Share this post on:

Jack of All Trades

Kejar-Kejaran di Hutan

Penerjemah: Black Dragon Kalameet

Secara sinting menggigit, mengorek, mengunyah. Tidak ada garam atau lada di sini, hanya rasa daging saja. Mengingatkanku ketika menghabiskan uang pada hari gaji baru turun dan langsung membeli daging kemudian memasaknya di pagi hari, lalu tersadar kurang garam dan merica. Waktu itu aku kecewa karena terasa hambar! Tapi sekarang sepertinya enak. Mungkin rasa laparlah bumbunya, atau memang daging serigala yang enak. Entah alasannya, hebat deh. Tanpa sadar kaki belakangnya sisa tulang.

Aaaah … aku puas … melihat api yang berderak-derak membuatku mengantuk, tapi aku tidak boleh tidur sekarang. Masih banyak hal yang harus dilakukan. Rasa laparku hilang, kini otak cukup segar untuk berpikir. Pertama mesti melakukan apa? Matikan apinya. Aku memadamkannya dengan melempar pasir ke atas bara. Selanjutnya mengambil daging yang aku tenggelamkan di sungai dan membungkusnya dengan kaos oblong basah agar dapat dibawa di belakang punggung. Lalu mesti keluar dari sini secepat mungkin.

Ada alasan sederhana mengapa aku terburu-buru. Tak ingin mengulang kesalahanku. Kali terakhir gara-gara bau darah goblin yang aku bunuh. Itulah sumber ketidakberuntungan. Alasan aku bau tanah sekarang. Kini yang aku bunuh serigala, mungkin dia terpisah dari kawanannya. Nampaknya serigala tidak biasa bergerak sendiri-sendiri seperti itu, kecuali dia serigala penyendiri, tapi dugaannya hanya sedikit kebetulan saja. Tidak ada yang kebetulan bagi protagonis. Meskipun tidak ada, tidak salahnya berasumsi satu serigala melenceng dan bertindak sendiri. Baunya mantap sekali. Aku tidak tahu baunya akan menggugah selera para serigala atau tidak, tapi pasti akan membuat mereka curiga.

Lantas aku pergi sesegera mungkin. Tidak ada istrirahat setelah makan-makan. Aku tak bisa melihat masa depan selain kematian bila diserang satu kawanan penuh.

Setelah selesai bersiap-siap, aku berjongkok rendah, pasang telinga dan mengamati sekeliling. Aku tak mendengar suara gemerisik apa pun. Sekarang kesempatanku!

Meninggalkan sungai, aku kembali ke jejak lintasan. Yakin sedang menuju timur selagi berlari. Ughhh, pencernaanku bakal kacau kalau begini ….


Sejumlah waktu berlalu setelahnya. Untung saja, tidak ada monster yang menyerang ketika diriku makan daging serigala dan berjalan ke timur yang mestinya terdapat sebuah kota di sana. Di tengah jalan, sungai membelok ke arah berbeda. Agak sepi jika tidak mendengar suara lembut aliran air. Hampir seperti temanku dalam perjalanan ini. Namun aku sendirian. Tidak bisa apa-apa selain berjalan saja.

Dua hari, tapi hutannya tidak ada ujung. Jelas-jelas sangat luas. Merasa paranoid dan terus mengawasi hutan kalau-kalau ada yang mengawasi di antara pepohon, tapi ujung-ujungnya tiada pilihan lain selain tidur di puncak salah satu pohon. Tapi aku sungguh mulai terbiasa menjalani hidup ini. Tidur nyenyak di malam hari. Udara pagi rasanya hebat.

Sekarang hari kelima, dan pemandangan akrab mulai berubah di sekitarku. Hutan yang saat ini cuma terbentang di sebelah kiri mulai terdapat di depan juga. Jejak roda yang kelihatan menghindari hutan, sekarang langsung masuk ke dalam sana.

“Hmmm, apa maksudnya ….”

Aku yakin telah menghindari hutan karena kehadiran para goblin. Barangkali ada monster-monster lain ketimbang mereka. Kalau begitu kenapa sekarang malah persis menuju hutan? Wah, berarti kotanya ada lurus di sana. Karenanya jalur tersebut tak mengarah ke selatan. Seandainya kota berada di timur, maka tidak ada pilihan lain daripada menyongsong ke depan tepat ke pepohonan rimbun. Tetapi bayangan goblin masih menjejak di benak. Apabila menyerangku lagi di sini … sial, itu kemungkinan terburuknya.

Tapi aku tidak boleh tinggal diam. Harus pergi. Perlu memutuskan cepat dan segera bertahan hidup. Menurunkan tombak dan gunting kebun. Tubuh jauh lebih ringan karena sudah makan daging serigala. Mungkin artinya juga tidak ada jalan kembali. Aku mengencangkan ikat pinggang dan berjalan masuk ke hutan.

Mendapati sesuatu seiring semakin dekatnya diriku. Jejak roda tidak secara sembarangan masuk ke pohon-pohon. Pepohonan ditebang di sekitar jejak yang aku lihat sejauh ini, kelihatannya ada pohon yang menghalangi jalan. Tampak ada orang yang membuat jalan lurus di sini. Kotanya pasti cukup dekat sekarang.

Tetap berhati-hati dengan lingkungan sekitar kala berdiri di tepian. Menjilat bibir, aku mengambil langkah pertama. Seharusnya tiba di kota segera sesudah melewati hutan ini. Bisa jadi.

… tentu saja, itu takkan terjadi. Tidak ada ruginya menjadi seorang protagonis. Aku sudah merasakan beberapa pasang mata tertuju padaku. Dari kanan dan kiri. Kakiku tidak bisa berhenti bergerak. Rasanya akan diserang setelah berhenti berjalan.

Bangsat, bangsat … siapa yang lihat-lihat … sementara waktu tidak setakut ini …. Nafasku semakin sulit, detak jantungku tak terkendali. Irama seluruh tubuh meningkat dan kakiku hanya bisa mengikuti saja. Aku mulai berjalan lebih cepat, lalu berlari. Perasaan ditatap tidak hilang-hilang juga. Mana jalan keluar hutannya ….!?

Akhirnya muncul dalam penglihatanku. Di antara celah-celah hutan. Ada serigala. Beberapa serigala. Kenapa? Jejaknya sudah kuhapus. Tapi serigala-serigala ini aneh. Bulu mereka berwarna hijau muda. Jadi berbeda dengan bulu serigala yang kulahap ….?

Menggeleng kepala dan berhenti merisaukannya. Aku tak tahu apa maksudnya, tapi lebih penting sekarang lari. Mengangkat kepala dan berlari lebih cepat dari sebelumnya. Aku sedikit panik sekarang. Mencoba lari sembari menghemat energi, tapi tidak bisa menyesuaikan kecepatannya. Lariku terlalu cepat. Tapi entah bagaimana, tidak merasa lelah. Pasti ini sesuatu yang disebut adrenalin. Aku boleh jadi sudah menjauh sebisa mungkin. Bukan dari para serigala, tapi dari jalan keluarnya.

Aku bernafas keras seketika lolongan serigala menggelitik telinga. Mereka pasti sudah tidak sabar. Aku melirik ke belakang sambil berlari secepat-cepatnya, dan kurang lebih ada lima mengejarku.

“Ahhh!”

Ini, ini mengerikan ….! Amat berbeda dibanding anjing nenek mengejar diriku yang semasih kecil. Serigala-serigala itu mau membunuhku! Melihat ke depan dan lari secepat mungkin. Akhirnya bisa melihat bagian pohon di depanku, mengungkap jalan keluar. Ya! Aku menang misal bisa melewatinya! Setidaknya ada kota di sana.

Aku lebih cepat lagi. Ughh, tombak ini menghalangi! Aku melemparnya dan berharap mengenai salah satu serigala yang mengejar.

“Yap!”

Apa nih, serius? Melihat ke belakang dan mendapati satu ekor serigala terbaring di tanah. Beruntung amat! Bukan. Semestinya serigalanya lebih sedikit sebab aku sudah membunuh satu, tapi kok makin banyak ….! Sekurang-kurangnya ada lima belas dari mereka mengejarku dan melolong. Sial, mungkin aku mau kencing dicelana. Tapi tidak bisa. Jalan keluarnya ada di sana. Sepuluh meter … lima … aku keluar!

Sewaktu itu, cahaya menyilaukan menyerang seakan-akan baru saja keluar terowongan. Tetapi kakiku tidak berhenti. Berlari di sepanjang dunia putih hingga penglihatanku kembali. Beberapa detik kemudian. Pemandangan yang terbentang di depanku adalah sesuatu yang kudamba-dambakan.

Gerbang kota.

Share this post on:
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments