Share this post on:

Bab 4

Cahaya Bintang Biru

Penerjemah: Kaine

Demikianlah malam terakhir telah datang. Malam terakhir liburan mereka di Aliansi Wald. Dikarenakan adanya kursus kilat perihal etiket, semua 86 diwajibkan menghadiri pesta malam itu.

Semua orang di hotel sudah sibuk dari subuh. Termasuk staf hotel, orkestra yang mereka panggil, dan tentu saja, 86-nya sendiri.

“… waduh.”

“Waw. Cantik … banget …”

Para Prosesor 86 yang belum dewasa punya wali resmi yang kesemuanya adalah pejabat pemerintahan Federasi dan mantan bangsawan. Dengan kata lain, orang-orang kelas atas, punya martabat dan nama baik yang mesti dipenuhi dan dijaga. Lebih berlaku lagi perihal menemui orang-orang dari luar negeri, walaupun yang hadir hanya nama mereka di atas kertas.

Karenanya, para Prosesor wanita dikirimkan gaun pesta malam oleh wali masing-masing di Federasi, dan gaunnya cukup gemilang. Setiap gaun mewakili lambang keluarga yang ditambahkan di gaun mereka, dikirim dalam kotak set berpita. Gaunnya cuma untuk malam ini, gadis-gadis yang hanya mengenal perang itu sungguh terpesona. Bahkan penata rambut dan penata rias hotel tidak mampu mengalihkan pandangan dari mereka.

Setiap desainer keluarga berupaya membuat gaun yang mengikuti tren mode terbaru Federasi. Merah cemerlang, merah muda cerah, biru bersih, ungu cerah, putih bersih, dan hitam total. Dan setiap gaunnya terlihat unik sebab teksturnya bervariasi: sutra dan sifon serta tali beludru, dihias sulaman perak juga emas, pita, manik-manik, sekaligus bunga tiruan. Beberapanya bahkan ada bunga sungguhan, dipetik khusus untuk hari ini.

Mereka pun dikirimkan aksesoris percantik leher, pergelangan tangan, dam rambut. Yang paling sederhana tentu saja, mengingat rentang usia mereka, tapi tidak kurang menakjubkan.

Sementara semua gadis mengenakan gaun baru, anak laki-lakinya mengenakan setelan jas. Jas mereka berkerah tinggi terbuka yang memperlihatkan jaket biru tua yang terlihat nyaris hitam. Di baliknya terdapat kemeja sutra putih dan ikat pinggang merah tua.

Lengan jaket dilipat ke belakang dan disulam perak kusam, kemudian di dada kiri terdapat lencana dan medali. Akan tetapi, lengan meja mereka punya manset Prancis terbalik dan manset berbentuk sayap elang hitam-merah yang memantulkan cahaya.

Di Federasi, pakaian formal disediakan oleh tentara untuk perwira nonkomisioner dan tentara reguler, tetapi para perwira harus membayar pakaian tersebut dengan kantong sendiri. Dulu, para bangsawanlah yang mengomandoi tentara dan memberikan senjata, sementara rakyat jelata wajib militer. Tradisi ini dilakukan untuk menyorot perbedaan golongan dan masih bertahan di masa modern Federasi.

Tetapi imbalan pembayaran pakaian mereka, para perwira diberi hak implisit untuk menyesuaikan dan mempersonalisasikannya. Kecuali jaket panzer mereka yang menuntut keseragamam sebab pakaian tempur. Tetapi gaun formal dan pakaian pesta malam yang tidak ada kaitannya dengan pertempuran, sampai batas tertentu diperkenankan dimodifikasi sesuai selera.

Tingkatan perubahannya kebanyakan jenis kain, pewarnaan coraknya, atau desain kancing manset. Ini pun kemungkinan besar adat masa-masa Kekaisaran.

Jadi sekalipun pakaian formal Federasi tidak berlebihan variasinya, setelan masnig-masing anak laki-laki punya modifikasi unik. Corak biru atau hitam diubah sedikit biar lebih menyempurnakan warna rambut dan mata mereka, juga warna kulit.

Tentu saja tidak semenonjol gaun gadis-gadis, tetapi wali mereka adalah pejabat pemerintah dan mantan bangsawan. Itulah titik kebanggaan mereka. Atau mungkin ini gagasan mereka tentang … mungkin bukan kasih sayang orang tua, melainkan kewajiban keluarga.

Mengamati mereka, Vika mengangkat alis. Dia mengenakan setelan malam berdasi tradisionalnya Kerajaan Bersatu.

“Oh, itu cocok untukmu. Kau sungguh kelihatan mengesankan.”

Banyak pakaian resmi dan setelan bisnis khusus pria didasarkan dari seragam militer. Contohnya blazer setelan bisnis, meniru model pakaian kerja, dan seragam siswa berkerah tinggi mengikuti gaya berpakaian tentara.

Dengan kata lain, inilah pakaian yang dimaksudkan untuk menekankan fisik—seorang pejuang—seorang prajurit. Dan 85 menghabiskan masa kanak-kanak di medan perang, tubuh mereka diselaraskan dan ditempa untuk bertempur. Maka dari itu, pakaiannya sangat pas buat mereka.

Akan tetapi …

“Jujur deh, agak mencekik,” ucap Raiden, mengutak-atik kerahnya.

“Terbiasalah,” kata Vika, menyemperotnya.

“Kenapa juga kita melakukan ini? Serius, deh, aku bahkan tidak pernah mau menghadiri pesta semacam ini.”

Vika mendengus, tapi tidak mengejek. Dia cuma geli.

“Kalau kau tanya aku, malah mereka yang tidak terbiasa dengan acara inilah yang paling menikmatinya …. Dan jangan khawatir. Acara hari ini hanya didatangi teman sebayamu. Takkan ada yang menilai kelakuan burukmu.”

Di sudut ruang ganti yang ramai suara heboh gadis-gadis, Lena memeriksa dirinya sekali lagi di depan cermin ukuran penuh. Dia mengenakan gaunnya, rambutnya diikat, dan tata riasnya baru selesai.

Bayangannya balas menatapnya, gaya rambut, pakaian, dan riasannya teramat berbeda dari pakaian berseragam yang biasanya. Dia mengenakan gaun malam yang dibelinya hanya demi acara ini. Gaun yang dipersiapkan Vika selama kunjungan mereka ke Kerajaan Bersatu itu indah, tetapi Lena tidak ingin memakainya lagi.

Setidaknya, tidak di depan Shin. Tatkala itu, dia masih belum menyadari perasaannya …. Walaupun sebenarnya, sebagian dirinya selama ini tahu. Dia cuma tidak berani mengakuinya. Jadi dulu, dia pura-pura tidak menyadari perasaannya dan mengenakannya saja.

Namun kini semuanya berbeda.

Dia rentangkan tangan dan berputar di hadapan cermin. Tidak bisa dia perpanjang sepenuhnya, tetapi keliman rok terangkat begitu dia berputar, membentang cukup lebar hingga menyembunyikan garis-garis kakinya. Gaunnya cantik. Sebagaimana baju renangnya, gaun itu dibeli untuk trip ini, dipilih khusus demi acara hari ini. Dia menghabiskan banyak waktu menggalaukan kain, warna, dan desain yang tepat. Lamanya setara menentukan mana riasan dan gaya rambut yang akan menjadi pelengkap sempurna. Dan sementara itu, memikirkan hari sewaktu dirinya memakai semua itu membuat jantungnya berdegup dua kali lebih cepat.

Iya, dia teramat-amat menantikan hari ini. Seketika mendengar mereka akan berpesta di ujung trip, hatinya loncat kesenangan. Merisaukan mana gaun dan gaya rambut yang mesti dipilih itu menyenangkan. Sebelum acara ini, tidak pernah sekali pun dia menikmati pesta dalam hidupnya.

Dia pernah ikut pesta sebelumnya. Silsilah Republiknya praktis meminta kehadirannya. Tetapi dia tidak pernah ingin ikut serta dalam acara sosial tersebut. Acara-acara itu tidak lebih dari ujian berat politik, kepura-puraan palsu, penggalangan dana, dan keeserakahan hina, dihelat di istana yang semata-mata peninggalan zaman terdahulu.

Siapa pun yang mendekatinya di pesta tersebut dulunya bangsawan; mata mereka tertuju status dan kekayaan keluarga Milizé semata. Mereka tengah berburu. Menghadapi pujian dusta dan sikap tak tulus mereka dengan senyuman membuatnya tersiksa. Jadi orang pemilih hanya akan mencercanya, lalu orang-orang akan mengoloknya begitu berbalik. Lena tidak kuat menyesuaikan dirinya ke praktik sok seperti itu. Dia benci pesta-pesta tersebut.

Tetapi hari ini berbeda. Lena dikelilingi teman-teman …. Dan dia di sini. Itu mengubah segalanya. Dia memimpikan saat itu berkali-kali sebelum benar-benar trip. Berpakaian dan tampil di depannya. Angan bagaimana ekspresi Shin nantinya mengendalikan seluruh pikirannya. Dan tahu-tahu, hanya dia yang dipikirkannya.

Harus dia akui. Dia harus jujur dengan dirinya sendiri. Berpaling karena malu atau cemas …. Dia tidak boleh melakukannya lagi. Dan benar memang, ini bukan sesuatu yang harus dia pikirkan selagi di tengah-tengah perang …. Tapi sesaat dia berpaling di saat itulah dia kehilangan dirinya. Dan itu membuatnya takut. Membayangkan dirinya ditolak membuatnya ngeri pula, tapi … dia lebih tidak suka kehilangan dirinya tanpa memberi tahu perasaannya.

Jadi Lena memutuskan melakukannya saja. Dengan begini, dia takkan punya penyesalan.

Membuka kotak velvet terakhir, dia mengeluarkan sebuah kalung leher tipis buatan tangan kemudian dipasang di lehernya. Annette berikan beberapa hari lalu ketika merayakan ulang tahunnya tak lama setelah mereka cuti. Annette menyuruhnya mengenakannya jika diminta mendatangi acara spesial dan bersikeras jangan lupa memakainya selama pesta trip ini.

Kalung lehernya emas murni dan dibuat dengan gambar bunga jeruk, dihias batu permata merah dan perak. Lena mengklik pengikatnya, bagaikan seorang kesatria bersiap maju menuju pertempuran. Melihat cermin terakhir kalinya, dia mengangguk sendiri.

Waktunya aku memutuskan.

Ruang dansa. Sementara hotel ini menggabungkan semua gaya desain interior—dari kuno sampai arkais hingga modern—ruang dansa ini terletak di ruang tamu mansion barat yang membangkitkan kembali gaya abad pertengahan. Aula besar ini menjadi banyaknya tempat acara sosial.

Kala perkebunannya baru dibangun, tempat itu terdapat langit-langit berkubah. Tapi sekarang memiliki kanopi kaca transparan. Kacanya sudah tua—transparan biasanya sekarang mengabur dan cacat—tetapi masih terpoles dengan baik dan didukung kisi-kisi yang dibentuk menjadi relif perak mendetailkan sejarah Aliansi.

Di luar kisi renda itu yang menjadikan tempatnya serasa mirip rumah kaca atau sangkar burung besar, ada langit malam ditaburi debu bintang konstelasi musim panas Aliansi. Malamnya bulan baru, dan langitnya lebih gelap dari biasanya.

Dan di bawah kanopi kaca itu, di tengah orkestra, ada karangan bunga tak terhitung jumlahnya, lalu meja yang dijajari makanan pembuka, lingkaran tarian serta obrolan-obrolan yang mekar layaknya bunga musim semi.

“Dustin.”

Lantai mezanin yang terbagi ke kiri dan kanan, terhubung ke ruang ganti perempuan. Lantainya pun terkoneksi ke tangga, membuat tempat pertempuan sebelum menuruni tangga menuju lantai dansa.

Melihat Anju menuruni tangga terakhir kemudian mengulurkan tangan kepadanya, Dustin membeku di tempat. Rambut perak kebiruan Anju tergerai ke punggungnya seperti air terjun cahaya bulan yang membeku. Gaun yang dikenakannya berwarna biru salvia gelap menyerupai senja yang memperindah kulit pucat serta rambut cerahnya.

Gaunnya punya lipatan yang banyaknya tak terhitung, bagaikan jubah seorang dewi, dan aksesoris cocoknya mengilaukan batu permata surgawi yang begemerlapan bak langit fajar. Batu-batu mulia ini jarang dipotong dan dijadikan aksesoris.

Melihat lengan kurus memucat Anju terulur padanya membuat udara dalam paru-paru Dustin membeku.

“… kau serius mau pergi bersamaku, Anju?” Dustin akhirnya bertanya.

“Tidak baik kalau membiarkan orang lain selain dirimu menemaniku, Dustin,” tukas Anju sambil tersenyum menggoda.

Dustin pelan-pelan meraih tangannya. Dustin adalah seorang Celena yang bermigrasi ke Republik dari Kekaisaran, dan sebab Celena dianggap berdarah bangsawan Alba, di tanah airnya dulu dia diperlakukan selayaknya bangsawan. Bangsawan kelas menengah ke bawah tentu saja, tetapi tetaplah seorang bangsawan. Dia diajari etiket untuk acara-acara sosial seperti ini sejak masih muda.

Tapi sekarang, seakan-akan dia melupakan semua yang dipelajarinya. Semua gerakannya gemetaran dan kikuk. Melihatnya bergerak bagaikan boneka cacat, Anju nyengir.

“Lagian, seandainya aku tidak menyibukkanmu lagi, kau mungkin saja kelayapan terus menghancurkan suasana Shin dan Lena lagi.”

“Gini, kubilang maaf …” kata Dustin, memberengut sedih.

Michihi dan Shana menghajarnya tak lama setelah itu. Dan hari-hari setelahnya, Shin sangatlah dingin padanya.

“… maksudku, wajar Lena marah, tapi kurasa Shin tidak berhak marah kepadaku …”

“Apa maksudmu sewaktu kita terdampar di Kerajaan bersatu?”

Saat itu, Shin-lah yang merengsek masuk ke tempat kejadian dan merusak suasana. Tak seperti Dustin, dia jelas sengaja melakukannya. Mengingatnya membuat Anju memutar badannya dan melihat ke belakang. Gaunnya tak terbuka di sepanjang leher dan tentu saja tidak menunjukkan punggungnya.

“Aku tak bisa mengenakan gaun tanpa punggung untuk trip ini. Bikini pun tidak.”

Sepulangnya ke Republik, Anju mulai menemui seorang spesialis untuk bekas lukanya. Tapi dia baru dirawat selama satu bulan dan belum nyaman memakai apa pun yang terbuka.

“Selalu ada kali berikutnya. Kau bisa memakainya nanti.”

Anju tersenyum, tapi Dustin tidak bisa menghilangkan firasat kalau Anju tengah melihat orang lain.

“Iya. Kali berikutnya.”

“Hei.”

“Apa?”

Selagi mereka berjalan menuju aula, lengan mereka saling berkaitan, Raiden menatap seseorang yang didampinginya. Terasa terlambat menanyakan ini sekarang, tapi …

“Siapa yang mengatur pasangan ini?”

“Yah, tinggi kita hampir setara, kurasa?”

Jawab Shiden tak acuh. Bagi seorang wanita, dia cukup tinggi, tingginya di atas rata-rata. Dia setinggi Shin atau Vika, berarti dia bahkan lebih tinggi dari pria pada umumnya.

“Prosesor wanita tidak banyak, tahu? Dan mereka takkan membiarkan dua gadis pergi sama-sama karena anak laki-laki yang kehilangan pasangan barangkali akan terus komplain menyebalkan.”

“… setuju. Ditambah lagi, pergi sama pria lain rasanya buruk,” ujar Raiden, ekspresinya masam.

Seandainya ada pria yang berpasangan dengan pria di pesta, mereka akan ditertawakan. Karena tinggi Raiden, bahkan tidak banyak Prosesor yang bisa pergi bersamanya …. Satu-satunya orang yang tingginya setara Shiden adalah Vika, atau lebih buruknya, Shin. Satu itu mimpi buruk yang belum pernah dia rasakan.

“Kan? Jadi berkat aku kau tidak harus menderita, Manusia Serigala Kecil. Bukannya ada sesuatu yang harus kau katakan padaku?” Dia mendekatkan tubuhnya, menekan dada motok ke lengannya.

Shiden mengenakan gaun satin putih yang kelewat kontras dengan kulit gelap Shiden. Ada potongan terbuka yang mengekspos belahan dada besar dan memperlihatkan punggung kencangnya. Ada pula celah di gaun bawah yang menunjukkan pahanya seintip. Seluruh gaunnya disulam benang emas yang dicocokkan gelang emas pula yang berbunyi lirih setiap langkahnya.

Rambut pendek Shiden tidak dirapikan di acara itu, tapi terlihat dioles pengilau yang memberi kilap ekstra. Dimahkotai rambut berkilaunya, Shiden memandang Raiden sambil nyengir bangga.

“Menurutmu bagaimana? Tidak usah ditutup-tutupi.”

Dia jelas memancing pujian, sekalipun Raiden sadar riasan Shiden menambah kewanitaannya, Raiden tidak girang sama sekali.

“Yea …. Kau cantik, kayaknya.”

“Sial, paling tidak ucapanmu ada perasaannya sedikit kek! Jangan jadi pengecut begitu!” Shiden pura-pura marah.

Kemudian menampar punggungnya beberapa kali sembari menyeringai buaya biasa.

“Yah, kau terlihat jantan sekali, Raiden. Hati-hati. Bahkan mungkin aku bisa jatuh hati padamu.”

“Iya, tentu. Makasih.”

Pestanya dihadiri oleh nyaris seratus Prosesor, sekaligus Grethe, kru pemeliharaan, dan tim pendukung. Gadis-gadis memakai gaun berbagai warna, membuat hamparan bunga betulan dengan nuansa menyilaukan, lalu suara tawa dan obrolan menyaingi musik keras orkestra.

Tapi dalam sekejap, kemeriahannya mati semua menyambut Shin. Lena menuruni tangga dari ruang ganti di lantai loteng tengah, tangannya meluncur di sepanjang pagar emas. Bagaikan bunga mawar merah bewibawa yang memancarkan kemurnian.

Gaun warna mawarnya diperkuat renda hitam, pita, dan manik-manik. Gaun yang memberi aura martabat—penghormatan monikernya, Ratu Bersimbah Darah. Sebagian rambut peraknya diatur ke beberapa lapis kepang dan didekorasi warna merah mawar serta renda hitam, sedangkan leher kurusnya dihias kalung berbunga jeruk bertakhtakan batu permata.

Kain gaun itu memeluk tubuhnya, piawai memamerkan kelengkungan tubuh rampingnya selagi menuruni tangga. Disulam mawar perak yang membiaskan cahaya dengan pola bunga seiring jalannya. Bagai sisik bercahayanya putri duyung. Iblis cantik yang menggoda segalanya dengan nyanyian sirennya.

Tanpa sadar, tangan Shin diulurkan kepadanya. Lena balas mengulur tangan. Mereka saling tertarik, secara insting, bagaikan magnet. Seperti gravitasi yang menarik air ke bumi. Semacam hukum alam.

Tangan mulusnya menempel ke telapak tangan Shin, yang mengeras sebab memegang gagang senapan dan kontrol Feldreß. Seolah kedua tangan itu dibuat untuk satu sama lain. Mereka pasangan serasi, seketika jari mereka bertautan, seakan-akan rasanya takkan berpisah lagi. Shin dapat merasakan hangatnya, tetapi kulit Lena terasa lebih dingin dari kulit dia. Atau bisa jadi tubuh Shin saja yang lebih panas dari biasanya.

Seraya Lena menuruni tangga, Shin menariknya lebih dekat, dan begitu dia tarik, napas mereka selaras sempurna. Entah bagaimana, Shin tahu momennya akan pas. Dan sewaktu Lena turun selangkah lagi, kemudian satu lagi, hingga keduanya sama tinggi.

Bau bunga violet berseliweran di udara. Parfum yang disukai Lena. Shin kira sudah familier, tapi hari ini, tampaknya terlampau mengisi pikirannya, memabukkannya dan membuat kepalanya pening.

Tumit yang dipakai Lena, sedikit lebih tinggi dari pantofel, menyempurnakan seragamnya, lantas wajah Lena lebih dekat ke wajah Shin dari biasa. Mereka saling bertatapan, lalu Lena tersenyum.

Mata perak itu …

Mereka berpegangan tangan sealami bernapas. Normalnya, Lena akan terlalu malu untuk melakukannya, namun tatkala ini, tidak satu pun hal itu mengganggunya. Lena sepenuhnya dikuasai orang di depannya.

Setelan Shin, corak baja Federasi. Setelannya menutupi leher, dan di baliknya terdapat kemeja bergaris. Kurang lebihnya mirip pakaian seorang prajurit tetapi masih ada kesan-kesan bangsawannya. Menjadi pengingat bahwa walau dia menghabiskan banyak sekali waktu di medan perang, dia masihlah berdarah bangsawan Kekaisaran, ditambah penampilan modernya sesuai fisik mulusnya.

Pakaian formal Federasi dasarnya sama dengan pakaian tradisional Kekaisaran, dengan perbedaan tunggalnya adalah warna. Tapi melihat Shin sekarang, Lena benar-benar berpikir siapa pun yang mendesain pakaian in dulu pasti memikirkan Shin.

Lena samar-samar mendeteksi bau kolonye yang jarang-jarnag Shin pakai. Aroma segar, kurang manisnya—aroma jintan saru yang tampaknya entah bagaimana menyesakkan udara. Tapi dari bau itu saja sudah membuat Lena pening sedikit.

Barangkali yang lebih memabukkan tak salah lagi adalah warna merah tua tatapan itu. Mata merah darah Shin meminum seluruh tubuhnya. Dia merasa seolah ditarik masuk …. Tapi selanjutnya mata Shin mendadak terlihat membelalak.

Dia menegang dan membuang muka, ke langit-langit, alasannya tidak dapat Lena pikirkan. Dan selagi Lena mengamatinya, dia sadari meskipun ekspresinya stagnan, wajahnya merona sedikit.

“… Shin?”

 Lena memiringkan kepala, pengen bertanya, tapi setelahnya dia melihat. Seragam Shin adalah abu-abu baja, dan lengannya yang terdapat sulaman perak di manset Prancisnya, ada sepasang kancing manset. Aksesoris sederhana yang diitikadkan mengencangkan lengan seseorang. Tetapi yang Shin kenakan bukan kancing manset keluaran standar Federasi yang bergaya elang.

Mansetnya putih spektral, berbentuk bunga jingga disertai batu permata merah yang disebarkan di sekelilingnya.

Pasangan cocok untuk kalung leher jingga berbunga bertakhtakan permata merah yang Lena kenakan.

Begitu Lena manydarinya, dia juga buang muka malu-malu.

“Annette …!” gumamnya, wajahnya memerah sembari melihat langit-langit.

Dia tahu pipinya pasti sekarang sudah memerah. Semuanya masuk akal. Memberi aksesoris buatan kepada seorang teman membuat Lena merasa aneh. Dan ini menjelaskan alasan Annette begitu ngotot menyuruhnya memakainya ke pesta ini.

“Jadi kau juga dapat dari Rita,” kata Shin.

“Juga …?!”

Dia memberiku hadiah beberapa hari lalu, hadiah ulang tahun terlambat. Dia menyuruhku memakainya jika memakai setelan atau pakaian formal.”

 Semua 86, Shin termasuk, nyaris melupakan segalanya tentang keluarga mereka dan kampung halaman. Jadi tentu saja, banyak yang tak ingat ulang tahun sendiri. Tetapi berkas personel yang digali di markas besar Republik mengungkapkan semua informasi itu.

Akan tetapi, 86-nya sendiri tidak terlalu memikirkan uulang tahun mereka dan tidak pernah memastikan tanggal lahir. Akhirnya, perwira pemimpin personel naik pitam dan semata-mata mentransmisikan semua informasinya ke mereka semua suatu hari lalu, pada dasarnya memberi tahu secara paksa tanggal ulang tahun mereka.

Lantas Annette mengirimkan Lena hadiah kecil itu di hari ulang tahunnya (Shin pun mengirimkan Lena hadiah ulang tahun dua bulan setelahnya), tapi Lena tidak tahu dia sudah sejauh ini merencanakan sesuatu. Dan sepertinya semua orang juga sudah mengetahuinya. Orang-orang di sekitar nampaknya mendapati aksesoris serasi mereka dan menyembunyikan senyum menggoda, memalingkan wajah dan pura-pura tidak menyadari apa-apa.

Lena merona, mengerang malu. Bibirnya gemetar marah pada temannya yang saat ini tidak ditemukan.

“Aaaah …! Candaanmu keterlaluan, Annette …!”

Hat-ci!” Annette bersin.

“Kenapa, kau masuk angin, Penrose? Atau seseorang lagi menggosipkanmu?”

Pada hari itu dan hanya hari itu semata, Vikalah pasangannya. Annette melihat ke arah lain dan bersin kecil imut, lalu Vika tidak melewatkan peluang untuk menarik perhatian kepadanya. Sebagai pasangan penari berpengalaman, keduanya tengah menari wals1, menjadi contoh untuk para 86 yang tidak pernah menari seperti ini.

Mereka pindah ke hitungan tiga, dan keliman gaun sifon Annette serta pita mawar di rambutnya menari-nari di udara. Gaunnya dihias sesuatu semacam bunga yang coraknya berlainan. Warna satu-satunya yang berbeda adalah peridot hijau samar yang menghiasi gaunnya.

Dia punya sedikit …. Tidak, kepribadiannya agak kacau. Namun Vika masihlah seorang pangeran, dan dia menjadi pengiring di sepanjang dansa dengan gerakan yang mengalir alami. Annette melompati pelajaran menari selama beberapa tahun terakhir dan tidak mendatangi acara sosial apa pun, tetapi dia masih mampu menari sempurna berkat dirinya.

Tetapi tidak menghiraukan itu, Annette tersenyum pahit. Bau parfumnya bercampur bau kolonye Vika sedikit menyebalkan. Vika itu seorang keluarga kerajaan—pangerannya Kerajaan Bersatu lagi. Parfum kolonye yang dia gunakan kualitas tinggi, hingga bahan-bahan yang digunakannya.

Bukan berarti parfum Annette murahan. Kedua parfumnya dibuat pabrik berbeda, keduanya pun secara teknis adalah produk kelas tinggi yang dibuat dengan tujuan dapat bercampur bau lain. Baunya takkan berbentrokan. Tapi …

“Oh tidak. Kurasa sepasang orang bodoh akhirnya menyadari tembakan perlindungan yang kuberikan.”

Annette tidak melihat orang bodoh saat mengatakannya, tapi Vika melirik mereka di saat putaran berikutnya.

“Begitu. Aku asumsikan kau memberi pernak-pernik serasi atau semacamnya, tanpa disadari mereka. Jujur, orang-orang bisa sebebal apa?”

“Kukasih tahu kalau itu hadiah ulang tahun. Kalung leher serasi dan manset. Kalau tahu mereka perlu selama itu untuk menyadarinya sebetulnya menjengkelkan banget.”

Lena tidak apalah, karena ulang tahunnya beberapa hari lalu, namun ulang tahun Shin bulan Mei, sebelum operasi Kerajaan Bersatu. Dua bulan penuh telah berlalu. Annette tidak menyembunyikan niatnya sama sekali pula, jadi fakta Shin tidak sadar membuktikan betapa tak peduli dan kurangnya perasaan spesial pada Lena.

Ternyata, Shin nurut ketika Annette menyuruhnya memakainya nanti di acara formal selanjutnya, jadi sekurang-kurangnya dia puas dengan itu.

Selagi Vika perhatikan, keduanya berdiri kaku laksana papan.

Belahan diri Annette ingin melihat rencananya membuahkan hasil, tentu saja, namun dia pun merasa keduanya sedikit polos seandainya memakai aksesoris serasi saja sudah membuat mereka semalu itu.

Vika mengembalikan perhatianya pada Annette kemudian bicara. Susah menebak isi kepala Vika, tapi kali ini dia kelihatannya betul-betul bersimpati pada lawan bicaranya.

“Kau kesusahan, ya?”

Annette mengangguk sungguh-sungguh, menjengkelkannya sampai-sampai pangeran ular ini menaruh simpati kepadanya.

“Kau tidak tahu seberapa susahnya.”

Segera setelah masing-masing dalam hati menegur sahabat mereka atau teman masa kecil, Lena sadar dan mengerutkan kening masam. Barusan terjadi lagi. Dia memanggil Annette, Rita.

“… tahun depan, di ulang tahunmu …. Tidak, tahun ini, Ulang Tahun Suci. Aku kirimkan manset baru. Garnet Pyrope. Seharusnya cocok dengan matamu.

“Kenapa?” Shin bertanya dengan ekspresi bingung. “Kenapa tiba-tiba begini?”

“Tidak kenapa-kenapa.”

Lena sembari cemberut memalingkan wajahnya. Lena tahu tingkah kekanakannya cuma membuat Shin kebingungan. Tapi menjelaskan sebab dirinya kesal itu memalukan. Bilang dirinya tidak ingin Shin memakai hadiah yang dia terima dari wanita lain … itu memalukan.

Selagi beralih darinya, Lena merasa wajahnya merona lagi.

Aku beneran menyukainya …

Kendati dari teman dekatnya, sekalipun Annette tidak bermaksud seperti itu, Lena tak ingin merasakan keberadaan wanita lain padanya.

Merasa demikian tentang Annette yang pasti melakukannya untuk menyemangatinya, mendukungnya, membuatnya sedikit bersalah. Tapi Lena masih tidak suka.

Aku tidak mau menyerahkannya. Tidak ke siapa pun.

Meski begitu, Shin adalah komandan operasi Divisi Lapis Baja Ke-1, dan Lena adalah komandan taktisnya. Sekalipun ini pesta untuk orang-orang Divisi Penyerang, mereka tidak bisa menghabiskan sepanjang malam bersama. Jadi keduanya berpisah sementara waktu tuk bicara dengan orang lain.

… sebetulnya, Lena pengennya dansa pertama bersamanya, namun firasatnya bilang semisal melakukannya, Lena takkan ingin melepasnya.

“Bolehkah aku berdansa denganmu, Kolonel Milizé?”

Olivier mendekat, berpakaian malam Aliansi. Rambut hitam panjangnya diikat di belakang kepalanya ditambah jepit rambut safir, sewarna matanya. Ditambah penampilan androgininya, jepit rambut ini terlihat cukup eksotis. Sekarang ini, Olivier kelihatan pria sepenuhnya—biarpun sangat kurus.

“Tentu saja, Kapten Olivier.”

Melihatnya saat ini membuat Lena sedikit membenci dirinya sendiri gara-gara sangat terintimidasi keberadaannya sebelumnya. Walaupun dia seorang perwira tanpa pengalaman yang masih remaja, Olivier masih menghormatinya dan berupaya membaur dengan Shin dan para Prosesor lain.

Lalu terjadi … itu.

Pura-pura mencium lembut tangan seorang wanita setelah meraihnya adalah tradisi wilayah selatan benua, termasuk Aliansi. Melihat Lena panik kala Shin melotot dingin pada pemandangan itu membuat Olivier tersenyum hangat.

Dasar anak-anak gampang ditebak, belum mahir menyembunyikan emosi mereka. Mendengar kabar burung mereka dikeraskan medan pertempuran dengan kematian pasti yang merupakan Sektor 86, dia pikir mereka adalah para pengamuk yang tidak lagi punya kemanusiaan. Dan dia kira Lena adalah ratu bersimbah darah berwatak jahat yang ‘kan menghancurkan 86 demi tanah airnya.

Rumornya menggambarkan mereka selayaknya sekelompok monster …. Dan kini Olivier malu sendiri sebab berpikir begitu. Karena mereka bukan monster. Mereka bukan juga pahlawan. Mereka itu anak-anak. Mungkin menyimpang sedikit—tapi tetap saja anak-anak. Mereka semua terlalu tidak dewasa.

Di sisi lain lantai dansa, konduktor melambaikan tongkatnya. Lantas lagu berikutnya dimulai.

“Kau tidak berdansa sama Shin, Kurena?”

“Ga.”

Wals tidak sulit begitu ritmenya diperlambat. Selagi menyusuri kembali langkah-langkah yang baru-baru ini diajari di sekolah, Theo mendapati dirinya bersenang-senang menanyakan itu ke pasangan dansanya.

Pangeran benar. Hal semacam ini tidak ada sakitnya. Kurena mengangguk dengan ekspresi yang agak segar. Tetapi masih ada suatu rasa-rasa renung konstan pada sikapnya.

“Maksudku, berganti pasangan itu normal di pesta seperti ini. Lihat? Lena saja berdansa sama Kapten Olivier. Dan Shin …. Hah. Kenapa dia dansa sama Frederica …?”

“Tidak apa …. Aku tidak bisa mendampingi Shin di tempat semacam ini.”

Mengatakan itu saja menurut Theo cukup manis. Theo tidak tahu banyak mengenai gaun dan aksesoris anak perempuan, tetapi rambut pendeknya diatur dengan cermat. Dia pun memakai riasan yang jadi pemandangan langka bagi Kurena.

Kurena mengenakan gaun kuning bakung cerah, pita lebar memanjang dari bawah bahunya sampai turun ke dada. Desain menawan. Roknya sedikit mengembang, dan setiap kali mereka berdua berbalik, roknya berdesir indah. Gaunnya terdapat kain tule kuning melengkung yang terpasang di belakang pinggang serta sepatu hak tinggi elegan nan sempitnya yang satu warna.

Semuanya kontras dengan ornamen perak yang sesekali terlihat seiring rambut cokelat kemerahannya berayun. Ornamen itu adalah selongsong senapan yang dijadikan anting. Kalau Ernst tahu ini, dia pasti melarang Kurena memakainya, bahkan Theo yang tidak terbiasa sama gaun atau ornamen, menganggapnya menonjol.

“Tidak.”

“Ayolah, Shinei. Aku akan mengurusmu sekali lagi sebelum acara utama, jadi pimpin.”

“… perbedaan ketinggian sangat mempersulit.”

“Bego, kau ini ngomong apa? Dengar, ya. Di perjamuan seperti ini, seorang pria tidak boleh mempermalukan seorang wanita. Simpanlah dulu dalam hati hal ini.”

Shin mau tidak mau merasa Frederica belum memenuhi syarat untuk jadi wanita, tapi dia tahu tiak perlu menyuarakan pikiran itu.

Nyawa Frederica diampuni ketika ditawan, karena dia masih seorang bayi. Meskipun kaisar Kekaisaran Giadian mati adalah penguasa boneka, Frederica senantiasa membawa benih malapetaka, sebab dia dapat digunakan untuk menggulingkan rezim. Revolusi mengubah Giad ke sistem demokrasi, tetapi dengan ancaman Legion yang membayang-bayangi negara, banyak bangsawan mempertahankan sebagian besar otoritas dan pengaruh mereka dalam Federasi.

Kini Zelene memberikannya informasi yang menjadikan Frederica jauh lebih berharga, dan Shin mesti memutuskan harus diapakan pengetahuan itu. Dia mempertimbangkan melaporkannya ke Ernst sekembalinya ke Federasi dan juga merasa harus memberi tahu Frederica sendiri. Namun dia tidak yakin apakah itu hal tepat untuk dilakukan ataukah melakukan hal-hal itu tidaklah cukup.

Shin semata-mata tidak cukup mengenal Federasi hingga membuat penilaian itu.

Frederica memiringkan kepala penasaran. Warnanya sama sepertinya. Mata merah darah dan rambut hitam—kombinasi tidak biasa di Federasi.

“Ada sesuatukah?” tanyanya.

“… tidak, bukan apa-apa.”

Sekarang bukan waktu atau tempat untuk mempertimbangkannya. Menggeleng kepala sekali, Shin membuang pikiran itu dari benaknya. Frederica mendengus.

“Aku tidak tahu apa yang mengganggumu, tapi kau harus membuang hasrat pribadimu. Khususnya malam ini. Tiada yang ‘kan menyalahkanmu dengan melakukannya.”

Shin merasa bibirnya nyengir. Kemampuan Frederica memungkinkannya menatap masa lalu dan masa kini orang-orang yang dikenalnya, namun dia tidak sanggup mendengar apa pun dalam penglihatannya. Jadi tidak seharusnya dia tahu yang Zelene katakan kepadanya.

“Ya …. Maaf.”

Dia wajib memikirkan pengungkapan masalah Frederica. Namun malam ini …. Paling tidak malam ini …

Malam ini …

“Anu, Shiden, bukannya menurutmu ini sedikit berlebihan …?”

“Aduh, siapa peduli? Cuma buat malam ini, di sini kita semua teman. Lagi pula, sekarang kudengar orang-orang tidak terlalu ketat-ketat sama hal semacam ini.”

Pasangan sesama jenis berdansa bersama umumnya tidak disukai. Lena yang dididik tuk mematuhi tradisi ini, mengerutkan alisnya. Shiden di sisi lain, sama sekali tidak terlihat memikirkannya. Jadi mereka berdansa wals lamban, dengan Shiden yang mengiring dan Lena mengikuti.

Lena pikir—bahkan heran sedikit—kalau Shiden pastinya belajar berdansa dari dua sudut pandang berbeda, karena gerakannya lancar bukan main. Para perwira dianggap punya kedudukan sosial tinggi dan diekspektasikan selalu bertindak sesuai adab dan mengikuti etiket. Maka dari itu, akademi perwira khusus menjadikan etiket sebagai pelajaran wajibnya, dan itu termasuk dansa ballroom2.

Meski begitu, mereka sedang perang. Jadi 86 diberi pelajaran etiket minimal tuk mengurangi jumlah waktu pengajaran. Namun disiplinnya Shiden tidak boleh diremehkan. Lena harap motifnya karena 86 yang menanti-nantikan pesta ini. Lena ingin mereka mengalami dan menikmati hal-hal baru.

Selagi Shiden mengiring dansa, matanya jelalatan, seolah menyadari semua orang di sekeliling mereka. Mata nila dan putihnya tidak beralih dari Lena. Tetapi bibir merahnya mendadak bergerak.

“Lena.”

Kaget oleh panggilannya, Lena menatapnya kemudian berkedip. Dia tidak memanggilnya Baginda. Rasanya seakan lama sekali waktu berlalu semenjak kali terakhir Shiden memanggil namanya. Keduanya cuma berkomunikasi lewat Para-RAID dan selama front bersatu sesudah serangan skala besar. Dia senantiasa asal memanggilnya Baginda. Shiden menyematkan tatapan kosongnya.

“Jangan khawatirkan apa-apa. Hari ini, kaulah bintangnya.”

“… kalau urusanmu sudah selesai, pulang sana, Willem.”

“Aku cuma kepikiran bahwa sebaiknya menyempatkan diri untuk menikmati kesempatan ini. Bagaimanapun, aku ini mantan bangsawan kekaisaran. Mengajari 86 etiket tidak ada salahnya.”

Apabila pesta ini mestinya menjadi tempat edukasi etiket mereka, mereka butuh seseorang untuk menjadi contoh. Grethe dan kepala staf, Willem, sepatutnya mengisi peran itu sebagai pasangan, tetapi suasana mereka tegang, kurang lebih.

Grethe sangat tak berkenan, dan angan berdansa bersama Willem adalah mimpi buruknya. Dia memakai gaun beludru hitam yang dihias manik-manik biru, membangkitkan citra langit malam. Sosok tinggi Willem berpakaian setelan pesta malam yang kekhasannya warna biru.

“Tidak usah cemas; usai lagu ini, aku akan memenuhi peranku kemudian mengajari salah satu gadis di sini caranya berdansa …. Apakah itu memicu kecemburuanmu?”

“Sedikit pun tidak.”

Grethe bermaksud mengajar anak laki-laki pula setelah ini.

“Tapi kau layak mendapat pujian …. Terima kasih sudah membawa mereka ke sini,” kata Grethe.

Mendengar itu, kepala staf memandang heran dirinya.

“… sepantasnya jangan berterima kasih. Ini cuma caraku membuat alibi. Jadi selama kita kelihatan berusaha sebaik mungkin demi mereka, nanti pasti takkan ada yang menyalahkan Federasi. Apa pun yang kita perbuat.”

Suatu hari, entah apa alasannya, datang waktu Federasi dan warga negaranya menganggap 86 sebagai orang luar lalu mengusir mereka. Semisal 86 membuktikan diri mereka tak mampu hidup damai dalam maysarakat, konflik bisa meletus.

Jadi bila mana Federasi dapat menunjukkan kalau perlu waktu dan usaha untuk mengedukasi serta merawat mereka, mereka bisa menjaga nama baik. Mereka bisa naik banding ke negara-negara lain serta warganya—selanjutnya meyakinkan mereka bahwa pilihan satu-satunya hanya mengusir 86.

Banter-banternya, ini jaga-jaga saja. Asuransi. Itulah sebabnya mereka memilih Aliansi—negara lain—sebagai tujuan trip ini.

“Aku tidak peduli. Selembar kertas sudah cukup bukti bahwa kau mencoba, tapi kau betul-betul mengusahakannya …. Dan anak-anak ini pastinya menghargai usaha itu.”

Kepala staf mendengus lirih.

“… aku benci caramu membiarkan emosi mengendalikanmu.”

Grethe terkekeh.

“Tapi aku suka itu, soal walaupun betapa dinginnya kau ini, kau tidak pernah benar-benar jahat.”

Lena berdansa bersama beberapa anak-anak laki lain serta anggota kru pemeliharaan yang berpakaian pesta malam sama dan tidak bisa tidak hadir meski tujuan pestanya bukan untuk mereka. Lena bicara dengan orang-orang yang tak sering dia ajak bicara, makan beberapa hidangan pembuka di meja, kemudian tersenyum pada beberapa tawaran canggung wals.

Dia adalah komandan taktis seluruh skuadron, jadi dia berdansa sama sejumlah orang. Dan tanpa disadari, pesta malam hampir mendekati klimaks. Musik wals berakhir, dan Lena membungkuk ke Guren yang gugup tidak seperti biasa selagi Lena berpisah dengannya.

Namun begitu berbalik, sepatu hak tingginya mengklik lantai, matanya melebar. Bau jintan saru akrab—aura dingin bermartabat pertengahan musim dingin—menyelimutinya. Lena mendongak, matanya tertuju ke sepasang mata merah darah yang satu kepala lebih tinggi darinya.

Rupanya, Shin juga tidak menyadarinya, sebab saat bertemu dengannya, mata Shin membelalak sedikit.

“… Shin.”

“Lena.”

Berdiri di belakangnya adalah Shana yang baru saja kelar berdansa dengan Shin. Shana menatap Lena kemudian mengangkat bahu dan berjalan menjauh. Kulit cokelat Shana tipikal keturunan Deseria, sekaligus rambut hitam panjang dan mata biru.

Seperginya, gaun merah tua yang dihias warna merah cerah dan pola perak berkibar seiring langkahnya. Tatapan sekilas memperjelas Lena bahwa selagi berdansa wals, Shana pura-pura membiarkan Shin mengiring dansanya padahal sebetulnya membimbing Shin ke dekat Lena.

Annette, Shiden, Shana …. Mereka semua kasualnya mencoba membantu Lena. Seperti halnya Lena, Shin barangkali sehabis berkeliling. Kewajiban seorang pria pada kesempatan semacam ini untuk menghampiri wanita manapun tanpa pasangan dan memulai percakapan atau menawarkan dansa.

Bisa dibilang, anak-anak laki lain semuanya sangat muda dan pemalu, lantas diserahkan kepada Shin, komandan mereka, untuk memberi contoh. Dia bisa jadi bahkan lebih berkewajiban ketimbang Lena untuk menawarkan dansa.

Namun saat ini dia bergerak sempurna, tidak sekali pun tak tahu arah. Mata mereka bersilangan. Momen itu rasanya berlangsung abadi—ibarat mereka menyerahkan diri masing-masing ke jiwa dan raga satu sama lain. Pendahuluan lagu berikutnya menyadarkan mereka.

“Bersediakah berdansa denganku, Lena?” Shin-lah yang pertama kali mengerahkan keberanian.

“I-iya.” Lena nyaris refleks meraih tangan terulurnya.

Tangan Shin besar dan keras. Mereka saling membungkuk, dan Shin buru-buru menaruh tangan kosongnya ke pinggang Lena. Selagi mendukungnya, Lena merasa dirinya cepat tidak tenang.

Irama musik mencepat, dan Shin yang pertama melangkah. Mereka bergerak lambat mengikuti melodi, bagaikan burung pantai melebarkan sayap. Shin mengiringnya dengan luar biasa anggun, membuat Lena diluapkan emosi, ibarat dirinya kelopak bunga yang menunggangi angin musim panas.

Lena diliputi euforia. Dia merasa dapat menyerahkan apa pun kepadanya, namun di saat yang sama, dia resah emosinya akan membanjirinya. Lena ingat guru dansa Shin mengomel-omel tentang seberapa cepatnya dia belajar, teapi Shin sendiri terlampau tidak termovitasi.

Mereka cuma punya satu kursus, dan hanya mencakup dasar-dasarnya, tetapi Shin adalah seorang 86 yang bertahan hidup dari Sektor 86. Langkahnya ringan dan mudahnya mengikuti langkah sederhana pelajarannya. Apalagi berdansa tidak cuma perlu bergerak menyesuaikan alunan musik tetapi harmoni antar pasangan, mereka sudah terbiasa kerja sama perihal mengalahkan Legion.

Malah, Lena-lah yang goyah. Dia berasal dari keluarga baik-baik di Republik dan sudah diajarkan wals serta dansa lain juga. Dan dia berdansa natural bersama cowok-cowok 86 lain, bersama Marcel dan Vika juga Olivier. Tetapi entah kenapa, dia sekarang tidak ahli. Dia terus-terusan selangkah di belakang ritme, mencoba berdiri hanya membuatnya tersandung.

Dia begitu karena jantungnya berdetak satu mil per menit dan percik-percik api berdebar dalam benaknya. Kakinya anehnya goyang. Dia bertanya-tanya Shin bisa mendengar jantungnya berdebar-debar atau tidak, tetapi dia gugup menatap matanya. Bagaimana kalau Shin melihat isi hatinya?

Jadi Lena tidak mendongak langsung. Namun wajah Shin, biar sedikit tidak jelas, ekspresinya tenang nan tulus sama.

“…”

Padahal Lena sudah segirang ini, bahagianya bukan kepalang sampai-sampai rasanya mau mati di tempat, tapi Shin sesantai itu.

Tidak adil … Lena mengerutkan kening, wajahnya memerah.

Kendatipun Lena merengut di depannya—atau tepatnya, dalam lengannya—Shin tidak menyadari. Kepalanya sibuk sekali membuat ulang langkah yang dipelajarinya kurang dari sebulan lalu.

Ini bukan kelas etiket, sekalipun antara lingkaran teman dan koleganya, ini kali pertama dia berdansa di pesta sungguhan. Bukan dansa malam pertamanya, tetapi merasa sangat bersemangat soal berdansa adalah perasaan baru. Pasangan pertamanya adalah Frederica, dan dia berdansa dengan banyak wanita lain hingga berpasangan dengan Shana yang selama ini senyum diam-diam. Tidak satu pun pasangan dansanya membuatnya sebingung sekarang.

Dan entah kenapa, insting mengkhianatinya. Dia berdoa saja Lena tidak mendengar gugup megap-megapnya. Akan sangat memalukan. Shin bisa mendengar detak jantungnya, semua nadinya meledak di telinganya seperti bel alarm.

Shin tahu mestinya dia disibukkan pasangannya, tapi dia tidak kuasa melihat langsung muka Lena. Dia tahu seketika dia melihatnya, dia akan langsung membeku. Lena asalnya dari keluarga berkedudukan tinggi di Republik dan barangkali sering berdansa wals sebelumnya, jad Lena takkan mungkin gugup. Dan meskipun dia tidak benci atau tak suka apa pun tentang Lena … menurut Shin sendiri tidak adil.

Namun terlepas dari itu, diiringi musik elegan, keduanya perlahan-lahan lebih nyaman dengan kondisi satu sama lain. Semua ketegangan meleleh begitu saja. Lagunya berakhir, dan etiket menyuruh mereka membungkuk, menjauh dari satu sama lain, dan mencari pasangan dansa baru. Tetapi setelah membungkuk pun, mereka berdua tidak melepaskan tangan pasangannya.

Mereka tidak ingin putus. Mereka saling memandang, berkomunikasi bahwasanya mereka tidak mau berpisah. Ada jeda sebentar di musiknya selagi orang-orang mencari pasangan dansa baru. Tetapi tangan mereka tetap saling menggenggam sekalipun lagu berikutnya dimulai.

Berdiri di pojokan ruang dansa, Lerche bersandar di dinding bagai bayangan. Dia tidak bisa menghadiri pesta sambil membawa pedang, lantas dia tidak membawa saber-nya, tetapi dia berseragam merah, dan rambut pirangnya diikat seperti biasa.

Pelayan mendatanginya beberapa kali, menawarkan minuman, namun dia tidak bisa minum jadinya menolak sopan beberapa kali. Ada beberapa kursi berjejer di dekat dinding untuk mereka yang lelah berdansa. Duduk di salah satunya adalah Frederica. Lerche berjalan malangkahi lantai yang berdesain jalinan utas.

“Salam, putri kecil. Haruskah saya bawakan minuman?”

“Tidak, jangan hiraukan aku. Aku jarang-jarang mendatangi urusan sosial semacam itu.”

Kakinya tidak menempel lantai, jadi dia ayun-ayunkan saat menonjol dari bawah gaunnya. Dia harusnya tampil di acara sosial ketika lebih tua, dan umurnya belum cukup. Alhasil dia tidak pernah menghadiri pesta semacam ini.

Rok berbentuk kelopak mawar mengembangnya menjuntai sampai lutut. Gaun sutra hijau pucat, ditambah pita perak dan renda. Rambutnya tidak diikat tetapi dilengkapi pita perak pula. Kesemua itu mengeluarkan kecantikan ayu nan halusnya, namun keseluruhan pakaian ini tidak untuk dipakai seorang gadis seumurannya.

“Kau tidak berdansa?” tanya Frederica.

“… saya terlalu kikuk, jadi takut.”

Pengetahuan berdansa, langkah-langkah dasar yang diperlukan untuk berdansa wals atau minuet tradisional, semuanya disimpan dalam otak buatannya. Tapi bukan berarti dia tahu caranya berdansa. Semua itu hanya rekaman. Bukan pengalaman, apalagi ingatan.

“Aku bertanya apakah kau tidak berniat berdansa sedikitnya satu kali dengan tuanmu. Kau bisa saja memintannya mengiringmu, dan jika dia melakukannya dengan baik, kau tidak usah melakukan apa-apa.”

“Duh. Apa Mata Anda melihat sesuatu, putri kecil?”

“Bukan darimu. Dari tuanmu. Saat seseorang kuat sekali merasakan sesuatu, aku mau tidak mau melihatnya,” tambah Frederica, sedikit merasa bersalah. “Tapi aku merasa dia sebenarnya menunggumu. Seorang pengawal merupakan pedang dan perisai tuannya, tetapi tuanmu tidak menganggapmu sebagai senjata belaka.”

“…”

Mungkin begitu. Tapi sekiranya benar …

“Nanti membuat saya … sedikit kesusahan.”

Begitu mata merah tua si gadis menatapnya, Lerche mengangkat bahu.

“Saya semata-mata peti mayat. Peti mati yang diciptakan mirip model saya. Dan yang diperkenankan berdansa bersama peti mati hanyalah orang mati.”

Jadi, karena Vika masih hidup, Vika tak bisa memegang tangannya. Sebab hal terburuknya, Lerche, yang sudah mati sebagaimana dirinya sekarang, bisa-bisa menyeret Vika ke kematiannya bersamanya.

Lagu dimainkan, berikutnya berakhir. Lagu lain dimainkan, berlangsung, lalu berhenti. Dan tidak disadari, postur mereka yang tetap berwibawa dan elegan, alamiahnya kurang tegang. Ibaratnya kesadaran Lena dan Shin bersatu, dan mereka entah bagaimana tahu gerakan satu sama lain. Pada awalnya, mereka mematuhi tempo wals, tetapi tidak lama setelah itu, Shin bersama Lena malah saling menyamai pase.

Kedua jantung mereka degup berbarengan. Dan kebahagiaan itu memabukkan mereka. Masing-masingnya merasa lengkap, komplet. Semuanya sekarang jelas. Mereka mendongak, senyum riang tergambar di bibir.

Jika, suatu saat, mereka kehilangan jejak keinginan mereka akan masa depan …. Bila mereka takut mengambil langkah selanjutnya. Seandainya mereka goyah, disakiti sesuatu, gentar dan menghentikan langkah …

Masing-masingnya hanya perlu saling berpegangan tangan seperti saat ini.

Perasaan itu tidak diutarakan kata-kata, tapi begitulah yang terlintas. Laksana ilusi sesaat, simpati yang pecah begitu musiknya berakhir. Tapi tatkala itu, mereka tentu merasakannya.

Mereka bisa sempurna memahami satu sama lain.

Bintang-bintang musim panas berkelap-kelip di langit-langit kaca tua, menghormati momen mereka sekarang ini. Bau manis bunga nokturnal terbawa udara malam dingin dari teras di sisi lain jendela besar.

Melihat cahaya bintang menyadarkan Lena hari mulai larut. Beberapa lagu lagi, mereka akan diberi amanat terakhir malam itu, berikutnya pesta berakhir.

Tidak. Tidak boleh. Tidak bagus.

Tidak … aku harus menyatakannya sebelum berakhir. Karena begitu pesta ini selesai, aku akan terbangun dari mimpi ini. Kembali ke diri pengecutku. Aku cuma menjadi gadis yang pura-pura kuat.

Jadi sebelum bel terakhir berbunyi …. Sebelum gaun perak itu menghilang … Sebelum Lena kehilangan sandal kacanya …. Pesta ini, musik ini, dansa ini—semuanya sihir. Sihir yang menggerakkan hati umat manusia, membuat orang-orang mengesampingkan martabat, melepas zirah mereka, membuang segala yang menahan mereka. Memberanikan seseorang tuk menyatakan isi hati dan pikirannya.

“Shin …. Nanti, anu …”

Meski begitu, perlu keberanian besar untuk menuntaskan kalimat tersebut. Jadi dia bicara, suaranya selirih-lirihnya.

“Bisakah kita, um, bicara …? Aaah!”

Membiarkan suasana hatinya berubah menjadi hal lain di tengah dansa berakibat tumit sepatunya menginjak jahitan kecil dalam lantai kayu dipelitur. Tubuhnya meluncur ke depan, dan Shin segera menangkapnya. Wajah Lena tenggelam ke dadanya sembari menempel padanya.

Momen ajaib itu, momen detak jantung mereka saling bertindihan. Jantung mereka mulai berdebar tak sinkron sekali lagi. Ketahuan dalam posisi seolah tengah berpelukan, keduanya merasa seakan perbuatan orang lain yang mendesak mereka ke situasi ini.

Detak jantung sekali lagi menjadi lonceng alarm, mengingatkan mereka akan fakta bahwa keduanya teramat gugup.

Shin pikir tubuh dalam pelukannya serasa lembut dan halus sekali sampai-sampai bakalan hancur jika terlalu kuat dipeluk.

Lena pikir tubuh yang dipegangnya jauh lebih kekar dan kuat dari yang dibayangkannya—tubuh pria.

Ya, begitu mereka sadar, keduanya merona—terutama Lena, yang sama sekali tak terbiasa sama keberadaan lawan jenis, lalu semua darah mengalir ke kepalanya, membuatnya pusing.

“Lena?!” Shin berbisik, panik sedikit.

Semua orang di sekitar mereka masih sedang wals. Lena memegang lengannya mencari dukungan, kepalanya berputar-putar. Tubuhnya memanas, dan rasanya dia mau meledak. Frederica dan Raiden yang kebetulan berdansa di dekat mereka membisikkan sesuatu pada Shin.

“Kalian berdua kelamaan berdansa. Dia pasti pusing.”

“Mengapa tidak ke teras saja untuk mencari udara segar? Kau harus menemaninya ke sana, Shinei.”

Shin pergi, membawa Lena bersamanya, dan seperginya mereka, dua orang penonton mendesah.

Seriusan, pasangan itu …

“Ah, kelihatannya Shin akhirnya membawa keluar Lena.”

“Mereka berdua fokus banget sama satu sama lain sampai lupa diri sendiri …. Tapi tidak ada yang berani menyatakan cinta sambil ditonton semua orang.”

Theo dan Annette menghampiri mereka lalu diikuti Raiden yang mengangkat alis. Benar, dia setuju dengan perkataan itu, tapi …

“Kalian pasangan aneh.”

“Yah, semua orang bertukar pasangan sampai kami berdua yang tersisa.”

Theo mengangkat bahu.

“Dan pikirku diam saja tidak bagus di pesta seperti ini,” tambah Annette.

“Kurena mana?”

Theo dan Annette melihat ke tengah ruang dansa, di sana Kurena lagi berdansa bersama Shiden.

“… dua gadis patah hati berdansa bersama, barangkali?” duga Frederica.

“Hentikan,” Raiden menegurnya.

“Bentar, dua gadis patah hati?”

Annette mengangkat alisnya, terkejut. “Maksudmu Shiden …? Hah. Kurasa dia lebih sering bertengkar dengan Shin ketimbang Lena …”

“Apaan, kau tidak tahu?” tanya Theo padanya. “Maksudku, di Sektor 86 dulu, orang-orang cuma menyukai siapa pun yang disukai. Tidak seorang pun memikirkannya sampai kami tiba di Federasi …”

“Jangan-jangan …”

Annette sedikit heran oleh pembeberan ini.

Sepasang pintu kaca ganda besar mengarah ke teras batu dari ruang dansa, terasnya sendiri cukup besar sampai-sampai bisa menghelat pertemuan sendiri di sana. Pahatan batu abu-abu yang dipelitur bersinar pucat di bawah cahaya bintang. Kendati masih musim panas, negara ini masihlah pegunungan, dan angin malam dataran tinggi itu cukup kencang.

Pagar teras dibuat dengan gambaran tanaman mawar merambat disertai bunga putih harum yang menutupinya. Tamu yang pusing karena alkohol atau berdansa akan berangsur-angsur merileks di sini. Beberapa bangku metalik pelengkap yang disusun sejajar ditempatkan di sekitarnya, kemudian Shin mendudukkan Lena ke salah satunya.

Terasnya menyuguhkan pemandangan danau di sebelah hotel, sekaligus langit malam. Salju cair mengalir ke sungai, menjadikannya terlampau dingin untuk berenang di sana bahkan selama musim panas. Angin dingin bertiup dari puncak bersalju yang senantiasa membekukan air.

Seorang pelayan menghampiri mereka sambil membawa nampan berisi minuman dingin. Shin mengambil dua gelas dan memberi satunya ke Lena. Isi gelas bergalur mendesis lirih dan memancarkan bau samar alkohol sari apel serta aroma mint menyegarkan.

Setelah menyesapnya beberapa kali, Lena mendesah dalam-dalam.

“… maaf. Aku rasa sekarang sudah tidak apa-apa.”

Terpikir olehnya bahwa ini pertama kalinya dia membuat kesalahan seperti ini. Lena tidak suka pesta, tapi dia terbiasa. Atau kurang lebih, sekiranya. Namun dari semua orang, berbuat salah di depan Shin …

“Kau pati kelelahan. Kita lagi cuti, tapi bersenang-senang ada letihnya juga.”

“Sebagiannya mungkin karena itu, tapi …”

Lebih parahnya, kau yang duduk di sampingku … membuatku ingin tidak berbuat salah. Aku jadi gugup. Iya …. Pasti karena itu.

“Maaf.”

“Kali ini kau minta maaf gara-gara apa?”

“Um …. Kau pastinya ingin bicara sama lebih banyak orang, tapi kau malah di sini, merawatku.”

“Oh.”

Usai perkataan apatisnya, Shin meneguk isi gelasnya.

“Tidak jadi soal. Ini pesta, tapi kita kenal semua orang yang hadir. Aku bisa bicara pada mereka kapan pun. Dan …”

Dia terdiam, tetapi Lena tak langsung menyadari jeda sementara itu, nada suaranya yang sedikit lebih tinggi. Tetapi pelayan tua yang sudah bekerja bertahun-tahun lamanya di hotel ini yang bisa membaca suasana hati para tamu, menyadari sinyalnya. Dia mendekati keduanya layaknya bayangan kemudian mengambil gelas itu dari mereka, lalu mundur dengan kecepatan sunyi yang sama, meninggalkan keduanya sendirian di teras.

“… aku hanya ingin menghabiskan hari ini bersamamu,” akhirnya Shin menuturkannya.

“Huh …?” Lena mendongak kaget.

Tepat tatkala itu, sesuatu menyala di luar teras, di bayangan permukaan tenang danau yang beriak. Bukan bayangan, melainkan perahu. Siluet beberapa perahu mini. Sesuatu menembak dari perahu-perahu itu, menyisakan jejak cahaya di belakangnya selagi membumbung ke langit. Menghasilkan suara siulan seketika menembus udara dan mekar membentuk bunga api dalam gelapnya langit malam dengan ledakan menggelegar.

Masih mendongak, Lena bangkit berdiri, laksana ditarik. Yang mereka saksikan adalah …

“Kembang api.”

Kala itu, langit-langit kaca diwarnai pancaran warna-warni. Api bermekaran di langit menyusun lingkaran cahaya. Dan dikarenakan kilat cahayanya, dansa berhenti, berikutnya mereka mendengar suara gemuruh kecil ledakan. Namun lebih kecil ketimbang tembakan meriam yang 86 biasa dengar. Suara bubuk mesiu hitam meledak.

Bara yang berkilauan jatuh menghujan dari langit bak debu bintang. Reaksi menyala mewarnai langit hampa bulan baru dengan tujuh warna terang. Suara musik bergema lirih di ruang dansa hening.

Semua orang tiba-tiba menatap ke atas, dilanjutkan nyala bunga ketiga bermekaran di langit.

“Kembang api …?” bisik seseorang menggema keras dalam ruangan.

Dan bisikan itu sebagai sinyalnya, semua orang mulai bersorak.

“Kembang api!”

“Sudah lama tidak melihatnya …”

“Sudah, kira-kira, sepuluh tahun, kan …? Waw …!”

Sesosok berdiri di belakang, di sana dua tangga digabung menjadi panggung kecil. Tubuhnya rupawan dan tegap khas orang-orang Aliansi serta mengenakan tunik merah asli. Dia manager hotelnya.

Sesudah memastikan semua pasang mata tertuju kepadanya, dia membungkuk berlebihan, berikutnya bangkit dan bicara dengan suara jelas.

“86 dari Divisi Penyerang 86, tentara Federasi!”

Ruang dansa dapat menampung lebih dari seratus lebih orang yang memang sekarang jumlah hadirinnya sebesar itu, jadi suaranya mencapai semua orang tanpa perlu mikrofon. Tanah pegunungan ini, dengan padang rumput langkanya, kebanyakan beternak kambing gunung. Jadi para gembala yang tinggal di negeri ini dilatih bicara lantang untuk berbincang dengan gembala lain di gunung sebelah.

“Kalian, yang bertahan dari Sektor 86, telah berjuang dengan baik hingga mengunjungi negeri kami dan berdiri di kaki gunung suci tempat sang raja naga bersemayam. Tuk mengakhiri perayaan menyenangkan ini dengan positif, hotel kami mempersembahkan tampilan ini. Kami harap kalian menikmatinya!”

Di bawah kembang api yang melesat ke udara dan melukis langit dengan semua rona, orkestra sekali lagi memainkan lagu mars ceria.

Di saat semua teman mereka bersorak-sorai di sekitar, Raiden, Theo, dan Kurena, melihat kembang api sambil menghargainya dalam hati.

“Kurasa pertunjukan kembang api terakhir yang kulihat waktunya sekitar saat ini dulu, ya? Rasanya sudah lama banget.”

“Waktu itu kami masih banyak yang hidup. Tidak cuma berlima.”

Dua tahun lalu, mereka masih bagian skuadron pertahanan pertama Sektor 86. Republik menyatukan skuadron Spearhead dengan niat menghabisi mereka semua, dan kala itu, sudah separuh yang gugur dalam tugas.

Tatkala itu akhir musim panas, dan waktu mereka kurang dari satu bulan hingga seluruh rekan mereka mati. Tetapi mereka belum sama sekali memberi tahu Lena, dan kesemuanya bersiap-siap akan kejadian mendatang.

Tapi malam itu, mereka bisa melupakan segalanya. Ketetapan itu, penat yang tidak lagi sanggup mereka sisihkan, amarah murka yang mereka rasakan, serta kengerian yang mereka tahan-tahan karena tahu semuanya akan tanpa arti. Di malam itu saja, mereka tidak perlu memikirkannya.

Mereka mengingat stadion sepak bola hancur yang tercampakkan, langit gelapnya diliputi warna. Langit medan perang yang tidak kenal kembang api selama bertahun-tahun, menyala dengan api menyilaukan.

Mengingat kembali saat ini, pertunjukkan dulu itu sederhana. Tetapi rasanya masih mewah. Tiada yang mampu menyaingi betapa berharganya pemandangan langit yang diterangi kembang api kala itu.

Semua Prosesor dan kru pemeliharaan yang menyaksikan momen itu sudah mati, terkecuali mereka berlima. Walau, barangkali masih ada sejumlah penyintas dari unit pertahanan pertama, kedua, ketiga, dan keempat yang hadir dalam ruangan ini. Dan mereka kebetulan berada di area sama dan melihat penampilannya. Atau mungkin tidak di sana, sebab semuanya sudah mati.

Tatkala itu, kenyataan tersebut tidak membuat mereka merasa aneh. Karena dulu, mereka masih …

“Kami semua mengira … itulah hal terakhir yang kami lihat,” kata Kurena tenang.

Anju berdiri diam, memandang pancuran warna-warni menyilaukan diproduksi kembang api, warnanya sedikit diubah oleh kanopi kaca tua.

“… kali terakhir …”

Selagi Dustin mendekatinya, Dustin menunggunya melanjutkan. Dustin tidak tahu dia bicara kepadanya atau bicara sendiri, namun suaranya berat karena sedih.

“Kali terakhir aku melihat kembang api … Daiya sudah tiada.”

“…”

“Dustin … maaf. Aku masih tidak bisa menganggapmu seperti aku menganggap Daiya. Dan entahlah nanti aku bisa atau tidak. Tapi tolong …”

Bunga-bunga yang menyala telah bermekaran, kelopak terbakarnya menghilang secepat kemunculannya. Cahayanya tidak seterang cahaya siang hari, tetapi dampaknya cukup besar. Melihat semuanya, Anju bicara. Bagaikan doa sementara, terlalu lemah untuk bersinar melawan gelapnya kenyataan.

“Jangan tinggalkan aku. Jangan mati terus meninggalkanku sendirian.”

“… tak akan.”

Dustin kira 86 tidak takut akan kematina. Ketika dia melihat wajah Shin, melihat spesimen otak yang dibedah di Labirin Bawah Tanah Charité. Sesaat Dustin melihat dirinya bahkan tidak tergerak setelah melihat puluhan ribu mayat membusuk menumpuk.

Dua bulan Dustin bertarung bersama mereka semenjak serangan skala besar, mereka bertindak selayaknya senjata berbentuk manusia yang tidak bereaksi begitu melihat rekan-rekan mereka diledakkan tembakan musuh.

Dustin kira mereka terbiasa. Dustin kira kematian orang lain tidak berarati apa-apa bagi mereka.

Tetapi itu tidak benar. Itu hal paling tidak benar. Meskipun mereka disakiti oleh hal itu berkali-kali, teman mereka mati satu per satu, sampai tidak dapat mereka tahan lagi. Hingga membekukan hati mereka agar tidak lagi perlu menahan rasa sakitnya.

Namun kini Dustin merasa mereka bisa mencairkan hati membeku mereka. Karenanya dia katakan itu …. Biar dirinya takkan lagi mendesak hati Anju membeku lagi …

“Aku janji. Aku takkan mati dan meninggalkanmu sendirian. Apa pun yang terjadi.”

Ж

Báleygr—tidak, prajurit 86 yang dikenal sebagai Shin—hari itu tidak datang menanyainya. Rupanya, dia punya urusan lain. Dan begitu dia dan skuadronya kembali ke Federasi, dia pun akan dipindahkan ke fasilitas Federasi, jadi Zelene sekarang ini sekali lagi dalam kontainer transportasi. Dia tengah duduk dalam hening gelap. Kontainernya dilapisi dinding logam, berarti mencegah transmisi masuk-keluar apa pun.

Menyampaikan pesan tersebut ke umat manusia dalam tipe Mobilitas Tinggi masuknya pertaruhan. Taruhan yang peluang menangnya kecil, saat itu. Seharusnya tidak ada manusia hidup yang dapat mengalahkannya. Kendatipun ada, peluang mereka melacaknya kembali ke dirinya, jauh dalam wilayah Legion di Kerajaan Bersatu, bahkan lebih suram.

Siapa pun yang mampu mengalahkan tipe Mobilitas Tinggi haruslah seorang prajurit, dan prajurit adalah mereka yang bertindak sebagai bilahnya negara. Sumpah tugas mereka adalah berkorban demi tanah air, demi orang tersayang mereka. Kebanyakan orang yang mendapat wewenang tuk mengomandoi Legion takkan menggunakannya untuk menghentikan pasukan mekanis. Mereka semata-mata mengarahkan pedang Legion ke negara lain.

Percakapan awalnya dengan Shin meyakinkannya bahwa pertaruhannya benar gagal. Seorang prajurit Federasi apalagi keturunannya Nouzen—keturunan petarung biadab yang paling berkuasa se-Kekaisaran. Salah satu keturunan yang memandang pembunuhan sebagai kemuliaan dan warisan.

Tetapi hal terburuknya adalah tatkala dia menghadap dirinya, dia tidak membenci atau memusuhi Legion. Dia tenang dan pendiam sekali sampai-sampai mesti menanyakan kewarasannya. Seorang pria yang tidak sedih maupun murka pada kematian keluarganya sendiri dan rekan-rekannya adalah pria yang dari awal tidak punya cinta. Seorang pria yang tak marah terhadap ketidakadilan adalah pria yang diam-diam menerimanya.

Lantas dia tidak bisa memercayakan keinginannya kepada orang semacam itu.

Tapi itu tidak benar. Penilaian awal dirinya sudah keliru, dan selagi Zelene duduk dalam kontainer gelap itu, Zelene lega dirinya salah.

<<Bisa kau lihat ini, No Face …? Tidak …. Kau kemungkinan tidak bisa. Kau takkan lagi bertindak demi diriku. Karena kau tak lagi membutuhkanku.>>

Akulah Legion, Sebab Kami Banyak. Sifat Legion membuat mereka semua barang yang bisa dibuang. Weisel yang letaknya jauh dalam wilayah Legion mampu mengeluarkan Legion tak terhitung jumlahnya setiap waktu. Dan bahkan itu berlaku pada Zelene. Unit komandan yang sama bisa dibuangnya.

Sepertinya tidak perlu waktu lama hingga Gembala lain menggantikannya sebagai unit komandan pemimpin front Kerajaan Bersatu. Tidak ada yang berubah. Itulah metode Legion tuk menginjak-injak setiap upaya strategi asal-asalan dengan jumlah akbar belaka. Absennya Zelene tidak berpengaruh banyak terhadap kesatuan mereka.

Karenanya, No Face, sekaligus unit komandan Legion lainnya yang mendirikan jaringan terintegrasi Legion, tidak mencari-cari dirinya. Tidak melihatnya. Mereka semata-mata menghapus catatan, sebagaimana yang mereka lakukan seketika satu prajurit dihancurkan.

Dan dengan butanya mata mereka kepada Zelene, mereka pun buta kepada skemanya.

<<No Face …. Tidak—>>

Tanpa bersuara atau berkata-kata, dia membisikkan namanya dulu semasa hidup. Dahulu, mayoritas Legion masih punya banyak waktu tersisa dalam rentang hidup awal prosesor sentral mereka. Tapi mengetahui jangka waktu itu akan berdetik ke angka nol, mereka mulai mencari-cari solusi—suatu pengganti.

Dan salah satu jaringan saraf yang diasimilasi dari mayat orang mati kemudian digunakan sebagai penggantinya dulu adalah No Face.

Sewaktu itu, Zelene tiba di front anti-Kerajaan Bersatu. Sekalipun belum melihat mayatnya secara langsung atau terlibat dalam pembedahannya, Zelene adalah unit komandan dan, maka dari itu, mendapat laporan dari jaringan terintegrasi Kerajaan Bersatu.

Dan karena itulah dia tahu namanya. No Face sendiri sudah lupa nama, sekaligus ingatan wajahnya. No Face adalah purwarupa belaka, namun sekarang dia dipilih sebagai salah satu unit komandan jaringan terintegrasi. Dan alasannya adalah …

<<Aku akan menghentikanmu …. Karena keadaaan saat ini, kau bahkan bukan Legion lagi.>>

Mata perak Lena melihat langit sewaktu sisa debu bintang terakhir meninggalkan jejak finalnya. Kembang api sudah usai, menyisakan air terjun cahaya. Gema menghilang dari langit. Percik warna-warni berkilauan selagi terbakar dan bertebaran.

Menatap pemandangan ini janggalnya membuat Lena merasa sangat sedih. Perasaan ganjil ketika musim-musim berganti, kehampaan yang sering kali orang-orang rasakan di penghujung perayaan. Kesendirian menyedihkan akan memikirkan kembali sesuatu yang telah tiada. Duka sejenak setelah berpapasan momen yang takkan pernah lagi kau alami.

“Sepertinya kita tidak akan melihat kembang api Festival Revolusi lagi.”

Lena merasa mata orang yang berdiri di sebelahnya balik menatapnya. Tidak membalas tatapan, Lena tenggelam dalam lamunannya. Festival Revolusi. Festival Republik yang dirayakan di puncak musim panas, bulan Agustus. Kembang api akan meledak di langit kota kotor yang tercemar—kembang api yang tidak dihiraukan siapa pun.

Namun biar begitu, Lena masih berjanji akan melihat kembang api tersebut bersama-sama dengannya. Dua tahun silam, di malam hari Festival Revolusi. Tidak tahu kebenarannya, sebulan setelahnya, unit Shin akan dikirim ke mars kematiannya.

Di bawah langit yang sama, sebelum mereka melihat wajah satu sama lain.

“Festival Revolusi sebetulnya akan segera dimulai. Tapi kita terlalu sibuk sama pelatihan dan penguasaan Armée Furieuse …. Kau mendengar pengarahan selanjutnya, kan?”

“Iya. Negara cekungan utara, kalau tidak salah. Ada pangkalan Legion di tempat yang menyusahkan. Divisi Lapis Baja Ke-2 dan Ke-3 kesusahan mengurusnya dan memutuskan mundur.”

Negara cekungan utara adalah kumpulan negara-negara kecil yang terletak di utara Federasi dan timurnya Kerajaan Bersatu. Negara-negara ini bersatu tuk melawan ancaman Legion. Selama satu bulan terakhir dan bahkan kini, unit operasi Divisi Penyerang ditempatkan di sana untuk membantu mereka.

Mereka dipercaya menembus kepungan Legion di seluruh negeri, tetapi pertempuran itu mengungkap keberadaaan pangkalan musuh. Divisi Penyerang dipaksa masuk ke pertempuran lebih sulit dari yang diantisipasi, dan diputuskan mereka perlu ditarik mundur kemudian menilai kembali situasinya.

“Republik … menganggap Festival Revolusi sebagai kebanggaan dan masih berniat membanggakannya, namun masih meragukan mereka sampai menyiapkan kembang api atau tidak. Rekonstruksi pembangkit listrik dan pabrik produksi tengah berlangsung, lalu perlawanan Anjing Gembala mempersulit perebutan ulang wilayah utara.”

 Tidak hanya berlaku pada Republik. Di semua tempat pun sama.

Itulah sebabnya Divisi Penyerang bepergian ke area-area berbeda mengikuti operasi cepatnya. Alasan mereka menembus wilayah musuh di medan bersalju, untuk menumbangkan pangkalan musuh tanpa punya peta.

Saat ini, Divisi Lapis Baja Ke-2 dan Ke-3 bertanggung jawab atas operasinya, dan meskipun operasi mereka sukses di negara cekungan utara, satu langkah salah akan memaksa mereka cepat-cepat menyerbu pasukan musuh yang nantinya benar-benar menyapu bersih mereka.

Lena dan Shin tidak bisa mendatangi Festival Revolusi selagi perang masih berkecamuk di sekitar mereka.

Biarpun datang, tidak ada kembang api yang ditembakkan. Dan memangnya tahun depan masih akan terjadi? Kembang api? Festival Revolusi?

Republik?

Akankah Shin dan aku …? Akankah umat manusia masih bisa menemui tahun depan?

Begitu pikiran pesimis itu terbesit di kepala buruk mereka, berputar-putar dalam benak Lena satu per satu. Dia menggeleng kepala menolak, menggigit bibirnya sembari meyakinkan diri agar tidak membiarkan pikiran gangguan ini.

Mereka akan hidup. Karena mereka sudah berjanji. Mereka akan melihat kembang api Festival Revolusi bersama-sama. Ketika perang berakhir, mereka akan pergi melihat laut bareng-bareng. Bersama.

Jadi sampai saat itu, tidak seorang pun dari kami boleh mati.

Dan seketika pikiran putus asa tersebut melintasi kepalanya, Shin bicara sambil melihat bara jatuh di atas sana.

“Kalau begitu …”

Setelah marsnya selesai, orkestra mulai memainkan wals lagi.

Wals lamban, temponya terkesan intim dan santai, cocok dengan akhir perayaan. Seakan membuai semua pendengarnya ke tidur nyenyak, memegang teguh bekas-bekas kegemparan pesta. Melodinya ada sedih-sedihnya walau sangat sedikit. Menilai waktunya, mungkin inilah lagu terakhir malam ini.

Merasa lagu itu memotivasinya, Shin membuka bibir. Pikiran dirinya harus menyatakannya sekarang bahkan tak terlintas; kata-kata itu tumpah begitu saja. Kelewat alami, bagaikan salju mencair membentuk sungai yang mengalir ke ladang.

“Kalau begitu ayo ke Festival Revolusi kapan pun sebisa kita. Andai tahun depan tidak bisa, tahun depannya lagi. Dan kapan pun kita pergi, kita akan rayakan.”

Dua tahun lalu, di malam pertunjukkan kembang api, Shin merespon kalimat Lena, tahu betul janji itu takkan terwujud. Karena mustahil itulah dia merespon keinginan Lena untuk melihat kembang api sama-sama dengan jawaban tidak jelas.

Shin tidak betul-betul mau melihat kembang api. Ingin pun tidak mampu waktu itu. Namun kini keadaannya berbeda.

“Karena itu bukan harapan mustahil lagi.”

Mereka mengatasi takdir kematian pasti dan selamat. Mereka belajar boleh berkeinginan. Menginginkan sesuatu—akan masa depan. Dan gadis di depannya sudah menyelamatkannya berkali-kali. Lena menariknya keluar dari tepi jurang berulang kali. Dan tanpa sadar …

Dia menatap Lena lagi. Shin tidak bilang apa-apa, namun mata perak Lena bertemu matanya, seolah tertarik ke matanya. Dan Shin memanggilnya dengan penuh dambaan.

“Lena …”

“… suatu hari, kalau bisa, ayo rayakan. Karena itu bukan keinginan mustahil lagi.”

Mata merah tuanya menampakkan kesungguhan yang belum pernah dilihat Lena. Lena terpesona. Kekhawatiran dan ketakutan yang berlalu lalang dalam kepalanya sudah sirna bak mimpi buruk.

Kalau katamu begitu, maka akan terjadi. Entah semustahil apa pun itu, aku yakin kita akan menciptakan keajaiban itu.

Perasaan itu muncul dari lubuk hatinya. Sama seperti halnya bintang-bintang berkelap-kelip di malam hari dan bagaimana bunga-bunga bermekaran di musim semi. Layaknya alam. Lena bisa percaya padanya tanpa ragu sedikit pun.

Dan dia dengan sadar menarik napas dalam-dalam. Tahu-tahu mengangkat kedua tangannya, dikaitkan di depan dada. Seandainya Lena akan menyatakannya, maka sekaranglah waktunya. Apabila dia akan mengatakannya, dia ingin mengatakannya sekarang ini, saat ini.

Aku mencintaimu.

Sesaat perang berakhir. Saat kita bisa melihat kembang api Festival Revolusi bersama-sama. Aku ingin bersamamu. Aku ingin kita melihatnya berdua. Aku tidak tahu kapan akan melihatnya, tapi ingin melihatnya denganmu. Sesuka kita, kalau bisa.

Namun begitu dia akan mengutarakan kata-kata itu …

“—Lena.”

Suara panggilannya, nada suaranya, menghentikan lidahnya. Dia menelan ludah gugup, menahan napas mengantisipasi. Apa pun yang Shin katakan sekarang akan istimewa. Dia tahu. Dan tiba-tiba, dia ketakutan. Dia takut mendengarnya. Kata-kata penentu yang hendak mengisi suasana.

Hubungan mereka sejauh ini canggung, meski tidak sepenuhnya, seakan-akan mereka kapal yang terus-terusan hilir mudik di malam hari. Tetapi kesamaran itu aman.

Dan kata-kata itu akan menghancurkannya. Akan menghancurkan hubungan mereka sekarang ini, mengatur ulang hubungannya menjadi hal lain.

Boleh jadi menghasilkan hal baru. Tetapi perubahan, dan kehancuran yang pasti datang menyertainya, tidaklah bisa diubah. Tatkala Lena mendengarnya, takkan ada jalan mundur. Lantas berpikir akan mendengar kata-kata itu menakutinya. Teror mencengkeramnya, membekukan tubuhnya. Namun …

Aku harus mendengarnya.

Harus kudengar.

Karena Shin pastinya ketakutan pula. Dia berusaha keras untuk berubah, dan dia mengambil langkah maju, biarpun bisa saja menghancurkan segenap dirinya. Dia pasti jauh lebih takut dariku. Aku hanya perlu menunggu.

Tapi misalkan dia tidak mendengarnya, Lena pasti menyesalinya. Jadi dia mengepalkan tangan. Lena menghembuskan napas, dan menunggu seraya menutup bibir.

Kemudian Shin bicara.

“Aku … aku senang bertemu denganmu.”

Suara Shin serba emosi. Dia tidak tahu nama perasaan itu, jadi dia semata-mata menuangkannya ke kata-kata. Tetapi rasanya tidak cukup, dan semua istilah yang ada mungkin tidak sanggup menjelaskan perasaannya. Satu-satunya cara dia bisa mengekspresikan dirinya adalah lewat kata-kata, dan pilihan itu rasanya sangat tidak signifikan.

“Kalau kau tidak di sana, aku sudah mati melawan kakakku di Sektor Pertama dulu. Aku bertarung, siap mati. Aku akan kehilangan alasan hidup setelah menghancurkan Morpho. Aku takkan bertarung untuk kembali pulang waktu terjebak di danau magma dalam Gunung Dragon Fang. Setiap langkahnya, kau menyelamatkanku lagi dan lagi.

Shin-lah yang mengumpulkan orang-orang yang bertarung bersamanya lalu membawa mereka ke tujuan akhir. Dan itu menjadikan Shin sebagai seseorang yang ‘kan senantiasa ditinggalkan. Takkan ada yang bisa melanjutkan ingatannya, dia tiada begitu saja, dengan dirinya seorang yang membawa mereka.

Tapi begitu dia mulai percaya dapat memercayakan ingatan itu kepadanya … itulah suaka yang takkan bisa ditandingi apa-apa. Dua tahun sudah Lena mendukungnya, semenjak di Sektor 86, ketika Shin sendiri tidak tahu tampang Lena.

Ketika Lena menyusulnya satu tahun lalu, di ladang bunga bakung itu, dia memberikannya alasan bertarung.

Dan satu bulan lalu, di medan perang bersalju, Lena membantunya menerima masa depan pertama dan satu-sautnya yang pernah dia inginkan.

“Keberadaanmu saat itu membuatku percaya … bahwa aku harus terus hidup.”

Lena merasakan air mata menggenang di matanya.

Iya. Iya, Shin. Aku merasa sama. Aku bisa di sini karena bertemu denganmu. Karena aku mengetahui rahasia Gembala dan Domba Hitam jadi bisa bersiap-siap menghadapi serangan skala besar. Memegang teguh dirimu, aku jadi tahu betapa dingin dan jahatnya dunia ini sesungguhnya. Aku sadar betapa jeleknya diriku. Dan karena bisa mengejar bayanganmulah aku tahu ingin bersama dengan siapa.

“Karena kehadiranmulah aku bisa keluar dari Sektor 86.”

Karena kehadiranmulah aku bisa berhenti menjadi babi putih.

Kau menjadikan aku yang sekarang. Kata-katamulah yang menghidupkan bagian yang kuhargai hingga hari ini. Jadi, dirimu …. Orang yang mengubahku. Yang memberikanku hidup. Aku …

“Aku mencintaimu.”

Fakta Shin akhirnya dapat mengucapkan kata-kata itu jelas membuat Shin lega. Kata-kata yang menghabisi seluruh pikiran sadarnya. Jika dia tak mengumpulkan keberanian tuk mengatakannya setelah semua waktu ini, maka kata-kata itu akan kehilangan seluruh artinya.

Lena sudah menyelamatkannya berkali-kali … dan Shin tidak tahu perasaannya cukup atau tidak untuk membayarnya. Shin tidak tahu responnya bagaimana. Pikiran itu membuat kepalanya kosong … tetapi dia curahkan saja isi hatinya.

“Aku mau menunjukkanmu laut … aku mau melihat hal-hal yang belum pernah kita lihat sebelumnya, sesuatu yang belum diselimuti api perang. Aku mau menikmati pemandangan yang sama denganmu.”

Yang artinya …

“Aku ingin tetap berada di sisimu. Aku ingin bersamamu. Selamanya … jika bisa.”

Lena semata-mata berdiri di sana, mata peraknya terbuka lebar, tidak mampu menuturkan sepatah kata pun. Pikirannya kosong.

Aku juga merasa begitu. Aku ingin selalu bersamamu. Sampai tujuan akhirmu. Entah ke mana kau sampai, itulah tujuan terakhirku pula. Dan bukannya aku akan membawa nama dan ingatanmu. Aku tidak bermaksud mengambil hati dan ingatanmu.

Aku ingin kita bersama. Hidup bersama-sama.

Pernyataan Shin membahagiakan Lena. Namun bukan hanya karena gadis itu merasa dicintai. Bukan karena akhirnya dia diberi tahu isi hatinya.

Gadis itu bahagia sebab merasakan hal sama.

Aku harus menjawabnya. Aku harus menjawabnya. Aku harus menjawabnya.

Emosi tunggal itu mendorongnya maju, lebih cepat dari cahaya, lebih lekas dari alur pikirannya. Tubuhnya bergerak maju. Karena kata-kata akan terlalu lambat. Kata-kata takkan cukup. Kata-kata bahkan takkan mengutarakan sepersepuluh emosinya.

Jarak di anara mereka kurang dari selangkah, dan celahnya hilang sekejap mata.

Mata Shin membelalak kaget. Lengan Lena merangkul bahunya—tidak membiarkannya kabur—kemudian diregang k etas. Tinggi di antara mereka separuh kepala, tapi sepatu hak tinggi Lena menutupi sebagian besarnya. Bibirnya sedikit lebih dekat dari sebelumnya. Lantas Lena menghampiri, lalu …

… Mereka saling berbagi ciuman pertama.

Catatan Kaki:

  1. Tarian Barat dengan irama gerak tiga perempat hitungan.
  2. Dansa ballroom adalah satu set tarian mitra, yang dinikmati keduanya secara sosial dan secara kompetitif keliling dunia. Karena itu kinerja dan hiburan Aspek lain, dansa ballroom juga banyak dinikmati di panggung, film, dan televisi.

Share this post on:
Subscribe
Notify of
guest
8 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Shero

wholesome <3

kacchan

aaaaaaa❤️❤️❤️❤️

Alanon

omg omg omg this volume is sooooo … “chef kiss”

Rangga

Damnnnn letssss goooo

Alanon

Dayumm wkwk

Lekmaa

Kyaaaaaaaaaa~~~

Nononon

Akhirnya berlayar juga~~

Btw di bab after word author vol 7 dihalaman agak terakhir, ada kelanjutan sedikit abis adegan ini, bikin diabetes ww

reONE

Oraaaaaaaaaaaa anjay, lama buet gua nunggu!!!