Share this post on:

Kepada Wajah Gagahmu

di Ujung Dunia

Penerjemah: DarkSouls

Setengah bulan berlalu sejak Lena ditunjuk ke skuadron Spearhead.

Tidak ada korban jiwa selama tugas pada hari itu, dan sebagaimana yang telah menjadi rutinitas sehari-hari, Lena mengaktifkan Para-RAID dengan santai, Beresonsansi dengan para Prosesor.

Setelah makan di kamar Lena. Setengah bulan terakhir ini, skuadron Spearhead sama sekali tidak terdapat korban jiwa, meskipun lebih sering bertugas dari kebanyakan skuadron. Barangkali karena mereka benar-benar unit elit, terdiri dari veteran berpengalaman.

“Selamat sore, unit-unit. Kerja bagus kalian semua, seperti biasa.”

Hal pertama yang dapat dia dengar adalah suara samar di latar belakang, cukup lemah sampai-sampai bisa saja mati jika bicara bersamanya. Mungkin suara hangar dari kejauhan atau suara pertempuran Sektor-Sektor lain.

“Selamat sore, Handler One, dan kerja bagus hari ini.”

Yang pertama menjawabnya adalah Undertaker, seperti biasa. Suaranya tenteram dan tenang, ujung-ujungnya Lena bahkan tidak menemukan alasan mengapa dia dipanggil nama alias buruk.

Ada beberapa kehadiran lainnya di sisi lain Resonansi, dan perlahan-lahan, beberapa anggota pasukan menyambut Lena. Wehrwolf sang wakil kapten, sosok bermulut kasar tetapi kakak laki-laki terhormat dalam regu1. Kirschblüte jujur dan penyabar yang ikut-ikut saja dalam percakapan apa pun. Laughing Fox baik yang suara feminimnya kontras dengan lidah tajamnya.

Sesuai kesan pertama, Undertaker adalah tipe pendiam dan tidak banyak omong kecuali lagi dalam tugas resmi, tetapi rupanya semua orang selalu berada di sekitarnya ketika Lena sedang Beresonansi. Ada juga beberapa anggota regu yang tidak terhubung percakapan. ‘Mereka semua pasti sangat menyukai Undertaker’.

“Undertaker. Aku ingin membicarakan masalah tanggal pengiriman persediaan yang kau minta tempo hari ….”

Mendengar Handler dan Shin melanjutkan perbincangan bisnisnya, Raiden menghabiskan sore hari itu memecahkan teka-teki silang sebuah majalah yang dia pungut. Mereka sedang berada di kamar Shin di asrama barak bobrok mereka.

Di sekelilingnya ada sejumlah orang yang menjadikan tempat ini titik kumpul mereka. Theo asyik membuat sketsa. Haruto, Kurena, dan Kaie main kartu. Anju merajut pola rumit pada sweternya sementara Daiya mencoba memperbaiki radio yang rusak. Orang-orang lain tengah berkumpul di kamar masing-masing atau ruang makan, suara-suara ceria bisa terdengar dari jauh.

Sebagai kapten, Shin punya tugas mengenai laporan dan dokumen lain, lantas dia diberikan kamar paling luas dalam barak yang berfungsi ganda sebagai kantor. Raiden biasa pergi ke sana untuk berkonsultasi tentang pasukan, lalu teman-teman mereka diam-diam mengintip untuk mengganggunya. Ruangan tersebut adalah salah satu tempat yang biasa dihantui semua orang.

Shin si pemilk ruangan kelihatannya tidak keberatan selama dia punya tempat membaca. Dia akan tetap diam dan fokus meskipun orang-orang main sama si kucing, rebut-ribut bertengkar mempertaruhkan siapa yang memenangkan permainan catur, atau bahkan menggoyang-goyangkan perut buncitnya di depan Shin (Daiya dan Kujo sebetulnya pernah punya). Saat ini, Shin tengah berada (selalu) di kamarnya. Dia sedang membaca novel—yang ditemukannya di perpustakaan terbengkalai entah di mana—seraya bicara dengan Handler. Dia berbaring di ranjai pipa tua sebelah sudut dan menaruh bantal di bawah kepalanya. Anak kucing hitam-putih berbaring di dadanya, selalu begitu setiap malam.

Melihat pemandangan nan damai ini, dia menyesap cangkir kopinya. Campuran resep yang diwariskan turun-temurun di antara para Prosesor, Kopi Ersatz tradisional skuadron Spearhead. Terbuat dari randa tapak2 yang ditanam di belakang barak, membuatnya jauh lebih enak ketimbang air lumpur hitam misterius dari bubuk kopi hitam sintetis.

‘… nenek tua itu bakal bilang apa kalau aku membuatnya merasakan ini?’ Nenek tua itu kampungan keras kepala yang takkan menerima kemewahan apa pun, tapi kopi adalah satu-satunya hal yang dia sukai.

Bahkan pabrik produksi di Sektor 85 tidak berfungsi-fungsi amat dibanding pangkalan-pangkalan serta kamp-kamp konsentrasi soal reproduksi barang grosir. Nenek tua itu akan mengeluh setiap paginya karena kopi rasanya kek lumpur. ‘Apa dia masih menggerutu tentang itu, bahkan sekarang ini? Apa dia masih meratapi nasib kami ….?’

Seakan ingin menenggelamkan suara gemerincing Handler, si anak kucing mengeong keras.

Lena berkedip kaget, mendengar suara meong melengking bercampur suaranya.

“Apakah barusan itu … kucing?”

“Oh ya. Kami menjaganya sebagai peliharaan di barak,” jawab Black Dog. “Omong-omong, sebetulnya kau yang memungutnya. Makhluk mini itu terus mengeong di depan rumah yang atapnya hancur diledakkan selongsong tank. Orang tua dan semua saudaranya diratakan, tapi entah bagaimana dia selamat.”

“Entah kenapa juga, dia nempel di Undertaker.”

“Undertaker bahkan tidak mau bermain dengannya. Dia terus menggosok dirinya dan memohon perhatian, tapi Undertaker seharian tidak peduli.”

“Tidak yakin kucing itu sebenarnya menyukainya atau cuma menganggapnya sebagai tempat tidur nyaman. Maksudku, lihat saja dia sekarang.”

“Ya, barangkali karena Undertaker tidak pernah sedikit pun bergerak selagi dia membaca. Artinya si kucing tak pernah nempel pada Black Dog seperti itu, karena dia selalu berisik.”

“Waw, kasar! Tidak masuk akal! Aku menuntut permintaan maaf!”

Mendengar perdebatan dan gelak tawa mereka menghantarkan senyum ke bibir Lena. Siapa pun yang mendengarkan mereka saat ini hanya akan mendapati percakapan anak laki-laki dan perempuan sebaya. Rasanya aneh mereka tak di sini bersama Lena.

“Siapa nama kucingnya?” tanya Lena penuh kasih, dan semua orang yang Beresonansi menjawab di saat yang sama.

“Blackie.”

“Whitey.”

“Calico.”

“Chibi.”

“Kitty.”

“Remarque.”

“Untuk ke seratus kalinya, berhenti menamainya sesuai nama penulis manapun yang sedang kau baca karyanya ssaat ini! Terlalu acak!! Dan juga, kau ini baca apa, sih? Baca yang baik-baiklah.”

Tampaknya nama terakhir yang ditambahkan Laughing Fox bukanlah nama sebenarnya. Tetapi Lena masih bingung.

“Apa betul-betul ada banyak kucing di sana ….?”

“Kau tidak dengar ceritanya? Cuma ada satu.”

Jawabannya makin-makin membingungkan Lena. Black Dog menjelaskan secara singkat:

“Ini kucing hitam, tapi cakarnya warna putih. Karena itulah kami memanggilnya Blackie, Whitey, dan Calico. Kami sebenarnya tidak menamainya, jadi sekarang ini cuma memanggilnya semau kami. Baru-baru ini, si kucing mulai menghampiri jika kami melihat ke arahnya dan menyebut sesuatu.”

‘Sebab itulah.’

“Kenapa tidak beri nama saja?”

“… hmm. Yah, itu karena—”

Setelah ragu-ragu sejenak, Black Dog nampaknya memutuskan menjawab. Tapi saat berikutnya, dia memotong hubungan.

Kurena mendadak berdiri, seolah-olah menendang kursinya, kemudian bergegas keluar ruangan. Daiya yang duduk tepat di sebelahnya, mengejar Kurena. Kursi tersebut dengan keras terhempas ke lantai.

“…? Apa terjadi sesuatu?”

Daiya memotong Resonansinya, dan Kurena dari awal memang tidak terhubung. Shin berbicara untuk menjaga situasi.

“Ya, muncul tikus.”

“Tikus?!”

“Itu kelewat meyakinkan.”

Bisikan Theo belum sampai ke telinga Handler. Dia bertanya apakah mereka sering didatangi tikus dalam barak …. Dia mungkin mengkhawatirkan mereka atau semacamnya, sebab mengejutkannya suaranya melirih. Memberinya tanggapan setengah hati, Shin menatap pintu terbuka yang Kurena banting ketika dia keluar.

Di tengah lorong, Daiya menyusul Kurena yang napasnya megap-megap, ibarat sedang mengurangi stress yang lama tersimpan. Mendengarkan suara Lena saja dia sudah muak.

Membuatnya sangat jijik, Kurena akhirnya tidak tahan lagi. Wanita itu telah mencuri sore hari damai setiap harinya sampai sekarang. Waktu-waktu itu sungguh menyenangkan, berharga, dan kini ….

“Kurena ….”

“Kenapa mereka terus bicara dengannya?”

“Hanya sementara waktu. Kau tahu putri kecil itu nanti akan menghentikan kontak dengan sendirinya.”

Daiya mengangkat bahu dan matanya begitu dingin, sampai-sampai tingkah nakalnya terlihat bohong. Sama seperti biasa. Bagaimanapun, tiada Handler yang sanggup bertahan lama Beresonansi dengan Shin. Gadis itu belum tahu asal usul nama lain Shin. Dia cukup beruntung musuh-musuh khusus itu belum muncul, tetapi keberuntungan tersebut cepat atau lambat akan hilang

Black Sheep (Domba Hitam) sesat yang bersembunyi di antara kawanan Legion. Atau itulah inspirasi di balik namanya, tetapi sekarang Black Sheep telah jauh melebihi jumlah Legion normal. Bahkan Shepherd yang jauh lebih berbahaya belum muncul-muncul juga.

Kurena menggertakkan gigi. Dia tahu itu; dia sungguh tahu, tapi tetap saja ….

“Shin harusnya sudah menghancurkannya.” amarah dan rasa kesal menguasainya, Kurena meludahi kata-kata menyengat itu. “Apa gunanya secemas ini pada seekor babi putih busuk? Lagian, tingkat sinkronisasi sudah rendah.”

“Tentu saja. Shin tidak menghancurkan Handler karena dia mau, tahu?”

Tuk berkomunikasi dengan benar melalui suara gaduh medan perang, itulah protokol standar untuk mengatur tingkat sinkronisasi Para-RAID ke titik terendah mungkin sehingga hanya kedengaran suara speaker saja.

Perkataan Daiya bukanlah teguran tetapi terdapat emosi resah di dalamnya.

“Lagipula, bisa kau katakan itu di depan wajah Shin? Aku tidak suka wanita itu, jadi hancurkan saja dia. Dapatkah kau menyuruhnya melakukan itu—di depan wajahnya?”

         “….”

Kurena mengiggit bibir. Daiya benar. Itu ucapan mengerikan. Shin dan semua orang, mereka semua lebih dari sekadar teman. Merekalah temannya. Tidak mungkin dia tega mengatakan hal seburuk itu kepada keluarganya. Bagi Shin, itu sudah jadi rutinitas bagian kehidupannya sehari-hari. Namun tetap saja ….

“Maaf …. Tapi aku hanya tidak bisa memaafkannya. Mereka membunuh ibu dan ayahku. Orang-orang itu memainkan mereka layaknya target tembak.”

Pada suatu malam selama pengawalan menuju kamp konsentrasi. Tentara-tentara Alba ingin menguji bagian mana mereka bisa menembak para tawanan atau setahan apa mereka sebelum mati. Mereka menyiksa orang tuanya sampai mati sambil tertawa. Segera setelahnya mereka mengirim kakak Kurena yang tujuh tahun lebih tua ke medan perang. Usianya empat belas tahun—hanya setahun lebih muda dari Kurena sekarang. Kakaknya yang berusaha mengusir para bajingan itu, mencoba mengobati luka orang tuanya sesaat darah menetes dari tangan. Pada akhirnya, yang meminta maaf kepada Kurena serta kakaknya karena gagal menyelamatkan orang tua mereka adalah tentara-tentara Alba dan Celena.

“Babi putih semuanya sampah … aku takkan, takkan pernah memaafkan mereka.”

Ketika keduanya kembali, percakapan beralih dari tikus ke cerita pemandangan yang hanya bisa dilihat di garis depan sampai akhirnya menuju topik hujan meteor yang pernah sekali dilihat Kaie. Daiya mengangkat bahu singkat kepada mata penasaran Raiden dan kembali memperbaiki radio sedangkan Kurena duduk di lantai dekat Shin dan mengangkat anak kucing kemudian bermain dengannya. Sebenarnya, si kucing tidak mau banyak-banyak bermain, tapi anak kucing itu akhirnya mematuhi panggilannya, menjauh dari Shin yang mengubah posisinya agar Kurena bisa duduk di sebelahnya. Dia duduk di tempat tidur sambil menjaga jarak awalnya dan menampakkan wajah dingin, terlihat depresi, sampai akhirnya emosi Kurena membaik.

“—masa, Kirschblüte3? Apa bintang jatuhnya sebanyak itu?”

“Lebih dari yang bisa kuhitung. Itu, kurasa, dua tahun lalu? Aku melihat ke atas, dan tanpa sadar, sejumlah bintang sudah jatuh. Seluruh langit penuh cahaya …. Itu … menakjubkan.”

Kirschblüte—Kaie—mengangguk sembari mengocok kartu menggantikan Kurena. Raiden sempat melihat hujan meteor juga, tapi kala itu, mereka semua terjebak di tengah-tengah medan perang, dikepung sisa-sisa musuh dan kawan. Shin satu-satunya kawan di sebelahnya, kedua Juggernaut mereka sudah kehabisan energi. Mereka mesti menunggu Fido menemukan mereka dan tidak bisa bergerak sedikit pun. Jelas bukan malam indah nan romantis yang bisa mereka lihat lagi sambil tertawa.

Tanpa cahaya buatan yang dibawa manusia, medan perang diselimuti kegelapan total di malam hari, definisi kegelapan gelap gulita. Lanskap sepenuhnya diwarnai hitam dengan satu-satunya cahaya berasal dari langit atas, terangnya laksana dinyalakan api biru-abu; hening sejati mencekat yang menyelimuti segalanya. Semuanya menghasilkan ilusi apokaliptik ibarat dunia telah hancur berkeping-keping dan dibiarkan hancur, seolah tengah dibakar.

Raiden pikir, tatkala itu, barangkali mati tidak buruk-buruk amat bila itulah hal terakhir yang dilihatnya, dan mengutarakan itu kepada Shin sama saja aib. Shin benar-benar mengejeknya. Dasar brengsek.

“Aku barangkali takkan melihat itu lagi …. Kau kedatangan bintang jatuh setiap tahunnya, tapi kalau kemunculan meteor bisa saja berdekade-dekade, dan meteor disertai banyak bintang bisa jadi selang waktunya seabad …. Oh, itu yang dikatakan Sirius (Kujo) kepadaku sebelumnya.”

“Sayang sekali … kuharap bisa melihatnya juga.”

“Tidak bisakah kau melihat bintang-bintang di sana?”

“Lampu-lampu kota menyala sepanjang malam. Kami tidak pernah melihat bintang-bintang saat malam di sini.”

“Oh ….” Kaie tersenyum sedikit. Nostalgia sekali. “Ya, memang seperti itu …. Di sini malamnya gelap gulita. Hampir tidak ada orang, kami di tengah-tengah antah berantah, dan mereka beneran mematikan lampu saat malam. Jadi biasanya kami mendapat pemandangan bintang indah. Kau tahu bagaimana mereka menyebut langit berbintang? Kek gitulah. Mungkin itu salah satu hal baik tinggal di sini.”

“….”

Si Handler terdiam seketika mendengar ocehan Kaie. Dia boleh jadi tak pernah menyangka Prosesor yang seharusnya tinggal di neraka dunia, bilang mereka bersyukur tinggal di sana. Lalu suara lirihnya mengajukan pertanyaan berikutnya. Suara yang bersedia menerima seluruh kecaman dan pelecehan yang bisa jadi orang-orang 86 lemparkan kepadanya, sebab bagaimanapun itu tanggung jawabnya.

“Kirschblüte …. Apa kalian … membenci kami?”

Kaie ragu sejenak.

“… tentu saja, didiskriminasi rasanya tidak teramat bagus, dan sungguh-sungguh menjengkelkan. Hidup di kamp-kamp konsentrasi terlampau buruk, berantem pun selalu menakutkan. Jadi aku benci orang-orang yang memaksakan kehidupan ini kepada kami seraya bilang tak apa memperlakukan kami seperti ini karena 86 bahkan tak dianggap manusia.”

Lanjut Kaie, mencegah Handler menuturkan tutur kata penyesalan atau pengakuan kesalahan. Kaie takkan menerima maaf biasa.

“Tapi aku tahu tidak semua Alba orang jahat …. Sebagaimana aku tahu tidak semua 86 orang-orang suci.”

“Eh ….?”

Bibir Kaie tersenyum pahit.

“Kau tahu, aku orang Orienta, jadi banyak macam-macam masalah di kamp-kamp konsentrasi dan skuadron lamaku.”

Bukan Kaie seorang. Anju pernah punya masalah tersebut di masa lalu juga … begitu pun Shin, mungkin, walaupun dia tidak pernah menceritakannya. Mereka yang mengalir darah Alba di nadinya atau keturunan Kekaisaran—terutama anak-cucu bangsawan—dipersekusi dalam kamp-kamp konsentrasi. Silsilah tersebut sejatinya alasan utama pengkonsentrasian mereka. Mungkin mudah bagi semua orang untuk memanfaatkan mereka sebagai pelampiasan frustasi, dan ras-ras timur juga selatan senantiasa menjadi minoritas dalam kamp-kamp.

86 bukanlah korban tak bersalah. Dunia selalu berpihak pada segelintir orang dan pasti gelap mata kepada orang-orang lemah.

“Omong-omong, kami memang tahu ada Alba baik di luar sana. Aku belum menemuinya saja secara langsung. Lantas aku tak membencimu hanya karena kau seorang Alba.”

“Begitukah … mestinya aku pun harus berterima kasih kepada orang-orang itu.”

Kaie duduk, menekuk tubuhnya ke depan. Meskipun mereka masih bicara lewat Para-RAID, dia masih mendapati dirinya bergerak seakan-akan Handler sedang duduk tepat di sampingnya.

“Aku pun punya pertanyaan untukmu. Mengapa kau sangat tertarik kepada kami?”

Tiba-tiba bayangan api muncul di benak Shin, dan dia mengangkat matanya dari buku. Dia belum pernah menghadiri api unggun atau pembakaran di tiang pancang, kemungkinan itu salah satu ingatan si Handler.

“Seorang Prosesor sama seperti kalian semua pernah sekali menyelamatkanku, di masa lalu ….”

Lena mengenang hari itu.

“Kita adalah warga negara Republik. Kita lahir di negara ini dan dibesarkan di negara ini.”

‘Biarpun tidak ada lagi yang mengakuinya, maka dari itu kami perlu membuktikannya. Melindungi ibu pertiwi adalah kewajiban dan kebanggaan warga negara Republik. Itulah sebabnya kami bertarung.’

“Dia bilang bahwa dia adalah warga negara Republik dan akan berjuang tuk membuktikannya. Kurasa kita harus menjawab kata-kata yang ditinggalkannya. Mengirim kalian bertarung bahkan tanpa melirik sekilas, tanpa berusaha mengenal kalian, itu bertentangan … tak termaafkan.”

Mata Raiden menyipit pada kata-kata indah nan menyakitkan itu. Kaie mendengar dan, sesudah Handler selesai bicara, berhenti sebentar untuk berpikir lanjut membuka mulut.

“Handler One …. Kau betul-betul perawan murni, kan?”

Pfft—?!”

Mereka bisa mendengar Handler meludahkan teh atau minuman lain. Semua orang yang Beresonansi tertawa terbahak-bahak. Kurena dan Haruto yang tidak Beresonansi, melihat semua orang dengan ekspresi linglung dan mulai tertawa juga setelah Anju menjelaskan apa yang terjadi. Gadis Handler itu batuk-batuk, juga Kaie yang kaget terhadap respon semua orang, seketika memucat.

“… oh Tuhan, maaf! Kata-kataku keliru! Maksudku gadis! Gadis murni sejati!”

Orang-orang normalnya tak mencampuradukkan keduanya dan artiannya tidak jauh berbeda pula. Daiya dan Haruto kelihatan mau mati tertawa, memukuli meja dan dinding keras-keras (Kino berteriak marah ‘Hentikan, jancok!’ dari sisi lain dinding), bahkan Shin pun tertawa, tak seperti dia, bahunya gemetaran. Di sisi lain Kaie makin-makin panik.

“Maksudnya, kau tahu, gadis yang menganggap dunia ini semacam ladang bunga indah, yang punya idealisme sempurna baik yang dilindunginya, kek …. Maksudku adalah ….!”

Handler itu jelas merona dan badannya mulai kaku.

“Kau bukan orang jahat, oke? Jadi biarkan aku memperingatkanmu sekarang,” imbuh Kaie, yang entah bagaimana mulai tenang.

“Kau tidak cocok untuk pekerjaan ini dan jelas bukan seseorang yang mestinya berinteraksi dengan kami. Kami berjuang bukan untuk alasan mulia semacam itu, jadi kau sepatutnya tidak boleh terlibat …. Kau harus mengganti posisimu dengan       orang lain. Sebelum kau menyesalinya.”

Kaie bilang Lena bukan orang jahat.

Tapi Kaie tidak bilang Lena orang baik.

Pada waktu itu, Lena tidak paham alasannya.

Ω

 

“Handler One kepada seluruh unit. Kami mendeteksi musuh pada radar.”

Pada hari itu, seluruh skuadron Spearhead sedang dalam misi, dan Lena sedang berada di ruang komando, berbicara kepada mereka dengan mata terfokus pada layar.

“Sebagian besar ofensif musuh adalah kekuatan campuran tipe Dragoon dan tipe Tank, disertai tipe Artileri Tank (Stier)—”

“Kami mengonfirmasi lokasi mereka, Handler One. Kami sedang bersiap-siap mencegat mereka di titik 478.”

Dia bermaksud memberi tahu mereka posisi musuh dan mengusulkan strategi yang seharusnya digunakan, tetapi, setelah disela di tengah-tengah, dia bingung dan mengiyakannya dengan gumaman.

Skuadron Spearhead yang veteran nyatanya tidak terlalu membutuhkan bantuan Lena, dan belakangan ini, perannya Sebagian besar adalah untuk mendukung mereka sehingga setiap anggota mampu sepenuhnya menunjukkan bakat dan keterampilannya. Dia akan menganalisis gerakan musuh atau menyesuaikan pengisian ulang perlengkapan agar berada di situasi yang tepat dan di saat yang tepat, Lena menghabiskan hari-harinya meneliti dokumen dalam ruang arsip untuk informasi mengenai wilayah skuadron.

Baru-baru ini, dia telah berulang kali meminta izin menggunakan meriam pencegat di belakang Sektor. Apabila dia bisa menggunakan meriam artileri, jarak tembaknya paling tidak memungkinkannya menekan serangan artileri tipe Skorpion. Akan jauh lebih memudahkan pertempuran, tapi meriamnya model sekali pakai—sekali ditembak, meriamnya perlu dikalibrasi dan diatur ulang. Para perwira di Divisi Transportasi tidak mau repot-repot hanya demi ‘sekelompok orang-orang 86’, artinya permintaan Lena dianggap angin lalu. Mereka pun bilang sesuatu seperti, ‘Bukannya semuanya sudah rusak?’

Tepat sewaktu Lena mengingat percakapan menyebalkan itu, Laughing Fox berbicara.

“Undertaker. Gunslinger sudah dalam posisi.”

“Laughing Fox kepada Undertaker, regu ketiga, seperti biasa, juga sudah dalam posisi.”

Sedikit demi sedikit, semua orang sudah dalam posisi. Formasi pencegat sempurna, ditetapkan seakan-akan mereka tahu langkah Legion. Para Prosesor skuadron Spearhead senantiasa bergerak seolah memprediksi aksi Legion. Barangkali ada semacam pertanda yang mereka seorang bisa melihatnya.

Lena harus menanyakan ini tatkala pertempuran berakhir. Seandianya mereka dapat menerapkan metode ini kepada skuadron-skuadron lain, tingkat kematian Prosesor selama penyerangan akan menurun secara drastis. Informasi tak ternilai ini yang hanya digunakan dalam area-area individu dan tak pernah menyebar ke skuadron lain adalah kelemahan besar sistem terdistorsi ini.

Sambil memikirkannya, Lena berbicara sembari memeriksa peta distrik pertama yang akhirnya dia temukan kemarin.

“Undertaker. Dimohon mengubah posisi Gunslinger. Tempatkan dia ke arah pukul tiga sejauh 300 meter dari lokasinya yang sekarang. Semisal dia sembunyi di sana, tempat tinggi akan menjadi keunggulannya. Dia dapat menembak jitu dari punggung bukit, semestinya bisa memberikan bidang penglihatan yang jauh lebih baik.”

Setelah jeda sesaat, Undertaker merespon.

“Kami akan mengonfirmasi lokasinya … Gunslinger, bisakah kau melihat titik itu?”

“Akan kuperiksa—beri aku sepuluh detik …. Ya, bisa kulihat. Bergerak ke sana sekarang.”

“Posisi tersebut di arah berlawanan dari regu pertama yang menjadi garis depan. Menimbang-nimbang strategi Undertaker yang mengganggu pasukan musuh bahkan sebelum membuat unit-unit berhadapan secara langsung, harusnya langkah ini menciptakan celah yang akan menipu musuh di tahap awal operasi.”

Wehrwolf cekikikan.

“Jadi dia bakal jadi umpan. Punya suara seindah itu, kau punya nyali juga, putri.”

“… tipe Tank dan Artileri Anti Tank tidak ahli mengubah sudut ketinggian. Mereka tentunya tidak mampu menembak langsung Gunslinger sewaktu dia berada di atas sana, dan sekiranya mereka mengubah posisi menembak mereka, medan di sekitarnya bisa berfungsi sebagai pelindung—”

“Jangan salah paham … itu rencana bagus. Benar ‘kan, Gunslinger?”

“Aku akan melakukan apa pun bila itu membantu semua orang.”

Jawabnya gagah, tetapi suaranya lebih dingin seketika memanggil Lena secara langsung:

“Kau menemukan peta baru atau semacamnya? Pasti berguna.”

Lena nyengir. Gadis ini, Gunslinger, sepertinya tidak menyukainya.

Dia selalu saja memutus Resonansi selama laporan singkat harian mereka, dan kapan pun mereka bicara, akhlaknya selalu dingin dan kasar.

Peta yang dipegang Lena dibuat oleh Angkatan Darat Republik dan merupakan produk sangat detail dari pertempuran dan pengintaian berbulan-bulan nan melelahkan. Entah kenapa, petanya tidak dibagikan ke pangkalan garis depan yang teramat-amat membutuhkannya. Para Prosesor kala ini mengandalkan peta yang mereka temukan di reruntuhan terdekat, kemudian mereka tambahkan catatan dan amandemen ketika menggunakannya. Berkat itu, mereka tahu titik-titik pencegat dan rute-rute serangan tetapi tidak informasinya tak seluas topografi.

“Mau aku kirim nanti?”

Kelewat banyak data untuk ditransfer selama peperangan, sebab lebar pitanya4 terbatas, tapi tidak akan jadi soal nanti setelah ini, tatkala mereka punya waktu.

Wehrwolf tertawa mengejek.

“Yakin pengen mengirimkannya? Kau akan menstransmisikan rahasia militer kepada kami para 86, warga negara yang tak berkarakter baik.”

“Aku tidak keberatan. Apa gunanya memiliki informasi ini kalau tidak digunakan?”

Kata-kata itu nyatanya mengejutkan Wehrwolf. Dia terkejut, ‘Hah’, dan terdiam. Sedari awal, peta itu adalah dokumen belum terkelola dan tidak terkelola sampai Lena mengeluarkannya dari tumpukan kardus. Seberapa rahasia jika tidak seorang pun menyadari dia menyalin atau salah menempatkannya? Angkatan Darat Republik dan personel garis belakang telah dipukul mundur dari medan perang dan dimusnahkan pada awal-awal perang sembilan tahun lalu, dan tidak ada kesuksesan sejati dalam operasi dan dokumen mereka yang sebenarnya. Dengan demikian, banyak dokumentasi dicampakkan, keberadaannya tak diketahui dan tidak dikelola. Setiap prajurit pun akan menganggap betapa seriusnya masalah itu.

“Juga, kau bukanlah 86. Andaikan tidak ada sebutan lain, aku takkan memanggilmu begitu—”

“Iya, iya …. Cih. Mereka datang.”

Lena merasakan ketegangan dari sisi lain Resonansi. Bahkan rasanya seakan ada yang bersemangat untuk memulai peperangan, barangkali dari pengabdian panjang mereka atau aliran adrenalin karena berada di medan perang.

Raungan meriam, cukup kuat sampai-sampai mengguncang perutnya, bergema di telinga dari sisi lain Resonansi.

Pertempuran berlangsung cepat, dan titik-titik merah menandakan Legion sedikit demi sedikit menghilang dari peta. Skuadron Spearhead telah menembus hutan tua dalam zona tempur lalu memutar dan memusnahkan sekelompok Stier mobilitas rendah namun daya rusak tinggi. Aksi ini juga akan menarik tipe Ameise dan Grauwolf ke dalam hutan, di sana mereka akan dipencar dan dihabisi satu demi satu. Hutan lebat tersebut mempunyai manfaat tambahan, yakni membatasi kemampuan manuver Löwe, dikarenakan mereka tidak sanggup berbelok tajam. Sangat memengaruhi bidang penglihatan dan jangkauan serangan mereka pula.

Tanpa cukup ruang untuk bermanuver, Legion dipaksa terpisah menjadi kelompok-kelompok lebih kecil dan kehilangan keunggulan jumlah mereka. Melihatnya dari samping, hampir-hampir seakan para Prosesor mempraktikkan operasi yang telah lama dilakukan. Akan tetapi, dalam medan perang ini, itu tidaklah mungkin.

Menghindari tembakan selongsong yang menuju ke arahnya, satu Juggernaut sendirian—Kirschblüte—mengelak deretan selongsong dan menerjang maju, membidik sisi kiri Löwe.

Lena gemetaran. Posisi Löwe aneh. Menurut penyebaran pasukan musuh, semestinya tidak ada Löwe di sini. Legion selalu waspada, dan dalam formasi itu, mereka takkan sanggup saling melindungi. Lena dengan panik memeriksa peta dan mengonfirmasi kemajuan musuh. Petanya memperjelas posisi, tapi Kirschblüte barangkali tidak melihatnya, setahu Lena, itu terkubur oleh sesuatu, tersembunyi dari pandangan—

“Menjauh dari sana, Kirschblüte!”

“Hah?”

Peringatan Lena terlambat. Titik yang menandai unit Kirschblüte di layar radar anehnya menghilang.

“Apa ini ….?! Rawa?!”

Unitnya yang kini terjebak tak bergerak, Kaie menggeleng kepala dan mengerang putus asa. Lewat layar, dia melihat kaki depan Juggarnaut-nya terendam setengah ke tanah. Sebidang padang rumput tersebut rupanya rawa-rawa, jenis medan lembut yang tidak sanggup dilintasi Juggernaut yang tidak seimbang.

Dia harus berjalan mundur untuk keluar dari sana. Setelah memahaminya, Kaie mencengkeram dua kemudinya—

“Kirschblüte, pergi dari sana sekarang!”

Peringatan Shin membuat Kaie mendongak. Mengangkat sensor optik Kirschblüte, Kaie melihat Löwe berdiri persis di depannya.

“… ah.”

Dia berada dalam jangkauan minimum turet tank, jadi Löwe itu mengacungkan kaki depannya. Perbuatannya sangatlah dingin, kejam bagaikan jarum jam yang tak henti-hentinya berputar, entah sememohon atau semenjerit apa orang yang terperangkap dalam roda-roda giginya.

“Tidak ….”

Permohonan lemah nan lirih, mirip anak kecil yang hampir menangis.

“Aku tidak mau mati ….”

Löwe itu mengerang ketika mengayunkan kakinya. Berat lima puluh ton bergerak dengan kecepatan tinggi memenggal Kirschblüte dengan serangan ayunnya. Prosesor menjuluki kanopi jenis kerang itu sebagai Gullotine, karena terhubung kuat dan cenderung menyabet dan menerbangkannya—dengan seisi pilot—misalkan serangannya cukup kuat. Sesuai nama mengerikan itu, kanopi Kirschblüte terlepas dari bagian lain unit.

Objek bundar lainnya terbang ke arah berlawanan, jatuh dan berguling-guling di tanah, tak pernah terlihat lagi ….

Seusai waktu-waktu sunyi itu, hembusan sedih dan teriakan marah memenuhi Resonansi.

“Kirschblüte …?!—Sial!!!”

“Undertaker, aku akan mengambilnya. Ulur waktu semenit—kita tidak bisa begitu saja meninggalkannya di sana!”

Tanggapan Shin hanya hening semata, bagaikan danau beku di tengah musim dingin.

“Jangan, Snow Witch …. Mereka menggunakan tubuhnya sebagai umpan. Itu penyergapan.”

Löwe yang membunuh Kaie masih mengintai di suatu tempat tak jauh, menunggu musuh bermaksud mengambil kawan terluka atau mayatnya. Awalnya merupakan taktik penembak jitu. Dia dapat mendengar napas sedih Anju dan bunyi gedebuk ketika dia menghantam konsol sambil merah. Setidaknya, Snow Witch menembak selongsong 75 mm yang menyelimuti Kirschblüte dan sekelilingnya dengan api.

“Kirschblüte, gugur dalam tugas. Fafnir (Kino), sana lindungi regu keempat …. Tidak banyak musuh tersisa. Ayo selesaikan sebelum mereka memanfaatkan kekalahan Kirschblüte.”

“Diterima.”

Responnya, betapapun sedih atau marah mereka, disertai ketenangan para veteran yang melihat rekan-rekan mereka diledakkan berkali-kali. Sebab mereka Pengemban Nama veteran sampai-sampai melihat titik unit kawan mendadak menjadi Sinyal Hilang sudah menjadi begitu akrab.

Mereka paham betul harus menekan kesedihan hingga peperangannya berakhir. Kalau tidak, mereka hanya akan bergabung bersama rekan-rekan mereka sebagai mayat. Pengalaman memungkinkan mereka melepaskan diri dari emosi dan mempertahankan sikap dingin penting untuk bertahan hidup. Kesadaran manusia yang sudah beradaptasi pada kegilaan medan perang dan direndahkan hingga menjadi mesin pembunuh dingin logis.

Dengan jeda sesaat—satu, napas pahit—segerombolan laba-laba mekanik berkaki empat melanjutkan lari tergesa-gesa mereka di naungan pepohonan.

Layaknya tulang belulang orang mati yang terbaring menunggu di bawah pintu masuk batas dunia bawah samar cahaya, mereka berkeliaran, mencari siapa pun yang dapat ditusukkan cakarnya—siapa pun yang bisa dicekik dan diseret ke tempat yang sama dengan rekan-rekan gugur mereka.

Tak lama sesudahnya, pasukan Legion dimusnahkan. Tidak dipaksa mundur, tapi secara harfiah dimusnahkan. Merasa bahwa inilah kehendak terakhir Prosesor yang tersisa, hati Lena penuh kesedihan.

Baru kemarin, tepat kemarin, bahwa Kirschblüte memberi tahuunya tentang hujan meteor. Saat teringat kata-kata bangga Kirschblüte, penyesalan dan kesedihan yang menekan hatinya. Andaikata dia menemukan peta ini lebih cepat. Andaikan dia memperingatkannya tepat waktu ….

“Situasi terselesaikan—kerja bagus, semuanya.”

“….”

Tidak seorang pun menjawabnya. Mereka barangkali berduka dengan cara masing-masing.

“Tentang Kirschblüte … aku—aku sangat minta maaf. Kalau saja aku lebih—

Seketika itu.

Lena merasakan keheningan mendalam dan menakutkan yang memancar dari sisi lain Resonansi.

“Kau minta maaf?”

Jawab Laughing Fox, seolah-olah menekan sesuatu yang hampir meledak, sesuatu yang berderak di balik suara tenangnya.

“Kau? Minta maaf? Minta maaf buat apa? Satu-dua orang 86 mati takkan kau pedulikan, ujung-ujungnya, kau masih pulang ke rumah, makan malam, dan tidur nyenyak, kan? Berhenti menyemburkan omong kosong dengan suara lembutmu itu.”

Lena perlu waktu sejenak untuk memahami perkataan barusan. Menyadari Lena tidak mampu membalas apa-apa saat itu, Laughing Fox menutur, “Dengar, kau ….” Sebelum melanjutkan. Kali ini, dia tidak mencoba menutupi kebenciannya dengan topeng, nadanya pahit total.

“Maksudnya, pasti, saat kami nganggur, mungkin bisa bermain-main dengan permainan pura-pura kecilmu. Kau bilang tidak pernah mendiskriminasi, tak pernah memperlakukan kami seperti babi, bahwa kau orang suci, mulia, berbudi luhur, bahwa semuanya salah paham, dan kau ini santo. Tentu, ketika tidak terjadi apa-apa, kami menahan ego tololmu, tapi baca suasana! Salah satu teman kami barusan mati. Kami tak punya waktu untuk memanjakan omong kosongmu sekarang, jadi pahami sekarang, dasar munafik.”

“Muna—”

Munafik?

“Atau apa? Kau pikir kami tak peduli teman kami barusan mati?—Oh benar juga; bagimu, 86 hanyalah 86. Kami semua babi rendahan yang tak mampu dibandingkan dengan manusia mulia sepertimu, bukan?!”

“Itu—”

Dibombardir rentetan dakwaan tak terbayangkan, pikiran Lena benar-benar mengosong.

“Itu tidak benar! Aku tidak pernah ….!”

“Tidak benar? Mana yang tidak benar?! Kau yang aman dalam dinding, bersantai selagi kau melihat kami semua bertempur setelah orang-orangmu melempar kami ke lubang neraka ini! Kau terang-terangan menerima perbuatan mereka kepada kami dengan duduk-duduk di sana seolah kau berhak bersenang-senang! Kalau itu namanya bukan memperlakukan kami layaknya babi, maka itu kau sebut apa?!”

“….!”

Lena dapat merasakan emosi Prosesor melalui Resonansi. Ada yang tidak peduli. Yang lainnya, termasuk Laughing Fox, menyimpan banyak tingkat penghinaan dan permusuhan. Dan dari orang lainnya, Lena merasa pasrah. Tapi satu hal yang sama dari kesemuanya adalah rasa dingin itu.

“Kau tidak pernah memanggil kami 86? Kau cuma tidak menyebut kami 86 saja! Melindungi negara adalah kewajiban warga negara? Menjawab perasaan itu? Bodo amatlah! Kau pikir kami mau bertarung di luar sini?! Kaulah yang menjebak kami di sini! Kau memaksa kami bertarung! Kau membiarkan jutaan orang-orang kami mati selama sembilan tahun terakhir ini, bukan?! Kau tidak melakukan apa pun tuk menghentikannya dan berpikir semisal kau bicara baik-baik dengan kami setiap malam akan memperbaiki semuanya?! Pertama-tama—”

Tanpa belas kasih sedikit pun, Laughing Fox dengan kejamnya mencungkil hati Lena dengan perkataan selanjutnya. Bukti tak tersangkal bahwa Lena yang walaupun memperlakukan mereka sebagaimana manusia, pada akhirnya menganggap mereka sebagai babi.

“—tidak pernah sekali pun kau menanyakan nama kami!”

Napas di tenggorokannya tercekat.

“Ah ….”

Kesadaran itu membuatnya terhuyung-huyung tak percaya. Dia benar. Lena tidak tahu nama mereka. Lena tak pernah bertanya. Tidak seorang pun—bahkan Undertaker tidak, orang pertama yang selalu menjawab panggilannya. Bukan Kirschblüte, yang selalu paling sering bicara dengannya. Dan tentu saja, dia belum pernah memberi tahu namanya kepada seorang pun. Handler One. Dia tampil sebagai supervisor5, hanya dengan gelar yang dipersembahkan kepadanya dan dalam cuma sebatas itu. Mungkin dapat diterima jika gelarnya disepakati bersama, tetapi malah sebaliknya, cara yang sangat buruk kepada sesama manusia.

Dia melakukan itu, tanpa mengedipkan mata. Tanpa sadar. ‘Kau harus tahu cara memperlakukan ternak sebagaimana ternak’. Ya, sesuai ucapan sang ibu kepadanya dengan ekspresi tenang. Adalah satu-satunya perbedaan Lena dengan ibunya yang dia sendiri tidak pernah utarakan dengan kata-kata—?

Air menggenang di matanya. Kata-kata tak terurai, namun dia merasakan ratapan rasa malu mencakar dadanya, memohon untuk dilepaskan. Tangannya menutup mulut dan menekannya. Dia baru saja tersadar. Tapi sekarang dia sangat takut akan betapa jeleknya dia, bagaimana dirinya menginjak-injak dan memandang rendah orang lain seakan-akan itu masalah biasa, tak merasa malu karenanya. Wehrwolf—tidak, anak lagi-lagi Colorata yang wajahnya tidak pernah dia lihat, dan namanya tidak pernah dia tanyakan, dengan suara lirih menyela pembicaraan.

“Theo.”

“Raiden! Kau mau membela babi putih ini—?”

“Theo.”

“… baiklah, aku mengerti.”

Laughing Fox mendecakkan lidahnya sekali, lalu kehadirannya menghilang dari Resonansi. Sembari menghela napas dalam-dalam, seolah menghilangkan perasaan yang mengisi dadanya, Wehrwolf mengalihkan perhatian ke Lena.

“Handler One. Tutup Resonansi.”

“… Wehrwolf, aku—”

“Pertempuran berakhir. Kau tidak punya alasan untuk memerintah kami lagi, bukan? Laughing Fox sudah tidak terhubung, namun bukan berarti kami sedang ingin mengobrol dengnamu.”

Nada suaranya dingin, tapi suaranya yang tidak terdengar mengecam sedikit pun malah serasa lebih tak manusiawi dan asing bagi Lena. Wehrwolf tidak menghakimi kesalahan Lena, dia pun tidak ingin menyalahkan Lena, sebab dia pun sepenuhnya menyerah. Menyerah bahwa dia tengah bicara dengan seseorang yang takkan pernah mendengarnya entah bilang atau melakukan apa—seseorang yang semata-mata pura-pura bicara tapi tidak paham pembicaraan orang lain. Bahkan Lena sendiri pun tidak paham. Seekor babi berwujud manusia.

“… aku minta maaf.”

Hampir tidak mampu membalas, dia menutup Resonansi.

Tidak satu suara pun menjawab kata-katanya.

Semua orang sedikit demi sedikit memotong hubungan dengan Handler, dan Theo menetap, merasa buruk. Ssaat berikutnya, Anju Beresonansi.

“Theo.”

“… aku tahu, ok? jawabnya murung.

Membenci suaranya yang sangat kekanak-kanakan, Theo mencibir dan membenci dirinya sendiri.

“Aku mengerti perasaanmu, tapi kau keterlaluan. Meskipun yang kau katakan benar, itu terlalu berlebihan.”

“Ya, aku mengerti …. Maaf.”

Dia mengetahuinya. Mereka semua memutuskan jika memang semestinya begitu bahkan sebelum mengutarakannya. Karenanya, hingga sekarang, itulah yang mereka lakukan. Mengeluarkan unek-uneknya dengan cara sebengis mungkin tidak membuat Theo merasa lebih baik. Yang ada malah makin membuatnya kesal dan hampir naik pitam. Dia tidak punya pelampiasan atas furstasinya, dan dia merasa seakan temannya yang hilang akan membentak tingkahnya kapan pun. Itu janjinya yang berharga, dan Theo merusaknya sebab babi putih bego itu. Tapi tetap saja, alasan dia tidak mampu menahan amarahnya jelas-jelas karena ….

“… mantan kaptenmu?”

“Yea ….”

Dia masih mengingat punggung lebarnya yang dapat diandalkan.

Dialah kapten unit pertama Theo bertugas, tatkala dia mendaftar saat usia dua belas tahun. Kaptennya ceria dan periang, dan semua orang di regu membencinya. Theo membencinya pula kala itu. Dia mewarisi Tanda Pribadi rubah tertawa darinya. Dan waktu itu, dia belum tahu cara menggambar dan berusaha sebaik mungkin mereplika gambar rubah yang senantiasa tertawa di bawah kanopi sang kapten. Tetapi dia hanya berhasil membuat karikatur cacat dengan senyum palsu terpaksa.

Theo tidak sanggup memaafkan babi putih yang sama ekspresinya dengan sang kapten, dia bertingkah seakan-akan santo yang berduka atas kematian Kaie. Dia tidak bersedia memaafkannya, tetapi setelah memakinya, yang Theo dapati adalah ….

“Maaf, Kaie ….”

Dia menunduk, melihat puing-puing Kirschblüte yang terbakar. Dia sudah terbiasa dengan hal ini sekarang, kepada satu-satunya sisa teman-temannya yang tak diperkenankan dibawa pulang atau dikubur.

‘Aku bertingkah seperti babi-babi itu dan menghina keematianmu ….’

Kau, Kaie. Kaie terhormat dan mulia, terlepas dari segala yang telah kau lalui, tidak sekali pun dendammu kau curahkan dengan kata-kata, bahkan sampai akhir hayat pun ….

Pada malam-malam setelah kematiannya, semua orang di unit akan mengisolasi diri mereka sendiri atau mungkin tinggal bersama orang lain, masing-masing berduka dengan caranya sendiri. Lantas malam itu, tidak ada yang datang bermain ke kamar Shin.

Bulan dan bintang-bintang bersinar terang, jadi Shin mematikan lampu. Bersandar di mejanya yang diterangi cahaya biru-pucat, Shin membuka mata merah darahnya ketika mendengar bunyi ketukan kecil di kaca jendelanya. Melihat ke bawah jendela, dia mendapati Fido berdiri di luar barak, melebarkan lengan dereknya. Sepotong logam tipis terjepit di antara manipulatornya.

“Terima kasih.”

Pi.”

Sesudah melakukan pengiriman, Fido mengerjap sensor optiknya sekali seakan berkedip dan kembali ke tugas rutinannya. Pekerjaan Scavenger normal terdiri adalah membawa wadah penuh besi tua dan barang rampasan dari medan perang ke tungku pabrik otomatis untuk diatur ulang.

Setelah Shin meletakkan potongan logam di atas kain yang dia lebarkan sebelumnya, Para-RAID aktif. Menghentikan tangannya sebentar sembari membuka bungkusan kain yang berisi sejumlah alat kerja sederhana, Shin mengerutkan alis. Dialah satu-satunya yang dikontak Resonansi ini, dan pengontaknya bukan dari pangkalan.

“….”

Shin mendesah saat pihak lain tetap diam biarpun dia sendiri yang memulai panggilannya. Membuka mulutnya dan berbicara kepada orang murung di ujung ketidaksadaran kolektif.

“Butuh sesuatu, Handler One?”

Orangnya gemetar, ibarat menggigil menjalariniya, tetapi ia tetap diam. Shin menunggu jeda yang serasa enggan ini, menunggu si penelpon berbicara. Beberapa saat setelah Shin melanjutkan pekerjaannya, si gadis Handler akhirnya membuka mulut. Ketika Shin mendengar suaranya yang lemah dan semaput, seolah-olah takut ditolak, tangannya terhenti.

“… umm ….”

Lena pikir jika Shin menolaknya, dia pasti akan mengakhiri panggilan ketika itu dan saat itu juga. Lena berkehendak melakukannya sebab dia sudah siap melakukannya, ditambah lagi mendengar suara respon tenang Shin selalu menguras keberaniannya. Sesudah  beberapa kali mencoba bicara dan menarik napas tersedaknya, ucapan itu akhirnya keluar.

“… um, Undertaker. Apa sekarang waktu yang tepat untuk mengobrol?”

“Tentu. Lanjutkan saja.”

Jawaban biasanya terdengar lirih dan tenang, tanpa setitik pun emosi. Tapi Lena tersadar untuk pertama kalinya bahwa nada tak tertarik dan tak berubahnya bukan dari watak tenangnya, melainkan karena kurang minat atau perasaan padanya.

Menegur hatinya yang hampir meringkuk ketakutan, kepalanya menunduk. Mungkin ini pun juga dianggap pengecut. Dia tahu kalau seharusnya mengatakan ini kepada semua orang, tapi dia tidak berani menghubungi Laughing Fox atau Wehrwolf yang bisa jadi tidak mau beresonansi dengannya.

“Maafkan aku. Atas apa yang terjadi sore ini dan segala perbuatanku sampai sekarang. Aku sungguh-sungguh minta maaf … anu ….”

Kedua tangan di pangkuannya mengepal.

“Namaku … Lena. Vladilena … Milizé. Aku tahu ini mungkin terlambat, tapi … bisakah kau memberi tahu namamu?”

Terjadi jeda singkat. Lena dibebani ketakutan seketika dia mendengar suara statis dan sunyi berat dari sisi lain.

“… seumpama perkataan Laughing Fox masih mengganggumu ….” Shin terdengar tidak peduli, kata-katnaya dilontarkan singkat, seakan-akan hanya menyatakan fakta. “… mestinya tidak usdah. Yang dia ujar tidak mencerminkan pendapat orang lain. Kami semua tahu kau secara pribadi tidak menempatkan kami dalam situasi ini dan kau pun tak punya kekuatan untuk mengulangnya. Rasa bersalahmu tidak berguna cuma karena seseorang menyalahkanmu sebab tidak mampu melakukan hal yang tidak bisa kau lakukan.”

“Tapi … tidak tahu namamu itu tak sopan!”

“Kau tidak menanyakan nama kami karena tidak memerlukannya. Menurutmu mengapa kami wajib menggunakan nama lain padahal Legion tidak bisa masuk Para-RAID? Kau pikir mengapa berkas-berkas personel Prosesor tidak pernah diungkap?”

Lena mengeurtkan bibirnya getir. Jawaban merisaukan itu dengan mudahnya terlintas dalam benak.

“Agar para Handler tidak menganggap para Prosesor sebagai manusia … kan?”

“Itu benar. Kebanyakan Prosesor tidak sampai bertahan satu tahun setelah mendaftarkan diri. Siapa pun penanggung jawabnya barangkali berpikir beban semua kematian itu terlalu berat untuk dipikul seorang Handler.”

“Tapi itu pengecut! Aku ….”

Suaranya tanpa sadar mulai hilang.

“… aku pecundang … dan aku tidak ingin tetap seperti itu. Misal tidak terlalu merepotkan untuk memberi tahu namamu … tolong beri tahu aku.”

Shin menghela napas lagi. ‘Gadis ini bisa sangat keras kepala ….’

“… Kaie Taniya. Dia Kirschblüte—Prosesor yang mati hari ini. Itulah nama aslinya.”

“!”

Dia merasakan kebahagiaan dari sisi lain Resonansi, tetapi kebahagiaan itu seketika membuyar saat menyadari itu nama gadis yang terbunuh. Berbanding terbalik dengan itu, Shin faktanya memberi tahu nama rekan-rekannya.

“Nama Wehrwolf Wakil Kapten adalah Raiden Shuga. Laughing Fox namany Theoto Rikka. Snow Witch adalah Anju Emma. Gunslinger itu Kurena Kukumila. Black Dog merupakan Daiya Irma—” dia memberi tahu nama dua puluh anggota pasukannya, dan Handler menambahkan namanya di akhir.

“Dan aku Vladilena Milizé. Mohon panggil aku Lena.”

“Aku tahu sebelumnya sudah kau sebutkan. Apa peringkatmu?”

“Oh, ya, tentu saja. Pangkatku mayor. Tapi baru saja dipromosikan, sih ….”

“Kalau begitu kau kupanggil Mayor Milizé ke depannya. Apa dapat diterima?”

“… sejujurnya ….”

Mendengar Shin bersikeras bersikap formal dan memperlakukannya selayaknya komandan, Lena nyengir-nyengir. Kemudian dia menyadari sesuatu dan bertanya:

“Sepertinya kau sedang sendirian hari ini …. Kau lagi apa?”

Shin terdiam sebentar.

“—namanya.”

“Huh?”

“Aku mengambil nama Kaie …. Karena 86 tidak diizinkan punya kuburan.”

Dia mengangkat potongan logam kecil itu ke cahaya biru-pucat. Susah payah mengukir nama Kaie pada pecahan alumunium persegi panjang , serta inskripsi bercat hitam-merah. Suatu etsa bunga sakura lima kelopak dan simbol bunga sakura—Kirschblüte—ditulis dalam bahasa bangsanya, untuk menandakan Tanda Pribadi Juggernaut-nya.

“Saat aku masih berada di unit pertama, aku membuat janji bersama semua orang di sana. Kami akan mengukir nama-nama mereka yang gugur dalam pertempuran di sisa-sisa Juggernaut mereka, dan barangsiapa yang hidup paling lama akan membawa fragmen-fragmen ini bersamanya. Dengan begitu, orang yang selamat akan membawa semua orang ke tujuan akhir mereka.”

Kebenarannya adalah, kala itu, bahkan mengambil pecahan unit Prosesor yang sudah mati kerapkali mustahil, lantas mereka hanya menggunakan potongan logam atau kayu manapun yang bisa ditemukan dan mengukir nama-nama tersebut dengan paku. Memang tak mewah, tapi itulah bukti keberadaan rekan-rekan mereka. Shin baru secara konsisten mendapatkan puing-puing unit setelah Fido belajar cara memungut barang. Mereka selalu mencoba mengumpulkan potongan langsung di bawah kanopi, tempat Tanda Pribadi terukir di lapis baja Juggernaut.

Kesemuanya tersimpan dalam kompartemen peralatan kokpit Undertaker sejak kematian rekan-rekan regu pertamanya hingga sekarang. Dia hanya dapat memenuhi janji yang mereka buat bersama.

“Aku yang tersisa dari sana, dan demikianlah yang terjadi sampai sekarang. Maka dari itu harus aku bawa mereka. Aku akan bawa semua orang yang bertarung dan mati bersamaku hingga tujuan akhirku.”

Suara tenangnya terdengar dalam hati Lena. Shin berbeda dari sebelumnya, berbeda dari kesan tak berperasaan yang dimiliki Lena tentangnya. Dia mendadak merasa sangat malu. Shin telah membawa banyak sekali kematian—semua nyawa yang hilang ini—bersamanya, dengan diam-diam memikul beban. Membawa semuanya tanpa sekali pun meratap, menanggung semuanya seakan-akan itu kewajibannya. Sebaliknya, dia bahkan tidak mampu menghadapi kematian satu orang sore ini, hanya berkabung namun tak benar-benar menerima kenyataan. Lena akhirnya paham betapa parahnya dia menyinggung mereka: orang yang membawa beban mereka yang mati dalam diamnya.

“Berapa banyak orang yang mati sejauh ini ….?”

“561 Prosesor, termasuk Kaie.”

Tanggapan cepatnya membuat Lena menggigit bibir. Lena bahkan tak ingat berapa banyak orang yang mati dalam komandonya. Walaupun perhitungannya jauh lebih sedikit, seandainya ditanya, dia mesti memikirkan dan menghitungnya.

“… apakah itu penyebab mereka memanggilmu Undertaker?”

“Ya, Sebagian.”

Dia yang diam-diam mengubur banyak sekali rekan-rekannya. Menggantikan kuburan yang dilarang, dia membawa potongan-potongan mini alumunium dan kenangan tak terhitung jumlahnya. Masuk akal kalau semua orang sangat menyukainya. ‘Orang bernama Undertaker ini pastinya lebih baik dari orang-orang lain’—Sebegitu sesuatu terlintas pada Lena, kepalanya terhenti. Megap-megap, dia membuka matanya lebar-lebar.

“Um … Undertaker?”

Shin kurang berminat pada segala hal di sekitarnya sampai-sampai tidak menyadari Lena memanggilnya dengan nama gelar saja.

“Kau … masih belum memberi tahu namamu ….”

Shin tanpa sadar berkedip beberapa kali.

Dia sepertinya bertanya apakah Shin ingin memberi tahu namanya atau tidak, namun masalahnya bukan itu. Dia cuma lupa saja.

“Maaf. Namaku Shinei Nouzen.”

Setahu Shin, nama normal dan Nama Pribadinya hanyalah kode tuk mendeskripsikannya, dan dia tidak terlalu ambil pusing dengan nama yang dipanggil orang. Dia hendak mengatakannya, tetapi—mendengar Lena menelan ludah kaget membuat Shin mengangkat mata terheran-heran.

“Nouzen ….?!”

Sebelum Lena sempat dengan heran mengulang namanya, bunyi gedebuk keras! Terdengar seperti sesuatu yang berat menabrak lantai. Rupanya, dia jatuh dari kursinya dan di tengah-tengah kejadian kursinya ikut jatuh.

“Mungkinkah kau ada hubungannya dengan Shourei Nouzen?! Dialah Pengemban Nama Dullahan dan mengendarani unit dengan Tanda Pribadi yang menggambarkan kesatria kerangka tanpa kepala—”

Mata Shin membelalak sedikit.

Ω

“Kita akan melihat medan perang, Lena. Melihat semua hal yang terjadi di sana, dengan mata kita sendiri.”

Hari itu, Kolonel Angkatan Bersenjata Republik, Václav Milizé naik pesawat pengintai bersama putrinya yang baru berusia sepuluh tahun, Lena.

“Bukannya mereka sedang bertarung di sana, Ayah?”

“Ya, itu benar. Tapi Republik …. Kita melaukan sesuatu yang lebih buruk daripada perang di sana.”

Václav adalah salah satu sedikit orang yang selamat dari Angkatan Bersenjata, sementara dia dan rekan-rekannya berjuang membela keluarga dan teman-teman mereka, tanah air tercinta telah memberlakukan undang-undang mengerikan yang memberikan pukulan buruk pada martabat mereka. Sejumlah warga negara yang seharusnya dilindungi telah Republik tandai sebagai manusia rendah dan bahkan mengusirnya dari rumah, memenjarakan mereka, dan memaksa mereka berperang. Insiden yang terjadi di kota kecil tertentu masih tak meninggalkan ingatannya.

Menggantikan pasukannya yang hancur, Republik bergegas mengumpulkan wajib militer muda, sebagain besar dari mereka adalah orang-orang tak berpendidikan yang kehilangan pekerjaan karena kemalasannya dan punya tendensi kekerasan. Paling buruknya, pada misi pertama, mereka membawa senjata di tangan dan diperintahkan menarik keluar sesama warga mereka. Moral mereka yang sedari awal rendah, merosot cepat dan Tindakan kekerasan serta penindasan merajalela di seluruh unit.

Václav masih ingat dua orang anak melihat tentara menghajar orang tuanya sampai mati, sambil tertawa-tawa. Dia takkan pernah lupa seorang gadis, mungkin kakak perempuannya, dengan bermata dingin tak meneteskan air mata. Mata itu takkan pernah meninggalkannya. Mata itu barangkali takkan melupakan Alba atau Republik selama mereka hidup.

“… kita harus mengakhiri ini …. Kita harus mengakhirinya secepat mungkin.”

Pesawat pengintai yang melintasi langit tanpa suara, agar Václav bisa menunjukkan kepada putrinya apa-apa di balik dinding.

Mereka yang hidup dalam Sektor Pertama jarang-jarang bepergian ke luar dinding. Di luar perbukitan Sektor-Sektor luar terdapat pabrik-pabrik produksi, pembangkit listrik tenaga angin, geometrik, dan surya, juga padang rumput sera hutan, Gran Mule memandang rendah segalanya dengan keagungan gunung perkasa. Seketika Lena melihat dinding besar itu untuk pertama kalinya, mata Lena bersinar gembira. Tetapi ekspresinya menggelap, dan dia terdiam sewaktu ladang-ladang ranjau dan kamp-kamp konsentrasi dikelilingi pagar kawat berduri nampak. Melihat wajah pahit putrinya saat dia melihat keluar jendela, Václav tersenyum. Lena adalah gadis pintar. Bahkan tanpa dikatakan, dia belajar dan paham sendiri.

Menerbangkan pesawat militer untuk urusan pribadi dan membiarkan masyarakat sipil tak berwenang memasukinya merupakan pelanggaran eksplisit peraturan militer, tetapi Václav tidak peduli. Militer Republik kala itu hanya tenar nama saja, jenis sampah yang hanya tertarik menghabiskan jam kerja mereka bermain-main dan berjudi, pada akhirnya beralih ke alkohol dan wanita.

“Sedikit lebih jauh setelah kita selesai melihat pangkalan garis depan, oke? Aku ingin dia melihat medan perang,” Václav memberi tahu pilot yang memegang tuas kendali.

Pilot ceria ini adalah teman Václav dan terlihat senang mendapat kesempatan menerbangkan pesawat setelah lama sekali terjebak dalam Sektor 85. Dia mengangguk senang dan bilang: “Diterima, Kolonel …. Tapi bukannya bocah-bocah di Transportasi menetapkan daerah itu sebagai zona larang terbang6?”

“Eh, tidak usah khawatir. Kita tidak pergi ke zona perang, dan lagipula, kita tiba di sana malam hari. Legion takkan bergerak.”

Legion pada dasarnya beroperasi pada siang hari, sebab mereka kehabisan daya. Biasanya, mereka akan tetap berada di daerah yang dikuasainya dan menerima paket energi. Begitu habis, mereka akan menggunakan panel surya dan mengisi ulang dengan cara tersebut. Karena mereka tidak dapat mengisi daya pada malam hari, mereka berisiko kehabisan daya di tengah-tengah pertempuran, sebab itulah mereka cenderung menghindari pertempuran malam hari.

Kalau Václav boleh terang-terangan, dia memang ingin menunjukkan Lena betapa ganasnya pertempuran melawan Legion, akan tetapi … melihat punggung mungil itu, Václav sekali lagi tersadar tidak boleh mempertaruhkan nyawa putrinya.

Tapi Václav sudah lupa. Mungkin tidak tahu, dia sendiri berasumsi hanya 86 yang bisa mati dalam medan perang dan tidak ada bahaya mendatanginya. Ada alasan mereka kehilangan kontak negara-negara lain dan mengapa tak pernah mencoba menyerang Legion dari langit.

Stachelschwein.

Mereka menyebar di seluruh langit Republik tak lama setelah pertempuran dimulai dan memusnahkan Angkatan udara mereka. Mereka yang bersembunyi di antara kawanan kupu-kupu pengganggu komunikasi adalah Legion tipe Meriam Otomatis Anti Serangan Udara.

Langit malam gelap di medan perang, jauh dari lampu buatan peradaban, mendadak menyala cahaya semerah api yang jauh dari surga seraya raungan yang memekakkan telinga. Pesawat pengintai jatuh menukit, ekornya yang terbakar mengukir jejak-jejak menyala dan dengan cepat turun ke bumi—kapten suatu skuadron yang sedang patrol malam, kebetulan melihat pesawat jatuh.

“Hei. Keknya aku barusan melihat pesawat pengintai—”

“Huh? Oh. Lupakan, Dullahan. Barangkali hanya babi bego lain yang keluar jalan-jalan. Satu atau dua babi putih mati malah jadi perayaan buat kita, kan?”

Mengabaikan kata-kat rekannya, sang kapten menutup kanopi unitnya. Rambutnya merah berdarah dan mata hitam pekat tersembunyi dari kacamatanya.

“Woi, Dullahan, kau—?”

“Aku akan menyelamatkan mereka …. Kalian lanjutkan patrolinya.”

Ketika dia tersadar, dia sudah dikelilingi lautan api.

Menggunakan kedua tangannya dan meluruskan tubuh sampai duduknya tegak, mata terbuka Lena melihat sekitarnya. Segalanya terbakar. Ayahnya pun dipanggang api. Semua bagian dari dada sampai atas ayahnya terbakar.

Dia sempat mendengar ratapan aneh dan keras dari luar ketika dia merangkak keluar dari lubang palka. Monster besar—sangat besar sampai dia harus mendongak untuk melihatnya—menunggu di samping, api merah menyala memantulkan kilau keperakan sosok monster saat menghadap ke bawah menatapnya.

 Mata merah tunggal yang bersinar bagaikan pecahan menyorotnya. Senapan mesin serba guna menggantung di pundaknya, cahaya bersinar dari kilau kelabunya. Kaki arthropoda mirip serangga tampaknya tidak bergerak secara sinkron satu sama lain, menciptakan khayalan ilusi kalau ia bergerak menjauhinya.

Dia bisa melihat pilot dari kejauhan. Dia meneriakkan sesuatu dan mati-matian menembakkan senapan mesin dari pinggangnya. Sebagian besar tembakannya meleset, tapi beberapa tembakan dibelokkan lapis baja si monster, hanya menimbulkan percik-percik api saja. Ameise mendekatinya, tidak terganggu peluru, kaki depannya dengan santai memotong. Bagian tengah sampai atas tubuh pilot dengan mudahnya terbelah, air terjun darah muncrat dari bagian bawah tubuh yang kini terbengkalai.

Unit sensor campuran Ameise kemudian berkedip-kedip dan berpindah ke arah Lena. Tepat sewaktu tubuhnya menyusut tanpa daya—

 “Seandainya ada orang yang masih hidup, tutup telingamu dan tiarap!”

Suara keras terdengar pada pengeras suara bervolume penuh. Menembus melalui tabir asap dan api, seekor laba-laba berkaki empat melompat ke arah mereka, langit malam dan api merah melatarinya. Simbol kerangka seorang kesatria tanpa kepala yang terukir di sisinya tersimpan dalam ingatan Lena.

Kedua tangan penggenggam mengarahkan senapan mesin berat ke arah si monster dan menembak. Suara gemuruh tembakan senapan mesin merobek gendang telinga Lena. Senjata-senjata berat yang membuat senapan serbu anti-personel nampak bagaikan senapan anak-anak, memberondong Ameise dengan pelurunya yang mampu dengan mudah merobek dinding beton dan meledakkan kendaraan lapis baja. Lena pelan-pelan melihat ke atas selagi langkah kaki berat dan berisik laba-laba mekanik menghampiri.

“Kau baik-baik saja?”

Suara manusia berbicara padanya, tapi dia takut. Seketika meringkuk ketakutan, perut laba-laba terbuka, sesosok manusia bangkit dari belakang. Rambutnya berwarna merah darah, dia mengenakan kacamata hitam berbingkai. Dia adalah pemuda ramping dan berwawasan intelektual yang tampaknya berusia sekitar dua puluhan.

Pria yang menyelamatkannya memperkenalkan diri sebagai Shourei Nouzen. Dia membawa Lena ke tempat yang disebut pangkalan, bangunan tempat banyak laba-laba mekanik ditempatkan. Berbeda dari Sektor Pertama yang serba bintang-bintang memenuhi langit dan menerangi segalanya. Ada banyak orang di pangkalan, tapi pria itu bilang ia mesti menjauh dari mereka, dan mereka pun takkan mendekat. Dia memang merasa mereka memelototinya dari jauh, dan itu membuatnya takut.

Bagaimanapun, pas Lena mendengar namanya, Lena berkedip terkejut. Dia belum pernah mendengar nama itu, dan cincinnya terlampau asing.

“… dasar nama aneh ….”

“Ya. Bahkan di Kekaisaran, itu nama keluarga langka yang hanya digunakan klan ayahku. Sama seperti nama depanku.” pria itu tersenyum masam dan mengangkat bahu.

“Kau boleh memanggilku Rei. Nama lengkapku kepanjangan, ya? Ada sejarahnya, tapi Republik cukup asing dengan itu.”

“Tuan bukan dari Republik?”

“Kedua orang tuaku lahir di Kekaisaran, tapi aku dan adikku lahir di Republik …. Yah, aku punya adik cowok. Mestiniya seusiamu …. Dia mungkin sudah besar sekarang.”

Senyum Rei menjadi kelewat kesepian waktu mengatakannya. Ada tatapan pahit nostalgik pada matanya, laksana memandang ke kejauhan.

“Tuan tidak bisa menemuinya?”

“… tidak. Aku belum boleh pulang.”

Lena masih tidak tahu bahwa 86 yang terdaftar tidak mendapatkan cuti sehari pun sampai mereka diberhentikan.

Rei bertanya apakah Lena lapar, biarpun belum makan malam, dia menjawab tidak. Menggeleng kepala, raut wajah Rei tak nyaman. Mungkin berasumsi dia lebih ingin mendapatkan yang manis-manis, Rei membawakannya cokelat dilelehkan air panas. Bahkan Lena muda menyadari betapa berharganya cokelat di sini.

“Kata ayah ….”

“Hmmm?

“Kata ayah kami melakukan sesuatu yang buruk banget kepada Colorata. Tuan, kau ‘kan Colorata, jadi kenapa melindungi saya?”

“Dihadapkan pertanyaan tak langsung itu, muka Rei terlihat agak terganggu. Wajah sama yang senantiasa dibuat orang dewasa setiap kali Lena mengajukan pertanyaan rumit, pertanyaan yang selalu mereka hindari dan tak dijawab.

“… itu benar. Kau benar—beberapa hal mengerikan terjadi pada kami sekarang. Kebebasan dan martabat kami dirampas. Itu hal-hal tak termaafkan, hal-hal itu sepantasnya tidak diperbolehkan terjadi pada seorang pun. Orang-orang melakukan hal mengerikan itu kepada kami, bilang kami bukan warga sipil atau bahkan bukan manusia, tapi babi tak manusiawi.”

Mata gelap dingin dan marahnya berkedip sejenak. Dia meneguk cangkirrnya, seolah-olah berusaha menahan emosi itu.

“Tapi tetap saja, kita ini masih warga negara Republik. Kita dilahirkan dan dibesarkan di negara ini.”

Ucapan tenang itu berdering tegas dan penuh semangat di telinga Lena.

“Kendatipun tidak ada yang mengakuinya lagi, karena itulah kami perlu membuktikannya. Melindungi tanah air adalah kewajiban dan kebanggaan warga negara Republik. Itulah sebabnya kami bertarung. Kami bertaurng dan melindungi tuk membuktikan bahwa kami mampu melindungi negeri ini …. Agar mereka takkan meremehkan kami dan menganggap kami layaknya sampah yang cuma dapat bicara tanpa tindakan.”

Lena berkedip bingung. Untuk bertarung. Untuk melindungi. Untuk membuktikan. Tetapi mereka melawan monster buruk barusan ….

“Bukannya kau ketakutan ….?”

“Kami ketakutan. Tapi kalau tidak bertarung, kami takkan bertahan.”

Mengangkat bahu sambil tersenyum, Rei mengangkat matanya ke langit berbintang. Berkilauan bersama debu bintang dan kelihatannya akan membuat suara, tapi fakta menyebutkan bahwa ia yang selalu begitu diam dengan mengerikannya melanda Lena. Di antara debu-debu bintang dan cahaya cemerlang bekerlap-kerlip jauh nan luas tanpa ujung itu adalah kegelapan hitam pekat tanpa batas dan tanpa akhir.

Senyum yang ditampakkan Rei pada bibirnya memudar. Rei dengan tegas berbicara, ibarat menyampaikan sumpah sungguh-sungguh.

“Aku takkan mati. Aku tidak boleh mati. Aku harus bertahan hidup dan kembali. Aku harus kembali ke tempat adikku menunggu.”

Ω

 

Lena yang kini berusia enam belas tahun masih dapat mengingat kata-kata tulus Rei dan ekspresi tekadnya yang jelas, bahkan setelah bertahun-tahun lamanya. Karena itulah, tanpa diduga saat mendengar nama keluarganya, dia tak sanggup menahan kegembiraannya dan bangkit berdiri. Dia bahkan tak tersadar kursinya jatuh ke lantai dan cangkir tehnya hancur berserakan menabrak lantai.

  Rei bilang nama keluarganya bahkan asing di Kekaisaran, dan memang benar, Lena belum pernah mendengar anggota keluarga Nouzen lain selain Rei. Bila mereka berdua satu keluarga dan Shin seusia Lena, apakah mungkin—?

Shin akhirnya bicara, menjawab pertanyaan itu. Suaranya terdengar seolah seketika terbangun dari tidur lamanya, dengan nada tercengang pemuda yang belum pernah didengar Lena.

 “… itu kakakku.”

“Kakakmu …. Terus artinya ….”

Adik laki-laki Rei yang dibilang tak bisa ditemuinya tapi ingin melihatnya. Sumpahnya kepada adik laki-laki yang kelak dia akan temui sepulangnya—Shin adalah adik laki-laki itu.

“Dia bilang ingin menemuimu dan harus kembali kepadamu …. Tahu di mana kakakmu sekarang?”

Berbanding terbalik dari suara Lena yang girang dan gembira, ekspresi dingin tenangnya kembali ke kata-kata Shin yang dituturkan. “Dia meninggal. Lima tahun lalu, di front timur.”

Oh ….

“… aku turut berdu.a”

“Tidak apa.”

Jawaban singkatnya terdengar seolah-olah dia betul-betul tak peduli sama sekali. Suara dinginnya kontras dengan kehangatan Rei yang saat dia membicarakan adik laki-lakinya membingungkan Lena. Ada hal lain tentang bungkamnya Shin yang tak terjelaskan sebab terbiasa melihat kematian. Lena berjuang merajut sesuatu untuk dikatakan tuk memecah kesunyian ini, dan pada akhirnya Shin angkat bicara.

“Kau ingat saat kau bertanya aku ingin apa begitu diberhentikan?”

“Y-ya, tentu saja.”

“Aku masih tak punya sesuatu yang ingin dilakukan, bahkan setelah diberhentikan. Tapi ada sesuatu yang harus kulakukan … aku mencari-cari kakakku. Selama lima tahun ini, itulah yang kulakukan.”

Lena memiringkan kepala. ‘Jikalau Rei sudah mati, dan Shin sudah mengetahuinya, bagaimana ….?’

“Maksudmu … mayatnya?”

Lena merasa Shin tersenyum tipis.

Tersenyum … tapi tidak beanr-benar tertawa. Mirip seringai namun lebih dingin. Sebagaimana ujung bilah berkilau dan menyala-nyala yang mampu memikat pandangan seseorang …. Semacam kegilaan.

“—tidak.”

Ω

Keesokan harinya.

Skuadron yang lain mendengar inti percakapan mereka dari Shin, dan ketika Handler Beresonansi dengan mereka malam itu, mereka semua bergabung. Dia meminta maaf dan lalu menanyakan nama masing-masing. Theo terlihat amat canggung.

“… mengapa kau sampai melakukannya, Shin?”

“Kau menyesal, bukan? Kau menyesal mengatakannya, walaupun menyesalnya setiap kata.”

Dia cukup jeli, mengingat sebelumnya tak pernah memerhatikan mereka. Theo sebal tersadar betapa transparannya dia. Daiya menyeringai, Anju kelihatannya menatap hangat, dan, ‘Duh, Kurena, kenapa kau melihat ke arah lain kek tidak ada hubungannya dengan ini?! Kau sama jengkelnya sepertiku, dan aku paham misal dia tidak aku bentak, kau yagng akan menggantikanku membentaknya!’

“Bentar, uh, Mayor Milizé, kan? Bukannya Shin sudah memberitahumu nama kami?”

“Ya, aku menanyakannya. Tapi aku belum mendengar semua namanya dari kalian.”

Meskipun Lena tahu nama mereka, dia masih ingin orang-orangnya sendiri memberi tahu namanya …. ‘Menyusahkan’

Shin tidak bilang apa-apa, dan si Handler tampaknya menciut ketakutan seperti anak kecil yang menunggu hukuman karena sudah tahu duluan nama mereka. Mengamati situasi tak nyaman ini, Theo menyadari dia sudah hilang minat. Dia tak pernah pandai marah atau keras kepala lama-lama.

“… aku ingat pria satu ini. Dia kapten regu pertamaku bertugas.”

Lena rupanya terperanjat oleh oleh perubahan topik mendadak ini, tapi Theo melanjutkan tanpa ambil pusing.

“Si goblok ini selalu menunjukkan senyum ceria di wajahnya, dan dia mantan prajurit, jadinya dia cukup kuat …. Ditambah lagi dia seorang Alba.”

Theo dapat merasakan napas Lena tercekat di sisi lain Resonansi.

“Orangnya aneh bener. Walaupun selamat dari pertempuran defensif pertama awal-awal perang, dia pikir itu berantakan karena hanya 86 yang bertarung, lantas dia kembali ke garis depan sendirian. Kami tidak dapat bilang apa-apa kepada wajahnya, tetapi seluruh regu menyumpah habis-habisan di belakangnya. Kami semua membenci keberaniannya. Maksudku, bagaimana tidak? Dia memanggil dirinya Prosesor seperti kami, tapi kapten memilih tinggal. Kami tidak pernah mendapat pilihan. Dan tentu, dia datang ke sini, namun kapan pun dia lelah, dia bisa saja melupakan semuanya dan kembali hidup di dalam dinding. Setiap kali bertingkah seakan-akan dia bagian dari kami, itu membuatku kesal. Kami bertaruh tatkala dipikir-pikir dia sudah lelah akan permainan ibanya dan kemungkinan besar akan kembali ke rumah.”

“….”

“Tapi nyatanya, kami salah. Kapten tidak pernah pulang sampai akhir. Dia tidak pernah kembali, kemudian dia mati. Dia tinggal dan mempertahankan Prosesor-Prosesor lain sampai terbunuh.”

Theo-lah orang yang mendengar kata-kata terakhirnya. Dia yang paling dekat dengan sang kapten ketika menyuruh semua orang lain untuk mundur, dan kapten mengirim Theo transmisi radio yang mengatakan bahwa dia boleh menutup teleponnya apabila mau, akan tetapi dia punya sesuatu yang ingin Theo dengar.

Aku tahu kalian membenciku. Wajar—tentu kalian membenciku. Oleh sebab itu aku tidak bilang apa-apa. Kalian sangatlah berhak membenciku. Karena aku datang ke sini bukan untuk membantu kalian, bukan pula menyelamatkan kalian. Aku hanya … tahu takkan sanggup memaafkan diriku andai membiarkan kalian bertarung sendirian. Itu menakutkan. Aku cuma datang ke medan perang demi kepentinganku sendiri. Lantas wajar saja kalian tidak memaafkanku. Tolong. Jangan maafkan aku.”

Selanjutnya saluran transmisi tiba-tiba penuh suara, dan terputus. Kala itulah Theo tersadar kaptennya memilih mengirim transmisi radio alih-alih Beresonansi dikarenakan dia tahu apa yang akan datang. Dia kembali ke medan perang ini mengemban tekad pejuang, bersedia dan siap untuk tak pernah kembali.

Theo menyesal tidak berbicara dengannya lagi dan masih membawa penyesalan itu hingga hari ini.

“Aku tidak bilang kau sama dengan kapten. Namun selama kau seorang Alba dan duduk di sisi lain dinding, kita takkan pernah setara, dan kami takkan pernah menganggapmu sebagai bagian dari kami.”

Setelah mengutarakan bagiannya, Theo sekali lagi meregangkan punggung. Semua orang tahu cerita ini, dan dia berkali-kali menceritakannya dan merenungkannya sampai-sampai itu tak menyakitinya lagi.

“Nah, jadi waktu cerita bodohnya habis … ngomong-ngomong aku Theoto Rikka. Kau boleh memanggilku Theo atau Rikka atau bocah babi kecil manis atau nama bego apa pun semaumu.”

“Tidak ada yang bego dari namamu … maaf. Atas segala perbuatanku sampai kemarin. Sungguh.”

“Lupakan itu, dasar tidak seru.”

“Jadi orang baik yang dibicarakan Kaie … adalah Kapten itu, kan?”

“Bukan cuma dia. Semua orang di sini punya seseorang yang berjuang sekeras-kerasnya.”

Mereka bertempur melawan dunia palsu yang diciptakan saudara-saudara mereka ini.

“….”

Raiden yang selanjutnya berbicara.

“Aku wakil kapten. Namaku Raiden Shuga … aku mesti meminta maaf dulu. Sesaat kau memulai Resonansi setiap malam, kami menghinamu dan mengira kau ini munafik sok menggurui, idiot gampang ditipu yang bahkan tak sadar sebabi apa dia. Jadi aku meminta maaf dari itu. Tapi lebih pentingnya ….”

Mata besinya menyipit.

“… sesuai perkataan Theo, kami tak menganggapmu sederajat atau rekanan. Kau ini orang tolol yang menyemburkan layanan bibir sambil berjalan di sekitar kami, dan kami tak pernah menganggapmu berbeda. Andaikan kau oke-oke saja dengan itu, kami berkenan menghabiskan waktu berbicara denganmu. Bukannya aku rekomendasikan. Kau tidak cocok menjadi Handler …. Sebaiknya berhenti.”

“Sekiranya kau bersedia menghabiskan waktu denganku, aku akan tetap Beresonansi.”

Raiden nyengir-nyengir. Wajah maskulin macam serigalanya memperlihatkan siluet ramah.

“Kau idiot tulen bukan main, tahu ….? Oh, dan kirim petanya. Kau sibuk menangis kemarin sampai lupa mengirimnya.”

Lena kali ini tertawa.

“Tahu-tahu nanti kau akan mendapatkannya.”

Selagi Shin setengah mendengarkan perbincangan itu, pikirannya mengembara ke pembicaraan bersama Lena kemarin.

Shourei Nouzen. Nama yang belum pernah dia dengar lama sekali dan yang tak pernah dikiranya akan dengar lagi. Dia bahkan hampir melupakan nama itu. Ya, benar. Itulah namanya. Sampai akhir pun, Shin tidak pernah memanggil namanya. Sekali pun. Tanpa disadari, Shin melingkari syal di lehernya.

Kakak.

Catatan Kaki:

  1. Regu adalah satuan militer terkecil dalam Batalyon Infanteri yang terdiri minimal 20 personel. Komandan Regu (Danru) dalam batalion infanteri, biasanya berpangkat Sersan Dua atau Kopral Kepala senior yang berpengalaman.
  2. Randa tapak atau dandelion (Taraxacum) adalah genus besar dalam keluarga Asteraceae. Nama Randa Tapak sendiri biasa digunakan untuk merujuk kepada sebuah tumbuhan yang memiliki “bunga” yang memiliki “bunga-bunga” kecil yang terbang ditiup angin.
  3. Kirschblüte adalah nama lain dari Pohon Sakura, deskripsi tentang pohon sakura sudah ada di bab sebelumnya.
  4. Lebar pita atau bandwith adalah luas atau lebar cakupan frekuensi yang digunakan oleh sinyal dalam medium transmisi. … Bandwidth dalam ilmu komputer adalah suatu penghitungan konsumsi data yang tersedia pada suatu telekomunikasi. Dihitung dalam satuan bits per seconds (bit per detik).
  5. Pengawas utama dalam tim.
  6. Zona larangan terbang atau zona yang dilarang untuk melakukan penerbangan (bahasa Inggris: No-fly zone, sering disingkat NFZ) adalah sebuah wilayah di mana pesawat tidak diizinkan untuk terbang. Istilah ini biasanya terdapat dalam konteks militer, bisa dikatakan sebagai zona demiliterisasi di udara, dalam zona ini melarang pesawat militer sebuah bangsa yang sedang berperang untuk melakukan penerbangan di zona yang ditetapkan sebagai zona larangan terbang. Contohnya: Irak Utara pada tahun 1992-2003.
Share this post on:
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments