Share this post on:

Teriakkan, Bidik

Penerjemah: DarkSouls

Menunggang gelombang elektronik, bahasa mesin mengalir di gelombang udara medan perang.

<No Face kepada jaringan area pertama>

<Mulai operasi pembersihan>

<Seluruh Legion yang terhubung ke jaringan tersebut diharuskan melepas mode siaga>

<Diulangi, mulai operasi pembersihan>

<Target: medan perang timur, Republik Federal Giad><Medan perang utara, Kerajaan Bersatu Roa Gracia><Medan perang selatan, Aliansi Wald>

<Medan perang barat, Republik San Magnolia><Pengarahan kepada seluruh Legion dalam jaringan tersebut><Segera mulai pembersihan>

 

Ω

 

Di hari yang sama, di waktu yang sama …

… sebelah barat Republik Federal Giad, di barak skuadron Nordlicht Divisi Lapis Baja ke-177 …

… seorang perwira melompat dari tempat tidurnya.

 

Ω

 

Raiden bermimpi dia jatuh dari tebing.

“Bangun.”

Kepalanya membentur kasur saat mendengar kata-kata tersebut. Menggosok leher yang entah bagaimana bisa sakit, karena dia tidur dalam posisi aneh, Riaden turun dari tempat tidur kerasnya. Kamar kecil di barak gelap, diterangi cahaya bulan, lalu Shin berdiri di sana, satu tangannya memegang bantal yang dia ambil dari tempat tidur.

“Gini …. Memangnya kau bakal mati kalau bilang sesuatu sebelum—?” “Sekarang bukan waktunya.”

Jawab Shin singkat, suaranya penuh ketegangan. Dan menilai dirinya yang mengenakan setelan penerbang biru baja di tengah malam …. Mata Raiden menyipit.

“… mereka datang.”

“Yea.”

Melihat ke luar jendela, mereka mendapati awan Eintagsfliege keperakan muncul di cakrawala, bahkan menutupi gelapnya malam.

“Berapa banyak musuh?”

“Tak ingin aku hitung. Seakan Tujuh Materai Wahyu1 telah ditembus.”

“… kau kira aku paham referensi itu?”

Shin yang menggunakan segala jenis humor membuktikan betapa buruknya situasi. Tatapan dingin mata merahnya masih tertuju ke sisi lain medan perang.

“… aku memprediksi ini, tapi kemungkinannya skenario terburuk. Bagian pasukan yang kupikir bertugas menyerang ketiga negeri lain malah menuju Federasi. Sepertinya front barat adalah poin terpentingnya Legion.”

“Duh, sungguh suatu kehormatan.”

Raiden bangkit berdiri seraya menggerutu sinis namun mengerutkan kening lagi saat melihat sosok Shin diterangi sinar bulan.

“… kau tak apa, bung?”

“… kalau aku jadi kau, aku takkan meningkatkan sinkronisasi Para-RAID ke atas tingkat minimum.”

Shin tidak mencoba pura-pura tak ada hal salah. Bahkan Pencabut Nyawa berwajah datar ini sadar tiada yang perlu disembunyikan. Mata merahnya tertawa getir. Wajahnya pucat, pucatnya bukan sebab sinar bulan. Wajahnya pucat berkerut seolah-olah menahan rasa sakit luar biasa terus-menerus.

“Jangan Beresonansi denganku kecuali perlu … kukira sudah terbiasa, namun malam ini sedikit berlebihan.”

Sang Pencabut Nyawa yang bahkan tak mengalihkan pandangan dari hantu kakaknya yang telah lama dikejar, terguncang.

“… diterima.”

“Aku ingin kau mengurus persiapan keberangkatan kita. Sana bangunkan yang lain.”

“Kau bagaimana?”

Shin menoleh ke belakang dan mengetuk lembut pistol di sarung sampingnya. Bukan pistol kecil yang diberikan pilot Feldreß untuk bunuh diri. Tetapi pistol otomatis kaliber besar yang dia gunakan di Republik.

“Sekarang bukan waktunya diam. Aku akan membangunkan sisa pasukan.”

Meskipun keadaan abnormal itu wajar dalam tentara, para Prosesor masih cukup sebal karena dibangunkan dari tidurnya. Apalagi bukan perintah resmi, tetapi keputusan sewenang-wenang kapten mereka. Walaupun keahliannya sesuai gelar Pencabut Nyawa-nya, keputusannya tanpa bunyi alarm atau pemberitahuan radar area mengesalkan mereka.

“Sial, kalau ini Latihan …. Demi Tuhan aku bersumpah di pertempuran berikutnya, senjataku mungkin tak sengaja akan menembak Pencabut Nyawa wajah datar itu …”

“Tidak usah; kalau begitu kejadiannya aku tembak dia di tempat. Peluru nyasar, tentu saja.”

Setelah kru pemeliharaan diperintahkan menyiapkan Juggernaut untuk lepas landas secepat mungkin, hanggar penuh suara-suara ramai mereka dan deru mesin derek jangkung2 serta alat berat membawa paket energi dan selongsong. Melewati para Prosesor yang bising komplain di belakang, Bernholdt mengejek mereka.

“Boleh kalian coba, tapi malah dia yang membalikkannya ke kalian. Siapa dari kalian yang berantem dengan kapten dan malah dihajar habis?”

Itu sebelum semua orang tahu Shin adalah seorang 86. Sosoknya mengisahkan darah kental bangsawan kekaisaran, jadi beberapa orang meremehkannya sebagai bangsawan cantik dan dipukulin habis-habisan saat mencoba menyerangnya.

“Tapi, Sersan.”

“Dan lagi, kalian belum pernah dibawah komandonya langsung, jadi kalian belum tahu, tapi menyangkut pergerakan bongkahan logam sialan itu, kapten lebih tahu ketimbang radar.”

Sirene mulai menggelegar. Teriakan dan kebisingannya berhenti sejenak, kemudian alarm tak menyenangkan berdering. Alarm yang memperingatkan invasi Legion.

Bernholdt mengangkat bahu kepada ekspresi heran para Prosesor lain.

“… tuh ‘kan?”

Di salah satu sudut garis pertahanan pertama, pasukan lapis baja menelan ludah gugup dalam parit dan benteng-benteng pengintai2 selagi menunggu kedatangan musuh. Sektor yang sayangnya tak diberkati hutan dan reruntuhan yang menjadi mayoritas medan perang front barat. Tetapi, tempat ini adalah posisi bagus benteng untuk mendorong mundur kemajuan Legion, sudah dikalkulasi bisa menjadi perlindungan tembakan artileri.

Demi meredam gelombang kejut bombardir  mematikan, parit-parit digali dengan sudut tepat, disertai ranjau anti-tank 88 mm yang dipasang di belakang formasi. Untungnya, alarm yang berbunyi lebih awal memungkinkan unit lapis baja yang ditempatkan di dekatnya untuk bergegas menuju lokasi tersebut, dan kehadirannya menghapus sebagian ketakutan akan kematian mengancam yang membayangi para prajurit.

“… Pak.”

Seorang prajurit berlapis baja seluruh tubuh menunjuk ke depan. Sesuatu menerobos malam, siluet surealistik, anorganik, ganas berwarna besi, mendesak kegelapan di jalurnya. Di saat selanjutnya, bidang penglihatan mereka, seluruh pegunungan yang membentuk cakrawala, berubah menjadi warna baja dingin.

“Apa—?!”

Rasanya seolah menyaksikan gelombang pasang naik. Bayangan tak terhitung jumlahnya melintasi punggung bukit, bagaikan lautan terbelah dan gelombang destruktif menyerbu mereka, menyapu padang gelap dengan warna logam. Layaknya gelombang air jatuh, bak api membakar ladang, lautan peribahasa ini meraungkan suara samar nan khas mesin itu—mesin yang tulangnya bergesekan satu sama lain. Bahkan lebih banyak lagi Legion membentuk barisan depan, jumlah mereka terus mengalir tanpa akhir, berdiri laksana bukti mengerikan akan betapa besarnya kekuatan mereka.

Bayangan tumpah ruah di sekeliling mereka, sejauh mata memandang, tanpa teriakan perang, bagai kegelapan itu sendiri mengancam hendak memakan mereka.

Mereka semua adalah …

“Legion …”

Akulah Legion, sebab kami banyak.

Raungan menggelegar. Suara keras pengeboman bersiul dari atas, mensinyalkan turunnya serangan besi dari langit. Segelintir orang mungkin tahu pengeboman ini adalah dari tipe Penembak Jarak Jauh yang membuka pertempuran. Seluar biasa itulah pemandangannya—menakjubkan sampai-sampai nyaris religius, selayaknya penghakiman yang dijelaskan dalam kitab suci.

Pengeboman pertama sangat meleset dari garis pertahanan Federasi, mendarat jauh di belakangnya. Pengeboman kedua mendarat lebih dekat, kali ini di depan mereka. Tembakan itu tak disengaja. Taktik standar Skorpion adalah tetep bersembunyi beberapa kilometer di belakang, di luar ufuk, dan menembak dari jauh. Beberapa selongsong awal ditembakkan selaras pandangan, ketika selesai, langkah selanjutnya adalah—

“Pengeboman besar dataaaaaangg!”

Suara pengang meraung di telinga mereka. Tembakan peluru terlampau eksplosif mewarnai hitam langit perak kemudian menghujani parit, dampak ledakan.

Digerakkan gelombang kejut peluru 155 mm, pecahan pengeboman berubah menjadi peluru kecepatan tinggi bermassa besar, menembus parit dan daging para prajurit lapis baja di dalamnya.

Berikutnya datang dampak lain. Dan lagi. Dan lagi. Ledakan menghujani puluhan—tidak, bahkan ratusan—melukai atau membunuh separuh orang dalam radius 45 meter. Pengebomannya jatuh tiada henti selayaknya hujan, menenggelamkan jeritan dan kematian para prajurit.

Saat para prajuritnya tetap ditembaki, gelombang berwarna baja itu kian dekat. Barisan moncong tertib disiagakan, pasukan besar Dinosauria mempertahankan formasi lapis baja. Tak mengenal rasa takut, mereka menyerbu maju walaupun Skorpion masih menembak, lapis baja seberat seratus ton mereka menghancurkan segala rintangan.

Menyadari sekelompok Ameise dikerahkan di barisan depan, para prajurit lapis baja merinding ketakutan ketika menyadari kejadian selanjutnya. Pengebomannya bertujuan menyapu ladang ranjau dan membuka jalan untuk garda depan Legion. Ameise-nya menyeberang tanah hangus yang hancur berantakan bersama ranjaunya. Sejumlah ranjau tak tersulut diledakkan, meledakkan beberapa unit, namun Dinosauria-nya maju, melangkahi bangkai-bangkai hancur Legion.

Ameise yang secara strategis lebih lemah mengorbankan diri mereka ke ranjau untuk mempertahankan Dinosauria yang secara taktis berharga. Jenis pengorbanan logis tanpa perasaan yang cuma dilakukan mesin dan manusia yang jarang sekali sanggup melakukannya. Setelah melintasi ladang ranjau tanpa tergores, monster logam akhirnya berhasil sampai di parit tempat bersembunyi beberapa infanteri yang selamat dari pengeboman.

“Sial …. Tahan! Tahan sampai napas terakhirmu! Jangan biarkan mereka lewat biarpun itu hal terakhir yang kau lakukaaaaaaaaaaaaaaaaaaaannnnnn!”

Sirenenya tidak hanya membangunkan prajurit biasa, bintara4, dan perwira pertamam tetapi perwira lapangan dan jenderal yang bertanggung jawab atas komando pula. Mereka semua berada di pos masing-masing, paling tidak mengenakan seragam masing-masing.

Meski gangguan elektronik membunuh radar mereka, drone pengintai yang anehnya menyimpang jauh dari jangkauan normalnya mendeteksi Legion mendekat, tapi tak satu pun perwira sempat menyelidiki mengapa drone-nya pergi sejauh itu. Tak lama seusainya drone tersebut dihancurkan setelah menemukan musuh, tetapi mereka kirim unit lain menggantikannya, dan saat menerima transmisi mengenai jumlah pasukan yang diamati dan jumlah total yang dihitung juga formasi pasukan musuh, semua orang pucat pasi.

“Mustahil …. Front barat sedang diserang besar-besaran …?!”

Grethe mengerang, melihat perkiraan penyebaran Legion di layar utama markas besar Unit Uji Coba ke-1027. Divisi Lapis Baja ke-177 ditunjukkan, dan di atasnya adalah zona Korps Angkatan Darat ke-8, lalu di atasnya keseluruhan front barat; seluruh layarnya diwarnai merah. Unit-unit musuh, ditampilkan dalam titik kerlap-kerlip merah, dengan jumlah banyaknya memenuhi monitor sampai-sampai Grethe jatuh terlutut, dan sebaliknya, kerlip biru yang menandakan unit kawan di garis pertama berjumlah sangat sedikit dan sangat jauh.

Mereka telah memprediksi serangan skala besar akan terjadi. Mereka menyiapkannya. Tetapi skala dan angka-angka ini jauh melampaui apa pun prediksi mereka.

Mempertimbangkan keadaan pertahanan pertama saat ini, mereka takkan mampu memukul mundur Legion, entah sepanik apa mereka melakukannya.

Tentu saja, unit pertahanan bergerak yang ditempatkan di belakang dan tengah bersiap melancarkan serangan balasan, tetapi ragu garis depan mampu mengulur waktu demi menyelesaikan persiapan mereka. Fakta seluruh aspek fungsionalitas mereka lumpuh sebab bobot maha besar dan memerlukan penggunaan mesin khusus merupakan kelemahan terbesar korps lapis baja. Dan bila mana mereka tak sanggup mempertahankan garis depan, unit tanggap langsung mereka yang masih dalam persiapan, takkan punya waktu untuk serangan balasan …!

Suara berderak dari peranti dengar komandannya, memberitahukan pesan kepada Gretha dari komandan militer kepada seluruh komandan pangkat tinggi. Kerajaan Bersatu Roa Gracia serta Aliansi Wald juga tengah diserang serangan skala besar. Mereka tampaknya berusaha sebaik mungkin untuk mendesak balik, tetapi masih misteri mereka mampu bertahan lama atau tidak.

Mungkinkan ini waktunya hitung mundur umat manusia …?!

“Letnan Kolonel.”

“Letnan Dua Nouzen. Bagaimana statusmu? Kapan bisa melancarkan serangan balasan?”

“Siap sesuai perintah Anda. Skuadron Nordlicht telah siap dan bisa berangkat kapan saja.”

Grethe melihat tulisan HANYA SUARA sambil tertegun hening. Kru pengawas sama terkejutnya.

“Kami tak dapat perintah bersiap-siap tapi kami tetap melakukannya. Saya akan terima segala bentuk teguran nanti.”

Bertindak independen seperti ini mengundang hukuman, bukan teguran, tapi suara Shin sangat tenang. Antara percaya diri dia takkan dihukum karena ini atau tak peduli. Bibir merah Grethe melengkung ke atas. Dia tak pernah lupa mengecatnya dengan lipstik, jangan sampai bawahannya melihat dia tanpa lipstick. Namun sepertinya waktunya belum tiba.

“Aku akan melindungimu entah segigih apa komplain orang tua keras kepala itu, Letnan Dua …. Aku akan meminta unit lain segera diluncurkan seketika mereka siap. Bertahanlah hingga saat itu tiba, apa pun yang terjadi.”

“Diterima.”

Sebelum menjadi Federasi Kekaisaran adalah negara militer, banyak kota yang dibangun selama masa Kekaisaran lama dirancang mirip benteng untuk menghentikan invasi musuh. Jalan-jalannya didesain mencegah musuh dengan mudah sampai pusat kota dan hanya mengizinkan luas tertentu. Kota-kota dibangun di atas sungai untuk membaginya menjadi beberapa wilayah. Rumah-rumah dibangun sedemikian rupa dengan cara blok-blok bata dihubungkan tembok tua bobrok agar merintangi laju.

Namun taktik itu digunakan untuk perang melawan sesama manusia. “Cepat, berlindung! Tank-tank itu datang!”

Sekelompok infanteri lapis baja tersebar di jalan-jalan, melewati tikungan dan belokan jalan beraspal. Pasukan yang tertinggal dapat mendengar suara lirih mesin—bagai tulang yang saling bergesekan—persis di belakang tikungan. Mengabaikan keberadaan bangunan di depannya, satu Legion menembakkan meriam 120 mm-nya ke arah mereka.

Sewaktu dihadapkan selongsong yang sanggup menghancurkan pelat baja setebal dua ratus milimeter, pertahanan tembok batu terlampau mudah dihancurkan. Hancur bak pecahan kaca dibentur, ledakannyya membunuh prajurit-prajurit terpencar, lalu puing-puing tembok batu memantul dan memotong prajurit di sekitarnya, lapis baja dan seluruhnya.

“Kapteeeeeeeeeeeeeeen!”

“Berhenti—jangan kembali lagi! Dia sudah tak terselamatkan!”

Sebuah turet tank muncul dari balik tembok batu roboh. Tertutupi kabut panas, kerangka besar Löwe hitam berbelok ke arah mereka, kaki banyaknya bahkan tak menghiraukan gunungan puing yang memenuhi jalan. Tidak ada lagi waktu untuk kabur. Löwe dengan yakin mengarahkan moncongnya ke arah para prajurit yang hanya mampu memelototi musuh yang hendak menghabisi nyawa mereka …

Terdengar suara logam berat menusuk trotoar yang melesat menghampiri arah mereka. Berikutnya suara batu ubin retak ketika sesuatu melompat ke udara, mengantar angin kencang sebab kecepatan besarnya.

Bayangan putih membumbung tinggi di atas kepala infanteri lapis baja.

Mendarat di dinding gedung apartemen sebelah kiri jalan dan memanfaatkannya sebagai pijakan, mesin putih melayang di udara, menyesuaikan arahnya di tengah udara. Löwe itu gagal mengimbangi manuver tak teratur lawannya, mengangkat turet ke atas seperti kuda meringkik sebelum lapis baja atasnya ditembak.

Penetrasi. Ledakan internal.

Diledakkan amunisinya sendiri, Löwe itu meledak terbakar selagi lapis bajanya terbang. Feldreß berlapis baja putih mendarat di depan mata para prajurit, melindungi mereka dari gelombang kejut dan panasnya ledakan.

Lapis baja itu. Sosok berkaki empat mengingatkan mayat kerangka dipenggal. Kemudian Tanda Pribadi kerangka tanpa kepala membawa sekop tergambar di bawah kanopi.

“Regin … leif …”

Sensor optik merah Reginleif mengarah ke mereka.

“Apa ada regu lain di luar sini?”

Wakil kapten regu infanteri melihat sosok putih beberapa mesin yang berdiri di atap datar apartemen dari kedua sisi jalan. Berikutnya langkah kaki keras dan gemerincing dari belakang gedung tak mungkin langkah kaki Legion yang dilengkapi peredam kejut kuat. Reginleif lebih ringan ketimbang Vánagandr, jadi mungkin ada lebih banyak Reginleif seperti ini di sekitar mereka.

Akhirnya tersadar dialah yang ditanyai di sini, si wakil kapten menjawab dengan terbata-bata. Tergantung berapa banyak prajurit yang tersisa di medan perang, strategi yang bisa diterapkan bisa berbeda. Sekalipun mereka gagal menjalankan tugas dan dipaksa mundur, setidaknya mereka bisa memberikan informasi apa pun kepada sekutu yang menyelamatkan mereka.

“Tidak ada yang tersisa—kami yang terakhir! Regu lain semuanya … semuanya dibunuh monster logam terkutuk itu.”

“Baiklah.”

Suara jawabannya tanpa basa-basi, sederhana tak ada khawatir atau sedihnya.

Tanda Pribadi sang Pencabut Nyawa adalah kerangka tanpa kepala, berarti yang berbicara padanya kini adalah … seorang 86.

“Mundur dan berkumpul kembali. Kami akan mengulur waktu yang kalian butuhkan.” “Baiklah. Ayo mulai.”

Sesudah baru-baru ini dikerahkan untuk uji coba, XM2 Reginleif atau Juggernaut adalah Feldreß dengan mobilitas yang belum pernah terdengar sebelumnya sepanjang sejarah Federasi. Demi memanfaatkan kecepatannya, Reginleif memungkinkan pergantian persenjataan—sebagaimana baterai utama dan tangan penggenggam—sebagai senjata operasional tergantung strategi yang dipilih.

Snow Witch Anju tak menggunakan senjata tradisional bor utama 88 mm, menukarnya dengan tempat peluncur roket banyak, menjadikannya unit penekan area. Anju mendengar posisi pengerahan Legion dari Shin sebelum mereka meluncur menuju pertempuran, kendati waktu telah berlalu, dan mereka secara signifikan telah bergerak jauh dari posisi mereka sekarang, Anju dapat membayangkan gerakan mereka.

Kemampuan memprediksi posisi musuh dan menyerang kelompok itu dengan kerusakan semaksimum mungkin sekali serang. Itulah senjata yang dikembangkan Anju selama empat tahun pertempuran mematikan melawan Legion dan inilah alasan dirinya bertahan hingga hari ini.

Dia memasukkan koordinat musuh ke komputer pendukung dan menarik pelatuknya. Rudalnya menyisakan jejak asap, dan setiap rudalnya masing-masing terbang dalam lintasan berbeda untuk meminimalkan risiko tercegat, hingga akhirnya sampai di target yang ditentukan.

Sekering selongsnognya aktif, lalu misilnya menyebarkan bom-bom lebih kecil. Legion berpencar seakan-akan panik, diserang hujan bahan peledak.

Suaranya manis, kemudian Anju tersenyum tenang. Namun tak seorang pun tahu betapa kejamnya senyuman Anju kala dia sendirian dalam kokpit.

“Di sana mereka. Berkeliaran ibarat semut sehabis seseorang menendang sarangnya.”

Anju mengamati gerakan Legion yang bergerak melintasi reruntuhan, melalui layar yang dipasang di kepala untuk membidik dengan tepat. Para Legion menyebar membentuk formasi luas, berhati-hati terhadap bom rudal lebih kecil.

Kurena duduk dalam Gunslinger yang bersembunyi dalam menara lonceng gereja kuno, pandangannya terarah ke salah satu Legion. Gunslinger yang dikhususkan menjadi penembak runduk, dilengkapi meriam 88 mm laras panjang yang dirancang untuk mengoptimalkan stabilitas serta kecepatan balistik. Sistem kendali senjata api beserta kendali posturnya disesuaikan. Kesemuanya, ditambah bakat prediksi tembakan Kurena sendiri bahkan di hadapan gerakan cepat Legion, membuat divisi penelitian kagum dengan rasio akurasinya.

Layar yang dipasang di kepala memproyeksikan data layaknya kecepatan angin dan suhu, sekaligus palang teleskop5 berbentuk salib. Kurena menyipitkan mata, mendengar suara ratapan Legion dari Resonansi Sensorik. Dia tak menganggap jeritan penderitaan ini menakutkan, selama bukan Domba Hitamnya rekan-rekan mati mereka, dia tidak merasa kasihan kepada mereka seperti Shin.

Bagi Kurena, Legion tidak lebih dari musuh berbahaya yang mengancam rekan-rekan berharganya—mengancam Shin yang memimpin mereka melintasi medan perang.

Dan semua musuh …

… harus dimusnahkan.

Sembari menahan napas, mata emas Kurena mendingin tanpa belas kasih. Tentunya hampir santai, dia menekan pelatuknya, pelurunya menembus dan menumpas Löwe di kejauhan.

“Aku menghabisi unit komando mereka. Mengubah posisi. Lindungi aku.” “Diterima, Kurena! Serahkan yang kecil-kecil ini kepadaku!”

Wehrwolf milik Raiden punya senapan mesin berat di lengan penggenggamnya dan persenjataan utamanya diganti ke meriam otomatis. Tembakan supresif—perang rentetan tembakan untuk menghentikan garda depan musuh dan pendampingnya.

Setelah bertarung bersama Shin—seorang garda depan yang unggul soal pertarungan jarak dekat—selama tiga tahun, Raiden pasti mendapati dirinya dalam peran ini, peran yang memerlukan adopsi peralatan serta taktik semacam ini. Di waktu yang sama, peran yang artinya mendukung anggota unit lain sangatlah cocok bagi orang sibuk baik hati macam Raiden yang selalu mengawasi keamanan rekan-rekannya.

Bukan berarti dia akan mengakuinya.

Setiap senapan mesin berat dan meriam otomatis mampu mengunci dan menembaki target berbeda. Rentetan senapan mesin berat tersebut menghancurkan Ameise dan Grauwolf yang berusaha maju melawannya, kemudian hujan peluru meriam otomatis menembaki tim beranggotakan dua Löwe.

Dua Juggernaut bergegas menuju sisi Wehrwolf. Undertaker menjatuhkan salah satu Löwe yang lewat di samping. Laughing Fox melompat dan membombardir satunya dari atas. Selanjutnya Undertaker merengsek masuk dan meluncurkan jangkar kawat ke atas gedung setelahnya menarik dirinya sendiri ke atas, menuju jalan lain.

Kurena akan memberikan tembakan perlindungan untuk Shin. Anju telah turun dari baris belakang dan dia sedang mengisi ulang peluncur misilnya. Segera menganalisis situasi, Raiden memutuskan melindungi Laughing Fox dan mengubah gerakan Wehrwolf.

Juggernaut Theo—Laughing Fox—dibiarkan apa adanya dengan konfigurasi standar. Dia punya senapan laras halus 88 mm, senapan mesin berat di satu lengan pengenggam, empat pemancang tiang, dan dua jangkar kawat.

Tetapi strategi uniknya sama sekali tidak standar.

“Kita naik!”

Menghindari tembakan Löwe, Laughing Fox memanfaatkan rongsokan mobil sebagai pijakan lompat dan menembak jangkar ke dinding bangunan di tengah udara, menariknya untuk naik lebih tinggi. Selagi Grauwolf mencoba menaiki dinding untuk mencapai Theo, dia mengejeknya dengan menembak jangkar ke bangunan di seberang sambil melepas jangkar pertama.

Sembari menarik jangkar ke belakang, dia melesat pergi, melayang tepat di atas dan di belakang Löwe, menarik pelatuknya selagi melayang. Tembakannya akurat mengenai titik lemahnya—bagian belakang atas lapis baja—Löwe itu meledak.

Laughing Fox menggunakan jangkar kawat untuk bermanuver tiga dimensi. Kendatipun mesti bertarung dengan meriam 57 mm kecil di tanah terlantar Republik, 86 menjadikan pertempuran perkotaan keahlian mereka. Dan mereka sering kali diadu melawan Löwe dan Dinosauria—yang satu-satunya titik lemahnya adalah diembak dari atas. Kondisi ini, ditambah persepsi spasial superior Theo, menuntunnya ke jawaban optimal ini. Dia tahu tak punya keterampilan bergulat Shin untuk melawan Legion dalam pertempuran jarak dekat dan bisa selamat dari itu.

Peringatan penguncian berbunyi.

Sudut matanya mendeteksi Grauwolf telah memanjat bangunan tersebut sampai atap dan mengarahkan peluncur roket ke arahnya, Theo menembak jangkar lain. Menempel ke beberapa bangunan jauhnya. Memanfaatkan jangkar untuk melintasi dinding, dia mengubah arah tepat tatkala ledakan terdengar di belakangnya, menembak senapan mesin ke Grauwolf dan membungkamnya.

Tetapi kala itu, pandangan sekilas yang dia tangkap dari kota di bawah menghapus senyumnya.

Di barisan depan pertempuran skuadron Nordlicht, bayangan blur Juggernaut yang seputih mutiara dikepung kerumunan Legion dari semua sisi. Shin sungguh-sungguh dicintai Pencabut Nyawa. Atau boleh jadi dia sendirilah sang Pencabut Nyawa.

“Bangke …. Gimana bisa Shin beraksi gila-gilaan itu dan masih bisa bertahan hidup …?”

Karena orang-orang di garis depan mempertaruhkan nyawa, para personel di belakang berperang dalam perangnya sendiri.

“—gunakan setiap selongsong dan paket energi yang kita miliki! Keluarkan semua barang yang sudah siap!”

“Sersan, unit cadangan siap!”

“Suruh mereka bersiap kapan pun kita diminta! Ayolah kawan-kawan, jangan andalkan Fido! Dia fokus mendukung kapten dan timnya! Sudah jadi tugas kita untuk mengantarkan pizza ini, dengar?!”

Khawatir kehabisan amunisi atau energi selagi melawan Legion masif hanya akan makin mendekatkan para prajurit garis depan ke kematian. Mereka di garis belakang tahu aliran pasokan konstan merupakan bentuk bala bantuan terbesar yang bisa mereka berikan sekarang dan lebih rajin-rajin lagi memberikannya.

Sadar dia akan didengar lebih baik jika tak ada suara di sekitar, Frederica mendengar apa yang terjadi dalam hanggar lewat Para-RAID di kamarnya dalam barak. Duduk dengan Perangkat RAID dihidupkan, gadis itu menahan emosi yang menyuruhnya berlari dan melakukan sesuatu. Emosinya menjerit, memberitahunya bahwa pasti ada sesuatu, sesuatu yang bisa dilakukannya untuk membantu. Namun dia sadar pemikiran itu cuma dari kepuasan diri dan hasil menekan perasaannya dengan akal sehat.

Dalam hanggar, alat berat bergerak mondar-mandir, membawa paket energi dan selongsong. Ruang kendali ada Grethe dan kru spesialis komandonya yang menjaga situasi tetap terkendali dengan pengetahuan ahli yang tak bisa dimasuki Frederica.

Dia sekurang-kurangnya bisa membuka mata dan mencari keberadaan kesatrianya. Shin bertarung di medan perang dan kemungkintan tak sempat memikirkan Kiriya seorang. Namun kalau Shin tahu posisi Kiriya, tindakannya, paling tidak Frederica dapat memperingatkannya …

Tetapi ketika matanya melihat kesatrianya, melihat medan perang yang dihadapinya, gadis itu membeku.

Dia meraba-raba Perangkat RAID-nya, cepat-cepat mengubah data targetnya.

Dia langsung memanggil namanya, setengah kaget.

“Shinei.”

Tidak ada respon.

Shin terhubung ke Resonansi. Buktinya, Frederica bisa mendengar erangan riuh hantu yang senantiasa didengar orang saat Beresonansi dengan Shin. Dia mampu mendengar suara Shin berkepala dingin memberi perintah-perintah bahkan di tengah hiruk-pikuk pertempuran. Kepada 86 sesamanya, kepada para Prosesor lain skuadron Nordlicht, kadang-kadang bahkan menggunakan nirkabel dan pengeras suara eksternal untuk berbicara kepada para prajurit skuadron lain. Dirinya sendiri bisa jadi sedang berlari di sepanjang barisan musuh, membunuh banyak musuh sambil memerintah-merintah.

“Shinei … Kiri tak ada.”

Tidak ada respon.

Tak mau percaya Shin tidak mendengarnya, Frederica kembali mengulangi kata-katanya.

“Kiri tak ada di medan perang.”

Tidak ada respon.

Frederica merasa semua darah mengalir ke kepalanya. Bukan karena marah … tapi teror tidak biasa.

“Tidak bisakah kau mendengarku, Shinei?! Kiri saat ini—”

Sewaktu itu, target matanya beralih ke seseorang yang dia pikirkan waktu itu, orang yang berkali-kali dia panggil. Dia dapat melihat laba-laba berkaki empat berlari menembus reruntuhan kota di kegelapan malam. Badan pesawat putihnya kehilangan kilau mutiara. Dikotori sapuan warna perak dan abu-abu metalik tidak merata disebabkan asap bubuk mesiu, debu, dan semburan mesin mikro cair—darah Legion yang dibunuhnya—warna mesinnya rusak.

Pemandangan yang pernah Frederica lihat sebelumnya melintas di benak. Satu Feldreß yang tersiram warna merah prajurit-prajurit yang dibantainya, di sampingnya seseorang tersenyum senang—dengan mata hitamnya yang membeku.

Putri.

Bahkan saat Kiri bicara pada Frederica, mata dingin itu tidak sekali pun menatapnya. Lalu dua mata merah yang bisa Frederica lihat dalam lapis baja putih punya pandangan serupa.

Dia paksa mengarahkan bilahnya yang tidak bisa gemetar, menuju musuhnya, buru-buru menghadapi musuh berikutnya tanpa tahu musuhnya sudah hancur. Tatapannya tak goyah meskipun selongsong jarak dekat meledak, mengirim puing-puing menembus ke kokpitnya dan menghancurkan salah satu layar sekunder. Dia semata-mata menyalurkan segenap kesadarannya ke musuh di depannya, mata merahnya membeku tajam.

Frederica akhirnya sadar mengapa dia sangat mengingatkannya pada Kiri.

Bukan masalah kemiripan. Mereka sama. Mereka berdua mirip satu sama lain hingga identik seluruhnya.

Dasar bego. Tanpa suara kata-kata itu keluar dari mulutnya.

Kau bego banget, Shinei. Bahkan kau pun tak mengerti.

Tolong hentikan

“Kau tidak boleh bertarung kalau sudah seperti ini …!”

Ω

 

Bulan sabit bersinar di balik awan keperakan tipis, menciptakan bayangan abu-abu putih di atas reruntuhan malam kelam. Shin menghentikan langkah beratnya, menahan napas mencoba mendengar dan memastikan status penyebaran Legion. Sejak itu dia mematikan radar Juggernaut-nya, karena tidak berguna mengidentifikasi kawan dari musuh dilangit yang ditutupi Eintagsfliege.

“Wah-wah, jangan tembak, Nordlicht! Aku di pihakmu!”

 Lebih jauh di sepanjang jalan terdapat satu Vánagandr berlambang Resimen ke-56 Divisi Lapis baja ke-177. Sensor optik merah Vánagandr, disetel ke mode lacak, berbalik menghadap Undertaker, walaupun beratnya lima puluh ton, langkah-langkah santainya mendekat. Sistem suspensinya belum ditekan pertempuran.

… tampaknya pasukan lapis baja yang dibangunkan sirene akhirnya mulai bergabung dalam pertarungan.

“Tanda Pribadi tengkorak tanpa kepala. Kaulah kaptennya, kan?”

“Letnan Dua Shinei Nouzen, kapten skuadron Nordlicht …. Bagaimana situasinya?”

Nampaknya komandan Vánagandr tertawa.

“Kapten regu 56, Letnan Satu, Samuel Ruth. Kami berhasil mengalahkan gelombang pertama Legion entah bagaimana. Sektor-sektor lain pun sama. Semuanya berkat kalian berjuang secepat mungkin. Kalian semua kerja bagus.”

Shin ingin mendengar status sekutu-sekutunya. Dia merasa gelombang pertama Legion mulai mundur dari semua lini depan, tetapi tak layak disebutkan. Shin lebih suka kapten ini mengatakan sesuatu yang membuatnya bernapas lega seusai pertempuran.

“Unit-unit lainnya sudah membalas serangan …. Semuanya baik-baik saja sekarang—kalian boleh mundur, mensuplai ulang, kemudian tunggu perintah lebih lanjut dari Mabes. Mulai dari sini, adalah pertempuran Federasi.

Jangan paksakan dirimu dan mundur sajalah, 86.

Masih mencoba mengatur napas, Shin menarik napas dalam-dalam seraya berkata:

“Dengan segala hormat, Letnan Satu …”

Memastikan jumlah sisa amunisi Fido—yang masih bersiaga di dekatnya—miliki, dia memanggil layar multiguna menampilkan status Juggernaut terdekat.

… tidak sempurna, tapi bisa-bisa saja. Semua unit mampu melanjutkan pertempuran.

“… batalion Legion itu hanya lini depannya. Gelombang kedua adalah pasukan utamanya …. Seandainya kita mundur sekarang, sektor ini akan jatuh.”

Seluruh bekas tawa menghilang dari suara sang komandan. “… kau barusan bilang apa?”

“Aku serahkan pertahanan sektor ini padamu. Semisal kita menghabisi garis depannya, pasti memperlambat kemajuan mereka sedikit.”

“Sebentar, Letnan Dua! Apa—?”

“Selesai—Semua unit.”

Memutus komunikasi nirkabel secara sepihak, Shin memanggil rekan-rekannya lewat Resonansi Para-RAID. Melirik Vánagandr terakhir kalinya, Undertaker menghadapkan posisinya ke arah kekuatan utama Legion—berbaris mengikuti jejak pasukan garda depannya yang kalah. Bahkan dari jauh, pusaran rintihan dan ratapan mengancam hendak menulikannya.

Semua orang langsung membalas. Menenangkan napas megap-megapnya, dia bicara jelas sambil menampakkan sedikit senyum buas langkanya.

“Kalian dengar semuanya. Ikuti aku kalau kalian tak mau mati.”

 

Ω

 

Pasukan utama Legion menyerbu, dan pasukan lapis baja Federasi tiba, membentuk garis pertahanan kukuh. Gelombang pasang Legion berbentrokan dengan dinding pertahanan tangguh pasukan lapis baja, menguncinya dalam kondisi buntu tanpa solusi, tatkala itulah fajar naik, lalu para prajurit akhirnya bisa melihat tangan-tangan yang mencengkeram senjata mereka, seseorang memerhatikan.

Cahaya paginya merah.

Para prajurit yang berlindung di parit, yang memanfaatkan bangunan runtuh sebagai barikade, yang duduk dalam kokpit sempit Feldreß mereka, memandang langit di sela-sela tembakan.

Langitnya diwarnai merah tua.

Cahaya fajar dipantulkan dan dibiaskan Eintagsfliege yang menyelimuti langit, membungkus pagi dengan kegelapan berdarah, mendatangkan imajinasi dunia tengah disegel api. Dan di bawah langit merahnya, pertempuran berlanjut.

Cahaya merah mengalir melalui tumpukan puing-puing tidak terhitung jumlahnya dan gunung-gunung mayat memenuhi reruntuhan, memberi bayangan mengerikan, jelas menerangi garis-garis luar fajarnya selagi pertempuran monster mekanik menghadapi manusia berkecamuk. Sesaat mereka menyemburkan darah dan api, kian banyak yang berjatuhan dan membuat bayangan baru, menjadi coretan cat di kanvas merah-hitam mengerikan.

Ialah pemandangan sang neraka sendiri.

Beberapa jiwa malang yang terperangkap dalam neraka hitam kemerahan mengaku melihat mimpi buruk putih. Mimpi buruk Mutiara melesat di medan perang, laksana halusinasi jelas. Kerangka tanpa kepala, diberkahi nama Valkyrie yang mempertahankan sosok gading bahkan di antara baret dan debu tak terhitung.

Mereka hendak menyerbu titik-titik vital, kehancurannya ‘kan menghentikan serangan-serangan gencar Legion di banyak sektor lain. Mereka melawan laju Legion tak membiarkan maju selangkah pun dengan bertarung layaknya binatang buas yang mencabik-cabik dan mengebom tepat hampir predikatif.

Mereka mengabaikan seruan bala bantuan atau suara cemas regu-regu lain yang mendesak mereka untuk mundur. Mereka tak punya pasukan untuk melawan pasukan tiada batas Legion, dan mereka barangkali tahu tentara Federasi akan dihancurkan jika mundur. Atau boleh jadi pikiran mundur sama sekali tak mereka pertimbangkan, karena bertahun-tahun bertarung dengan punggung menghadap ladang ranjau tanah air.

Rongsokan-rongsokan Legion hancur menumpuk makin tinggi, dan mereka terus bertarung, menggunakannya sebagai perlindungan. Tetapi selagi bertarung, amunisi mereka pada akhirnya akan habis. Paket energi mereka terkuras. Reginleif yang paling ekstrem manuvernya, punya berat ringan dan tidak mampu membawa banyak amnuisi. Ketika persediaan yang mereka bawa dari pangkalan mulai habis, mereka mencuri amunisi unit-unit pendamping. Pengumpul mayat mekanik patuh yang menjadi pelayan pribadi mereka mengobrak-abrik mayat yang gugur demi mereka, menumpuk isi perutnya di pinggir jalan sambil melakukannya.

Vargus yang hidup di wilayah tempur tua—Wolfsland—selama pemerintahan Kekaisaran dan menjadikan medan perang rumah mereka terkagum-kagum melihat gaya bertarung Reginleif. Mereka bahkan nyengir-nyengir di tengah pertempuran fana, gembira dan lega penuh melihat rekan-rekan dapat diandalkan mereka.

Namun sebagian besar prajurit Federasi menganggapnya berbeda. Yakni, mereka yang duduk di tank komando yang menerima umpan optik lewat tautan data. Para perwira Operator serta atasan mereka semuanya melihat pertempuran dengan rasa syok seraya menghina.

“86 …. Mereka …!”

Mereka adalah rekan-rekan mudanya, orang-orang yang direndahkan menjadi babi berbentuk manusia di tanah air mereka dan diusir keluar menuju medan perang oleh Republik. Mereka anggap anak-anak menyedihkan. Hak-hak mereka dirampas, kebebasan direnggut, keluarga dicuri, kampung halaman mereka, dan bahkan namanya. Mereka dikirim ke medan perang sebelum sempat dewasa dan diperintahkan untuk mati sia-sia di akhir perjuangan habis-habisan mereka.

Itulah sebabnya semua orang berharap, satu-satunya hal yang diinginkan, bahwa mereka bisa menemukan kebahagiaan di Federasi. Dan anak-anak ini potong harapan itu dengan tangan mereka sendiri.

Mereka kembali ke medan perang sesuai kehendak sendiri dan sekarang terjun ke pertempuran lebih mematikan, di hadapan mereka. Mereka semestinya tak punya alasan untuk bertarung, tiada tanah air atau keluarga untuk dilindungi, tidak ada idealisme yang bisa dipegang. Dan praktiknya, mereka tak mempertahankan apa-apa. Mereka tidak menggubris suara pasukan sekutu yang meminta bantuan dan mengkanibal mayat rekan-rekannya untuk melanjutkan pertempuran. Ibaratnya mereka menginginkan perang ini belaka, pertarungan tanpa alasan atau maksud.

Mereka bukan anak-anak tanpa dosa, mereka terluka oleh persekusi. Para prajurit hanya menganggap mereka monster. Mesin pembantai, dibesarkan dalam wadah kebencian dan kekejian Republik. Iblis perang yang menolak semua suaka serta kasih sayang, terlahir sebagai manusia dan menggila menjadi binatang bukan hasil kesalahan mereka sendiri. Hati bengkok mereka sudah tak terselamatkan.

“Mereka monster …!”

Kendati 86 sendiri bisa mendengar jelas gumam serak yang dihembuskan ke nirkabel, tidak seorang pun mengutuk seseorang yang menuturnya.

 

Ω

 

Beberapa waktu lalu, transportasi besar unit reaksi cadangan mendarat di dekat FOB 15, kemudian unit lapis baja ditemani unit infeanteri mekanis di atasnya bergegas menuju medan perang. Kerlip-kerlip biru muncul, menandakan unit sekutu telah bertambah dengan signifikan. Grethe sedang menonton selagi kerlip-kerlip merah-biru bercampur di layar utama, mengubah posisi bagaikan mozaik, sesaat mendadak dia melihat gerakan biru di pihak merah.

Kerlip biru dan merah yang bercampur aduk mulai berpisah.

Layaknya butiran pasir jam pasir, warna merah mulai memenuhi barat, kembali ke wilayah yang mereka kendalikan.

“Legion-nya …”

Segenap perasa waktu telah lama meninggalkannya. Lingkungan yang tercermin dalam layar optiknya berwarna merah, dia pun sudah lupa menghitung berapa banyak musuh yang dirinya hancurkan dan berapa yang tersisa. Dia menggigit ransum perang keras di jeda-jeda pertempuran lalu menutup matanya beristrirahat singkat. Legion melanda tanpa skema atau taktik, bukan pertempuran namun bentrokan purba. Shin baru sukses membedakan kawan dan musuh, tetapi seumpama pertempuran berlangsung lebih lama, dia takkan sanggup terus membuat perbedaan.

Mata mengangkat, Shin tiba-tiba sadar hujan jatuh. Sensor audio Juggernaut mendeteksi derau putih dan suara hujan deras menerpa lapis bajanya. Suara hening damai, kejadian langka di medan perang bergejolak. Kemudian kesadaran lelahnya perlu beberapa detik lebih lama hingga sadar alasan dirinya mampu mendengarnya.

Legion mundur. Suara-suara penderitaan telah surut dan makin lirih, hanya suara tembakan perlindungan tipe Skorpion dan kejaran pasukan tempur bergema sebentar-sebentar.

Membuka kanopinya yang serasa seakan-akan disegel selamanya, Shin mengekspos tubuhnya ke hujan suram dan menarik napas dalam-dalam. Awan hujannya terbelah, menunjukkan samarnya matahari terbenam musim panas utara.

“Semua unit.”

Suaranya agak serak. Dia menjadi sangat sadar akan keringnya tenggorokannya. Ada lebih sedikit tanggapan ketimbang waktu mereka diluncurkan. Beberapa bisa jadi tak punya napas untuk bersuara, beberapa barangkali merasa tidak perlu merespon …. Dan beberapa mungkin tidak bisa menjawab, selamanya.

“Semua pasukan Legion telah mundur. Kembali ke pangkalan.”

Begitu Undertaker mendarat di apron parkir hanggar pesawat, Frederica menunggu Shin di sana. Mungkin dia belum tidur-tidur juga, karena sudut matanya memerah. Rambut panjang yang biasanya dijaga dan disisir indah oleh seseorang, juga terlihat kelewat acak-acakan. Shin ingin tahu apakah Frederica menunggu dirinya semenjak dikerahkan.

Ketika mereka saling bertatapan, wajah Frederica berkerut sedih. Matanya berlinang air mata bercampur perasaan lega dan kacau sepadan. Frederica memeluk Shin seolah tidak sanggup menahan diri lebih lama lagi.

“Shinei, dasar orang bego tak termaafkan.”

Shin tak paham namun tetap mengulurkan tangan tanpa sadar, menaruhnya ke atas kepala mungilnya. Tidak biasanya Frederica tak memakai topi militernya. Seketika Shin mengelus rambut hitam yang terurai rembut, tangan halusnya semakin erat mencengkeram.

“Kau sama seperti Kiri …. Dasar beneran bego.”

 

Ω

 

Dengan unit cadangan yang tetap berwaspada jika terjadi serangan berulang Legion, komandan front barat masih melanjutkan pekerjaan. Mereka perlu mengganti dan menyiapkan sejumlah besar peralatan serta korban jiwa akibat pertempuran ini, mengembalikan yang terluka dan yang gugur, memperbaiki fasilitas pertahanan yang rusak, menganalisis pertempuran … lalu memberi penghargaan.

Para komandan semuanya setuju bahwa penghargaan terbesar haruslah diberi kepada drone yang mendeteksi garis depan Legion jauh sebelum orang lain menyadarinya kemudian menginstruksikan sektor lain untuk meningkatkan jangkauan mereka ke titik tertentu, alhasil menyelamatkan front barat dari kehancuran.

Akan tetapi, pengontrol drone itu menolak penghargaannya, mengklaim bukan dirinya yang menentukan jarak titiknya. Datang seorang perwira, bersikeras agar meningkatkan kewaspadaan di area itu bagaimanapun caranya. Dia mendeteksi pasukan garis depan Legion dan mengirim sektor-sektor lain instruksi tersebut hanya berkat bujukan perwira tersebut.

“Pengontrolnya menjelaskan dengan cara yang masuk akal, tetapi praktiknya, kau menerapkan tindakan-tindakan memaksa, Letnan Dua Shinei Nouzen.”

Kantor perwira jenderal masih tetap lengkap perabotan seperti masa Kekaisaran. Sang mayor jenderal bicara, duduk di belakang kayu mahoni bagus, dengan pita pengabdi dijejerkan di seragamnya, medali berbentuk salib di kerah, juga penutup mata hitam menutupi satu mata hilangnya.

“Seorang prajurit Federasi senantiasa mengarahkan senjatanya ke musuh-musuh tetapi tidak pernah menggunakannya untuk mengancam dan memaksa sekutunya. Meskipun tidak berniat melakukannya.”

“… saya pikir kredit atas pendeteksian musuh akan menjadi permintaan maaf layak. Dia pasti akan naik pangkat semisal menutup mulut dan menerimanya.”

Sang mayor jenderal menyipitkan mata meneliti jawaban tak peduli Shin, lalu Greta yang berdiri di belakang, mendekap dahinya. Selagi Shin berdiri di antara mereka sambil bersikap santai, ekspresi Shin tetap diam.

Wajar saja sekiranya dia akan diadili dan dihukum sebab berulang kali menggunakan wewenangnya serampangan dan melanggar peraturan, kendati itu perlu. Shin sebetulnya yakin dia akan ditangkap mengingat perbuatannya kepada si pengontrol, tetapi sementara waktu ini, dia cuma diinterogasi, barangkali karena mereka masih tak yakin bagaimana mesti memperlakukannya.

Sambil membelokkan kursi berpaling dari Shin, mayor jenderal menatap papan terminal lanjut mengangkat satu mata.

“Kau mengatakan hal sangat menarik tentang pendengaranmu kepada polisi militer …. Sesuatu semacam bisa mendengar suara-suara Legion dan tahu posisi mereka.”

Grethe memotong pembicaraan, tidak tahan diam lebih lama.

“Mayor Jenderal. Saya tahu ini sulit dipercaya, namun itu benar. Pasukan yang Meresonansikan pendengarannya dengan Letnan Dua Nouzen menggunakan Perangkat RAID telah melaporkan dukungan klaimnya …”

“Aku tak ingat mengizinkanmu bicara, Letnan Kolonel. Aku sudah tahu orang-orang dengan kemampuan itu ada. Aku sudah mendengar laporannya pula. Tetapi itu pun belum menjadi bukti cukup kuat saat ini.”

Dia menekan beberapa perintah ke terminal informasi di tangannya, selanjutnya peta medan perang muncul di atas meja. Mata hitamnya menatap Shin dari luar peta holografik.

“Beri tahu aku mereka di mana. Tandai sepuluh tempat terdekat di peta.”

Sekilas melirik ke samping, Shin mendeteksi kamera pengintai yang disamarkan di langit-langit dan interkom tersembunyi di sela-sela papan dan dalam selembar kertas.

Sepertinya ide mereka adalah untuk mereferensikan informasinya secara langsung dengan transmisi radar untuk memastikan kata-kata Shin. Apa pun metodenya, pasti cara paling langsung unutk memeriksa aku mengatakan kebenaran atau tidak, pikir Shin sambil mendesau.

“… permisi.”

Shin mencari posisi unit terdekat yang bisa dirasakannya dan dia tandai di peta, kemudian menandai sepuluh unit terdekat sebagai perbandingannya. Dia tahu jarak dan arah Legion secara akurat, namun tak sesuai satuan jarak standar. Bukan masalah besar di zona Republik yang sudah familier, tetapi peta ini adalah zona divisi yang jauh lebih akbar. Sulit mengetahui jarak tepatnya. Tatkala dia menandai titik ketujuh, mata mayor jenderal menyipit. Dia mengatakan sesuatu lewat interkomnya—rupanya, Shin mendeteksi pasukan Legion yang mereka tidak ketahui.

Saat Shin selesai memberi tanggapannya, sang mayor jenderal menghembus napas panjang nan mendalam.

“… ada satu hal yang harus aku tanyakan kepadamu.”

Berhenti berpikir, dia membuka mulut.

“Kenapa kau memilih metode ini, Nak? Kendatipun ini menyelamatkan front barat, aksimu sangat membahayakan posisimu. Kau pasti tahu ini. Kenapa membahayakan dirimu seperti itu?”

“Saya simpulkan sekiranya melalui prosedur standar, saya takkan tepat waktu untuk mencegah serangan …. Dan lagi pula, apabila saya memberi tahu Anda hal ini sebelumnya, Anda takkan memercayai saya.”

“Itu bukan jawaban. Aku bertanya mengapa kau tak mempertimbangkan dirimu sendiri …. Kau ini seorang 86. Tentu kau mengira kami bisa saja memperlakukanmu bak mekanisme peringatan atau kelinci percobaan.”

Bagaimanapun, 86 sudah diperlakukan bagai babi bersosok manusia oleh tanah air mereka.

“Ya …. Namun seumpama tidak begitu, kita akan kalah dari Legion, dan semuanya akan sia-sia.”

Mayor jenderal terdiam lama.

“Begitu. Jadi kau akan membahayakan dirimu selama bisa membantai musuhmu. Itu jawaban … jawaban 86. Sungguh, kau ini seperti pisau. Kau bertekad menebas, sekalipun berarti kau akan hancur setelahnya.”

Membungkam Gretha yang hendak bicara lagi, mayor jenderalnya mengatakan:

“Aku akan mengabaikan masalah ini, kali ini …. Sanggupkah aku mengharapkanmu melaporkannya bila mana merasakan ancaman serupa?”

“Ya.”

“Letnan Kolonel, kau yang menerima laporannya di waktu-waktu itu. Laporkan kepadaku lewat saluran langsung. Aku perkenankan. Aku beri tahu ajudanku.”

Seketika mereka meninggalkan kantor jenderal, Grethe membuka mulutnya mendesau.

“Tolong berhenti menakutiku seperti itu, Letnan Dua. Subjek yang diperbincangkan perkara lain, namun bukan begitu caramu bicara dengan seorang komandan.”

“Maaf.”

“Baguslah …. Dan demi Tuhan, tolong pikirkan keselamatanmu sendiri. Tingkahmu hanya akan menjaga orang-orang di sekitarmu …. Letnan Satu Nouzen.”

Grethe mengangkat bahu terhadap tatapan penasaran Shin.

“Semua orang di skuadron yang pangkatnya lebih tinggi darimu sudah mati. Sering terjadi di pasukan Federasi.”

Dia menyeringai pahit, ingat bagaimana proses yamg sama itu memberinya lambang pangkat letnan kolonel yang bersinar di kerahnya sekarang, kendatipun dia baru pertengahan dua puluhan.

“Dan kau sudah resmi menjadi kapten regu, jadi itu sangat tepat … aku sebenarnya ingin mempromosikanmu satu pangkat lebih tinggi, tapi bencana ini menampiknya.”

“…”

“Kau boleh terlihat sedikit bahagia atau kecewa, tahu. Tapi satu hal yang pasti, gajimu naik. Bukan berarti jadi banyak perbedaan buatmu.”

Pengeluaran karena keperluannya sudah ditanggung potongan gaji, terus tak pernah dia pakai untuk hal lain, jadi mungkin dia juga tak terlalu memikirkannya.

“Aku bersumpah …. Hanya itu saja yang mesti kukatakan. Bubar, Letnan Satu.” “… kalau begitu, saya pergi.”

Berpisah dengan Grethe yang kembali ke kantornya, Shin berjalan menyusuri lorong berkarpet dan mendesah dalam hati, bertanya-tanya ke depannya harus melakukan apa. Front barat mengalami kerusakan parah dalam pertempuran, dan tidak banyak hal yang dapat mereka lakukan karena pasukan cadangan sudah mempertahankan area selagi pasukan mereorganisasi sendiri.

Awalnya, dia putuskan mengkonfirmasi status rekan-rekannya yang tidak bisa dia duga selama beberapa hari diinterogasi, kemudian berbalik kembali ke barak skuadron Nordlicht, yang sekali lagi berada di pangkalannya. Begitu dia mau pergi, Shin menyadari derap langkah santai menghampiri.

Mengangkat pandangannya, Shin melihat Frederica. Sol sepatu bot tentara keras menginjak karpet, dan lagi saat ini dia mendatanginya dengan langkah buru-buru yang tak cocok situasi tenang setelah kejadian buruk di pangkalan.

Seketika itulah dia merasakan keberadaan tatapan yang tertuju kepada mereka dari jauh. Mata hitam membeku serba dendam dan kebencian.

“—aku akan membunuh mereka semua.”

Bulu kuduknya naik.

Bagaimana, bagaimana bisa dia lupa?

Dia sudah bertemu dua kali dan tahu itu kartu truf Legion. Terlepas dari itu, dia tak sadarnya berhenti menganggapnya ancaman. Karena dia yakin di suatu tempat dalam hatinya walaupun ia menghancurkan sebuah benteng nan jauh di medan perang, atau negara, atau bahkan umat manusia sendiri, maka takkan memengaruhinya. Itu benar bagi 86 yang menjadikan medan perang tanah air mereka. Mereka yang ditakdirkan mengalami kematian musuh atau kematian mereka sendiri …

Namun kenyataannya, mereka tak pernah lolos dari medan perang Sektor 86. Dia menyadarinya sekarang.

“Tiarap!” teriak Frederica. “Kiri—”

Kata-kata itu tumpang tindih jeritan proyektil kecepatan tinggi yang merobek atmosfer serta gelombang kejut yang menghancurkan bumi disebabkan massa terlampau berat. Kilat cahaya silau berkilauan di luar jendela, melukis putih dunia.

Gema merobek telinga yang kuatnya bukan main sampai-sampai terdengar bagaikan hening mencabik-cabik suasana selayaknya gemuruh guntur. Gelombang kejut berikutnya mengguncang benteng hingga fondasinya.

Catatan Kaki:

  1. Merujuk kepada tujuh meterai yang memateraikan suatu “kitab” atau “gulungan” yang dilihat oleh Yohanes ketika berada di pulau Patmos. Saat itu ia mendapat penglihatan akan Wahyu Yesus Kristus. Pembukaan tiap-tiap meterai dicatat pada pasal 5-8 kitab Wahyu dan menandai akhir zaman.
  2. Derek jangkung adalah sebuah mesin yang digunakan untuk mengangkat benda secara horizontal (bawah ke atas atau atas ke bawah). Mesin ini dilengkapi dengan kawat atau rantai yang digerakkan dengan banyak katrol atau puli sehingga memberikan keuntungan mekanis melebihi yang bisa dilakukan manusia. Jenis-jenis derek yaitu:
  3. Sebuah benteng pengintai (Bahasa Inggris: pillbox) adalah sejenis blockhouse, atau pos penjaga beton yang digali, biasanya dilengkapi dengan celah untuk menembakkan senjata. Benteng pengintai pada dasarnya adalah suatu tempat menembak pada parit yang diperkuat dengan beton untuk melindungi dari tembakan senjata kecil dan granat, dan dinaikkan untuk meningkatkan medan tembak.
  4. Bintara (Bahasa Inggris: Non-commissioned Officer disingkat NCO) adalah golongan pangkat ketentaraan dan kepolisian yang lebih rendah dari Letnan Dua/Inspektur Polisi Dua, dan lebih tinggi dari Kopral/Ajun Brigadir Polisi.[1] Bintara merupakan tulang punggung kesatuan di militer yang berperan sebagai penghubung antara Perwira dengan Tamtama atau sebaliknya dalam segi operasional.
  5. Titik untuk ngeker, bahasa inggrisnya grid. Dan yang dipake Kurena ini bentuknya salib.
Share this post on:
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments