Share this post on:

1Jack of All Trades Bab 1

Kematian seorang Pramuniaga

Penerjemah: Meria Phein

Hari itu, aku sedang bekerja paruh waktu, dan gaji pekerjaan tersebut adalah satu-satunya penghasilan. Bagian tengah malam di toko serba ada (indomaret) depan stasiun. Pekerjaan aktual yang dimulai semenjak jam 10 malam cukup sederhana. Selain, tentu saja, berurusan dengan pelanggan yang membeli produk apa pun, aku seringnya cuma bagian bersih-bersih. Lantai, rak, toilet, dan banyak mesin-mesin lagi. Karena sudah keseringan, otomatis menjadi kebiasaan. Tugas-tugas yang lebih mudah dapat diselesaikan dengan mudah.

Hari itu seperti hari-hari lain.

Semua suara memudar di depan stasiun tengah malam. Satu-satunya hal yang dapat kau lihat hanyalah tiga warna lampu lalu lintas serta mobil kencang yang sesekali lewat. Aku menyelesaikan beberapa tugas kebersihan dan pergi ke tempat parkir tuk mengambil sampah yang jatuh dan ditaruh ke tempat sampah. Aku melakukannya selagi berkeliling.

Bagaimana tokonya?

Tidak jadi masalah. Tidak ada pelanggan. Saat melewati jam 3, jarang-jarang ada orang yang datang. Jam 2 pagi masih ada beberapa yang datang untuk membaca majalah mingguan baru, hari itu Selasa. Tidak ada majalah yang dijual kepada pembaca-pembaca fanatiknya.

Setelah mengumpulkan sedikit sampah, aku meluruskan tubuh bungkukku sambil memandang langit. Rasi bintang berbentuk segitiga bersinar. Hari hendak cerah … aku memalingkan wajah dari langit tanpa matahari untuk memastikan diriku tak melewatkan satu pun sampah di dekat sana.

Kemudian sesuatu menarik perhatianku. Ternyata seseorang sedang berdiri di bawah bayang-bayang tiang telepon, lampu-lampu jalan bersinar di belakangnya.

Ngeri ….! Uh, apa aku barusan melihat sesuatu ….?”

Aku buru-buru menoleh ke belakang sembari kembali ke toko. Orang asing itu pergi setelah melihat-lihat ketiga kalinya. Namun kengerianku jadi lebih-lebih lagi.

Aku masuk toko dan langsung pergi ke ruang penyimpanan di belakang pintu dekat mesin kasir. Aku duduk di depan monitor kemanan. Lalu memindahkan mouse dan melihat tampilan penuh tempat pakir lewat layar. Di sana terlihat cukup bagus karena baru saja aku bersihkan. Tidak ada satu pun sampah.

Sewaktu terus menonton tempat parkir selama jam istrirahat, muncul bayangan seseorang yang sedang berjalan di tempat parkir.

Tanpa menyipitkan mata pun aku mengenalnya. Itu dia. Melihat arah datangnya, dia langsung masuk ke toko. Aku mengalihkan layar dan menunjukkan tampilan dari 4 sudut kamera dalam toko, dia memang masuk ke dalam. Yah, terlepas dari perasaan pribadiku, pelanggan tetaplah pelanggan.

“Selamat datang. Sore.”

Memaksa menggerakkan kaki gemetaranku seraya menyapanya. Kebanyakan orang yang datang di waktu-waktu ini sangat lelah, sebab pekerjaan malam mereka, dan cenderung mudah tersinggung. Triknya adalah sapaan sopan, langsung menyambut santai alih-alih yang energik. Lagi-lagi, ada orang-orang yang tidak suka itu. Tapi setahu pengalamanku, orang-orang semacam itu mudah marah pada segala hal, jadi salam kalem secara keseluruhan lebih efektif.

Demikianlah pemikiran aneh yang terlintas dalam benakku selagi berdiri di sana. Pelanggan yang mengintimidasi langsnug menghampiri konter. Terhadapnya, ada beberapa hal yang dapat dibaca. Sedang mencari sesuatu. Menginginkan barang yang dijual langsung di konter. Dan ….

“Diam dan dengarkan, kalau tidak mau mati. Keluarkan semua uangmu dari mesin kasir.”

Perampokan alfamart.

Kepalaku kosong. Tanggapanku jadi lama. Apa? Dia bilang apa?

“Kau tidak dengar? Keluarkan uangnya.”

Tenggorokanku tidak mengeluarkan suara apa-apa, seolah sesuatu tersangkut di dalamnya. Segenap ketakutan yang kini menerpa tidak hanya menguasai kakiku, tapi bulu kudukku juga, jemari, lengan, bahkan otakku.

“Ah … anu … apa, uh ….?”

“Uang. Keluarkan semuanya dari kasir, dan dari ruang penyimpanan juga. Sebaiknya bergegas kalau tak ingin aku sakiti.”

Begitu ucapan seorang pria yang bukan pelanggan, tangan terulur. Memegang pisau yang kelewat besar. Akan lebih cepat sadar bila dia memegang pistol. Aku barangkali berhenti gemetaran, tertawa terbahak-bahak dan menepuk-nepuk bahu sip ria. Tapi pisaunya memantulkan cahaya langit-langit terang. Kelihatan tajam. Aku tahu itu bukan mimpi, bukan pula candaan.

Aku tak dapat melakukan apa-apa. Mustahil aku mampu melawannya. Tangan goyahku membuka mesin kasir.

Mengambil tiga jenis tagihan, langsung kuberikan padanya.

Share this post on:
Subscribe
Notify of
guest
3 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
reader a

Proyek baru kah min?
Bukannya dah dikerjain Arisuni

Arf

Dtunggu lanjutanya