Share this post on:

EX MACHINA

Penerjemah: Nier Ex Machina!

Mencoba membalikkan kematian adalah hal tabu. Itu sesuatu yang senantiasa dia pikir sudah dia pelajari di hari dirinya mencoba membangkitkan ibunya. Kegagalannya menyebabkan sebagian diri ibunya hilang selamanya. Seorang anak merindukan ibunya adalah emosi alami bagi manusia. Dan alami juga meratapi kematian seseorang.

Tapi jikalau seorang anak mencoba membangkitkan ibu mati mereka, maka tindakan itu dilakukan monster atau orang sinting. Itu sesuatu yang takkan pernah dia ketahui selama tak terucapkan. Dan walaupun kata-kata itu pernah diucapkan, dia tak bisa, dari dalam hatinya, memahami apa mengerikannya itu. Barangkali berarti dialah seekor monster tanpa rasionalitas.

Dan sekarang dia seharusnya tahu itu.

Kemarahan dan iba di mata ayahnya ketika menjadi saksi pembedahan tubuh istrinya, serta anaknya yang melakukan pembedahan. Kuatnya pelukan kakaknya yang membisu sambil memeluk adiknya yang berdiri diam itu.

Juga air mata saudari sepersusuan yang menempel padanya seraya menangis sedih.

Jadi dia barangkali tak paham, namun dia memelajari pelajaran itu dan membuat sumpahnya. Bahwa itu adalah dosa. Dosa yang memenuhi ayah, kakak laki-laki, dan saudarinya dengan kesedihan. Lantas dia tak pernah lagi mencoba menentang perbatasan yang memisahkan orang hidup serta orang mati …

Akan tetapi.

“Vika …. Hei …. Kau tidak apa-apa …?”

Gadis sama yang kini terbaring di hadapannya, hancur ditimpa reruntuhan.

“… Lerche.”

Kata-kata yang keluar dari bibirnya tanpa memikirkan keinginannya serasa ibaratnya dituturkan dengan suara orang lain. Tenggorokan Vika serasa terbakar, tercekik oleh debu mineral di udara. Ledakan selongsong telah menghancurkan lempengan beton dan meruntuhkannya di pangkalan lini depan, menabrak setengah ruangan. Hasil serangan langsung selongsong 155 mm Skorpion yang daya tembaknya cukup kuat hingga mereduksi Barushka Matushka serta bunker beton bertulang menjadi serpihan.

Dia dihancurkan puing-puing lebih tinggi dari dirinya yang saat itu berusia sepuluh tahun, seolah-olah seseorang mencoba membelahnya jadi dua tepat di bagian tengah tubuhnya. Bau busuk tak dikenal menggelitik lubang hidungnya yang sampai sekarang cuma mengenal bau steril istana. Zat lengket mengalir dari bawah puing-puing—darah.

Meski selagi dirinya tersiksa rasa sakit tak terbayangkan yang disebarkan bagian bawah tubuhnya, wajahnya yang pucat putih bersih serta bibir berlumuran darahnya berubah menjadi senyuman tulus.

“Syukurlah.”

“… kenapa …?”

Vika langsung menyesali pertanyaannya tak sengaja diutarakan berbarengan dengan pernyataan itu. Itulah kata-kata terakhirnya. Tidak boleh disela atau dilewatkan. Namun dia tak kuasa menghentikan kata-katanya terurai dari bibirnya.

“Kenapa kau melindungiku …? Akulah yang harusnya hancur ditindih puing-puing ini …!”

Lerche terkubur di tempat Vika berdiri beberapa saat sebelum ambruk. Dia tahu—dia tahu saja—bahwa Lerche mendorongnya menyingkir dari lintasan jatuh puing-puing. Apakah karena dia keluarga kerajaan? Karenanya Lerche memutuskan dialah yang akan menjadi tuannya? Benarkah dia membuang nyawa berharganya, memegang teguh alasan sebodoh itu …?

“Apa maksudmu, kenapa …?”

Memiringkan kepala, Lerche tersenyum menyakitkan. Seakan-akan bertanya-tanya kok bisa Vika belum sadar.

“Kaulah orang paling penting di hidupku, Vika …” “…!”

Gadis yang dipilih akan melayaninya seumur hidup begitu dilahirkan. Sewaktu ibunya menjadi ibu susu Vika, nyawa Lerche sudah dijual. Kesetiaan apa pun, emosi apa pun yang dia simpan untuk Vika hanyalah demi mendukung itu. Semestinya Lerche tahu.

Tapi Lerche tersenyum. Tidak memerhatikan niat siapa pun, mata Lerche tak fokus karena kehilangan darah, seolah-olah dia bermimpi.

“Kau tahu, Vika, aku mungkin petani budak, tapi aku cinta negara ini. Aku suka musim dingin panjang dan mata air berkilauan, musim panas, serta musim gugur negara ini. Ini tempat aku dilahirkan, tahu? Di sinilah aku hidup bersamamu sampai hari ini.

“Jadi tolong …,” kata Lerche, menatap Vika dengan mata melamun yang tidak bisa lagi melihatnya—atau melihat apa pun—lagi.

“… terus lindungi. Terus lindungi tanah air kita.” “… akan kulakukan.”

Vika bisa menjawab apa lagi? Dirinya sendiri mungkin menyukai musim-musim negaranya, tapi dia tidak merasakan keterikatan mengikat. Dia tak punya rasa bangga atau kepemilikan pada negara dirinya dilahirkan dan dibesarkan. Namun gadis sekarat di hadapannya yang merupakan teman sekelasnya, teman masa kecilnya, saudari satu ibu susunya …. Gadis yang terus menemaninya walaupun orang-orang bilang dirinya hanyalah mainan Ular Pembelenggu.

Dia selalu bersamanya. Hal itu sudah jadi kodrat kedua. Dan tak pernah Vika sangka dirinya akan kehilangannya.

“Aku berjanji. Aku akan melindungi negara ini dan orang-orangnya … Jadi …”

Dihadapkan kehilangan yang tak bisa dia kembalikan, Vika pertama kalinya merasa takut dalam hidupnya. Ditinggalkan membuat dirinya takut melebihi kematian Lerche, dan keegoisan itu, dinginnya hati, membuatnya gemetar ketakutan.

Ketika itulah Vika sadar tanpa ragu, dirinya bukanlah manusia, melainkan ular berbisa pemakan manusia tanpa perasaan. Dan dia mau tidak mau merindukannya—mengulang kesalahan sama yang dia larang untuk perbuat lagi.

“Jadi, Lerche …. Akankah kau tetap berada di sisiku mulai hari ini?”

Jangan tinggalkan aku.

Sejenak mata Lerche membelalak. Kalau ada sedikit saja tanda, jejak bimbang atau ketakutan di matanya, pangeran itu mungkin saja menyerah. Namun gadis setia tersebut mengangguk. Dia menciptakan mayatnya sendiri di hadapan Vika, bersama senyuman menerima permintaan kelewat egoisnya untuk mengizinkannya menjadikannya orang mati yang hidup.

“Aku bersedia …”

Pangeran Tampan kesepianku.

Itulah kalimat terakhirnya.

Sewaktu Vika terbangun dari tidurnya, dia disambut pemandangan biasa dinding beton tebal yang merusak indra perasa akan waktu seseorang. Dia terbiasa sama kegelapan samar penuh siluet-siluet ungu-hitam Kerajaan Bersatu, biru baja Prussia Republik, selama tiga hari terakhir. Udaranya pengap sebab ventilasinya yang minimum terasa kental suasana lelah.

Sudah tiga hari smeenjak pengepungannya dimulai, dan mereka hampir sampai batas kesanggupan mereka. Bisa jadi karena mimpi anehnya, Vika mendesah lirih.

Dia sekarang ini berada di gardu pertahanan pangkalan lini depan, sama seperti dulu—walaupun dahulu skalanya jauh lebih kecil dan perlengkapannya lebih buruk dari sekarang. Kerajaan Bersatu adalah negara militer, dan keturunan Idinarohk berdiri di puncaknya. Mereka menjadi garda depan medan perang, dan mereka senantiasa berdiri di lini depan untuk belajar cara berperang.

Dan semua itu terjadi ketika, mematuhi adat, dia dikirim ke front selatan. Vika tidak dijauhi. Semua orang, kecuali sang raja dan penerus takhta pertama, sama-sama dikirim ke perang. Begitu pula pamannya, pangeran kerajaan; salah satu kakak Vika, yang juga seorang pangeran; kakak perempuan Vika, seorang putri yang lima tahun lebih tua; dan salah satu sepupunya yang juga seorang putri, semuanya tewas dalam pertempuran.

Dia tidur sembari menyandarkan punggungnya ke dinding yang membuat tubuhnya kaku, alhasil dia bangkit berdiri meregangkan badan. Dia benar-benar membenci ruangan gelap dan sempit semacam ini.

Mengingatkannya pada waktu-waktu kematiannya.

“Lerche.”

Tenggorokannya masih kering akan mimpi tersebut, dia membisikkan namanya. Menghubungkan dirinya ke kristal saraf semu yang melekat di diri seorang gadis yang dibangkitkan kembali mengikuti sosok Lerche asli. Kristal itu dipasang dalam tubuhnya, di belakang leher. Di tempat tak seorang pun bisa melepasnya.

Agar Vika takkan pernah melepaskannya lagi.

“Kau dengar, lerche?”

Respon langsungnya datang lewat Resonansi.

“Tentu saja, Paduka …. Perintah Anda?”

Sirin tak pernah tidur. Mereka mungkin mati gara-gara mekanisme presisi mereka disetel atau pemeliharaan, namun berbeda dari tidurnya makhluk hidup. Otak buatan mereka tidak dibuat dari bahan kimia yang menyebabkan kelelahan, juga mereka tak memerlukan tidur untuk mengatur ingatan mereka.

Sederhananya, mereka bukan manusia.

“Berikan laporanmu dulu. Bagaimana laporanmu di luar sana?”

“Kami punya sedikit sisa amunisi dan paket energi. Kami kehilangan empat puluh persen Alkonost. Juggernaut tidak menderita banyak kerugian, tapi … Para Prosesor nyaris tidak kuat lagi.”

“Tentu. Sisi menyerang akan dikikis dulu selama pengepungan. Dalam hal kekuatan dan pasokan.”

Medan perang semacam ini dirancang untuk melawan sisi penyerang. Kastil bertahan punya fasilitas penginapan dan langkah-langkah pertahanan di sisinya, walaupun mereka harus tidur ditemani udara luar yang dingin. Teknologi modern sedikit memudahkan tidur di luar, namun mereka masih menghabiskan tiga hari di medan perang bersalju yang tak mereka kenal.

“Bagaimana posisi bala bantuan Legion? Sejauh mana mereka menurut pengintaian Nouzen?”

“Sewaktu matahari terbenam kemarin, mereka sampai garis fase Lark dan berhenti di sana.”

“Mereka sampai sejauh Lark itu masih dalam prediksi …. Tapi kurasa harus salut sama Vargus Federasi. Mereka bertahan dengan baik.”

“Sesuai kehendak Anda …. Juga …”

Lerche rasanya ragu-ragu untuk terus bicara.

“… keletihan Nouzen yang paling mengkhawatirkan, saya yakin. Tidak disangka beliau masih mendengar tangisan-tangisan orang mati bahkan dalam tidur beliau …. Meskipun beliau belum bilang apa-apa, saya penasaran apakah kehadiran kami makin menambah tekanan beliau.”

Kalau ini terjadi lebih lama lagi, dia bisa saja hancur.

Vika mengangguk, menerima kecemasan yang tersirat di suara Lerche.

“Kita mungkin harus memikirkan sejumlah tindakan pencegahan perkara mengerahkanmu selama kooperasi dengan 86 …. Aku akan menanyakannya sendiri sesudah semua ini berakhir.”

Vika tahu kenapa tak mengherankan Lena sangat resah. Karena tekanannya, Pencabut Nyawa tanpa kepala itu telah kehilangan kemampuan merasakan dirinya terluka atau tidak. Shin tak ingin membuat orang menangis namun tidak paham tentang apa yang membuat mereka menangis.

“Pihak kami pun kekurangan amunisi. Kami sudah menyuruh regu penyelamat untuk bergegas, tapi masih akan perlu waktu …. Kita sudah sampai batas.”

Hari ini dan sekarang ini akan menjadi momen penentu. Sisanya adalah mendesak dan menghancurkan musuh. Baguslah, senjata musuh sudah cukup habis untuk memungkinkannya.

“Mesti kita tuntaskan ini. Tunjukkan mereka kewajiban dan martabatmu.”

Lerche kelihatannya tersenyum.

“Sesuai keinginan Anda …. Paduka?”

“Hmm?”

“Tolong baik-baiklah. Saya tak lama lagi akan berada di sisi Anda.”

Sejenak mata Vika membelalak. Memotong Resonansi Sensorik, dia mendongak dan tersenyum tanpa kata. Yang dilihatnya adalah langit-langit buatan suram. Biarpun si gadis tidak berada di atasnya …

“Di mana kau belajar kata-kata itu, dasar anak tujuh tahun?”

Dia takkan pernah membiarkan ingatan Lerche dihapuskan. Prosedur itu telah ditambahkan baru ketika para Sirin masuk ke produksi masal, sesudah segelintir purwarupa Sirin diproduksi. Sekiranya kesadaran manusia ditempatkan di tubuh lain dengan ingatan momen-momen terakhirnya utuh, dia akan hancur dan takkan bangkit lagi, lantas prosedurnya hanya diterapkan baru setelah ingatannya bersih.

Lerche tak pernah menjalani prosedurnya, karena tatkala itu dia belum ada, namun kesadaran dan ingatan semasa hidupnya sedari awal tidak menetap di dirinya. Awalnya, Vika merasa sangat kecewa dan putus asa …. Di saat bersamaan, dia merasa lega sedikit saja.

Karena dia pun takut. Misalkan Lerche komplain—bilang kalau dirinya sebetulnya tak ingin dikurung seperti ini? Bahwa dia tidak punya memori, tak ada bekas apa pun soal kepribadian lamanya … bahkan cara bicaranya berbeda penuh dari yang Vika tahu, adalah berkah baginya.

Kadang kala Vika mengira Lerche sebenarnya ingat semuanya, namun terlepas dari itu, dia masih mengubah suara dan tingkah lakunya. Supaya Vika tidak terus terikat pada ingatannya. Jadi kali ini, dia betulan bisa menggunakannya dan menghancurkannya, seperti alat.

Karena saudari sesusunya adalah gadis semerisaukan itu.

Suka ikut campur sampai kelihatan konyol.

“… Lerchenlied.”

Dunia ini sudah tidak indah lagi. Musim semi sepertinya takkan hadir ke dunia ini tanpamu. Tapi tetap …. Kau ingin aku mempertahankannya. Dan selama aku ingat itu, rasanya aku masih bisa menemuimu.

“Aku ‘kan memenuhi janji itu …. Sekarang …. Kapan pun.”

“Tuan Pencabut Nyawa.”

Shin tahu dia yang memanggilnya. Namun mendengar tangisan hantu sedekat itu masih membuat Shin merasa tak nyaman. Mereka berada di wadah yang berfungsi sebagai ruang konferensi. Shin sedang mengatur ulang organisasi Legion yang entah bagaimana telah berubah dalam satu malam, di peta operasi, mengangkat kepalanya cuma untuk menghadap Lerche.

“Selamat pagi cerah. Saya baru ingin datang membangunkan Anda.”

“Ada apa?”

Shin baru menyadari situasinya setelah berkata demikian lalu mengklik lidahnya. Mereka berada di medan perang, dan hari sedang pagi pertempuran. Wajarlah mewaspadai sesuatu tidak biasa, tetapi suaranya lebih tajam dari yang Shin niatkan—bertarung selama tiga hari ini membuatnya lebih risau tanpa sadar.

“… maaf.”

“Tidak apa-apa.”

Lerche menggeleng kepala pelan. Tidak ada bekas lelah padanya, dan dia terus bicara dengan wajah putih-salju biasanya.

“Memang benar bagi sekalian semua, akan tetapi … Anda kelihatan sangat lelah. Wajah Anda cukup pucat.”

“Iya …”

Shin kira sudah terbiasa, namun mendengar teriakan-teriakan Legion tak henti-hentinya sepanjang hari itu melelahkannya. Ditambah hawa dingin, frustasi pertempuran yang tidak membuahkan hasil, dan tenggat waktu makin dekat … keajaiban kecil dia bangun lebih cepat dari yang diperkirakan.

“Tubuh manusia benar-benar menyusahkan. Anda tidak bisa berfungsi tanpa tidur, tak dapat bergerak tanpa makan, dan bisa mati seandainya kehilangan salah satu anggota tubuh saja. Seakan Anda dibuat tak layak untuk berperang. Tidak …. Mungkin lebih tepat mengatakan perang telah meninggalkan umat manusia.”

Dari awal, perang dan hilangnya nyawa berjalan berbarengan. Deru tembakan meriam yang memekakkan telinga, osilasi hebat juga panas yang dipancarkan oleh tank dan Feldreß, meskipun tidak lagi digunakan, jet tempur kecepatan supersonik—selagi umat manusia berusaha meraih lapis baja, kekuatan destruktif lebih kuat serta, kecepatan agar mesin-mesin itu mampu menghancurkan satu sama lain lebih efisien, senjata berangsur-angsur berubah menjadi sesuatu yang melukai pemakainya.

Lerche berbicara dari tubuh mekanik yang tidak mampu merasakan sakit, tak mengenal tidur atau lapar, yang kuat bertarung walaupun kehilangan anggota tubuhnya selagi sistem tenaga penggerak dan prosesor sentralnya utuh.

“Bukannya dari dulu kau mestinya memercayakan perang kepada kami?”

Shin sekilas menatap Lerche. Jadi manusia sudah menjadi beban senjata-senjata mereka. Begitukah keadaannya? Yang membatasi mobilitas senjata berawak adalah manusia rapuh di dalamnya. Pentingnya memasukkan kokpit meningkatkan berat serta ukurannya. Dan ranah ekstrimnya, dengan pengecualian sistem saraf mereka, manusia hanyalah sekarung cairan yang beratnya beberapa lusin kilogram. Juga otak yang mengoperasikan sistem saraf tersebut akan tumpul sebab ketakutan dan kecapekan. Sebagai senjata, itu betul-betul cacat.

Namun …

“Kami takkan … menjadi lebih baik dari Republik.”

Lerche berkedip pelan, gerakan bak boneka yang penggerak di belakangnya diputar mengartikan dirinya tidak paham yang baru saja dikatakan.

“Mau dilihat bagaimanapun kami sungguh-sungguh bukan manusia.”

“Aku tak bermaksud begitu. Entah duduk dalam senjata itu manusia atau bukan tak ada hubungannya. Mendesak seluruh pertarungan kepada orang lain dan melarikan diri dari medan perang, membuang kekuatan dan kehendak bertarung, menaruh nasibmu di tangan orang lain. Itu hanya … menyedihkan.”

Itulah sumber harga diri 86 sekaligus yang paling memisahkan mereka dari babi putih. Bukan warna rambut atau mata mereka melainkan jalan hidup. Hidup di medan perang tanpa tempat kabur, mengandalkan tubuh sendiri dan rekan-rekan belaka. Memutuskan untuk takkan pernah menyerahkan takdir pribadi ke tangan orang lain. Itulah yang menjadikan jati diri 86. Itu bukti keberadaan mereka.

Lerche tiba-tiba terkikik.

“… menyedihkan?”

Dan nada tawanya jelas … mengejek.

Shin refleks balas melotot Lerche yang mengangkat dagunya dan tertawa. Ketika tawa cekikikan keluar dari tenggorokannya, dia menyipitkan mata, tetapi bukan karena tawa.

“Menyedihkan. Menyedihkan. Menyedihkan, kata Anda? Itu alasan Anda bertarung …? Itu?”

Dia tertawa-tawa selagi matanya membara penuh kebencian dan amarah.

“Dari semua alasan yang bisa saja Anda pilih, Anda pilih, karena menyedihkan jika tidak berperang? Anda semata-mata memilih hidup di medan perang karena tidak ingin terlihat … menyedihkan?”

Dan tatkala itu, Lerche tersenyum bagai bunga tengah mekar.

“… paling tidak Anda hidup.”

Suaranya layaknya kicauan burung tetapi di saat yang sama punya sifat merekat tertentu. Suara orang mati—kental dengan kebencian dan kecemburuan.

“Anda masih hidup. Tidak seperti kami, Anda belum mati, jadi Anda bisa memulihkan dan memperbaiki banyak hal sesuka Anda. Anda dapat mengulang apa pun dan memulai kembali!”

Kewalahan, Shin langsung terdiam begitu Lerche membanting tangannya memprotes kuat. Biarpun ada senyum di wajahnya, ada api di mata hijaunya. Kemampuan Shin memungkinkannya mendengar suara hantu gentayangan seraya mengulang isi pikiran momen-momen terakhir mereka. Tetapi Shin tidak bisa mendengar isi pikiran mekanis mereka setelah kematian. Itu berlaku sama pada pemuda yang sekerabat dan sedarah, betapapun jauhnya, dan bahkan kepada kakaknya sendiri.

Karena itulah, Shin tidak pernah tahu isi pikiran hantu sesudah kematiannya dan yang menjadi seperti itu. Emosi tersebut—kecemburuan dan amarah kepada orang-orang yang masih hidup.

“Anda bilang akan terus bertarung, tapi Anda takkan membuang tubuh Anda yang tidak cocok dengan peperangan. Anda takkan mengalihkan pandangan yang membuat Anda bisa melihat orang lain, suara-suara yang memperkenankan Anda berbicara kepada mereka, tangan yang membiarkan Anda menyentuh mereka, tubuh yang memungkinkan Anda hidup bersama mereka. Walau Anda ingin bersama seseorang …. Meski Anda ingin menemukan kebahagiaan bersama seseorang!”

Kecamnya bergema bak jeritan: Hal sama tidak bisa dikatakan padanya. Seusai kematiannya, Lerche tidak sanggup hidup berdampingan bersama siapa pun. Dia tidak bisa bahagia.

Dan Anda, yang masih bisa melakukan kesemua itu …. Anda, yang masih hidup … nekatnya …

Beraninya.

Lerche tersenyum, oh riang sekali. Senyum seperti mayat dipenuhi kebencian.

“Anda masih hidup. Beraninya?”

Anda masih bisa menemukan kebahagiaan bersama seseorang.

“…”

Lalu Lerche tersenyum—ekspresinya hampir tidak ada bedanya dengan tangisan.

“Yang harusnya mati adalah kami saja: yang mestinya lama mati. Kalian manusia masihlah hidup. Apa pun yang hilang dari kalian, apa pun yang diambil dari kalian, bisa diambil kembali.”

Bayangan merah tua lainnya muncul di pintu masuk kontainer. “Lerche.”

Pemilik suara itu, selembut salju mengkristal, adalah Ludmilla. Seorang Sirin tinggi dan anggun dengan rambut kemerahan sampai tak terlihat alami.

“Aku sudah mengumpulkan semua orang. Persiapan untuk serangan sedang dalam proses.”

“Diterima. Tuan Pencabut Nyawa, tolong semua orang di sisi Anda juga bersiap-siap untuk berangkat.”

“… semua orang?”

Lerche tanggapi pertanyaan mencurigakan Shin dengan senyuman tentaranya yang biasa, semuanya amat tak cocok pada wajah seorang gadis muda.

“Saya sudah menginformasikan sebelumnya kalau-kalau terjadi sesuatu, bukan …? Paduka memberikan perintah. Kita sekarang akan ofensif.”

Saat dia terbangun dari tidurnya, hal pertama yang dia rasakan adalah bau tak sedap memasuki lubang hidungnya. Bau mengingatkan memori tertentu yang dia harap tidak ingin ingat. Memori lama dari delapan tahun lalu—dan memori cukup baru setahun lalu.

Bau logam terbakar serta daging hangus, pembusukan dan kematian. Bau mayat orang mati yang tersembunyi di ruang belakang, sedikit demi sedikit membusuk.

Sambil menggeleng kepalanya yang masih tumpul karena penat, Lena duduk. Dia menyelipkan lengannya ke lengan jaket biru baja pinjaman dan menyisir rambutnya kemudian meninggalkan kamar kecilnya. Frederica yang tinggal bersama di kamarnya selama tiga hari terakhir, jelas kelelahan dan terbungkus selimut, sepenuhnya diam.

Bau darah mengikuti Lena selagi dirinya berjalan menyusuri koridor. Bau busuk orang mati menggantung di setiap sudut ruang komando bawah tanah.

Sekarang ini dia bahkan tak merasa jijik.

Karena jauh lebih baik ketimbang pertahanan dua bulan lamanya selama serangan skala besar musim semi lalu, tatkala sebagian besar warga negara Republik mati. Selama hari terpanasnya musim panas. Bau logam terbakar, bau menyesakkan dan memusingkan mayat-mayat tak terhitung yang dibiarkan—apalagi tidak dikumpulkan—selama pertahanan yang rasanya tanpa akhir itu.

Dia segera terbiasa—belajar tak mempermasalahkannya. Orang-orang bisa terbiasa sama semuanya, bahkan sesuatu yang tidak mereka biasakan ketika dalam pertumbuhan. Dan mudah sekali lagi. Dia melewati pint uke pos komando, menggigit bibir merah mudanya.

Ada yang keliru. Seluruh personel komando sedang dalam posisi, termasuk yang seharusnya beristrirahat. Dan semua wajah mereka mengkerut stress dan tegang, ibaratnya diperintahkan menelan racun. Laksana menguatkan diri di hadapan pertempuran penentu.

“T-terjadi sesuatukah?!” tanya Lena cepat-cepat, dan Vika meliriknya sekilas.

“Kau bangun juga, Milizé …. Tapi bisakah kau membangunkan Rosenfort juga, dan bersiap memegang komando. Kita akan melancarkan serangan umum di dinding selatan satu jam kemudian.”

“Serangan umum? Atas perintah siapa …?”

“Perintahku tentu saja.”

Selagi menatapnya dengan heran, Vika mengangkat bahu santai.

“Kita di ujung tanduk. Jika pasukan kita semakin berkurang, bahkan kita takkan mampu melancarkan serangan ini. Kita harus menyerang sebelum mereka menindas kita.”

“Menyerang secara membabi buta hanya menghasilkan lebih banyak kerugian. Kehilangan kesabaran kita sama saja bunuh diri—”

“Jadi sembunyi dan bertahan begitu saja. Perbedaannya adalah kerugiannya datang lebih cepat atau lambat. Yang benarnya, tetap bertahan menjamin kita akan dimusnahkan.”

Mencoba meminimalkan kerugian mereka itu sia-sia. Biarpun mencoba bersembunyi dan membela diri, mereka akan dihancurkan sebelum bantuan tiba. Mengatakannya sejelas itu, Vika tersenyum pahit.

“Tidak ada gunanya membagus-baguskan situasi ini, Milizé. Bukan berarti aku putus asa, dan aku tak bertaruh membalikkan keadaan ini dengan keajaiban juga. Bukannya kita ibarat telah terpojok separah itu …. Kita mungkin masih bisa menang.”

Namun ekspresi yang Vika tampakkan dibuat bak sadar hujannya lebih deras dari yang diantisipasi, Lena tak bisa percaya padanya. Pria itu pasti mengerti situasi mereka sekarang. Bantuan takkan datang tepat waktu, dan mereka tidak akan bertahan bila tetap defensif. Jadi pilihan satu-satunya adalah menyerang. Tapi …

“Korban jiwanya.”

“Akan ada korban jiwa, iya. Bahkan banyak. Tapi, yah … begitulah yang terjadi.”

“… apa?”

Saat Wehrwolf berbalik bereaksi terhadap sensornya, dengan alis terangkat Raiden menatap Barushka Matushka melangkah maju dari kegelapan hanggar.

“Ini perintah Paduka. Semua Handler dikehendaki mempertahankan titik masuk.”

Suara seorang pria beberapa tahun lebih tua dari raiden, dari belakang lapis baja tak ternoda Barushka Matushka. Suara yang dia dengar beberapa kali—salah satu Handler-nya Sirin.

“Waktu unit di luar menerobos dinding, kalian pergi dan berkumpullah bersama mereka. Kami akan menjaga bagian sini …. Paduka adalah komandan lini depan dan kami para Handler yang mematuhinya juga bisa bertarung juga.”

Raiden merasa Shiden mencibir dari Resonansi.

“Kalian berani—aku akui. Namun unit Brísingamen-ku adalah pengawal pribadi Baginda. Aku takkan menyerahkan pertahanannya kepada orang luar. Maaf, bocah manusia serigala, tapi unitmu mesti pergi sendiri menyapa tuanmu.”

“… ok, pertama-tama—”

Raiden menahan omelan blak-blakannya pada, Tuanku siapa yang kau maksud? sementara waktu ini dan malah menanyakan pertanyaan lain, kesampingkan bayangan tak menyenangkan tentang wajah yang Shin pasang di sini bila Shiden menuturkannya di depan dia.

“Siapa yang memerintah Sirin kalau kau di sini?”

“Kenapa kau memindahkan perintah semua Sirin ke dirimu sendiri, Vika?” “karena aku seorang yang bisa melakukan ini.” jawabannya cukup singkat.

“Aku yakin kau pernah bilang mengingat tekanan yang ditimbulkannya, mengendalikan dua ratus unit sekaligus adalah batasmu.”

“Dan karena itulah aku takkan jadi orang yang menanggung tekanannya …. Hubungan ini bukan untuk tujuan pertempuran dan cukup baik untuk pekerjaan selanjutnya …. Selain itu …”

Pangeran utara berbicara santai, seakan-akan dia membicarakan hal tak penting. Dengan kebanggaan klan yang telah ratusan tahun menginjak-injak banyak sekali rakyat jelata.

“… ini kewajibanku. Lerche, kau siap?”

“Tentu saja. Kita siap kapan pun juga, Paduka,” jawab Lerche, mata hijaunya mengarah ke layar optik. Dia sedang berada dalam kokpit sempit Chaika, kokpit gelap, yang dibuat untuk menampung tubuh Sirin. Benang perak Cicada tumbuh dari belakang pakaiannya. Terhubung ke porta penyedia daya yang ditambah ke seluruh tbuhnya, menyebar dan aktif di sekujur kulitnya yang menghasilkan arus bioelektrik.

Lena akan berfungsi sebagai penyampai sebagian besar Resonansi skala besar yang akan terjadi, memungkinkannya memikul bebannya …. Ini bukan perintah. Ini sesuatu yang Lena inginkan sendiri. Vika akan mengurus semuanya seorang, tak memedulikan tekanannya. Tapi Lerche tidak membiarkannya.

Tubuhku adalah perisai dan pedang tuanku. Menjaga beliau adalah kebanggaanku, dan membiarkan sehelai rambut di kepala beliau saja terluka adalah penghinaan terbesar yang bisa dibayangkan.

Lerche memelototi benteng dipenuhi musuh bebuyutannya, Legion, kemudian bicara. Di sisinya adalah Undertaker, di belakangnya adalah sepasukan kecil Juggernaut. Di depan mereka, Alkonost tersisa yang berbaris membentuk formasi menyerang, sesuai perintah tuan mereka.

Sebenarnya, Lerche tidak pengen Juggernaut jadi bagian pertempuran ini, atau pertempuran apa pun yang telah terjadi.

Ini taman perang. Dimiliki burung-burung kematian. “Tolong perintah Anda, wahai Raja Mayat.”

Feldreß Kerajaan Bersatu dan Federasi berdiri menghadap lapangan bersalju penuh bangkai-bangkai Alkonost yang telah dihancurkan dua hari terakhir juga benteng di baliknya. Mereka berdiri dalam barisan formasi, dengan sisa-sisa unit Alkonost membentuk kolom di garis depan, dan para Juggernaut di belakang. Mereka dipisah-pisah menjadi skuadron mengikuti perintah penyerangan yang didiskusikan selama pengarahan, yang telah diputuskan Juggernaut akan berada di belakang Alkonost.

Shin pikir itu formasi aneh. Para Juggernaut berada di tengah, skuadron Spearhead yang berada di paling depan, persis di belakang kolom Alkonost, dalam posisi menyaksikan seluruh medan perang. Formasi yang menghadapi target mereka, tebing selatan, hampir seolah tampil buka-bukaan gila. Dan para Alkonost di depan sana terlalu berdekatan. Formasi terlampau sempit.

Formasi kolom dibuat untuk memfokuskan kekuatan militer dan menembus lini musuh, namun yang berdiri di depan mereka bukan senjata bergerak melainkan tebing tak tertembus. Sebuah parit digali di depan tebing itu pula, dan mudah membayangkan terintangi olehnya.

Mereka membawa gelondongan kayu, mungkin dikumpulkan di sela-sela pertempuran, lalu dimasukkan dalam wadah kosong dan secara paksa dihubungkan ke sisa-sisa jangkar kawat Juggernaut oleh unit pelopor, dan tampaknya rencananya adalah menggunakan material-material itu tuk mengisi parit dan memanjat dengan cara demikian.

Kekuatan formasi kolom terletak pada dampaknya, diperoleh dari konsentrasi kekuatan dan kecepatan militernya. Namun parit dan dinding di belakangnya akan menghentikan momentumnya dan membuat muatannya tak efektif. Lebih buruknya, berhenti bisa mempersulit pertarungan, alhasil menyebabkan penundaan fatal. Dan formasi padat semacam itu akan ditipiskan satu per satu oleh tembakan terpusat Skorpion.

Apa … yang mereka pikirkan?

Garis besar operasinya tentu saja telah dijelaskan, tetapi pasukan Federasi Shin hanya diberikan peran melewati dinding dan menangani bagian dalamnya. Mereka tak diberi tahu apa-apa mengenai metode yang akan mereka terapkan untuk melewati dinding. Mereka cuma diberi tahu membiarkan para Alkonost mengurusnya—itu saja.

Selagi Shin berdiri kebingungan di sana, satu Alkonost bangkit berdiri di depannya.

“… Tuan Pencabut Nyawa.”

Dialah Ludmilla. Kanopi belakangnya terbuka, dan dia berdiri di tanjakan, badannya diterpa angin bersalju. Dan begitu melihat ke lapangan penuh sisa-sisa rekan-rekannya dan menuju dinding di depan, dia angkat bicara.

“Kami mungkin orang mati yang dulunya manusia, namun itu artinya kami bukan mausia lagi. Tubuh kami dibuat dari manusia, jantung kami dikumpulkan dari mereka—Kamilah mekanisme yang didesain untuk mencegah hilangnya nyawa tak perlu.”

“…?”

Itu sesuatu yang dia dengar berkali-kali, baik dari pencipta dan tuannya, Vika, serta para Sirin sendiri. Para Sirin awalnya adalah orang-orang yang mati dalam perang. Sistem pertahanan Kerajaan Bersatu didasarkan pada daur ulang korban perang sehingga mencegah lebih banyak orang mati. Tapi kenapa diungkit sekarang, sebelum operasi …?

“Kami eksis demi umat manusia.”

Di ujung penglihatannya, hitung mundur dimulai. Hitung mundur yang menandai awal operasi. Seluruh Prosesor, termasuk Shin, tegas diperintahkan untuk tak mengganggu Alkonost.

“Lantas inilah …”

Seketika angka makin mengecil, Vika menyadari gadis yang duduk di kursi wakil komandan sebelah mereka punya kemampuan melihat orang-orang yang dikenalnya.

“Rosenfort, tutup matamu sebentar. Bukan hanya kemampuanmu namun mata aslimu.”

Tentu Vika pun tahu ini tidak diperbolehkan. Dia tak ingin melihat lebih banyak psikis anak-anak dihancurkan—anak-anak yang tak seperti dirinya, tidak dilahirkan menjadi monster rusak dari awal. Baginya, selama dia hidup, tak boleh ada anak yang menderita seperti dirinya.

Karena kalau mereka menderita … andai anak-anak yang terlahir manusia mudahnya dihancurkan dan menjadi monster yang takkan pernah menggapai dasar kebahagiaan manusia … maka monster rusak sepertinya takkan pernah mengenal kebahagiaan …

 Vika pastinya kaget mendapati betapa egoisnya dia sekarang, terkekeh sedikit pada kekejamannya sendiri. Pada akhirnya, dia cuma dapat mendoakan kegembiraan orang lain demi dirinya sendiri. Begitulah pikiran ular kejam, hina, dan berhati dinginnnya.

Hitung mundur terus bergerak. Melihatnya dari sudut matanya, dia membuka bibir.

Gadyuka kepada semua unit Alkonost …. Mulai operasi. Sekarang—” ular pemakan manusia: Gadyuka.

Ya, memang. Aku selalu menjadi ular rusak. Tidak ada lagi emosi tersisa dalam diriku yang bisa hancur. Boleh jadi mekanisme umat manusia secara ras yang ditanam dalam diriku demi tujuan ini.

Sewaktu kegilaan ‘kan menguasai kewarasan, tatkala manusia tak sanggup mempertahankan akal sehatnya, Vika akan memotong krisis itu menggantikan mereka. Itulah tujuan dirinya diciptakan …. Sebagaimana boneka-boneka yang dibuatnya, yang berdiri sebagai penghinaan kepada kemanusiaan.

Tunjukkan mereka kebanggaan yang kita para monster miliki, kalian nonmanusia. “—bernyanyilah, angsa-angsaku.”

Ludmilla angkat bicara, berdiri di depan Shin. Laksana bernyanyi sambil tersenyum.

“Lantas inilah …”

Dari balik Resonansi Sensorik dan kebisingan nirkabel, suara Vika memproklamirkan

Mulai operasi. Sekarang—

Dan Ludmilla melanjutkan—disertai gembira dan tenang, layaknya orang suci yang mati sahit menatap guillotine.

—bernyanyilah, angsa-angsaku.

“… kegembiraan versi kami.”

Dan kala itu, semua Alkonost yang berkumpul menyerang maju. Namun menggantikan seruan perang, para gadis tertawa terbahak-bahak, seperti halnya gemerisik keras bunga. Seakan-akan melintasi ladang musim semi tenang, mereka melangkah melalui medan perang tercemar dan ternoda. Menembus pengeboman horizontal tipe Skorpion dari benteng, baris pertama tiba di parit.

Mereka meledakkan rintangan anti-tank dari dasar parit dengan pengeboman jarak dekat, berbalik, menembakkan jangkar kawat ke bangkai-bangkai rekan-rekan mati terdekat mereka, kemudian membelokkan rangka mereka dalam tarian aneh, melemparkan diri ke dasar jurang di belakang.

“Kok …?!”

Bayangan putih kebiruan para Alkonsot menghilang ke lembah salju membeku seolah-olah candaan buruk. Mereka menyeret bangkai-bangkai hangus menghitam bersama sambil melompati tanda benturan yang diukir di tanah dan melengkung di udara, menukik ke dalam mengikuti mereka. Suara berat tak mengenakkan Alkonost-Alkonost yang menabrak dan membentur tanah sampai telinga 86, bergema di dinding es.

Bahkan sebelum gemanya menghilang, barisan kedua Alkonost tiba, melempar diri mereka ka rekan-rekan. Kemudian barisan ketiga juga keempat mengikuti tanpa ragu sedikit pun, menyeret material-material yang mereka pungut dari bangkai-bangkai rekan-rekan mereka satu demi satu. Bak sekawanan tikus tolol, bergegas ke sungai bergelombang mendengar suara peniup seruling dari Hamelin1.

Tembakan tipe Skorpion menjatuhkan satu unit Alkonsot di tengah laju kematiannya. Yang berada di kanannya mendorong rongsokan rekannya ke depan dan menyelam ke dalam parit dengan rekannya terkunci dalam pelukan. Menarik dan menyeret pendamping hancur mereka, kawanan laba-laba biru-putih melompat turun, satu per satu, satu demi satu lagi. Sambil tertawa-tawa dari lubuk hati mereka, dengan suara ceria.

Setelah menyadari maksud Alkonost, tipe Skorpion di dinding condong maju, memusatkan tembakan mereka ke parit. Rentetannya menghantam bagian parit berupaya mencegah Alkonost mendekat. Para Alkonost berhenti pertama kalinya dan menembak ke depan, menembak jatuh tipe Skorpion yang memunculkan diri mereka sendiri dengan condong maju dan menjatuhkan sisa-sisa kehancuran mereka ke parit. Alkonost manapun yang ditembak musuh juga ikutan jatuh sementara Alkonost di belakangnya menembak kejam lubangnya.

Sadar bodohnya makin banyak memberikan musuhnya material untuk digunakan, Legion yang normalnya tidak kenal takut telah mundur ke balik dinding. Para Alkonost terus berlari maju dan melempar diri mereka ke kematian selagi para unit pendamping menyediakan tembakan perlindungan. Semuanya segila para fanatik yang bersujud di depan kaki idola mereka—Juggernaut …

Parit sedalam dua puluh meter segera diisi rangka-rangka berat beberapa ton Alkonost. Rekan-rekan mereka bergegas maju dan sehabis melihat ketinggiannya masih belum cukup, berjongkok dan menempel ke dasar dinding. Kelompok Alkonost berikutnya melompati punggung Alkonost sebelumnya, memanjangkan kaki mereka begitu yang di bawahnya hancur karena bobotnya. Memanfaatkan tubuh mereka sendiri sebagai blok bangunan, para Alkonost membangun jembatan miring ke atas.

Suatu ketika di masa lalu, sebuah kekaisaran yang membanggakan diri atas tekniknya membangun rute pengepungan dari puluhan ribu tahanan serta budak untuk melewati dinding setinggi dua ratus meter, semuanya demi merobohkan benteng tak tertembus di tengah gurun. Dan ibaratnya terinspirasi akan kisah tersebut, Alkonost membentuk lereng menuju benteng—rute pengepungan yang dibentuk rongsokan-rongsokan logam. Alkonost sendiri adalah komponen utamanya di sini, namun mereka pun menyeret tipe Skorpion ke usaha mereka, juga Ameise yang para Sirin sendiri sedang tekan.

Melangkahi jembatan ini, barisan Alkonost berikutnya naik. Menghancurkan unit pendamping di bawah kaki mereka, kemudian dihancurkan lagi unit di bawah mereka, secara bertahap tingginya meningkat. Tawa gadis-gadis itu terus bergema, sedangkan 86 yang cuma bisa menonton bisu ketika kegilaan terjadi di depan mata.

Kejadian ini juga dilihat Lena di pos komando, dari sudut pandangnya di atas dinding.

“Vika …!”

“Kami tidak boleh membiarkan 86 melakukan ini.”

Saat Lena berbalik menghadapnya, bocah yang memerintahkan penyerbuan bunuh diri ini tak mengerutkan alis. Mata beku nan dinginnya teruju pada boneka-bonekanya yang tengah tertawa meski dihancurkan.

“Aku tidak boleh menahan diri sama gadis-gadis itu dan membiarkan pasukan juga 86 mati dalam prosesnya …. Begitu seseorang mati, tidak bisa lagi mengembalikan mereka. Mereka tak dapat digantikan, tidak oleh siapa pun.”

Saat itu, Lena tak mengetahui arti di balik bibir mengerucutnya. Lena tak pernah mendengarnya membicarakan ibunya yang telah tiada selamanya dalam usahanya untuk membangkitkannya kembali, atau perihal gadis yang menjadi rangka Lerche, yang mati dan meninggalkannya. Akan tetapi …

“Tapi mereka—para Sirin—sudah mati. Mereka hanya meniru kemanusiaan, teknisnya bahkan tanpa kepribadian sendiri. Para Sirin diproduksi secara masal, dan mereka bisa digantikan. Tak ada alasan meratapi pengerahan mereka dengan cara ini.”

Dia bicara, dinginnya membuang mereka, tak pernah berpaling dari boneka-bonekanya yang hancur dan remuk. Dia yang senantiasa mempertahankan salah satu dari mereka, Lerche, tetap berada di sisinya …. Dia yang memberikan nama manusia dan sosok berbeda pada gadis-gadis bukan manusia ini.

Rupa wajahnya selagi melihat mereka bagi Lena rasanya seolah sebuah pisau menikam hatinya. Ini ular tanpa perasaan, monster tidak mampu memahami empati manusia yang mencoba mempertahankan umat manusia dan dunianya menggunakan aturan logika serta moralnya sendiri.

Alkonost terakhir maju, mendaki tanjakan yang diproduksi suara gemeretak serta derik-derik yang menggema dari langkah kakinya. Melihat kepergiannya, Vika berbalik. Mengambil senapan antitank dari salah satu pengawal kerajaannya, dia keluar dari pos komando, ditemani prajurit itu.

“Aku serahkan inflitrasi dan komando apa pun setelahnya kepadamu, Ratu. Kami akan menyerang bersamamu. Tentukan waktu penyerangan kami.”

Vika memperjelas melalui tindakannya dan bukan kata-katanya bahwa kehilangan seluruh pasukannya, berarti dia tidak lagi punya peran di sini.

Alkonost terakhir bergegas maju memanjangkan dua dari sepuluh kakinya ke atas untuk memanjat dinding. Dia dihujani pecahan peluru, dan kokpitnya setengah diledakkan, namun besi panjat di ujung kakinya menembus permukaan batu, dan ia diam sesudah mengunci seluruh persendiannya.

Demikianlah, mars kematian laba-laba putih kebiruan akhirnya berakhir.

Alkonost tersisa satu-satunya adalah Chaika, Alkonost-nya Lerche. Anggota unit lain benar-benar telah membuang nyawa mereka, membentuk rute pengepungan yang diaspal jelmaan kegilaan. Di dekat puncak tanjakan adalah Ludmilla yang nyangkut di rute pengepungan dan nyaris tidak mempertahankan bentuk aslinya, lehernya terpotong dan kepalanya menjuntai, menatap canggung Undertaker—pada Shin yang duduk dalam Juggernaut-nya.

Shin tahu dia tersenyum. Kulit dan otot buatannya berkerut anggun, bahkan ketika kerangka metaliknya terlihat dari balik sisa wajah bagian kirinya.

Mari, semuanya. Silahkan, tampaknya demikianlah yang dikatakan senyumnya.

“Cih …!”

Shin tak mampu menahan rasa merinding di sekujur tubuhnya. Yang lainnya mungkin merasa sama. Semua Juggernaut di pasukan mereka ragu-ragu sepintas, bimbang pada pikiran melangkahi rute pengepungan aneh ini. Tapi sesaat Shin berdiri membeku di tempat, raungan Legion menjangkau telinganya. Tipe Skorpion dan Ameise yang mundur sekali karena tembakan Alkonost mulai merangkak keluar dari tempat persembunyian.

Setelah menyaksikan semuanya, mereka tidak boleh menyia-nyiakan kematian para Sirin.

Shin menggertakkan gigi.

“—ayo.”

“Mana mungkin …!”

Sepertinya Rito yang bilang. Mengabaikan teriakan orang lain, Shin mendorong maju tuas kendalinya. Mengikuti bidang tanah hitam terbuka yang ditinggalkan serbuan Alkonost, Undertaker bergerak maju sebagai garda depan. Usai penundaan sejenak, Laughing Fox, Gunslinger, beserta Snow Witch mengikuti jejak kaki Shin. Kemudian unit-unit lain skuadron Spearhead ikut menyerbu, bersumpah serapah seiring langkah mereka.

Kebanyakan 86 di sini telah bertahun-bertahun bertahan di medan perang Sektor 86. Bahkan tanpa diperintahakan, skuadron yang berada di garis belakang mulai menembakkan tembakan penahan. Tipe Skorpion yang bergerak maju menundukkan kepala mereka sementara Juggernaut menembus tirai salju, dan langit di atas mereka bersinar terik.

Salju kian lebat. Seolah-olah meredam tangisan Sirin.

Mereka mencapai parit penuh rongsokan. Tanpa mengurangi kecepatan sedikit saja, Undertaker melangkah ke jembatan aneh dan bergegas melewatinya sekali napas. Dikarenakan tak diisi bahan bangunan asli, pijakan jalannya tak merata, alhasil kaki Juggernaut mudah tersangkut.

Sekalipun mata mereka menatap tujuan, mereka masih melihat sisa-sisa mengerikan Sirin yang membuka jalan ke depan dan cara langkah kaki Juggernaut menendang mereka dan malah semakin menghancurkan. Menepis bangkai ranjau swagerak yang hampir seperti makanan sehari-hari bagi mereka, dan Sirin mungkin bentuknya manusia namun sejatinya tidak lagi manusia. Mereka fundamentalnya tidak berbeda dari Legion yang mengasimilasi otak orang-orang mati dalam peperangan untuk melanjutkan pertarungan.

Itu sama saja. Semestinya sama. Menghancurkan Legion dan menginjak Sirin di laju mereka …

“Cih …!”

Seharusnya serupa, namun rasa jijik tak tergambarkan ini tidak mau hilang. Sama mengerikannya seperti belari di atas gunungan mayat yang menempel di kakimu selagi menginjak-injaknya, melilit anggota tubuhmu dan menolak melepaskan.

Shin kira dia bisa mendengar Theo mengumam, “Maaf …,” Kurena mengerang kesakitan, “aku benci ini,” dan Anju mencoba menahan getaran pada suarnaya sembari menenangkan Rito yang menangis. Di tepi layar optiknya, dia melihat kaki Undertaker menginjak punggung Sirin yang masih mencoba bergerak. Bibir bunganya melebar seakan menjerit. Tangannya kejang-kejang terangkat ke langit—mungkin mencari-cari bantuan atau mungkin semata-mata kelebihan beban—kemudian menjatuhkannya tanpa daya dan tanpa kata.

Sistem Juggernaut tak punya fitur umpan balik. Entah apa pun yang diinjaknya, sistem penyangga akan mematikan dampak gerakan, membuat Prosesor merasa getaran minim belaka apalagi Juggernaut juga dimuat peredam kejut kuat yang mengizinkan manuver kecepatan tingginya, berarti menginjak manusia tak terlalu menyentak kokpitnya.

Itulah alasan sensasi di tangannya yang mencengkeram tuas kendali, rasanya sangatlah berhati-hati, dan suara injakan yang mestinya ditenggelamkan suara serta langkah kaki mesin Juggernaut pastilah ilusi yang muncul dalam pikirannya. Dan begitu pula noda darah yang berceceran di Undertaker selagi Shin mendengar teriakan mereka.

Gigi Shin mencicit karena terlalu keras dia gertakkan.

… tidak.

Dia hanya tak sadar. Tidak menganggapnya demikian. Dia lupa di mana dirinya berada.

Bagi seorang Penyandang Nama, Nama Pribadi adalah gelar serta kutukan yang diberikan kepada mereka yang lolos dari tempat yang merenggut banyak nyawa rekan-rekannya—kepada iblis-iblis perang yang meneguk darah rekan mereka, menumpuk mayat baik kawan dan lawan. Nama yang dicadangkan untuk monster yang kembali hidup-hidup dari Sektor 86, medan perang yang hanya mengeluarkan satu dari seribu orang.

Merasa sedih sekarang itu bohong.

Sebab jalan yang kini dia telusuri hingga saat ini—jalan yang membawanya ke sini di masa ini—diaspal mayat-mayat rekan-rekannya.

Bertahan hidup artinya melangkahi orang lain. Seseorang yang sedang sekarat. Seseorang yang masih hidup. Seseorang yang tidak bisa dia selamatkan, seseorang yang harus dia tinggalkan, seseorang yang tidak dapat dia jangkau. Dan tanpa sadar, dia harus melewati orang sekarat, selamat selagi melangkahi mayat-mayat bertumpukan dan melalui genangan darah.

Kejadian ini tidak ada bedanya. Dia terus maju, bergerak maju, meski artinya melangkahi segunung mayat. Pemandangan ini kebetulan perwujudannya. Kalau ada yang terasa buruk … bukan hanya rute pengepungan ini namun seluruh jalan yang mengantarkan mereka ke titik ini … itu tak terhindari, karena tidak ada yang namanya perang tanpa korban jiwa. Tidak ada bangsa yang bertahan tanpa adanya pengorbanan.

Manusia sama sekali tidak bisa bertahan dengan cara lain.

Kepala berambut merah tua tak berkedip dan tidak berfungsi ini terlintas di sisi penglihatannya. Gema lari Undertaker mengguncang kepala menjuntai-juntai yang lepas dari kabel di lehernya, kemudian menggelinding jauh ke luar dari pandangan. Napas berhembus dari tenggorokannya, namun dia tidak membiarkan air matanya jauh.

Lena. Maaf. Orang hidup … manusia hidup … aku …

… tidak bisa menemukan keindahan di sana.

Tidak seperti istana yang menunjukkan otoritas dan kenyamanan tinggi, dinding pertahanan dibuat untuk pertempuran. Strukturnya adalah pedang-perisai melawan penyerbu. Dinding menjulang tinggi dan parit banjir atau kering yang sah mengelilinginya, tapi lubang benteng dipasang di bagian teratas gerbang, sekat-sekatnya semakin tinggi makin dalam, dan gerbang masuk menara benteng hanya ada di lantai dua. Tangga spiral searah jarum jam. Semua itu adalah mekanisme layak di zaman saat pedang dan busur adalah senjata utama, dan kesemua itu masih menampakkan nilainya.

Bagian dalam bentengnya terletak di alun-alun seberang palisade selatan. Diam menunggu tepat di bawah dinding puncak adalah letak sekelompok tipe Skorpion meluruskan bidikan mereka mengantisipasi serangan musuh. Mereka tak mampu menghentikan pembangunan rute pengepungan, namun mereka masih dapat mencegah infiltrasi musuh dengan menyerangnya di momen-momen musuh lengah saat mencoba menyerang.

Rute pengepungan adalah pekerjaan terburu-buru dan dibangun sangat sempit. Level strategi bodoh, karena pasukan musuh masih harus berpencar, dan banyak Feldreß musuh telah dikorbankan demi membuat rute ini, berarti jumlah mereka telah efektif dipotong setengah. Mereka takkan mampu lagi lama mempertahankan serbuan lakukan atau mati ini.

Kala itulah jangkar logam meluncur melewati celah panah bergerigi, terbang ke atas dinding. Dua Feldreß. Empat baris dengan cakar di setiap ujungnya—jangkar kawat menusuk dalam-dalam ke atas palisade, terpasang sendiri. Sesaat setelahnya, dua Juggernaut terbang dari kedua sisi bidikan tipe Skorpion, melesat ke atas dinding menghadap Penembak Jarak Jauh.

Tanda Pribadi mereka adalah rubah tertawa dan kerangka tanpa kepala membawa sekop.

“—kalian ini goblok?! Jelaslah kalian bakal mengincar kami, jadi orang idiot mana yang menyerbu langsung dari depan?”

“Aku baru sadar sewaktu Dustin katakan. Mantan warga negara Republik takkan tahu apa-apa soal teori infiltrasi.”

Theo melontarkan komentarnya seolah-olah menghilangkan penderitaan yang dialaminya beberapa saat lalu—kemudian Shin menyelesaikan kalimat tersebut dengan sikap dinginnya yang terlalu sering menampik penderitaan. Dua ledakan ditembakkan sekaligus. Turet tank 88 mm mereka meraung, garis tembakan kecepatan awal 1.600 meter per detik menembus sisi samping tipe Skorpion. Proyektil multiguna meledak ketika menyentuh, melepas semburan logam hitam pekat serta hujan fragmen mendadak yang kejamnya membakar kulit tanpa lapsi baja tipe Skorpion.

Tentu saja, tipe Skorpion tidak menerima serangannya secara pasif. Sensor bidikan senjata dan optik mereka menyematkan laser pada dua target, dan mereka berusaha mengubah arah sampai selaras dengan keduanya mengikuti algoritma taktis.

Berusaha … lalu gagal.

Selagi mencoba mengubah arah, laras tipe Skorpion lainnya menghalangi mereka. Salah satu tipe Skorpion membentur satu sama lain dan terhuyung-huyung, memblok mereka dari pergerakan. Tipe Skorpion berdesakan di lambung bagian dalam palisade terbatas, berdiri dia dan tidak sanggup bergerak. Para Juggernaut mengosongkan pelor mereka sekejap mata, membidik sisi samping mereka dengan serangan kejam.

Palisade disusun untuk memisahkan dan menghalangi pasukan penyerang musuh, dipisahkan menjadi bagian sempit serta terbatas oleh partisi, dan itu berlaku kepada tipe Skorpion tumpul dan laras panjang di punggung mereka. Tipe Skorpion yang kurang ahli memutar laras, hanya mampu menyerang yang ada di depan mereka. Karena sekarang tidak bisa melancarkan serangan balasan atau mengelak, mereka target mudah.

Juggernaut lain meluncur diagonal menggunakan jangkar kawat mereka, mengikuti jalan dua garda depan, mereka bergabung dalam penyerangan. Menembakkan senapan mesinnya untuk memencar ranjau swagerak yang memenuhi dinding untuk menghentikan para penjajah, kemudian menggunakan turetnya untuk menghancurkan terjangan Ameise.

Satu unit—Sagittarius Dustin—meninggalkan rongsokan tipe Skorpion dan menggunakan pelepasan asap untuk membentuk tabir asap putih, menyembunyikan gerakan pasukan penjajah. Disembunyikan tabir asap, skuadron Claymore, dipmipin Rito, bergegas mengambil alih hanggar seraya membuka permukaan landasan rudal unit penahan.

“—semua unit peluncur. Lumpuhkan seluruh koordinat yang dikirim!’

Unit-unit peluncur menembak atas perintah Lena. Rudal-rudalnya melayang ke udara di atas sektor permukaan, meninggalkan jejak asap putih di belakangnya kemudian melepaskan gugus bom di dalamnya yang menghujani sektor tersebut lalu ke Legion berat ringan yang menyerbu sendiri ke Juggernaut. Fragmen swakarya antilapis baja ringan tersulut, membentuk semburan api yang bergerak tiga ribu meter per detik dan menyapu Legion berbobot ringan dengan suara memekakkan telinga.

Demikianlah bagian atas benteng dilumpuhkan. Sisanya adalah menyapu bersih sisa-sisa musuh. Chaika berhenti di sisi Undertaker. Kanopi belakangnya terbuka, kemudian Lerche menunjukkan wajahnya, berteriak:

“Tuan Pencabut Nyawa, sekarang, selagi masih ada kesempatan!” “baiklah.”

Meriam 88 mm mereka kehabisan amunisi. Senapan mesin Laughing Fox dipersenjatai lengan sekunder, lantas tak terlalu jadi soal; akan tetapi Undertaker yang dilengkapi persenjataan jarak dekat, menempatkannya dalam posisi kurang menguntungkan jikalau terjadi baku tembak.

Kala itu, tangisan abnormal terdengar.

Tangisan tersedu-sedu hantu yang hanya bisa didengar Shin. Suara ratapan, menenun bahasa mekanis yang tidak dapat dia mengerti. Suara kecerdasan mekanis murni yang semestinya sekarang tidak ada setelah batas enam tahun jatuhnya Kekaisaran berlaku.

Medan perang masih tebal asap putih, menjadikan Juggernaut kesulitan mendeteksi keberadaan satu sama lain. Namun kemampuan Shin bertahan dalam kacaunya medan peran, akurat mendeteksi sumber tangisan itu. Kanopi batu benteng yang menjulang tinggi laksana elang melebarkan sayap untuk melindungi anak burungnya. Di tengah sayap-sayap besar tersebut, sesosok berdiri tenang di antara sisa-sisa tengkorak elang yang dihancurkan dalam perang masa lalu.

Siluet lincah predator buas. Unit sensor menyerupai kepala singa serta bilah rantai di punggungnya, mulus sekali sampai-sampai setiap bagiannya nampak bak bulu terbang. Shin nyaris bisa melihat kilat memancar dari sepasang sensor optik menyilaukan dari asap putih.

Phönix.

Satu kamera eksterior tunggal yang hampir tidak berfungsi memproyeksikan gambar Phönix ke layar holo pos komando. Lena menyipitkan mata selagi melihatnya.

Wujudnya …

Frederica nampaknya berpikiran sama selagi mengerutkan alisnya.

“… kelihatan berbeda dari data kita. Sayap berlebihan itu apaan?”

Sayap. Iya, sayap.

Badan gesit, berkaki empat, mengingatkan rupa singa atau macan tutul buas, dikacaukan sayap seperti pisau berlapis perak. Di antaranya, di bagian yang berhubungan dengan tulang belikat hewan, sepasang bilah rantai panjang menjulur, menggambarkan Phönix akan griffin2 mengerikan  yang membumbung tinggi di angkasa.

Masing-masing sayapnya gemetar dengan gerakan tak menyerupai makhluk hidup. Memendarkan cahaya lembut kontras dengan salju dan menyihir semua orang yang melihatnya. Cahaya keperakan metalik yang mengalir sebagaimana cairan.

“Lapis baja cair …?!”

Menurut laporan yang Shin kirimkan, lapis baja Phönix bahkan lebih sedikit daripada Ameise. Dikarenakan betapa tipisnya lapis bajanya, begitu satu bagian lapis bajanya dilepaskan hulu ledak antitank berdaya ledak tinggi, bisa ditembus peluru senapan antipersonel 7.62 mm. Tanpa kelemahan itu, Shin sepertinya takkan bisa mengalahkannya.

Faktanya, melihat mobilitasnya saja di perekam misi membuat Lena yang bahkan tak berada di lini depan, terdiam seribu bahasa. Mobilitasnya sangatlah membutakan dan kecepatan tempurnya bahkan membuat Legion lain yang telah melampaui batasan dasar manusia, tidak ada apa-apanya. Dan pada satu pertempuran itu, Phönix telah menyadari dan melampaui kelemahannya. Atau barangkali semata-mata masih dalam pengembangan kali terakhir Shin melawannya.

Akan tetapi …

Lena mengerutkan bibir …

Pertempuran di setiap koridor melawan Legion yang terus bergerak kian sengit, dan jalur invasi dari luar kastil sedang dibuat. Semisal Legion kehilangan kendali permukaan pada Juggernaut, bagian bawah tanah akan diserang selanjutnya.

Menyadari mereka harus mengambil alih benteng sebelum itu terjadi, Ameise dan ranjau swagerak mengulang serbuan bunuh diri mereka.

Terkena tembakan Skorpion yang menyelinap masuk paksa, partisi sekat terakhir koridor kelima runtuh. Di tengah kekalutan pertempuran, sebuah pesan nirkabel dari skuadron lain sampai telinga Raiden.

“—Wakil Kapten Shuga!”

“Rito?! Kau di mana sekarang?”

“Kami seharusnya berada di depanmu dalam waktu sekitar satu menit! Kami akan menerjang masuk, jadi pastikan menghindar!”

“Cih, semua unit hentikan tembakan dan mundur dari depan elevator! Kabur dari garis tembakan!”

Tidak lama selepas seluruh Juggernaut dan Barushka Matushka melompat mundur, tembakan senapan mesin 12.7 mm menyerbu bagian belakang barisan Legion. Rentetannya ditembakkan dengan kejutan total dari poros elevator yang mengarah ke jalur kompleks menuju permukaan. Ameise ditembak di bagian punggung yang lapis bajanya tipis, serta ranjau swagerak dipencar. Melangkahi sisa-sisa hancur mereka, Rito bersama skuadron Claymore memasuki sektor bawah tanah, menyerang Legion tersisa yang telah menghindari serangan mereka.

“Kita sudah mengendalikan sektor permukaan, dan ada kawan merebut koridor lainnya. Kita harus ke permukaan, Wakil Kapten Shuga!”

“Baiklah …”

Raiden putus koneksi dan mengerutkan alis. Kedatangan sembrono tidak normal dan tembakan senapan mesin kelewat ganas ini rasanya bagaikan serbuan habis-habisan ketika digabungkan teriakan gugup Rito lewat Resonansi. Beberapa Barushka Matushka yang gagal melarikan diri tepat waktu terkena peluru nyasar namun baik-baik saja karena lapis baja depan tebalnya mampu menangkis tembakan senapan mesin.

“… ada apa, Rito?”

“Bukan apa-apa!”

Ada perasaan pahit di responnya. Seolah jika tidak Rito katakan, dia akan menangis tersedu-sedu saat itu. Seakan-akan telah kehilangan banyak rekan dan mengira melihat mayatnya sendiri bergelimpangan di antara tumpukan mayat mereka.

“Beneran bukan apa-apa …. Jadi tolong cepatlah.”

Asap putih menghilang. Phönix menguasai taman pertempuran begitu kain kasa bak tirai salju kian menipis. Selagi meninggi di atas kanopi seperti burung dengan sayap terbentang, medan perang di bawahnya dikelilingi sejumlah menara observasi yang ditata dalam formasi berlawanan arah jarum jam. Sisa-sisa logam dari tipe Skorpion yang hancur berserakan di tanah sepanjang lambung bagian dalam palisade serta partisi dalam yang telah hancur karena selongsong tank beruntun.

Tanda pertempuran terlampau mengerikan yang menembus hening hampa. Tanda-tanda perselisihan tidak enak dipandang dan kefanaan tenteram.

Phönix melihat semuanya tanpa pilih kasih. Dan mengonfirmasi posisi Undertaker berada di bagian dalam formasi Juggernaut, masih berdiri di belakang partisi tenggara, dengan penglihatannya belaka.

Balas melihat, Shin berbicara kepada semua orang.

“Semua unit, menyebar. Hindari kontak dekat apa pun yang terjadi. Kalian akan terkena peluru nyasar.”

Phönix mencondongkan kepala mirip hewannya, anggota tubuhnya menekuk dan membangun kekuatan.

Ia datang.

Ia melompat ke udara, jatuh lurus ke bawah menghunuskan bilah rantainya untuk mengendalikan ketinggian. Mendarat di salah satu genteng, ia memanfaatkan dampaknya untuk mendirikan momentum kemudian menghentak maju. Menuju Undertaker.

Chaika melompat ke samping, menjaga jarak agar tak menghalangi pertempuran. Meninggalkan magasin kosongnya, Undertaker menguatkan diri. Selagi melakukannya, Phönix melompat dari puncak menara ke partisi, menendang permukaannya dengan kecepatan membutakan, menutup jarak sekejap mata. Potongan beton dan es yang berhamburan ke udara adalah satu-satunya cara melacak pergerakannya melalui mata. Bayangan peraknya menukik turun menuju Undertaker, menggabungkan lompatan tidak beraturan ke kiri-kanan langkahnya.

Kapan …?

“Tepat sasaran. Cuma orang bego doang yang menyerang seperti itu.”

Sebuah selongsong meriam muncul di sampingnya. Pengeboman jarak dekat, lajunya melebih kecepatan suara. Penembaknya adalah Juggernaut yang bersembunyi di balik bayangan puncak menara. Gunslinger Kurena. Walaupun dia memprediksi lintasannya, bagi senjata darat kecepatannya masih tak terbayangkan. Dari awal dia menonaktifkan dukungan sistem kendali tembakan, mampu menembak jatuh Legion itu berdasarkan intuisi belaka.

Selongsong Kurena bergerak lebih cepat daripada suara yang ditinggalkannya, melesat maju tanpa laser bidikan, namun Phönix melihatnya hanya dari kilat moncong senjata Kurena. Ia mengerem dan membatalkan lompatannya, menghindar tipis selongsongnya.

Sayangnya.

Selongsong yang harusnya meleset dari targetnya keluar dari lintasan, meledak di udara, berkilat dan meledak sendiri di depan Phönix. Api juga gelombang kejut meledak ke segala arah dengan kecepatan delapan ribu meter per detik. Pecahan-pecahan yang dilancarkan meluncur lebih cepat melebihi yang bisa dihindari Phönix.

Sekring proksimitas. Awalnya merupakan sekring khusus untuk pengunaan rudal antipesawat, diatur meledak dan melepaskan pecahan-pecahannya bahkan tanpa benturan sewaktu memasuki medan elektromagnetik target. Tak sanggup menghindari sejumlah pecahannya, Phönix itu dijatuhkan ke tanah. Rupanya lapis bajanya belum ditembus, namun sejumlah cairan yang menutupinya telah dikorek kemudian melayang ke udara seperti kelopak bunga.

“—cilukba, dasar bodoh.”

Terdiam menunggu di titik pendaratan yang diperkirakan, Snow Witch—atau tepatnya …

Anju di dalamnya—nyengir tanpa rasa kasihan. Saat berikutnya, peluncur di punggung Snow Witch membuka dan menembak. Rudalnya berzig-zag di udara ke Phönix lalu menyebarkan bom-bom lebih kecil yang menghujani seluruh rute pelarian memungkinkan—termasuk rute yang dipilih Phönix—pada jeda waktu itu.

Phönix mencoba melarikan diri dari rentetan tembakannya tetapi setelah menyimpulkan tak dapat melakukannya, dia terpaksa menghadapinya terus kabur ke udara.

“—ha, dia datang. Mereka bilang cuma orang bego yang, anu, sesuatu soal tempat tinggi.”

Laughing Fox menunggu, menembakkan jangkar kawatnya ke genteng miring di salah satu menara, lalu mengarahkan kedua senapan mesin beratnya di kedua lengan penggenggam menuju Phönix. Theo menarik pelatuknya. Phönix berada di udara, di tempat ia tak bisa bergerak secara normal, dan harus menghadapibeberapa peluru pertama secara langsung. Selanjutnya mengayunkan bilah rantai membentuk lengkungan lebar, mendorongnya ke dinding sebagai jangkar dadakan dan mencegah Phönix menjauh paksa lalu kabur dari zona rentetan serangan.

Laughing Fox segera meninggalkan posisi menembaknya dan terbang ke puncak menara lain bersama jangkar kawatnya berupaya mengejar, seketika Juggernaut baru mulai menembak Phönix. Penahanan area lain oleh bom-bom kecil. Tembakan senapan mesin dari Wehrwolf yang buru-buru datang dari hanggar.

“—rasanya kita kek berburu hewan gede di sini. Saat ini sih tidak mau jadi dia.”

Selagi Phönix mencoba menghindari serangan dengan melompat ke kotamara, beberapa tembakan kaliber kecil akurat ke pijakan membuatnya jatuh. Selagi jatuh, tanda peluru tetap terukir di permukaan batu. Datangnya bukan dari meriam 88 mm Juggernaut maupun meriam 120 mm Barushka Matushka, melainkan dari senapan antitank 20 mm remeh …. Beberapa orang menembaknya, salah satunya adalah Paduka pangeran sendiri.

Akhirnya menampik rentetan peluru yang menembus lapis baja mengincar tubuh sampingnya, Phönix mendarat lalu melihat sekeliling. Legion adalah mesin tempur dan yang satu ini kecerdasan mekanis murni, jadi kemungkinan besar tak punya sesuatu semacam emosi manusia. Tapi kalau punya, sekarang adalah momen dirinya mendecakkan lidah kesal.

Musuhnya di mana-mana. Di atas dinding, di atas sekat yang memisahkan mereka menjadi beberapa sektor, ada yang bertempat di atas menara observasi. Di dalam bayang-bayang fasilitas yang disusun secara aneh juga interiornya. Mereka semua menghindari garis tembakannya, namun Phönix berada di tengah-tengahnya. Siluet-siluet putih banyaknya Juggernaut bercampur dengan salju selagi mereka mengepungnya.

Melihat situasinya dari layar holo, Lena berbisik dingin.

“Tentu cepat, dan mobilitasnya mencengangkan …. Tapi bukan berarti tidak ada cara melawannya.”

Kecepatannya yang membuat seluruh sistem kendali tembakan jadi tak berguna, tidak tertandingi bagi senjata daratan, tak salah lagi. Namun ada senjata modern yang bahkan sanggup menembak jatuh jet-jet tempur yang bahkan kecepatannya lebih membutakan di masa-masa pra peperangan melawan Legion yang berakibat menyegel langit.

Salah satu senjata itu adalah sekring proksimitas yang terpicu begitu mendekati musuh meskipun tak mengenainya, berikutnya melepaskan pecahan-pecahan sebar cair. Gugus hulu ledak yang menyebarkan hujan bom kecil menutupi radius luas sekaligus. Atau senapan mesin dan meriam otomatis yang melepaskan puluhan peluru per detiknya seiring siklus tembakan, menciptakan rentetan tembakan tebal.

Bila mana pandangan mereka tak bisa mengimbangi … andaikata membidik dan menembak satu titik terbukti mustahil …

“Kita cuma perlu menyerang area luas …. Itu saja.”

 Mereka sudah menerapkan tindakan penanganan ini dalam segi taktik ataupun senjata yang perlu mereka gunakan. Satu-satunya alasan Shin berjuang keras sekali melawan Phönix pertama kalinya mereka bertemu adalah dia belum pernah menemuinya sebelumnya dan dengan kata lain, disebabkan sifat pribadinya sebagai petarung. Undertaker adalah unit yang dikhususkan pertempuran jarak dekat dan kurang senjata area luas. Susah melakukan serangan balik sendirian.

“Aku bertanya-tanya bagaimana caramu memancingnya ke tembakan bertubi-tubi ini, tapi tak pernah kusangka-sangka kau menggunakan Undertaker sebagai umpan,” kata Frederica. “darah yang mengalir di nadimu lebih dingin dari yang kukira, Vladilena.”

“Tujuan musuh adalah memusnahkan kita sekaligus menangkap Shin. Tidak mungkin kita tahu itu tapi tidak memanfaatkannya.”

Kegagalan terbesar Phönix adalah membiarkan Shin lolos selama pertempuran terakhir mereka dan membawa pulang laporan dengan informasi berharga—seperti kemampuan dan perkiraan spesifikasinya … juga tujuannya. Dia tak sanggup membunuh Shin padahal benar-benar mampu melakukannya, dan urutan tindakan mencurigakan ini memperjelas tujuannya.

Karena manusia tahu apa yang dikejarnya, mereka menarik perhatiannya dengan umpan. Menurut mereka, Phönix itu adalah serigala dungu kelaparan yang mereka pancing ke jaring melingkar menggantungkan mangsa yang diinginkannya di depan mata. Iya, Phönix pernah sekali mengalahkan skuadron penuh Reginleif dan menghancurkan mereka tanpa terkena satu serangan pun. Nampaknya menilai jarak antara kemampuan tempurnya dan Reginleif cukup besar.

Dan berdasarkan perkiraan ini, Phönix tidak ambil pusing apa-apa kecuali target prioritas tingginya, Shin, ia mengerahkan segenap serangannya padanya. Lantas manusia menggunakan unit pendamping mereka sebagai umpan supaya membuat keputusan salah kemudian mengunggulinya dengan jumlah semata.

Taktik sangat pengecut. Lena pikir mereka mungkin tidak menyukainya, namun sesaat dia usulkan sebagai langkah penanganan sesudah operasi terminal, 86, termasuk Shin, sebetulnya tidak menghiraukannya.

Strategi fundamental 86 dari awal adalah melawan satu Legion dengan banyak unit. Mereka tak punya pilihan selain mengandalkan jebakan, umpan, serta taktik satu lawan banyak seumpama ingin mengalahkan monster besi presisi tinggi tidak masuk akal dalam mesin peti mati alumunium cacat. Mereka takkan anggap ini tindakan pengecut.

“Ajudan Rosenfort. Kapten Nouzen sekarang ini bertugas mencari posisi unit musuh, dan Letnan Dua Iida akan bergabung dalam pertempuran begitu selesai membersihkan fasilitas. Keduanya adalah personel tempur. Kami akan mengandalkanmu ketika keduanya tidak bisa memberi peringatan.”

Frederica mendengus imut.

“Sudah kubilang panggil aku Frederica, otak udang …. Dimengerti. Aku akan tangani ini.”

Para Juggernaut telah menaruh jebakan mereka di seluruh sektor permukaan. Di puncak dinding maupun partisi, di antara sekat labirin dan bangunan. Mereka mengelilingi Phönix dari empat sisi dan atas. Phönix melompat-lompat ke sekitar, mencoba menghindar dan menerobos pengepungan, tetapi ke manapun dia pergi, dia disergap dan meninggalkan semprotan perak di belakangnya.

Tembakan sebar berbunyi. Bom-bom kecil menghujan. Senapan mesin meraung-raung layaknya hewan buas, dan senapan antitank merobek udara dinding selagi terbang ke arahnya. Ditambah pelengkap saat selagi senjata bergerak saling menembak para tentara berlari keluar dan memasang ranjau sebar terarah baru yang melepaskan semburan bola baja menggempur Phönix.

Perburuan besar.

Tiada nama lebih cocok untuk pertempuran ini, pikir Lena selagi melihat kejadiannya lewat layar optik. Hewan berbahaya, licik nan buas jauh lebih kuat dari manusia manapun, tetapi mereka buru dengan menyatukan kecerdasan bersama senjata-senjata mereka. Itulah jenis pertempuran ini.

“Skuadron Falchion dan skuadroon Glaive, ganti posisi ke blok selatan ketiga. Kapten Nouzen dan Letnan Dua Iida, gunakan Undertaker untuk memancingnya ke blok sana …. Sisa-sisa musuh terdeteksi di koridor dua puluh tiga. Skuadron Mace, pergi bersihkan mereka.”

“Diterima.”

Menyapu sisa-sisa musuh di sektor bawah tanah dan berburu hewan di permukaan. Selagi Lena memindahkan bidak-bidaknya di dua medan perang di waktu bersamaan, cahaya yang menembus Cicada bersinar merangkai pola memusingkan. Sorot cahaya mengisyaratkan telah beroperasi dengan efisiensi tinggi menerangi pos komando gelap.

Selagi menghindari serangannya, Phönix menaikkan kepala menyerupai hewannya seolah-olah memanggil sesuatu. Awan-awan di atas kian tipis selagi Eintagsfliege terbang ke bawah, selanjutnya Phönix menyelam ke dalam Eintagsfliege itu, membungkus dirinya sendiri ke dalamnya dari atas sampai bawah. Kamuflase optik dikerahkan, menyembunyikan siluet keperakannya dari pandangan. Kaki tak terlihatnya menghantam tanah dengan suara keras, menyisakan lantai retak-retak di bawahnya sebagai jejak terakhirnya selagi menghilang ke suatu tempat—

“—Michihi, dalam lima detik, lurus ke depan …. Tembak!” “ya, Pak!”

Mematuhi instruksi Shin yang bisa mengetahui posisi musuh terlepas dari hukum fisika, satu peleton beranggotakan enam unit merespon langsung. Mereka semua melancarkan rentetan tembakan senapan mesin yang merobek kamuflase Eintagsfliege dan sekali lagi menampakkan Phönix, kemudian dia masuk pojokan, menghindari garis tembakan yang mengejarnya. Pilar beton tebal menghalangi mereka, dan sensor lemah para Juggernaut kehilangan jejak posisinya.

“Kegampangan! Crow, hidangkan seporsi filet peluru enak!” “dimengerti, Iida, tapi tahan dirimu.”

Shiden yang pergi menyapu sisa-sisa musuh di hanggar ke unit penjaga pos komando lalu naik ke permukaan untuk membantu pengintaian, tak bisa menahan tawa kekehnya.

“Caramu mengarahkan jalan seperti Pencabut Nyawa kecil itu membuat kulitku merinding …. Ayolah, anak kecil, selanjutnya ke mana?!”

“Jangan panggil aku anak kecil, dasar anak kurang ajar! Di sektor kelima selatan, bagian tengah, tembak!” teriak Frederica, mata merah tuanya bersinar lembut. Rudal-ruda kecil melayang, meninggalkan jejak asap putih sewaktu fitur pencarinya diaktifkan, menyerang Phönix. Unit-unit infanteri yang bersembunyi di atap fasilitas bangkit berdiri, memanggul peluncur rudal darat ke udara3 yang berat setelahnya menembaki musuh mereka.

Phönix melompat horizontal jauh untuk menghindarinya, namun rudal berbelok tajam dan akurat melacaknya. Pemandu radar aktif. Peluru metalik yang tanpa henti mengejar target apa pun sesudah terkena laser pelacak sudah seperti amunisi terkutuk, hingga kehabisan propelan atau mengontak.

Mengerem dengan punggung menghadap partisi, Phönix menghadapi langsung rudalnya. Juggernaut terdekat menyadari niatnya dan mundur. Bilah rantai yang menjadi bulu kuda Phönix meraung hidup. Menggunakan sepasang bilah putar untuk memotong sebaris rudal dan melompat tepat ke barisan kedua yang berada di atasnya. Gerakan mendadak membuat rudalnya antara kehilangan jejak Phönix atau tidak mampu mengubah lintasannya tepat waktu, sesudah itu semua rudalnya menabrak partisi dan meledak.

Beton bertulang tebal runtuh dengan suara gemuruh. Membaur ke debu dan asap, Phönix menendang dinding melompat-lompat naik dari kiri ke kanan, menuju kanopi—

“Aktifkan!”

Begitu perintah tajamnya diturunkan, kabel listrik ditembakkan secara horizontal dari setiap menara, membentuk jaring dadakan di udara yang menjatuhkan Phönix di tengah udara.

Menghantam ubin berbatu, Phönix sekali lagi berdiri dan melompat menjauh seraya memperlihatkan reaksi kaget terang-terangan. Tak pernah membayangkan mereka punya jebakan konyol seperti ini. Vika seorang bereaksi geli terhadap situasi ini, bicara melalui Resonansi.

“Ini jebakan yang kami atur untuk menangkap helikopter andaikata benteng dikepung serangan udara, bermodel, Biarlah kiranya aku mati bersama-sama orang Filistin ini4 …. Heh, para pendahuluku punya watak cukup buruk, menurutku.”

Raiden bertanya dengan suara jengkel, “Aku hampir enggan bertanya, tapi kau tidak meletakkan bom penghancur diri di pangkalanmu, kan, Pangeran?”

“Mm? Aku tentu melakukannya. Wajarlah. Bukannya menurutmu ada suatu estetika perihal meledakkan kastil terebut bersama musuh?”

“…”

Frederica sepertinya tidak membayangkan Marcel berdiri sebentar karena ketakutan di sudut matanya.

Sehabis itu Frederica berbisik, “Aku mulai curiga kalau dia … lebih tepatnya, seluruh Cenayang Idinarohk, cuma orang bahlul yang pura-prua cerdas …”

Lena merasa sama.

… yah, omong-omong.

“Partisi sekat kedua sektor Kelima telah ditembus. Seluruh Juggernaut di sektor tersebut diperintahkan pindah ke sektor keempat dan keenam berdekatan. Skuadron Skyhawk, tolong bantu. Skuadron Lycaon, kalian hampir kehabisan amunisi, benar? Gantian dengan skuadron Scythe.”

Satu pesan sembul muncul di salah satu layar sekunder. Blokade gerbang depan telah dihilangkan, dan para Scavenger mulai memasuki markas …. Kesampingkan rute pengepungan, Fido dan kelompoknya tak kuat memanjat dinding vertikal, jadi mereka mesti berputar dan mendaki jalan depan lantas baru saja tiba.

“Kita masuk dan sikat mereka. Jangan kasih napas musuh.”

“… tidak.”

Bertentangan semangat Lena, Shin menyipitkan mata getir. Lapis baja cair Phönix terbukti lebih tangguh dari yang diperkirakan. Sebab bisa bebas mengganti bentuknya, dapat berganti-ganti antara menjadi lapis baja jarak yang mampu menghentikan proyektil hulu ledak antitank berdaya ledak tinggi sekaligus menjadi lapis baja penahan peluru PLBTSLS5. Jarak buntu dari titik ledakan menyebarkan jet logamnya, dan peluru uranium penipis yang memang menyentuh sasaran telah dihancurkan di dalam lapis baja Phönix. Cairannya juga punya sifat dilantansi yang membuatnya mengeras ketika dikenai benturan, jadi bahkan ketika muncrat dalam kilat perak saat dipukul peluru senapan antitank dan peluru senapan sebar, lapis bajanya tidak memblokir penetrasinya.

Kendatipun kebanyakan lapis baja cair telah terkikis pertempuran sejauh ini, kerusakan pada unitnya sendiri sedikit. Di sisi lain, beberapa unit Juggernaut mulai menarik diri dari pertempuran. Laughing Fox terpaksa mundur, menghabiskan amunisi meriam 88 mm serta dua senapan mesin beratnya. Gunslinger salah belok, membuat musuhnya terlalu dekat, alhasil jatuh sesudah kakinya putus. Snow Witch sudah pergi karena mesti membersihkan landasan peluncurnya yang kosong.

Kelima turet senapan antitank telah dihancurkan, dan infanteri harus mundur selepas menghabisi senjata yang mereka bawa. Dan terakhir, menara dan partisi sekat juga dihancurkan satu demi satu. Pengepungannya mulai bercelah. Fido dan kelompok Scavenger datang, tetapi perlu waktu untuk berkumpul kembali dan pengisian ulang, apalagi mereka perlu entah bagaimana mempertahankan kekuatan tempurnya hingga itu terjadi …

Phönix mendadak berdiri di tengah suatu sudut tempat kebanyakan fasilitas telah runtuh dijadikan abu karena pengebomannya. Dia menoleh bak hewan, memastikan posisi Juggernaut yang mengelilinginya. Beberapa lapisan lapis baja mirip bulu yang menutupi tubuhnya tiba-tiba meleleh, beralih bentuk menjadi silinder tipis melingkar. Laras senapan. Sangat tipis dan panjang—kecepatan awal pelurunya teramat-amat kencang!

“—dia mau menembak! Hindari!”

Sekejap mata, benang perak menyebar ke segala arah, Phönix berada di tengah-tengahnya. Kemungkinan lapis baja itu bertransformasi lagi. Proyektil yang terbentuk adalah flechette6 besar dan tajam. Mekanisme penembakannya adalah pneumatik—berdasarkan udara terkondensasi—atau sentrifugal; mereka bodohnya percaya dikarenakan Phönix tidak dapat membawa persenjataan berat, maka Phönix tak kuasa melakukan serangan jarak jauh.

Flechette-nya tampak tidak punya kekuatan penetrasi untuk menembus lapis baja ringan Reginleif, tetapi masihlah bola berat yang bergerak sangat cepat, ditambah satu tembakan menghabiskan sebagian besar lapis baja cairnya. Juggernaut yang menerima serangan langsung terhuyung-huyung dan berhenti di jalurnya. Sekali lompat, Phönix menerobos celah pada formasi Juggernaut.

Pemandangan peraknya mendekati siluet Cyclops yang berada di salah satu sudut lingkaran pengepungan tertembus. Phönix itu mengacungkan bilah rantai kirinya secara diagonal, menebas Cyclops selagi melewati Juggernaut tersebut.

“Cih, dasar kau!”

Cyclops balas menembak sementara Shiden mendecakkan lidah kesal. Karena tidak bisa dia hindari, dia naluriah memutuskan membuat Phönix menghindar paksa. Sesuai keinginannya, Phönix bergerak menjauh dari garis tembakan, akibatnya bergeser dari jalur yang akan membelah dua Cyclops. Tak lama kemudian, sebuah hulu ledak terbagi delapan bagian mengontak punggung Phönix tepat ketika menarik kembali larasnya, hulunya hancur lalu meledak.

Gelombang kejut proyektil hulu ledak kimia berdaya ledak tinggi7 ditransmisikan ke dalam lapis baja cair Phönix, brutal menghamburkannya. Tetapi di saat bersamaan, senapan mesin kanan hingga kaki belakang dan depannya ditebas alhasil dipaksa jatuh dan kandas.

“Shiden!”

“Aku tidak apa-apa …. Lupakan itu.”

Shin mendengar Shiden menggertak giginya sewaktu peringatan proksimitas terdengar di kokpitnya.

“Maaf, dia berhasil lolos …. Dia mendatangimu, Penakluk Wanita!” “dia mencapai kita …! Shin!”

Lena pucat pasi ketika melihat itu terjadi. Phönix-nya menembus blokade. Masih dalam ranah kemungkinan prediksi. Menjadi umpan Phönix, Undertaker tidak bisa mundur dari medan perang kendatipun kehabisan amunisi. Sebaliknya, agar lebih baik memprediksi pergerakan Phönix, mereka harus mengepungnya sedemikian rupa hingga senantiasa melihat posisi Undertaker … dan mereka sangat menyadari risiko yang ditimbulkannya.

Legion itu punya mobilitas transendental dan dipersenjatai pertempuran jarak dekat. Dua-duanya berkarakteristik sama, tetapi Phönix mengungguli Undertaker dalam hal keduanya, menjadikan Phönix musuh alami Undertaker. Fakta Shin kembali hidup-hidup dari pertemuan terakhir itu ajaib.

Namun kali ini …

Phönix bergegas maju, mengacungkan bilah rantainya. Undertaker menggeser dua kakinya ke kiri, separuh badannya mengukuhkan diri menghadapi benturan.

Mereka berbentrokan.

Bilah frekuensi tinggi milik Undertaker memotong lapis baja Phönix dari kiri …

… dan bilah rantai Phönix, ibaratnya memotong air, menusuk kokpit Undertaker.

<<Menolak pemulihan target. Barog dieliminasi.>>

<<Penghancuran lapis baja dalam dikonfirmasi. Absennya reaksi organis dikonfirmasi. Mengonfirmasi—>>

Bibir Lerche tersenyum bengkok dari dalam kokpit hancur Undertaker.

“Kau meleset, dasar besi sialan.”

“Dia cuma dapat membedakan kita dari eksteriornya, ya? Persenjataan dan Tanda Pribadi kita.”

Di saat yang sama itu, Shin berbisik dari dalam kokpit Chaika yang duduk jongkok di belakang Phönix. Shin bertukar tempat dengan Lerche yang pindah ke Undertaker kehabisan amunisi, ke Chaika tepat setelah mereka merebut kembali sektor permukaan, ditutupi tabir asap yang diluncurkan pelepas asap Dustin.

Di hadapan kecepatan Phönix yang membuatnya sanggup bergerak melintasi pandangan lebih cepat dari yang bisa diikutinya, Shin tidak bisa menunggu kedatangan Fido dan mengisi kembali amunisinya.

Sumber ide itu adalah sesuatu yang Lena sarankan dan kemudian diperintahkan Vika; Juggernaut beserta Alkonost adalah senjata dari negara berbeda tetapi dua-duanya adalah Feldreß bergenerasi sama, dimaksudkan dipilot manusia atau humanoid. Perkara fungsi penting dan rasionalitas ergonomis di baliknya, sakelar serta pengukurnya kurang lebih sama. Oleh sebab itu, mempilot salah satunya bukan sesuatu yang tidak bisa dikuasi sesudah beberapa sesi pelatihan pertukaran.

Pertama kalinya bidikan Shin tertuju pada Phönix, dan bunyi bip elektronik menandakan telah mengunci target. Shin menarik pelatuknya di tuas kendali kanan yang berada di posisi jari telunjuknya—posisi yang belum pernah berubah pada sistem senjata mana saja.

Serangan dari belakang, di jarak dekat dan sepenuhnya serangan kejutan. Ditambah lagi, bilah rantai kiri Phönix ditancapkan ke Undertaker, membuatnya tak bisa bergerak. Biar begitu, insting mesin tempur mendesaknya melepas bilah rantai kirinya. Mengubah sebagian besar lapis baja menjadi bentuk kawat, ditusukkan ke tanah untuk menarik jauh tubuhnya. Dengan gerakan sedikit lebih cepat ketimbang melompat atau merunduk lalu menyingkir, menjauhkan prosesor sentralnya dari garis tembakan.

Sesaat setelahnya, hulu ledak antitank berdaya ledak tinggi menyapu sisi lapis baja Phönix tapi tidak berefek. Energi kinetiknya menghabisi sisa-sisa terakhir lapis baja cairnya dan lapis baja hitam di baliknya.

“… cih.”

Serangan Shin harusnya seratus persen kena, tapi dia masih menghindari dampak penuhnya. Shin terpaksa mendecakkan lidah terhadap kecepatan reaksi absurd Phönix. Tidak pernah selama tujuh tahun pengalaman bertempurnya dia meleset dari jarak sedekat ini. Tapi sekarang …

“Jadi, akhirnya kau melepas seluruh lapis bajamu, tolol.”

Kanopi Undertaker terbang terbuka. Terjadi ledakan petir yang membuka paksa kanopi tersebut, dan dari bawah kanopi terhempas, Lerche melompat keluar layaknya peluru. Kaki kanannya hilang sepenuhnya, darah biru cerah Sirin mengalir dari sana, nampaknya terpotong bilah rantai. Kaki dan tangan tersisanya berpegangan ke lapis baja berwarna putih gading, berjongkok sebagaimana binatang kemudian tubuhnya melesat maju.

Sarung pedang digigit mulutnya dan pedangnya sendiri di tangan kanan, beraksi bagaikan singa merobek daging mangsanya dengan kepala besar menggeleng. Kecerahan salju terpantul di bilahnya yang selanjutnya memekik disertai suara melengking dan mulai memanasnya.

Bilah frekuensi tinggi. Awalnya dibuat untuk digunakan Feldreß, bukan senjata yang digunakan dalam pertempuran jarak dekat sebenar-beanrnya. Kulit tangan buatan Lerche terkoyak sekejap mata.

“—haaah!”

Satu komet perak jatuh di atas Phönix yang dicegat ayunan bilah rantai. Pemandangan seorang gadis muda—meskipun gadis buatan—melawan Legion dalam pertempuran jarak dekat terlihat antara lelucon jelek atau mimpi buruk nyata.

Bilah rantainya menebas Lerche, memotongnya dari pinggang sampai bawah. Menusukkan pedangnya sendiri dengan ayunan rendah, dia tancapkan ke dasar mata rantai, mencopot lapis baja Phönix dan memasukkannya ke rangkanya. Cahaya kebiruan pucat dari arus sabetan menjalar di bilah rantai. Ular listrik mengalir di saber-nya, menghanguskan lengan kanan Lerche sampai hitam.

Sementara itu, Phönix sempoyongan begitu kali pertama kerusakan merayap hingga mekanismenya. Lerche lemas melepaskan cengkeramannya dan jatuh, menabrak bahu lawannya. Sarung pedangnya yang dibuang akhirnya menyentuh tanah, jatuh dengan suara mendentang.

Suara keras penyegelan lengan pemegang senjata Chaika yang menandai pemuatan ulang peluncurnya, bergaung dari kokpit. Suara palang teleskop dan alarmnya memperingatkan Shin, memberitahunya bahwa target telah tekrunci.

Di belahan lain, Phönix melepaskan bilah rantai miliknya yang sudah hancur. Permukaan luar badannya bocor cairan perak. Kehilangan seluruh senjatanya dan mengalami kerusakan parah. Cukup hingga menganggap situasinya cocok untuk meninggalkan unitnya, tampaknya. Namun sebelum sempat, mata Shin bersilangan mata Lerche.

Maata hijau. Sekalipun Shin diberi tahu Lerche bukanlah manusia, biarpun erangan orang mati senantiasa melingkupinya, matanya membara dengan kehendak dan emosi sebesar manusia. Bibirnya bergerak, dan lewat Resonansi, seorang laki-laki yang adalah tuannya berteriak keras.

“—tembak!”

Akankah Shin menahan diri sekiranya Vika atau Lerche memintanya berhenti? Keraguan tunggal ini terlintas di benaknya, tetapi pikirannya tidak berlanjut lagi. tubuh dan kesadaran Shin yang dioptimalkan demi pertempuran nyaris otomatis menarik pelatuknya.

Peluru penembus lapis baja yang dilepaskan merobek lengan kanan dari bahu Lerche, menjatuhkannya ke tanah. Selongsong hulu ledak antitank berdaya ledak tinggi menabrak dan meledak, menghasilkan semburan logam yang menembus lapis baja Phönix, tumpah ke rangkanya dari bagian bocor kemudian membakarnya. Tak lama setelah itu, kawanan kupu-kupu keperakan mengangkasa menembus api hitam, kabur ke langit bersalju.

“Jadi masih lolos. Sumpah, Legion betulan membuat model yang menjengkelkan kali ini …”

Menatap langit kelabu, Vika mendesah sembari memanggul senapan anti-tank beratnya. Dia berada di salah satu menara observasi yang terhubung ke fasilitas permukaan pangkalan. Kalau dia mesti menebak, setiap kupu-kupu adalah modul sistem. Kendati beberapa dihancurkan dalam pelariannya, penggantinya bisa diproduksi nanti. Tetapi masalahnya bukan itu …

“Kenapa Legion membuat sesuatu semacam ini?”

Benar saja, Phönix itu kuat, namun dalam hal efisiensi tempur, sejauh ini lebih rendah daripada unit yang diproduksi massal. Dibandingkan satu pahlawan yang membunuh banyak tentara dengan pedang di tangannya, beberapa ribu tentara yang menarik busur dan menghabisi puluhan ribu di luar jangkauan pedang jauh lebih gampang diproduksi. Itulah kemajuan persenjataan. Bahkan lebih aman, lebih cepat, dan lebih banyak merenggut korban.

Pembantaian sistematis efisien.

Dan makin benar lagi di zaman modern, ketika satu meriam sanggup menghancurkan pangkalan yang menampung ribuan orang serta, satu tapak rantai tank mampu menggilas infanteri tak terhitung jumlahnya. Tidak ada lagi tempat medan perang untuk para pahlawan pembawa pedang. Dan meski gagasan tentang pahlawan barangkali punya viabilitas bagi umat manusia, bagi Legion sama sekali tak berarti.

Sekarang, pahlawan adalah taktik yang digunakan pihak lemah. Mereka yang tidak kuat menandingi musuh secara langsung, memilih melancarkan serangan terpusat yang mencegah mereka bertarung lebih lama lagi. Divisi Penyerang 86, pada esensinya, adalah unit semacam itu, ditambah Pencabut Nyawa tanpa kepala front timur adalah tentara persis seperti itu.

Mereka yang kuat dan paling perkasa jumlahnya menjadi paling sedikit. Solusi terlampau efisien nan langka yang berharga. Itulah upaya terakhir umat manusia, tetapi bukan taktik yang seharusnya digunakan Legion.

Dan ada masalah lain mengenai senjata, karakteristik lebih menentukan: keabadiannya. Seandainya tujuan Legion adalah menyimpan catatan pertempuran, mereka hanya perlu mentransfer data sesuai yang mereka lakukan sejauh ini. Semisal mereka menyimpan cadangan dan memproduksi massal unit-unit pengganti jamak, satu unit individu bisa dibuang, lantas tidak usah menyimpannya segigih itu.

Insting pertahanan diri adalah tambahan paling tak penting yang bisa seseorang berikan kepada senjata. Jadi Vika tidak paham ide di balik pengembangan senjata ini. Rasanya sama sekali tidak sesuai dasar cara kerja khusus Legion untuk menghilangkan seluruh elemen musuh. Meski mesin otonom terkadang membuat penilaian yang tidak mampu diantisipasi siapa pun …

Ketika itulah kupu-kupunya mengubah arah mereka di atas. “… mm?”

Kupu-kupu Mesin Mikro Cair mengitari langit di atas benteng sebentar selanjutnya mengubah arah ke selatan, ke wilayah Legion berada, bertahap menurunkan ketinggian selagi menukik ke bawah.

Mereka mendarat sangat dekat. Posisinya beberapa kilometer belaka dari benteng.

“…”

Menyipitkan mata was-was, Shin memanggil layar hologram dengan lambaian tangannya. Untung ada kamera eksternal belum mati yang membidik area sana. Kameranya membesar, mengejar Phönix yang masih dalam kisaran efektifnya …

Sewaktu dia melihatnya, Shin tersentak.

Entah bagaimana berhasil mengalahkan Phönix dan semua unit Legion lain, pos komando perlahan-lahan menenang.

“… Milizé. Itu apa?”

Suara Frederica, diwarnai urgensi, bergema di seluruh ruangan.

“Kamera eksternal selatan nomor lima …. Apa yang terjadi di sana?”

Mata merah darahnya tertuju ke umpan kamera yang diproyeksikan ke sudut layar utama. Mengikuti tatapan Frederica, Lena memperbesar umpannya hingga memenuhi seluruh layar utama.

Napas Lena tercekat.

Di saat bersamaan, Shin berbalik, merasakan tatapan tajam kepadanya. Palisade telah diledakkan karena tiga hari pertempuran, membuat celah yang memungkinkan Shin melihat hamparan salju membentang di depan. Beberapa kilometer ke depan, di atas salju perawan murni tanpa cacat, berdiri satu Ameise yang lapis bajanya amat tua dan berumur sampai-sampai dari jauh pun terlihat.

Legion biasanya dibuat dalam lapisan hitam kemerahan, tetapi satu tipe Pengintai itu putih seputih cahaya bulan, seolah-olah bercampur salju di sekitarnya. Tidak punya dua sesnapan mesin serba guna, pada dasarnya berdiri diam tanpa daya di medan perang sepi.

Tapi entah bagaimana, diam-diam terlihat sombong. Walau babak belur dan penyok-penyok, ia menguasai segalanya dengan perangai tertinggi, layaknya seorang ratu berdiri di atas medan perang.

Ia unit komandan pasukan Legion yang dihadapi Kerajaan Bersatu. Dalam cangkang satu Ameise—unit tak terlihat bagai Gembala—dari lini produksi asli Legion yang semestinya hari ini tak eksis.

Ratu Bengis.

Kawanan kupu-kupu yang membentuk inti Phönix beterbangan di sampingnya, berputar-putar seiring pendaratannya. Sepasukan Dinosauria bersembunyi di sekitarnya, berbaring menunggu dalam salju, pengawal ratu sejati.

Mata Shin tertarik ke suatu titik berwrana cerah di bahu kiri Ameise. Simbol seorang dewi bersandar di bulan sabi. Tanda Pribadi. Namun Shin belum pernah melihat unit Legion dicap dengan salah itu …

Dia dapat mendengar Vika yang nampaknya melihat Ameise sama, mengerang lewat Resonansi.

“Zelene …!”

Zelene adalah nama yang diambil dari nama dewi bulan kuno—Selene. Barangkali Tanda Pribadi bulan sabit berasal dari sana, atau mungkin Zelene semata-mata membawa motif tersebut mempertimbangkan afeksinya saat dia masih hidup.

Ratu Bengis akhirnya mengarahkan sensor kompositnya ke arah mereka. Erangan menggema makin-makin keras. Suara soerang wanita muda, mengucapkan isi pikiran terakhirnya sebelum kematian. Suara yang memang cocok dengan wanita menyandang nama sang dewi bulan. Dingin, berwibawa, dan paling pentingnya, tanpa belas kasih.

Tapi walau begitu …

“Aku … sudah jadi gadis baik.”

Seperti suara bayi, hampir tak kuat menahan air mata …. Suara lemah dan sedih.

“Karenanya … aku ingin kau kembali padaku.”

… Shin.

Ibu dalam ingatannya tersenyum.

Mereka berdiri di depan pintu gereja di sudut kamp konsentrasi. Ikat rambut merah panjangnya semerah rambut kakaknya, dan mata batu permata merah tuanya sewarna mata miliknya. Ibunya mengenakan seragam lapangan usang dan berkerut yang tak sesuai tingkah laku lembutnya.  Tangan pucatnya yang tidakk Shin ingat pernah memukulnya, tidak sekali pun, sedang menyisir rambutnya.

Patuhi kata kakakmu dan pendeta.

Jadilah anak baik … Shin.

Ucapnya sambil tersenyum. Matanya lembut.

Shin ingat. Shin ingat.

… Shin akhirnya ingat. Wajah ayahnya. Suara ibunya. Kakaknya yang baik. Seorang gadis, teman masa kecilnya yang selalu bermain bersama tiap hari. Tempat tinggal mereka di Liberté et Égalité, penelitian yang ayahnya tekuni, AI setia dan pintar berbentuk anjing yang pernah dimilikinya.

“…!”

Sebetulnya tidak pernah kehilangan dari Shin. Tak pernah Shin tidak bisa mengingantya. Dia cuma tak ingin mengingatnya … fakta dirinya takkan pernah bisa kembali ke dunia bahagia itu dari waktu dia tidak tahu apa-apa …

Anggota keluarganya sudah meninggal semua dan kini tak ditemukan di mana-mana. Rumah tempat berpulangnya hanyalah sebuah cangkang kosong dari tempat awalnya. Walaupun dia ingin kembali, tidak ada yang akan menunggunya di sana. Meskipun dia kembali ke masa damai, dia takkan sanggup tersenyum seperti dulu.

Dan sebab hal-hal telah dirampas darinya, dia hanya menyadari … kejahatan manusia. Kekejaman dunia. Absurdnya. Dasarnya. Tanpa ampunnya. Kekejamannya.

Misalkan Shin tak menganggap hal-hal tersebut sebagai elemen dasar dunia, dia takkan mampu menanggungnya.

Shin kira dia ingat wajah orang tuanya, rupa rumah tangga hangatnya, anjing mekanik yang dia peluk, tetapi semuanya kehilangan warnanya lagi, meredup dan memudar ibarat hancur menjadi debu.

Kenangan akan keluarganya tidak habis dibakar perang. Dia buang … agar tidak merindukan yang takkan pernah bsia dia genggam lagi. Dia tidak mampu menyangkalnya lagi.

Sesudah memelototi manusia yang mengamatinya tanpa kata, Ameise putih berpaling dan berbalik dalam langkah bisu khasnya Legion. Diinosauria berjongkok telah bangkit berdiri, mengikuti jejak ratunya, mengibas salju yang menutupi bagian atasnya. Mereka kelilingi seakan-akan mengawal ratu rapuh mereka, rangka-rangka besarnya menyembunyikan Ratu Bengis. Di akhiri kawanan kupu-kupu mengalihkan pandangan obsesif anehnya ke arah Shin kemudian mengikuti, biarpun enggan sedikit.

Seketika Ratu Tanpa Ampun menghilang ke kegelapan salju bersama barisan pengikutnya … tidak seorang pun mengejar.

Catatan Kaki:

  1. Deus ex machina (Latin: deʊs ɛks ˈmaː.kʰɪ.na / deɪ.əs ɛks mɑːkiːnə / atau / diːəs ɛks mækɪnə / jamak dei ex machina) adalah sebuah perangkat alur dimana sebuah masalah yang tampak tak terpecahkan dalam sebuah cerita secara mendadak dan rancu terpecahkan oleh sebuah kejadian tak terduga, biasanya membuat banyak orang terkejut. Fungsinya dapat menjadi penyelesaian keadaan alur yang tak terpecahkan, mengejutkan penonton/pembaca, memberikan akhir bahagia, atau dijadikan sebagai perangkat komedik. Yaaak itulah penjelasan judul, namun sepertinya bukan akhir bahagia deh ehehe.
  2. Ohoho sekarang kita masuk ke sejarah nonmiliter, betapa mengejutkannya, sebenarnya di terjemahannya cuma pied piper yang artinya peniup seruling, namun saat gua search di Wikipedia dan google yang gua temukan adalah Peniup Seruling dari Hamelin (bahasa Jerman: Rattenfänger von Hameln; bahasa Inggris: Pied Piper of Hamelin) adalah tokoh dalam sebuah legenda tentang menghilangnya anak-anak dari kota Hamelin (Hameln), Niedersachsen, Jerman, pada Abad Pertengahan. Gua merasa kurang kalau hanya diterjemahin peniup seruling, maka gua improvisasi deh.
  3. Griffin disebut juga Gryphon (bahasa Yunani: gryphos, “singa-rajawali”) adalah makhluk mitologis bertubuh singa tetapi bersayap dan berkepala rajawali. Selayaknya singa, makhluk ini menjadi “raja hewan buas” dan sebagai burung rajawali, ia menjadi “raja di udara”. Oleh sebab itu, Griffin merupakan penggambaran makhluk yang paling berkuasa atas kedua hal tersebut dan dijuluki sebagai “Raja hewan buas dan penguasa udara”.
  4. Peluru kendali darat ke udara (bahasa Inggris: surface-to-air missile, SAM) adalah peluru kendali yang dirancang untuk ditembakkan dari darat atau dari kapal permukaan untuk menghancurkan target di udara, seperti pesawat dan helikopter.
  5. Dari Alkitab, Hakim-hakim 16:30 (TB) TB.
  6. Singkatan dari: penembus lapis baja terstabilkan sirip lepas-sabot.
  7. Selama Perang Vietnam, Militer AS mengeluarkan peluru antipersonel 90 dan 105 mm yang berisi anak panah kecil untuk awak tank dan penghancur tank. Setelah menembak, peluru yang disebut “flechette” itu akan mengirimkan awan kecepatan tinggi dari anak panah mematikan ke bawah. Peluru flechette sangat berguna untuk melawan serangan gelombang manusia, meskipun menyebabkan keausan yang lebih tinggi daripada barel biasanya. Suatu proyektil berukuran panjang yang membutuhkan jalur ulir tinggi / renggang.
  8. HESH (High-explosive squash head) = hulu ledak kimia berdaya ledak tinggi. Kenapa terjemahannya gitu dan seribet itu? Yang gua terka HESH tujuannya bukan menghancurkan artileri musuh. Soalnya ga bisa nembus baja tebal. Dia pake plastik (sama aja kimia) buat bikin pecahan di dalam artileri yang tujuannya bunuh tentara/orang di dalam tanpa hancurin artileri tersebut. Tapi karena lapis baja Legion Phonix itu unik, jadinya mungkin sah-sah aja make HESH, dan HESH sendiri itu senjata dah ketinggalan zaman, dinamain HESH gegara bentuknya kek labu, sebab squash arti tunggalnya adalah labu. Asli puyeng mikirinnya, gada di Indonesia dan baru denger sekarang, AAAAAAAAAAAHHHHHH OTAKKUUUUU.

Share this post on:
Subscribe
Notify of
guest
4 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Lekmaa

Hmmn..

shin protector

Makasih ya terjemahannya. Keren bgt dan ada translation notenya jg yg super detail! Keren

reONE

Semangat gan🔥🔥🔥

vvv

keren banget kak! semangat!!