Share this post on:

Jack of All Trades

Kami Berpapasan di Warung Jalanan

Penerjemah: Executioner Smough

“Hello.”

“Ho, Asagi. Kau butuh senjata baru lagi?”

Kepala Aragira menyeka keringatnya dengan handuk saat keluar dari belakang. Kesannya biasa.

“Ya. Aku ingin yang baru.”

“Bangke, kau kemarin baru saja beli baru!”

“Masalahnya … aku menghancurkannya.”

Aku kelewatan di hutan luar sana. Mulai menyelinap ke belakang goblin yang kudapati, dan menikamnya dari belakang … tanpa sadar bilahnya retak-retak. Kalau saja kemarin aku bertarung lebih lama lagi, semuanya akan memburuk.

“Dan hari ini baru saja naik ke peringkat Kristal, lantas aku ingin senjata bagus untuk memperingatinya.”

“Apa? Kristal? Kau ini petualang baru!”

“Levelku entah bagaimana naik ke 20 setelah membunuh beberapa goblin. Dan karyawan Guild bilang mulai hari ini peringkatku E.”

“Ahhhh … yah, jangan terlalu memaksakan diri, oke ….?”

Dia kelihatannya lebih jengkel alih-alih terkesan. Aneh, deh … sepertinya saat yang tepat sedikit mengucapkan selamat kepadaku.

“Jadi kau ingin sesuatu sebagai peingatan, eh … yaudah! Aku akan membuatkanmu senjata!”

Ya! Senjata Kepala punya reputasi hebat, dan aku mengharapkannya. Kendati harganya akan lebih tinggi, kualitas dan ketajamnya juga, jadi aku tak keberatan. Aku perlahan merasa senjata lama ini mulai tak memadai.

“Meski begitu, kau ini masih peringkat E maba. Tidak bisa kuberikan hal spesial. Mengerti?”

“Ya, tentu saja.”

Dia bukannya berniat jahat. Soalnya, sekalipun membunuh musuh dengan bilah terperkasa, aku takkan mendapatkan pengalaman. Kelemahan musuh adalah bagian yang takkan membuat pedangmu retak saat memotongnya, sebagaimana celah-celah tulang, itulah informasi dan pengalaman yang tak muncul di statusmu. Kau takkan tahu bagian mana yang harusnya dipotong bila mengabaikan semuanya dan menusuk kerangka dan tulang dari awal. Begitulah maksud Kepala.

“Jadi akan kuberikan pedang yang lebih kukuh daripada besi. Pengalaman. Sekiranya bisa kau kembalikan sebelum bisa rusak, akan aku pertajam.”

“Terima kasih, Kepala!”

Melipat tangan dan memalingkan wajah.

“Bah!”

Hatiku merasa hangat, menerima kartu reservasi atas kerajinan senjata dari Kepala. Memakan waktu 6 hari sampai selesai. Dia mengizinkanku meminjam beberapa senjata muridnya sampai saat itu.

Jelas sekali aku mengambil yang terbaik.

Menyarungkan pedang pinjaman dan meninggalkan bengkel. Bosan dengan lingkungan, aku mencoba lebih terlihat normal ketika berjalan-jalan di kota. Matahari telah terbenam, dan langit berubah malam serba-serbi bintang. Hanya warung-warung di jalan utama yang aromanya menstimulasi perut serta mengundangku. Sesekali mesti makan di luar ….

Berkeliaran sebentar, mencari-cari makan malam dan bahuku menabrak seorang pejalan kaki. Memalukan banget, baunya sedikit menumpulkan kesadaranku.

“Aku sungguh minta maaf.”

Menoleh ke orang yang kutabrak dan menundukkan kepala. Kala kepalaku terangkat, aku mendapati seseorang yang lebih tinggi dan mengenakan topeng di wajahnya. Pola pada topengnya … apa tuh? Mata?

“Aku juga minta maaf. Tidak melihat jalan.”

“Oh … um, apa kau juga?”

Aku bertanya saja. Tidak tahu, hanya menarik saja.

“Ya, memikat baunya. Tapi makanan di sana terlihat sangat enak ….”

Warung yang sama-sama kami perhatikan. Kami berdua menatap warung tempat membuat mie goreng. Setelahnya perut orang asing yang mengenakan topeng tersebut bergemuruh. Keras sekali.

“Ummmm … mmm ….”

Disertai batuk palsu yang tidak terlalu menyamarkannya … jadi kelihatan lucu.

“Aku juga lapar. Mau bareng?”

“Tidak keberatankah ….?”

“Sebagai permintaan maaf karena menabrakmu. Biarkan aku mentraktir makan malammu.”

“Tapi, aku juga menabrakmu ….”

“Tidak apa, tidak apa.”

Ayo makan saja. Kita bisa perdebatkan tagihannya nanti misal kau mau. Tentu saja akan jadi argumen singkat setelah makan.

“Kami pesan dua.”

“Ashiap!”

Aku membayar langsung setelah makanan datang. Lalu kami berjalan sebentar dan menetap di taman yang jauh dari jalan utama.

Kadang-kadang aku menghabiskan waktu di sini, tatkala misi berakhir lebih cepat dari biasanya. Tempat kecil nyaman.

“Di sini.”

“Mestinya tak usah mentraktir, tapi terima kasih.”

“Tidak apa-apa.”

Kami duduk di bangku bersama makanan.

Lantas aku mulai penasaran. Bisakah orang ini makan sambil memakai topeng?

“Mmph, mmmm ….”

Topengnya berisik amat pas dilepaskan. Oh, baru lepas, deh …. Sampai sekarang aku membayangkan banyak hal, mengenai pembatas untuk menekan kekuatan maha besar, atau barangkali dari suku yang setiap harinya memakai topeng, ataukah tanda ras-ras sekarat yang tinggal di perbatasan, atau semacam pelatihan. Barusan aku merasa sedikit goblok.

“Haaahh … kalau begitu ayo makan.”

Tetapi wajah yang muncul dari balik topeng adalah seorang wanita cantik.

Sekarang makanku selesai. Aku tak pernah tahu rasanya bagaimana, kelihatannya begitu menggugah selera sebelum kubeli. Orang asing bertopeng, kini seorang wanita tanpa topeng, dia masih mengunyah mienya. Ekspresinya bahagia ketika makan sesuatu yang lezat-lezat. Imut. Aku terus curi-curi pandang ke ekspresinya dan mendadak mata kami bertemu.

“Hhhhm? Apa ada yang salah?”

“Uh, tidak …. Kau kelihatannya sangat menikmati.”

“Ah, yah, kau sepatutnya jangan menatap terus-terusan.”

Kemudian dia tersipu malu. Manis.

Tapi di sisi lain, posisinya tidak nyaman …. Tidak, bukannya aku pengen kabur, tapi ada rasa-rasa menegangkan saat duduk di sebelah wanita cantik. Serasa mencekik. Aku tidak tidak menyukainya. Tapi siapa yang alergi wanita cantik? Mereka memanjakan mata, tapi.”

“Mmmm …. Yah, ini enak. Makasih.”

“Masa?”

“Beneran. Besok aku akan makan lagi.”

“H3h3. Untung kita memilih yang itu. Nah, karnea tidak lapar lagi ….”

Aku berdiri dan meregangkan anggota tubuh.

“Ayo berpisah.”

“Aku sangat menyesal. Itu kecerobohanku sendiri, tapi kau bahkan membelikanku makan malam.”

“Tidak, tak apa. Makan ditemani tuh jauh lebih mantap.”

“Oh, benar ….”

Lagi-lagi merona. Wajahnya cantik dan rileks tapi nyatanya dia malu-malu.

“Nah, sampai bertemu lagi.”

“Ah, uh. Terima kasih atas makan malamnya. Sampai jumpa.”

“Ya. Selamat malam.”

Dengan santainya melambai tangan dan berjalan pergi. Selanjutnya berbelok ke sudut dan kembali ke penginapan. Tentu saja harus waspada agar tak tertangkap bangsat-bangsat yang ingin menangkapku. Tapi sekali lagi, aku terlampau gugup beberapa saat lalu …. Harusnya lebih berhati-hati lagi. Menggeleng kepala, mengalihkan fokus, dan lanjut jalan.

Sesudahnya ada suara samar namun mencapai telingaku.

“Apa, apa yang kau mau!”

Cepat-cepat belok. Dan ternyata suara tersebut dari wanita bertopeng. Buru-buru balik jalan ke taman dan alun-alun kota. Di sanalah seorang wanita berdiri, topengnya setengah menutupi wajah. Lima sampai enam pria mengepung.

“Hei, kalian sedang apa!”

Aku berteriak sembari lari ke a \rah mereka, tangan di ujung pedang dan melotot. Semua wajah para lelaki menoleh dan menatap tak asing diriku.

“Halo, Kelinci Hitam.”

Share this post on:
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments