Share this post on:

Kesatria Tanpa Kepala III

Penerjemah: DaaarrkkSoooulls

Seingatnya, Shin sudah bisa mendengar suara-suara ibu, kakak, dan orang-orang terdekatnya. Suara-suara tanpa kata dan hanya menyampaikan kebaikan serta kasih sayang. Karenanya Shin pikir dia telah mengandalkan seseorang yang seharusnya tak diandalkan. Itulah penyebab semuanya.

Ayahnya gugur tak lama setelah masuk tentara, segera setelahnya, ibu mereka pergi menuju medan perang juga. Shin dan kakaknya mengungsi di sebuah gereja di sudut kamp konsentrasi, tempat seorang pastor membawa dan membesarkan mereka. Kamp konsentrasi tempat Shin dikirim adalah sisa-sisa desa yang dulunya ditinggali pastor.

Walaupun dia seorang Adularia, pastor itu sangatlah menentang paham konsentrasi 86. Ketika gereja di Sektor 85 menolak melindungi 86, pastor itu memutuskan tinggal sendirian di belakang pagar kawat berduri dalam kamp konsentrasi.

Dia dijauhi orang-orang 86 karena seorang Alba tetapi orang tua Shin dekat dengannya. Lantas ketika mereka berdua dikirim ke medan perang, pastor itu membawa anak-anak mereka. Jika tidak, Shin dan kakaknya mungkin takkan bertahan hidup. Kamp-kamp konsentrasi teramat membenci Alba, sekaligus keturunan Kekaisaran yang memulai perang. Adik-kakak yang memiliki darah kekaisaran tebal yang mengalir di nadi mereka, pasti menjadi sasaran pelampiasan amarah jika bukan karena perlindungan pastor.

Tak lama kemudian Shin sudah berumur delapan tahun, pada malam dia diberi tahu ibu mereka gugur di medan perang. Keduanya terlalu jauh untuk saling bicara satu sama lain, tetapi Shin selalu bisa merasakan suara-suara ayah dan ibunya di kejauhan. Namun suatu malam, suara-suara mereka hilang, dan beberapa hari kemudian, anak-anak menerima secarik kertas yang memberi tahu orang tua mereka telah meninggal.

Meskipun suratnya menginformasikan kematian mereka, kalimatnya hampir tak berarti bagi Shin. Dia tak menyaksikan momen-momen terakhir mereka maupun jenazahnya, sehingga kata mati sederhana tidak bisa menyalurkan kehilangan besar total permanen pada pikiran muda nan polos Shin.

Dia tidak kehilangan atau sedih, dia cuma bingung. Biarpun orang-orang bilang orang tuanya takkan kembali dan takkan melihat mereka lagi, dia tidak paham penyebabnya. Hari ibunya pergi, ibunya tersenyum dan menepuk kepalanya, menyuruhnya untuk menjadi anak baik dan terus selalu mendengarkan kakak serta pastor. Mengapa dia tidak kembali? Berusaha sekuat tenaga menjawab pertanyaan itu, dia tidak bisa.

Karenanya dia putuskan menanyakan kakaknya. Rei yang sepuluh tahun lebih tua, mampu melakukan apa pun dan tahu segalanya. Dia selalu menjaga Shin dan menghargainya lebih dari apa pun. Jadi dia pun tahu tentang ini juga. Rei masih berdiri diam dalam ruangan gelap, hanya sinar bulan yang meneranginya. Shin memanggil kakaknya yang membelakangi pintu.

“Kak …”

Rei berbalik pelan lalu menatapnya. Mata hitam merah-bengkak karena air mata dan diisi kesedihan serta kemarahan. Tetapi berbanding terbalik dengan badai emosi itu ialah tatapan hampa yang Shin belum pernah lihat pada wajah kakaknya, ekspresi yang sedikit menakutinya.

“Kak …. Ibu mana?”

Dia merasa seakan-akan sesuatu dalam mata hitamnya retak. Masih tercengang melihat kesedihan kakaknya, terus mendengar kesedihannya, Shin lanjut bicara.

“Bukannya dia akan kembali? Kenapa …? Kenapa dia … mati?”

Hening berat menyelimuti mereka, seolah-olah sesuatu pecah. Mata hitam pekat membeku itu pecah berkeping-keping, sifat gilanya yang kejam keluar dari celah pecahan itu. Sesaat setelahnya, tenggorokan Shin dicengkeram dan dilempar ke lantai kayu.

“Ugh …!”

Paru-parunya ditindih, dan udara yang mencoba keluar telah tertahan di tenggorokannya yang tercekik. Penglihatannya menghitam karena kekurangan oksigen. Kakaknya telah mengerahkan seluruh tekanan kekuatannya ke tenggorokan Shin, hampir menghancurkannya. Mata hitam Rei menatapnya dari dekat, amarah dan kebenciannya berapi-api.

“Ini salahmu.”

Suaranya terdengar bagai geraman dari antara giginya yang terkatup.

“Karena kau di sana, Ibu mati di medan perang. Ibu mati gara-gara kau. Kau membunuh Ibu!”

Kalau saja kau tidak ada.

Shin seolah mendengar suara saudaranya menusuk layaknya raungan gemuruh. Seperti api neraka, bak pisau, akal liar yang tak dapat menyembunyikan apa pun di balik kemurniannya. Akal itu menusuk benak Shin tanpa ampun bagaikan belati.

Kuharap kau tidak ada di sini. Kuharap kau tidak pernah lahir. Mungkin bisa dibenarkan sekarang juga. Hilanglah dari dunia ini.

Mati.

“Dosa. Ada pada namamu. Pas. Semuanya salahmu. Semuanya—segalanya salahmu! Ibu mati, aku yang akan mati—semuanya—semuanya karena dosamu!”

Shin ketakutan. Pada teriakan kakaknya. Pada suara kakaknya. Tapi dia tidak sanggup bergerak atau menyumbat telinganya. Lantas Shin melarikan diri dari sana. Lebih dalam lagi dari lubuk hatinya, lebih dalam dari bagian terjauh jiwanya, bagian terdalam bagian orang tuanya telah tiada.

Kesadarannya diam-diam menutup, kemudian segalanya menghitam pudar dan menghilang.

Ketika Shin sadarkan diri, dia terbaring di tempat tidurnya, pastor seorang yang duduk di sebelahnya. Dia bilang semuanya baik-baik saja sekarang. Rei tidak di sini. Tampaknya dia masih ada di gereja, tetapi dia tak ingin bertemu Shin sekali pun. Sementara waktu ini, Rei telah menyelesaikan protokol pendaftaran tentara lalu meninggalkan gereja beberapa hari selanjutnya. Pastor mengantarnya keluar, seakan berusaha menyembunyikan punggungnya. Kakaknya tidak mau melihatnya atau bahkan mengucapkan kata-kata perpisahan. Dia barangkali masih marah, dan Shin takut bilang apa-apa, takut kakaknya akan marah padanya lagi.

Rei pergi, mereka berdua sampai akhir pun tidak bilang apa-apa. Tatkala itulah dia berhenti mendengar suara kakaknya yang selalu dia dengar sebelum-sebelumnya, pada kesempatan langka Shin memberanikan diri untuk memanggilnya, tapi tidak dapat respon. Shin ujung-ujungnya menerima kakaknya yang masih belum memaafkannya …. Bahwa kakaknya takkan memaafkannya.

Kala-kala itulah saudaranya meninggalkan luka yang Shin sadari dirinya mampu mendengar suara-suara terebut, walaupun samar, gumam jauh. Shin tidak paham maksud perkataannya, tetapi mengerti yang coba mereka sampaikan. Dan pada saat itu, suara-suara manusia mulai bercampur. Merapalkan mantra serupa, mirip alat rekaman rusak—frasanya barangkali berbeda, namun mereka semua menangis sebab mencari hal sama.

Dia alamiahnya paham bisikan-bisikan itu tidak bisa didengar siapa pun kecuali dirinya—bahkan pastor tidak bisa. Boleh jadi saat itu dia sudah dibunuh kakaknya …. Dia bisa jadi sudah mati semenjak itu. Karena dia mati tetapi masih ada di dunia ini, Shin dapat mendengar tangisan sedu hantu-hantu lain sepertinya. Lalu suatu hari, kakaknya bergabung ke paduan suara ratapan. Tersadar kakaknya telah mati dan kini memanggil-manggilnya.

Hari itu, Shin masuk militer.

Share this post on:
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments