Share this post on:

Jack of All Trades Bab 3

Bivak di Dunia Lain

Penerjemah: Demon Firesage

Mungkin baru berlalu beberapa detik. Tapi aku berhasil membuat keputusan. Membulatkan hati untuk tetap diam.

Begitu goblin terpikat oleh baunya, dia langsung mendekati semak-semak, aku menghujam tombaknya persis ke tenggorokan kecil kurusnya. Aku tak tahu itu kebetulan semata atau karena kemampuan. Tapi hujamnya halus sekali dan tepat sasaran di tengahnya, sampai goblin tersebut tak dapat berteriak dan jatuh mati. Aku buru-buru memegang tubuhnya dan kutarik sampai ke balik semak-semak.

Sekarang jumlah kawanannya tinggal sembilan.

Bagus … bisa jadi kucicil jumlah mereka dengan cara ini …. Seolah akan berhasil.

Aku tahu itu. Lagi pula, ketika darah goblin mulai mengalir seperti ini ….

“Googahhh! Gugaga!”

Mereka akan membauinya. Tapi aku sudah memperkirakan banyak kemungkinan. Menarik tombaknya dan memegang kaki goblin dan diseret bersamaku selagi berlari ke arah berlawanan dari kawanan tersebut.

Segenap energiku dikuras untuk membuat celah di antara kami, dan tatkala mereka betul-betul tak kelihatan, aku berhenti dan memotong kepala goblin dengan gunting kebun. Pertama-tama, aku menyebar darah yang berceceran di tanah sebisa mungkin, baunya jadi menyebar ke sekeliling. Kemudian aku lari.

Entah dari mana, kenangan tentang waktu-waktu diriku mengejar penguntit selagi bekerja paruh waktu terlintas dalam benak.

Tentu saja, tak ada waktu untuk memikirkannya. Seusai berlari sedikit aku berhenti lagi, dan mulai menggali tanah dengan gunting kebun. Untungnya tanah dan daun-daun tua cukup lunak dan mudah dipotong … aku mengoleskan kotoran di atas kakiku yang tersiram darah untuk menutup baunya. Lantaran masih belum cukup, aku berbaring di tanah dan mulai berguling ke kanan kiri. Mengubah bau tubuhku dengan bau tanah. Seperti ini semestinya aku menipu penciuman mereka. Tombak berdarahku juga mesti direlakan. Kau sangat membantu, sobat. Makasih.

Aku mengubah arah dan berlari menuju dataran. Tentunya, akan lebih aman jika pergi ke arah berlawanan dari hutan. Berdoa semoga tidak berpapasan monster baru di tengah perjalanan sambil terus berlari.

Setelah cukup lama berlari, aku melamban. Tombakku telah digantikan sebuah tongkat. Bersama gunting kebun terpercaya, senjatanya mudah memotong sesuatu. Tapi tidak bisa kuasah sambil jalan, lantas saat ini menjadi tongkat.

Sedikit lebih jauh, mendadak hutan berakhir dan aku berjalan ke dataran yang membentang melalui bukit. Tetap was-was pada apa pun di belakangku, aku menuju bukit. Aku cukup terkejut bisa sampai sejauh ini …. Yah, sekarang kelihatan berbeda penuh ketimbang kepergianku. Dulu, keadaan bersih dan tanpa senjata, kini punya tongkat serta gunting kebun dan bersimbah tanah. Setahuku, dari posisi matahari, nampaknya sedang siang bolong. Hanya lima sampai enam jam lewat ….

Barangkali aku punya kemampuan adaptasi yang baik.

Aku duduk di tempat yang mungkin tempat diriku pertama kali muncul, beristrirahat sejenak.

Bagaimanapun juga, aku tidak punya makanan atau minuman.

Satu-satunya hal yang kuperbuat adalah membunuh mahluk dan memungut gunting kebun kotornya.

“Tadi melelahkan ….”

Tapi aku tidak boleh duduk manis lama-lama dan mengeluh. Beristrirahat cukup lama dan mengatur nafas selanjutnya melihat sekeliling. Tidak ada kabut sama sekali, pemandangannya hebat. Walaupun artinya tidak ada tempat sembunyi. Namun itu hanya berlaku di tempat ini, jikalau aku menuruni bukit, aku takkan terlihat dari hutan. Dan aku tak takut apa-apa lagi.

Balik badan dari hutan, aku menuruni bukit. Rupanya dataran masih menghampar cukup jauh. Hal demikian pun sulit dijadikan tempat bersembunyi, tapi mereka juga akan melihatku, dan aku tidak bisa berbuat apa-apa, wah, bukannya malah mantap ….

Selagi memikirkannya, aku menemukan hal baru. Dua garis sejajar dan semacam langkah kaki di tengah-tengahnya.

Benarkah ini roda wagon? Garis-garis tanah membentang dari hutan dan terbagi jadi dua. Seakan-akan sedang menelusuri hutan, atau menghindarinya. Beruntung sekali! Aku agak yakin bahwa mengikutinya akan membawaku ke sebuah kota. Kedua garisnya kelihatan samar, salah satunya mungkin menuju kota.

Tapi tidak tahu mana yang lebih dekat atau seberapa jauh jaraknya. Di satu sisi, momen-momen ini krusial bagiku. Hmm … harus berpikir ….

Aku berpikir selama sekitar lima menitan, keknya aku akan menyusuri jalan kiri! Jadi aku pergi mengikutinya. Jauh lebih gampang berjalan di sini sebab tanahnya bagus diinjak ketimbang menapaki atas rumput. Mungkin bisa bergerak lebih cepat di daratan. Aku merasa bisa lebih cepat saja. Atau mungkin diriku seorang yang kegirangan.


Sejak saat itu aku berjalan tanpa henti. Matahari di belakang mulai menyingsing. Dalam artian lain, aku berjalan ke timur. Selama matahari tenggelam di barat sebagaimana mestinya. Dari bukti tersebut … dan bukit di tengah-tengah, hutan pasti membentang ke utara. Aku mendesain peta di otak sambil berjalan.

Hari mulai sore. Pikirku tak lama lagi akan istrirahat. Tapi aku cuma punya gunting kebun dan tongkat. Kemungkinan besar monster-monster lain akan aktif setelah matahari terbenam. Kalau begitu aku harus melakukan sesuatu ….

Sebenarnya, masih ada satu pilihan lain. Aku masih dapat melihat hutan dari sudut penglihatan. Bisa saja memanjat salah satu pepohonan. Setahuku, di pohon adalah satu-satunya tempat aman. Semuanya dipertimbangkan, tapi aku tak bisa berguling-guling di darat begitu saja dan menunggu pagi tiba. Malahan aku takkan bertahan sampai pagi jikalau melakukan itu.

Kala memutuskan aku bergerak cepat. Triknya adalah cekatan melakukan segala sesuatu. Kembali lari ke hutan. Setelah melihat-lihat dan memastikan tiada goblin, aku mulai memotong tanaman merambat yang melingkupi pohon-pohon. Setelah dirasa cukup, aku mengambil batu acak dan dilipat ke pakaianku lanjut dibungkus ke tanaman merambat di sekitar tubuh. Tanaman merambatnya juga digunakan tuk membungkus tongkat serta gunting kebun. Kini hanya perlu pasangan untuk bermalam bersama.

Pohon idealnya berada di sepanjang perbatasan dataran juga hutan, ketinggian pohonnya kudu cukup dan cabangnya kuat-kuat.

Mencari sekejap dan menemukan satu. Sial, sudah gelap. Aku buru-buru memanjat pohon.

Memanjat adalah sesuatu yang aku kuasai sedari kecil. Tidak terpeleset sekali pun sampai mencapai cabang tujuan.

Setelahnya aku lepaskan tanaman merambat dan batu yang kugunakan untuk membungkus tubuhku dengan hati-hati. Gunting rumputku ditusuk ke pohon sebagai penahan dan menaruh tongkat di antara punggung dan pohon. Batunya ditaruh di paha saat diriku memuntir dan menjalin tanaman merambatnya. Aku ubah menjadi tali buatan alami. Kendati kau tak merasa cukup piawai, menggabungkan tiga barang adalah hal sulit. Aku mengencangkan batunya ke salah satu ujung tali dan melakukan persiapan akhir. Melempar batunya ke samping sekuat mungkin. Tali mengikat pohon dan berayun kembali padaku.

Bagus! Sukses! Sekarang cuma perlu mengikatnya dan aku akan tersemat di pohon tanpa takut jatuh lagi!

Sesudah bergerak dari satu sisi ke sisi lain tuk memastikan talinya tak mengendur, aku akhirnya menghembuskan nafas lega. Lingkunganku seratus persen terselimuti kegelapan. Tak dapat melihat apa-apa.

Aku mengingat sesuatu. Semua hal yang terjadi hari ini. Dirampok, dibunuh, terbangun di dunia lain. Seketika berpikir telah menang melawan satu goblin, sesudahnya mendadak bertemu sekawanan. Karenanya meliputi tubuhku dengan tanah dan kabur. Setelah lama berjalan akhirnya sampai di pohon ini.

Duh, bukan lelucon. Bukannya cerita-cerita dipindah ke dunia lain harusnya penuh cheat dan cheat dan entah bagaimana membuat harem? Di sinilah diriku dalam kondisi menyedihkan. Malangnya nasib.

“Hahhh ….”

Tapi segalanya baru permulaan. Tentunya hal-hal akan berubah sewaktu mencapai kota. Ini dunia lain, sia-sia misal tidak dinikmati.

Menyimpan harapan demikian di dada, aku menatap cakrawala timur dan menghabiskan malam pertama di dunia lain dengan tidur di puncak pohon.

Share this post on:
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments