ah, Gardo dan yang lainnya juga teramat membantu.”

“Gardo?”

“Tidak, kami hanya bosan. Jangan dipikirkan.”

Pria kuyu itu menjawab. Jadi pria gagah namanya Gardo.

“Ayo pergi, Ness.”

“Baiklah. Sampai jumpa, Kelinci Hitam.”

Pria kurus namanya Ness, dia menyeringai padaku selagi berjalan pergi. Keduanya pasangan aneh …. Aku yakin akan bertemu mereka lagi. Berharap agar paling tidak berhenti memanggilku Kelinci Hitam.

“Kau, kau bersimbah tanah, aku paham. Apa kau terluka?”

“Anu, ini cuma menyamarkan bauku. Aku tak terluka.”

Setelahnya, aku ditatap semua orang yang dalam hatinya bilang, ‘Nih orang serius?’

“Ah, ya, okelah. Ada pos jaga di sana dan belakangnya terdapat sumur. Kenapa tidak ke sana dan basuh dirimu? Tampaknya kau tidak bawa barang apa pun, terutama pakaian. Aku akan menyiapkan beberapa untukmu.”

Prianya baik sekali … aku menerima tawarannya dan berjalan ke sumur selanjutnya menyeka tubuh dengan handuk pinjaman dan berganti pakaian linen. Hmmm, nyaman banget. Pakaian lama ditaruh di tas yang juga aku pinjam. Aku banyak meminjam …. Semoga mereka tidak keberatan.

“Sekarang kau harus lebih tenang lagi. Namaku Russel. Dan dirimu?”

Nama penjaga gerbang adalah Russel. Walaupun banyak nama-nama asing di sini. Aku mengingat nama penyelamatku sebelum memperkenalkan diri.

“Aku Kamishiro Asagi …. Uh, maksudku Asagi Kamishiro. Terima kasih sudah membantu.”

Aku mengubah susunan nama agar terdengar lebih lokal di sini.

“Asagi, ya. Jangan dirisaukan. Ayo ulang lagi. Selamat datang di Fhiraldo!”

Yah, kesampingkan itu, sudah enam hari semenjak aku luntang-lantung di dunia baru ini. Dan akhirnya aku tiba di kota pertama, Fhiraldo.

 

Share this post on:
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments