Share this post on:

Sebelah Sana

Peta cerita sejauh ini

 

Penerjemah: DarkSouls

Ada laporan baruw di TV tentang situasi di front bahrat dan bagaimana militeri Federasi memukul mundur Legion yang menyerangnya.

Nina Rantz umur enam tahun mendongak saat mendengar suara mobil ditarik di depan rumahnya. Mobilnya salah satu kendaraan dinas pemerintahan Federasi, terpampang lambang nasional merah-hitam elang berkepala dua. Mobil sedan biru baja yang selalu membawakan surat dari kakaknya, Eugene.

Bibinya menyapa mereka, selanjutnya menyerahkan sebuah amplop yang dihias elang berkepala dua. Nina berlari, yakin itu dari Eugene. Dia telah pergi ke akademi perwira khusus enam bulan lalu dan jarang mengunjungi rumah sejak itu. Nina belum berjumpa dengannya enam bulan setengah.

Kakak baik tersayangnya, lebih tua sepuluh tahun darinya.

Nina mendekat dan mencoba memanggil bibinya, tetapi diam membeku saat menyadari hal aneh tentang aktingnya. Jari-jari bibirnya gemetaran. Para prajurit yang memberikan amplop mengenakan selempang hitam miring menutupi seragam biru baja dan mengerutkan bibir.

Ada apa?

Apa sesuatu … terjadi pada Eugene?

Ketika itu, lipatan berita TV yang menayangkan cuplikan dari front barat, mendadak dipenuhi kilat cahaya menyilaukan dan gemuruh memekakkan telinga.

 

 

Saat bergerak, pecahan kaca bergemerincing turun dari tubuhnya. Shin bangkit berdiri, barbaring di atas Frederica dan melindunginya dari ledakan.

Semua kaca jendela telah pecah, kacanya berserakan.

Bintik-bintik debu yang turun dari atas sebab gempa, menari dan beterbangan di bawah sinar mentari yang membanjiri koridor menuju kantor Markas Besar Divisi.

Darah menetes di pelipis kirinya; dia rupanya tertusuk pecahan kaca. Punggung tangan Shin dengan kasar menyekanya.

Telinganya masih sakit gara-gara gelombang kejut yang melewatinya setelah tiarap ke bawah.

Kala melihat pemandangannya melalui kaca jendela rusak yang engselnya lepas, matanya menyipit.

Frederica berdiri goyah.

“… sudah berakhir. Shinei, bagaimana kerusakannya …?”

“Jangan lihat.”

Tidak membiarkan Frederica merespon, Shin menutupi kepalanya yang hanya setinggi perutnya, dia peluk dengan satu tangan, mengubur wajahnya biar menghalangi penglihatannya. Di luar jendela, kurang lebih dia melihat sepuluh kilometer dari pangkalan. Hampir tidak dapat mengenal sisa-sisa FOB 14; benteng serta markas resimen tunggal yang menampung lima ribu tentara telah dimusnahkan sepenuhnya.

Tak sekadar rusak atau hancur. Kehancurannya mutlak.

Sosok kabur bangunan abu-abu besar di kejauhan sungguhan hilang. Hanya awan debu beterbangan melewati ruang terbuka tersebut yang mengesankan sesuatu pernah ada di sana.

Memalingkan mata, dia mendapati markas besar tempatnya berada pun tidak lolos tanpa kerusakan. Sebuah selongsong liar meledak ke hanggar terdekat, menyisakan kawah besar. Pengeboman jarak jauh selongsong tidak terarah dengan kekeliruan CEP2—kisaran akurasinya tidak teramat tinggi. Hanya bersisa barak tergilas, bangkai-bangkai Vánagandr hancur, lalu pecahan selongsong yang jatuh berserakan ke segalanya seperti hujan, membuat tempatnya lebih porak-poranda dari apa pun yang pernah Shin lihat.

Penghuninya kemungkinan besar … tewas semua. FOB 14 yang juga telah dibombardir, bisa jadi dalam kondisi serupa. Dia bisa mendengar suara samar-samar pinta tolong seseorang, tidak salah lagi digencet kendaraan lapis baja yang terguling oleh ledakan gelombang kejut.

Tubuh Frederica menegang sewaktu mendengar suaranya. Paksa memutar lehernya ke samping, Satu matanya melihat ke jendela, matanya membelalak kala melihat reruntuhannya.

“I-ini …”

“Frederica.”

“Kiri … melakukan ini …?”

“Frederica. Kembalilah ke kamarmu dan jangan lihat keluar.”

Frederica tiba-tiba menatapnya, matanya gemetaran hendak menangis.

“Kau …”

“… apa?”

“Kau takkan menjadi seperti itu, kan? Seperti Kiri …”

“Tentu saja tidak. Aku tak mau jadi Legion.”

Shin tidak punya penyesalan yang membuatnya gentayangan di dunia ini selepas kematiannya.

Pintu kantor komandan terbuka berisik.

“Letnan Satu Nouzen, kau baik-baik saja?!”

“Ya.”

Dia sedikit berdarah, tapi goresan tak berarti apa pun dalam situasi ini. Grethe menggigit bibir, menunjuk arah interior kantor.

“Tahu dari mana arah pengebomannya? Kita harus menentukan lokasinya bila ingin menyerang balik.”

“Diterima …. Tapi—”

Melepaskan Frederica sembiri mendorong lembut dirinya ke kamarnya, Shin menggeleng kepala.

“Apa kita punya cara mengalahkannya setelah menentukan lokasinya …? Mungkin ditembakkan dari jarak beberapa ratus kilometer.”

 

  

Tidak lama setelah Federasi didirikan, negara harus mendelegasikan mayoritas kekuatan nasionalnya untuk melawan Legion, artinya tidak pernah benar-benar membuat undang-undang. Terpaksa mengandalkan penilaian ad-hoc sebagai tindakan sementara. Tapi berkat itu, orang-orang dan departemen yang terlibat dalam aksi perumusan undang-undang baru telah berjalan cepat. Dan itu berlaku ganda bagi presiden yang memegang wewenang utama militer dan kebijakan nasional.

“… maka dari itu, tipe Artileri Jarak Jauh akan dinamai Morpho.”

Kediaman presiden Republik Federal Giad, alias Eagle Nest—Adler Holst. Selama Zaman Kekaisaran, tempat itu menjadi takhta kaisar dan kursi komando para diktator saat mereka mengambil alih kekuasaan. Aula pertemuan istana megah ini, dibangun dalam arsitektur tinggi-besar nan mendominasi di Zaman Kekaisaran akhir, kini menjadi aula pertemuan Dewan Pertahanan Nasional. Kursi aula pertemuannya diatur secara lingkaran konsentris, dengan Ernst yang menempati kursi tengah barisan depan dan mendongak ke model tiga dimensi front barat yang diproyeksikan ke tengah udara di depan mereka.

“Serangan pertamanya adalah lima puluh selongsong yang berdampak pada FOB 14, di Sektor Korps Angkatan Darat ke-8. 72 dua menit sesudahnya adalah rentetan 45 selongsong. Lima belas jam mengikutinya, FOB 15 dan 30 yang dimiliki Korps Infanteri ke-5, masing-masing dibombardir lima puluh selongsong.”

Luminesensi3 membentang di seluruh model 3D, meluas berbentuk parabola dari empat titik di wilayah Legion sebelum berbentrokan ke pangkalan. Empat layar sekunder muncul di bagian atas model 3D, memproyeksikan rekaman langsung setiap status pangkalan yang dibombardir, menggambarkan pengkalan yang kini menghilang tanpa sisa.

Yang dulunya menghuni area tersebut kini sisanya mengesankan beberapa kawah masif.

“Semua FOB dimusnahkan oleh serangan tersebut. Dan 20.000 tentara yang ditempatkan di pangkalannya tewas dalam prosesnya.”

Dalam waktu kurang dari satu hari, empat pangkalan garis depan … 20.000 kombatan serta pangkalan-pangkalan personel … tiada. Bahkan saat analisis secara datar memberikan laporannya, ada jejak emosi tersembunyi keluar dari suaranya.

“Hipotesis kita saat ini, berdasarkan performa senjata yang digunakan melawan kita, bahwasanya serangan tersebut ditembakkan dari senjata 800 mm kaliber, dengan jangkauan maksimum empat ratus kilometer dan kecepatan awal 8.000 meter per detik …. Kami menyimpulkan bahwa musuh punya railgun elektromagnetik.”

Mata Ernst menyipit. Railgun—senjata proyektil yang menggunakan konduksi elektromagnetik tuk menembakkan proyektil bundar di rel kereta api. Mengkonsumsi banyak listrik untuk menembakkannya dan senjata terlampau sulit dibuat dalam ukuran lebih kecil. Senjatanya pun sanggup menembak proyektil pada kecepatan luar biasa dibanding batas dua ribu meter perdetik tembakan artileri.

Hasilnya memberikan proyektil berkekuatan destruktif terlampau besar—berat hulu ledak dikalikan kecepatannya. Dampaknya mampu diredam sedikit, tetapi masih peluru yang bergerak delapan ribu meter per detik—beratnya sampai beberapa ton. Bahkan pangkalan yang dibentengi akan runtuh bak istana pasir saat diadu kekuatan sebesar itu, belum lagi pangkalan garis depan prafabrik.

“Saya yakin, 86 melaporkannya sewaktu kita membawa mereka dalam perlindungan kita.”

“Betul … sekalipun kita gagal mengembangkan penanggulangannya tepat waktu.”

Mayoritas peneliti yang bekerja di laboratorium militer terpadu Kekaisaran—yang pernah menjadi tempat lahirnya Legion—telah menyerah kepada rezim lama, dan pangkalan-pangkalan mereka sudah lama dikuasai Legion, bersama para personelnya. Pengetahuan mereka—atau kemungkinan struktur otak mereka—kemungkinan besar diasimilasi oleh Legion kala itu. Dan kini Republik kurang pemikiran-pemikiran yang membuat senjata unggul Kekaisaran, mereka tak punya cara teknis untuk menciptakan senjata-senjata setara seperti yang dibangga-banggakan musuh.

“Jarak lima belas jam antara tembakan kedua dan ketiga mungkin karena ketegangan parah di bagian larasnya. Kami memanfaatkannya dengan mempersiapkan setiap rudal jelajah yang dimiliki front barat kemudian menembaknya tidak lama setelah tembakan keempat dalam serangan saturasi. Sebab tak punya cara mengetahui dampaknya, kita tidak bisa memberi perkiraan akurat, tetapi kami yakin telah memberi kerusakan berat kepada Morpho.”

Gangguan Eintagsfliege dan interfensi elektronik membuat mustahil menembakkan senjata terpandu ke zona perang. Mungkin bisa menembakkan misil terpandu beberapa lusin klometer jauhnya dengan niat membombardir seluruh medan perang, tapi menentukan target sebesar gedung dari ratusan kilometer jauhnya itu mustahil.

Jadi bila mereka ingin jaminan tepat sasaran, mereka harus mengimbanginya dengan angka-angka, alhasil menyia-nyiakan seluruh rudal jelajah yang dimiliki sekali pakai. Lagipula sebagian besarnya tidak berguna di peperangan anti-Legion, dan biaya astronomi untuk memproduksinya serta meluncurkan satelit GPS berarti Federasi tak ingin terlalu sering berusaha keras.

“Fakta Morpho telah menghentikan semua pengeboman dan pergerakan sejak waktu itu tampaknya mendukung asumsi kita. Namun berdasarkan kesaksian Cenayang yang memeriksanya, kita gagal mengalahkannya sepenuhnya.

Esper yang dibicarakan adalah Shin. Ernst baru-baru ini mengetahui kemampuannya tetapi tidak tega menyalahkan dirinya yang tak mengatakan apa pun. Tanah air 86 merampas hak asasinya dan mengubah mereka menjadi senjata hidup. Mereka tahu dari siapa pun misal diberi dalih kebenaran, masyarakat manusia mampu gelap mata terhadap kekejaman apa pun. Mereka kemungkinan tak ingin disandera atau dibunuh—lebih buruknya—agar Federasi mendapatkan sistem peringatan berguna dan akurat.

… dalam praktiknya, bila mana kekuatan Shin ketahuan pada situasi apa pun, kecurigaan mereka akan terbukti benar. Betapapun mengerikan tuk mengakuinya, jangkauan kemampuan Shin sangatlah besar. Dirinya dan 86 takkan diperkenankan kembali ke medan perang. Malah dikirim ke laboratorium di beberapa pangkalan aman dekat ibu kota dan disimpan layaknya burung dalam sangkar.

Ernst menggigit bibirnya, menatap foto potret Shin ditambahkan dengan klip kertas ke berkas dan laporan personel. Shin telah menyembunyikan kekuatannya, kelewat menyadari risiko itu. Dan biar demikian, situasinya begitu buruk sampai-sampai menginformasikan serangan front barat, kendatipun bisa saja, dan memang mengeksposnya.

Dia sungguh wali buruk sampai Shin tak pernah berkonsultasi padanya meski menghadapi krisis itu membuat hati Ernst penuh amarah dan rasa malu. Sulit bilang Shin betulan takut atau tidak, mengingat lima tahun pengalaman melawan Legion. Namun harus mengamati pasukan besar berbaris menuju mereka, tidak bisa mengatakan apa-apa, sepertinya tidak tertahankan.

Sosok tunggal—hologram resolusi rendah yang hampir tidak mungkin menghadirkan sosok seseorang—bergerak santai di baris depan aula pertemuan.

“Mengenai perkiraan kerrusakan, unit swagerak yang kami, Kerajaan Bersatu, luncurkan, telah berhasil mengamati Morpho di waktu-waktu dampak. Bukan serangan langsung, tetapi Anda memang memberi serangan melumpuhkan.”

Pangeran Mahkota Kerajaan Bersatu Roa Gracia, Zafar Idinarohk.

Dialah perwakilan Roa Gracia, sosoknya dikirim lewat jalur yang hampir tak aktif berkat mundurnya Legion—dan Eintagsfliege. Mengejutkannya, pangeran mahkota langsung, bukan adik laki-lakinya yang memerintah front selatan letak Kerajaan Bersatu melawan Legion. Wewenang pangeran mahkota adalah nomor dua setelah raja, dan dia menjadi komandan tertinggi militer. Menunjukkan Morpho pun merupakan ancaman besar bagi Kerajaan Bersatu.

Seorang wanita kurus tua—lebih tepatnya, hologramnya—duduk dan membuka mulut bicara. Dia adalah seorang perwira wanita dari Aliansi Wald dan mengkomandoi pasukan pertahanan utara. Namanya adalah Letnan Jenderal Bel Aegis.

Semenjak pendirian negaranya, Aliansi telah menjunjung kebijakan universal wajib militer, lantas pria dan wanita sama-sama diwajibkan wajib militer. Haluan mereka sebagai pendukung setia negara bersenjata netral tidak berubah sama sekali.

“Jika Anda berada sangat dekat, tidak sanggupkah mesin-mesin negara Anda menyingkirkan Morpho?”

Sang pangeran mahkota tersenyum anggun.

“Sedih saya akui kekurangan rudal untuk mensukseskannya. Sebagaimana saya yakin Anda sudah menduganya, mereka punya kemampuan menyelinap ke wilayah Legion—bahkan di medan relatif datar—hingga bangunan kecilnya. Ya …. Anda bisa bilang selama menyangkut persenjataan, daya dukungnya sama sebagaimana seorang gadis muda. Dan kami perlu mengorbankan beberapa unit untuk menembus lebih dalam ke wilayah musuh, yang agaknya membebani adik laki-laki saya. Saya meminta agar tidak menuntut hal mustahil darinya.”

Mungkin karena itulah adik laki-lakinya tidak muncul. Dari pernyataan sang pangeran, nampaknya pengintaian kecil atau observasi drone yang dikendalikan dari jauh. Dan dikarenakan pangeran mudalah yang mengendalikannya, ada asumsi terdapatnya suatu batasan yang membatasi siapa-siapa yang mampu mengendalikannya.

Letnan Jenderal Aegis mengejek.

“Wah, ini … tampilan yang amat murah hati.”

 Mereka bukan cuma mengorbankan sejumlah besar unit demi pengintaian. Mereka pun mengungkapkan beberapa kehebatan militer mereka.

“Menyembunyikan rahasia dari rekan-rekanku dalam operasi gabungan mendatang tidak bagus, bukan? Kepercayaan adalah perekat terbesar yang eksis di antara sesama manusia dan bangsa.”

Dia kemungkinan besar berbohong.

Dia memuji pencapaian negaranya, menekankan pengorbanan mereka, lalu memamerkan kekuatan yang dapat ditawarkan. Membuat tawaran dan menjaga pihak lain tetap terkendali—semacam pertaruhan untuk memastikan persyaratan Kerajaan Bersatu dalam operasi kerja sama mendatang sedikit lebih menguntungkan.

Duduk di ujung berlawanan baris depan yang diatur berbentuk setengah lingkaran, perwakilan kedua negara saling menatap buntu. Ernst yang duduk di antara keduanya, tersenyum.

Mereka telah dipisahkan selama lebih dari satu dekade, tetapi inilah inti diplomasi. Inilah cara negara mempertahankan hubungan mereka.

Letnan Jenderal Aegis tersenyum dingin.

“Baiklah, Yang Mulia …. Nah, berkenankan Anda berbaik hati membagikan algoritma taktis Legion? Bagaimanapun, negara Andalah yang mengembangkan model Mariana yang mendasari kecerdasan buatan Legion.”

Sang pangeran merespon dengan senyumnya sendiri.

“Tentu saja saya tak keberatan, Letnan Jenderal …. Menduga Anda bersedia mengungkap informasi perihal susunan fisik unit Legion. Bukannya Aliansi Andalah yang pertama kali mengadopsi teknologi tersebut yang memungkinkan senjata bergerak berkaki banyak yang gerakannya lebih cepat ketimbang model tapak tank?”

Hening canggung hadir di antara dua perwakilan. Ernst mendesah dan membuka mulutnya hendak bicara. Terlepas sifat diplomasinya, mereka tak punya waktu untuk ini. Kemudian melanjutkan topiknya tidak mendukung Federasi pula. Dari tiga negara yang hadir, pendahulu merekalah, Kekaisaran, yang telah melepas Legion ke benua.

“Saya yakin akan lebih bijaksana untuk fokus mengalahkan Morpho sekarang … dan menyingkirkan unit dengan kecerdasan setingkat manusia.”

“Aliansi juga memastikan keberadaan unit berakal cerdas tipe komandan Legion …. Kapan pun memberi komando, pertempuran di garis depan jadi lebih sengit.”

“Kelemahan Legion adalah biarpun unggul jumlah dan performa, taktik mereka sederhana. Ditemukannya unit komando—unit yang mengatasi kelemahan ini—telah menjadi masalah di pihak kita.”

Letnan Jenderal Aegis bersender ke kursinya, mendongak.

“… serangan besar-besaran tersebut boleh jadi tipuan untuk mengeluarkan kita ke tempat terbuka dan mengumpulkannya ke satu tempat. Menyebalkan liciknya bongkahan sampah itu.”

“Saya harus berharap bahwasanya Republik—yang secara efektif membiakkan unit komando tersebut yang tak hanya lalai mengumpulkan mayat-mayat dari medan perang, tetapi bahkan mengirim para prajurit paling superior mereka menuju wilayah Legion—merefleksikan kesalahan caranya …. Dengan asumsi Republik masih ada.”

Sang putra mahkota menggeleng kepala pelan. Sebagaimana Federasi mengetahui percobaan penembakan Morpho lewat 86 yang dalam perlindungan mereka, mereka mau tidak mau memberikan situasi penyelamatan mereka—dan alasan mereka diusir—kepada kedua negeri lainnya.

“Yah, mereka bangsa bodoh yang memegang teguh retorika kosong menjadi republik demokratis dengan hak setara kepada semuanya, meskipun mereka menggeneralisir setiap ras lain kecuali ras mereka sendiri sebagai Colorata. Perbedaan mengarah ke diskriminasi, selanjutnya diskriminasi menuju persekusi. Saya tidak terkejut mereka melakukannya …. Walaupun saya bersimpati atas saudara-saudara kita yang dibantai dan bahkan 86 yang bukan keturunan kita namun dihadapkan persekusi.”

Dengan desahan, pangeran kembali mengalihkan pandangannya ke analisis. Lalu menganyam tangannya dengan gaya terlatih dan elegan.

“Maaf telah mengganggu laporan Anda. Mohon lanjutkan.”

“Terima kasih.”

Walau penganalisis punya tingkat hormat sedemikian rupa kepada pangeran negeri lain, dia tidak wajib menerima perintahnya. Dia mengalihkan pandangan ke Ernst yang mengangguk sedikit, yang mana si analisis anggap sebagai tanda lanjut.

“Kalau begitu, mari lanjutkan. Menilai kecepatan pergerakan dan posisi tembakannya, kami menganggap Morpho adalah sejata railgun yang menggunakan rel berkecepatan tinggi untuk bergerak. Posisinya saat ini mendekati perbatasan nasional lama, dekat stasiun kereta api Kota Kreutzbeck. Ia bisa menggunakan posisi itu untuk menembak pangkalan manapun di front barat Federasi, sekaligus ibu kota kedua Kerajaan Bersatu, Heete Birch; ibu kota kedua Aliansi, Estohorn; serta ibu kota kedua Republik, Charité, dalam jangkauan tembaknya. Ada pula spekulasi Morpho mampu bergerak mengikuti rel-rel kereta yang tersebar di seluruh wilayah Legion, juga zona perang.”

Model tiga dimensi zona perang berubah menjadi tampilan burung dua dimensi yang diperkecil skalanya kemudian diperbesar. Rel kereta kecepatan tinggi disorot peta kisi, dan jangkauan empat ratus kilometer Morpho terhampar di atasnya. Seluruh tentara dan pejabat pemerintahan dalam pertemuan tersebut—termasuk dua perwakilan licik—menelan ludah gugup melihatnya.

“Ibu kota Federasi, Sankt Jeder; ibu kota Kerajaan Bersatu, Arcs Styrie; ibu kota Aliansi, Capella; juga distrik administratif San Magnolia akan memasuki jangkauan tembakannya.”

Itulah ibu kota resmi yang kemungkinan pengaruh terakhir manusia di dunia setelah Legion menyapu benua. Dalam hal pertahanan, hanya ada sedikit perbedaaan antara bangsa dan ular. Keduanya mati setelah kepala mereka hancur.

“Dilihat dari tingkat produksi Weisel, kita sekurang-kurangnya punya waktu delapan minggu hingga Morpho dibetulkan dan siap menembak lagi. Jikalau kita tidak menemukan cara menghadapinya sebelum itu … maka kita semua kalah.”

Ernst bicara lembut.

“Apakah kita punya cara andal untuk mengalahkannya?”

Sang analisis mengerutkan kening.

“Komandan front barat meminta opini kedua, tetapi kesimpulan ruang analisis adalah …”

“… kita tak punya cara efektif untuk mengurus pengeboman jarak jauh berkecepatan tinggi ini.”

Komando terpadu angkatan darat front barat telah mengambil alih kastil tua yang sepuluh tahun tempo adalah villa bangsawan. Maka dari itu, ruang konferensi tertutup, tanpa jendela, dengan dinding batu. Sebuah layar holo berpendar diproyeksikan di atas meja bundar tengah ruangan.

Menerangi wajah para komandan korps pasukan depan front barat, seluruh pasukan cadangan patuh, dan deputi-deputinya. Bayangan dari para ajudan yang berdiri di belakang melayang di atas dinding bak hantu.

“Senjata antipesawat kurang cepat dan padat untuk menembak selongsongnya. Lagi pula, sekalipun meriam otomatis 40 mm dapat secara akurat mengenainya, takkan banyak gunanya melawan hulu ledak seberat beberapa ton.”

Setelah layar holo mengelilinginya, kepala staf melanjutkan penjelasan tanpa menggubrisnya. Dia masih muda dan penampilannya anggun khas keturunan Kekaisaran. Dialah pemilik sebelumnya kastil ini serta putra seorang bangsawan berpangkat tinggi yang masih punya pengaruh signifikan dalam industri berat. Terlepas silsilahnya, dia bukanlah tipe orang tidak berguna yang mendapatkan pangkat lewat warisan saja.

Menjadi anak keluarga bangsawan tua Kekaisaran, dia mengenyam edukasi spesial dalam bidang studi keluarganya: kepemimpinan tempur. Tingkat pemahaman dan pengalaman di lapangan membuat para spesialis lain tampak tak terampil. Senjata yang dibuat kekaisaran—contohnya Legion—terlampau maju sampai-sampai disebut-sebut seratus tahun lebih cepat dari masanya. Prestasi semacam itu tidak mustahil karena menghasilkan individu berbakat seperti pria ini.

“Kita mengumpulkan rudal jelajah dari front lain, namun itu pun bukan jaminan solusi. Kita tidak dapat menuntun rudalnya, apalagi kecepatan lambatnya menjadi target mudah untuk Stachelschwein. Morpho-nya sendiri pun punya persenjataan anti-udara.”

Layar holonya menggelap sebentar, lalu video hitam-putih resolusi rendah diputar. Nampaknya rekaman yang diambil drone Kerajaan Bersatu, diberikan kepada Federasi oleh militer Roa Gracia.

Rekamannya menunjukkan latar reruntuhan kota serta langit mendung. Rekamannya diambil dari sudut pandang rendah, kira-kira setinggi seseorang.

Sesuatu berkobar di tepi layar, dan segera setelahnya adalah ledakan udara beruntun. Beberapa rudal jelajah berhasil mendekati target telah ditembak hancur, kemudian salah satu misil yang menembus rentetan tembakan mengaktifkan CEP-nya yang meluncur menuju objek besar di luar reruntuhan. Rudalnya meledak di jarak pendek meskipun ditembak tembakan anti-udara, ketika itulah rekamannya berhenti tiba-tiba.

“Inilah kemungkinan hasil metode apa pun yang kita usahakan …. Akan tetapi, tembakan artilerinya kurang jarak untuk mengenainya, kemudian dengan dikerahkannya Eintagsfliege beserta Stachelschwein, kita tak punya keunggulan udara. Melancarkan serangan udara mustahil.”

Selain Stachelschwein, pertahanan anti-udara Legion juga ditangani Eintagsfliege yang juga dikerahkan di langit. Di sisi lain berperan utama sebagai pengganggu elektronik, mereka akan menyerang pesawat dengan mengerumuni jalurnya dan mengganggu ventilasi udara masuk.

Kupu-kupu mekanik adalah musuh alami jet tempur dan dengan kata lain, Legion paling ganas.

“Baiklah, pertama-tama—”

Seorang komodor yang telah dipindahkan dari Angkatan udara, menimpali.

“—barangkali ada beberapa pilot transportasi di lini belakang, tetapi semua petarung dan pilot pengebom mengubah profesi menjadi Operator Vánagandr …

Dan kebanyakannya mati dalam pertempuran sepuluh tahun terakhir. Hampir tiada pilot yang selamat walaupun kita memang melangsungkan serangan udara.”

“Jadi pada akhirnya …”

Tatapan komandan korps tertuju pada komandan front barat yang mengangguk serius.

“Satu-satunya pilihan kita adalah mengeliminasinya dengan konfrontasi langsung Angkatan Darat.”

Hening berat memenuhi ruang konferensi. Merosot ke kursinya, komandan korps cadangan menggeram.

“Operasi penyerangan menuju wilayah Legion, menggunakan seluruh pasukan front barat …. Menerobos lurus melintasi seratus kilometer tanah penuh Legion …”

Rencana serangannya kelewat ceroboh sampai-sampai perwira militer veteran berpengalaman yang sudah memerangi musuh lebih unggul soal kualitas serta kuantitas selama sepuluh tahun, menganggapnya sinting belaka. Tingkat keselamatan prajurit dan perwira yang akan berpartisipasi dalam operasi tersebut akan rendahnya bukan main, tapi bila mana mereka gagal, front barat (mungkin sekaligus Federasi) akan jatuh. Sekalipun secara teoritis tingkat keberhasilannya mendekati nol, tidak ada pilihan lain selain mencoba.

“… pasukan front barat telah dikurangi 24 persen setelah serangan skala besar terakhir, bala bantuan cadangan termasuk. Dan kita tidak dapat memindahkan pasukan manapun dari front-front lain, lantas kita mesti menjalankan operasi ini.”

“Jumlah Legion sama-sama berkurang banyak, akan tetapi …”

“Parameter mereka sama sekali berbeda dari kita, begitu pula kemampuan reproduksinya. Menurut pengintaian, mereka punya lima korps pasukan yang khusus dikerahkan ke front barat. Jelas Weisel di wilayah dalam mereka tidak terusik, dan dalam waktu dua bulan, pasukan mereka mungkin akan lebih besar dari itu …. Heh, punya Cenayang yang mampu meramalkan malapetakamu tentu berfaedah.”

Wakil komandan Korps Infanteri ke-5 mendengus sambil menjentikkan selembar kertas tipis berisi laporan terlampir. Laporannya termasuk berkas personel tetapi tidak dilampirkan foto, dan semua orang mengerti alasannya. Berhenti sejenak, sang wakil komandan menyimpulkan sedih:

“Unit manapun yang kita kirim untuk mengurus pengeliminasian Morpho … adalah unit yang dasarnya akan kita korbankan.”

“Ya …. Maka dari itu kita harus memilih orang yang akan menyelesaikan seluruh pekerjaannya.”

Yang takkan dirindukan.

“Yang paling tak kita sesali kehilangannya.”

“Cih …”

Kepala bagian analisis informasi yang duduk di hadapannya, tak melewatkan dirinya mendecakkan lidah.

“Ada yang salah, Letnan Satu Nouzen?”

Dialah gambaran tepat seorang perwira tegas. Kedengarannya bukan pertanyaan mencemaskan atau mencurigakan tetapi seakan pertanyaan yang menyangkut dirinya. Namun Shin tidak mampu memberi jawaban langsung.

Suara perwira itu serasa jauh dan lirih baginya …. Sebaliknya, teriakan hantu-hantu mekanik di telinganya tiada henti, memperingatkan posisi mereka …

“Letnan Satu.”

Pada panggilan kedua, Shin sadar. Dia berada dalam ruang analisis informasi di markas Divisi Lapis Baja ke-177. Dia tengah mencari posisi musuh beberapa hari terakhir, karena dia diminta untuk bekerja sama dengan Divisi selagi operasi disusun.

Menyingkirkan dokumen elektronik holografik yang disetel tidak terbaca kecuali dilihat dari perspektif tertentu, perwira lapangan memiringkan kepalanya bagai anjing pemburu.

“Barangkali kau butuh istrirahat sebentar. Kau sudah melakukan ini tanpa henti dari pagi. Mungkin kau tanpa henti mendengar suara Legion, tetapi berkonsentrasi pada suara-suara itu lain cerita.”

“Tidak.”

Shin menggeleng kepala sekaan berkata baik-baik saja. Perwira lapangan itu mendesah sambil bangkit berdiri.

“… benar juga. Kalian …. Kalian betul-betul bak senjata sekali pakai.”

Tiada penghinaan atau ejekan pada suaranya. Tak lebih dari pengamatan belaka. Mengalihkan punggung besarnya ke tatapan Shin, dia berjalan ke lemari di sisi lain ruangan, mengambil barang yang kelihatan mirip set teh pribadinya, membuka penutup teh yang mencegah kehangatannya agar tak keluar dari teko.

Warga Federasi ternyata teramat-amat menyukai teh. Namun gara-gara daun tehnya sebagian besar tersedia di timur benua, mereka cuma punya teh sintetis yang dikeluarkan pabrik produksi, yang mana aromanya aroma obat. Aromanya pelan-pelan memenuhi ruangan.

“Senjata berbentuk manusia. Bisa habis …. Bisa diganti, biarpun dalam peristiwa saja kalian bisa hancur sepenuhnya. Kalian berpura-pura tak tahu betapa lelahnya kalian. Kalau kalian hancur, kalian mengabaikan fakta bisa merasakan sakit, jadi kalian terus saja bertarung hingga tidak sanggup lagi bergerak. Kendatipun kelelahan, ketakutan, penuh kebencian, kalian menghadapi Legion.”

Dia kembali dengan dua cangkir di tangan, dan meletakkan satu cangkir di depan Shin, menyeruput miliknya sendiri selagi berdiri.

“Kau pucat. Ini bukan medan perang tanpa korban jiwa yang kau kenali. Di sini, kami paham setiap orang yang bertarung demi kami adalah manusia dengan hidupnya sendiri, jadi boleh-boleh saja tentukan standar rasa sakit dan lelah sedikit lebih rendah. Sakit dan lelah adalah tanda bahaya. Fakta keduanya mulai jemu bagimu itu sungguh memprihatinkan …. Selagi kau istrirahat, serahkan pelacakan musuh pada mereka.”

Matanya beralih ke kantor yang dipisahkan sekat kaca, tempat para Pyrope berambut merah varian usia dan jenis kelamin, perwira berpakaian seragam biru baja , melanjutkan pekerjaan mereka. Beberapa garis keturunan bangsawan mewarisi kemampuan unik, dan Pyrope—bangsawan keturunan Rubela—cenderung mengembangkan kemampuan terkait telepati. Kemampuan semacamnya sangat dicari, oleh sebabnya orang-orang Pyrope direkrut sebagai personel pengintai atau interogasi.

“Sebaiknya kau ingat baik-baik: Di dunia manusiawi, tak satu pun nyawa seseorang bisa digantikan nyawa orang lain …. Terlepas dari baik-buruknya.”

 

  

Para prajurit terluka tak terhitung jumlahnya saat serangan skala besar dikirim jauh-jauh untuk dirawat, tuk meringankan beban garis depan. Tetapi situasi di rumah sakit militer ibu kota masih kental keputusasaan mencekik.

Tak sanggup menahan sunyi mendesak dalam kamar rumah sakit, Erwin Marcel menggunakan kruk yang akhirnya terbiasa dia gunakan untuk meninggalkan kamar, sembari memastikan tidak menyentuh kaki kanan patahnya. Dia tak punya kenalan di rumah sakit. Kebanyakan rekan-rekan dari kompinya telah dibunuh dalam serangan skala besar—begitu juga orang-orang seangkatannya dari akademi perwira khusus. Beberapa masih bertarung di front barat, sedangkan beberapa telah tiada. Sebagaimana teman sekelasnya pas sekolah SMP yang memasuki akademi perwira khusus di waktu yang sama sepertinya dan bahkan bergabung ke korps yang sama … Eugene, dia meninggal baru-baru ini.

Berita perihal jenis baru Legion, kemampuannya, serta perkiraan kerusakan yang dihasilkannya telah dilaporkan kepada warga melalui berita.

Orang-orang dapat melihat jalan Sankt Jeder dari lokasi rumah sakit, dan kotanya sungguh-sungguh sunyi. Bagaikan hewan berlindung dari badai mendekat, semua orang lari ke tempat persembunyian mereka dan sama-sama risau. Mereka semuanya menunggu momen-momen situasi berubah, dikelilingi kesunyian tegang ini.

Kebebasan informasi adalah dasar demokrasi modern, jadi tidak ada kejadian masa depan yang disembunyikan; kehancuran FOB 14, tempat pertama yang dibombardir secara efektif disiarkan langsung ketika terjadi. Menutupinya dengan bodoh hanya akan membuat warga sipil memberontak sebab kekeliruan informasi, lantas pemerintah menilai lebih gampang melaporkan informasi secara akurat.

Keputusan mereka tampaknya membuahkan hasil; meskipun kepanikan dan kekacauan sporadisnya minim, warga sipil Federasi tetap tenang. Bila mana front barat mundur atau jatuh, ibu kota ‘kan memasuki jangkuan Morpho. Jadi ada beberapa orang yang melarikan diri, namun mayoritasnya melanjutkan hidup kesehariannya.

Namun sebab mereka tahu, dari dalam hati, biar mempertahankan separuh wilayahnya dari Legion, Federasi dikepung dari segala sisi. Tidak ada tempat kabur.

“… mm.”

Karena rumah sakit adalah instalasi militer, warga sipil tak diizinkan masuk kecuali tejadi semacam bencana tak biasa atau keadaan darurat. Namun Marcel mendapati sosok mungil berdiri dekat gerbang yang tanpa penjagaan. Mengamatinya, Marcel berjalan maju, sadar sosok itu gadis yang dikenalnya. Dia menemuinya saat mengunjungi rumah teman sekelasnya sekali; dia adik temannya.

Adik perempuan Eugene.

“Lagi ngapain, bocil?”

Dia melompat kaget dan berbalik menghadapnya. Dia mengingat senyum Eugene di saat menceritakan sifat pemalunya. Eugene sendiri sangat supel, jadi dia bercanda bertanya-tanya dari mana adiknya bisa sifat itu.

… karena itulah dia mendekati Pencabut Nyawa dari tanah asing.

Mata perak bundar gadis itu melebar sewaktu menatap Marcel, berkedip kaget seketika menyadarinya. Dia tidak diperbolehkan masuk, lantas Marcel keluar gerbang, terus langkah kecilnya menghampiri.

“Aku mencari Eugene … tapi mereka tidak membiarkanku masuk.”

Marcel melirik sekilas para penjaga. Mereka beberapa tahun lebih tua darinya, berdiri tegak memegang senapan serbu diikat di atas bahu. Mereka cuma memalingkan pandangan dari ketidaknyamanan nampak. Bukan karena niat buruk, tapi meski dia masih gadis kecil, aturan tetaplah aturan.

Mengesampingkan masalahnya, Marcel mengatup bibir. Dia berlutut, walau kakinya patah, kemudian menatap setara Nina.

“… mereka bilang Eugene pulang.”

Prajurit Federasi tak pernah meninggalkan rekan-rekan mereka, memulangkan mereka kendati hanya sisa-sisanya saja. Mereka selalu mengumpulkannya dan mengembalikannya ke keluarga mereka. Eugene dijemput setelah pertempuran, lalu peti matinya dipulangkan dengan kereta persediaan, bersama korban-korban lain sesaat sebelum serangan skala besar terjadi.

Tetapi kepulangannya bisu dan berbeda dari yang diinginkan si gadis ini. Nina menggeleng kepala kecilnya, dua kepang rapinya berayun ringan ke kanan-kiri bak gugus kunang-kunang.

“Tapi dia tidak kembali. Mereka tidak mengembalikan Eugene …. Mereka cuma bawa kotak.”

Marcel menggigit bibir. Kalau jenazah prajurit dalam keadaan tidak patut dilihat mata warga sipil, mereka akan dikuburkan dalam peti mati dipaku tertutup. Eugene mungkin demikian. Para petinggi bisa jadi memperkenankan keluarganya melihat jenazahnya yang kehilangan setengah tubuh dan wajah ditembak.

Tetapi Nina masih kemudaan untuk memahami kematian …. Jadi mau berusaha bagaimanapun untuk mengungkapnya, dia takkan mengerti bagaimana peti mati dengan lambang nasional boleh jadi adalah Eugene.

Gigi Marcel menggigit bibir bawahnya. Dia mengingat medan perang hutan dalam di garis depan front barat. Kejadiannya terselimuti kabut viridian dunia lain. Seorang prajurit anak-anak … pencabut nyawa tampan dan jahat mengenakan setelan penerbang berlumuran darah, bangkit berdiri santai setelah menembakkan pistol di satu tangannya untuk mengakhiri nyawa rekannya.

Melepaskan orang sekarat dari penderitaannya adalah belas kasih medan perang. Berkat otaknya dihancurkan tembakan tersebut, Tausendfüßler takkan memungut mayatnya selama perburuan kepala menakutkan yang mengubah orang menjadi Legion.

Walau begitu …

Perbuatannya takkan menyempatkan Nina mengucap selamat tinggal pada kakaknya.

Dia teknisnya pulang, tapi tidak mampu menghubungkan kejadian itu dengan kematiannya. Pernahkah dia pertimbangkan kemungkinan ini sebelum menarik pelatuknya?

Pernahkah, Nouzen?

Kau orang 86 …. Kau bahkan sanggup menembak seorang teman sampai mati tanpa mengedipkan mata …. Selayaknya pencabut nyawa …

“… Eugene …. Kakak …”

Marcel memindahkan tatapannya, tak mampu menghadap mata lebar perak polos itu, tidak kuasa menjawab pertanyaan yang mata itu muat. Kau di mana? Marcel merasa mata Nina menyalahkan dan mengutuknya, kendati gadis itu kemungkinan tak berpikir melakukannya sama sekali.

Kenapa? Tanya mereka. Kenapa kau tidak menyelamatkan kakakku?

Waktu itu bukan aku.

Dia tak melindunginya.

Dia di sampingnya, dan tak menyelamatkannya ….

Mereka berteman, tetapi masih memilih Reginleif dingin ketimbang dirinya.

Dia mengabaikan Eugene.

Kutuk dia, bukan aku.

Dialah yang membunuh Eugene.

Kala itulah Marcel akhirnya mengerti.

Dia memandang rendah warga Republik San Magnolia, melihat diskriminasi dan persekusi yang dipaksakan ke 86 dengan barbar tak manusiawi, namun kini dia mengerti alasannya.

Tatkala orang-orang dihadapkan keadaan tidak masuk akal dan tak adil, mereka mesti memindahkan kesalahan atas ketidakberdayaan diri sendiri …

… kemudian jadikan salah orang lain.

“Eugene …”

Seketika kata-kata keluar dari mulutnya, Marcel tidak sadar senyum kaku nan jahat terbentuk di bibirnya.

 

  

“Kurasa masuk akal kalau semua orang bakal ketakutan sewaktu Legion mampu meledakkan seluruh pangkalan sampai rata dari sisi lain wilayah kapan saja.”

Kurena bicara dengan suara setengah hati tak sesuai kalimatnya selagi melahap telur orak-ariknya, melihat lingkungan sekitar tanpa perasaan apa pun bersama kucing rumahan. Mereka berada di kantin Divisi Lapis Baja ke-177.  Meskipun pasukan cadangan baru didatangkan, dan ada lebih banyak orang makan di sini ketimbang waktu biasanya, suara waktu makan yang biasanya ramai telah diredam suasana menegangkan.

Menyeruput kopi tiruan dari cangkir kertas, Anju berkomentar, “Unit Legion baru itu—Morpho, kan? Mereka bilang perlu dua bulan hingga aktif dan jalan lagi, jadi kita kemungkinan besar takkan diserang sampai saat itu.”

“Yea, namun mereka mendasarkan perkiraannya dari rekaman negara asing yang belum pernah mereka hubungi selama sepuluh tahun—videonya terputus sebab gangguan elektronik lima detik sesudahnya, dengan itu—dan persepsi ekstrasensor 86: kemampuan yang bahkan tidak dapat dijelaskan Federasi. Wajar semua orang meragukannya. Dulu di Republik, para Prosesor tak percaya pada Shin sampai mereka dengar sendiri,” kata Theo, menjejalkan salah satu sosis terkenal Federasi ke mulutnya.

Anju mendesah, mengaku perkataan Theo masuk akal. Mengejutkan malahan bahwa petinggi organisasi serealistis militer menerima eksistensi kemampuan spesial Shin segamblang itu.

“Tapi tetap saja, mereka mengumumkan situasinya, dan tak ada kepanikan yang disebabkannya. Militer Federasi punya keahlian mengesankan.”

“Setuju. Kalau babi-babi putih Republik, aku bertaruh para Handler akan terkencing-kencing dan mencoba kabur secepat mungkin.”

Awalnya Theo nyengir, tetapi senyumnya seketika hilang.

“… seandainya sesuatu terjadi pada mereka, aku penasaran mayor masih hidup atau tidak.”

“Theo.”

Theo menahan lidahnya seakan baru saja dimarahin. Shin mengangkat alis, merasa tatapan semua orang tertuju kepadanya.

“Apa?”

“Hah? Apa maksud apamu? Jangan bilang kau sekarang tidak sadar.”

Shin masih terlihat bingung, dan Raiden mendesau putus asa.

“… segala hal perkara Morpho ini, situasi mengkritis seperti ini, membuat orang-orang Federasi sadar bahwa mereka mungkin mati esok tanpa bisa berbuat apa-apa.”

Medan perang sedari awal memang demikian, tapi tak semua orang menyadarinya. Lingkungan semacam ini adalah lingkungan paling tak normal bagi semua makhluk hidup yang memprioritaskan kelangsungan hidupnya sendiri. Tetapi Kurena membusungkan dada dan dengan bangganya mendeklarasikan, “Itu jelas buat kita.”

Kehidupan di medan perang di mana hari esok tidak dijamin. Mau bagaimanapun, takdir 86 adalah mati di akhir pengabdian mereka.

Tetapi Shin berpikir. Tidak takut mati bahkan saat ia menatap wajahmu …. Menerima fakta kau bisa saja mati besok …. Barangkali perlu beradaptasi akan hal-hal itu agar bertahan di medan perang Republik …. Namun entah bagaimana, dia merasa hal itu tak pantas dibanggakan. Mungkin tak takut pada kematian datangnya—percaya tidak apa-apa kematian berkunjung besok—sebenarnya …

Tersadar Frederica mengintip dari samping, Shin tersentak dari pikirannya.

“Shinei? Apa sesuatu mengganggumu?”

Pertanyaan meragukan itu membuat Shin tersadar dia barangkali telah lama diam.

“Bukan apa-apa.”

Theo menyodok lembut pipi Shin dengan garpu di tangannya.

“Ngapa, masih capek? Ada banyak sekali Legion yang datang di serangan sebelumnya, jadi pasti berisik banget menurutmu …. Kau di akhir-akhir berusaha cukup keras di sana.”

“Aku yakin kau bahkan tak tahu kejadian di sekitarmu. Kupikir inilah pertama kalinya kau tak sadar Legion sudah mundur.” “…”

Karena Anju sudah membahasnya, Shin mendapati kebenaran dalam pernyataannya.

“Aku mencoba mengontakmu lewat Para-RAID, tapi kau tidak merespon …. Itu bukan cara bertarungmu yang biasa, kan?”

“… kau Beresonansi denganku?” “… kau bahkan tak sadar …”

Mendesau muram, tak cocok dengan anak kecil, Frederica balas menyorot yang lainnya, rambut hitam sutra tergerai di bahunya.

“Bukannya kalian, termasuk Shinei, mengambil jeda ini sebagai kesempatan istrirahat dan pemulihan diri? Perang di Republik dan perang di Federasi adalah dua hal berbeda. Apa kalian tak letih sama sekali?”

Walaupun mereka tidak punya dukungan atau komando di Republik, mereka pun tak dibatasi militer sebagai organisasi di medan perang Sektor 86. Dronedrone tak mematuhi aturan, dan kemampuan Shin untuk melacak pergerakan Legion memungkinkan mereka punya waktu luang, yang mana mereka gunakan sesukanya. Akan tetapi, di Federasi tidak begitu, setelah sepuluh tahun bertempur melawan Legion, mempertahankan struktur militer aktif. Namun terlepas dari itu …

“Di waktu-waktu ini? Tak merasa lelah itu hal sulit.”

“Menjaga kesehatan mental para prajuritnya adalah salah satu tugas tentara. Sejatinya banyak prajurit yang seusiamu dari akademi perwira khusus dikirim kembali ke lini belakang setelah serangan skala besar. Mereka didiagnosi neurosis4. Dan gimanapun kalian ini 86. Kalau kalian minta, aku yakin mereka akan mempertimbangkannya.”

Kurena meringis sebal.

“Apa? Tidak. Aku tak mau itu. Persetan diperlakukan istimewa cuma karena kasihan.” kantinnya berisik, tapi suara keras mudah terdengar. Tatapan tak sengaja tertuju ke arah mereka, dan saat-saat berikutnya, suasana kantin mulai makin parah, seolah-olah gelombang dingin menerpa ruangan.

… 86. Mereka bisa mendengar seseorang melontarkan kata-kata itu. Monster yang dilahirkan Republik. Monster-monster itu lebih baik melawan sesama monster di wilayah mereka. Tapi sebaliknya, mereka malah memanggil lebih banyak monster ke depan pintu mereka.

Suana benci membuat Frederica menelan ludah gugup. Namun demikian Shin dan yang lainnya tidak terlihat peduli sedikit pun. Mengapa hal semacam ini menimpa mereka sekarang? Mereka didorong ke medan perang sebab 86 telah memberontak kepada Republik dan membimbing kekalahannya di tangan Legion. Kemudian Shin yang punya darah Kekaisaran mengalir di nadinya sekaligus kemampuan spesial, kerap kali dijauhi bahkan oleh sesama 86 sebagai pencabut nyawa tercela yang melahirkan perang dan memanggil kematian. Dunia selalu berpaling dari minoritas, pada orang-orang sesat yang bahkan sedikit saja menyimpang dari norma.

“Kurena,” kata Raiden.

“Aku tahu …. Tapi membiarkan mereka melihat kita seperti ini lebih baik daripada rasa kasihan. Paling tidak kita sudah terbiasa.”

“…”

“Misal seseorang mencoba melawan kita, kita cuma jangan kalah. Namun rasa kasihan itu beda. Kau bisa bilang takkan kalah, namun orang-orang akan memperlakukanmu seolah sudah kalah …. Dan aku benci itu.”

Waktu sarapan di militer terlampau singkat, dan mata semua orang berangsur-angsur beralih dari mereka. Tetapi suasana dinginnya tetap tinggal, dan Frederica melihat-lihat ke sekitar tak nyaman.

Raiden mencemooh.

“Tapi mereka cuma dapat mengulur waktu dua bulan, ya? Aku tak mengira mereka bakal menemukan jalan keluarnya di waktu sesingkat itu.”

“Dengan asumsi mereka memikirkan sesuatu dalam jangka waktu itu. Nyatanya, mereka ingin operasinya dimulai dua minggu lebih awal …. Aku ragu solusi apa pun yang mereka buat ada gunanya sih.”

“Federasi juga bisa berlebihan. Bukannya aku menyalahkan mereka. Legion telah menggilas mereka dalam hal performa, jumlah, dan informasi, dan lagi tidak ada yang mampu menggoyahkan tekad mereka.”

Legion tak punya moral untuk diturunkan atau ambisi untuk dimanfaatkan. Mereka bahkan tidak menghargai hidup sendiri. Mereka kurang kelemahan yang mencegah mereka menginjak-injak pasukan manusia. Skema cerdas apa pun yang coba digunakan kepada mereka sama saja seperti pertaruhan. Mencoba membuat rencana melawan Legion sepenuhnya tak terpikirkan. Drone-drone swagerak ini diberkahi keunggulan strategis dan bersedia memijak-mijak rencana setengah hati kepada mereka dengan jumlah banyak.

 Satu-satunya cara sejati untuk menghadapi mereka adalah dengan kekuatan murni—serangan frontal.

“Mereka tak punya cukup rudal, artileri mereka tak sampai, angkatan udara bukan pilihan …. Sisanya …”

“Serangan darat. Tak tahu apakah mereka berusaha menyelinap ke garis belakang musuh atau menerobos masuk.”

Ketika itu, muncul sosok seseorang berpakaian biru baja di jalan masuk kantin.

“—perhatian!”

Suara gagah dan menggelegar terdengar di seluruh kantin. Kedisiplinan tentara dengan tegas telah mencatat suara tersebut di pikiran semua prajurit, kemudian semua orang yang hadir berdiri dengan perhatian sempurna. Semuanya terkecuali maskot muda yang meringkuk ketakutan sebab suara guntur itu dan terlambat berdiri. Bahkan 86 yang sedikit kurang disiplin, bukan pengecualian.

Seorang perwira dengan lambang pangkat kolonel mengamati organisasi militer Federasi tanpa ada yang terlewat dengan mata hijau mirip serigala lalu mengangguk.

“Operasinya telah ditetapkan. Semua perwira yang mengabdi sebagai komandan kompi atau lebih tinggi diharuskan berkumpul di ruang pengarahan pada pukul 09.00.”

Masih pukul 07.30 dalam waktu standar Federasi. Menuju kamarnya di sektor perumahan sendirian, Shin sekali-kali merenung. Kata-kata yang Theo utarakan sebelumnya masih ada di pikirannya.

Jikalau sesuatu terjadi kepada mereka, aku ingin tahu apakah mayor masih hidup.

Tidak ada yang perlu ditanyakan. Dialah satu-satunya orang yang tahu kebenarannya, kemudian tak penting memberi tahu semua orang, lantas dia putuskan untuk tidak membagikan fakta bahwasanya …

… Republik telah jatuh.

Dia mengetahui kebenarannya tatkala membantu Federasi mendeteksi pergerakan Legion di wilayah mereka. Dia bisa mendengar keluhan Republik yang disapu suara-suara mekanis dari wilayah nan jauh, jauh dari Federasi. Dari yang didengarnya, tidak lama setelah serangan skala besar, Federasi mendeteksi getaran seismik tak biasa. Mungkin disebabkan kejatuhan Gran Mule.

Dia menduga Legion menggunakan Morpho bersamaan serangan mereka, namun alasan mereka menembak ke arah sana adalah disebabkan mereka sudah menaklukkan Republik kala itu.

Sudah satu minggu semenjak serangan skala besar terjadi dan kejatuhan Gran Mule. Negeri itu—yang memaksa 86 menuju medan perang selanjutnya menyelimuti diri dalam cangkang mimpi kosong tuk melupakan cara mempertahankan diri—bahkan takkan bertahan beberapa hari. Negeri itu tak dia anggap kampung halaman, serta semua kenangan yang dibawanya tidak lebih dari gambaran kabur masa kecilnya. Kendatipun Republik dihancurkan atau dimusnahkan, Shin tak merasakan keterikatan emosional.

Namun …

Bisa jadi seseorang akan datang membantu sebelum Republik jatuh.

Jadi sampai saat itu … kau harus bertahan hidup, Mayor.

Mereka takkan berhasil tepat waktu. Shin mendesau, menatap pecahan kaca yang masih berserakan di koridor.

Mayor. Bisakah kau … jangan lupakan kami?

“Mayor. Bisakah kau … tidak akan pernah melupakan kami?”

Kalau kami mati. Bahkan sesaat saja, bisakah …?

Tetapi sepertinya malah Shin yang mengingat. Shin hanya berpikir dialah yang selalu ditinggalkan. Oleh rekan-rekannya yang mati di medan perang Sektor 86. Semua orang yang dia ajak bicara. Semua orang yang pernah berkaitan dengannya. Cepat-lambat, dia dan semua orang terdekatnya akan dipisahkan kematian.

Nina Rantz.

Rantz.

Mengerutkan alis, Shin mengambil pisau serbaguna dari saku dan membuka amplopnya. Selembar kertas tunggal tipis hampir transparan serasa ibarat milik jenis alat tulis murah yang kemungkinan dipunyai anak kecil. Satu tangannya membuka alat tulis terlipas, lalu hanya ada dua baris yang tertulis di sana.

kenapa kau membunuh kakakku? kembalikan.

Kemudian.

Shin merasakan senyum tipis dingin di bibirnya.

Dia tidak tahu siapa yang mengirimkan suratnya—Tidak, mempertimbangkan seseorang yang mengenal Shin dan Eugene juga tahu nasib Eugene, opsinya cukup terbatas. Dia pasti punya banyak waktu luang. Shin belum melihatnya sejak serangan skala besar, tetapi dia masih hidup, karena dia mengirim suratnya. Masih ada beberapa orang seangkatan dari akademi perwira khusus di angkatan darat front barat, lantas tidak susah-susah amat mengirimkan suratnya ke Shin, masih disegel, tanpa lewat sistem pos. Dia betulan punya banyak waktu luang.

Atau barangkali justru gara-gara mereka dalam situasi semacam ini. Dia memanfaatkan beban keadilan yang dibawa kutukan gadis tersebut sebagai perisai. Terus dari balik perisai itu akan menyerangnya dan menyebutnya pembunuh.

“… jelas sudah.”

Kenapa?

Kenapa kau membunuh kakakku? Kenapa kau mengabaikannya? Kenapa kau tak menyelamatkannya?

Semua orang terus menanyakan Shin pertanyaan tersebut, berkali-kali, dari hari dirinya melangkah menuju medan perang Sektor 86 sampai sekarang. Berkali-kali, mereka terus menanyainya.

Kau bisa mendengar suara Legion. Kau kuat. Kau selalu bertahan. Terus kenapa? Dia mati, jadi kenapa kau tidak ikutan mati …? Kenapa selalu kau seorang yang bertahan …?

Shin sudah terbiasa dengan ini; dia sudah muak disalahkan.

Apalagi tuduhan mereka benar-benar melenceng. Pada akhirnya hanya orang itu yang bertanggung jawab atas hidup dirinya sendiri. Shin tak sedingin itu hingga mengklaim yang lemah cuma dapat menyalahkan diri sendiri atas kematian mereka, tetapi orang-orang menganggapnya bertanggung jawab karena tak melindungi orang-orang yang tidak mampu melindungi diri sendiri rasanya absurd.

  Tapi kali ini ada perbedaannya.

Aku menunggunya.

Suara kutukan itu adalah suara gadis kecil yang pernah dia temui sekali, dan entah kenapa, rasanya seperti suara Eugene.

Aku menunggu kepulangannya. Dan kau tahu aku lagi nunggu.

Terus kenapa?

Kenapa orang sepertimu yang tidak ditunggu siapa-siapa …

Kenapa orang sepertimu yang tidak punya tempat pulang …

… tidak mati menggantikannya?

“… pertanyaan bagus.”

Tak seorang pun mendengarnya di koridor sepi selagi bergumam setuju sendiri. Kontras pikiran batinnya, alat tulis murahan tersebut berkerut saat dihancurkan tangannya.

Raiden naik tangga barak prefabrikasi dan berhenti sesaat mendapati Shin berdiri diam di depan kamarnya.

“Hah, kau balik ke sini, Shin …? Ada apa?”

Sewaktu melihat mata merah darah Shin menoleh menghadapnya, tubuh Raiden merinding. Persis di malam distrik pertama, waktu keempat teman mereka diledakkan tipe Artileri Jarak Jauh.

Malam itu kala Shin sadar sudah di detik-detik konfrontasi tak terhindarkan dengan hantu kakaknya, Shin sekarang punya tatapan berbahaya serupa di matanya.

“… bukan apa-apa.”

Ada yang menakutkan dari suaranya, namun Shin mungkin tak menyadarinya.

“Ada perubahan rencana. Kita masih berkumpul di jam 09.00, tetapi tempat pertemuannya di kantor komandan divisi. Dan itu pun cuma untuk kapten skuadron Nordlicht serta komandan Unit Uji Coba ke-1028 …. Hanya kau dan letnan kolonel,” kata Raiden, menahan rasa takutnya.

Mata merah Shin menyipit terhadap implikasi itu.

Jelas sesudahnya perintah apa pun yang mereka ingin sampaikan takkan bagus kalau hanya perwira komandan unit dan kapten skuadron yang dipanggil untuk pengarahan. Tapi yang mereka dengar sangatlah tak masuk akal sampai-sampai bibir merah delima Grethe gemetar murka.

“Tujuan utama operasi ini adalah menyusup ke stasiun kereta api kecepatan tinggi tua yang terletak seratus 120 km barat laut sektor Divisi Lapis Baja ke-177 dan melenyapkan Morpho yang mendiaminya.”

Skala peta medan perang yang ditampilkan di layar holo adalah skala yang digunakan korps dan jauh lebih besar ketimbang peta empat puluh kilometer yang digunakan divisi tersebut. Petanya menyertakan keseluruhan front barat serta garis pertahanan Kerajaan Bersatu Roa Gracia serta Aliansi Wald. Bukan jenis peta yang biasanya dilihat skuadron biasa, kendatipun meningkatkan rasio untung-rugi militer dan telah berdiri berdampingan selama serangan skala besar baru-baru ini.

“Tujuan kedua kita adalah pemulihan zona perbatasan barat lama, alias Highway Corridor.”

Zona yang disebutkan di atas diterangi di peta. Zonanya berbentuk sabuk yang menelusuri perbatasan nasional barat lama, lokasinya beberapa puluh kilometer dari front barat. Sesuai namanya, Highway Corridor dibangun di atas jalan raya yang menghubungkan tiga negara, kemudian zonanya mencakup sebagian beasr rel kereta api tua kecepatan tinggi. Mereka menggunakan strategi ini sebagai penanganan untuk memastikan agar Legion takkan mampu menggunakan senjata rel dilengkapi tipe Artileri Jarak Jauh lagi—menyegel senjata mematikan itu selamanya.

Adapun kemungkinan lain para Legion dapat memasang rel di tempat lain, tetapi entah jalan raya atau jalur kereta api, kasusnya adalah di tempat yang paling bisa diakses. Bila mana mereka bersikeras membangunnya di atas medan tidak menguntungkan yang pernah dilewati sebelumnya, maka beban unit-unit insinyur Legion akan bertambah.

“Pasukan yang berpartisipasi dalam operasi ini adalah seluruh pasukan front barat, semua pasukan cadangan, pasukan front selatan Kerajaan Bersatu serta korps penjaga kerajaan, juga pasukan pertahanan distrik utara bersama korps pusat respon Aliansi …. Ibu kota sementara kedua negeri saat ini sedang dalam jangkauan Morpho. Sepertinya mereka tidak dalam posisi mampu bersembunyi di balik perisai lagi.”

Kerajaan Bersatu dan Federasi dipisahkan oleh pertahanan alam. Pegunungan Dragon Corpse di antara Kerajaan Bersatu dan Aliansi adalah kumpulan kerajaan-kerajaan kecil berdasarkan distrik pegunungan terjal yang memiliki gunung suci, Gunung Wyrmnest, di tengahnya.

Keduanya menggunakan pertahanan alam tuk menghadapi Legion dan membangun garis pertahanan nasional mereka. Tapi pertahanan-pertahanan alam itu tak berdaya di hadapan pengebom tipe Artileri Jarak Jauh yang serangannya melesat melewatinya.

“Garis besar operasinya agak sederhana. Pasukan gabungan ketiga negara akan maju menuju wilayah Legion bertujuan menipu mereka biar musuh mengira mereka pasukan utama yang bermaksud mengeliminasi Morpho. Mereka akan menarik perhatian kekuatan utama semua sektor dan menahannya. Memanfaatkan pengalihan ini, kita akan mengirim pasukan penyerang kecil ke kedalaman wilayah Legion, yang mana kemudian akan mengeliminasi Morpho.”

Bukan sekadar sederhana; tapi sembrono. Kemampuan melacak pergerakan Legion milik Shin telah memperjelas betapa besarnya jumlah mereka. Di front barat saja sudah beberapa ratus ribu, jumlahnya menyamai lima korps. Apalagi Legion tak punya unit non-kombatan selain unit suplai dan komunikasi mereka, yang artinya jumlah besar Legion diterjemahkan menjadi kekuatan militer murni.

Jikalau negara-negara ini hendak berbentrokan secara langsung dalam jumlah inferior ini, tidak salah lagi akan terlampau merugikan, kemudian kemungkinan besarnya, pasukan penyerang takkan selamat. Mayor jenderal tahu pasti akan hal ini namun melanjutkan penjelasannya dengan tenang. Mata hitam tunggalnya kontras mata ungu yang tengah menatapnya.

“Sehabis Morpho dimusnahkan, pasukan penyerang lalu mempertahankan stasiun hingga pasukan utama tiba dan setelahnya bergabung lalu kembali ke pangkalan. Kami telah memutuskan pasukan penyerangnya …”

Dia memalingkan tatapan matanya dari Grethe dan malah menatap Shin yang berdiri di belakangnya.

“… akan dipimpin Letnan Satu Shinei Nouzen, bersama kelima belas unit skuadron Nordlicht.”

Ekspresi Shin tetap tidak berubah. Sang mayor jenderal menatap mata merah yang menolak balas menatap dan berkata:

“Kau akan menjadi ujung tombak yang menerobos pertahanan Legion di operasi gabungan terbesar dalam sejarah umat manusia. Jangan lupakan itu, dan berusahalah memenuhi misimu sebaik mungkin.”

Sewaktu dia memikirkan tujuan pasukan penyerang ini, metafora menggunakan nama mantan skuadronnya terdengar bagaikan lelucon tanpa arti di telinganya. Atau barangkali dikatakan dengan sengaja …. Dalam hal ini, ironinya kelewat kejam.

“Bolehkah saya mengajukan pertanyaan, Mayor Jenderal?” Grethe bertanya dengan suara serak, jelas menahan amarahnya.

“Ya, Letnan Kolonel Wenzel?”

“Kenapa …? Kenapa memilih skuadron Nordlicht saya?”

Mayor jenderal mendengus, seakan-akan pertanyaan tolol.

“Kriteria kami di sini untuk pasukan penyerang agak ketat. Vánagandrs lambat nian, apalagi mereka keberatan untuk dibawa dengan pesawat. Infanteri lapis baja kurang daya tembak untuk menjalani misi. Artileri berat tak cukup fleksibel digunakan di sini. Kita memerlukan unit dengan mobilitas cukup dan daya tembak yang juga cukup ringan untuk dibawa pesawat. Selain itu, mereka pun harus berpengalaman bertarung dalam kondisi tanpa komunikasi dari Mabes dan ahli di hadapan kurangnya jumlah. Belum lagi mereka harus mampu melacak posisi Morpho. Satu-satunya yang memenuhi seluruh kriteria tersebut, Letnan Kolonel, adalah Reginleif-mu dan Letnan Satu Nouzen.”

Grethe menggigit bibirnya.

“Anda tidak malu …?! Anda mengirim 86 …. Anda mengirim anak-anak ke kematian mereka hanya karena tidak punya keluarga?! Sebab tak seorang pun akan komplain jika mereka tiada?! Seolah mereka pion yang bisa dibuang?!”

“Jaga mulutmu, Letnan Kolonel.”

“Tidak, tak akan. Ini namanya sedikit berbeda dari pasukan bunuh diri! Anda kira memanfaatkan letnan satu untuk menarik perhatian Morpho dan Legion lainnya kemudian maju menuju pasukan utama, sebab akan meningkatkan peluang menembak jatuh rudalnya. Kemungkinan buruknya, mereka paling tidak akan membantu menguras pertahanan anti udaranya. Itu rencana Anda, bukan?!”

Rudalnya kemungkinan besar punya CEP, namun semakin dekat posisi menembak ke target, makin akurat tembakannya. Bila mana mereka hendak menerobos wilayah Legion lalu menembakkan serangan saturasi seintens kali terakhir, maka peluang tepat sasarannya lebih baik.

“Kami memang sedang mempersiapkan serangan saturasi, tetapi hanya sebagai jaminan jikalau keadaannya tak sesuai. Kami tak menyuruh mereka tidak kembali. Kami bukanlah Republik.”

“Tapi Anda melakukan hal persis sama! Apa peluang kembalinya skuadron Nordlicht hidup-hidup dari operasi ini …?!”

Perihal penerbangan ketinggian rendah untuk menghindari deteksi radar dan tembakan anti-udara, helikopter pengangkut akan lebih andal, tapi lebih lamban dan mampu membawa beban lebih ringan. Sekalipun Reginleif relatif ringan, beratnya masih lebih dari sepuluh ton. Helikopter paling kuat membawa satu—seandainya membawa lima belas, mereka mesti mengerahkan formasi, lalu deru rotornya pasti akan ditangkap sensor optik dan audio Ameise yang tingkat efisiennya tinggi.

Dan seperti halnya kebanyakan senjata udara, helikopter transportasi tidak berlapis baja. Sebagian besarnya akan ditembak jatuh. Dan jikalau kekuatan lima belas unit akan menantang Morpho dengan jumlah kurang, hasil akhirnya bakal jelas.

Lalu operasi ini—operasi bunuh diri ini—didasarkan pada seluruh asumsi tersebut.

Mayor jenderal mendesau kesal.

“Protes selanjutnya akan dianggap pembangkangan, kecuali kau punya proposal lain.”

Grethe mendadak terdiam. Mayor jenderal mengangkat bahu.

“Seseorang harus melakukannya. Dan dalam hal ini …

Mayor jenderal sekali lagi mengalihkan pandangannya ke hadapan Shin. Mata merah darah masih menyipit tanpa sekali pun tanda, riak pun tidak, keraguan di dalamnya. Biarpun nyawanya dan nyawa rekan-rekannya sedang terancam.

Apakah dia—apakah 86 paham bahwa ini semacam kegilaan?

“Kau sudah berpengalaman menyusup wilayah Legion. Kau melakukannya sekali. Tentu kau bisa melakukannya kali kedua. Dan terlepas dari itu, kalian 86 nampaknya agak tergila-gila akan pertempuran.”

Bagaimana penjelasan emosi yang memenuhi mata mayor jenderal kala itu? Adalah campuran rasa kasihan mendalam dan ketakutan dalam hati. Seperti rasa kesal yang dirasa seseorang saat anak anjing yang mereka pungut tiba-tiba menggigit tangan mereka—atau rasa bersalah yang dirasa seseorang kala melempar bayi mereka ke serigala untuk melarikan diri.

Juga rasa kasihan dan ketakutan sepihak yang sama-sama mengantar ke kesalahpahaman. Baik kasihan dan benci atau ketakutan disertai kagum, emosinya bukan dari menganggap setara orang lain, melainkan tak berniat memahaminya. Lantas tatkala orang lain bertindak berbeda dari yang diharapkan, mereka hanya akan mendapat amarah. Amarahnya menutupi rasa bersalah. Memanfaatkan status asing orang lain—keberbedaan mereka—sebagai dalih tuk memperlakukan mereka seinginnya sudah sangat lazim.

Bagaimanapun juga mereka berbeda. Mereka tak seperti kita.

“Federasi menyelamatkan kalian dari medan perang. Kami menyediakan tempat hidup dan rumah tempat berpulang. Dan jika, meski sudah demikian, kalian masih memilih kembali ke medan perang, tentu kalian siap akan hal ini pula.

Bertempur adalah tugas seorang pejuang. Seorang prajurit. Lalu mati dalam pertempuran adalah bagian dari kewajiban itu.”

Shin meninggalkan kantor bersama Grethe yang membanting pintu di belakangnya dengan kesal. Dan ketik membanting pintu, pintu kantor di sebelahnya terbuka. Kepala staf front barat masuk. Bahkan di tengah kondisi mengerikan garis depan, setelannya diketat sempurna dan berbau parfum kolonye5. Dia ditemani seorang ajudan cakap yang memberi pengarahan perkara parahnya situasi, dan dia tampaknya tidak ingin memperlihatkan reaksinya. Namun sejatinya, pasti sulit tidur dengan pembaruan tak terhitung dan kedatangan informasi baru sepanjang waktu.

“Mohon maaf, Mayor Jenderal. Saya memaksakan tugas buruk kepada Anda.” “Aku tak keberatan. Ini bagian pekerjaanku sebagai komandan divisi.”

Sudah menjadi tugas seorang komandan untuk memerintahkan bawahan mereka—entah mereka seorang ayah, saudara kandung, atau anak-anak …. Pria dan wanita muda dengan masa depan. Kewajiban komandan adalah menitahkan mereka mati. Lebih tepatnya, bertarung melawan musuh kendatipun mempertaruhkan nyawa mereka. Biar begitu, tak sering dia memberi perintah semacam itu. Mayor jenderal mendesah selagi pikriannya melayang.

“… pikirmu mereka akan kembali?”

Akankah satu orang pun bahkan akan kembali?

Pria ini, berambut dan bermata hitam layaknya Onyx berdarah murni, merupakan salah satu rekannya yang lebih muda dari sekolah perguruan tinggi staf militer, usianya sama dengan Grethe.

Walau begitu, satunya menjadi kepala staf seluruh sektor, satunya lagi menjadi komandan sekaligus perwira lapangan unit uji coba. Karena orang itu adalah pewaris keluarga bangsawan kuat yang sangat terlibat dalam politik Kekaisaran tatkala itu, sementara Grethe merupakan putri pedagang biasa—meski pemilik perusahaan besar.

Sekalipun latar belakang mereka berbeda jauh, ada pula perbedaan nilai dan disposisi mereka. Satunya komandan bersifat dingin dan penuh perhitungan, bersedia dan tak takut melihat bawahan-bawahannya menjadi pion pengorbanan tuk menyelesaikan suatu tujuan. Grethe kurang sifat itu: orang yang telah dikuasai bangsawan tua yang tumbuh besar dengan tak menganggap rakyat jelata sebagai orang, namun properti.

“Menurut markas besar staff umum, peluang kembalinya hidup-hidup skuadron Nordlicht itu nol persen, yang mana berarti tidak nol persis …. Tetapi itu menyesatkan.”

Bicara secara numerik, angka yang muncul setelah deretan angka nol panjang mengikuti koma desimal yang mengucapkan angkanya bukan nol. Tapi, orang lain takkan bilang, Mereka punya kesempatan kembali hidup-hidup dengan peluang itu. Sangat mengetahuinya, kepala staf tersenyum sedikit.

“Sebagian besar prajurit akan marah apabila Anda memerintahkan mereka mengirim rekan-rekannya ke misi semacam itu, tapi saya kira para pengamuk Republik menerimanya tanpa argumen.” mereka bilang misi itu layak buat 86, dengan seringai puas di wajah-wajahnya.

Banyak prajurit melihat cara bertarung 86 melawan Legion pada serangan skala besar yang menyebarkan banyak rumot tanpa bukti ke prajurit-prajurit lain di front barat. Pejuang tanpa rasa takut dan tanpa gentar yang menghadapi bala tentara yang pantas menyandang nama Legion.

Bertarung bersama haus darah yang nyaris memabukkan kendatipun mengorbankan nyawa sendiri, meski tidak ada yang dilindungi. Bagi orang yang menahan rasa takut kehilangan nyawa sebab melindungi keluarga dan orang tersayang, ini namanya sinting.

“Siapa pun yang melawan monster mesti memastikan diri mereka tak berubah menjadi monster dalam pertarungannya, ya …? Benar saja. Mereka yang menyaingi monster sudah menjadi monster sendirinya. Ditambah lagi saat terlahirnya anak terkutuk dari percampuran darah dua monster terbesar yang pernah dikenal tentara Kekaisaran—Crimson Witch Maika dan Ebony General Nouzen. Menyuruh mereka menyerang iblis-iblis mekanik itu memang cocok.”

Menutup pintu kayu ek tebal di belakangnya, Grethe mendesah.

“… kau kecewa, Letnan Satu? Ujung-ujungnya, inilah tujuan akhirmu—wujud—dunia ini.”

Karena itu perlu. Karena kau tak punya keluarga. Karena kau orang asing. Tujuan terakhir mereka, dunia, adalah tempat yang dapat mengutip alasan-alasan ini sebagai justifikasi untuk mengirim anak-anak ke kematian mereka.

“… kurasa ini keputusan tepat, mengingat situasinya. Kalau tidak mengerahkan segalanya untuk menghancurkan Morpho, Federasi takkan mampu bertahan lagi. Lagipula …”

Melihat pintu kantor tanpa minat, Shin mengangkat bahu.

“… fakta mereka tidak berbalik dan kabur walaupaun markas garis depan sudah dalam jangkauan musuh itu sudah cukup untukku. Aku tak punya komplain.”

“Benar juga …. Republik bahkan takkan melakukannya …”

Bibir Grethe cekikikan hampa. Republik betul-betul gila soal para prajuritnya yang merupakan pelindung setia rakyat mereka, menolak menghadapi musuh. Biar mereka berhasil lari dari dunia gila tersebut, merka masih terbelenggu nila-nilai tak manusiawinya.

Grethe berbalik, senyumnya hilang.

“Mereka membutuhkan mobilitas Reginleif dan kekuatanmu. Namun demikian, kau tak perlu pergi.”

Tetapi dasarnya, satu-satunya hal yang mutlak di ketentaraan adalah penyelesaian tujuan. Bagaimana menyelesaikannya itu terserah kebebasan bertindak orang yang dipercayakan misi itu. Memaksa tentara untuk selektif tentang metode mereka di tempat sekejam dan setak pasti medan perang malah akan menghalangi mereka.

“Aku cuma akan menugaskan Vargus ke pasukan penyerang …. Kalian semua boleh tinggal.”

Grethe yang memalingkan wajahnya, tidak sadar Shin yang mengepalkan tangannya tatkala itu.

“Lalu setelah ini berakhir, berhentilah dari militer. Pertarunganmu mempertahankan tanah airmu sudah lebih dari cukup, jadi sekarang kau bisa—” “Jadi …”

Grethe kaget disela, menolah melihat Shin, napasnya tercekat.

“… Anda menyuruh kami berhenti menjadi diri sendiri, hanya untuk memuaskan rasa keadilan dan kasihan Anda kepada kami?”

Anak laki-laki yang berdiri di depannya memasang ekspresi yang belum pernah dilihatnya selama enam bulan semenjak diterima Federasi, bahkan selama serangan skala besar …. Ekspresi yang pas pemuda seusianya. Mata keras kepala seorang anak kecil yang barang berharga dibawanya dihancurkan persis di hadapannya.

“Kami berterima kasih Anda menyelamatkan kami, tetapi tak ada alasan bagi Anda untuk mengasihani kami. Tidak ada alasan kami diminta tak bertarung …. Karena bertarung …”

… cuma itu yang kami miliki …!

Walaupun dia menelan kata-katanya …. Tidak, justru karena dia telan, suaranya terdengar seolah-olah dia katakan dengan hal terpenting di hidupnya.

Untuk apa kau bertarung?

Untuk apa bertarung meskipun tidak ada alasannya?

Tiada pertanyaan lebih menghina kepada 86. Harga diri semata yang mereka miliki. Segala milik mereka telah direbut kecuali harga diri dari pertarungan mempertaruhkan nyawa hingga akhir.

Keluarga manapun yang bisa mereka lindungi telah lama mati, dan mereka tak punya tempat disebut rumah. Sejarah dan tradisi mati mengikuti kerabat-kerabat mereka, juga budaya yang semestinya diwariskan telah dilupakan sejak mereka bayi, sebagaimana halaman buku bergambar yang dibacakan kepada mereka setiap malamnya.

Yang disebut-sebut tanah air bagi mereka telah merampas martabat dan semata-mata mengharapkan pengorbanan mereka. Mereka tak punya alasan untuk melanjutkan hidup, namun, mereka memegang teguh kehidupan. Mereka membentuk hidup dari rasa harga diri bersama. Di medan perang yang pasti membunuh mereka, terkunci antara hantu mekanis di satu ujung dan persekutor di ujung lain, harga diri mereka—desakan bertarung—adalah satu-satunya hal yang mencegah mereka dari keputusasaan.

Biarpun orang-orang bertanya mengapa mereka bertarung, mereka takkan menjawabnya. Mengapa? Karena mereka tak punya jawabannya. Tak ada hal tuk diperjuangkan. Tiada yang dipertahankan. Mereka bertarung sebab menemukan harga diri di sana. Sumber harga diri yang mereka tolak lepaskan. Sekalipun mati dalam prosesnya.

“Apabila kami melarikan diri dari medan perang dan menyerahkan pertempuran kepada orang lain dan cuma duduk menunggu kematian mengambil kami, kami takkan berbeda dengan Republik. Sama saja berpura-pura hidup padahal sudah mati. Kami takkan, takkan pernah merendahkan diri kami serendah itu.”

Seraya Shin mendesiskan perkataan itu dengan sikap sangat berbeda dari ketenangan normal anak-anak, jelas sudah sekuat apa penolakan mereka. Grethe menggigit bibirnya lebih kuat. Dia tersadar yang kehilangan darinya. Mencoba menghilangkan satu hal yang mereka banggakan, dia telah menghancurkan sedikit kepercayaan yang mereka miliki padanya dan Federasi.

Merekalah 86. Anak-anak yang diusir ke medan perang, hidup dalam bayang-bayang perang, dan bertarung dalam dunia penuh penderitaan dan keputusasaan, tanpa rumah tempat berpulang, dengan harga diri sebagai satu-satunya senjata.

Federasi memberi tahu mereka tak perlu lagi bertempur, bahwa mereka boleh meninggalkan medan perang dan hidup damai. Tetapi kata-kata yang Federasi tuturkan berkali-kali mengancam identitas warga negara mereka. Shin memindahkan pandangan merah darahnya. Matanya takkan menatap Grethe lagi.

“Memerintah dari belakang mengakibatkan jeda waktu fatal …. Sayalah yang akan memimpin pasukan penyerang secara langsung.”

 

  

Ketika semua unit diberi pengarahan tentang operasi penyerangannya, ruangan diselimuti ketegangan terlampau kuat. Tujuannya nekat, lalu jalan menyelesaikannya diaspal nyawa setiap prajurit unit. Namun seandainya mereka gagal menghancurkan senjata taktis ini dengan jarak tembak empat ratus kilometer, tiga negara, termasuk Federasi—tidak, barangkali umat manusia itu sendiri—mungkin akan disapu bersih.

Keseluruhan pasukan front barat akan menyerang seratus kilometer langsung ke wilayah Legion. Dan yang dipilih berdiri di barisan depan—adalah 86. Peta operasi diproyeksikan dengan dingin ke layar holo ruang pengarahan setiap unit.

Pengarahan untuk Unit Uji Coba ke-1.028—skuadron Nordlicht—sama menegangkannya. Mereka adalah pasukan penyerang yang dimaksudkan menyusup jauh ke wilayah musuh. Kemungkinan kembali hidup-hidup lebih rendah daripada seluruh pasukan front barat.

Setelah menyelesaikan penjelasan mendasar situasi, Grethe meninggalkan ruang pengarahan diikuti personel penting lain. Tim pemeliharaan beserta peneliti pergi sesudahnya, masih mendiskusikan operasi. Terakhir, anggota regu Vargus berdiri dengan ekspresi kaku.

Bernholdt, sersan paling senior skuadron, beralih menghadap 86 yang tetap tinggal di ruang pengarahan sebelum pergi.

“Kapten.”

Sersan muda yang senantiasa menjadi ajudan Shin, di waktu-waktu ini, tak memandangnya seperti atasan melainkan orang tua cemas pada anak nekatnya.

“Aku tidak bilang kami tak bersyukur kau tidak meninggalkan kami, tapi …. Kami takkan menentang andaikata menarik kembali keputusanmu. Kau boleh mengerahkan kami tanpamu, tahu.”

“…”

Pernyataannya tidak dijawab, kemudian Bernholdt meninggalkan ruang pengarahan tanpa sepatah kata pun. Mendesah panjang, Raiden kembali duduk di kursi dan menatap langit-langit.

“… bukan berarti mereka punya hak istimewa mengatakannya dalam operasi setengah-setengah ini.”

“Mereka menggunakan seluruh tentara tuk memancing Legion agar kita entah bagaimana mencapai target seratus kilometer jauhnya dan menghancurkan Morpho.”

“Terus jalan pulang kita tergantung berkumpul kembali dengan pasukan utama. Siapa yang tahu mereka bisa sampai atau tidak?”

“Itu dengan asumsi kita bertahan. Kita bakal berada di jantung wilayah musuh tanpa tembakan perlindungan. Sama saja dengan Republik.”

Meski saling mengeluh, ada sedikit senyum di bibir mereka. Semacam pandangan memandang masa depan filosofis yang membuat mereka sadar segala halnya kadang kala demikian.

Dan sebenarnya, mereka punya pilihan apa lagi? Tujuan mereka terletak jauh di belakang garis musuh tanpa metode penyelesaian alternatif. Dan andaikan mereka tak melenyapkan musuh, kematian mereka itu pasti. Federasi harus melakukannya kiranya ingin bertahan hidup, biarpun artinya kehilangan sebagian besar prajuritnya.

Kondisi ini identik medan perang Sektor 86. Tidak ada pertempuran gampang, tak ada kemenangan pasti. Satu-satunya perbedaan sekarang adalah mereka bertarung karena memilih beratrung. Mereka dapat menyusuri jalan ini atas kemauan sendiri. Menjadi 86 berarti mereka tahu kebebasan sulit didapat, karenanya mereka takkan rela kehilangannya.

Kendati dia tahu itu, Shin angkat bicara.

“Sudah kubilang, letnan kolonel berkata kita bisa mundur dari operasinya kalau ingin.”

“Kau bercanda? Misal kita mundur sekarang, kita sama saja dengan para babi putih itu.”

Theo tersenyum seraya mengujarnya.

Sepanjang pengarahan, Grethe sama sekali tidak menatap Shin. Lantas mereka menarik kesimpulan pasti terjadi sesuatu antara Shin dan Grethe yang benci gagasan mengorbankan anak-anak, sebelum pengarahan dimulai.

“Tapi kau tahu tidak, mereka memberikan kita peran paling berbahaya hanya karena kita ini 86. Dan itu … membuatku sedikit kesepian.”

Bagaimanapun juga Federasi bukanlah negara buruk. Selain itu, tempatnya jauh lebih baik ketimbang Republik sebelumnya. Tetapi dianggap pion yang paling bisa dibuang negara membuat mereka merasa terkucilkan, kurang lebih.

Kalian bertarung untuk apa? Kalian mempertahankan apa?

Pertanyaannya diajukan dengan asumsi orang-orang memerlukan alasan bertarung, dan 86 yang berdiri di medan perang tanpa alasan tersebut di nama mereka, itu abnormal di mata Federasi.

Tidak ada rumah tempat kembali atau keluarga untuk dipertahankan, dan jikalau tujuan akhir mereka bukanlah tempat di mana mereka bisa jujur terhadap diri sendiri, medan perang adalah yang tersisa dari mereka. Seumpama tak seorang pun menginginkan mereka di sana, mereka tak punya alasan dihidupi selayaknya hewan peliharaan karena rasa kasihan.

Monster.

Ya, barangkali itu benar. Mereka akan hidup di medan perang, bertarung hingga keberuntungan habis, kemudian mati di sana. Bukan jenis kehidupan yang dijalani setiap orang. Tetapi …. Shin mengepalkan tinjunya.

Harga dirilah satu-satunya hal yang kami miliki.

 

 

“—karena alasan inilah kami memilih skuadron Nordlicht sekaligus kelima 86, sebagai pasukan penyerang untuk menghabisi Morpho.”

Ibu kota Federasi, Sankt Jeder, dibangun di tempat tinggi, dan matahari terbenamnya datang terlambat selama bulan-bulan musim panas. Sinar matahari terbenam menyinari merah tua kantor presiden. Mata Ernst tertuju pada dinding berlayar holo yang memproyeksikan gambar panglima tertinggi angkatan darat front barat, dia melirik Ernst, kelihatan tegas.

“Ini perintah sah yang diturunkan di bawah wewenang saya sebagai komandan tertinggi angkatan darat front barat. Mereka mungkin anak angkat Anda, Pak, tetapi saat mereka masuk tentara, kami tidak dapat memberikan mereka perlakuan spesial. Saya menyesal berkata bahkan Anda takkan mampu membalikkan keputusan ini.”

“Aku sadar betul. Aku sudah bersiap untuk hal ini seketika mereka ingin masuk tentara, lalu aku mengiiznkan mereka …. Tidak bisa diterima mengirim prajurit-prajurit negaraku ke kematian mereka tetapi mencegah anak-anakku mengalami nasib serupa.”

Barangkali suara emosional Ernst membuat komandan—letnan jenderal—merasa sangat bersalah. Dia batuk kering sebelum melanjutkan.

“Saya yakin sebagai kampanye untuk meningkatkan moral, sukar menemukan cerita lebih baik dari ini. Anak-anak yang kita selamatkan dari kesulitan di tangan negara musuh memilih mempertaruhkan nyawa dalam operasi yang menentukan nasib Federasi. Dan meminta mereka secara sukarela memimpin tugas ini di unit paling berbahaya …. Kisah yang menyayat hati, cerita yang dicintai warga. Tergantung bagaimana cara kita mempublikasikannya, bisa berdampak sangat positif pada jumlah pendaftran kita, belum lagi peringkat persetujuan Anda.”

“Hentikan omong kosong politiknya, Letnan Jenderal. Tak cocok padamu.”

Ernst mendengus, melihat wajah kasar dan persegi panjang letnan jenderal—gambaran prajurit berpengalaman. Selanjutnya dia bertanya, suarnaya masih sama sebagaimana sebelumnya:

“Letnan Jenderal, kau yakin operasi ini bukan lanjutan desinfeksi yang kau coba setahun lalu?”

Hening berat menimpa mereka sesaat.

“Sewaktu kami pertama kali menahan mereka, Anda, bersama beberapa perwira lain berpendapat demikian—bahwa anak-anak yang melarikan diri dari wilayah Legion teramat-amat mencurigakan. Anda tak percaya mereka sungguh-sungguh menyelinap melalui wilayah mereka. Anda pikir mereka diinfeksi sesuatu dan bahwa kita perlu menyingkirkan mereka demi kebaikan rakyat Federasi.”

Lima prajurit anak muda telah diselamatkan dari perburuan kepala. Bahkan divisi yang telah menyelamatkan mereka, juga komandan korps yang memimpinnya, mengasihani mereka. Drone yang dipulihkan bersama mereka, mempilotnya sama saja bunuh diri; cara mereka menghindar dari orang asing; luka tempur tak terhitung jumlahnya di badan mereka. Berbagai elemen ini bersama-sama melukiskan gambaran jelas tentang penganiayaan tanah air mereka dan mendukung testimoni mereka.

Namun setiap elemen itu pun masih bisa dibuat-buat, jika seseorang berpikiran melakukannya. Tak mungkin ada cara mengonfirmasi mereka bukan mata-mata yang dikirim Republik dalam suatu misi rahasia. Fakta Legion dilarang—dengan memprogram—mengerahkan senjata biologis, dan bahwa anak-anak yang melalui inspeksi yang diatur serta masa isolasi, bukanlah bukti mereka tidak diinfeksi senjata biologis atau merekalah senjata biologis itu sendiri.

Tidak ada bukti mereka bersih.

Bila mana mereka adalah warga negara Federasi, para tentara akan menerima risikonya. Tetapi mereka orang asing. Federasi tak berkewajiban mempertahankan mereka. Dan ada permintaan tegas dari beberapa perwira mereka mesti disingkirkan jikalau perlu. Namun Ernst bersikeras bahwasanya Federasi yang menempatkan keadilan sebagai kebijakan nasionalnya takkan merendahkan dirinya hingga mundur.

“Aku takkan mengutuk permintaan itu dan bilang tak berperasaan lagi kejam. Diskriminasi bisa berasal dari niat baik sebagaimana dari niat jahat. Karena orang-orang berharap mempertahankan hal-hal tersayang mereka sehingga sanggup membuang yang tidak dianggap berharga, dan aku tak berniat menyangkalnya.”

Namun perbuatan salah yang menuntun menuju jalan kejahatan tak manusiawi, berharap mempertahankan hal-hal tersayang adalah manifestasi jujur jiwa manusia.

“Tetapi mereka yang mengaku manusia dan tidak pernah menggunakan ataupun mengandalkan kata-kata, malah menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuannya, dalam hal apa pun itu salah. Bukan berarti kau setuju denganku dalam hal dasarnya dan memanfaatkan krisis ini sebagai kepura-puraan tuk diam-diam menggulingkan keputusanku … benar?”

“… tentu tidak.”

Lantas mengapa dia berhenti sejenak sebelum menjawabnya?”

“Tapi tolong pertimbangkan ini. Praktiknya, mereka bukan anak-anak menyedihkan, melainkan para pengamuk hina dan gila. Anda sungguh berpikir monster-monster ini akan mendapatkan tempat di Federasi kita? Apakah itu yang harus kita cita-citakan?”

Peringatan itu didalami kepahitan, tapi Ernst semata-mata tersenyum.

“Tentu saja, Letnan Jenderal.”

Satu hal yang benar, letnan jenderal ini bukan orang sinting yang berniat membantai anak-anak. Tahu ini, Ernst menjawab tanpa keraguan sedikit pun.

“Sebab itulah idealismeku—juga idealisme negara yang aku pimpin. Lagi pula, memang begitu …”

Selama sepuluh tahun, mayoritas warga Federasi terus memilihnya.

“… mewakili pendapat warga Federasi.”

Bangga, mulia, dan adil.

Mendadak, napas leltnan jenderal tertahan. Penglihatan naga bernapas api jahat bercampur sosok presiden yang penuh semangat menuturkan cita-cita ini dari lubuk hatinya.

 

  

Itu kedua kalinya mereka mesti membereskan urusan pribadi sebelum melakukan operasi yang peluang kembali hidup-hidupnya kecil, tetapi tepat seperti kali terakhir, mereka tak punya banyak artikel penting untuk disaring. Tapi ada satu barang yang Shin perlu kirim kembali ke garis belakang, dan dia saat ini tengah mengetuk pintunya.

“Frederica.” “Buka kok.”

Membuka pintu kayu ringan, dia melangkah ke dalam ruangan sempit, semua perabotannya diatur ke satu sisi bargaris datar mirip koridor. Frederica sedang duduk di tempat tidur kecilnya, dagunya tenggelam di kepala boneka hewannya. Wajahnya teralih kesal.

“Operasinya,” gumamnya dari belakang.

Respon Shin mengangkat alis.

“Kau menerimanya, kan? Operasi bunuh diri gegabah tanpa jalan kembali.”

“Kukira sudah melepas Perangkat RAID-ku …. Kau mengawasi kami?”

Rincian operasinya adalah rahasia militer, dan mereka dilarang membawa perangkat komunikasi apa pun—yakni, Perangkat RAID—ke pengarahan. Terutama dalam kasus operasi ini, andaikan ada detail yang bocor ke publik, maka akan menyebabkan kekacauan dan pergolakan serius. Dan seumpama Legion menangkapnya dan entah bagaimana menguraikan niat mereka, hasilnya bakal jadi bencana besar.

Tapi bagi Frederica yang punya kemampuan melihat masa lalu dan masa kini orang-orang terdekatnya, melihat peta operasi di layar hologram dan pergerakannya adalah hal sepele. Memungkinkannya menebak gampang tujuan operasi.

“Kalau begitu menghemat waktuku menjelaskan segalanya …. Pulanglah ke ibu kota secepat mungkin. Sewaktu operasinya dimulai, bisa jadi tidak ada jalur transportasi untuk memulangkanmu.”

“… seorang Maskot itu disandera tentaranya Aku tidak bisa pulang meski mau.”

Maskot tak lebih dari beban di medan perang, namun mereka masih tidak diperkenankan pulang. Gadis-gadis ini disandera, menjadi putri atau adik para prajurit untuk mencegah mereka kabur dari zona perang.

Mereka asalnya dari banyak latar belakang. Beberapa yatim piatu tanpa kerabat. Beberapa dijual orang tua mereka untuk mengurangi jumlah mulut yang harus diberi makan. Ada pula anak-anak haram keluarga bangsawan, menyerah demi ahli waris sah dengan kedok kesetiaan nasional.

Kini pangkalan sedang diancam serangan konstan, kemungkinan para prajurit melarikan diri lebih tinggi dari sebelum-sebelumnya, lantas tak mungkin Maskot dibebaskan dari kewajibannya. Walaupun mereka diizinkan, para Maskot tak punya tempat pulang. Gadis-gadis ini menjalani peran sebagai Maskot sampai usia dua belas, ketika mereka menyelesaikan pengabdiannya, mereka akan mengenyam pelatihan akademi, bercita-cita menjadi personel militer. Tanpa tempat disebut rumah, mereka akan terbiasa pada medan perang, akhirnya takkan mampu meninggalkannya selama sisa hidup mereka.

Frederica pun bernasib sama …

Kau akan bisa kembali. Sekarang bukan waktunya pilih-pilih caranya.”

“Kalau aku gunakan wewenang orang kantoran membosankan itu, aku mungkin bisa melakukannya, iya …. Tapi kenapa kau menyuruhku kembali? Bukankah kau yang bilang tak ingin orang lain memutuskan cara hidupmu?”

“Aku pun bilang sebaiknya kalau tidak perlu jangan terlibat kematian orang lain.”

Keluarganya pergi berperang dan takkan pernah kembali. Unit pendampingnya diledakkan di layar utama Juggernaut-nya. Rekan-rekannya memohon dilepaskan dari penderitaannya. Mereka yang bunuh diri, tidak sanggup menahan suara orang mati yang bergema di Resonansi …. Dia lebih baik tidak menyaksikan kekejaman ini berkali-kali lagi.

Mayoritas prajurit yang terlibat di operasi yang ‘kan datang kemungkinan besarnya bakal mati. Dan itu bukanlah hal yang perlu disaksikan Frederica yang dapat melihat kehadiran orang-orang yang dia kenal secara personal.

“Normalnya ini takkan disetujui, tetapi peluangnya terlalu berat buat kami untuk operasi ini. Beruntung kalau cuma didesak mundur. Seburuk-buruknya, kami akan diserang balik dan garis depan akan hancur. Misal terjadi, pangkalan ini takkan aman lagi.”

Padahal andai itu terjadi, ibu kota pun takkan aman pula, tetapi Shin menyimpannya. Kalau berpikir seperti itu, maka tak berarti mau lari ke mana pun. Dan dia tidak berniat membiarkan situasinya demikian.

“Aku tahu suaranya …. Saat kami di distrik pertama, ia meledakkan empat teman kami. Jadi aku tak terlalu memerlukanmu memberitahuku di mana dia.”

Kino dan Chise, Touma dan Kuroto. Empat rekan yang bertarung bersama mereka di medan perang terakhir Sektor 86 dan dibombardir jauh dari jarak cakrawala.

“Tapi yang terjadi sebaliknya! Aku yang berbagi masa lalu dengan Kiriya, jadi kenapa harus kau yang menempuh jalan tanpa kembali?!”

Frederica lari menghampirinya, menempel di tubuhnya. Boneka hewan ditinggalkannya jatuh dari tempat tidur, berguling ke lantia. Shin membelikannya mainan ini karena dia ngotot ingin, tapi dia tak pernah paham apa yang disukainya. Boneka beruang aneh jahitan tangan.

“Aku akan bicara dengan Grethe, agar kalian semua tinggal. Kemampuanmu melacak semua Legion itu berharga bagi militer. Apalagi akhirnya kau berhasil lari dari Sektor 86, medan perang dengan kematian pasti. Kau tidak boleh menyerahkan hidupmu demi operasi sembarangan itu!”

“Kau hanya bisa melihat kesatriamu, tapi tidak Legion lain. Kau takkan sukses menerobos wilayah mereka. Meskipun kau susupi, kalian semua akan mati.”

“… kenapa …? … kenapa kau kukuh mencoba mendesak mundur kami …?!”

Mata merah Frederica mirip matanya sendiri, membelalak takut. Namun bukan disebabkan kematian Eugene telah menyadarkannya pada realita kematian di medan perang. Sedari awal, Frederica meminta mereka membantunya menumpas hantu kesatria Frederica jika mereka kembali ke medan perang, tapi Frederica tak pernah menyuruh mereka bertarung untuk melakukannya.

“Bukankah kau ingin kami menembak mati kesatriamu? Jika kau tahu Federasi harus mengurus Morpho, walaupun berarti kehilangan semua prajurit yang mereka miliki, kenapa kau mencoba menurunkan peluang mereka …? Aku rasa sebenarnya kau tidak mau Morpho itu hancur.”

“…”

Tatkala itu, mata Frederica tak salah lagi sepenuhnya ngeri. Shin menatapnya dan menghembuskan napas. Dia benar.

“… semakin jadi alasanmu untuk pergi. Jadi lupakan semua ini. Kau tidak mau menjadi seperti kami, kan?”

Frederica mendorong jauh Shin sekuat-kuatnya dan berteriak. Walaupun Shin masih muda, dia mendekati akhir masa remajanya, dan dia menghabiskan banyak sekali waktu di medan perang. Frederica dengan fisik muda dan kekanak-kanakannya kurang kuat menggerakkanya. Dia terhuyung mundur dua-tiga langkah tetapi mempertahankan keseimbangannya.

“Setelah kau pergi ke medan perang bertujuan menghabisi hantu kakakmu—dan berhasil—mengapa kau menyuruhku untuk tak melakukan hal serupa kepada kesatriaku?! Kenapa aku dilarang mencapai tujuanku …?! Tentunya kau mulai sadar …. Hantu menyedihkan tidak ada tujuan untuk dieprjuangkan atau tanah tempatnya pulang. Harga diri adalah satu-satunya hal yang mendorong maju. Kau ingin menjadi sama sepertinya?!”

Ujung jari rampingnya menunjuk barat laut. Shin yang bisa mendengar teriakan orang mati, tahu Frederica menunjuk arah kesatrianya berada. Tetapi suaranya belum cukup memberi tahu Shin apa yang dirasakannya sekarang.

“Aku bukan kesatriamu.”

Dia sama seperti aku yang dulu. Iyakan?

Kapan Shin dan Raiden bercakap-cakap demikian? Dipikir kembali, dia dan Frederica memang berbeda. Dia mesti menghabisi kakaknya apa pun yang harus dia korbankan untuk melakukannya. Dia harus berjalan maju, untuk menebusnya. Dan itu bukanlah tujuan yang akan diserahkan Shin.

“Bebas melihatnya dari diriku seinginmu …. Tapi jangan serahkan penyesalanmu dan keperluan penebusanmu padaku di tengah-tengahnya. Itu menjengkelkan.”

“…! Dasar keras kepala bego!”

Frederica akhirnya naik pitam dan berteriak. Suara berisik gadis itu menggema dalam kamar kecil.

“Aku menyuruhmu tidak pergi, jadi patuhilah aku, dasar idiot tak tertahankan!”

Mengepalkan tinju, dia menghentak-hentak tanah macam anak ngambek. Mata merahnya penuh air mata selagi memelototi Shin.

“Pasti kau menyesal tak mengatakan kata-kata itu kepada kakakmu, kan?! Kau masih menyesal tidak bilang apa-apa dan melihatnya pergi ke medan perang yang takkan mengembalikannya, kan?! Lantas kenapa kau melakukan hal yang sama seperti kakakmu?! Mengapa kau harus memaksakan pengalaman menyakitkan yang kakakmu perbuat padamu ke diriku?!”

Seusai Frederica berteriak dari tubuh mungilnya, Frederica terengah-engah. Setiap dadanya berkontraksi, air mata mengalir di pipinya, ibaratnya segenap kemarahan yang dia simpan telah menembus bendungan dan menyembur keluar.

“… Frederica.” “Jangan pergi.”

Suaranya singkat nan rapuh.

“Aku tidak lagi ingin kehilangan saudara lain. Aku tidak mau kau mati seperti Kiri.”

“…”

“Aku tidak ingin lagi melihat saudaraku didorong ke medan perang oleh perbuatanku, hanya untuk mati. Aku tak mau orang lain mati. Jadi tolonglah …. Jangan pergi.”

 

  

Hari tengah malam dan lampu sudah mati di seluruh pangkalan front barat. Tapi hari kerja para perwira lapangan dan komandan masih jauh dari selesai. Kantor Komandan Divisi Lapis Baja ke-177 sedang gelap, namun mayor jenderal melanjutkan pekerjaannya diterangi cahaya layar hologram yang diproyeksikan ke meja kerja beratnya. Ketukan lriih di pintu mengangkat kepalanya, lalu mengerutkan alis saat melihat tamunya.

“Aku takkan mendengar jika kau berniat memintaku mempertimbangkan lagi operasinya.”

“Aku tahu, karena itulah aku ke sini untuk menawarkan opiniku.”

Grethe mendekati mejanya, tumitnya membentur lantai, dan dia mengangguk menaik-turunkan dagunya. Menolak perintah hukumnya dilarang tidak peduli apa pangkatmu, tetapi perwira berhak memberikan rencana lain. Biarpun, tentu saja, diterima atau tidaknya rencana lain tersebut tergantung keputusan perwira atasan.

Berdiri di gelapnya malam, mata ungu hampir bercahayanya menatap mayor jenderal … lalu tersenyum.

“Kau menyebarkan skuadron Nordlicht menjadi unit seukuran peleton untuk menghindari situasi ini, bukan, Richard?”

Para Prosesor barangkali punya kemampuan tengkum dewa, tapi pencapaian unit seukuran peleton itu terbatas, lantas hanya bisa mengumpulkan banyak ketenaran dan keburukan. Wajar saja, mengingat kecilnya ruang lingkup musuh yang harus mereka hadapi, dan jumlah sekutu mereka sama, lantas tak menyebar kabar kekuatan tempur luar biasa mereka. Semata-mata cerita hantu belaka di medan perang, seperti halnya kebanyakan rumor.

Tapi mendadak, unit berukuran peleton menjadi skuadron dan diposisikan di tengah operasi sangat rumit.

“… Juggernaut, ya? Sewaktu aku melihat catatan misi senjata cacat itu, aku mau tidak mau melakukannya. Ada pula catatan ekspedisi pertama mereka, di mana keseluruhan kompi dihancurkan, menyisakan Letnan Satu Nouzen seorang yang selamat. Satu-satunya hal yang kau pedulikan sih cuma hasil dan data gaya bertarung mobilitas tingginya.”

Perekam misi Juggernaut menyimpan seluruh berkas datanya dari saat dinyalakan dalam keadaan padat, dan mayor jenderal telah memeriksanya. Berisikan jumlah catatan tempur luar biasa dan jumlah korban musuh yang mengesankannya sama.

Menurut kesaksian yang diberikan 86 kala mereka diinterogasi setelah diselamatkan, itu hanya satu dari tiga unit cadangan yang Shin gunakan setiap kali salah satunya rusak parah, lantas tak dikerahkan selama itu … sesusah apa pun memercayainya.

Mayor jenderal tahu mengirimnya ke medan perang takkan berbuah manis sama sekali. Dibanding prajurit biasa Federasi, Shin layaknya pedang terkutuk kelewat tajam dan terlalu diasah.

Berani menampilkannya akan mengakibatkan dirinya dibenci atau hancur karena kelamaan digunakan. Tapi nyatanya, dia sebetulnya pedang gila yang menumpahkan lebih banyak darah daripada yang disangka-sangka.

“… jangan terlalu dempet padanya. Dia memang anak menyedihkan, namun begitu diubah menjadi seperti sekarang, dia takkan bisa diselamatkan. Ia sudah tumbuh menjadi seseorang yang menjadikan medan perang tempat bertenggernya lanjut hidup di pertempuran-pertempuran berikutnya. Terlanjur meresap dalam dirinya bahwa pertempuran tak dapat lagi dilepaskan. Kau boleh melindunginya sebaik dan sesukamu …. Tetapi dia hanya tahu perang.”

“Tidak.”

Sang mayor jenderal mengangkat satu matanya terhadap sangkalan tegas ini. Mata violetnya melotot di kegelapan.

“Dia tidak menyedihkan, dan itu pun bukan kita yang putuskan. Satu-satunya hal yang bisa kita perbuat demi anak-anak ini adalah memastikan mereka punya waktu untuk membuat keputusan.”

Mereka sangat terbiasa bertempur, jauh lebih mampu diandalkan ketimbang prajurit lain, mudah melupakan mereka masih anak-anak. Prajurit anak-anak ini rasanya seperti veteran, pengalamannya jauh lebih besar dari semua orang sampai-sampai bahkan Grethe pun melupakan jati diri mereka.

Tetapi mereka hanyalah anak-anak yang hampir melewati usia pertengahan belasan.

Bahkan belum satu tahun sejak bergabung ke Federasi, dan siapa pun perlu waktu membiasakan diri di lingkungan baru. Ditambah lagi lingkungan asal mereka teramat-amat berbeda di tempat yang tidak bissa memercayai seorang pun.

Mereka belum cukup beradaptasi dengan Federasi untuk mempertimbangkan menjangkau sesuatu yang belum pernah diketahui. Dalam lingkungan yang berubah cepat ini, mereka bertarung semata-mata demi menyatukan kemiripan kehidupan sehari-hari, tak mampu mempertimbangkan hal lain lagi.

Mereka barangkali tahu cara bertahan hidup, tetapi tak tahu cara hidup, sebab mereka masih memperlakukan setiap harinya bagai hari terakhir mereka. Jadi sekalipun mereka hanya punya harga diri, itu cukuplah untuk waktu sementara. Tidak ada yang dilindungi dan tak punya tempat berpulang, lantas harga dirilah satu-satunya.

Namun suatu hari, begitu seluruhnya beres, mereka boleh jadi ingin mendapatkan kembali yang dicuri dari mereka. Dan kendatipun mereka memilih hidup di medan perang terlepas dari segala yang dilalui, keputusan itu milik mereka—bukan orang lain.

Dan seseorang tidak boleh memilih keputusan mereka dengan asumsi mereka takkan memilih sendiri.

Entah perlu berapa tahun lagi. Tapi suatu hari kelak …

“Mereka saat ini mungkin warga negara Federasi, tapi sejatinya mereka datang dari negari lain. Apa kita betulan berkewajiban melakukan sebanyak ini untuk mereka?”

“Tentu saja. Itu kewajiban kita. Begitulah, terkecuali kita berniat bersombong diri hingga memperlakukan manusia hidup yang bernapas bak anak anjing tenggelam yang kita pungut di pinggir jalan.”

Memberikan mereka makanan, atap di atap kepala, serta pemilik baik—barangkali dilakukan dengan niat baik, namun mereka memperlakukan anak anjing itu bak peliharaan dan tak sekali pun memperhitungkan martabat ataupun keinginan individu. Dan dalam hal ini, perbuatan mereka kepada 85 tidak beda-beda amat dari yang warga Republik perbuat.

Mungkin kebajikan berlimpah ini hanya membuat tingkah laku mereka kian kejam. Mereka tidak menganggap orang-orang di depan mereka sebagai sesama manusia, melainkan karakter drama atau film, menjadikan mereka sarana untuk merasakan keadilan murahan serta iba.

“Kau betulan berpikir pedang berlumuran darah yang ditempa api perang dan diasah jiwa-jiwa orang mati akan memahami belas kasih manusia?”

“Suatu waktu, kita membuat pertaruhan serupa, Richard. Dulu, aku menang …. Biarpun Legion merenggut segalanya dari kita sesudahnya. “…”

Mayor jenderal menghembus napas berat.

“Aku katakan lagi. Jangan terlalu terikat pada makhluk itu, Grethe. Kau hanya melihat gambaran orang lain pada dirinya …. Seseorang yang hilang darimu. Seseorang yang takkan pernah bisa kau dapatkan kembali.”

“Ya, memang. Tapi … apa salahnya itu?”

Entah setidak bermartabat apa, Grethe menaruh tangan ke atas meja dan condong maju. Dia mendekat sambil tersenyum samar.

“Semisal semua orang tahu aku kehilangan apa dan berkesimpulan demikian, itu makin membantuku. Aku katakan sebanyak mungkin. Aku takkan melihat anak-anak mati di medan perang …. Dan aku akan melakukan apa pun untuk mencegahnya.”

Berkata begitu, senyum Grethe berubah mengerikan. Bibir merahnya dopotong karena keterlaluan sering digigit akhir-akhir ini, tetapi masih tersenyum manis dalam kegelapan.

“Helikopter pengangkut kecil tak layak membawa para Valkyrie imutku ke pertunjukan besar mereka. Izinkan aku mengerahkannya.”

Sang mayor jenderal meletakkan sikunya ke meja, bayangan tangannya yang terjalin menutup mulutnya yang mendesau.

“… dia, ya?” “Benar.”

Grethe mengangguk sedikit. Di dada kiri seragamnya terdapat lambang pilot bersayap, dan dia takkan lepaskan biarpun kainnya robek.

“Nachzehrer.”

 

Catatan Kaki:

  1. Ad hoc adalah sebuah istilah dari bahasa Latin yang populer dipakai dalam bidang keorganisasian atau penelitian. Istilah ini memiliki arti “dibentuk atau dimaksudkan untuk salah satu tujuan saja” atau sesuatu yang “diimprovisasi”. Contoh: “Komisi ad hoc DPR”.
  2. CEP adalah singkatan dari istilah dalam bahasa Inggris: circular error probability atau circular error probable. Dalam balistik, CEP dipakai sebagai ukuran tingkat akurasi sebuah sistem senjata khususnya peluru kendali balistik. CEP didefinisikan sebagai garis tengah lingkaran di mana menjadi titik jatuhnya sebuah misil, bom atau proyektik.
  3. Luminesensi adalah fenomena fisika berupa pancaran cahaya dari suatu bahan yang tidak panas. Luminesensi adalah emisi cahaya oleh suatu zat yang bukan berasal dari panas, sehingga ia adalah sebuah bentuk radiasi benda dingin. Luminesensi dapat disebabkan oleh reaksi kimia, energi listrik, gerakan subatomik, atau tekanan pada kristal(Piezoelektrik). Ini membedakan luminesensi dari pijaran (inkandesens), yang cahayanya dipancarkan oleh suatu zat sebagai akibat dari pemanasan. Secara historis, radioaktivitas dianggap sebagai bentuk radioluminesensi, meskipun sekarang ini dianggap terpisah karena melibatkan lebih dari radiasi elektromagnetik. Istilah luminesensi diperkenalkan pada tahun 1888 oleh Eilhard Wiedemann.[1] Peralatan panggilan, tangan, sisik, dan tanda-tanda penerbangan dan instrumen navigasi dan tanda-tanda lainnya sering dilapisi dengan bahan luminesensi dalam proses yang dikenal sebagai proses luminesensi.
  4. Neurosis adalah istilah umum yang merujuk pada gangguan jiwa karena adanya stress jangka panjang, namun tidak seperti psikosis yang melibatkan delusi atau halusinasi. … Di sisi lain, istilah neurosis masih dipakai dalam ICD-10 serta komunitas psikolog di Indonesia.
  5. Minyak kolonye atau air kolonye (bahasa Prancis: Eau de cologne, harfiah:air Köln) adalah parfum yang berasal dari Köln (bahasa Prancis: Cologne), Jerman. Sekarang, eau de cologne adalah istilah umum untuk formula wewangian yang mengandung minyak atsiri sebanyak 2-5%. Bahan dasarnya adalah etanol. Selain itu, eau de cologne juga mengandung campuran minyak jeruk seperti lemon, jeruk, jeruk keprok, jeruk bergamot, limau, anggur, dan neroli, juga minyak dari lavender, rosmarinus, thymus, petitgrain (daun jeruk) dan melati.

 

Share this post on:
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments