Share this post on:

Ketenangan

di Front Kerangka

Penerjemah: DarkSouls

SERATUS DUA PULUH SEMBILAN HARI LAGI SAMPAI TUGASKU BERAKHIR!

JAYALAH SKUADRON SPEARHEAD!

Di belakang hangar barak yang dirusak alam, pesan hitung mundur ditulis dalam huruf besar dengan kapur berwarna yang dipungut seseorang pada papan tulis hitam. Mata terangkat dari papan klip di tangan, tatapan Shin disambut kalimat perayaan ini. 119 hari lagi, lebih tepatnya. Kujo mencatat pesan ini di hari dia bergabung ke skuadron dan memperbaharuinya setiap pagi.

Tapi Kujo meninggal sepuluh hari lalu.

Sekilas melirik pesan hitung mundur yang terputus, Shin akhirnya mengalihkan perhatiannya kembali ke laporan pemeliharaan di papan klip yang dipegangnya. Shin berjalan menyusuri hangar yang berjejerkan Juggernaut siap siaga, menuju unitnya sendiri yang baru selesai diservis.

Mata berdarahnya Pyrope dan rambut hitam legam Onyx. Kedua ciri-ciri itu berasal dari darah bangsawan, bercampur darah blasteran Aquila dan Rubela membedakannya dari 86 lain yang umumnya termasuk dalam kategori Colorata.

Ekspresi tenangnya tak cocok dengan usianya, perawakannya tampan dan terlihat dingin, fisik ramping dan pucatnya adalah karakteristik bangsawan lama Kekaisaran.

Kendatipun bertugas di front timur yang sebagian besarnya terdiri dari hutan, padang rumput, bagian-bagian rawa, dia mengenakan seragam kamuflase gurun bercorak pasir dan pasir abu-abu, dia mendapatkannya dari stok tak terjual di Republik. Tidak ada perwira yang menegurnya, jadi dia membiarkan kerahnya longgar, syal biru langit melilit lehernya.

  Suara-suara mesin dan teriakan kru montir saling berteriak satu sama lain menggema keras di pintu masuk hangar, bercampur sorak-sorai beberapa rekannya yang sedang bermain basket dua lawan dua di alun-alun depan hangar, juga petikan gemerincing gitar dari video kartun tua.

Rekan anggota regu, Kino, duduk di kokpit unitnya sendiri dengan kanopi terbuka sambil membaca majalah porno, melihat Shin lewan dia mengangkat tangannya sebagai salam.

Biarpun berada di garis depan, hari-hari tanpa serangan mendadak, personel pangkalan cenderung kebosanan. Biasanya, mereka diminta berpatroli di zona tempur setiap hari, tapi mereka tak pernah melakukannya, karena tidak diperlukan. Tapi tetap saja, di atas kertas dan menurut laporan yang mereka kirim ke Handler, mereka sekarang ini sudah berada di tengah-tengah patrol.

Beberapa orang yang merasa mau jalan-jalan, keluar ke reruntuhan kota-kota terdekat, memulung material-material. Semua orang melakukan tugas mereka (memasak, mencuci, membersihkan, atau merawat ladang dan ayam di belakang pangkalan) atau cuma menghabiskan waktu sesuka mereka.

Suara sepatu bot berat militer mendekat, suara raungan berisik yang mengguncang hangar bahkan sampai menghentikan tank.

“Shin! Shinei Nouzen! Kau mengacaukan semuanya lagi, ya, sial!”

Kino melompat keluar dari kokpit dan langsung menghilang bagaikan kecoak kaget sedangkan Shin dengan sabarnya menunggu pemilik suara menghampirinya.

“Apaan?”

“Jangan beraninya kau mengapakan aku, Undertaker! Bangsat!”

Orang yang mendatangi Shin layaknya anjing gila ini adalah anggota kru pemeliharaan berusia lima puluh tahun. Rambutnya berwarna abu-abu ubanan, dia mengenakan kacamata hitam dan pakaian kerja serba noda minyak. Dialah Lev Aldrecht, kapten divisi pemeliharaan skuadron Spearhead. Shin yang tahun ini berusia enam belas tahun, dianggap sebagai veteran di antara para prajurit medan perang, tetapi Aldrecht melampaui veteran dan sudah masuk wilayah senior, menjadi penyintas peperangan dan sudah bertugas dari sembilan tahun lalu.

“Kenapa kau kudu menghancurkan unitmu setiap kali datang serangan?! Akuator dan peredamnya rusak di mana-mana! Sudah kubilang unit suspensinya lemah, terus kenapa kau terus mendesaknya seperti itu?!”

“Maaf.”

“Kau pikir permintaan maafmu bakal memperbaikinya?! Aku tidak menyuruhmu buat minta maaf—aku menyuruhmu untuk mengubah caramu! Gaya bertarung sinting itu akan membunuhmu suatu hari nanti! Kita kehabisan suku cadang, lantas aku tidak dapat memperbaiki rig-mu sampai persediaan kembali terisi!”

“Suku cadangku?”

“Ah ya, suku cadangnya. Kita pasti punya suku cadang, bukan? Harus punya satu saat kapten terus menghancurkan rig-nya di mana-mana. Kau mendatangi kami untuk perbaikan tiga kali lipat lebih sering dari Prosesor-Prosesor lain. Pikirmu kau ini semacam pangeran?! Hah?!”

“Republik menghapuskan sistem kasta ketika revolusi tiga ratus tahun lalu.”

“Nak, aku sangat ingin menghajarmu sekarang …. Mengingat betapa cepatnya kau menghancurkan unitmu, kecuali, kita dapat tiga rig, tidak mungkin kami bisa memperbaikinya. Saat kau hitung lama waktu sampai persediaan diisi kembali dibanding seberapa sering kalian menyerang, mana mungkin kami sanggup mengimbanginya! Kau mau aku melakukan apa, setulus mungkin berdoa agar rig-nya tidak rusak? Atau mungkin berdoa sama peri-peri kepingan besi untuk mengumpulkan potongan-potongannya, hah?!”

“Bukannya Fido mengambil unit Kujo?”

Aldrecht terdiam ketika mendengar fakta dari Shin.

“Itu, ya, aku bisa mengambil bagian yang dibutuhkan dari rig Kujo … tapi lebih baik tidak kanibal sama unit lain. Maksudku, kau tidak keberatan? Aku akan memasukkan suku cadang unit milik orang mati ke dalam rig-mu.”

Shin memiringkan kepala dan mengetuk zirah Juggernaut-nya—Undertaker—dengan punggung tangannya. Di bawah kanopi terdapat Tanda Pribadinya, kerangka berkepala buntung membawa sekop.

Aldrecht tersenyum pahit.

“Ya, sudah terlambat untuk itu, kurasa …. Benar ‘kan, Undertaker?”

Mengangguk termenung, montir tua memandang ladang musim semi yang menghampar luas di luar jendela terbuka. Langit tanpa awan membentang di atas kepala, warna birunya seakan-akan hendak memakan segala dan semuanya. Ladang-ladang bunga jagung biru serta dedaunan baru tanaman hijau menyelimuti dataran dengan mosaik yang sangat indah. Fungsinya adalah sebagai penanda kuburan bagi kerangka jutaan 86 yang mati dalam medan perang.

86 tidak dimakamkan di kuburan. Tidak mungkin ada kuburan jika korban jiwa tidak ada. Bahkan mengumpulkan jenazah mereka pun dilarang. Babi menyamar sebagai manusia tidak diberikan hak untuk beristrirahat dengan tenang dan damai, atau bahkan hak tuk meratapi kawan gugur mereka. Inilah dunia yang dibuat ibu pertiwi fasadkan sembilan tahun lalu, fasad yang masih mereka pertahankan sampai sekarang.

“Kudengar Kujo hancur sampai berkeping-keping.

“Ya.”

Ranjau yang bergerak otomatis—senjata anti-personel yang isinya badan-badan pesawat penuh bahan peledak, anggota badan berbentuk batang dan kepala bulat, tak bisa dideteksi dari jauh oleh mata telanjang. Salah satunya menempel ke Kujo yang mengira dia adalah prajurit terluka. Pertempuran malam hari, misi untuk menyelamatkan unit lain.

“Bagus. Berarti dia meninggal.”

“Mungkin.”

Shin tidak meyakini adanya surga atau neraka, tetapi suatu tempat yang bukan di sini. Tempat kembalinya mereka. Aldrecht tertawa.

“Kujo beruntung sampai akhir dia satu unit denganmu …. Dan begitu pula mereka.”

Mereka dapat mendengar suara sorak-sorai gembira di luar sewaktu bola menderak jaring robek-robek. Paduan suara gitar yang tak di-stem menggema sampai ke ladang di belakang barak. Aldrecht tahu pemandangan ini tidak dapat ditemukan di skuadron lain.

Serangan demi serangan. Patroli harian untuk mengantisipasi serangan Legion. Ketegangan dan rasa takut perlahan-lahan meredam saraf Prosesor mereka tatkala kehilangan lebih banyak komrad di setiap pertempuran. Dalam situasi seekstrim itu, hidup tuk melihat pagi esok adalah hal terbaik yang bisa dilakukan orang, mereka bahkan tak sempat memikirkan hiburan atau gaya hidup manusia biasa. Tetapi skuadron ini tidak demikian. Kendatipun, mereka perlu melakukan serangan, mereka tak perlu mengkhawatirkan serangan mendadak.

“… berkat dirimu mereka bisa hidup seperti ini, Shin.”

“Tetapi aku masih memberikan kalian tiga kali lipat jumlah pekerjaan perbaikan dibanding Prosesor normal.”

Aldrecht cekikikan. Shin balas menatap sepasang pupil berkacamata hitam yang menatapnya dan mengangkat bahu.

“Aku bersumpah, dasar bocah brengsek …. Pikirku akhirnya berhasil membuatmu bercanda, dan itu candaanmu.”

“Aku sungguh-sungguh menyesal, bahkan aku pun tidak bisa tobat setelah minta maaf.”

“Dasar idiot. Memastikan kalian anak-anak balik hidup-hidup adalah pekerjaan tim pemeliharaan. Selama kami mewujudkannya, kami tak menghiraukan sedikit pun keadaan unit, dan kami akan melakukan segala cara untuk memperbaikinya sampai berfungsi kembali.”

Mengatakannya sekali bicara, Aldrecht beralih dan melihat arah lain. Dia kelihatan malu.

“Oh, benar. Aku dengar Handler baru berubah lagi. Bagaimana Handler yang baru?”

Terjadi jeda waktu.

“… yea.”

“Woi goblok, apa maksud yeamu?”

Shin teramat sering mengganti Handler sampai-sampai membedakannya sulit, dan Prosesor semestinya tidak mengetahui keberadaan Handler mereka sejak awal. Sebesar itulah mereka mengabaikan pekerjaannya. Cukup Eintagsfliege dikerahkan, radar dan transmisi data berhenti berfungsi, lantas mustahil mempertahankan komando dari pangkalan jauh. Karena itulah Prosesor tidak mengandalkan Handler dan tidak terlalu ambil pusing mereka ada atau tidak.

Pada akhirnya, pekerjaan Handler berubah jadi memantau Prosesor. Berkat kalung leher Para-RAID, entah di mana pun dan kapan pun, mereka selalu tahu setiap kata dari mulut Prosesor. Satu-satunya pekerjaan jelas dari Handler adalah sebagai penekan tuk mencegah niat memberontak 86.

Shin membuka mulutnya untuk berbicara, mengingat beberapa perbincangan yang dilakukannya dengan dia minggu ini. Hal pertama yang terlintas dalam kepalanya adalah ….

“Dokumenku bertambah. Aku rasa harus mulai memalsukan laporan patroliku setiap hari mulai dari sekarang.”

“… mungkin kau satu-satunya orang yang paling berani mengirim laporan serupa yang kau palsukan lima tahun lalu tanpa putus cuma karena mereka tidak betul-betul membacanya, Shin.”

Dia bahkan tak repot-repot mengubah tanggal atau lokasi, dan karena dia tak berpatroli sejak saat itu, isinya omong kosong acak. Shin jujur saja kaget tidak seorang pun selama ini menyadarinya.

‘Sepertinya kau tidak sengaja mengirimkan berkas yang salah ….’

Seketika suara lembutnya yang bagaikan perak jernih menunjukkannya, Shin mendesau sedikit. Dia tertawa tenang, berkata ‘Kadang-kadang bisa saja ceroboh’ dengan nada penuh ramah dan niat tulus baik hati.

“Dia Beresonansi di hari dirinya ditunjuk dan bilang ingin terus berbicara, jadi dia akan bersinkronisasi dengan kita setiap hari. Tak biasanya prajurit Republik begitu.”

“Jadi dia orang yang bertanggung jawab, ya? Pasti sulit hidup seperti itu. Kasihan banget.”

Shin sangat setuju, itulah sebabnya dia tidak membalas apa-apa. Keadilan dan idealisme tak ada artinya di dunia ini, tidak peduli seberusaha apa kau mewujudkannya—

“… hmm.”

Shin mendadak memalingkan pandangannya ke kejauhan, melewati ladang musim semi, seakan-akan baru saja mendengar sesuatu memanggilnya.

Tadaa! Inilah maksud mereka soal babi terkutuk yang tinggal di luar Gran Mule!

“Itu tidak baik, Haruto.”

Mereka berada di dapur barak. Theo yang hobinya menggambar, mematikan lelucon rekan setimnya sembari terus mengawasi panci selai beri mendidih sambil menorehkan sesuatu ke buku sketsanya. Dia punya rambut emas giok dan mata zamrud, serta biarpun tahun ini enam belas tahun, tubuhnya kecil dan kurus. Setelah menjatuhkan bangkai babi hutan besar di pintu samping kebun belakang, Haruto yang seorang Rubis menurunkan tangan setelah melebarkan tangan bercanda, lalu menggaruk kepalanya. Dia baru pulang dari perburuannya di hutan terdekat, sekalipun hari ini bukan gilirannya.

“Ya, bagian akhirnya kau tidak paham. Kau harusnya barusan ketawa.”

“Terus terang saja, malah membuatku mual. Tapi tetap saja, kau harus kutegur ….”

Mengesampingkan buku sketsanya, Theo melihat mainan yang dibawa Haruto. Dia mungkin akan mengangkutnya dengan Juggernaut-nya, tapi membawa babi hutan sangat besar ini sendirian barangkali masih perlu banyak usaha.

“Mantap. Tangkapanmu gila juga.”

Haruto tertawa senang, puas oleh pujiannya.

“Iya, kan?! Malam ini kita bakal pesta barbekyu! Mana Raiden? Anju juga. Harus menukar tugas memasak hari ini.

“Ya, dari semua orang, Shin hari ini sedang bertugas. Raiden di kota, sedang mengumpulkan material-material, dan Anju dapat tugas penatu hari ini. Gadis-gadis lain ikut dengannya.”

Tatapan Haruto mendadak menuju Theo.

“Bentar. Itu dari kapan?”

“Kupikir setelah makan pagi?”

“Sekarang sudah hampir siang.”

“Benar.”

“….”

Meskipun mereka mesti menghabiskan seharian buat mencuci pakaian satu markas, tidak sampai enam orang sepanjang pagi menyelesaikan semuanya. Tempat pinatunya ada di tepi sungai. Ditambah lagi, hari ini adalah hari musim semi panas nan cerah. Haruto tiba-tiba girang.

“Artinya mereka mandi! Tepi sungai adalah surganya bumi sekarang, tahu?!”

“Barangkali harus aku kasih tahu ini sebelum mereka sungguhan mengirimmu ke surga, mereka semua bersenjata!”

Haruto menegang di tempat. Theo mendesau sambil mengaduk panik dengan sendok bambu. Melihat panci tersebut akhirnya mendidih, dia memadamkan apinya. Saat dia letakkan tutupnya, dia merasa Para-RADI aktif. Saat dia pertama kali bergabung, Perangkat RAID telah ditanamkan ke bagian belakang lehernya, juga penanda data berbentuk manset telinga yang mencantumkan target-target lain yang bisa dia Resonansikan. Kemudian datang ilusi gelombang panas yang menandakan aktivasi kedua perangkat tersebut. Theo menekan jarinya ke manset telinganya lalu menyalakan tarnsmisi sinyal.

“Aktif. Ah.”

Mata Theo mendingin kala menyadari orang yang baru saja menghubunginya. Dia bertukar pandang sama Haruto yang senyumnya menghilang tatkala dia menekan manset telinganya sendiri, lanjut berbicara pada orang yang Diresonansikan.

“Shin … ada apa?”

Skuadron mencucui pakaian mereka di tepi sungai yang selalu dipenuhi air walaupun luasnya kecil. Di tepian sungai itulah anggota-anggota wanita skuadron tengah bermain, bersenda gurau dan menyiprat air satu sama lain.

“Kau lagi apa, Kaie? Jangan cuma berdiri doang—ayo nyemplung!”

Melihat temannya berkeliaran agak jauh dan gelisah, Kurena berhenti bermain kejar-kejaran dan memanggilnya. Dia punya rambut pendek warna kastanye Agate dan mata Topaz bagaikan kucing. Dia melepas bagian atas seragam lapangannya dan diikat ke pinggang, memperlihatkan kutang atasnya yang tidak rapi—juga tubuh bagian bawahnya yang memiring—menghadap matahari, tapi karena semua orang mengenakan pakaian serupa, dia tak merasa malu.

“E-enggak, aku cuma … kau tahu, aku cuma mengira pakaian ini agak memalukan ….”

 Terlepas dari tingkah kekanakannya, Kaie seorang Orienta berambut dan bermata hitam mungil tidak salah lagi masih gadis. Dia tampaknya sangat terganggu oleh kutang atas basah yang menempel di kulitnya, wajahnya merona. Kuncir kudanya cukup panjang sampai-sampai bisa pas mengisi helm belakang kesatria, menyentuh rambutnya yang terjalin di sepanjang leher hingga belahan dada. Memang merupakan pemandangan yang agak memikat.

“Maksudku …. Apa beneran tidak apa …? Mainan air tanpa manggil yang lain—achu!”

Anju yang sedari tadi membilas rambut biru keperakannya, meraup air dengan kedua tangannya dan disiramkan ke Kaie. Dia belum melepas seragamnya, tapi sudah membuka risletingnya sampai ke bawah pusar. Menunjukkan sikap sopannya. Sesuai warna rambutnya, dia berdarah Adularia tulen, tetapi mata biru pucat Celesta diwariskan dari nenek buyutnya. Hal demikian saja sudah menandainya sebagai 86 oleh Republik yang terlampau mengutamakan kemurnian darah.

“Santai, Kaie. Tidak apa, kita sudah selesai cuci pakaian.” gadis-gadis lain pun ikut bergabung.

“Maksudku, Shin tahu tentang ini saat dia membolehkan kita datang ke sini, kan?”

“Jelas. Dia bilang hari ini bakal lebih panas dari biasanya, kemudian dia tersenyum sedikit, dia normalnya tidak begitu.”

“Baru saat-saat inilah kapten berwajah dingin kita bisa sangat keren.”

Lalu dia cepat-cepat mengalihkan pandangan ke Kurena dan tersenyum maaf.

“Ah, maaf karena tidak menyadarinya, Kurena …. Kau dan Shin tidak punya tugas sekarang, jadi kami harusnya mikirin semacam alasan agar kalian berdua sendirian.”

“M-m-m-maksudmu apa?! B-bukan kek gitu!”

“Aku tidak paham kenapa kau tertarik padanya. Kau takkan pernah tahu isi kepalanya.”

“Sudah kubilang, aku tidak tertarik apa-apa. Bukan seperti itu!” “’Omong-omong, Kaie, menurutmu dia bagaimana?”

“Siapa, Shin? Dia imut banget. Aku betul-betul menyukai diam dan sabarnya.”

“A-a-apaan—? Kaie?!”

Kaie mesti menahan tawa melihat wajah panik Kurena. Dia terlalu blak-blakan.

“Oke, oke, aku mengerti. Jika kalian tidak ada yang mengincarnya, mungkin aku bisa melapahnya malam ini. Itu tradisi ketimuran, tahu …. Seorang gadis menyelinap ke kamar seorang pria ketika tengah malam dan ….”

“K-Kaie?! Aku—aku, uh, jangan salah paham, aku tidak merasakan apa-apa pada Shin, tapi aku rasa itu bukan ide bagus! Kau harusnya tetap mengikuti itu, uh, kau tahulah, etiket yamato nadeshiko dan semacamnya! Jadi maksudku, kau mengerti, kan …?”

Para gadis menyeringai, melihat Kurena seketika semakin bingung.

‘Kurena, imut banget!’

Tersadar dia telah dipancing, Kurena berteriak frustasi.

“Dasar perundung!”

“Ah, Kurena cemberut!”

  Semak belukar di sekitar mereka berdesir, mendadak rekan setim mereka, Daiya, muncul dari sana. Daiya punya rambut pirang dan mata biru, ciri khas Sapphira.

Kebetulan, dia seorang laki-laki.

‘Kyaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!’

‘Gyaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!’

Dibombardir oleh senjata ultrasonik kuat yang memberkati semua wanita seketika mereka lahir dan setiap benda padat yang dapat dijangkau lengan, Daiya kabur ke balik semak belukar yang relatif lebih aman.

“Hei, apa-apaan?! Siapa yang melempar senjatanya kepadaku?! Itu senjata ada isinya! Kalian gila?!”

‘Kyaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!’

‘Gyaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!’

Terkena serangan langsung gelombang kedua pengeboman karpet1 para gadis, Daiya terdiam sepenuhnya. Gadis-gadis lain melirik Anju sambil memperbaiki pakaian mereka yang berantakan, kemudian Anju menghampiri Daiya.

“Jadi, kenapa kau datang ke sini, Daiya?”

“Tulang patahku akan sembuh kalau kau bertanya, Kau tidak apa-apa? Dengan suara imut sekarang, Anju.”

“Aduh, kau tidak apa-apa, Daiya sayang.”

“Ya Allah, maaf. Maafkan aku. Aku takkan pernah memintanya lagi—tolong berhenti bicara monoton tanpa ekspresi begitu. Aku pengen nangis.”

Setelah meresleting pakaiannya sampai ujung atas, Kaie mendongak, memastikan gadis-gadis lain juga sudah membenarkan pakaian mereka.

“Kau boleh keluar sekarang, Daiya. Apa yang terjadi?”

“Oh, iya. Masalahnya, aku mulai bekerja sebagai pengantar pesan hari ini.”

Rupanya dia punya pesan untuk mereka. Kurena cemberut, dia masih memeluk bagian atas seragamnya untuk menutupi badannya yang langsing.

“Kau bisa saja menggunakan Para-RAID. Kenapa repot-repot ke sini untuk mengatakannya?”

“Lagian, sinkronisasi sama sekelompok gadis yang bergosip bakal terasa canggung untuk semua orang, kan? Kalian tidak mau aku bersinkronisasi dan mendengar sesuatu kek, Hei gadis-gadis, aku cinta Shin! Kan?”

“A-a-a-a-a-a-ap-apa—?!”

Mendengar Daiya meniru nada imut memuakkan yang takkan pernah dia ucapkan, Kurena merona sampai telinga. Sementara itu, gadis-gadis lain (kecuali Kaie) mulai kasak-kusuk.

“Tidak setuju pula sama perbuatanmu, tapi penilaianmu kurang lebih akurat.”

“Maksudku, kami pikir itu lucu, tapi Kurena malang barangkali bakal mengubur hidup-hidup dirinya.”

“Itu yang akan terjadi, bukan begitu?”

“Bentar—aku paham. Harus nipu dia dan suruh mengatakannya selagi bersinkronisasi dengan Shin. Itu pasti akan jadi hiburan besar!”

“Reaksi Kurena adalah satu-satunya hal menarik dari itu. Shin bahkan takkan menggerakkan ototnya, sebab ada topeng besi pada wajahnya itu.”

“A—aku tidak pernah bilang begitu! Hentikanlah!”

‘Kurena, imut banget!!!’

“Waaaaaaaaaaahhhh, dasar perundung!!!”

Mendengar suara semua orang yang hadir (termasuk Daiya) yang menggodanya, Kurena berteriak putus asa.

Bahunya masih gemetaran sembari tertawa, Kaie menatap Daiya.

“Tidak, tapi, seriusan, apa pesannya?”

Raut wajah Daiya membatu saat dihadapkan pertanyaan itu.

“Ya. Pesannya dari Shin.”

Mendengar jawabannya, ekspresi para gadis langsung menegang.

Ω

Manusia memerlukan lebih dari sekadar kebutuhan sederhana untuk hidup.

Kata-kata itu diucapkan beberapa mesias pelindung ribuan tahun lalu, tetapi Raiden pikir barangkali ada sejumlah hikmat di dalamnya. Hidup membutuhkan hal-hal semacam permen atau kopi—atatauua bahkan hal kurang nyata semacam gim dan musik—tuk betul-betul merasa puas. Babi putih Republik yang melempar diri mereka ke neraka ini tak merasa perlu memberi ternak apa pun selain makanan seminimum mungkin supaya mereka tetap hidup. Bila kau memahami kalimat tersebut dan mencernanya dari perspektif lain, artinya, selain kualitas hidup, orang-orang takkan sanggup hidup tanpa makanan.

“Baiklah, Fido. Ada sedikit ujian untukmu.”

Mereka sering mengunjungi reruntuhan beberapa kota tanpa nama ketika mencari makanan yang diawetkan, sayuran terlalu subur, ternak yang telah lama kabur, komoditas liar atau terbengkali. Di sebuah alun-alun serba puing-puing, wakil kapten skuadron, Raiden, mengambil sekaleng ransum hasil sintesis yang mereka terima dari pabrik produksi pangkalan dan meletakkannya di atas beton sebelah sepotong roti yang diawetkan yang dia temukan di penyimpanan darurat balai kota.

Dia mengenakan seragam lapangan kusut pada anggota badannya yang berotot, dan rambut hitam kemerahannya yang merupakan bukti warisan Eisen murni, dipangkas pendek, sedangkan wajah dan sosoknya memiliki aspek liar nan tajam.

Dia sedang menghadap Scavenger familier. Drone kikuk yang menemani Juggernaut di medan perang untuk memasok energi serta amunisi pengganti punya tubuh persegi bersiku dan berlari dengan empat kaki. Fido teramat mencondongkan badan ke sensor optik berbasis lensa untuk mengamati objek di depannya.

“Mana sampah dan mana makanan?” “Pi.”

Fido segera mengulurkan tangan dereknya dan menyentil ransum sintetis. Melihat gumpalan putih berguling-guling menjauh. Raiden menggigit roti. ‘Bahkan drone pun tahu bola sintetis ini sampah. Apa yang dipikirkan para babi putih, coba menganggap ini makanan?’.

Kamp-kamp konsentrasi dan pangkalan-pangkalannya punya pabrik produksi serta pabrik otomatis, sehingga mereka dapat menghasilkan semua komoditas yang diperlukan secara mandiri. Penyesuaian tingkat produksi dan daya yang disediakan dari sisi lain lewat kabel bawah tanah.

Sistem pemberian makanan skala besar yang rumitnya tanpa faedah, berarti Republik tidak mengeluarkan biaya selama tak mengontak mereka yang dipanggil para babi. Makanan dan barang-barang yang diproduksi oleh pabrik betul-betul cukup tanpa cadangan, dan walaupun disebut makanan, entah kenapa jatah yang mereka dapatkan setiap harinya terlihat bagaikan bahan peledak plastik. Apalagi jelas rasanya macam sampah.

Lantas bila mereka ingin makan makanan layak, mereka harus menjelajahi reruntuhan tertinggal sembilan tahun lalu, seperti ini, demi makanan dan perbekalan. Syukurlah, skuadron ini tak susah-susah melakukan patrol, artinya mereka punya cukup waktu dan energi untuk berburu di reruntuhan-reruntuhan ini, dibantu Junggernaut yang menangani barang-barang berat.

“Baiklah, Fido, tujuan penyediaan hari ini adalah segala sesuatu yang tak seperti sampah itu. Kumpulkan sebanyak mungkin makanan yang kau temukan kemudian bawa pulang.”

Pi.”

 Fido dengan keras meniru Raiden yang bangkit dari jongkoknya, lalu mulai mengumpulkan barang berguna apa pun yang ditemukannya. Dari potongan-potongan puing-puing Juggernaut sampai sisa-sisa kerang bekas, dia mengambil apa saja yang bisa didaur ulang dan digunakan lagi lalu dimasukkan ke dalam wadah yang nantinya bakal diangkut kembali ke pangkalan. Salah satu petualangan yang mesti dilakukan para Scavenger.

Kebetulan, Scavenger bukan sebutan sejati mesin-mesin ini, melainkan julukan. Lagipula, mereka akan mengambil bagian-bagian dari Juggernaut-Juggernaut rusak—bahkan Scavenger-Scavenger lain yang gugur dalam pertempuran—kemudian menjalajahi medan perang demi kepingan barang kendati sedang tidak terjadi pertempuran. Tidak satu pun Prosesor menyebut mereka dengan nama resmi, memilih terang-terangan untuk memanggil mereka Scavenger—kanibal pemungut limbah. Keduanya sama-sama rekan-rekan terpercaya yang membuat orang-orang tak khawatir kehabisan peluru atau energi, dan di saat yang sama, burung bangkai mekanik yang dengan rakusnya melahap sisa-sisa saudara mereka yang gugur.

Fido adalah sebuah Scavenger yang telah mengikuti dan mematuhi Shin selama lima tahun. Nampaknya anggota salah satu unit lama Shin—salah satu dari dua orang yang selamat dari pertempuran sapu bersih, penyintas satunya adalah Shin. Shin rupanya menyeret Fido, satu-satunya mesin yang tidak sepenuhnya hancur, kembali ke pangkalan dan mereka sudah bersama sejak itu.

Tidak terpikirkan kalau mesin pengumpul limbah ini punya kapasitas merasakan hal rumit seperti rasa syukur, sekalipun memang punya kecenderungan untuk belajar mandiri. Tetapi Fido nyatanya menunjuk Shin sebagai target prioritas paling tinggi perkara pengisian kembali dan mengikutinya entah berapa kali Shin gonta-ganti unit, senantiasa menemaninya di setiap serangan mendadak terjadi. Satu-satunya Scavenger loyal, dibanding Scavenger lain yang tidak demikian dan kurang akomodatif.

Melihat nomor modelnya, Fido asalnya dari awal-awal perang, tatkala Scavenger baru saja diperkenalkan ke medan perang. Setelah beroperasi selama itu, Fido kemungkinan besar belajar lebih banyak ketimbang saudara-saudaranya. Melihatnya dengan setia mengekor seperti itu, Shin memutuskan manamainya Fido. Jenis nama yang mungkin diberikan pada seekor anjing, seperti Whitey atau Lucky …. Dia pasti punya semacam gangguan mental.

Pi.”

“Hmm?”

Raiden menoleh dan mendapati Fido yang mengikuti langkahnya mendadak berhenti. Menelusuri tatapan sensor optisnya, Raiden menemukan kerangka mayat yang remuk dan tanpa warna tengah beristrirahat di bawah pohon besar yang tumbuh di hamparan bunga dibayangi reruntuhan.

“… oh.”

Menyadari Scavenger itu memanggilnya, Raiden menghampiri mayat. Seragamnya remuk, dan senapan laras panjang di tangannya sudah memerah karena karat. Kalung Militer2 menggantung dari tulang selangkah tubuh itu memperjelas bahwa dia bukanlah 86. Mungkin seorang prajurit Angkatan Bersenjata Republik yang gugur sembilan tahun lalu.

Fido yang tinggal agak jauh di belakang Raiden lagi-lagi berbunyi. Bunyi tit-tit yang bertanya apakah mayatnya harus dibawa pulang. Pada waktu-waktu tanpa pertempuran, Shin mengajarkan Fido untuk memprioritaskan pengumpulan barang-barang milik orang mati dalam peperangan, karena para babi putih sengaja melarang pengambilan mayat mereka.

Raiden menggelengkan kepala.

“Nah, tidak apa-apa …. Orang ini sudah punya kuburan yang sangat bagus.”

Raiden tahu pohon ini. Pohon sakura3: pohon ceri yang bermekaran. Pohon itu biasa ditemui di sebelah timur benua, bunganya tumbuh subur selama musim semi. Pada awal-awal musim semi, seluruh pangkalan mengunjungi pohon sakura di jalan utama sesuai saran Kaie. Pemandangan kelopak-kelopak berkibaran dipantulkan cahaya bulan berwarna pucat di tengah malam sangatlah indah, membangkitkan citra alam baka.

Tidak ada gunanya mengubur prajurit di tanah gelap nan dingin padahal dia sudah punya bantal bunga sakura untuk melihat pohon sakura. Mungkin dia mayat Alba, tetapi masihlah sisa-sisa prajurit yang mati pada medan perang. Memperlakukannya layaknya babi tidaklah benar.

Setelah mengucapkan doa hening kepada jiwa-jiwa yang pergi, Raiden mengangkat kepala. Ilusi panas menggelitik di ujung telinganya.

“Kelompok pemburu, kalian dengar?”

“Theo? Ada apa?”

Suaranya jelas, seakan-akan berdiri tepat di sebelahnya. Resonansi ditujukan pada semua orang yang menjelajahi reruntuhan, tetapi Raiden menjawab mewakili kelompok.

“Perubahan perkiraan. Shower (Pemuncul) akan datang.”

Mata Raiden menyipit muram. Selagi melihat ke arah wilayah Legiun, bahkan mata tajamnya nyaris tak mampu melihat bayangan halus beberapa kilau perak yang mulai menyebar di langit. Segerombolan Legiun terbang, berwujud dan seukuran kupu-kupu yang menyerap dan membelokkan gelombang elektromagnetik serta sinar cahaya yang terlihat— Eintagsfliege. Mereka adalah landasan serangan Legiun, menyebar lalu melancarkan serangan pengacau dan mengganggu radar juga komunikasi, menutupi kekuatan penuh pasukan musuh.

“Kapan?”

“Sekitar dua jam dari sekarang. Sepertinya, pasukan yang paling dekat dengan kita berkumpul kembali bersama yang lainnya di belakang. Mereka barangkali sedang mengisi kembali perlengkapan. Mereka pasti menyerang kita seketika selesai melakukannya.”

Walaupun dekat, Legion masih tidak kelihatan, dan pada saat ini, radar manapun takkan sanggup mendeteksi pasukan musuh. Namun, Theo—lebih tepatnya, orang yang menyampaikan pesannya—menggambarkan situasi ibarat dia lihat dengan mata kepala sendiri.

“Diterima. Kami akan segera kembali—Chise, Kuroto. Kalian dengar itu, kan? Berkumpul kembali di pintu masuk rute dua belas.”

“Diterima.”

“Tidak ada Shepherd kali ini, jadi mereka mungkin akan menyerang paksa. Tentu saja tergantung rute mereka, tetapi misalkan kita menyergap mereka di dekat titik 304, kita semestinya bisa membersihkan mereka sekali serang.”

Bicara Theo seolah menampakkan senyum jelas. Raiden berjalan menuju unitnya yang menunggu tak jauh dari sana, memerintah-merintah seluruh pihak pemburu sepanjang waktu. Bibirnya pun melengkung hingga menjadi senyum ganas.

“Jadi cuma sekelompok Sheep (Domba). Ini mah terlalu gampang.”

Bukan berarti pertarungannya akan mudah, tetapi Sheep yang semata-mata mengikuti taktik sederhana akan jauh, jauh lebih mudah dikalahkan daripada pasukan yang dipimpin Shepherd (Penggembala). Tahu duluan tidak muncul musuh berbahaya begitu melegakan. Serius, deh, Reaper kami hebat—Tetapi sewaktu itulah pikrian Raiden terhenti. Bocah itu meringis.

Bagaimana perasaan Reaper bermata merah tentang ini, sungguhan, selagi berkeliaran di medan perang mencari-cari kepalanya yang hilang?

Kala Raiden dan sisa kelompok pemburu kembali ke pangkalan, tujuh belas unit lain sudah siap diluncurkan. Theo menunggu di depan unitnya sendiri dekat pintu masuk hanggar, menyambutnya mereka dengan senyum mirip kucing nakal.

“Kau telaaaattt, Raiden. Hampir kukira kau menginjak ranjau darat di perjalanan kemari.”

“Bacot—aku tidak terlambat. Jangan bercanda soal ranjau. Masih terlalu dini.” “Ah …. Maaf.”

Kujo diledakkan ranjau yang bergerak. Dalam dua bulan sesudah skuadron ini dibentuk, dia adalah korban ketiga. Tingkat kematian Prosesor teramat tinggi. Seratus ribu mendaftar setiap tahunnya, tetapi dalam kurun waktu etahun, kurang dari seribu yang tersisa.

Mereka masih lebih baik dari orang tua mereka yang mesti terjun terlebih dahulu dalam peperangan. Dahulu saat-saat satu-satunya strategi adalah menyerbu Legion dengan peluncur roket kuno atau bahan peledak dalam genggaman, setiap skuadron kehilangan setengah pasukannya dalam sehari. Dibandingkan waktu itu, kerugian skuadron ini tidak amat ketara, tetapi mereka masih berada di lini depan. Tidak satu pun pertempuran tanpa kerugian. Kematian merupakan satu-satunya hal yang datang secara mertara—dan mendadak—kepada semua orang.

“Kita semua sudah di sini, kan? Perhatian.”

Dipanggil oleh suara tenang namun mengejutkan, semua orang menegakkan punggung mereka. Tak disadari, hening dan serius sebagaimana bulan tengah malam, Shin berdiri di depan peta distrik pertama. Menulis catatan penting ke peta operasi pada berkas transparan. Wajahnya pucat seperti biasa, dan dia mengenakan pakaian kamuflase ikonik dan tanda pangkat di pundak yang menandainya sebagai kapten. Syal biru yang dia kenakan bahkan sekarang ini adalah satu-satunya pemicu nama alias buruknya, seolah-olah sang Reaper mencoba menutupi bekas letak kepalanya ….

“Aku akan menjelaskan situasi.”

Wajah-wajah semua orang yang hadir tercermin pada mata merah dingin kapten regu tersebut, dia yang menyandang nama Reaper.

Menyelesaikan arahan singkat namun jelasnya bukan main—yang merinci segala sesuatu mulai dari jumlah musuh, rute-rute mereka, hingga taktik yang harus mereka gunakan—Semua Prosesor menaiki Juggernaut mereka. Mereka semua adalah prajurit anak-anak muda pertengahan hingga akhir remaja, masa-masa muda masih terlihat jelas pada sosok dan fisik mereka.

Memasukkan beberapa bagian terakhir yang mereka perlukan ke kanopi, 21 sistem senjata lapis baja terbangun dari tidur singkat mereka: Senjata Lapis Baja Berkaki Empat Otomatis Tanpa Awak, Juggernaut M1A4. Empat kaki panjang bersendi. Batang tubuh kecil mirip organik bagaikan kepompong, zirah warna coklat keputihan layaknya warna tulang tua. Juggernaut itu dilengkapi tangan penggenggam tambahan, senapan mesin berat, satu set kawat jangkar dan senapan tangan laras halus4 57 mm.

Sosok keseluruhannya menyerupai laba-laba yang berkeliaran, tetapi dua lengan penggenggam dan baterai utama bermereknya mengingatkan dia akan ekor kalajengking dan capitnya. Rekan 86 terdekat, sekaligus tempat peristrirahatan terakhir mereka.

Memilih bayangan gereja yang goyah di reruntuhan kota sebagai tempat persembunyiannya dari sergapan musuh, Shin membuka mata dalam kokpit Juggernaut sempitnya. Mereka menetapkan jalan utama sebagai zona tempur dan mengarahkan seluruh unit peleton sedemikian rupa agar barisan mereka tak berpotongan.

Peleton pertama Shin dan peleton keempat Kaie masing-masing berfungsi sebagai garda depan dan penahan serangan, tersebar di sepanjang sisi kiri dan kanan jalan utama. Peleton kelima Daiya menangani amunisi peledak kemudian peleton keenam Kurena sebagai penembak jitu, menghalangi tepi jalan dengan Juggernaut mereka.

Bahkan tanpa melihat layar optik, Shin dapat merasakan jumlah dan formasi musuh. Kokpit Juggernaut mirip jet tempur, banyak sakelar dan layar LCD juga dua stik kendali di kiri-kanan. Perbedaan terbesarnya adalah alih-alih kaca anti-peluru, kokpit Juggernaut dikelilingi kanopi lapis baja, sehingga pilo tidak bisa melihat ke luar unit. Sebagai gantinya, kokpit dilengkapi tiga layar dan jendela holo yang menyediakan semua jenis data, sayangnya itu pun tidak menghapus suasana gelap dan klaustrofobik.

Unit musuh menggunakan formasi berlian5 berbentuk buku teks, sesuai dugaan mereka—formasi ofensif khas, dengan kelompok pengintai berada di belakang sedangkan empat pihak lainnya membentuk sebuah simpul. Biarpun Legiun mengalahkan jumlah mereka dan punya performa lebih unggul, taktik mereka sederhana dan mudah diprediksi.

Kalah superioritas akibat manuver strategis adalah konsep mendasar … tetapi logika tersebut tidak mudah berefek pada musuh ini. Mereka adalah musuh berjumlah sebagaimana nama Legion. Namun, masalah semacam ini normal bagi Prosesor. Situasi seperti ini, di mana pasukan kecil harus mengalahkan peluang dan mengalahkan pasukan yang jauh lebih besar, situasi yang dianggap gegabah juga sia-sia sedari awal, adalah jenis pertempuran yang biasa dihadapi 86.

—lalu Dia bertanya, Siapa namamu?6

Mendengar gumam Shin melalui Para-RAID yang menangkap suara selirih apa pun, Raiden duduk di kokpitnya, setelah melempar kaki ke atas konsol sebelumnya. Sebab dia bersembunyi di puing-puing, layar utamanya diwarnai beton abu-abu, lalu layar radarnya diatur pasif. Karena bukan bahasa asalnya, bahasa Republik, dia tidak paham perkataan Shin. Dicit ei Legio nomen mihi—

Hanya itulah yang sanggup dia dengar.

Theo bicara dengan nada jengkel.

“Shin apa kau barusan mengutip Alkitab? Itu menyeramkan, bung. Barusan juga, kek kutipan terburuk yang bisa diambil.”

“Dia ngomong apa?”

“Mesias, seperti, menanyakan nama setan atau iblis, kemudian jawabannya adalah Akulah Legion, sebab kami banyak.”

Raiden terdiam. Pasti hal yang salah dalam situasi ini.”

Saat itulah orang lain bersinkronisasi ke Para-RAID.

“Handler One kepada semua unit. Maaf terlambat—aku tertunda.”

Suara indah bagai deringan bel perak mencapai telinganya melalui Resonansi Sensor. Handler baru yang ditugaskan kepada mereka setelah yang lama berhenti karena takut pada Reaper. Dari suaranya, ia adalah seorang gadis seumurannya.

“Pasukan musuh mendekat. Kita harus mencegat mereka di titik 208—”

“Undertaker kepada Handler One. Kami sudah memastikan posisi musuh. Kami sudah menempati titik 204.”

Shin dengan jelas menanggapinya, kemudian Raiden bisa mendengar tegukan di sisi lain Resonansi.

“Cepatnya …. Kerja bagus, Undertaker.”

Handler itu betul-betul terkesan dengan Shin, tetapi Raiden tidak terkejut. Shin dan seluruh Prosesor skuadron ini punya Nama Pribadi. Nama Pribadi adalah semacam gelar yang diberikan kepada para veteran. Kebanyakan Prosesor menggunakan tanda panggilan yang merupakan kombinasi dari nama peleton mereka serta nomor operasi. Hanya veteran yang bertahan selama satu tahun melewati horor medan perang dan menaklukkan tingkat keselamatan 0,01 persen, menerima gelar tersebut.

Mereka adalah orang-orang yang memiliki bakat dan karakter yang tak dimiliki Sebagian besar Prosesor, dan paling pentingnya lagi, mereka punya keberuntungan besar yang menyelamatkan hidup mereka serta memperbaiki kualitas-kualitasnya. Monster yang diberkahi iblis atau Reaper. Tipe orang yang takkan pernah mati atau bahkan tidak bisa mati. Mereka yang kembali dari pintu kematian berkali-kali, melampaui peluang mustahil dengan emosi nihil, hanya melirik sekilas rekan-rekan mereka yang gugur.

Nama Pribadi melambangkan penghormatan dan kekaguman Prosesor lain yang dirasakan para veteran ini. Rasa hormat minimal yang dapat mereka berikan kepada para pahlawan di puncak yang tak mampu digapai orang lain—sekaligus takjub kepada para iblis perang yang sanggup berperang sembari melangkahi sisa-sisa rekan dan musuh mereka. Seluruh skuadron Spearhead adalah Pengemban Nama dengan pengalaman tempur empat sampai enam tahun, menjadikan mereka orang paling berpengalaman dari orang berpengalamannya semua Prosesor. Mereka akan baik-baik saja, bahkan tanpa putri kecil yang memerintah mereka dari istananya.

Tetapi di saat yang sama, Raiden sedikit terkesan. Titik 208 adalah tempat optimal untuk berposisi jika terdeteksi Legion. Dia menentukan poin itu walaupun ditunjuk memimpin skuadron mereka baru selama seminggu. Nampaknya wanita ini punya kelebihan lain selain sifat baiknya.

Alarm peringatan menyala. Sensor osilasi kaki mereka mendeteksi sesuatu. Jendela holo diperbesar muncul. Di depan terdapat lereng sedikit miring di ujung jalan utama yang memanjang dari samping reruntuhan. Siluet-siluet hitam tiba-tiba ditutupi sinar matahari yang memancar menurun dari puncak lereng, lalu saat berikutnya, penglihatan mereka serba warna baja.

Mereka di sini.

Layar radar mereka mendadak penuh bintik merah yang menunjukkan unit musuh. Sepasukan iblis mekanik berbaris mendatangi mereka, mengancam hendak mewarnai reruntuhan abu-abu dengan warna bajanya. Barisan Legion teratur, menyisakan jarak lima puluh sampai seratus meter di antara satu sama lain. Unit paling ringan, unit Ameise tipe Pengintai, bergerak tanpa suara yang mengkhianati bobot lebih dari sepuluh tonnya, suara gerakan mereka tumpang tindih, laksana tulang yang saling bergesekan, menyatu menjadi sesuatu seperti gemerisik dedaunan.

Pemandangan itu memukau batiniah.

Sensor kompleks di bagian bawah batang tubuh mereka dan senapan mesin anti-personel 7,566 mm di bahu bergerak ke sana-kemari dalam laju barisnya, tiga pasang kaki berlari. Ameise punya wujud bersiku-siku ibarat ikan karnivora.

Membawa-bawa peluncur roket anti-tank 57 mm di punggung, cahaya yang memantulkan pisau frekuensi tinggi yang menonjol di kaki depannya, Grauwolf tipe Dragoon berpenampilan hiu ganas berkaki enam.

Berangka tank lima puluh ton yang diangkut delapan kaki bersendi, Löwe tipe Tank maju dengan bangga, turet laras halus opresif 120 mm menatap ke depan.

Tipe Pengganggu Elektronik— Eintagsfliege yang dikerahkan di langit—membuat bayangan panjang di atas medan perang sesaat awan-awan mereka menutupi matahari. Mereka menghujani tanah dengan partikel-partikel mirip sisik keperakan yang menyerupai salju bubuk yang meregenerasi mesin mikro yang berperan sebagai sumber kehidupan Legion sekaligus sistem saraf mereka.

Peleton Ameise memasuki zona tembak. Mendekati peleton pertama yang siap menyergap dan tanpa disadari telah melewati mereka. Dipimpin barisan depan, sisa unit melewatinya satu persatu, hingga akhirnya Löwe, yang berdiri di belakang, telah memasuki zona pengepungan—

Dari penanda itu. Legion telah dikepung.

“Tembak.”

Sesuai perintah Shin, semua unit mengarahkan pandangan mereka menuju target bidik dan menarik pelatuknya.

Peleton keempat mulai menembak habis garda depannya, sementara peleton pertama memborbardir garda belakang. Lapis baja Ameise yang relatif rapuuh dan Löwe yang menjaga barisan belakang sama-sama menembak, unit-unit hancur, diam dan tak bergerak. Juggernaut-Juggernaut lainnya melepaskan tembakan, menembus sisa-sisa paskan Legion yang langsung masuk posisi tempur.

Ledakan dan letusan bergemuruh mengguncang medan perang.

Potongan-potongan logam bekas dan darah mesin mikro keperakan tersemprot ke udara disertai api hitam sebagai latar belakangnya. Dan tatkala itu, 21 Juggernaut mundur dari posisi mereka. Beberapa meninggalkan tempat berlindung dan lanjut menembak; yang lainnya lari dari tempat berlindung ke tempat berlindung lain, dari sisi-sisi hingga belakang terus menembaki Legion yang berniat menembaki pergerakan Juggernaut. Ketika berakhir, Juggernaut pertama yang sudah duluan berlindung mulai menembaki sisi-sisi Legion lainnya.

Para Juggernaut adalah mesin tempur tanpa harapan yang dibuat dengan buruk. Lapis baja tipis mereka terbuat dari logam campuran alumunium yang mudah ditembus tembakan senapan mesin, kemampuan manuver mereka cuma sedikit lebih unggul dari roda-roda besar tank, baterai utama mereka pun kelewat lemah untuk bersaing dengan Löwe. Entah tak cukup waktu atau teknologi untuk mengembangkan program kontrol pengendali untuk empat kaki rapuh Juggernaut (karena program kontrol pengendali membutuhkan lebih banyak program kompleks maka semakin banyak kaki yang mereka miliki makin kompleks programnya). Pokoknya, tekanan tanah pada kaki kelewat signifikan. Hal itu membuat Juggernaut sering bepergian di front timur yang berlimpah lahan basah serta tanah lunak.

Tidak seorang pun menyangka, bahkan dalam mimpi terliar mereka, melihat mesin-mesin ini melompat atau berguling-guling, apalagi terbang bagaikan robot raksasa di film-film atau kartun. Seandainya Juggernaut mempunyai perbandingan, Prosesor yang sambil tersenyum sinting akan bilang itu mirip peti mati bergerak.

Juggernaut bersenjata ringan, meskipun mampu menghadapi Ameise dalam pertempuran, mereka sama sekali tidak dapat mengalahkan Grauwolf atau Löwe secara langsung. Strategi umum Prosesor adalah melawan mereka dengan banyak unit dan memanfaatkan medan tempur juga tempat berlindung, tembak titik lemah mereka atau di punggung rentannya. Itu adalah taktik para pendahulu mereka—para 86 yang gugur di negeri ini—yang mengalami banyak pertempuran dan pengorbanan tak terhitung jumlahnya.

Skuadron Spearhead telah bertahun-tahun bertarung mengikuti taktk ini dan telah terbiasa dengan hal itu sekarnag. Mereka pada dasarnya tidak memerlukan komunikasi dalam peleton, dikarenakan setiap unitnya melaksanakan prosedur sama seperti rekan-rekannya.

 Dan lagi … bibir Raiden melengkung membentuk senyum berani.

Ada Reaper yang melindungi mereka.

Sebuah Juggernaut yang mengemban Tanda Pribadi kerangka tanpa kepala—berlari di sepanjang bayang-bayang reruntuhan bangunan runtuh, menghindari tembakan musuh tetapi tidak membiarkan mereka keluar dari pandangnanya. Dengan piawai menembak hancur Legion, mengalahkan tipe Pengintai dan Dragoon, bahkan kadang kala berputar-putar mengelilingi tipe Tank dan menembaki titik lemah mereka, seraya mengalihkan perhatian mereka dan menjatuhkannya.

Mengganggu koordinasi pasukan musuh adalah kerjaan Shin. Menjadi garda depan, dia adalah orang penting yang terlampau terampil pada pertempuran jarak dekat bahkan di antara gara depan lain. Memang perannya dalam skuadron dan gaya bertarung paling dikuasainya. Sebagaimana gelarnya, dia adalah pencabut nyawa yang memutuskan siapa yang mati dahulu di antara musuh-musuhnya.

Selagi menerjang maju menyusuri medan perang, tatapannya dingin, menandai target-target kematian tertentu, tiba-tiba goyah. ‘Ah, kau kali ini takkan keluar, ya?’ Pikiran sejenak tak berarti itu ditelan asap hitam senapannya ketika lagi-lagi menarik pelatuk. Saat mengunci pandangan dinginnya pada target selanjutnya, dia menginstruksikan para pengawal tuk menyebar ke seluruh kota dan membantai musuh secara efisien.

“—Peleton ketiga. Ganggu peleton yang kalian lawan kemudian mundur ke tenggara. Peleton kelima, pertahankan posisi. Buka serangan seketika pasukan musuh masuk zona tembak dan habisi mereka.”

“Black Dog (Daiya), diterima …. Snow Witch (Anju), kalau kau mau mengisi ulang, lakukan sekarnag.”

“Laughing Fox (Theo) di sini. Aku juga mengisi ulang. Jangan menembak ke sebelah sini, Black Dog!”

“Falke (Haruto). Arah 270, jarak 400. Musuh datang lewat bangunan menuju kemari.”

“Diteriiiiimaaaaa. Fafnir (Kino), bantu aku.”

Suara tembakan dari jauh menggetarkan puing-puing. Sekelompok tipe Grauwolf hendak menyergap mereka dengan teknik mencengangkan—berlari lurus di sepanjang dinding bangunan—namun mereka dihancurkan berkeping-keping oleh tembakan senapan mesin persis tatkala ingin menyerang Juggernaut.

Shin melihat-lihat sekeliling, berusaha mengidentifikasi target berikutnya, tetapi pandangannya seketika berubah kala melihat sesuatu.

“Semua unit, berhenti menembak dan menyebar.”

Perintah mendadak, tetapi semua unit mengikutinya dengan tegas. Tidak seorang pun menanyakan alasan bodoh. Karena ada satu lagi tipe Legion, tipe yang akan mengebelakangkan kepala jeleknya kapan pun Legion lain membelakangi tembok—

Pekikan melengking frekuensi tinggi memenuhi udara, diikuti peluru artileri yang kelihatannya diluncurkan dari jarak sangat jauh, mulai mendarat dan meledak di seantero medan perang. Tanah hitam mengembang dan meledak pecah. Itu disebabkan dukungan artileri 155 mm tipe meriam otomatis Legion, Skorpion tipe penembak jarak jauh.

Komputer pendukung Shin membalikkan perhitungan lintasan peluru dan menetapkan posisi penembak di sebelah tiga puluh kilometer timur-timur laut dari posisi mereka saat ini. Informasi tidak berguna, sebab mereka tidak punya persenjataan jarak jauh yang tersedia. Musuh memiliki Unit Pengamat Jarak Jauh tuk menentukan di mana rentetan tembakan diarahkan, tetapi mereka mesti melihat-lihat posisi sendiri di medan perang dan posisi penyebaran musuh—

“Handler One kepada seluruh unit. Mengirimkan Koordinat Unit Pengamat Jarak Jauh sekarang. Ada tiga target potensial. Tolong konformasi dan eliminasi mereka.”

Shin mengangkat pandangannya, mencatat tiga titik yang menyala di peta digitalnya.

Membandingkan posisi musuh yang didapatkannya, dia memerintah penembak jitu yang bersembunyi di gedung-gedung terdekat.

“Gunslinger (Kurena), empat unit di arah 030, jarak 1200.” “Diterima. Membidik.”

“Handler One, menggunakan laser terarah untuk mentransfer data berisiko membocorkan posisi kami. Transfer seluruh informasi selama operasi secara lisan saja.”

“Ah … maaf.”

“Unit Pengamat selanjutnya tak lama lagi akan muncul. Kami mengandalkan arahanmu.”

Shin bisa merasakan senyuman wajah di sisi lain Resonansi.

“Tentu saja!”

Memberengutkan satu alisnya sewaktu mendengar sorakan suara gadis si Handler—tetapi mendengar peringatan kedatangan di tengah sorak-sorai, Shin memalingkan perhatiannya kembali ke medan perang.

Tidak memedulikan kerugian pasukannya—taktik yang hanya mampu dia gunakan melawan drone sejati—Raiden bergegas menyusuri medan perang, menghindari pengeboman selagi mencari target berikutnya. Rentetan tembakan yang menghiasi medan perang masih didominasi musuh. Terkena satu peluru senapan mesin membuat cedera fatal, dan satu peluru tank akan meledakkan Juggernaut sampai berkeping-keping. Menyelinap lewat reruntuhan selagi bergegas dari satu pelindung ke pelindung satunya, dia menemukan seseorang sudah berada di tempat ini duluan.

Ialah Undertaker. Setelah kehabisan amunisi, dia mengisinya kembali dibantu sebuah Scavenger—tentu saja, Fido.

“Apa kau betulan membutuhkan amunisi sebanyak ini?”

“Keknya terlalu gampang, kan? Silahkan bersenang-senang selagi kita bisa.”

Rupanya, dia sempat mendengar percakapannya dengan Theo. Dasar orang bijak.

“… tapi ada lebih banyak tipe Tank dari perkiraanku. Mereka pasti telah berkumpul kembali saat sedang beristrirahat.

Dia bicara seakan-akan hal ini sederhana seperti melupakan payungmu di rumah ketika musim hujan. Raiden tidak ingat pernah melihat Shin kehilangan ketenangannya. Orang ini kemungkinan takkan mengubah ekspresinya bahkan pada momen-momen kematiannya sendiri dan bahkan akan tetap demikian seusainya.

“Sedikit tempat berlindung itu merepotkan. Kalau begini mereka akan menganalisis pola pergerakan kita. Kita harus mengurangi jumlah mereka sebelum itu terjadi.”

Lengan penggenggam Fido selesai menukar magasin terakhir dalam container. Pengisian ulang selesai. Undertaker berdiri.

“Aku akan mengurus Löwe. Kutinggalkan semua orang dan pindahkan komando dukungan kepadamu.”

“Diterima. Undertaker …. Aldrecht tua bakal memakimu lagi.” dia bisa merasakan senyuman samar di sisi lain.

Undertaker melompat keluar dari reruntuhan. Dengan terampil dan kecepatan maksimum bermanuver di antara deretan tembakan, Juggernaut tersebut langsung menuju sekelompok empat tipe Tank. Aksi yang melebihi sembrono, terjangan yang orang anggap bunuh diri. Si gadis Handler berteriak ngeri.

“Undertaker?! Apa yang kau—?”

Salah satu Löwe menggeser turetnya dan menembak. Undertaker dengan gesit menggerakkan unitnya ke samping, berhasil menghindari selongsong. Tembakan lain. Meleset lagi. Satu pengeboman, dan pengeboman lain, terus-menerus—

Menyelinap melalui rentetan selongsong 120 mm yang sanggup mengubah manusia dan senjata menjadi debu, Undertaker terus mendekati Löwe. Prestasi ini semata-mata bukan dari hanya melihat turet belaka. Mengendalkan intuisi yang ditempa pengalaman, kerangka tanpa kepala merangkak menghampiri Löwe menggunakan manuver yang susahnya mengerikan. Tipe Tank menggerakkan seluruh tubuhnya mendekat, seolah naik pitam. Mendatanginya dengan sangat cepat, kedelapan kakinya—senjata mematikan di bidangnya—menghentak bumi pada langkah di belakangnya.

Tidak terdengar suara selagi selagi menyerbu maju bersama berat masif rangka baja di belakanya. Berubah dari kondisi statis ke kecepatan maksimum sekejap mata, Löwe sekilas sudah mendesak Undertaker. Mobilitas absurd tidak adil dan peredam kejut kuat serta akselerator linier. Delapan kaki mekanis menekan bumi dan melompat maju. Hendak menghancurkannya. Kini—

Di saat berikutnya, Undertaker mengudara.

Melompat secara horizontal, dia menghindari serangan Löwe. Mengganti gerakannya di tengah udara, dia melompat lagi begitu mendarat. Melekat di kerangka Legion, Undertaker memanfaatkan sendi-sendi di kaki-kaki Löwe sebagai pijakan sambil dengan cepatnya bergegas menuju bagian atas turet. Kakinya melebar membentuk kuda-kuda ekstrim membuat Löwe itu condong maju, Undertaker menusukkan senjata lengannya ke lapis baja biru turet. Membidik titik tertipis lapis baja Löwe—bagian atas turet—

Undertaker menembak.

Rentetan peluru anti-lapis baja berkecepatan tinggi secepat delapan ribu meter per detiknya yang diatur untuk meledak pada jarak minimal, telah menembus lapis bajanya dan membuat bagian dalam Löwe menjadi abu oleh ledakan api. Sewaktu dia melompat dari asap ledakan, runtuhlah sisa-sisa Löwe yang hancur, Undertaker siap memalingkan pandangannya ke target lain. Dengan lompatan singkat melewati berondong peluru senapan mesin Löwe bersumbu sama, Undertaker menarik salah satu kakinya dan menebas dengan lengan penggenggamnya—

Salah satu senjata tangan penggenggam yang tersedia adalah pisau frekuensi tinggi. Hanya Shin yang menggunakannya, akan tetapi, terlepas dari sekuat apa pun itu, jangkauannya terlalu pendek sehingga tidak efektif. Tipe Tank kedua runtuh, kemudian Shin menembak selongsong lain ke turet rentan.

Menggunakan unit rusak sebagai perisai, Shin memblokir tembakan Löwe ketiga. Memanfaatkan momen-momen api menghadang sensor tipe Tank, Shin menembak jangkar kawatnya ke atap bangunan terdekat, jangkar itu membantunya naik ceepat. Lalu dia mendarat di turet unit ketiga seraya mati-matian bergerak ke mana-mana, mencari-cari targetnya yang menghilang, selanjutnya Undertaker menembak dari titik buta.

“….”

Raiden dapat merasakan sang Handler kaget sampai-sampai terdiam seribu bahasa di sisi lain Resonansi. Siapa pun pengembang peti mani alumunium melihat ini, dia pasti bakal pingsan karena kaget. Raiden menyipit melihat prestasi manusia super ini. Juggernaut tak dibangun untuk gaya bertarung semacam ini. Pekerjaan terburu-buru yang kurang mobilitas, lapis baja, dan daya rusak juga direncanakan menjadi senjata bunuh diri yang banter-banternya hanya bisa menembak saja. Satu unit menghajar tipe Tank—terlebih lagi jumlahnya empat—itu tak terbayangkan.

Tapi jelas saja, harga manuver seperti itu sangatlah mahal. Mendesak Juggernaut yang dari awal rapuh ke batas mobilitasnya padahal sedang dalam performa terbaiknya, berarti kala pertempuran berakhir, semuanya akan hancur. Selagi tipe Tank berfungsi sebagai ujung tobak ofensif Legion, masih ada unit-unit pengawal lain, lalu mereka akan mengerumuni Undertaker yang rusak.

Sejauh ini, tindakan Shin meringankan beban Raiden dan yang lainnya sebab mereka melawan semua tipe kecuali unit tipe Tank. Tetapi walaupun pada akhirnya akan mempercepat akhir pertempuran, sejujurnya termasuk keajaiban bila Undertaker belum mati. Namun dia adalah jenis monster yang bertahan selama lima tahun bertarung dengan metode-metode itu.

Raiden selalu berpikir jika Shin terlalu jago dalam perang ini.

Dia telah bertarung bersamanya selama tiga tahun. Tiga tahun, Raiden menjabat sebagai wakil kapten Shin, yang artinya selama ini, dia senantiasa menjadi nomor dua. Tetapi kendatipun dia sama-sama Pengemban Nama, Raiden tak pernah bermimpi mampu beraksi demikian. Dia takkan pernah bisa setara dengannya. Reaper tanpa kepala ini, bukannya berlebihan, adalah pahlawan bertalenta yang tak tertandingi dalam pertempuran. Dia tidak cuma punya keberuntungan super soal bertahan hidup. Berangkat dengan waktu yang cukup serta peralatan tepat, dia tak diragukan lagi seorang kunci pemusnah setiap Legion di muka benua. Sebegitu tak tertandingilah kemampuannya.

Sekalipun dia beruntung bertahan hidup dari perkara konflik, dia telah membusuk di tempat lain. Bernasib sial gara-gara terlahir di era salah dan selama perang berdarah terburuk. Apabila dia dilahirkan di masa lalu nan jauh, zaman para kesatria, dia pasti menjadi protagonis sejumlah mitos yang akan dikisahkan generasi-generasi selanjutnya, kemudian hidupnya pun akan berakhir menjadi pahlawan yang mati dalam medan perang di mana manusia melawan manusia. Tetapi mimpi seperti itu hanyalah mimpi semata: mimpi.

Takdir mereka adalah mati di sudut medan perang tak diketahui, dibuang bagaikan alat sepah, dilucuti hak dan martabat kemanusiaannya, tanpa kuburan peristrirahatan atau nama, atau kehormatan tuk mengukir batu nisan mereka yang tak ada. Sebagaimana jutaan saudara-saudaranya yang meninggal dalam medan perang, yang paling bisa dilakukan mereka adalah mempercayakan kerangkanya ke satu sama lain.

Kabut Eintagsfliege menghilang, sinar matahari menyinari mereka sekali lagi. Sisa-sisa Legion mulai mundur, dibantu pengeboman tipe Skorpion. Senjata otomatis dingin tanpa perasaan ini tidak pernah gila akan balas dendam, tak peduli sebanyak apa rekan-rekan mereka dihancurkan. Begitu korban jiwa melewati ambang batas tertentu, mereka menyimpulkan tujuan mereka tak bisa dicapai dan cepat-cepat menghentikan permusuhan lalu mundur secepat mungkin.

Sinar matahari terbenam menonjolkan siluet-siluet Undertaker yang berdiri di antara puing-puing Löwe. Pemandangan indah nan menawan, layaknya cahaya bulan memantulkan ujung pedang tua.

Hari-hari tatkala seseorang tidak harus pergi melancarkan serangan malam atau melakukan tugas patroli malam, beberapa jam antara makan malam dan lampu padam adalah waktu luang. Sesudah selesai beres-beres setelah makan malam, Anju kembali seusai menuangkan kopi untuk semua orang, dan mendapati mereka mengadakan turnamen penembak jitu di depan hanggar.

“Satu tembakan jitu King Bear dan dua tembakan jitu Sir Rabbit! Skor total Haruto adalah tujuh poin!”

“Aaaaah, dua tembakanku meleset, sial! Duh, make pistol rasanya tidak nyaman ….”

“Wei wei, Fido mengikuti tantangannya! Bagaimanakah perbandingannya dengan keterampilan Kino?!”

“Ayolah, tidak mungkin serius …. Ugh! Aku tidak sempat istrirahat! Lanjut! Orang selanjutnya!”

“Oh, giliranku? Hmm …. Kaie Taniya, menghadapi tantangan!”

“Wah, itu dua poin!”

“Wow, lima tembakan jitu tengah. Lumayan, Raiden.” “Ups, mustahil. Itu gila.”

“Dasar bocil nakal …! Ayo, Kurena! Tunjukkan mereka keajaiban penembak jitu sejati!”

“Oke, akan aku ledakkan kalian. Fido, jangan cuma disusun. Lempar!”

‘Whooooaaaaa!’

“Sial, Fido merasa sadis hari ini. Sekarang menyusunnya ke bentuk menara. Cari yang lebih sukar, ya?”

“Ayolah. Sekarang giliranmu, Shin.”

“Mmn.”

“… buset. Barusan dia sikat sekali coba! Tidak seru kalau kau terus melakukannya.”

  Menggunakan kaleng kosong dari tugas memasak hari itu sebagai target, semua orang menembaknya dengan senjata pribadi. Alih-alih target, Theo mengukir binatang imut di kaleng dengan spidol, dan Fido mengambil kaleng-kaleng yang jatuh lalu diatur ulang kembali ke bentuk menara atau piramida. Menyaksikan pemandangan riuh itu, Anju tersenyum hangat.

Itu makan malam mewah. Mereka memanggang babi hutan yang ditangkap dan menyajikannya dengan saus cermai7 yang dikumpulkan dari hutan. Ada juga sisipan salad yang dibuat dari buah-buahan kebun belakang dan sup krim dari susu kaleng dan jamur. Agak kemewahan memakannya di ruang makan, jadi mereka membawa meja ke luar, dan karena orang-orang yang lagi bertugas masak tidak bisa mengurusnya sendirian, semua orang ikut membantu.

Menyenangkan, sebab semua orang melakukannya bersama. Melihat semuanya seperti ini membuatnya senang.

Bahkan tidak repot-repot memeriksa apakah tembakannya tepat menembak kaleng kosong atau tidak, Shin menjauhkan diri dari keributan lalu mulai membolak-balik buku. Anju meletakkan satu mug kopi di depannya.

“Kerja bagus hari ini.”

Satu-satunya tanggapan adalah melirik Anju sekilas kemudian kembali menatap buku. Meninggalkan nampan yang penuh mug-mug kopi bersama Daiya yang menyadari kehadiran Anju lalu menghampirinya, Anju menarik kursi di hadapan Shin dan duduk. Dia mengintip buku tebal yang sedang dibaca Shin dan tersenyum melihat pemandangan indah anak kucing hitam berkumis putih yang mereka simpan di barak memain-mainkan halaman kertas.

“Bukankah menarik?”

“Tidak juga.”

Mungkin menyadari jawabannya barangkali terlalu singkat, Shin berhenti dan membuka mulutnya tuk sekali lagi bicara.

“Fokus pada sesuatu membuatku tak teramat mendengar suara ucapan.”

“… begitu,” balas Anju, senyum sedih di bibirnya.

Inilah hal yang tak bisa mereka hibur.

“Terima kasih. Kau selalu—”

Tiba-tiba, ilusi panas menggelitik dari Perangkat RAID-nya.

“Handler One kepada semua unit. Apa kalian sedang senggang sekarang?”

Suara si gadis Handler terdengar. Sejak pengangkatannya seminggu lalu, dia dengan rajin ngobrol singkat setiap makan malam usai.

“Tidak ada masalah di pihak kami, Handler One. Kerja bagus hari ini.”

Shin menjawab mewakili semua orang. Anehnya, anak kucing itu mulai mengacak-acak halaman persis sesaat Shin hendak membaca, lantas dia angkat buku itu sekalian kucing yang menggantung-gantung. Semua orang yang berpesta tadi, buru-buru mengeluarkan peluru dari pistol mereka dan ditaruh ke sarung. 86 tidak diizinkan membawa senjata api mini, demi mencegah pemberontakan. Tidak pernah ada inspeksi, dan hampir setiap skuadron mendapatkannya dari desa-desa yang ditinggalkan dan instalasi militer terdekat.

“Ya, kerja bagus juga pada pihakmu, Undertaker …. Apa kau memainkan semacam permainan? Maaf sekiranya aku menyelamu.”

“Kami cuma menghabiskan waktu. Tidak usah khawatir.”

Siapa pun yang tidak mau ikut-ikut pembicaraan ini bebas memutus koneksi, sebagaimana yang dikatakan Handler di hari pertamanya. Shin berbicara selagi melihat beberapa rekan pasukan langsung memutus hubungan dan tanpa pikir panjang balik ke kontes melempar pisau. Raiden, Theo, Kaie, dan beberapa orang lain yang duduk di sebelahnya, menyeruput kopi dari mug mereka.

“Kau yakin? Kedengarannya seakan kalian bersenang-senang … di sana.”

Mereka bisa merasakan Handler duduk di kursinya, ibaratnya merasa dia menatap lekat-lekat mereka.

“Undertaker. Hari ini aku punya sejumlah komplain untukmu.”

Rasanya seperti teguran ketua kelas rajin ketimbang perwira komandan berpakaian rapi. Shin lanjut menyeruput kopinya, tak terganggu, menunjukkan bahwa dia tak mendengar pembahasan serius apa pun dari Handler di sisi lain.

“Soal apa?”

“Catatan pertempuran peleton. Bukan kekeliruan saat kau mengirimkan catatan salah. Ketika coba aku baca … semua laporannya sama.”

Shin mengangkat matanya sedikit.

“Tunggu, maksudnya kau membaca semuanya?”

“Semua catatan semenjak kau ditunjuk menjadi kapten Spearhead.”

“… apa-apaan? Kau masih melakukannya?”

Shin mengabaikan reaksi terkejut Raiden, yang tidak mampu menahan keheranannya.

“Entah kau berharap apa dari informasi lapangan. Laporan semacam ini tidak ada gunanya bagiku.” kata Shin.

“Menganalisa taktik serta formasi Legion adalah pekerjaan Handler.” sesudah mengatakannya secara singkat, si Handler melirihkan nadanya.

“Aku mengerti kau lalai mengirimkannya sebab tidak ada yang mau membacanya. Itu kelalaian pihak kami, jadi aku tak menghitungnya sebagai kesalahanmu. Tetapi tolong kirimkan dengan benar mulai dari sekarang, karena aku akan membacanya.”

Merepotkan sekali. Shin membuka mulut dan benaknya bicara.

“Aku tidak dapat menulis atau membaca dengan benar.”

“Sumpah, kau berani banget ….”

Mengabaikan gumam Daiya, Shin membolak-balik halaman buku. Tentu saja si Handler tidak tahu itu karena dia tak di sana. Suaranya bercampur malu sewaktu menyadari banyaknya Prosesor yang ditempatkan di kamp-kamp konsentrasi pada usia muda tak pernah mengenyam pendidikan layak.

“Uh-oh, aku minta maaf …. Tapi bagaimanapun, lebih pentingnya lagi jika kau terbiasa menulis. Pikirkan laporannya sebagai Latihan. Aku yakin akan membantumu.”

“Betulkah, sekarang membantu?”

“….”

Handler itu jelas-jelas sedih. Theo mendengus, seolah-olah berkata dia bisa membaca semuanya, kemudian melempar pisau dalam genggamannya, merobohkan kaleng berisi gambar putri babi manis. Kaie memiringkan kepala linglung, kedua tangannya masih memegang mugnya.

“Tapi ini berguna buatmu, Undertaker. Lagipula hobimu membaca. Bukannya yang kau baca saat ini buku filsafat? Kelihatannya amat ribet bagiku.”

Hening berat menyelimuti sisi Resonansi.

“Undertaker?”

Imbuhnya lembut seperti sebelumnya, dan bisa jadi bahkan ada senyuman pada wajahnya, tapi ada tekanan aneh di suaranya.

“… baiklah, aku paham.”

“Tolong kirimkan aku laporan semua patrolimu sejauh ini, oke? Laporan pertemuran juga. Semuanya.”

“… apakah misinya boleh menggunakan rekaman berkas data?” “Tidak. Tolong, laporan tulis tangan.”

Shin mendecakkan lidah. Kaie yang menelinga kejadian ini, tersentak kaget, kuncir kudanya melejit naik. Tangannya menyatu dan kepalanya menunduk maaf, tapi Shin melambaikan kepala seakan bilang dia tak memaksanya melakukan itu.

Handler tersebut mendesah seraya bilang, ‘Syukurlah’, dan tiba-tiba teringat mengapa dia masih belum menyelesaikan trasmisi. Menahan amarahnya, dia dengan sungguh-sungguh melanjutkan.

“Semisal kita menganalisis data operasional, kita boleh jadi membuat tindakan pencegahan melawan Legion. Apalagi daatamu bahkan lebih penting dikarenakan kau veteran berpengalaman. Itu akan menurunkan tingkat korban di semluruh front dan membantumu juga, jadi tolong bekerjasamalah bersamaku dalam masalah ini.”

“….”

Shin tidak merespon apa pun, dan gadis Handler itu terdiam sedih. Berikutnya dia berbicara riang, berupaya memecah suasana tegang.

“Ngomong-ngomong, tanggal dokumen-dokumennya cukup tua. Apa kau menerimanya dari orang lain? Ataukah kau mengirimkannya dari saat itu?”

“Iya, orang goblok ini sudah mengirim laporan palsu dari dulu-dulu kala, Handler One. Dia melakukannya sejak sebelum aku bertemu dengannya.”

Raiden turut mengobrol di percakapan mengejek itu. Mereka bisa merasakan Handler berkedip dengan ekspresi bingung.

“Apa kau kenal Undertaker sebelum bergabung skuadron ini, Wehrwolf?”

Kaie mengangkat bahu.

“Kami kebanyakan begitu. Black Dog (Daiya) dan Snow Witch (Anju) sudah di unit yang sama semenjak mendaftar, dan aku bergabung di tahun yang sama seperti Falke (Haruto). Laughing Fox (Theo) dan Gunslinger (Kurena), kesemuanya anggota unit Undertaker (Shin) dan Wehrwolf (Raiden) selama dua tahun …. Dan aku pikir kalian berdua bertemu dua tahun yang lalu, juga?” tanya Kaie.

“Tiga tahun.”

Jawab Raiden, dan si Handler termenung sejenak.

“Sudah berapa lama sejak kau direkrut?”

“Kupikir kami semua sudah empat tahun. Oh, Undertaker yang paling lama di sini. Lima tahun.”

Suara Handler sekali lagi bercampur sorak sorai.

“Kalau begitu, kau hampir menyelesaikan pengabdianmu, Undertaker. Sudahkah memikirkan rencanamu selanjutnya ketika diberhentikan? Ada tempat yang ingin kau datangi? Sesuatu yang ingin kau lihat?”

Pandangan semua orang tertuju kepada Shin. Masih tak mengangkat matanya dari halaman buku, dia menjawab ketus.

“Tidak juga. Tidak pernah terlalu kupikirkan.”

“O-oh, begitu …. Tapi aku duga kau sebaiknya mulai memikirkan itu. Bisa jadi menemukan sesuatu yang ingin kau lakukan. Pikirku itu akan menyenangkan.”

Shin tersenyum lemah. Anak kucing yang tertidur di pangkuannya, mengedutkan telinga dan menatapnya.

“Ya, mungkin.”

Catatan Kaki:

  1. Pengeboman karpet atau pengeboman jenuh adalah pengeboman udara besar yang dilakukan dengan cara berturut-turut demi menimbulkan kerusakan di setiap bagian wilayah targetnya. Istilah ini menggambarkan rentetan ledakan di sebuah daerah layaknya karpet menutupi lantai.
  2. Dog Tag adalah liontin atau bandul yang biasanya dipakai sebagai kalung oleh anggota militer. Bentuknya berupa lempengan pipih, berisi tentang identitas diri dari si pemakainya antara lain nama lengkap, Nomor Registrasi Personel, kesatuan, golongan darah dan agama.
  3. Sakura (桜, 櫻) bersama dengan bunga seruni adalah bunga nasional Jepang yang mekar pada musim semi, yaitu sekitar akhir Maret hingga akhir Juni.
  4. “Smoothbore” atau laras halus adalah istilah untuk senjata yang tidak memiliki ulir pada larasnya. Hal ini lumrah ditemui pada senjata api era muzzle loader karena kemudahan pengisian peluru dengan mengorbankan akurasi. Kini, laras halus digunakan kembali pada sebagian meriam tank pasca-Perang Dunia II karena kecepatan lontaran proyektil yang jauh lebih tinggi dibanding laras ulir dan ketahanan yang jauh lebih lama. Laras halus juga dipakai oleh senapan gentel dan mortir.
  5. Formasi berlian adalah formasi empat pesawat tempur, tentara menunggangi kuda, para pemain olahraga, dan lain-lain. Sedangkan dalam perang biasanya digunakan kavaleri. Kavaleri Thessalian terkenal akan formasi ini, memungkinkan mereka mengubah arah dengan cepat. Formasi aslinya berbentuk mirip burung. Jika Anda pernah menonton formasi perang Shingeki No Kyojin season 1 pada episode paruh akhir, maka demikian kurang lebih formasi berlian demikian, tetapi di bagian depan hanya ada satu orang, dan diakhiri satu orang juga di belakang.
  6. Mengutip ayat Injil, (Mark 5: 9).
  7. Buah cermai sering dimakan segar dengan dicampur gula, garam atau dirujak. Cerme juga kerap dibuat manisan, direbus (disetup) atau dibuat minuman penyegar. Daun mudanya digunakan sebagai lalap.
Share this post on:
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments